BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Kerangka Teori - Perubahan Tagline Peringatan dan Perilaku Merokok

BAB II URAIAN TEORITIS

2.1 Kerangka Teori

  Kerangka teori menggambarkan dari teori yang mana suatu problem riset berasal, atau dengan teori yang mana problem itu dikaitkan (Lubis, 1998: 107). Dalam setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan bepikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Dalam memberikan kejelasan pada penelitian ini, peneliti mengemukakan beberapa kerangka teori yang berkaitan dengan yang dilakukan. Adapun teori-teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini adalah: Komunikasi, Komunikasi Massa, Iklan, Tagline, 7C, dan Disonansi Kognitif.

2.1.1 Komunikasi Komunikasi merupakan unsur terpenting bagi kehidupan manusia.

  Manusia adalah makhluk sosial yang berinteraksi dengan manusia yang lain. Karena sejarah lahirnya manusia memiliki hasrat untuk menjadi satu dengan yang lainnya. Istilah komunikasi atau dalam bahasa inggris

  communication berasal dari bahasa latin, communication, dan bersumber

  dari kata communis yang berarti “sama”, yang diartikan sebagai proses penyamaan makna (Effendy, 2007: 9).

  Jika ada dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan kata lain, mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu. Jelas bahwa percakapan kedua orang tadi dapat dikatakan komunikatif, apabila keduanya selain mengerti bahasa yang dipergunakan, juga mengerti makna dari materi yang dipercakapkan. Akan tetapi pengertian komunikasi yang dipaparkan di atas sifatnya dasariah, dalam arti kata bahwa komunikasi itu minimal harus mengandung kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat. Dikatakan minimal, karena kegiatan komunikasi bukan hanya informatif, yakni agar orang lain mengerti dan tahu, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan; melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan, dan lain-lain.

  Lasswell (Mulyana, 2005: 62), menerangkan cara terbaik menerangkan untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan- pertanyaan berikut: Who Says What In Which Channel To Whom with

  What Effect?

  Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni:

1. Komunikator (Communicator, source, sender) 2.

  Pesan (Message) 3. Media (Channel) 4. Komunikan (Communicant, communicate, receiver, receipeint) 5. Efek (Effect, impact, influence)

  Jawaban bagi pertanyaan paradigma Lasswell merupakan unsur-unsur proses komunikasi yang meliputi komunikator, pesan, media, komunikan, dan efek (Effendy, 2004: 253). Muhammad Arni (2005: 5) juga menjelaskan bahwa komunikasi didefinisikan sebagai, “Pertukaran pesan verbal dan non verbalantara si pengirim dengan si penerima pesan untuk mengubah tingkah laku”. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses pengiriman dan penyampaian pesan secara verbal maupun non verbal oleh seorang komunikator dengan tujuan untuk mengubah sikap, pendapat, perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tidak langsung melalui media. Komunikasi yang baik harus disertai dengan adanya jalinan pergertian antara kedua belah pihak (komunikator dan komunikan), sehingga yang apa yang di sampaikan dapat diterima dan dimengerti.

2.1.2 Komunikasi Massa

2.1.2.1 Pengertian Komunikasi Massa

  Komunikasi memiliki beberapa cabang ilmu lainnya, diantaranya ialah komunikasi massa. Banyak definisi tentang komunikasi massa yang telah dikemukakan para ahli komunikasi. Banyak ragam dan titik tekan yang dikemukakan. Namun, dari sekian banyak definisi itu ada benang merah kesamaan definisi satu sama lain. Pada dasarnya komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa (media cetak dan elektronik). Sebab, awal perkembangan kata media of mass communication (media komunikasi massa). Media massa menunjuk pada hasil produk teknologi modern sebagai saluran dalam komunikasi massa. Agar tidak ada kerancuan dan perbedaan persepsi tentang massa, ada baiknya kita membedakan arti massa dalam komunikasi massa dengan massa dalam pengertian umum. Massa dalam arti komunikasi massa lebih menunjuk pada penerima pesan yang dalam sikap dan perilakunya berkaitan dengan peran media massa. Dengan kata lain, massa yang dalam sikap dan perilakunya berkaitan dengan peran media massa. Oleh karena itu, massa di sini menunjuk kepada khalayak, audience, penonton, pemirsa, atau pembaca. Beberapa istilah ini berkaitan dengan media massa. Sedangkan mass secara umum berbeda dengan pengertian massa dalam komunikasi.

  Secara umum massa diartikan sebagai orang yang tidak saling mengenal, berjumlah banyak, anggotanya heterogen, berkumpul di suatu tempat dan tidak individualistis. Massa memiliki kesadaran diri yang rendah, tidak dapat bergerak dengan terorganisir, tidak bertindak untuk dirinya sendiri melainkan terdapat “dalang” di belakangnya yang berfungsi memanipulasi mereka. Ini berbeda pengertiannya bila dikaitkan dengan ilmu komunikasi.

  Massa dalam komunikasi lebih merujuk pada penerima pesan media massa atau disebut audience (www.kompasiana.com). Devito (Nurudin, 2007: 12) menjelaskan definisi komunikasi massa sebagai berikut

  :“Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditunjuk kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang membaca atau semua orang yang menonton televisi, agaknya ini tidak berarti pula bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar untuk didefinisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang berbentuk audio atau visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan lebih logis bila didefinisikan menurut bentuknya (televisi, radio, surat kabar, majalah, film, buku dan pita).” Pool (Wiryanto, 2003: 3) menjelaskan:

  “Komunikasi massa sebagai komunikasi yang berlangsung dalam situasi interposed ketika antara sumber dan penerima tidak terjadi kontak secara langsung, pesan-pesan komunikasi mengalir kepada penerima melalui saluran-saluran media massa, seperti surat kabar, majalah, radio, film atau televisi.” Komunikasi massa dapat didefinisikan ke dalam tiga ciri, yakni (Severin, Warner J & James W. Tankard, 2005: 4) : 1.

  Komunikasi massa diarahkan kepada audien yang relatif besar, heterogen dan anonim.

  2. Pesan-pesan yang disebarkan secara umum sering dijadwalkan untuk dapat mencapai sebanyak mungkin anggota audien secara serempak dan sifatnya sementara.

3. Komunikator cenderung berada atau beroperasi dalam sebuah organisasi yang kompleks yang mungkin membutuhkan biaya besar.

  Menurut Dominick (Ardianto dan Lukiati Komala, 2004:15), fungsi komunikasi massa terdiri atas surveillance (pengawasan), interpretation (penafsiran), linkage (keterkaitan), transmission of values (penyebaran nilai) dan entertainment (hiburan). Proses komunikasi massa tidaklah sama dengan media massa (organisasi yang memiliki teknologi yang memungkinkan terjadinya komunikasi massa). Media massa juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan orang perorang (individu) atau organisasi. Media massa yang membawa pesan-pesan publik kepada masyarakat luas juga dapat memuat pesan-pesan pribadi (personal).

  Dengan demikian, telah terjadi penyatuan (konvergensi) luas dan komunikasi dimana garis batas antara bidang publik dan pribadi serta komunikasi skala luas dan komunikasi individu semakin tidak jelas batasnya (Morissan, Wardhani dan Hamid. 2010: 8).

2.1.2.2 Unsur-Unsur Komunikasi Massa

  Unsur komunikasi pada komunikasi secara umum juga berlaku bagi komunikasi massa. Secara ringkas proses sederhana komunikasi meliputi komunikator mengirimkan pesan melalui saluran kepada komunikan (penerima). Perbedaan komunikasi massa dengan komunikasi pada umumnya lebih berdasarkan pada jumlah pesan berlipat-lipat yang sampai pada penerima.Terkadang penerima bisa menerima pesan yang disampaikan secara serentak di tempat yang berbeda-beda. Dengan kata lain, penerimanya memiliki jumlah yang jauh lebih besar. Ada beberapa unsur dalam komunikasi massa, antara lain (Bungin, 2006: 71) :

  1. Komunikator Komunikator dalam komunikasi massa sangat berbeda dengan komunikator dalam bentuk komunikasi yang lain. Komunikator di sini meliputi jaringan, stasiun lokal, direktur, dan staf teknis yang berkaitan dengan sebuah acara televisi. Jadi, komunikator merupakan gabungan dari berbagai individu dalam sebuah lembaga media masa. Dengan demikian, komunikator dalam komunikasi massa bukan individu, tetapi kumpulan orang yang dominan, pada akhirnya ia akan terbatasi perannya oleh aturan kumpulan orang. Kumpulan orang itu bisa disebut organisasi, lembaga, institusi, atau jaringan. Jadi, apa yang dikerjakan oleh komunikator dalam komunika si massa itu “atas nama” lembaga dan bukan atas nama masing- masing individu dalam lembaga tersebut.

  2. Isi Masing-masing media massa mempunyai kebijakan sendiri-sendiri dalam pengelolaan isinya. Sebab, masing-masing media melayani masyarakat yang beragam juga menyangkut individu atau kelompok sosial. Media massa menggali semua peristiwa yang terjadi di masyarakat dan dikembalikan lagi ke masyarakat yang dilayaninya. Di samping itu, media massa tidak sekadar memberitakan, tetapi juga mengevaluasi dan menganalisis setiap kejadian tersebut.

  3. Audience Audience yang dimaksud dalam komunikasi massa sangat beragam, dari jutaan penonton televisi, ribuan pembaca buku, majalah, koran atau jurnal ilmiah. Masing-masing audience berbeda satu sama lain di antaranya dalam hal berpakaian, berpikir, menanggapi pesan yang diterimanya, pengalaman, dan orientasi hidupnya. Akan tetapi, masing-masing individu bisa saling mereaksi pesan yang diterimanya.

  4. Umpan balik Ada dua umpan balik (feedback) dalam komunikasi, yakni umpan balik langsung (immediated feedback) dan tidak langsung (delayed feedback).

  Umpan balik langsung terjadi jika komunikator dan komunikan berhadapan langsung atau ada kemungkinan bisa berbicara langsung. Misalnya, dalam komunikasi antarpribadi yang melibatkan dua orang atau komunikasi kelompok. Umpan balik secara tidak langsung, misalnya bisa ditunjukkan dalam letter to the editor/surat pembaca/pembaca menulis. Dalam rubrik ini biasanya sering kita lihat koreksi pembaca atas berita atau gambar yang ditampilkan media cetak. Tidak terkecuali dengan kritikan yang ditujukan pada pihak media yang bersangkutan. Umpan balik merupakan bahan yang direfleksikan kepada sumber/komunikan setelah dipertimbangkan dalam waktu tertentu sebelum dikirimkan.

  5. Gangguan Ada dua jenis gangguan dalam komunikasi massa, yaitu gangguan saluran dan gangguan semantik. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan dibawah ini:

  1. Gangguan Saluran Gangguan dalam saluran komunikasi massa biasanya selalu ada. Di dalam media gangguan berupa sesuatu hal, seperti kesalahan cetak, kata yang hilang, atau pragraf yang dihilangkan dari surat kabar.gangguan juga bisa disebabkan oleh faktor luar. Misalnya sepanjang menonton acara televisi atau membaca koran ada dua pasang anak-anak yang berkelahi. Salah satu solusi untuk mengatasi gangguan terhadap saluran (misalnya) adalah pengulangn acara yang disajikan.

  2. Gangguan Semantik Gangguan yang berhubungan dengan saluran mungkin ada di mana-mana dan menjadi penghambat dalam komunikasi massa, tetapi tidak demikan halnya dengan gangguan semantik (kata). Semantik bisa diartikan sebagai ilmu bahasa yang mempelajari tentang tata kalimat. Oleh karena itu, gangguan semantik berarti gangguan yang berhubungan dengan bahasa. Gangguan semantik lebih rumit, kompleks, dan sering kali muncul. Bisa dikatakan, gangguan semantik adalah gangguan dalam proses komunikasi yang diakibatkan oleh pengirim atau penerima pesan itu sendiri.

6. Gatekeeper

  adalah penyeleksi informasi. Komunikasi massa dijalankan

  Gatekeeper

  oleh beberapa orang dalam organisasi media massa, orang inilah yang akan menentukan apakah sebuah informasi layak untuk di siarkan atau tidak disiarkan. Semua saluran media massa mempunyai sejumlah

  gatekeeper . Mereka memainkan peranan dalam beberapa fungsi. Mereka

  dapat menghapus pesan atau mereka bahkan bias memodifikasi dan menambah pesan atau mereka bahkan bisa memodifikasi dan menambah pesan yang akan disebarkan. Mereka pun bisa menghentikan sebuah informasi da n tidak membuka “pintu gerbang” (gate) bagi keluarnya informasi yang lain.

2.1.2.3 Proses Komunikasi Massa

  Komunikassi massa berbeda dengan komunikasi tatap muka, karena sifat komunikasi massa melibatkan banyak orang, maka proses komunikasinya sangat kompleks dan rumit. Menurut McQuail (dalam Bungin, 2006: 74) proses komunikasi massa terlihat dalam bentuk:

  1. Melakukan distribusi dan penerimaan informasi dalam skala yang besar. Proses komunikasi massa dilakukan dengan mendistribusikan informasi kemasyarakat dalam skala besar, sekali siaran, pemberitaan yang disebarkan dalam jumlah yang luas dan diterima oleh massa yang besar pula.

  2. Proses komunikasi massa dilakukan searah, dari komunikator ke komunikan. Jika terjadi interaktif diantara komunikator dengan komunikan, itu sifatnya sangat terbatas. Dalam proses ini komunikatorlah yang mendominasi.

  3. Proses komunikasi massa berlangsung secara asimetris, artinya komunikasi yang terjalin bersifat datar dan sementara, tidak berlangsung lama dan permanen.

  4. Proses komunikasi massa juga berlangsung impersonal (non-pribadi) dan tanpa nama. Proses ini menjamin bahwa komunikasi massa akan sulit diidentifikasi siapa yang menjadi penggerak.

  5. Proses komunikasi massa juga berlangsung berdasarkan pada hubungan kebutuhan di masyarakat. Seperti televisi dan radio yang melakukan penyiaran, karena adanya kebutuhan masyarakat akan informasi seperti pemberitaan yang ditunggu oleh masyarakat tersebut.

  2.1.2.4 Fungsi Komunikasi Massa Berton mengemukakan, bahwa fungsi aktivitas sosial memiliki dua aspek yaitu fungsi nyata (manifest function) adalah fungsi nyata yang diinginkan, kedua fungsi tidak nyata atau bersembunyi (latent function), yaitu fungsi yang tidak diinginkan (Bungin, 2006: 78). Sehingga pada masyarakat itu memiliki efek fungsional dan disfungsional. Begitu pula dengan fungsi komunikasi massa, sebagai aktivitas sosial masyarakat, komunikasi massa juga mengalami hal yang serupa, beberapa fungsi komunikasi massa adalah sebagai berikut : 1.

  Fungsi Pengawasan Fungsi pengawasan ini bisa berupa peringatan dan kontrol sosial maupun kegiatan persuasif. Pengawasan dan kontrol sosial dapat dilakukan untuk aktivitas preventif agar mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Media massa merupakan sebuah medium dimana dapat digunakan untuk pengawasan terhadap aktivitas masyarakat pada umumnya.

  2. Fungsi Social Learning Fungsi utama dari komunikasi massa melalui media massa adalah melakukan guiding dan pendidikan sosial kepada seluruh masyarakat.

  Media massa bertugas untuk memberikan pencerahan dimana komunikasi massa itu berlangsung. Komunikasi massa digunakan agar penyampaian bisa berlangsung secara efektif dan efisien.

  3. Fungsi Penyampaian Informasi Selain penyampaian pendidikan sosial, ada lagi fungsi utama komunikasi massa yaitu menyampaikan informasi kepada masyarakat luas.

  Komunikasi massa memungkinkan informasi dari institusi publik tersampaikan kepada masyarakat dengan luas dan dalam waktu yang cepat sehingga fungsi informatif dapat tercapai dengan cepat dan singkat.

  4. Fungsi Transformasi budaya Fungsi informatif metupakan fungsi statis yang tidak bisa berubah, tapi komunikasi massa memiliki fungsi lain yang bersifat statis yaitu fungsi transformasi budaya. Fungsi transformasi budaya ini menjadi sangat penting terkait dengan fungsi-fungsi lainnya terutama fungsi sosial learning. Komunikasi massa menjadi transformasi budaya yang dilakukan secara bersama-sama dengan semua komponen komunikasi massa, yang didukung oleh media massa. Akan tetapi fungsi transformasi budaya lebih kepada tugasnya yang besar sebagai bagian dari budaya global.

  5. Fungsi Hiburan Seirama dengan fungsi-fungsi lain komunikasi massa juga digunakan sebagai medium hiburan, terutama karena komunikasi massa menggunakan media massa, jadi fungsi-fungsi hiburan yang ada pada media massa juga merupakan bagian dari fungsi komunikasi massa.

2.1.2.5 Tujuan Komunikasi Massa

  Dalam proses komunikasi pasti komunikator memiliki tujuan yang ingin disampaikan kepada komunikan setelah mendapatkan pesan. Tujuan-tujuan tersebut dapat berupa perubahan persepsi, pendapat maupun sikap (Severin & Tankard, 2008: 13). Adapun tujuan-tujuan dari komunikasi massa, yaitu : 1.

  Untuk menjelaskan pengaruh-pengaruh komunikasi massa. Pengaruh ini mungkin yang diharapkan seperti pemberitaan kepada masyarakat selama pemilihan atau yang tidak diharapkan seperti menyebabkan peningkatan kekerasan dalam masyarakat.

  2. Untuk menjelaskan manfaat komunikasi massa yang digunakan masyarakat. Melihat manfaat komunikasi massa oleh masyarakat menjadi lebih bermakna daripada melihat pengaruhnya. Pendekatan ini mengakui adanya peranan yang lebih aktif pada audiens komunikasi. Ada dua faktor yang digabung untuk memberikan tekanan yang lebih besar pada aktivitas audiens dan penggunaan komunikasi massa daripada pengaruhnya. Salah satu faktornya adalah bidang psikologi kognitif dan pemrosesan informasi. Faktor lain adalah perubahan teknologi dan komunikasi yang bergerak menuju teknologi yang semakin tidak tersentralisasi, pilihan pengguna yang lebih banyak, diversitas isi yang lebih besar dan keterlibatan yang lebih aktif dengan isi komunikasi oleh pengguna individual.

3. Untuk menjelaskan pembelajaran dari media massa.

  4. Untuk menjelaskan peranan media massa dalam pembentukan pandangan-pandangan dan nilai-nilai masyarakat. Para politisi dan tokoh masyarakat sering memahami pentingnya peran komunikasi massa dalam pembentukan nilai-nilai dan pandangan dunia seperti mengkritik acara-acara atau film yang didasarkan oleh spekulasi.

2.1.2.6 Peran Media Massa

  Komunikasi massa memerlukan media massa dalam prosesnya, Media massa adalah institusi yang berperan sebagai Agent Of change (Bungin, 2006: 85), yang merupakan pelopor perubahan. Dalam menjalankan paradigmanya media massa berperan sebagai :

  1. Sebagai institusi pencerahan masyarakat, yaitu perannya sebagai media edukasi. Media massa menjadi media yang setiap mendidik masyarakat supaya cerdas, terbuka pikirannya, dan menjadi masyarakat yang maju.

  2. Media massa menjadi media informasi, media yang setiap saat menyampaikan informasi kepada masyarakat, dengan informasi yang terbuka dan jujur.

  3. Media massa menjadi media hiburan, media massa menjadi institusi budaya, pendorong agar perkembangan budaya itu bermanfaat bagi manusia dan mencegah budaya yang justru akan merusak peradaban manusia dan masyarakatnya.

2.1.3 Iklan

2.1.3.1 Pengertian Iklan

  Iklan bukanlah media massa, tetapi ia mengandalkan pada media untuk menyampaikan pesannya. Pada awalnya, siaran iklan dipandang sebagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan operasional stasiun penyiaran. Ketika itu, pendapatan yang diterima dari iklan hanya sebatas untuk membayar listrik, perawatan peralatan dan gedung atau untuk membayar honor pekerja. Belum ada pemikiran untuk menjadikan siaran iklan sebagai sumber keuntungan. Namun lambat laun iklan telah memberikan keuntungan yang besar kepada stasiun penyiaran.

  Pesan tidak hanya disampaikan dalam komunikasi, tetapi pesan juga disampaikan lewat iklan. Iklan sebagai bentuk dari kegiatan promosi atau informasi dari perusahaan. Dalam dunia periklanan pesan yang disampaikan dalam iklan sangatlah penting dalam pencapaian tujuan iklan yang dimaksud, pemasang iklan harus memperhitungkan apa yang harus disampaikan agar mendapat tanggapan sesuai dengan yang diinginkan.

  Mengenai iklan, Wright memberikan definisi iklan seperti yang dikutip Liliweri (1992: 2) “Iklan merupakan proses komunikasi yang mempunyai kekuatan yang sangat penting, alat pemasaran yang membantu menjual barang, memberikan pelayanan serta gagasan atau ide-ide melalui saluran tertentu dalam bentuk informatif persuasif.” Menurut Effendy (2004), iklan (advertisement) adalah pesan komunikasi yang disebarluaskan kepada khalayak untuk memberikan sesuatu atau untuk menawarkan barang atau jasa dengan jalan menyewa media massa.

  Sedangkan periklanan adalah kegiatan menyebarluaskan pesan komunikasi kepada khalayak untuk memberikan sesuatu, atau untuk menawarkan barang atau jasa dengan menyewa media massa. Menurut Bovee (Sumartono, 2002: 14). iklan ialah sebagai berikut:

  “Pesan iklan ialah apa yang direncanakan perusahaan untuk disampaikan dalam iklannya dan bagaimana perencanaan penyampaian pesan itu secara verbal dan non verbal” Masyarakat periklanan Indonesia menddefinisikan iklan sebagai segala bentuk pesan tentang suatu produk yang disampaikan lewat media, ditunjukkan kepada sebagian atau seluruh masyarakat (Kasali, 1995: 11).

  Periklanan adalah komunikasi komersil dan nonpersonal tentang sebuah organisasi dan produk-produknya yang ditransmisasikan ke suatu khalayak target melalui media bersifat massa seperti radio, televise, koran, majalah, direct e-mail (pengeposan langsung), reklame luar ruang, atau kendraan umum (Lee, 2007: 3). Dengan demikian, untuk menampilkan kekuatan iklan tidak hanya sekedar menampilkan pesan verbal tetapi juga harus menampilkan pesan non-verbal yang mendukung kekuatan daya tarik iklan.

  2.1.3.2 Unsur-unsur Iklan

  Menurut Wright (Liliweri, 1992: 24) ada tiga unsur yang harus diperhatikan dalam melaksanakan iklan sebagai salah satu sarana komunikasi pemasaran, yaitu: 1.

  Informasi dikontrol meliputi isi, penggunaan waktu, tujuan dan khalayak sasaran.

  2. Teridentifikasi informasi ini dimaksudkan bahwa informasi tidak hanya dikontrol tetapi juga harus mempunyai informasi siapa sponsor yang membiayai media (ruang dan waktu) 3. Media komunikasi massa, iklan menyewa ruang dan waktu sekaligus memakai media dalam menyampaikan pesan.

  2.1.3.3 Kategori Iklan

  Menurut Vestergaard dan Schroder (Bungin, 2008: 65), iklan dikategorisasikan sebagai iklan nonkomersial dan iklan komersial.

1. Iklan komersial adalah iklan yang lebih bersifat pelayanan masyarakat.

  Iklan ini lebih banyak ditujukan sebagai sarana komunikasi pemerintah dengan warga Negara. Iklan semacam ini umpamanya iklan pemilihan umum. Tujuan iklan pelayanan masyarakat sebagai media karitas dan propaganda politik.

  2. Iklan Komersial ditandai dengan syaratnya imajinasi dalam proses pencitraan dan pembentukan nilai-nilai estetika untuk memperkuat citra terhadap objek iklan itu sendiri. Sehingga terbentuk image, semakin tinggi estetika dan citra objek iklan, maka semakin komersial objek tersebut.

2.1.4 Tagline

  Tagline dalam suatu iklan memegang peranan penting. Tagline adalah

  kalimat singkat sebagai penutup teks inti yang menyimpulkan secara singkat tujuan komunikasi suatu iklan. Tagline ini merupakan suatu ungkapan pendek berisi pesan yang padat, singkat, jelas dan mudah diingat. Tagline ini bisa disamakan dengan slogan, atau jargon dalam iklan. Penggunaan tagline ini adalah untuk memperkuat kemampuan iklan dalam mencapai sasarannya (Nuradi dkk, 1996: 56). Peran tagline dalam sebuah iklan merupakan hal yang teramat penting untuk membantu menanamkan sebuah produk yang diiklankan ke benak konsumen. Tagline merupakan sederetan kalimat yang mudah diingat dan mampu merepresentasikan keseluruhan pesan iklan dari produsen kepada konsumen, yang meliputi merek dan karakter produknya, dalam rangka penanaman konsep terhadap produk secara positif kedalam benak konsumen (Ismiati 2000: 230). Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tagline adalah bagian dari pesan yang biasanya digunakan sebagai penutup pesan agar konsumen mudah mengingat isi pesan iklan.

2.1.5 Teori 7C

  Pesan merupakan hal yang penting di dalam proses komunikasi. Pesan menurut Cultip dan Center (Ruslan, 1997: 83) dikenal dengan “The 7 C`s of Communication” antara lain sebagai berikut:

  1. Credibility Komunikasi tersebut dimulai dengan membangun suatu kepercayaan.

  Oleh karena itu, untuk membangun iklim kepercayaan itu dimulai dari kinerja, baik pihak komunikator dan pihak komunikan akan menerima pesan tersebut berdasarkan keyakinan yang dapat dipercaya, begitu juga tujuannya.

  2. Contex Suatu program komunikasi mestinya berkaitan dengan lingkungan hidup atau keadaan sosial yang tidak bertentangan dan sering dengan keadaan tertentu dan memperlihatkan sikap partisipatif.

  3. Content Pesan yang akan disampaikan itu mempuyai arti bagi audiensinya dan memiliki kecocokan dengan sistem nilai-nilai yang berlaku bagi orang banyak dan bermanfaat.

  4. Clarity Pesan dalam berkomunikasi itu di susun dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh atau mempuyai persamaan arti antara komunikator dengan komunikannya.

  5. Continuity and consistency Komunikasi tersebut merupakan suatu proses yang tidak ada akhirnya dan bervariasi, yang merupakan konstribusi fakta yang ada dengan sikap penyesuaian melalui proses belajar. Isi atau materinya harus konsisten dan tidak membingungkan audiensinya.

  6. Channel Menggunakan media sebagai saluran pesan yang setepat mungkin dan efektif dalam menyampaikan pesan yang dimaksud.

  7. Capability of audience Komunikasi tersebut memperhitungan kemungkinan suatu kemampuan dari audiensinya, yaitu melibatkan berbagai faktor adanya suatu kebiasaan. Kebiasaan membaca atau kemampuan menyerap ilmu pengetahuan dan sebagainya.

2.1.6 Disonansi Kogniti

  Teori disonansi kognitif dikemukakan oleh Leon Festinger (1975). Teori disonansi beranggapan bahwa dua elemen pengetahuan “merupakan hubungan yang disonan (tidak harmonis) apabila, dengan mempertimbangkan dua elemen itu sendiri, pengamatan satu elemen akan mengikuti elemen satunya”. Sebagaimana teori-teori konsistensi lainnya, teori ini berpendapat bahwa disonansi, “karena secara psikologis tidak nyaman, maka akan memotivasi seseorang untuk berusaha mengurangi disonansi dan mencapai harmoni/keselarasan” dan “selain upaya itu orang juga akan secara aktif menolak situasi-situasi dan informasi yang sekiranya akan meningkatkan disonansi (Taylor, Peplau, & Sears, 2009: 171) . Pandangan dasar dari teori ini adalah jika seseorang mempunyai dua kognisi (ide-ide dan pikiran

  • – pikiran) secara simultan dan saling berkontradiksi, maka orang tersebut akan mengalami disonansi kognitif. (Dayaksini dan Hudaniah, 2003: 104).

  Dissonance (disonansi, ketidaksusaian) didefenisikan sebagai keadaan

  motivasional aversif yang terjadi saat beberapa perilaku yang kita lakukan tidak konsisten dengan sikap kita. Disonansi selalu muncul terutama jika sikap dan perilaku yang tak selaras itu adalah penting bagi diri kita (Aronson, 1968; Stone & Cooper, 2001 dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009: 171).

  Disonansi menimbulkan ketegangan psikologis dan perasaan negatif (Harmon-Jones, 2000 dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009: 171) dan konsekuensinya, orang terpaksa mesti mereduksi atau menghilangkan disonansi.

  Mereduksi disonansi berarti pula memulihkan konsistensi, atau kesesuaian. Terkadang seseorang tidak memperdulikan adanya disonansi sehingga dia tidak merasa harus mengubah sikap (Simon, Greenberg, & Brehm, 1995 dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009: 171). Tetapi yang paling sering, orang memecahkan problem disonansi antara sikap dan perilakunya dengan cara mengubah sikap.

  Para periset telah mengkaji implikasi teori disonansi ini dalam beberapa situasi yang berbeda (Taylor, Peplau, & Sears, 2009: 171).

  Disonansi Setelah Keputusan. Salah satu tindakan yang hamper selalu

  menimbulkan disonansi adalah pengambilan keputusan. Ketika kita harus memilih dua atau lebih alternatif, pilihan akhir kita biasanya tak konsisten (tidak sesuai) dengan setidaknya beberapa keyakinan kita. Setelah kita mengambil keputusan, semua aspek yang baik dari alternatif yang tidak dipilih dan semua aspek buruk dari alternative yang dipilih adalah tidak konsisten dengan keputusan. Kita bisa mengurangi disonansi ini dengan menaikkan evaluasi kita terhadap alternatif yang dipilih atau menurunkan evaluasi kita terhadap alternatif yang tak dipilih. Setelah membuat keputusan, kita cenderung memperbesar rasa suka kita terhadap apa yang telah kita pilih dan menurunkan rasa suka kita terhadap apa-apa yang tidak kita pilih.

  Perilaku yang Bertentangan Dengan Sikap. Beberapa orang memilih

  kuliah di fakultas hukum karena mereka percaya bahwa mereka bisa membantu orang yang membutuhkan dan miskin dan memperbaiki masyarakat. Tetapi, saat mereka sudah bekerja, banyak dari mereka yang hanya mengerjakan pekerjaan rutin dan tak menarik, yang lebih berhubungan dengan kontrak bisnis dan pajak. Banyak orang yang pada awalnya idealis akhirnya menjustifikasi dan bahkan menikmati pekerjaan mereka itu. Mereka bahkan mulai percaya bahwa tak ada yang bisa dilakukan untuk membantu orang miskin. Ketika seseorang punya satu keyakinan dan melakukan tindakan yang tidak konsisten dengan keyakinan itu, maka akan timbul disonansi. Teori disonansi menyatakan bahwa para sarjana hokum dalam contoh di atas melakukan attidude-

  discreapant behavior (perilaku yang berbeda dengan sikap) saat mereka harus menghabiskan banyak waktu melakukan kerja yang menjemukan.

  Tetapi keharusan ini menimbulkan disonansi: Perilaku mereka menjadi tidak konsisten (tak sesuai) dengan sikap mereka. Karena sulit untuk mundur dari pekerjaan itu, maka disonansi ini biasanya diredakan dengan mengubah sikap. Seiring dengan berjalannya waktu, para ahli hokum itu akan menyesuaikan sikapnya menjadi lebih konsisten dengan perilakunya.

  Justifikasi yang Tak Mencukupi. Jika Anda diminta bekerja dalam

  sebuah upaya kampanye politik dan Anda menghabiskan banyak waktu untuk mendukung seorang kandidat politik yang kurang Anda percayai, maka berarti Anda mulai memandang kandidat itu secara lebih positif. Jika tidak, mengapa anda bekerja keras untuknya? Namun, jika anda bekerja untuknya karena mendapat bayaran yang besar, maka barangkali sikap Anda tidak akan berubah. Dalam hal ini, jika Anda ditanya mengapa Anda mau bekerja keras untuknya, maka jawaban Anda jelas: “Karena bayarannya besar”. Prediksi yang paling menarik dari teori disonansi adalah prediksi yang berkaitan dengan level insentif yang dibutuhkan untuk mengubah sikap. Di satu sisi, harus ada cukup insentif untuk membuat seseorang bertindak berlawanan dengan sikapnya. Tetapi, jika ada terlalu banyak tekanan pada individu atau terlalu banyak insentif untk melakukan tindakan yang bertentangan dengan sikap, maka tidak akan timbul inkonsistensi, dan hanya ada sedikit sekali disonansi yang terjadi. Prinsip ini dinamakan insufficient justification (justifikasi yang tidak mencukupi): Semakin sedikit insentif untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan sikap, semakin besar disonansi yang dirasakan. Perubahan sikap melalui metode ini akan lebih besar dan lebih jelas (Stadler & Baron, 1998 dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009: 174).

  Ancaman. Pada prinsipnya, ancaman bekerja seperti insentif. Yakni agar

  orang ma melakukan pekerjaan yang tidak disukainya, Anda bisa membayarnya atau Anda bisa mengancamnya dengan hukuman. Misalnya ada ancaman denda dan hukuman penjara jika anda tidak mau membayar pajak. Makin besar ancaman maka akan menimbulkan semakin sedikit disonansi dan semakin kecil perubahan sikap yang terjadi. Makin besar ancaman akan menimbulkan lebih sedikit disonansi dan semakin kecil perubahan sikap yang terjadi. Ada 4 faktor yang diperlukan agar perilaku yang bertentangan dengan sikap menghasilkan disonansi (Festinger dan Carlsmith menyebutnya dengan “the

  induced compliance paradigm”)( Taylor, Peplau, & Sears, 2009: 174) : 1.

  Pilihan, yaitu jika individu tidak diberi kebebasan untuk memilih dalam menampilkan perilaku yang bertentangan dengan sikapnya, maka disonansi tak akan timbul.

  2. Komitmen, yaitu perilaku yang bertentangan dengan sikap lebih mungkin menghasilkan disonansi jika individu secara psikologis memiliki komitmen terhadap tindakan itu. Dengan demikian jika perilaku itu dilakukan di depan publik maka akan lebih menimbulkan disonansi daripada dilakukan secara pribadi atau tanpa diketahui orang-orang lain.

3. Akibat yang tidak menyenangkan sebagai hasil dari perilaku yang bertentangan dengan sikapnya dapat menimbulkan disonansi.

  4. Tanggung jawab pribadi, yaitu agar disonansi terjadi, individu seharusnya merasa bertanggung jawab secara pribadi kepada perilakunya dan beberapa akibat yang tak menyenangkan sebagai hasilnya. Kebebasan memilih adalah salah satu komponen dari tanggung jawab, sebab jelas bahwa orang tak akan bertanggung jawab atas sesuatu yang dipaksa diri mereka untuk melakukannya.

  Agar dapat memahami lebih dalam 4 faktor di atas maka lebih lanjut akan dijelaskan di bawah ini (Taylor, Peplau, & Sears, 2009: 174) :

  Pilihan. Kontributor utama terjadinya disonansi adalah perasaan tentang menimbulkan disonansi hanya ketika perilaku itu dipilih secara bebas (atau setidaknya orang itu merasa bebas memilih perilaku). Jika anda bekerja untuk mengampanyekan satu isu politik karena ikut dengan teman- teman anda dan anda merasa terpaksa melakukannya maka anda tidak akan merasakan disonansi terhadap isu itu.

  Komitmen. Faktor lain yang menimbulkan perubahan perilaku sebagai

  cara untuk mereduksi disonansi adalah commitment (komitmen) seseorang terhadap keputusan atau perilaku. Selama kita merasa terikat dengan suatu tindakan, disonansi akan menimbulkan perubahan sikap. Namun, ketika kita merasa bahwa kita dapat mengubah keputusan kita jika keputusan itu ternyata buruk, atau kita dapat menjalankan keputusan itu dengan setengah hati, atau kita bias tidak perlu menjalankan keputusan, maka disonansi tidak akan terjadi dan tidak aka nada perubahan sikap.

  Akibat yang tidak menyenangkan / konsekuensi. Agar disonansi terjadi,

  orang harus percaya bahwa mereka bias mengetahui konsekuensi negatif dari keputusan. Jika seseorang memutuskan berjalan di sisi kiri jalan dan saat berjalan tiba-tiba ada batu bata menimpa kepalanya, maka berarti dia sedang sial. Dia tidak akan merasakan disonansi. Tetapi, jika dia tahu bahwa ada kemungkinan nanti dia akan celaka jika lewat jalan itu, misalnya karena di sisi kiri jalan itu ada proyek pembangunan gedung, maka ada kemungkinan muncul disonansi.

  Tanggung jawab. Arti penting dari pilihan adalah pilihan mengamsusikan

  tanggung jawab atas konsekuensi yang mungkin terjadi. Perasaan tanggung jawab ini akan menimbulkan disonansi. Yakni, ketika kita memilih sesuatu yang ternyata berakibat buruk, kita merasa bertanggung jawab karenanya, dan muncul disonansi, terlepas dari apakah konsekuensi itu bisa diperkirakan atau tidak. Beberapa psikolog berpendapat bahwa tanggung jawab personal atas konsekuensi yang buruk adalah salah satu faktor penting dalam memicu perubahan sikap. Dalam disonansi kognitif elemen-elemen yang dipermasalahkan mungkin adalah tidak relevan satu sama lain, konsisten satu sama lain (dalam istilah

  Festinger, harmoni), atau tidak konsisten satu sama lain (disonan/tidak harmonis, dalam istilah Festinger). Hubungan tidak selalu dikaitkan secara logis dengan konsistensi atau inkonsistensi. Suatu hubungan bisa saja secara logis konsisten bagi seorang pengamat sedangkan secara psikologis konsisten bagi seorang yang percaya pada pengamatan ini. Misalnya, seorang perokok yang mengerti bahwa merokok dapat mengakibatkan sakit paru- paru. Kognisi : “saya seorang perokok”, tidak sesuai dengan kognisi “merokok dapat menyebabkan kanker paru-paru”, karena itu membuat keadaan disonansi.

  Disonansi menghasilkan suatu ketegangan psikologis yang mendorong seseorang mengurangi disonansi tersebut. Pengurangan disonansi dapat melalui tiga cara : 1.

  Mengubah elemen tingkah laku Misalnya, seorang perokok yang mengetahui bahaya merokok yang dapat mengakibatkan kanker paru-paru, maka untuk menghilangkan disonansi perokok itu berusaha tidak merokok lagi.

  2. Mengubah elemen kognitif lingkungan Misalnya, perokok itu menyakinkan teman-temannya/ saudara-saudaranya bahwa merokok itu tidak akan menyebabkan kanker paru-paru.

  3. Menambah elemen kognitf baru Misalnya, mencari pendapat teman lain yang mendukung pendapat bahwa merokok tersebut tidak akan menyebabkan kanker paru-paru.

2.2 Kerangka Konsep

  Di dalam penelitian kuantitatif, menjelaskan suatu konsep penelitian merupakan hal yang penting karena konsep penelitian ini merupakan kerangka acuan peneliti dalam mendesain sebuah instrument penelitian (Bungin, 2011: 67).

  Di dalam penelitian ilmiah konsep harus memiliki kriteria yang tepat dalam menjelaskan variabel penelitian. Konsep yang bermanfaat adalah konsep yang dibentuk menjadi keterangan dan menyatakan sebab akibat, yaitu konsep dibentuk dengan kebutuhan untuk menguji hipotesis dan penyusunan teori yang masuk akal, karena konsep dibentuk hanya untuk diuji regulasinya (Bungin 2008: 75).

  Kerangka konsep merupakan acuan didalam sebuah penelitian yang berasal dari teori-teori yang digunakan untuk menjelaskan dari variabel penelitian secara empiris.

  Berdasarkan operasional konsep penelitian, terdapat tiga variabel yang digunakan yaitu sebagai berikut:

1. Variabel bebas (X) / Independent Variable

  Variabel bebas yaitu segala gejala, faktor atau unsur yang menentukan atau mempengaruhi munculnya variabel kedua yang disebut sebagai variabel terikat (Nawawi, 1995: 57). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah perubahan tagline peringatan di iklan rokok.

  2. Variabel terikat (Y) / Despendent Variable Variabel terikat yaitu variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas (Bungin, 2011: 72). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah perilaku merokok mahasiswa di FISIP USU.

  3. Variabel antara (Z) Variabel antara adalah variabel yang menjembatani atau menghubungkan variabel bebas dan variabel terikat. Variabel antara pada penelitian ini adalah karakteristik responden yang meliputi usia, departemen/jurusan kuliah responden, jenis kelamin, tingkat ekonomi (dalam penelitian ini adalah uang saku per bulan), agama, suku, tempat tinggal di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

  

Gambar 1

Model Teoritis

Variabel Bebas (X) Variabel Terikat (Y)

Perubahan tagline Perilaku merokok

peringatan di iklan rokok mahasiswa

Variabel Antara (Z)

  

Karakteristik Respoden:

  1. Departemen/Jurusan kuliah.

  2. Usia

  3. Jenis kelamin

  4. Uang saku per bulan

  5. Agama

  6. Tempat tinggal Sumber: Peneliti, 2014

2.3 Variabel Penelitian

  Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep yang telah diuraikan diatas, maka untuk memudahkan penelitian, perlu dibuat variabel penelitian sebagai berikut :

  

Tabel 1

Variabel Penelitian

Variabel Teoritis Variabel Operasional

  Variabel Bebas (X)  Context Perubahan tagline peringatan di iklan rokok  Content Clarity Continuity and consistency

   Chanels  Frekuensi Variabel Terikat (Y)  Kuantitas Perilaku merokok mahasiswa  Kebutuhan  Ketergantungan Variabel Antara (Z)  Usia Karakteristik responden  Departemen/Jurusan  Jenis Kelamin  Uang saku  Agama  Tempat tiggal

  Sumber: Peneliti, 2014

2.4 Definisi Operasional

  Pada bagian ini, peneliti harus mampu membuat hubungan antara konsep abstrak dengan dunia empiris melalui observasi dengan menggunakan berbagai instrumen.

  Definisi operasional merupakan penjabaran lebih lanjut tentang konsep yang telah dikelompokkan dalam kerangka konsep. Definisi operasioanl adalah suatu petunjuk pelaksanaan mengenai cara-cara untuk mengukur suatu variabel. Dengan kata lain, definisi operasional adalah daftar informasi yang amat ilmiah yang membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama (Singarimbun, 2008: 46). Definisi Operasional dari variabel-variabel penelitian ini adalah:

1. Variabel Bebas (X) yaitu perubahan peringatan tagline di iklan rokok : a.

  Context, sejauh mana pesan dari tagline peringatan di iklan rokok tersebut dapat di terima akal dan kontekstual.

  b.

  Content, makna dari tagline peringatan di iklan rokok tersebut. c.

  Clarity, bahasa pesan pada tagline peringatan di iklan rokok jelas dan dimengerti.

  d. and consistency, frekuensi penayangan dan Continuity kesinambunganpesan pada tagline peringatan di iklan rokok sehingga khalayak dapat terus mengikutinya.

  e.

  Channels, merupakan media dimana khalayak dapat melihat pesan tagline peringatan di iklan rokok.

  2. Variabel Terikat (Y) minat merokok mahasiswa: a. Frekuensi, merupakan tingkat keseringan mahasiswa merokok.

  b. Kuantitas, merupakan banyaknya rokok yang dikonsumsi mahasiswa.

  c. Kebutuhan, kebutuhan mahasiswa akan rokok.

  d. Ketergantungan, rasa ketergantungan mahasiswa terhadap rokok.

  3. Variabel Antara (Z) berisi keterangan mengenai karakteristik responden : a.

  Departemen/Jurusan, pengelompokkan bidang akademik responden b.

  Usia, merupakan satuan waktu yang digunakan untuk mengukur keberadaan makhluk hidup.

  c.

  Jenis Kelamin, kelas yang terdiri dari pria dan wanita.

  d.

  Uang Saku, nominal finansial yang dimiliki oleh responden e. Agama, keyakinan masing-masing responden f. Tempat Tinggal, tempat responden berdiam/tinggal

2.5 Hipotesis

  Menurut Webster’s New World Dictionary (Kriyantono, 2010: 28) hipotesis adalah teori, proposisi yang belum diterima dan terbukti secara tentatif untuk menjelaskan fakta-fakta atau menyediakan dasar untuk melakukan investigasi atau menyatakan argumentasi.

  Menurut Good dan Hatta (Rakhmat 2012: 15) hipotesis yang baik yang harus jelas secara konseptual, mempunyai rujukan yang empiris, bersifat spesifik, dihubungkan dengan teknik penelitian yang ada dan harus berkaitan dengan suatu teori. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H : Ada pengaruh antara perubahan tagline peringatan di iklan rokok di

  ₐ televisi terhadap perilaku merokok mahasiswa di FISIP USU.

  H : Tidak ada pengaruh antara perubahan tagline peringatan di iklan rokok di

  ₒ televisi terhadap perilaku merokok mahasiswa di FISIP USU.