BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Partisipasi Masyarakat Terhadap Kebrhasilan Program Desa Mandiri Pangan di Kota Subulussalam

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Hak atas pangan telah diakui secara formal oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Akhir -akhir ini isu pangan sebagai hal asasi semakin gencar disuarakan di berbagai forum dunia, tak kurang tema Hari Pangan Sedunia tahun 2007 adalah tentang Hak Atas Pangan. Ketahanan Pangan juga sudah ditetapkan menjadi urusan wajib bagi pemerintahan pusat, propinsi dan kabupaten/kota yang semakin menegaskan pentingnya pembangunan ketahanan pangan dilakukan secara lebih serius. Krisis pangan dan finansial dunia pada tahun 2008 juga semakin menegaskan pentingnya penguatan ketahanan pangan di Indonesia yang berbasis pada kemandirian.

  Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDGs) yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator, menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Dua dari lima indikator sebagai penjabaran tujuan pertama MDGs adalah menuru nnya prevalensi gizi kurang pada anak balita dan menurunnya jumlah penduduk dengan defisit energi (mengkonsumsi energi kurang dari 70% kebutuhan untuk hidup sehat).

  Tujuan pertama Millenium Development Goals (MDGs) untuk menurunkan kelaparan dan kemiskinan serta Kesepakatan Gubernur dalam Konferensi Dewan Ketahanan Pangan tahun 2006 untuk menurunkan kelaparan dan kemiskinan sekurangnya satu persen per tahun perlu ditindaklanjuti dengan penyusunan

  1 strategi dan kebijakan untuk mewujudkan komitmen internasional menurunkan kelaparan dan kurang gizi hingga setengah dari kondisi tahun 1990. Untuk mencapai hal itu diperlukan upaya yang fokus, terus menerus secara terintegrasi dan melibatkan peranan yang kuat dari pemerintah bekerjasama dengan masyarakat dan sektor swasta.

  Sebagai negara dengan penduduk besar dan wilayah yang sangat luas, ketahanan pangan merupakan agenda penting di dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Kejadian rawan pangan menjadi masalah yang sangat sensitif dalam dinamika kehidupan sosial politik Indonesia. Menjadi sangat penting bagi Indonesia untuk mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional, wilayah, rumahtangga dan individu yang berbasiskan kemandirian penyediaan pangan domestik. Kemandirian ini semakin penting ditengah kondisi dunia yang mengalami krisis pangan, energi dan finansial yang ditandai dengan harga pangan internasional mengalami lonjakan drastis; meningkatnya kebutuhan pangan untuk energi alternatif (bio-energi); resesi ekonomi global yang berakibat semakin menurunnya daya beli masyarakat terhadap pangan; (d) serbuan pangan asing (westernisasi diet) berpotensi besar penyebab gizi lebih dan meningkatkan ketergantungan pada impor.

  Masih cukup tingginya proporsi penduduk rawan konsumsi pangan menunjukkan pencapaian kondisi ketahanan pangan pada tingkat nasional atau wilayah masih belum menjamin tercapainya tingkat ketahanan pangan di rumah tangga dan individu. Masalah distribusi dan mekanisme pasar yang berpengaruh terhadap harga dan daya beli rumah tangga serta masih tingginya tingkat kemiskinan dan rendahnya tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi sangat berpengaruh kepada konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah tangga.

  Menurut Dewan Ketahanan Pangan (2009) pada tahun 2008 prevalensi terendah ditemukan di Propinsi Bali (1.9%) dan tertinggi di Papua Barat. Propinsi - propinsi dengan prevalensi sangat rawan pangan <10% pada tahun 2008 selain Bali adalah Lampung (7.4%), Sumbar (7.4%), Sulut (8.3%), BaBel (8.3%) Sumut (8.4%), Jambi (8.5%), Kepri (9.0%) , Banten (9.1%), Kalteng (9.1%), Jabar (9.3%) dan NAD (9.7%). Sementara itu propinsi dengan prevalensi diatas20% selain Papua Barat adalah DIY (20.1%), Maluku (20.4%), Kaltim (21.0%), Papua (25.5%).

  Untuk meningkatkan ketahanan pangan di Provinsi Aceh, pemerintah akan melakukan tiga strategi untuk meraih ketahanan pangan diantaranya melalui peningkatan nilai tambah dan daya saing kualitas produk pertanian, pengembangan komoditi unggulan sesuai spesifik lokasi, serta penguatan kelembagaan petani. Khusus untuk peningkatan produk dan produktivitas pertanian, pemerintah Provinsi Aceh memfokuskan pada intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, untuk kegiatan intensifikasi akan difokuskan pada pembaikan teknik budidaya, penerapan teknologi, peningkatan SDM serta pengendalian hama.

  Jika kita lihat data dari sub sektor pertanian pangan padi dari tahun 1980 sampai tahun 2009, perkembangan rata-rata luas panen hanya 2,22 persen, sedangkan rata-rata perkembangan produksi hanya 1,01 persen (BPS Aceh 2011, Data diolah). Kondisi seperti ini masih sangat belum mendukung program pemerintah menjadikan Aceh sebagai lumbung pangan nasional karena tingkat pertumbuhan rata-rata produksi yang begitu lamban, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan untuk tingkat nasional di tahun-tahun mendatang.

  Kota Subulussalam merupakan sebuah kota di Provinsi Aceh yang sebagian besar penduduknya adalah petani. Jumlah penduduk Kota Subulussalam yang hidup di bawah garis kemiskinan hingga kini mencapai 18.050 jiwa atau 26.80 persen dari total penduduk 69 ribu jiwa. Prmasalahan utama yang dihadapi Kota Subulussalam adalah masih tingginya penduduk miskin, dimana jumlah penduduk miskin mencapai 18.050 jiwa atau 26.80 persen dari total penduduk 69 ribu jiwa. Penduduk miskin tersebut berpotensi mengalami kerentanan pangan karena belum mampu mengkosumsi pangan yang cukup dan berkelanjutan.

  Apabila kondisi tersebut tidak segera diatasi akan berdampak langsung pada rendahnya status gizi, kualitas fisik dan tingkat intelegensia di masyarakat. (BPS Aceh, 2011). Untuk mengatasi masalah rawan pangan di kota Subulussalam, Pemerintah terus berupaya mengembangkan perkebunan dan pertanian rakyat dengan cara mengalokasikan bantuan bibit melalui dana APBN, APBK, dan Otonomi khusus (Otsus) tahun 2011.

  Penduduk miskin memiliki resiko tinggi dan rentan mengalami kerawanan pangan. Apabila program-program pemantapan ketahanan pangan kurang memperhatikan kelompok ini maka akan berdampak meningkatkan kemiskinan/kerawanan pangan dan status gizi yang rendah. Kerawanan pangan terjadi manakala rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidakcukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para individu anggotanya. Kerawanan pangan dibedakan atas kerawanan kronis, yaitu yang terjadi terus menerus karena ketidakmampuan membeli atau memproduksi pangan sendiri, dan kerawanan sementara yang terjadi karena kondisi tak terduga seperti bencana alam.

  Kerawanan pangan, apabila terjadi terus menerus, akan berdampak pada penurunan status gizi dan kesehatan. Berdasarkan uraian diatas maka salah satu fokus pembangunan pada saat ini diarahkan pada penanganan masalah kerawanan pangan dan kemiskinan dengan jalan meningkatkan ketahanan pangan. Sejalan dengan hal tersebut, salah satu program pembangunan ketahanan pangan masyarakat adalah penurunan tingkat kemiskinan pedesaan dan pemenuhan kebutuhan pangan sampai tingkat rumah tangga. Ketahanan pangan diwujudkan bersama oleh masyarakat dan pemerintah, serta dikembangkan mulai tingkat rumah tangga. Bila setiap rumah tangga sudah mencapai ketahanan pangan maka ketahanan pangan masyarakat, daerah, dan nasional akan tercapai.

  Salah satu upaya untuk mengatasi masalah kerawanan pangan dan kemiskinan di pedesaan adalah melalui Program Desa Mandiri Pangan. Desa Mandiri Pangan adalah desa yang masyarakatnya mempunyai kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi sehingga dapat menjalani hidup sehat dan produktif dari hari kehari, melalui pengembangan sistem ketahanan pangan yang meliputi subsistem ketersediaan, subsistem distribusi, dan subsistem konsumsi dengan memanfaatkan sumberdaya setempat secara berkelanjutan. Upaya tersebut dilakukan melalui proses pemberdayaan masyarakat untuk mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternatif peluang dan pemecahan masalah serta mampu mengambil keputusan untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara efisien dan berkelanjutan sehingga tercapai kemandirian.

  Program aksi desa mandiri pangan perlu ditumbuh kembangkan dalam upaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi, sehingga dapat menjalani hidup sehat dan produktif secara ber- kelanjutan. Sasaran program aksi desa mandiri pangan adalah rumah tangga miskin, dengan tujuan meningkatkan kemandiriannya, peran dan fungsi masyarakat desa, mengambangkan sistem ketahanan pangan, pendapatan ekonomi dan aksesibilitas masyarakat di desa mandiri pangan. Dengan program desa mandiri pangan diharapkan berkembang usaha ekonomi produktif, kelompok- kelompok masyarakat, berfungsinya kelembagaan layanan masyarakat, tersedia- nya pangan yang cukup serta distribusi pangan yang memadai. Disamping itu, tersedianya stok pangan yang cukup, beragam, bergizi, seimbang dan aman.

  Program Desa Mandiri Pangan (Demapan) dilaksanakan selama 4 (empat) tahap berturut-turut melalui 4 tahapan pelaksanaan yaitu: tahap persiapan, penumbuhan, pengembangan dan kemandirian. Tiap tahapan memuat berbagai macam kegiatan dengan waktu pelaksanaan tiap tahapan adalah selama satu tahun.

  Kegiatan difokuskan di daerah rawan pangan dengan mengimplementasikan berbagai model pemberdayaan masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan yang telah ada di tingkat desa dengan melibatkan seluruh partisipasi masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menempatkan tenaga pendamping di setiap desa pelaksana selama empat tahun berturut-turut mulai dari tahap persiapan, penumbuhan, pengembangan dan kemandirian (Pedoman

  Operasional Aksi Desa Mandiri Pangan, 2011).

  Pembiayaan operasional program aksi desa mandiri pangan bersumber dari dana yang berasal dari APBN, APBD Propinsi, APBD Kabupaten, serta alokasi dana yang ada di masing-masing instansi lintas sektoral yang pemanfaatannya untuk mendukung program pembangunan pedesaan. Dana APBN yang berasal dari Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian dialokasikan di tingkat pusat, propinsi (dana dekonsentrasi), dan kabupaten (dana tugas pembantuan). Untuk mendukung operasional kegiatan program aksi desa mandiri pangan, maka Propinsi diwajibkan mengalokasikan dana APBD propinsi minimal sebesar 20% dari dana dekonsentrasi propinsi, sedangkan kabupaten diwajibkan mengalokasikan dana APBD kabupaten minimal sebesar 20% dari dana tugas pembantuan kabupaten. Sedangkan dukungan dana pembangunan wilayah pedesaan untuk program aksi desa mandiri pangan yang berasal dari instansi lintas sektoral diatur menurut ketentuan yang berlaku di masing-masing instansi.

  Partisipasi masyarakat ini dapat diartikan sebagai keikutsertaan, keterlibatan dan kebersamaan anggota masyarakat dalam suatu kegiatan tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung. Keterlibatan tersebut dimulai dari gagasan, perumusan kebijaksanaan, hingga pelaksanaan program. Partisipasi secara langsung berarti anggota masyarakat tersebut ikut memberikan bantuan tenaga dalam kegiatan yang dilaksanakan. Partisipasi tidak langsung berupa bantuan keuangan, pemikiran dan materi yang dibutuhkan. Partisipasi juga sering diartikan sebagai sumbangan dana, material, tanah atau tenaga pada suatu programatau kegiatan pembangunan yang belum tentu dikehendaki atau menjadi prioritas masyarakat tersebut, karena prakarsa dan rencana datang dari luar atau atas. Partisipasi semacam ini dapat diterima masyarakat sebagai suatu beban (Kuswartojo, 1993) Berdasarkan Sutrisno (1995), dalam pembangunan partisipatif maka peran pemerintah pada umumnya sebagai fasilitasi terhadap jalannya proses pemberdayaan masyarakat dengan baik. Fasilitasi tersebut dapat berupa kebijakan politik, kebijakan umum, kebijakan sektoral maupun batasan- batasan normatif lain. Disamping itu fasilitasi dapat berupa tenaga ahli, pendanaan, penyediaan teknologi dan tenaga terampil. Peran swasta pada segi operasionalisasi dan implementasi, kontribusi tenaga ahli, tenaga terampil maupun dana, alat atau teknologi. Sedangkan peran masyarakat pada umumnya sebagai partisipasi dalam formulasi, implementasi, monitoring dan evaluasi.

  Selanjutnya sasaran wilayah Program Aksi Desa Mandiri Pangan di Kota Subulussalam yang merupakan desa rawan pangan serta mempunyai potensi penyebab rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Seleksi sasaran lokasi didasarkan atas pemetaan daerah rawan pangan FIA (Food Insecurity Atlas) tahun 2011 dengan data Sistem Kerawanan Pangan dan Gizi (SKPG) warna merah adalah lokasi sasaran. Proses penetapan lokasi dan tahapan pelaksanaan program pembangunan yang dilakukan masih bersifat top-down. Artinya Program Desa Mandiri Pangan di Kota Subulussalam berasal dari pemerintah, sedangkan partisipasi masyarakat sebagai masukan untuk mendapatkan dukungan pelibatan masyarakat belum sepenuhnya muncul. Dalam hal ini partisipasi masyarakat setempat belum secara maksimal diperhatikan dalam penetapan lokasi dan operasional pelaksanaan Program Desa Mandiri Pangan di Kota Subulussalam. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian mengenai pengaruh partisipasi masyarakat terhadap Program Desa Mandiri Pangan, sehingga dapat direkomendasikan suatu pelaksanaan Program Desa Mandiri Pangan yang perlu dilakukan.

  1.2. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang, permasalahan yang dikaji penelitian ini adalah 1. Apakah ada pengaruh faktor karakteristik (umur, pendidikan dan pendapatan) terhadap partisipasi masyarakat ?

  2. Apakah ada pengaruh partisipasi masyarakat (aspek sosialisasi, aspek perencanaan, aspek pelaksanaan dan aspek pemanfaatan) terhadap keberhasilan program desa mandiri pangan ?

  1.3.Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui dan menganalisis pengaruh faktor karakteristik (umur, pendidikan, dan pendapatan) terhadap partisipasi masyarakat.

  2. Mengetahui pengaruh partisipasi masyarakat (aspek sosialisasi, aspek perencanaan, aspek pelaksanaan dan aspek pemanfaatan) terhadap keberhasilan program desa mandiri pangan.

  1.4. Manfaat Penelitian

  Mannfaat penelitian ini antara lain adalah: 1. Bagi Pemerintah Kota Subulussalam, dapat dijadikan masukan dalam meningkatkan pasrtisipasi masyarakat dalam kegiatan yang berada di tingkat desa.

  2. Bahan masukan bagi kepala desa dan lembaga pemberdayaan masyarakat serta tokoh masyarakat dalam membuat kebijakan pengguna dana bantuan desa mandiri pangan yang bermanfaat bagi masyarakat di Kota Subulussalam.

  3. Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lain tentang partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa