KEARIFAN LOKAL Pierre Gosal Kiriml

Seminar Nasional ‘ Kota Hijau Pesisir Tropis ‘

Kearifan Lokal Masyarakat Minahasa
Membangun Rumah Tinggal Yang Hijau Dan Nyaman
Pierre H. Gosal(1)
(1)

Saf Pengajar pada Jurusan Arsitektur – Fakultas Teknik, Univesitas Sam Ratulangi. Jln. Kampus Bahu – Manado 95115

Abstrak
Membangun rumah tinggal adalah bagian kebudayaan. Dari sejarah Masyarakat Minahasa dapat
diketahui bahwa Rumah Kayu Minahasa adalah rumah yang hadir sebagai idea asli Orang
Minahasa. Rumah Kayu Minahasa telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Paper
mengkaji bagaimana rumah ini dipandang dari sisi ‘hijau’ dan ‘nyaman’. Rumah Kayu Minahasa
dapat digolongkan dalam 2 kategori yaitu Rumah Tradisional dan Rumah Biasa. Dari kriteria yang
ada, Rumah Tradisional maupun Rumah Biasa di Minahasa, memenuhi syarat untuk
dikategorikan sebagai Bangunan Hijau. Penggunaan kayu sebagai material bangunan yang
merupakan faktor utama yang membuat rumah ini menjadi bangunan hijau karena kayu adalah
satu-satunya renewable material bangunan lokal. Baik Rumah Tradisional dan Rumah Kayu
memenui pesyaratan kenyamanan di Indonesia.
Kata-kunci: minahasa, rumah tinggal, tradisional, hijau, nyaman


Pendahuluan
Masyarakat Minahasa saat ini menempati
rumah dalam berbagai bentuk dan jenis.
Sebagaimana perjalanan waktu, dan semakin
maju teknologi terutama dalam teknologi
informatika telah merembet jauh dalam
pemikiran manusia sampai pada cara-cara
membangun rumah baik model, penggunaan
material dan cara membangun.
Dengan
melihat-lihat internet, televisi dan mediamedia lainnya, manusia meniru-niru bentukbentuk bangunan rumah di daerah lain baik
dalam maupun luar negeri dan seringkali itu
dilakukan tanpa berpikir, sehingga terciptalan
dunia sekarang dimana rumah bergaya
eropah, spanyol dan lain-lain. Dalam banyak
hal, rumah-rumah hasil meniru ini justru tidak
memberikan kenyamanan pada penghuninya.
Dalam paper ini, akan dikaji idea original
masyarakat Minahasa sejak aman dahulu

sampai saat ini dalam membangun rumah
tinggal yang terbuat dari material kayu. Hal ini
dapat dikatakan sebagai bagian dari budaya
karena kebudayaan dapat berupa (1) ideas,

(2) activities, (3) artifacts ( Honigman J.J
dalam The World of Man, Herper & Brother,
1959).
Lebih
jelas
lagi
dengan
Koentjaraningrat dalam Pengantar Ilmu
Anthropologi 1986, yang mengatakan bahwa
sistem nilai budaya merupakan tingkat yang
paling tinggi dan paling abstrak dari adat
istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai-nilai
budaya
itu
merupakan

konsep-konsep
mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran
sebagian besar warga masyarakat mengenai
apa yang mereka anggab bernilai, berharga,
penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi
sebagai suatu pedoman yang memberi arah
dan orientasi kepada kehidupan pada warga
masyarakat tadi.
Membangun rumah tinggal merupakan bagian
kebudayaan. Dan dari sejarah Masyarakat
Minahasa dapat diketahui bahwa Rumah Kayu
adalah rumah yang hadir sebagai idea asli
Orang
Minahasa.
Rumah
kayu
telah
mengalami perkembangan dari waktu-ke
waktu. Dan paper ini akan mengkaji
bagaimana rumah ini dipandang dari sisi

“hijau” dan “nyaman” yang bila hal itu

Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia / September 2013 | 1

Seminar Nasional ‘ Kota Hijau Pesisir Tropis ‘

ternyata memiliki unsur kebenaran maka inilah
Kearifan Lokal Masyarakat Minahasa. Karena
menurut Antariksa dalam makalahnya berjudul
Kearifan Lokal dalam Arsitektur Perkotaan dan
Lingkungan Binaan Tahun 2011, kearifan lokal
merupakan suatu gagasan konseptual yang
hidup dalam masyarakat, tumbuh dan
berkembang secara terus-menerus dalam
kesadaran masyarakat, berfungsi dalam
mengatur kehidupan masyarakat dari yang
sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang
sakral maupun profan.

pembagian wilayah Minahasa. Pembagian

wilayah minahasa tersebut dibagi dalam
beberapa anak suku, yaitu:

Anak suku Tontewoh (Tonsea) :
wilayahnya ke timur laut

Anak suku Tombulu : wilayahnya
menuju utara

Anak suku Toulour : menuju timur
(atep)

Anak suku Tompekawa : ke barat laut,
menempati sebelah timur tombasian
besar

Pada jaman dahulu, masyarakat Minahasa
memiliki caranya sendiri dalam mebangun
rumah tinggal. Perjalanan waktu yang panjang
telah mendidik dan mengarahkan masyarakat

Minahasa membangun rumah yang dapat
dikatakan adalah rumah nyaman. Secara
alami rumah-rumah ini dibangun dan
berkembang. Mulai dari yang sangat primitif,
lalu berkembang. Barangkali rumah primitif
berdiri diatas tanah, karena sering diganggu
hewan liar karena alam yang beriklim subtropis dengan hutan tropis lembabnya, maka
rumah ini diangkat dari atas tanah
(panggung) agar terhindari dari hewan-hewan
ini. Hewan-hewan liar endemik di Minahasa
yang sering mengganggu permukiman adalah
Anoa, Babi Hutan, Kera Mekaka (monyet) dan
Ular berbagai jenis. Tetapi barangkali pula
rumah diangkat keatas untuk menghindari
genangan air. Hal ini mungkin sekali terjadi di
sekitar Danau Tondano yang memiliki wilayah
pasang-surut yang sangat luas. Hal-hal diatas
hanya dugaan karena dari time-line sejarah
yang dapat ditelusuri (yang tertua) adalah
rumah Orang Minahasa adalah rumah kayu

panggung.

Menurut Jesse Wenas dalam situs web site
resminnya
(www.theminahasa.net/history),
setelah Tahun 670 saat adanya pertemuan di
Watu Pinawetengan (Batu Pinabetengan)
adalah Tahun 900 yang merupakan masa
dimana Masyarakat Minahasa menggunakan
batu sebagai makam yang disebut dengan
istilah “waruga”. Meskipun tahun 600an telah
ada kegiatan permukiman, tapi tidak ada data
tentang bentuk rumah hunian orang Minahasa
saat itu. Gambar 1 Mencerminkan rumahrumah desa Tolour dan Kiniar di Tondano
yang ada disepanjang Sungai Tondano.

Pemukiman mula-mula masyarakat Minahasa
adalah di Pegunungan Wulur Mahatus sebelah
selatan Kota Manado yang jaraknya +/- 90
Km (Grafland N, 1869). Hampir tidak ada data

tentang rumah tinggal didalam sejarah
Minahasa sebelum Tahun 1500. Berdasarkan
penyelidikan Dr. J.P.G. Riedel sebagaimana
yang dipublikasikan dalam Situs Web Resmi
Kabupaten Minahasa (www.minahasa.go.id),
sekitar tahun 670 di Minahasa telah terjadi
suatu musyawarah di watu Pinawetengan (40
Km Selatan Kota Manado) yang dimaksud
untuk menegakkan adat istiadat serta

Gambar 1
Sebuah Jalan di Desa Tolour – Tondano Yang
Terendam Air Karena Air Pasang Danau Tondano

Pada waktu air pasang karena hujan maka
daratan di kawasan Toulour dan Kiniar
(Tondano) sebagian besar akan tergenang air,
maka masyarakat yang bermukim disitu
membuat rumah panggung. Tetapi saat ini
secara berangsur rumah-rumah panggung ini

mulai merendah dan seperti gambar 2

Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia / September 2013 | 2

Seminar Nasional ‘ Kota Hijau Pesisir Tropis ‘

dibawah. Ketinggian rumah diukur persis pada
ketinggian pasang tertinggi.

Gambar 2
Sebuah Rumah di Kelurahan Tolour Yang Lantainya
Di Rancang Sedikit Diatas Batas Air Pasang

Rumah Tradisional Minahasa berbentuk rumah
panggung atau rumah kolong. Rumah
Tradisional Minahasa
merupakan rumah
panggung yang terdiri dari dua tangga
didepan rumah. Menurut kepercayaan nenek
moyang Minahasa, perletakan tangga tersebut

dimaksudkan apabila ada roh jahat yang
mencoba untuk naik dari salah satu tangga
maka roh jahat tersebut akan kembali turun di
tangga yang sebelahnya. Bahan material yang
dipergunakan umumnya adalah kayu dari jenis
pohon yang diambil dari hutan, yaitu kayu
besi, linggua, jenis kayu cempaka hutan atau
pohon wasian, jenis kayu nantu, dan kayu
maumbi. Kayu besi digunakan untuk tiang,
kayu cempaka untuk dinding dan lantai
rumah, kayu nantu untuk rangka atap. Bagi
masyarakat
strata
ekonomi
rendah
menggunakan bulu jawa untuk tiang, rangka
atap dan nibong untuk lantai rumah, untuk
dinding dipakai bambu yang dipecah (Ratna
Kusuma Dewi 2010).
Rumah kayu Minahasa telah dikenal luas

sebagai rumah dengan konstruksi tahan
gempa yang sangat sesuai untuk wilayah
tropis. Rumah ini kelihatan indah jika
dibangun di kawasan yang lingkungan
sekitarnya masih dipenuhi tumbuh-tumbuhan
hijau dan bunga-bungaan yang berwarnawarni. Karena sifat-sifatnya yang tahan gempa
tersebut maka semakin banyak penduduk kota
yang tertarik untuk membeli rumah kayu ini.

Sekarang rumah kayu ini sudah diekspor ke
berbagai kota di Indonesia dan juga ke luar
negeri. Meskipun rumah kayu Minahasa tahan
terhadap gempa bumi, ia tidak tahan terhadap
api.
Tujuan paper
ini adalah untuk mengkaji
kearifan lokal masyarakat Minahasa dalam
membangun rumah yang hijau dan nyaman
untuk ditinggali. Paper ini berupaya untuk
menjelaskan kenapa rumah Minahasa itu
dikatakan sebagai bangunan hijau. Hal yang
sama pula untuk kenyamanan. Kenyamanan
manusia untuk menempati rumah dapat
diukur dari berbagai segi sehingga dalam
penulisan ini, kenyamanan hanya ditinjau dari
beberapa aspek seperti kenyamanan thermal
yang mencakup aspek temperatur dan
kelembababan relatif, aspek kebisingan dan
aspek pencahayaan.
Metode
Paper ilmiah ini merupakan hasil riset
kepustakaan
dan
lapangan.
Untuk
melaksanakan paper ini maka metode yang
diterapkan adalah metode riset kepustakaan.
Metode secara sederhana adalah upaya
menggali pengetahuan dan data sebanyakbanyaknya dari
data-data kepustakaan
maupun sumber lain. Data ini lalu dipilah-pilah
dan
diberikan
komentar-komentar
berdasarkan teori-teori yang ada. Dari
keseluruhan data dan komentar yang ada,
dikaji kembali dan diurut-urutkan kemudian
dibuat kesimpulan menyeluruh terhadapnya.
Kesimpulan ini merupakan intepretasi yang
menjadi bahan dalam hasil pembahasan.
Metode Survey Lapangan digunakan dengan
cara mendatangai daerah-daerah yang masih
meiliki rumah kayu Minahasa baik rumah kayu
tradisional dan rumah kayu modifikasi. Dalam
tahap ini rumah-rumah difoto dan digambar
kembali pra-desain nya yaitu: tapak, denah
tampak, potongan dan perspektif serta detail
arsitektur dan detai konstruksi. Setelah
gambar dan foto telah tersedia, penulis
melakukan
pengamatan
ilmiah
dan
menuliskan
komentar-komentar
ilmiah
terhadap data survey lapangan. Selanjutnya
data-data ini adalah data oberservasi yang
akan
menjadi
bahan
didalam
hasil

Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia / September 2013 | 3

Seminar Nasional ‘ Kota Hijau Pesisir Tropis ‘

pembahasan. Evaluasi green pada rumah
tinggal termasuk rumah tradisional dilakukan
dengan kwalitatif berdasarkan teori yaitu
a.
b.
c.
d.

Efisiensi dalam penggunaan energi, air
dan sumber daya lain ;
Perlindungan kesehatan penghuni dan
meningkatkan produktifitas pekerja ;
Mereduksi limbah / buangan padat, cair
dan gas, mengurangi polusi / pencemaran
padat, cair dan gas serta
Mereduksi kerusakan lingkungan

Kenyamanan
thermal
mencakup
yaitu
kenyamanan
suhu
dan
kenyamanan
kelembababan. Dalam Psychrometric Chart
Kenyamanan Thermal ada didalam zone
seperti pada gambar 3, (Vaughn Bradshaw,
PE, 2006)

Sehingga disini jelas persepsi kenyamanan
thermal bergantung lebih pada persepsi
masyarakat dimana bangunan itu dibangun.
Sangkertadi dalam laporan makalah berjudul
Thermal Comfort Comparison of Traditional
Architecture and Modern Style Housing in
North Sulawesi – Indonesia berkesimpulan
bahwa suhu nyaman masyarakat di Manado
adalah 290 C dengan RH (kelembaban) 60 %.
Hasil ini 2,3 0C lebih diatas dari teori comfort
zone ASHRAE.
Pencahayaan yang nyaman dalam rumah
adalah pencahayaan yang dapat memenuhi
syarat penglihatan pada obyek tertentu. Hal
ini akan memberikan perbedaan pencahayaan
dalam setiap sudut atau bagian ruang didalam
rumah atau diatas bidang kerja misalnya meja
belajar, mesin jahit, meja gambar, meja
dapur. Contoh standard kuat terang menurut
Handoko Putra 2011, dalam materi Standar
Pencahayaan adalah seperti pada Tabel 1:
Tabel 1
Standar Iluminasi Ruangan dan permukaan
Bidang kerja

Sumber: Bradshaw V, 2006

Gambar 3
Comfort Zone
Suber : Handoko Putra 2011

Temperature
: 21,1 0C s/d 26,7 0C
Kelembaban (RH) : 30%
s/d 70%
Secara teoritis dapat diterima seperti yang
diatas, tetapi kenyamanan thermal ini sifatnya
universal dan akan berbeda di suatu tempat
dengan tempat lain. Masyarakat Minahasa
yang bermukim di Modoinding dengan suhu
rata-rata harian 250 C akan memiliki persepsi
yang berbeda dengan Masyarakat Minahasa
yang tinggal di Bitung yang Suhu rata-rata
harian 300 C. Bagi orang Modoinding pada
Suhu 28 0C sudah merasa gerah dan
berkeringat, sebaliknya bagi orang Bitung,
Suhu 28 0C malah terasa mendekati sejuk.

Sumber: Bradshaw V, 2006

Untuk kenyamanan dalam ruang berkaitan
dengan aspek kebisingan mengkuti standard
kebisingan (Vaughn Bradshaw, 2006) yaitu

Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia / September 2013 | 4

Seminar Nasional ‘ Kota Hijau Pesisir Tropis ‘

sebagai berikut, Secara teoritis ambang batas
pendengaran manusia normal adalah 85 dB.
Diatasnya
akan
mulai
mempengaruhi
kesehatan.
Sumber
kebisingan
sangat
bergantung dari obyek. Misalnya suara kereta
api sebesar 100 dB dan sudah cukup

mengganggu pendengaran atau berpengaruh
pada orang sementara bekerja halus.
Sehingga dalam penentuan kenyamanan
kebisingan sangat bergantung dari sumber
kebisingan itu sendiri.

Tabel 2
Standar Suara dan kebsisingan

Sumber: Bradshaw V, 2006

Analisis dan Intepretasi
Rumah tradisional adalah rumah yang
dibangun dengan cara tradisional dengan
menggunakan material kayu dan memiliki ciriciri tradisional. Ciri-ciri tradisional adalah
bahwa rumah-rumah ini memiliki typologi
yang sama dalam bentuk denah (dan
penataan interior), fasade bangunan yang
memiliki tangga akses didepan 2 buah dengan
perletakan simetris serta atap yang terbuat
dari bahan daun pohon aren dan sejenisnya
atau atap rumbia yang disebut masyarakat
lokal dengan “katu”.
Cara membangun rumah tradisionalpun tidak
sembarangan. Rumah tradisional dibangun

setelah melalui suatu upacara adat yang
dipimpin oleh walian setempat (tokoh
masyarakat dibidang spiritual dan sangat
disegani). Jaman dahulu rumah tradisional
dibangun
dengan
cara
gotong-royong
(mapalus). Keluarga yang baru berumahtangga (menikah) akan tinggal bersama
dengan orang tua. Berbekal harta orang tua
yang diberikan pada saat perkawinan, para
keluarga baru ini dalam kelompok (biasanya
20 keluarga) akan mebentuk kelompok yang
disebut kelompok mapalus-wale dengan
seorang koordinator yang disebut “mawaliwali”. Keluarga yang rumahnya mendapat
giliran
dibangun
disebut
“makawale".
Kelompok ini secara arisan akan membangun
rumah satu-persatu sampai semua rumah
anggota
kelompok
terbangun.
Proses

Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia / September 2013 | 5

Seminar Nasional ‘ Kota Hijau Pesisir Tropis ‘

membangunpun terjadi dengan cepat karena
dikerjakan oleh 20 orang. Ada cerita bahwa
bila ada yang melalaikan tugasnya, akan
dihukum
dengan
cambuk
disebut
“marantong”. Tradisi ini paling banyak
ditemukan di Minahasa bagian selatan.
Bahkan sampai sekarang masih ada beberapa
kelompok yang eksis yakni di Desa Silian,
Desa Kuyanga dan Molompar serta Tombatu
yang semuanya ada di Kecamatan Tombatu
Kabupaten
Minahasa
Tenggara,
hanya
kelompok-kelompok ini sekarang membangun
rumah modern.
Rumah Tradisional Minahasa bila dilihat dari
sisi “bangunan hijau” sangat terasa memenuhi
hampir semua kaidah bangunan hijau. Istilah
bangunan hijau merupakan suatu upaya untuk

Sumber: Romy Nonutu 2012

Gambar 4
Tipologi Rumah Tradisional Minahasa

Tradisi membangun rumah dapat dipahami
melalui tarian maengket yang disebut
“marambak”. Marambak adalah tarian dengan
semangat
kegotong-royongan,
rakyat
Minahasa bantu -membantu membuat rumah
yang baru. Selesai rumah dibangun maka
diadakan tradisi naik rumah baru atau dalam
bahasa daerah disebut “rumambak” atau
menguji kekuatan rumah baru dan semua
masyarakat
kampung
diundang
dalam
pengucapan syukur. Tradisi naik rumah baru
masih dilakukan sampai sekarang tetapi isi
tradisi itu sekarang lebih bernuansa agama.
Material utama Rumah Tradisional Minahasa
adalah kayu. Kayu adalah satu-satunya
“renewable material” sehingga ini merupakan
faktor utama mengapa Rumah Tradisional

menghasilkan
bangunan
dengan
menggunakan proses-proses yang ramah
lingkungan, penggunaan sumber daya secara
efisien selama daur hidup bangunan sejak
perencanaan, pembangunan, operasional,
pemeliharaan,
renovasi
bahkan
hingga
pembongkaran. Bangunan hijau atau dalam
istilah internasionalnya “green building”
didesain untuk mereduksi dampak lingkungan
terbangun pada kesehatan manusia dan alam,
melalui : efisiensi dalam penggunaan energi,
air dan sumber daya lain ; perlindungan
kesehatan penghuni dan meningkatkan
produktifitas pekerja ; mereduksi limbah /
buangan padat, cair dan gas, mengurangi
polusi / pencemaran padat, cair dan gas serta
mereduksi kerusakan lingkungan.
disebut memenuhi kriteria bangunan hijau.
Material kayu tidak merusak alam ketika
diambil
dari
hutan.
Tradisi
tata-cara
pengambilan kayu dihutan secara tidak
langsung telah merupakan konservasi dan
pelestarian hutan. Pengambilan kayu di hutan
dipimpin oleh tonaas (pemuka masyarakat)
setelah diarahkan oleh wailan. Agama suku
yang mempercayai bahwa pohon-pohon besar
merupakan rumah para opo-opo, serta tempat
burung manguni dikenal dengan nama burung
hantu (mediator antara wailan dan opo-opo)
sehingga pemilihan kayu dilakukan secara
sangat hati-hati.
Rumah Tradisional sangat efisien dalam
penggunaan energi karena semua material
utama diperoleh secara lokal sehingga
embodied energi relatif jauh lebih kecil
dibandingkan dengan rumah beton maupun
metal. Pemanfaatan air dalam proses
pembangunan nyaris tidak ada. Rumah
tradisional yang moduler dan standar dimana
ukuran-ukuran kayu serta jenis konstruksi
bangunan yang sama, konstruksi sambungan
kayu yang sama cenderung memberi efek
efisiensi karena dalam pengaturan material
semuanya dapat diprediksi dan terukur.
Rumah tradisional tidak menggunakan beton
atau cemen, meskipun barang ini telah
diperkenalkan sejak Abad Ke-18 di Minahasa.
Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dijaman
kolonial, pengaruh eropah telah merubah

Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia / September 2013 | 6

Seminar Nasional ‘ Kota Hijau Pesisir Tropis ‘

tatanan kemasyarakatan dan kearifan ini
cenderung menurun. Sampai saat ini masih
banyak para orang tua yang bila ditanya mana
yang lebih baik, rumah beton atau rumah
kayu? Maka jawabnya akan jatuh pada rumah
beton. Pengaruh kolonial yang mulai
memperkenalkan
porlant
cement
dan
membangun rumah beton sejak Awal abad ke18 telah mempengaruhi kearifan lokal
Masyarakat Minahasa.
Penutup Atap Rumbia (Katu)
Rangka Atap Bambu
Platfond Kulit Kayu
Balok-Kolom Rumah Kayu
Dinding Papan (Bambu Pitate)
Kosen Pintu jendela Kayu
Lantai papan
Balok Klom Panggung Kayu
Pondasi Batu Alam

Gambar 5
Material Penyusun Rumah Tradisional

Orang Eropah dianggab lebih tinggi derajat
dari
Masayarakat
Lokal
dan
inipun
diaplikasikan kepada rumah tinggal. Masih
banyak orang tua menganggab bahwa rumah
beton lebih tinggi gengsinya dari rumah kayu
dan rumah kayu hanya untuk orang miskin.
Perubahan dari waktu-kewaktu ini memang
harus terjadi sesuai dengan dengan uraian
Antariksa
dalam
makalahnya
berjudul
Pengaruh Kebudayaan dan Adat Istiadat
dalam Permukiman Tradisional mengatakan
bahwa Dalam perjalanannya tradisi tersebut
mengalami perubahan dalam proses akulturasi
dalam bermukim dari satu individu ke individu
yang lain dan juga dari satu generasi ke
generasi yang lain. Hal ini menjadikan tautan
budaya bermukim tadi menjadi sebuah
elemen bagian dari elemen permukiman yang
dijadikan prinsip-prinsip dasar pembentukan
suatu kawasan terbangun dengan lansekap
budaya.
Pada masa kini, secara berangsur-angsur
Kearifan Lokal Masyarakat Minahasa dalam
membangun rumah mulai meningkat kembali.
Hal ini karena pendidikan yang semakin baik
dan
kesadaran
terhadap
pelestarian
lingkungan yang semakin tinggi. Sebagai

contoh Kota Manado
yang mayoritas
Masyarakat Minahasa pada tahun 2010
memperoleh peringkat II setelah Yogyakarta
sebagai The Most Liveable City di Indonesia
oleh Ikatan Ahli Pewilayahan (IAP) Indonesia.
Meskipun Pada tahun 2011 turun pada
peringkat IV tetapi disini memperlihatkan
bahwa berkaitan dengan “green”, Masyarakat
Minahasa sudah lebih baik karena salah satu
kriteria penilaian adalah aspek-aspek yang
berkaitan dengan “green”. Bukti lain dari
semakin meningkatnya Kearifan Lokal dalam
hal Membangun Rumah Tinggal adalah
produksi rumah kayu (non-tradisonal) di
beberapa sentra yaitu Woloan, Mokobang, dan
Sekitar Motoling meningkat dengan sangat
pesat.
Rumah Tradisional Minahasa memiliki sistem
ventilasi yang baik. Dari manapun angin
bertiup akan memberikan udara segar didalam
ruangan karena bentuknya yang simetris
dengan bukaan pada semua sisi bangunan.
Rumah ini juga sangat ramah lingkungan
karena semua materialnya adalah material
organik dan tidak meninggalkan limbah cair,
gas, atau padat yang membahayakan
kesehatan manusia. Ketika rumah ini harus
dibongkar, semua materialnya kalau tidak di
reuse maka akan hancur dan mebusuk dan
tidak meninggalkan sampah dalam bentuk
apapun. Dalam proses pembangunan rumah,
limbah kayu digunakan kembali sebagai bahan
bangunan untuk rumah yang lain atau
menjadi kayu bakar (reuse) dan hal ini justru
mendukung nilai “green”.
Rumah tradisional mereduksi kerusakan
lingkungan. Dengan tidak adanya beton dan
logam, maka rumah ini tidak menggunakan
bahan-bahan tambang. Beton merupakan
material yang paling merusak lingkungan.
Ketika ditambang akan merusak top-soil di
wilayah pertambangan, ketika di proses
menjadi clinker, akan memproduksi emisi
Carbon yang luar biasa ke udara. Menurut
Wikipedia, setiap produksi 1 ton Cemen, akan
mengemisi 1 ton Carbon Dioxide. Jadi beton,
selain merusak permukaan bumi juga merusak
atmosfir sebagai gas rumah kaca dan menjadi
kontributor utama dalam pemanasan global.
Dalam aspek kenyamanan, Rumah Tradisional
Minahasa memenuhi syarat sebagai rumah

Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia / September 2013 | 7

Seminar Nasional ‘ Kota Hijau Pesisir Tropis ‘

tinggal. Dari aspek temperatur dalam rumah
sangat bergantung pada lokasi dan suhu ratarata dimana lokasi rumah ini. Bla lokasi rumah
ini berada di daerah dataran tinggi (sebagian
besar Tanah Minahasa di Dataran Tinggi)
maka temperatur buklanlah hal yang perlu
dipertimbangkan.
Sebagai
contoh Kota
Tomohon memiliki suhu rata-rata 260 Celcius,
Kota Tondano 27,50 Celcius,
Didaerah
Motoling-Tompaso Baru s/d Modoinding Suhu
Rata-Rata hariannya dibawah 25 0 Celcius. Bila
lokasi rumah ini ada di Manado, Bitung atau
Amurang yang mana kota-kota ini ada di
pesisir pantai yang Suhu Rata-Rata Hariannya
diatas 270 Celcius. Tetapi bisa diduga Rumah
Tradisional dibandingkan dengan Rumah
Modern yang berdinding bata dan beatapkan
seng, maka akan lebih nyaman didalam rumah
tradisional karena:
-

-

-

Rumah tradisional memiliki dinding yang
tidak
air-tight
sehingga
masih
membolehkan terjadinya infiltrasi udara
dan hal ini akan menghapus secara
signifikan panas ruang (cooling load)
dalam ruangan selain aliran udara yang
mengalir melalui sirkulasi dan jendela.
Rumah tradisional yang berlantai papan
dan memiliki kolong akan memperkecil
panas karea transmisi panas dari lantai
dapat diminimalis.
Atap rumbia yang memberikan peluang
udara berhembus melalui celah-celah
daun rumbia juga membantu pendinginan
ruang loteng sehing transmisi panas dari
loteng
melalui
platfond
dapat
diminimalkan.

Gambar 6
Pola Sirkulasi Udara Pada Rumah Tradisional

Pola sirkulasi seperti pada Gambar 6 tentu
tidak akan terjadi pada rumah modern yang
berdiri diatas tanah dan memiliki penutup atap
seng. Penutup atap logam cenderung lebih
panas dan mentransmisikan panas kedalam
loteng dan selanjutnya kedalam ruangan
melalui platfond. Dinding yang dibangun dari
bata menjadikan dinding sebagai air-barier
dan sirkulasi udara hanya terjadi pada bukaan
pintu-jendela serta lubang ventilasi. Hal ini
memberikan
kesimpulan
bahwa
rumah
tradisional lebih nyaman. Dugaan ini lebih
diyakinkan lagi oleh Sangkertadi (2010) yang
mengukur fluktuasi suhu ruangan rumah
tradisional dan rumah modern dimana sangat
jelas terlhat bahwa rumah tadisional (T)
cenderung lebih rendah suhunya.
Ketidaknyamanan suhu ruang (living room)
pada Rumah Tradisional terjadi antara Jam
01.00 pm s/d 03.00 pm dimana suhu
mencapai 29,50 C yang berarti 0,5 0 C diatas
persepsi (290C); Dalam hal kebisingan,
dibandingkan dengan rumah yang penutup
atapnya seng, maka rumah tradisional yang
menggunakan atap katu lebih nyaman. Hujan
pada permukaan seng akan menghasilkan
suara yang cukup mengganggu pendengaran
manusia. Selain atap rumbia ini meredam
bunyi, atap ini sangat ringan sehingga
konstruksi bambu seperti pada gambar 5
masih
mampu
menjadi
strukturnya.
Kelemahan atap ini adalah durabilitasnya yang
tidak lama dibandingkan dengan seng atau
genteng serta mudah terbakar. Tetapi karena
harganya murah maka dalam waktu panjang,
atap jenis ini akan jauh lebih murah.
Pencahayaan alami (daylighting) dalam rumah
tradisional adalah normal atau dapat
mencapai 500 Lux. Hal ini dikarenakan bukaan
yang besar pada sisi luar yang menjamin
masuknya terang langit yang cukup. Hal ini
dapat dibuktikan dengan dapatnya orang
membaca surat kabar hanya dengan
membuka jendela secara penuh. Atau seorang
wanita dapat bekerja memasukan benang
kedalam jarum didalam kamar rumah
tradisional.
Kekurangan pada rumah
tradisional ini dalam aspek pencahayaan
adalah warna kayu yang gelab tidak
memantulkan
bahkan
menyerap
dan
mengeliminir cahaya. Hal ini dapat ditolong

Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia / September 2013 | 8

Seminar Nasional ‘ Kota Hijau Pesisir Tropis ‘

dengan cat kayu berwarna putih atau terang
tetapi penggunaan cat kayu akan mengurangi
nilai green karena bagaimanapun cat adalah
substansi kimia yang mungkin berpengaruh
pada kesehatan manusia. Untuk electrical

lighting, tidak masalah karena Rumah
Tradisional dapat di pasangkan pencahayaan
dari lampu listrik.

Tabel 3.
Hasil Pengkuran Suhu Ruangan pada lokasi yang sama dan rumah yang bberbeda type
(T=Tradisional dan M=Modern)

Sumber: Sangkertadi, A. Tungka , R. Syafriny (2009)

Sebagaimana diuraikan dalam metodologi,
ditinjau dari kenyamanan suara sangat
bergantung dimana Rumah Tradisional ini
dibangun. Misalnya rumah ini dibangun di
samping Rel Kereta Api, maka noise sound
(suara kereta) yang rata-rata bernilai 100 dB
akan cukup mengganggu. Tetapi karena
rumah ini dibangun dari kayu, maka energi
suara 100 dB ini akan berkurang dan diabsorb
oleh dinding papan yang berfungsi sebagai
sound absorbent sehingga orang yang berada
didalam akan mendengar suara kereta api
lebih kecil dari 100 dB.
Apabila rumah ini dibangun dekat dengan
lapangan tembak artileri militer yang suaranya
lebih dari 130 dB maka rumah ini
membutuhkan
treatment
khusus
pada
envelope bangunannya berupa sesuatu yang
prinsipnya mereduksi suara seperti akustik
tile, tripleks berongga, dsb. Pada umumnya
Rumah Tradisional dibangun dengan sumber

suara hanya kendaraan biasa. Hal ini
menjadikan dengan konstruksi yang ada,
sudah cukup menjamin kenyamanan suara
penghuni.
Rumah Kayu Minahasa yang dikenal dengan
sebutan Wale atau Bale, yang artinya tempat
melakukan
aktivitas
dalam
kehidupan
berkeluarga. Berlandaskan filosofi masyarakat
Minahasa, Rumah Kayu Minahasa yang
berasal dari Desa Woloan,
memiliki dua
tangga di serambi depan. Menurut Fickry
Pantouw (2010), tangga di kiri dan kanan
bagian depan rumah itu berperan khusus saat
terjadi pinangan secara adat. Pihak lelaki yang
hendak meminang si gadis yang tinggal di
rumah itu, harus masuk ke rumah dengan
menaiki tangga yang kiri. Jika kita melihat
keluarga si lelaki keluar dari rumah dengan
menuruni tangga yang kanan, itu artinya
pinangan mereka diterima oleh tuan rumah.
Sebaliknya, jika mereka turun melewati

Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia / September 2013 | 9

Seminar Nasional ‘ Kota Hijau Pesisir Tropis ‘

tangga yang kiri lagi, yang mereka pakai
untuk naik ke rumah panggung itu, artinya
pinangan mereka ditolak pihak tuan rumah. Di
Minahasa bagian Utara yang dikenal dengan
Sub Etnik Tonsea, jumlah anak tangga juga
berpengaruh pada saat pernikahan. Ketika
mempelai
laki-laki
menapaki
tangga
menjemput mempelai wanita, ia akan berhenti
pada setiap anak tangga. Ia baru akan
melanjutkan perjalanan bila orangtuanya
bersuara akan memberikan harta misalnya,
“kebun kelapa 200 pohon” yang suara ini
harus didengar oleh pihak mempelai wanita
yang menjemput diatas tangga. Dan
seterusnya, setiap anak tangga yang ditapaki
harus diikuti dengan pemberian harta.
Ciri utama rumah Kayu Minahasa ini berupa
Rumah Panggung dengan 16 sampai 18 tiang
penyangga. Beberapa abad lalu terdapat
rumah tradisional keluarga besar yang dihuni
oleh enam sampai sembilan keluarga. Masingmasing keluarga merupakan rumah tangga
tersendiri dan mempunyai dapur atau
mengurus ekonomi rumah tangga sendiri.
Kini, jarang ditemui rumah adat besar seperti
ini. Pada umumnya susunan rumah terdiri atas
emperan (setup), ruang tamu (leloangan),
ruang tengah (pores) dan kamar-kamar.
Ruang paling depan (setup) berfungsi untuk
menerima tamu terutama bila diadakan
upacara keluarga, juga tempat makan tamu.
Sementara itu, di bagian belakang rumah
terdapat balaibalai yang berfungsi sebagai
tempat menyimpan a-lat dapur dan alat
makan, serta tempat mencuci. Bagian atas
rumah atau loteng (soldor) berfungsi sebagai
tempat menyimpan hasil panen seperti
jagung, padi dan hasil lainnya. Bagian bawah
rumah (kolong) biasanya digunakan untuk
gudang tempat menyimpan papan, balok,
kayu, alat pertanian, gerobak dan hewan
peliharaan.
Rumah Kayu Minahasa tidak beratapkan
genteng. Karena filosofi yang dianut
Masyarakat Minahasa adalah tak baik jika
hidup di bawah tanah sebelum mati (genteng
terbuat dari tanah). Pantouw (2010)
menjelaskan bahwa Rumah Kayu Minahasa
beratapkan seng biasa atau multiroof/sakura
roof. Ada juga rumah yang beratapkan
genteng, umumnya rumah tersebut milik

kaum pendatang. Meskipun demikian, banyak
juga rumah orang Minahasa yang beratapkan
seng namun didesain seperti genteng.
Rumah Kayu Minahasa saat ini dibuat
dibanyak desa di Minahasa tetapi ad 2 sentra
yang paling terkenal yaitu Woloan dan
Mokobang. Pemasaran Rumah Kayu Minahasa
ini berkembang antara tahun 1960 sampai
dengan 1980, tapi masih sebatas daerah
Minahasa saja. Baru setelah di Taman Mini
Indonesia Indah, Jakarta berdiri rumah adat
Minahasa pada tahun 1980an, pesanan dari
beberapa orang dari pulau Jawa dan luar
negeri mulai berdatangan. Bahan baku utama
dari Rumah Adat ini terdiri atas, kayu besi
untuk rangka, kayu nyantoh untuk lantai,
plafon dan kayu cempaka untuk dinding.
Saat ini pesanan rumah Rumah Kayu
Minahasa datang dari berbagai daerah di
Indonesia dan mancanegara. Rumah Kayu
Minahasa dewasa ini bisa berfungsi sebagai
tempat tinggal, sebagai villa, cottage, gazebo,
restaurant. Anda juga bisa memberikan rumah
ini sebagai hadiah kepada orang yang anda
cintai, apakah itu dalam bentuk Gazebo,
Rumah Panggung, Cottage, Bungalow atau
Rumah Villa melalui paket peti kemas yang
dikirimkan dari desa Woloan, Kabupaten
Minahasa sebagai daerah asal rumah adat
Rumah Panggung Manado.
Kearifan Lokal dalam mebangun rumah tinggal
oleh Masyarakat Minahasa kini berangsurangsur pulih kembali ketika Masyarakat
Minahasa mulai mencintai kembali rumah
kayunya. Gambar 9 diatas adalah contoh
rumah yang belum lama dibangun. 2 rumah
tersebut dibeli dari Desa Woloan secara CKD
(Complete Knock Down). Sebagaimana
dijelaskan dalam teori bahwa perubahan itu
pasti akan terjadi. Kalau dahulu rumah ini
diangkat agar terhindar dari gangguna hewan
liar dan serambi depan bersifat terbuka
dimana disitu juga diletakan barang-barang
harta benda, dengan adanya perubahan dan
Minahasa tidak terlepas dari perubahan itu
dengan segala tindak kriminal seperti mabukmabukan, pencurian, tawuran dsb, maka
serambi yang terbuka kini ditutup dengan
jendela pintu yang dapat dikunci rapat.
Serambi yang tadinya bersifat Semi Publik,

Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia / September 2013 | 10

Seminar Nasional ‘ Kota Hijau Pesisir Tropis ‘

kini berubah menjadi Semi Private. Tangga
dibagian depan masih dipertahankan, akan
tetapi dengan perhitungan efisiensi, maka
salah satu tangga di copot. Yang dicopot
kebanyakan adalah anak tangga sebelah kiri
rumah. Perubahan umum yang terjadi juga
adalah bahan penutup atap. Atap Rumbia
berubah menjadi Atap Seng dan sudut rangka
kuda-kuda dengan balok atap menjadi lebih
landai. Perubahan yang lain juga yaitu,
dihilangkannya balok pengaku diatas tanah.
Kolom rumah kayu ini langsung bertumpu
diatas umpak beton yang bersifat sebagai
pondasi yang menyalurkan gaya keseluruhan
ke tanah. Banyak kolom rumah telah diganti
dengan tiang beton.

Gambar 7
Rumah Kayu Minahasa di Kelurahan Jawa Tondano

Ditinjau dari aspek ‘bangunan hijau’, Rumah
Kayu Minahasa ini masih kalah dari Rumah
Tradisional yang seluruh bagian rumah
menggunakan kayu. Rumah Kayu Minahasa ini
telah menggunakan unsur beton pada
umpaknya yang berjumlah 16 s/d 20 buah per
rumah. Bila Ukuran umpak rata-rata per buah
0,048 M3, maka setiap rumah memerlukan 20
x 0.048 M3 = 0,96 M3. Tetapi bila rumah Kayu
Minahasa ini dibandingkan dengan rumah bata
modern, maka ditinjau dari aspek green,
rumah bata modern jauh ketinggalan karena
penggunaan semen yang besar. Embodied
Energi Rumah Bata/Beton sangat besar dan
sangat berdampak terhadap lingkungan dan
merupakan kontributor utama dalam global
warming karena emisi karbon nya .
Rumah Kayu Minahasa cukup efisien dalam
penggunaan energi. Hal ini karena rumah ini

sebagain besar materialnya standar dan
diproduksi
secara masal
bagian-bagian
struktur dan kelengkapan bangunan lainnya.
Ketika rumah ini dibuat, pembuat rumah tidak
mengetahui user requirement. Yang dibuat
adalah rumah type 1 kamar, 2 kamar, 3 kamar
dst. Tetapi bisa saja pembuat rumah di
sentra-sentra rumah kayu ini mebuat sesuai
denga pesanan sehingga dapat memenuhi
user requirement nya. Sekalipun dibuat sacara
individu, bagian-bagian struktur, termasuk
balok-kolom, kosen-kosen pintu jendala dan
ventilasi, daun jendela dan daun pintu, tangga
dan anak tangga semuanya telah berukuran
standar dan sama untuk seluruh bangunan.
Karena sifat rumah ini pre-fab dan knockdown maka ketika rumah ini direkonstruksi di
site, semuanya telah siap. Umpak telah
dipasang lebih dahulu atau sekiranya telah
menggunakan kolom beton, maka kolom telah
di ereksi lebih dahulu dan setelah 28 hari usia
beton
telah
mengeras,
maka
tahap
rekonstruksi dimulai. Untuk pekerjaan ini,
hanya diperlukan beberapa hari saja. Rumah
Type 36 hanya membutuhkan 4 hari.
Pemakaian air hanya pada waktu pembuatan
umpak dan kolom beton, setelah itu tidak lagi
diperlukan air. Hal ini jelas bahwa
pembangunan Rumah Kayu Minahasa masih
efisien terhadap penggunaan air.
Seperti halnya Rumah Tradisional, Rumah
Kayu Minahasa ini berada diatas dan
cenderung lebih menjamin terjadinya sirkulasi
udara. Penggantian udara segar dalam
ruangan
akan
memberikan
dukungan
terhadap kesehatan manusia. Karena rumah
ini dibuat ditempat lain, maka ketika di
rekonstruksi on site,
hampir tidak ada
sampah bangunan. Tidak ada limbah cair, gas,
padat yang terjadi setelah selesai konstruksi.
Tidak ada pencemaran lingkungan dan
cepatnya konstruksi diselesaikan sehingga
tetangga tidak akan banyak terganggu dengan
bunyi peralatan pertukangan.
Proses rekonstruksi di lokasi jelas sangat
mereduksi kerusakan lingkungan. Bahan
utama Rumah kayu Minahasa ini adalah kayu
dan sebagai satu-satunya renewable material
kayu ini tidak akan berdampak terhadap
lingkungan. Deforestation terjadi karena tidak

Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia / September 2013 | 11

Seminar Nasional ‘ Kota Hijau Pesisir Tropis ‘

terkendalinya eksploitasi pada hutan produksi.
Dan ini merupakan kesalahan manusia yang
salah
menata-laksana
hutan
produksi.
Deforestation tidak akan terjadi bila konsep
tebang-pilih
atau potong 1 tanam 10
diberlakukan
dan
dilaksanakan
secara
konsekwen oleh pengusaha pengelola hutan
produksi.
Pencahayaan alami didalam ruangan cukup
terjamin. Hal ini karena bukaan jendela dan
pintu pada sisi-sisi bangunan cukup kuat
untuk memasukan terang langit kedalam
ruangan. Ruangan seperti ini dengan kegiatan
rumah-tangga membutuhkan kuat terang 500
Lux dan contoh Gambar 8 memperlihatkan
bukaan-bukaan dimana kondisi ruangan
rumah cukup terang.

Gambar 8
Kuat Terang Langit 500 Lux Di Dalam Ruangan
Tamu Pada Rumah Kayu Minahasa

Suhu nyaman sesuai persepsi Masyarakat
Minahasa cukup terjamin didalam ruangan
Rumah kayu Minahasa. Karena sebagan besar
Masyarakat Minahasa menempati wilayah
dataran tinggi dengan suhu rata-rata harian
dibawah 290 C, maka kenyamanan thermal
dalam ruangan bukan merupakan masalah.
Tapi bila rumah ini dilokasikan di dataran
rendah seperti Kota Manado, maka pada
waktu siang hari terutama pada Jam 13.00 s/d
15.00 perlu didukung dengan Air Conditioning
System
karena
sesuai
dengan
hasil
pengukuran, bahwa pada saat tersebut terjadi
suhu maksimum dan melampaui suhu
persepsi sebesar 0,50 C (Sangkertadi 2010).
System pendingin hanya bekerja selama 3 jam
sehari. Agar nilai green Rumah ini masih

terjaga maka System Pendingin yang
digunakan
adalah
yang
menggunakan
Refrigerant Yang Ramah Lingkungan. Seperti
halnya pada Rumah Tradisional, kebisingan
yang dialami penghuni Rumah Kayu ini sangat
relatif dan tergantung pada sumber suara.
Kalau sumber suaraanya hanya kendaraan
umum, maka sudah pasti dari segi akustik
rumah ini masih mendukung. Bila rumah ini
dilokasika didekat pabrik maka beberapa
treatment
berupa
instalasi
sound
absorbentnya harus dilakukan.
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan, dapat disimpulkan
bahwa baik Rumah Tradisional maupun
Rumah Kayu Minahasa memenuhi syarat
untuk dikategorikan sebagai Bangunan Hijau.
Kategori ini hanya berdasarkan kajian ilmiah
dan teoritis karena Rating Tool untuk
mengukur bangunan hijau untuk rumah
tinggal belum ada atau belum dirilis oleh
GBCI. Penggunaan kayu sebagai material
utama yang menjadikan rumah ini sebagai
bangunan hijau karena kayu adalah satusatunya renewable material bangunan.
Baik Rumah Tradisional dan Rumah Kayu
memiliki karakteristik sebagai rumah nyaman
dalam hal thermal comfort. Khusus untuk
Rumah Tradisional maupun Rumah kayu yang
berlokasi di pesisr pantai yang Suhu-Rata-Rata
diatas 290 C maka diperlukan dukungan
Sistem Pengkondisian Udara selama 2 jam
yaitu pada Jam 13.00 s/d Jam 15.00, karena
melampaui persepsi nyaman sebesar 0,5 0 C.
Untuk rumah yang berada didataran tinggi,
maka kenyamanan thermalnya terpenuhi.
Rumah Tradisional dan Rumah Kayu Minahasa
cukup mendukung tersedianya kuat terang
500 Lux didalam ruangan. Hal ini dibuktikan
dengan
masih
dapat
dilaksanakannya
pekerjaan halus seperti menjahit pakaian dan
mebaca surat kabar didalam ruangan. Hal
yang sama pula berlaku untuk kenyamanan
kebisingan. Hanya saja jika rumah-rumah
dilokasikan berdekatan dengan sumber
kebisingan diatas 80 dB misalnya berada
disamping Pembangkit Listrik Diesel, maka
diperlukan pemasangan sound absorbent pada
envelop bangunannya.

Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia / September 2013 | 12

Seminar Nasional ‘ Kota Hijau Pesisir Tropis ‘

Dari
hasil
pembahasan
diatas
maka
sesunguhnya Masyarakat Minahasa memiliki
Kearifan dalam membangun rumah tinggal.
Kearifan ini yang pernah menurun dijaman
kolonial karena kesalah persepsi terhadap
budaya Eropah sekarang telah mulai menguat
kembali, tumbuh dan berkembang. Hal ini
dibuktikan dengan semakin digemari lagi
Rumah Kayu Minahasa dan Produksinya
meningkat pesat dalam 5 tahun terakhir ini.
Rumah kayu saat ini tidak lagi dianggab
bangunan nomor 2 sesudah rumah beton
tetapi rumah ini dilihat sangat seksi dan
eksotik bila dirancang dan dilaksanakan
dengan baik.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima-kasih yang pertama kepada
Prof. Antariksa di Universitas Brawijaya,
Malang yang telah memberi bimbingan sampai
saat ini dan mengajarkan mata-kuliah Kearifan
Lokal. Juga kepada Prof. DR. J.I Kindangen
DEA yang juga sebagai pembimbing dan
Dekan FT Unsrat yang telah memberi
kesempatan untuk melanjutkan studi S3 di UB
Malang dan kepada Panitia Seminar Nasional
Kota Hijau Pesisir Tropis yang telah memberi
kesempatan
kepada
penulis
untuk
mempresentasikan paper ini.
Daftar Pustaka
Antariksa, 2011 Metode Pelestarian Arsitektur.
Malang.
Antariksa, Materi Kuliah Kearifan Lokal,
Fakultas Teknik Univesitas Brawijaya.
TahunAjaran 2011-2012.
Antariksa, Kearifan Lokal Dalam Arsitektur
Perkotaan Dan Lingkungan Binaan,
Malang, 2011
Antariksa, Pengaruh Kebudayaan Dan Adat
Istiadat
Masyarakat
Dalam
Permukiman Tradisional, Malang
2011
Bradshaw V, 2006, The Building Environment:
Passive And Actve Control System,
John Willey and SonInc, New Jersey
US
Grafland, N; De Minahasa : Haar Verleden En
Haar Tegenwoordige Toestand , M.
Wyt & Zonen,
Rotterdam 1869

(Diterjemahkan ol.Lucy R. Montolalu
Edisi II Tahun 1991)
Green Building Council Indonesia (GBCI),
2010, Rating Tools Existing Building
Version 1,0. GBCI Jakarta.
Harimu D., Wunas S 2009, Perubahan Wujud
Fisik Rumah Tradisional Minahasa Di
Kota Tomohon Dan Tondano Provinsi
Sulawesi Utara (Desa Tonsealama
Dan Desa Rurukan), Makasar
Handoko Putra, 2010 Standar Pencahaaan,
Unikom.
Honigman J.J 1959, The World Of Man,
Harper and Row, New York
Pantouw
F,
Rumah
Adat
Minahasa,
…………………., Tomohon 2010
Reny Syafriny , Sangkertadi, 2010, Chance Of
Reducing
Carbon
Emission
By
Application Of Green Building For
Housing Sector A Preliminary Study
Of Indonesian Residential House,
Manado 2010
Sangkertadi, A. Tungka , R. Syafriny, 2009,
Thermal Comfort Comparison Of
Traditional Architecture And Modern
Style Housing In North Sulawesi –
Indonesia, Manado.
Watuseke, F.S. Profil Rumah Adat Minahasa
Dan Maknanya,Makalah Musyawarah
I Kebudayaan Minahasa. Tomohon.
1995.
Wenas Jessy, Sejarah
&
Kebudayaan
Minahasa Institut Seni Budaya
Sulawesi Utara, Manado, 2007

Prosiding Seminar Nasional dan Kongres VII Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia / September 2013 | 13