STUDI PERBANDINGAN POLA ALOKASI LAHAN, PENGELUARAN BERAS, DAN POLA KONSUMSI PANGAN ANTARA PETANI UBI KAYU DI DESA PELAKSANA DAN NON PELAKSANA PROGRAM MODEL PENGEMBANGAN PANGAN POKOK LOKAL (MP3L) DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

(1)

STUDI PERBANDINGAN POLA ALOKASI LAHAN, PENGELUARAN BERAS DAN POLA KONSUMSI PANGAN ANTARA PETANI UBI KAYU

DI DESA PELAKSANA DAN NON PELAKSANA PROGRAM MODEL PENGEMBANGAN PANGAN POKOK LOKAL (MP3L)

DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN (Skripsi)

Oleh

M. IMACULLATA SANTA DE VEGA INDIAKO

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(2)

SPENDING, AND FOOD CONSUMPTION PATTERN AMONG CASSAVA FARMERS IN VILLAGES IMPLEMENTING AND

NOT-IMPLEMENTING PROGRAM OF LOCAL STAPLE FOOD DEVELOPMENT MODEL (MP3L) IN SOUTH LAMPUNG REGENCY

By

M. Imacullata Santa De Vega Indiako

This research aims to compare: (1) the land allocation pattern for cassava, (2) the spending for rice, and (3) food consumption patterns, among cassava farmers in the villages implementing and not implementing program of local stapple food development Model (MP3L) in South Lampung regency. The research is conducted in Pancasila Village and Negara Ratu Village of Natar District, South Lampung Regency. There are 44 respondents, consisting of 22 cassava farmers in the Pancasila Village and 22 of cassava farmers in Negara Ratu Village. Analysis method used in this study is quantitative descriptive. The results showed that: (1) the land allocated for planting cassava in Negara Ratu Village is larger than in Pancasila Village. The land alocation for planting cassava tends to be caused by the need of farmers to consume cassava and the guarantee of the markets; (2) the average household spending for rice in Pancasila Village is Rp 858.303,03 per capita per year, while the average in Negara Ratu Village is Rp 1,044,121.77 per capita per year. The significant difference is caused by the customs of households in Pancasila Village to consume processed cassava daily, excluding Beras Siger; (3) Expected Food Consumption Pattern (PPH) score of cassava farmers in Pancasila Village (87,8) is higher than PPH score of cassava farmers in Negara Ratu Village (80,5). Reduction of rice consumption has occured in Pancasila Village, but it is not caused by substitution of rice to Beras Siger.


(3)

BERAS, DAN POLA KONSUMSI PANGAN ANTARA PETANI UBI KAYU DI DESA PELAKSANA DAN NON PELAKSANA PROGRAM MODEL

PENGEMBANGAN PANGAN POKOK LOKAL (MP3L) DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Oleh

M. Imacullata Santa De Vega Indiako

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan: (1) pola alokasi lahan tanam ubi kayu, (2) pengeluaran beras, dan (3) pola konsumsi pangan, antara petani ubi kayu di desa pelaksana dan non-pelaksana Program MP3L. Penelitian ini dilakukan di Desa Pancasila (pelaksana program) dan Desa Negara Ratu (non pelaksana program), Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan. Responden dalam penelitian berjumlah 44 orang, terdiri dari 22 petani ubi kayu di Desa Pancasila dan 22 petani ubi kayu di Desa Negara Ratu. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa: (1) alokasi lahan tanam ubi kayu di Desa Negara Ratu lebih luas dibandingkan di Desa Pancasila. Pengalokasian lahan untuk ditanami ubi kayu cenderung disebabkan oleh kebutuhan petani untuk mengonsumsi ubi kayu dan adanya jaminan pasar; (2) rata-rata pengeluaran beras rumah tangga di Desa Pancasila sebesar Rp 858.303,03 per kapita per tahun, sedangkan rata-rata pengeluaran beras rumah tangga di Desa Negara Ratu sebesar Rp 1.044.121,77 per kapita per tahun. Perbedaan nilai yang cukup signifikan tersebut disebabkan oleh kebiasan rumah tangga di Desa Pancasila untuk mengonsumsi olahan ubi kayu sehari-hari, tidak termasuk Beras Siger; (3) skor PPH di Desa Pancasila (89,7) lebih tinggi dibandingkan dengan skor PPH di Desa Negara Ratu (83,3). Pengurangan beras telah terjadi di Desa Pancasila, namun tidak disebabkan oleh pensubstitusian beras dengan Beras Siger.


(4)

STUDI PERBANDINGAN POLA ALOKASI LAHAN, PENGELUARAN BERAS DAN POLA KONSUMSI PANGAN ANTARA PETANI UBI KAYU

DI DESA PELAKSANA DAN NON PELAKSANA PROGRAM MODEL PENGEMBANGAN PANGAN POKOK LOKAL (MP3L)

DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Oleh

M. IMACULLATA SANTA DE VEGA INDIAKO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

pada

Program Studi Agribisnis

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Tanjung Karang, Bandar Lampung, pada 22 Maret 1992. Penulis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara dari pasangan Yonata Toniuski Woworuntu (Ayah) dan Kristin Maryanti (Ibu).

Penulis menyelesaikan studi tingkat Sekolah Dasar di SD Xaverius 4 Bandar Lampung pada tahun 2004. Kemudian penulis meneruskan jenjang pendidikan tingkat SMP di SMP Fransiskus Tanjung Karang Bandar Lampung dan tamat pada tahun 2007. Penulis meneruskan tingkat pendidikan SMA di SMA Xaverius Bandar Lampung dan pada tahun 2010 penulis berhasil menamatkan SMA. Penulis memasuki perguruan tinggi di Universitas Lampung, Fakultas Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Agribisnis sebagai pilihan pertama pada tahun 2010 dengan jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Didukung oleh hobi penulis yaitu menyanyi, beberapa prestasi di bidang tarik suara pernah penulis raih, baik selama menduduki jenjang pendidikan di tingkat SMA maupun perguruan tinggi. Terakhir kali, penulis berkesempatan untuk menjadi Juara II pada lomba solo song yang diadakan oleh Fakultas Pertanian Universitas Lampung tahun 2012 lalu. Selama di bangku kuliah, penulis juga dipercaya untuk menjadi Asisten Dosen dalam mata kuliah Ekonometrika pada


(8)

tahun ajaran 2013/2014. Pada Tahun 2013 penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di PT Laju Perdana Indah (LPI) Site Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumatera Selatan selama 40 hari dari Bulan Juli hingga Agustus. Di luar kegiatan kampus, penulis juga aktif dalam kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai enumerator pada periode Januari – Maret 2014.

Pada tahun 2014, penulis melaksanakan penelitian mengenai perbandingan pola alokasi lahan, pengeluaran beras dan pola konsumsi pangan antara petani ubi kayu di desa pelaksana dan non pelaksana Program Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L) di Kecamatan Natar di Kabupaten Lampung Selatan.


(9)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunia kelancaran yang dicurahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Banyak pihak yang telah memberikan semangat, bantuan, nasehat, serta saran-saran yang membangun dalam penyelesaian skripsi yang berjudul “Studi Perbandingan Pola Alokasi Lahan, Pengeluaran Beras dan Pola Konsumsi Pangan Antara Petani Ubi Kayu di Desa Pelaksana dan Non Pelaksana Program Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L) di Kabupaten Lampung Selatan”ini. Dengan tulus hati penulis mengucapkan terimah kasih kepada :

1. Dr. Ir. R. Hanung Ismono, M. P., sebagai Pembimbing Pertama, atas bimbingan, waktu dan nasihat yang telah diberikan selama proses penyusunan skripsi;

2. Ir. Achdiansyah Soelaiman, M. P., sebagai Pembimbing Kedua yang telah memberikan bimbingan, dorongan dan saran-saran yang sangat bermanfaat selama proses penyusunan skripsi;


(10)

skripsi ini;

4. Dr. Ir. Fembriarti Erry Prasmatiwi, M. S., sebagai Ketua Jurusan/Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Lampung;

5. Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M. S., sebagai Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung;

6. Ir. Adia Nugraha, M. S., sebagai Pembimbing Akademik yang telah

memberikan bimbingan, bantuan dan nasehat selama penulis menuntut ilmu; 7. Seluruh Dosen dan Karyawan di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian (Mba Iin,

Mba Ayi, Mas Bukhari, Mas Kardi dan Bang Boim) atas waktu dan semua bantuan yang telah diberikan;

8. Bapak Suharyono (PPL Desa Pancasila), Bapak Sutoyo (Kepala Desa Pancasila), Ibu Sugiatmi (Mantan PPL Desa Negara Ratu), Bapak Fuadi (Kepala Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Lampung Selatan) dan Ibu Umi beserta keluaga atas bantuan, informasi dan pengetahuan bagi penulis;

9. Orang tuaku, Papa dan Mama yang tercinta atas setiap kasih sayang, doa-doa, dukungan materi, semangat, motivasi dan nasihat yang tidak akan pernah penulis lupakan;

10. Saudara-saudara kandungku yang tersayang, M. Christalia Santa Nova Indiako dan Y. Febriano Chrisxando Indiako, yang tidak pernah lelah memperhatikan setiap proses penyusunan skripsi ini dan memberikan dukungan yang kuat;


(11)

setiap kesulitan penulis;

12. Sahabat-sahabat terbaikku selama masa kuliah, Jenny Permasih SP. yang mengajarkan ketekunan dan kesabaran, Ervina Virgawati Putri, Wida Ayu Winarni SP., Septa Meliana Sari, yang selalu membawa keceriaan dan kegaduhan di setiap waktu dan tempat, Tyas Sekartiara Syafani, Huda Nur Aini, SP. dan Nita Oktami, SP. yang banyak memberikan informasi dan bantuan, serta Rizki Ramadhan sebagai teman penunggu dosen;

13. Teman-teman AGEN 2010 (Eli, Dimash, Aya, Asih, Tebe, Imam, Deby, Pitri, Hani, Wayan, Hasni, Kasogi, SP., Ludi, Marcel, Njung, Meta, Neno, Opa, Reza, Edo, Jale, Sinta, Tania, Vanes, Tri, Novita, Bang Kah, Dwi, Kinoy, Yoan, Seta, Kak Ernas). Terima kasih atas pengalaman dan kebersamaan yang telah diberikan;

14. Kakak-kakak tingkat AGB atas bimbingan serta pengarahannya;

15. Semua pihak yang telah membantu demi terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Mohon maaf atas segala kesalahan selama proses penulisan skripsi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih senantiasa memberikan yang terbaik atas setiap bantuan yang telah diberikan.

Bandar Lampung, Oktober 2014 Penulis,


(12)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. Tinjauan Pustaka ... 13

1. Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L) ... 13

2. Konsep Pola Konsumsi Pangan ... 25

3. Kajian Penelitian Terdahulu ... 27

B. Kerangka Pemikiran ... 29

III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional ... 34

B. Lokasi Penelitian, Responden dan Waktu Penelitian ... 35

C. Jenis dan Metode Pengumpulan Data ... 37

D. Metode Analisis Data ... 38

1. Analisis Alokasi Lahan Usahatani ... 38

2. Analisis Pengeluaran Pangan ... 38

3. Analisis Pola Konsumsi Pangan ... 39

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan ... 41


(13)

1. Keadaan Geografis ... 41

2. Keadaan Iklim ... 41

3. Keadaan Demografi ... 42

4. Keadaan Umum Pertanian ... 43

B. Keadaan Umum Kecamatan Natar ... 45

1. Keadaan Geografis dan Topografi ... 45

2. Keadaan Demografi ... 46

3. Keadaan Umum Pertanian... 46

C. Keadaan Umum Desa Pancasila dan Negara Ratu ... 47

1. Keadaan Geografis ... 47

2. Keadaan Demografi ... 48

3. Keadaan Umum Pertanian... 49

D. Pelaksanaan Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L) di Desa Pancasila Kabupaten Lampung Selatan ... 50

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Responden ... 55

1. Umur Responden ... 55

2. Tingkat Pendidikan Responden ... 56

3. Jumlah Tanggungan Keluarga Responden ... 57

4. Pengalaman Berusahatani Responden ... 59

5. Suku Bangsa Responden ... 60

B. Luas Lahan, Status Kepemilikan Lahan dan Alokasi Lahan Responden ... 61

C. Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Responden ... 76

D. Pola Konsumsi Pangan Responden ... 82

1. Nilai jumlah (g) dan energi (Kkal) responden pelaksana dan non pelaksana Program MP3L ... 83

2. Skor Pola Pangan Harapan (PPH) responden pelaksana dan non pelaksana Program MP3L ... 87

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 92

B. Saran ... 93 DAFTAR PUSTAKA


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Volume dan Nilai Impor Beras Indonesia pada 2009 – 2012 .... 2 2. Susunan Pola Pangan Harapan (PPH) ideal nasional ... 27 3. Skor PPH petani pelaksana dan non pelaksana

Program MP3L ... 40

4. Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di Kabupaten

Lampung Selatan tahun 2012 ... 43 5. Luas panen, produksi dan produktivitas padi dan palawija

di Kabupaten Lampung Selatan ... 44 6. Luas panen, produksi dan produktivitas padi, jagung dan

Ubi kayu di Kabupaten Lampung Selatan ... 47

7. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Desa Pancasila

dan Desa Negara Ratu tahun 2012 ... 49

8. Sebaran responden di desa pelaksana dan non pelaksana Program MP3L berdasarkan kelompok umur di Kecamatan

Natar Kabupaten Lampung Selatan tahun 2014 ... 56 9. Sebaran responden di desa pelaksana dan non pelaksana

Program MP3L berdasarkan tingkat pendidikan di Kecamatan

Natar Kabupaten Lampung Selatan tahun 2014 ... 57 10.Sebaran responden di desa pelaksana dan non pelaksana

Program MP3L berdasarkan jumlah tanggunan keluarga

di KecamatanNatar Kabupaten Lampung Selatan tahun 2014 .. 58 11.Sebaran responden di desa pelaksana dan non pelaksana

Program MP3L berdasarkan pengalaman berusahatani ubi kayu di KecamatanNatar Kabupaten Lampung Selatan


(15)

Natar Kabupaten Lampung Selatan tahun 2014 ... 61 13.Sebaran responden di desa pelaksana dan non pelaksana

Program MP3L berdasarkan status kepemilikan lahan

di KecamatanNatar Kabupaten Lampung Selatan tahun 2014 .. 63 14.Perbandingan luas alokasi lahan tanam ubi kayu jenis manis

dan pahit oleh responden di desa pelaksana dan non pelaksana Program MP3L di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung

Selatan tahun 2014 ... 66 15.Rata-rata nilai pengeluaran pangan untuk beras responden

di desa pelaksana dan non pelaksana Program MP3L di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan

tahun 2014 ... 77 16.Nilai jumlah (g) dan energi (kkal) kelompok pangan

padi-padian dan umbi-umbian yang dikonsumsi responden di desa pelaksana dan non pelaksana Program MP3L

di KecamatanNatar Kabupaten Lampung Selatan tahun 2014 .. 83 17.Skor Pola Pangan Harapan (PPH) responden di desa pelaksana

dan non pelaksana Program MP3L di Kecamatan Natar

Kabupaten Lampung Selatan tahun 2014 ... 87


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Mesin pencacah ubi kayu ... 21

2. Alat penjepit ... 21

3. Mesin penggiling ... 22

4. Mesin penggranul ... 22

5. Mesin pengayak ... 23

6. Oven ... 24

7. Bentuk kemasan Beras Siger ... 24

8. Kerangka pemikiran perbandingan pola alokasi lahan, pengeluaran beras dan pola konsumsi pangan antara petani ubi kayu pelaksana dan non pelaksana Progaram MP3L di Kabupaten Lampung Selatan ... 33

9. Beras Siger dengan kualitas kurang baik ... 53

10.Pola alokasi lahan responden di desa pelaksana Program MP3L ... 64

11.Pola alokasi lahan responden di desa non-pelaksana Program MP3L ... 65

12.Alokasi lahan tanam berdasarkan jenis ubi kayu di Desa Pancasila ... 67

13.Alokasi lahan tanam berdasarkan jenis ubi kayu di Desa Negara Ratu ... 67

14.Saluran pemasaran ubi kayu (jenis manis) di desa pelaksana Program MP3L ... 73


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Identitas responden di desa pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan

2. Identitas responden di desa non pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan

3. Luas lahan, status kepemilikan dan pola alokasi lahan responden di desa pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan

4. Luas lahan, status kepemilikan dan pola alokasi lahan responden di desa non pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan

5. Jumlah konsumsi beras dan pengeluaran beras responden di desa pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan

6. Jumlah konsumsi beras dan pengeluaran beras responden di desa non pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan

7. Jumlah energi (kkal) yang dikonsumsi responden di desa pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan tiap kelompok pangan

8. Jumlah energi (kkal) yang dikonsumsi responden di desa non pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan tiap kelompok pangan

9. Skor PPH responden di desa pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan

10.Skor PPH responden di desa non pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan


(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan pangan yang cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

masyarakat Indonesia adalah beras. Beras yang nantinya diolah menjadi nasi untuk dapat dikonsumsi oleh manusia memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi sehingga mampu menghasilkan energi bagi tubuh untuk melakukan berbagai aktivitas. Kebiasaan menjadikan beras sebagai sumber pangan pokok akhirnya menjadi sebuah ketergantungan masyarakat akan komoditas tersebut.

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2009 – 2013, rata-rata pertumbuhan konsumsi beras per kapita masyarakat Indonesia pada 2009 hingga 2013 sebesar -1,62 persen. Meskipun angka pertumbuhan konsumsi tersebut bernilai negatif (terjadi pengurangan konsumsi beras), namun rata-rata konsumsi beras sebagai salah satu kelompok pangan padi-padian hingga tahun 2013 masih lebih tinggi dari pada angka kecukupan akan padi-padian yang seharusnya. Hambali (2012) memaparkan bahwa proporsi kebutuhan kelompok padi-padian yang seharusnya dicukupi berdasarkan skor Pola Pangan Harapan (PPH) nasional adalah sebesar 50 persen dari total


(19)

kebutuhan 100 persen. Namun hingga tahun 2013 pola konsumsi masyarakat Indonesia masih didominasi oleh kelompok padi-padian mencapai lebih dari 80 persen. Hal ini menunjukkan bahwa masih terjadi kelebihan konsumsi beras pada masyarakat Indonesia.

Ketergantungan untuk mengonsumsi beras berdampak negatif pada masyarakat itu sendiri serta perekonomian negara. Kelebihan asupan karbohidrat dalam tubuh dapat mengakibatkan serangan berbagai penyakit seperti jantung, diabetes, dan obesitas. Hal lain yang menjadi dampak adalah tingginya angka impor beras Indonesia untuk memenuhi permintaan yang berpengaruh pada stabilitas perekonomian negara. Badan Pusat Statistik (2012) mencatat terjadinya peningkatan volume impor beras yang sangat signifikan dari tahun 2010 ke 2011, yaitu sebesar 2.056.420 ton beras. Dengan terjadinya peningkatan volume impor ini maka terjadi peningkatan pula pada nilai impor beras. Hingga tahun 2011 tercatat nilai impor yang harus dikeluarkan pemerintah sebesar US$ 1.509.149.000 (Tabel 1). Nilai tersebut tentu merupakan nominal yang cukup besar untuk dikeluarkan oleh negara yang mampu memproduksi padi hingga 69.056.000 ton di tahun 2012 (BPS, 2013).

Tabel 1. Volume dan Nilai Impor Beras Indonesia pada 2009 – 2012

Keterangan 2009 2010 2011 2012

(TW I)

Volume Impor (ton) 250.225 687.582 2.744.002 770.295

Nilai Impor (US$ 000) 107.943 360.785 1.509.149 420.651


(20)

Pangan alternatif kemudian dimunculkan sebagai bentuk pengurangan ketergantungan mengonsumsi beras yang berimbas bagi masyarakat hingga perekonomian Indonesia. Pangan alternatif merupakan bahan makanan yang dapat diolah untuk dijadikan makanan pengganti maupun pelengkap nasi. Salah satu bahan pangan alternatif adalah ubi kayu. Ubi kayu memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi, sehingga dapat menjadi pangan substitusi beras. Kandungan karbohidrat dalam 100 gram ubi kayu yang mencapai setengah dari karbohidrat nasi dalam takaran yang sama, menjadikan ubi kayu sebagai tanaman pangan yang disarankan sebagai substitusi nasi, sehingga ubi kayu disarankan menjadi salah satu pangan alternatif dan menjadi pangan pokok ketiga setelah beras dan jagung.

Beragam olahan dari ubi kayu yang dibuat secara inovatif untuk dapat menggugah minat masyarakat mengurangi konsumsinya akan nasi ternyata tidak berhasil. Pola konsumsi masyarakat akan nasi tetap meningkat. Penelitian Ariani (2010) menghasilkan bahwa pola konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia masih berupa pola pangan tunggal yaitu beras,

dibuktikan dengan tingginya tingkat konsumsi beras oleh rumahtangga yaitu sebesar 104,9 kg per kapita per tahun, sedangkan tingkat konsumsi terhadap ubi kayu hanya sebesar 12,9 kg per kapita per tahun. Berdasarkan

permasalahan tersebut maka pemerintah merumuskan sebuah kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan penganekaragaman jenis pangan yang

dikonsumsi masyarakat Indonesia dengan tetap memperhatikan kuantitas dan kualitas dari makanan tersebut. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 15/Permentan/OT.140/2/2013


(21)

mengenai Peningkatan Program Diversifikasi dan Ketahanan Pangan

masyarakat. Kebijakan tentang pangan juga diatur dalam UU Nomor 18 tahun 2012 sebagai revisi dari UU Nomor 7 tahun 1996.

Diversifikasi pangan merupakan suatu konsep kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi jumlah konsumsi beras dengan cara menganekaragamkan jenis pangan yang dikonsumsi masyarakat. Konsep diversifikasi pangan telah banyak diteliti oleh para pakar. Kasryno, et al dalam Hanani (2009) memandang diversifikasi pangan mencakup aspek produksi, konsumsi, pemasaran, dan distribusi. Demikian pula Suhardjo dalam Hanani (2009) menyatakan bahwa pada dasarnya diversifikasi pangan mencakup tiga lingkup pengertian yang saling berhubungan, yaitu diversifikasi konsumsi pangan, diversifikasi ketersediaan pangan dan diversifikasi produksi pangan.

Pakar lain berpendapat bahwa diversifikasi pangan diartikan sebagai pengurangan konsumsi beras yang dikompensasi oleh adanya penambahan konsumsi bahan makanan (Pakpahan dan Suhartini dalam Hanani, 2009). Semakin beragam konsumsi pangan, maka kualitas pangan yang dikonsumsi semakin baik. Konsumsi pangan sehari-hari yang beraneka ragam perlu dipenuhi untuk mencapai keseimbangan antara masukan dan kebutuhan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Kekurangan zat gizi pada jenis makanan yang satu akan dapat dilengkapi oleh jenis makanan yang lain ketika mengkonsumsi beraneka ragam pangan.

Salah satu bentuk diversifikasi pangan yang mencakup lingkup diversifikasi konsumsi dan produksi pangan adalah adanya Program Model Pengembangan


(22)

Pangan Pokok Lokal (Program MP3L) yang mulai dilaksanakan pada tahun 2013 lalu di Provinsi Lampung. Program MP3L merupakan suatu program yang dicanangkan untuk mendukung kebijakan diversifikasi pangan dengan langkah mengembangkan sumber daya wilayah yang tersedia untuk menjadi pangan pokok lokal bagi masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai dari

keberadaan program ini adalah: 1) mendorong masyarakat untuk kembali meningkatkan proporsi pangan sumber karbohidrat lokal sebagai bahan pangan pokok sandingan beras dan terigu, dan 2) menyediakan bahan pokok lokal bagi masyarakat dengan menumbuhkan kelembagaan Usaha Kecil Menengah (UKM) produsen dan/atau industri pengolahan pangan lokal menjadi bahan pangan sumber karbohidrat sandingan beras dan terigu.

Upaya pencapaian tujuan pertama dari program ini dilakukan pemerintah melalui Badan Ketahanan Pangan Tingkat Provinsi dengan mengembangkan produk dari ubi kayu sebagai sandingan beras. Produk tersebut kemudian dikenal dengan Beras Siger yang merupakan singkatan dari ‘singkong (ubi

kayu) seger’. Pengolahan Beras Siger memerlukan bahan baku berupa ubi

kayu jenis manis. Beberapa varietas ubi kayu, khususnya ubi kayu jenis pahit, memiliki kandungan racun yang hanya akan berkurang ataupun hilang bila telah mengalami proses pengolahan berupa pemasakan atau semacamnya sebelum dapat dikonsumsi atau diolah menjadi makanan, sehingga dalam pembuatan Beras Siger yang dipergunakan adalah singkong jenis manis.

Berbagai pendekatan dilakukan untuk mengukur diversifikasi konsumsi


(23)

banyak digunakan oleh pakar pertanian adalah pendekatan konsumsi melalui PPH yang diperkenalkan oleh FAO (Food and Agriculture Organisation). Pola pangan harapan merupakan komposisi dari berbagai kelompok pangan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan energi dan memberikan semua kandungan zat gizi dalam jumlah yang mencukupi. Pengukuran PPH dapat menjadi acuan atau pembanding untuk mengamati pola konsumsi pangan pelaksana program sebagai adopsi terhadap program.

Sejumlah dana diberikan pemerintah sebagai bentuk dukungan terhadap berlangsungnya Program MP3L yang diwujudnyatakan dalam bentuk penyediaan mesin untuk menghasilkan Beras Siger. Mesin-mesin tersebut meliputi mesin penggilingan, penepungan, pemanggangan, pengayakan, hingga mesin pelabelan produk. Melalui bantuan mesin-mesin tersebut, pemerintah berharap menjadi suatu jaminan pembelian hasil panen bagi petani ubi kayu, sehingga dapat terus berupaya menyediakan bahan baku Beras Siger.

Proses produksi Beras Siger membutuhkan ubi kayu jenis manis sebagai input utama produk. Untuk tetap berproduksi maka diperlukan ketersediaan ubi kayu sebagai bahan baku pembuatan Beras Siger. Secara tidak langsung Program MP3L mengikutsertakan petani ubi kayu berperan dalam keberlanjutan program. Untuk memenuhi kebutuhan produksi, petani diharapkan tergerak untuk meningkatkan produksi ubi kayunya. Salah satu upaya peningkatan produksi yang dapat dilakukan petani adalah dengan mengalokasikan lahan pertaniannya untuk ditanami ubi kayu, khususnya jenis


(24)

manis. Kesediaan petani ubi kayu di desa pelaksana program untuk mengalokasikan lahannya agar ditanami ubi kayu jenis manis merupakan suatu bentuk adopsi mereka terhadap Program MP3L.

Kemunculan Beras Siger sebagai produk keluaran Program MP3L diharapkan mampu mengembalikan pola konsumsi masyarakat di Provinsi Lampung ke pangan pokok lokal berbasis ubi kayu. Sasaran utama penyelenggaraan program pada dasarnya ditujukan bagi Anggota Program Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang dipilih sesuai susunan rencana pelaksanaan program untuk dapat mengubah pola konsumsi pangan rumah tangganya melalui pensubtitusian beras dengan Beras Siger. Namun, pada pelaksanaannya Beras Siger dapat pula dijangkau oleh masyarakat di luar anggota pelaksana,

termasuk petani ubi kayu di desa pelaksana Program MP3L. Dengan

demikian, Program MP3L dapat mengubah pola konsumsi pangan petani ubi kayu di desa tersebut ketika proses subtitusi nasi dengan Beras Siger

dilakukan. Peranan petani ubi kayu sebagai penyedia bahan baku Beras Siger secara tidak langsung juga mampu membawa perubahan pada pola konsumsi pangan petani. Hal tersebut dapat terjadi karena petani cenderung

memanfaatkan hasil produksi usahataninya untuk dikonsumsi sendiri selain untuk dikomersilkan. Peranan petani ubi kayu dalam Program MP3L

mengubah pola konsumsi pangannya yang cenderung menjadikan nasi sebagai pangan pokok dengan mengonsumsi hasil panennya dalam berbagai bentuk olahan ubi kayu.


(25)

Terdorong oleh tujuan dari Program MP3L untuk menekan jumlah konsumsi beras, maka kemunculan Beras Siger secara tidak langsung mampu menekan pengeluaran petani ubi kayu di desa pelaksana Program MP3L yang ikut berperan dalam keberlanjutan program. Petani ubi kayu diharapkan mampu mengurangi pengeluarannya terhadap beras oleh karena tersedianya ubi kayu yang dapat dikonsumsinya. Di sisi lain, tersedianya Beras Siger di desa tersebut yang dapat mereka jangkau dengan harga yang relatif lebih murah bila dibandingkan dengan harga beras akan mampu menekan pengeluaran rumah tangga terhadap beras.

B. Perumusan Masalah

Kebijakan diversifikasi pangan dicanangkan oleh pemerintah sebagai perwujudan dari sasaran penganekaragaman jenis pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia dilakukan guna mengurangi ketergantungan dan dampaknya terhadap konsumsi beras. Diversifikasi pangan itu sendiri mencakup lingkup diversifikasi konsumsi pangan dan diversifikasi produksi pangan. Salah satu wujud dari kedua lingkup diversifikasi tersebut dapat dilihat melalui pelaksanaan Program MP3L yang mengembangkan olahan pangan lokal dengan memanfaatkan produksi komoditas pangan lokal serta kebiasaan masyarakat untuk mengonsumsi pangan lokal. Hasil dari program ini adalah terciptanya produk sandingan beras berbahan dasar ubi kayu segar yang dinamakan Beras Siger.

Program MP3L di Provinsi Lampung dilaksanakan mulai tahun 2013 dimana Desa Pancasila Kecamatan Natar merupakan satu-satunya desa di Kabupaten


(26)

Lampung Selatan Provinsi Lampung yang menjadi pelaksana program tersebut. Terdorong dari tujuan pertama program, yaitu terjadinya

diversifikasi konsumsi pangan bebasis pangan lokal, maka pola konsumsi pangan masyarakat sebagai pelaksana program perlu diamati untuk mengukur adopsinya terhadap pelaksanaan program. Pengelola program di Desa

Pancasila yang terdiri dari kelompok PKK merupakan sasaran utama penerima Beras Siger yang diproduksi. Namun, kebutuhan Beras Siger terhadap ubi kayu sebagai bahan baku utama produksinya menjadikan petani ubi kayu berperan serta dalam pelaksanaan program, sehingga petani ubi kayu

memahami keberadaan program serta turut andil dalam pelaksanaan program, baik dengan turut mengonsumsi Beras Siger maupun dengan mengonsumsi olahan ubi kayu dari hasil panen yang diterimanya. Dalam penelitian ini akan dilakukan pengukuran pola konsumsi pangan petani ubi kayu di Desa

Pancasila yang diduga terpengaruh Program MP3L untuk kembali pada pola pangan pokok yang berbasis ubi kayu. Pengukuran tersebut akan dilakukan dengan melihat skor PPH, sedangkan untuk melihat pengaruh program maka akan dibandingkan antara skor PPH petani ubi kayu pelaksana dan non pelaksana Program MP3L.

Munculnya Beras Siger sebagai sandingan pangan pokok beras, secara tidak langsung dapat dimanfaatkan guna menekan pengeluaran beras bagi petani ubi kayu di desa pelaksana program. Alokasi lahan petani untuk ditanami ubi kayu jenis manis guna bahan baku Beras Siger sedikit banyak berpengaruh pada pola pangan petani itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena hasil panen ubi kayu yang diterima petani tidak seluruhnya dikomersilkan


(27)

melainkan juga dikonsumsi sendiri oleh petani, sehingga petani ubi kayu dapat mengurangi porsi pengeluaran pangan, khususnya beras, dengan

mengembalikan pola konsumsi pangannya ke pangan pokok lokal yang berbasis ubi kayu. Harga Beras Siger (Rp 7.000,00) yang lebih rendah dari rata-rata harga beli beras juga menjadi faktor pendukung berkurangnya pengeluaran beras petani ubi kayu di Desa Pancasila, ketika konsumsi berasnya disubtitusikan dengan Beras Siger.

Ketersediaan ubi kayu jenis manis sangat penting bagi keberlanjutan Program MP3L. Petani ubi kayu berperan penting dalam penyediaan bahan baku Beras Siger. Untuk mencukupi kebutuhan produksi Beras Siger, maka petani

berupaya menyediakan ubi kayu dengan mengusahatanikan ubi kayu jenis manis pada lahan pertaniannya. Kegiatan produksi Beras Siger seharusnya memotivasi petani ubi kayu di Desa Pancasila untuk terus menyediakan ubi kayu jenis manis sebagai bahan dasar pembuatannya, sehingga upaya pemenuhan kebutuhan produksi Beras Siger akan dilakukan petani. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memperluas alokasi lahannya untuk ditanami ubi kayu jenis manis.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana pengaruh Program MP3L terhadap pola alokasi lahan

tanaman ubi kayu oleh petani ubi kayu di desa pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan?


(28)

2. Bagaimana pengaruh Program MP3L terhadap pengeluaran beras petani ubi kayu di desa pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan?

3. Bagaimana pengaruh Program MP3L terhadap pola konsumsi pangan petani ubi kayu di desa pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan masalah yang ada, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan dengan membandingkan:

1. Alokasi lahan tanam ubi kayu antara petani ubi kayu di desa pelaksana dan non pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan. 2. Pengeluaran beras antara petani ubi kayu di desa pelaksana dan non

pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan.

3. Pola konsumsi pangan antara petani ubi kayu di desa pelaksana dan non pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Petani dan pengelola Program MP3L, sebagai bahan pertimbangan untuk melaksanakan sebaik-baiknya kebijakan yang berkaitan dengan


(29)

2. Pemerintah, sebagai bahan informasi dan pertimbangan dalam

pengambilan keputusan kebijakan yang berkaitan dengan diversifikasi pangan guna mencapai sasaran penganekaragaman pola konsumsi pangan dengan tetap meningkatkan taraf hidup petani.

3. Peneliti lain, sebagai bahan informasi dan perbandingan bagi penelitian sejenis.


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

A. Tinjauan Pustaka

1. Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L)

Pangan menjadi kebutuhan pokok bagi manusia dimanapun. Kebutuhan akan pangan harus tercukupi untuk dapat menghasilkan energi sebagai sumber penggerak bagi seseorang untuk melakukan berbagai aktivitas. Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang peruntukkannya adalah sebagai makanan maupun minuman bagi konsumsi manusia (Saparinto dan Hidayati, 2006).

UU Nomor 18 tahun 2012 sebagai pengganti dari UU Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan dikeluarkan pemerintah untuk melindungi masyarakat berkaitan tentang pangan yang dikonsumsinya. Ditekankan pula bahwa pangan merupakan hak asasi bagi setiap masyarakat, tidak hanya secara kuantitatif melainkan juga secara kualitatif. Pemenuhan akan pangan yang bergizi dan beragam merupakan hak asasi bagi setiap manusia.

Berkaitan tentang pangan, pemerintah mengeluarkan Permentan Nomer 15/Permentan/OT.140/2/2013 tentang Diversifikasi dan Ketahanan Pangan


(31)

guna melindungi pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia. Diversifikasi pangan merupakan suatu tahapan pencapaian penganekaragaman pangan yang konsumsi masyarakat dengan cara mengurangi konsumsi beras sebagai pangan pokok dan menganekaragamkan jenis pangan yang dikonsumsi. Program diversifikasi pangan mulai dilaksanakan pada tahun 2010 sebagai upaya pengurangan konsumsi beras dan tepung, serta penambahan

penganekaragaman konsumsi daging, sayuran, buah-buahan, maupun umbi-umbian (Badan Ketahanan Pangan, 2012).

Diversifikasi pangan ditempuh sebagai salah satu jalan untuk mengurangi peningkatan konsumsi padi-padian dan tepung yang terus bertambah

jumlahnya sejak 2001 hingga 2010. Peningkatan konsumsi padi-padian dan tepung muncul oleh karena beragam latar belakang. Pertama, sejak tahun 1969 pemerintah memacu produksi padi guna pemenuhan konsumsi pangan. Kedua, pada awal tahun 1970 pemerintah memfasilitasi kegiatan impor gandum. Ketiga, pada pertengahan tahun 1970 sosialisasi akan mie dengan cita rasa tinggi gencar dilakukan. Keempat, sejak tahun 2000 pemerintah memberikan bantuan kepada lebih dari 15 juta keluarga miskin yang dikenal dengan sebutan raskin. Kelima, pengembangan produksi, pengolahan dan pemasaran pangan sumberdaya lokal kurang mendapat perhatian dan bantuan dari pemerintah. Kelima alasan tersebut pada akhirnya mempengaruhi pola konsumsi pangan masyarakat hingga mengakibatkan nyaris hilangnya konsumsi terhadap pangan selain padi-padian dan tepung (Badan Ketahanan Pangan, 2012).


(32)

Diversifikasi pangan mencakup tiga lingkup yang saling berhubungan yaitu diversifikasi konsumsi pangan, diversifikasi produksi pangan dan

diversifikasi ketersediaan pangan (Suhardjo dalam Hanani, 2009). Aspek konsumsi mencakup perilaku yang didasari tindakan ekonomis maupun non ekonomis, seperti selera, kebiasaan dan pengetahuan. Aspek produksi diversifikasi berarti perluasan spektrum komoditas maupun pengembangan produksi komoditas. Aspek ketersediaan berkaitan erat dengan pemasaran dan distribusi pangan.

Kebijakan diversifikasi pangan yang dibentuk oleh pemerintah terwujud dalam berbagai program guna mengatasi tingginya konsumsi akan beras dan tepung. Beragam sumber pangan diperkenalkan kepada masyarakat dengan berbagai cara. Salah satu cara yang ditempuh untuk melaksanakan kebijakan ini adalah adanya Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) yang terlaksana dengan berbagai strategi.

Program P2KP merupakan bentuk konkret dari kebijakan diversifikasi pangan yang menekankan tujuannya pada: 1) mendorong pola pikir (mind set) konsumsi pangan masyarakat ke pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi, seimbang dan aman (B2SA), 2) meningkatkan partisipasi kelompok wanita dalam penyediaan dan pemanfaatan sumber pangan dan gizi keluarga melalui pemanfaatan pekarangan rumah, dan 3) meningkatkan pemanfaatan pangan lokal dan produk olahannya sebagai sumber karbohidrat pengganti beras dan terigu.


(33)

Pelaksanaan program P2KP dilakukan dengan sasaran-sasaran untuk

mengoptimalkan hasil yang ingin dicapai. Terdapat tiga sasaran utama yang ingin dicapai dari program P2KP. Pertama, terjadinya peningkatan pada skor PPH sebesar 91,5%. Kedua, penurunan pada konsumsi beras masyarakat per tahunnya sebesar 1,5%. Ketiga, peningkatan status gizi masyarakat serta penurunan proporsi pengeluaran tunai konsumsi rumah tangga akan pangan (Badan Ketahanan Pangan, 2012).

P2KP yang dirancang oleh pemerintah tidak diaplikasikan secara merata di Indonesia. Sebagai tahap awal dari jalannya kebijakan diversifikasi pangan, maka hanya beberapa wilayah terpilih yang dijadikan sebagai pelaksana dari program tersebut. Program ini dijalankan melalui sosialisasi, program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), dan Program MP3L.

Program MP3L adalah suatu langkah strategis yang dilakukan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan diversifikasi pangan dengan cara

mengembangkan komoditas pangan pokok lokal yang mendukung di wilayah sasaran. Tujuan dari adanya program tersebut yaitu: 1) mendorong

masyarakat untuk kembali meningkatkan proporsi pangan sumber

karbohidrat lokal sebagai pangan pokok sandingan beras dan terigu, dan 2) menyediakan bahan pangan pokok lokal bagi masyarakat dengan

menumbuhkan kelembagaan UKM produsen dan/atau industri pengolahan pangan lokal menjadi bahan pangan sumber karbohidrat sandingan beras dan terigu (Badan Ketahanan Pangan, 2012). Program ini mulai dilaksanakan pada tahun 2012. Hingga tahun 2013, terdapat 24 kabupaten dari 16 provinsi


(34)

di Indonesia yang menjadi pelaksana program ini. Pemilihan komoditas pangan pada MP3L dijalankan dengan memperhatikan kebiasaan pangan masyarakat lokal disamping produksi komoditas lokalnya. Berdasarkan Badan Ketahanan Pangan (2012) kegiatan yang dilakukan dalam program MP3L meliputi:

a. Pengembangan produk pangan lokal sandingan beras, seperti tepung mocaf dan berasan (beras analog buatan Universitas Pasundan dan Institut Pertanian Bogor, beras cerdas buatan Universitas Jember, dan bebilar dari Medan).

b. Uji coba akseptabilitas pangan pokok lokal kepada masyarakat miskin. c. Uji laboratorium mengenai kandungan gizi, kadar air, dan daya simpan

produk pangan lokal.

d. Identifikasi ketersediaan dan sasaran penerima pangan lokal untuk pangan miskin berupa identifikasi potensi bahan baku (jumlah dan lokasi

produksi), identifikasi calon produsen atau penghasil produk pangan miskin, dan identifikasi calon penerima subsidi pangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (jumlah rumah tangga miskin dan lokasinya). e. Pengkajian sistem kelembagaan industri pangan pokok lokal dan

mekanisme pendistribusian.

f. Pengembangan teknologi (alat dan proses) pengolahan pangan pokok lokal.

Penentuan lokasi dan pemilihan komoditas pelaksanaan program MP3L ditentukan berdasarkan kebiasaan pola pangan masyarakat di masing-masing lokasi. Hingga tahun 2013, terdapat tiga komoditas yang menjadi sandingan


(35)

beras yang dikembangkan pada program MP3L, yaitu sagu, jagung, dan ubi kayu. Penentuan komoditas sagu diprioritaskan di sembilan kabupaten/kota yang berada di bagian timur Indonesia, yaitu Kabupaten Indragiri Hilir, Maluku Tengah, Kepulauan Meranti, Sangihe, Seram Bagian Timur, Jayapura, Keerom, Sorong Selatan, dan Kota Kendari. Seperti diketahui, bahwa mayoritas masyarakat di Indonesia bagian timur memiliki kebiasaan untuk mengkonsumsi sagu sebagai pangan sandingan beras. Pemilihan komoditas tersebut juga mempertimbangkan komoditas unggulan yang mendukung di wilayah tersebut.

Jagung merupakan makanan pokok nomer dua setelah beras. Hal ini dikarenakan kandungan karbohidrat yang cukup tinggi yang terdapat pada jagung hampir menyamai kandungan karbohidrat pada nasi, sehingga jagung dijadikan sebagai komoditas pilihan dalam program MP3L untuk

disandingkan dengan beras. Program MP3L berbasis jagung dilaksanakan di tujuh kabupaten/kota yang meliputi Kabupaten Minahasa, Timor Tengah Utara, Bangkalan, Tulungagung, Mamuju, Flores Timur, dan Alor.

Ubi kayu menjadi pangan alternatif yang disarankan oleh Badan Ketahanan Pangan oleh karena kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi.

Komposisi karbohidrat pada 100 gram beras giling adalah 78,9 gram dengan energi yang mampu dihasilkan sebanyak 360 kalori. Pada 100 gram ubi kayu terkandung karbohidrat sebesar 34,7 gram dengan energi yang dihasilkan sebanyak 146 Kalori. Perlakuan pengolahan ubi kayu menjadi tepung, bahkan mampu menghasilkan karbohidrat dan kalori yang melebihi


(36)

kandungan pada beras, yaitu 88,2 gram karbohidrat dengan 363 Kalori (Direktorat Gizi, Depkes RI, 1981). Didukung dengan jumlah produksi ubi kayu yang tinggi di Lampung, maka komoditas ubi kayu dijadikan sebagai komoditas pilihan untuk dikembangkan dalam MP3L.

Hanya dua dari total 13 kabupaten dan 2 kota di Lampung yang menjadi wilayah pelaksana MP3L, yaitu Kabupaten Lampung Selatan dan Kota Bandar Lampung, dengan komoditas pangan pilihan yang dikembangkan adalah ubi kayu. Pemilihan ini didasarkan pada selera maupun kebiasaan konsumsi pangan masyarakatnya yang lebih banyak menjadikan ubi kayu sebagai pangan alternatif, serta produksi ubi kayu yang dihasilkan di kedua wilayah. Desa Pancasila merupakan satu-satunya desa di Kabupaten Lampung Selatan yang menjadi pelaksanan MP3L, sedangkan Kemiling merupakan satu-satunya kecamatan pelaksana MP3L di Kota Bandar Lampung.

Program MP3L berbasis ubi kayu yang dilaksanakan di Kabupaten Lampung Selatan dikoordinir oleh Badan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung. Pemilihan lokasi dilakukan oleh BKPP dengan berbagai kriteria tertentu, salah satunya adalah kebiasaan pola pangan masyarakat yang terbiasa mengonsumsi tiwul. Setelah diidentifikasi, maka terpilihlah Desa Pancasila sebagai pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan. Program ini terlaksana dengan adanya bantuan dana sejumlah

Rp 340.000.000,00 untuk menyediakan alat pengolah ubi kayu menjadi produk sandingan beras. Produk tersebut merupakan wujud nyata dari


(37)

program MP3L yang dilaksanakan di Kabupaten Lampung Selatan. Produk tersebut kemudian dikenal sebagai Beras Siger, yang merupakan singkatan

dari ‘singkong seger.’ Beras Siger memiliki bentuk dan rasa seperti tiwul, dan

terbuat dari ubi kayu jenis manis.

Kegiatan utama dari program MP3L adalah memproduksi Beras Siger. Dalam satu kali kegiatan produksi, digunakan bahan baku sebanyak 600 Kg ubi kayu segar, baik berjenis pahit maupun manis. Dari 600 Kg ubi kayu segar akan dihasilkan sekitar 150 – 180 Kg Beras Siger. Kegiatan produksi hanya dilakukan sebanyak 2 kali dalam satu minggu. Hal ini dikarenakan adanya proses penjemuran dan perendaman ubi kayu yang membutuhkan waktu hingga 3 – 4 hari.

Pengolahan Beras Siger dengan menggunakan mesin yang disediakan membutuhkan proses yang panjang dan memakan waktu yang cukup lama. Proses produksi diawali dengan mengupas ubi kayu dalam kondisi segar, kemudian dilanjutkan dengan pencucian ubi kayu hingga bersih. Proses selanjutnya adalah mencacah ubi kayu dengan menggunakan mesin pencacah (Gambar 1). Selanjutnya ubi kayu yang tercacah dijemur selama 3 hari atau hingga kering dengan bantuan sinar matahari. Setelah kering, ubi kayu direndam dengan air selama 2 malam. Penggantian air dilakukan sebanyak 2 kali dalam 1 malam.


(38)

Gambar 1. Mesin pencacah ubi kayu

Tahap selanjutnya ubi kayu ditiriskan dengan cara dijepit menggunakan alat penjepit (Gambar 2). Dengan bantuan alat penjepit proses penirisan air akan lebih cepat. Dalam kondisi setengah basah, ubi kayu akan digiling untuk menghasilkan tepung basah.

Gambar 2. Alat penjepit

Proses penggilingan menggunakan mesin penggiling seperti ditunjukan pada Gambar 3. Penggilingan membutuhkan waktu yang singkat karena proses dilakukan dengan bantuan mesin berbahan bakar bensin. Setelah menjadi tepung, maka dilakukan pengayakan dengan menggunakan alat pengayak terbuat dari bambu untuk mendapatkan bulir tepung yang halus.


(39)

Gambar 3. Mesin penggiling

Tepung yang halus akan dibuat menjadi granula menggunakan mesin

penggranul (Gambar 4) dengan kapasitas maksimum 10 Kg selama 10 menit. Granula terbentuk oleh karena adanya air yang mengalir selama mesin

berputar. Besarnya granula yang terbentuk tidak sama, oleh karena itu perlu dilakukan proses pengayakan.

Gambar 4. Mesin penggranul

Proses pengayakan dilakukan untuk memperoleh ukuran granula yang sama besar. Proses ini dilakukan dengan menggunakan mesin pengayak (Gambar 5). Mesin bekerja dengan bantuan bahan bakar berupa bensin. Mesin secara otomatis akan memisahkan granula berukuran kecil ke bagian penampungan


(40)

di bawahnya, sedangkan granula yang berukuran besar akan dipisahkan ke penampungan di sebelah kiri mesin. Granula kecil kemudian akan diproses lebih lanjut, sedangkan granula yang berukuran besar akan diproses ulang ke bagian penggilangan bersama pemrosesan selanjutnya.

Gambar 5. Mesin pengayak

Proses selanjutnya, granula-granula berukuran kecil dikeringkan dengan cara dipanggang dengan menggunakan oven (Gambar 6) selama 1 – 2 jam. Pengaplikasian oven dilakukan dengan bantuan arus listrik. Pemanggangan dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan kadar air dalam granul sehingga akan lebih tahan lama. Penghilangan kadar air tidak dilakukan dengan bantuan sinar matahari agar diperoleh hasil pengeringan yang lebih sempurna.


(41)

Gambar 6. Oven

Proses selanjutnya dilakukan pengukusan agar dapat dikonsumsi secara instan. Kemudian dilakukan kembali penjemuran dengan bantuan sinar matahari hingga kering, untuk akhirnya dikemas (1 Kg/kemasan) dan diberi label Beras Siger. Tiap kemasan Beras Siger dihargai Rp 7000,00. Bentuk dan kemasan Beras Siger siap jual dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Bentuk kemasan Beras Siger

Mesin pengolah Beras Siger dikoordinir oleh seorang ketua kelompok program yang merupakan masyarakat Desa Pancasila. Penerimaan yang diperoleh dari penjualan Beras Siger dimanfaatkan untuk memproduksi Beras


(42)

Siger selanjutnya. Sasaran utama dari Program MP3L adalah kelompok PKK yang sebagian besar beranggotakan ibu rumah tangga, sehingga sosialisasi program dilakukan hanya kepada anggota program. Sosialisasi yang dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan berupa cara penggunaan mesin produksi Beras Siger yang dilaksanakan pada awal pelaksanaan program.

2. Konsep Pola Konsumsi Pangan

Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap orang yang harus terpenuhi dan menjadi bagian dari hak asasi setiap orang. Menurut Husodo dan

Muchtadi (2004), pangan merupakan komoditas penting dan strategis sebagai kebutuhan pokok manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang kemudian diubah menjadi UU No. 18 Tahun 2012. Kecukupan akan pangan menentukan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Pencapaian akan kebutuhan pangan haruslah dilakukan secara sungguh-sungguh guna membentuk sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Pangan yang terpenuhi harus dalam jumlah yang cukup, aman, bermutu, dan beragam.

Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung menyatakan bahwa pola konsumsi pangan merupakan susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah bahan makanan rata-rata per orang per hari yang umum dikonsumsi penduduk dalam jangka waktu tertentu. Menurut Harper, Deaton dan Driskel (1986) pola konsumsi pangan adalah susunan dari berbagai


(43)

bahan dan hasil olahannya yang biasa dimakan seseorang yang tercermin dalam jumlah, jenis, frekuensi, dan sumber bahan makanan.

Pola konsumsi pangan dinilai secara kualitatif dan dan kuantitatif. Secara kualitatif dipandang mencakup apa yang dimakan, sedangkan secara kuantitatif meliputi jumlah, jenis, dan frekuensi yang dimakan. Berbeda dengan kebutuhan hidup lainnya, kebutuhan pangan hanya dibutuhkan secukupnya sebab kelebihan dan kekurangan pangan akan menimbulkan masalah gizi dan penyakit (Suhardjo dalam Hanani, 2009). Dalam pemilihan jenis maupun banyaknya pangan yang dimakan dapat berlainan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, akan tetapi, faktor-faktor yang

tampaknya sangat mempengaruhi konsumsi pangan dimana saja di dunia yaitu: a) jenis dan banyaknya pangan yang diproduksi dan tersedia, b) tingkat pendapatan masyarakat, dan c) pengetahuan gizi masyarakat.

Setiap orang mempunyai aturan, pembatasan, rasa suka dan tidak suka, serta kepercayaan terhadap beberapa jenis makanan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi suatu pola kebiasaan makan tertentu yang terkadang sulit diubah, tetapi kadang dapat juga diubah karena adanya situasi tertentu (Khumaidi, 1994). Harper, Deaton dan Driskel (1986) mengungkapkan bahwa pola konsumsi pangan atau kebiasaan makan adalah cara seseorang atau kelompok memilih makanan dan memakannya sebagai tanggapan dari pengaruh fisiologis, psikologis, budaya dan sosial.

Pola pangan seseorang maupun kelompok masyarakat dapat dievaluasi menggunakan PPH. Pola pangan harapan merupakan suatu pegangan


(44)

kecukupan pangan yang diwujudkan dalam susunan beragam pangan dengan masing-masing tingkat kontribusinya untuk mengetahui lebih jauh kecukupan ketersediian energi juga disertai dengan komposisi pangan yang seimbang, beragam, bergizi dan seimbang. Pangan yang dikonsumsi secara beragam dalam jumlah yang cukup dan seimbang mampu memenuhi kebutuhan zat gizi. Pada Angka Kecukupan Energi (AKE) sebesar 2.150 kkal/kapita/hari menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG, 2012) susunan PPH ideal (nasional) tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Susunan Pola Pangan Harapan (PPH) ideal nasional

No. Kelompok Pangan Energi

(kkal/kap/hari) % AKG Bobot

Skor PPH

1. Padi-padian 1.000 50,0 0,5 25,0

2. Umbi-umbian 120 6,0 0,5 2,5

3. Hewani 240 12,0 2,0 24,0

4. Minyak dan lemak 200 10,0 0,5 5,0

5. Buah dan biji berminyak

60 3,0 0,5 1,0

6. Kacang-kacangan 100 5,0 2,0 10,0

7. Gula 100 5,0 0,5 2,5

8. Sayur dan buah 120 6,0 5,0 30,0

9. Lain-lain 60 3,0 0,0 0,0

Jumlah 2.000 100,0 100,0

Sumber: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Lampung, 2005

3. Kajian Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian Rachman dan Ariani (2008) dalam penganekaragaman konsumsi pangan di Indonesia; permasalahan dan implikasi untuk kebijakan dan program, menyimpulkan bahwa upaya penganekaragaman konsumsi pangan belum sepenuhnya tercapai. Hal ini disebabkan oleh perubahan pola pangan masyarakat pada beras dan mi, dan meninggalkan pola pangan lokalnya. Rata-rata konsumsi pangan penduduk Indonesia juga masih


(45)

didominasi oleh pangan sumber karbohidrat terutama dari padi-padian. Strategi diversifikasi diperlukan untuk dapat meningkatkan pendapatan produsen, baik petani, nelayan, dan peternak kecil melalui pengembangan usaha terpadu. Pengembangan pangan lokal sesuai dengan kearifan dan kekhasan daerah juga dapat dijadikan strategi untuk mencapai tujuan dari diversifikasi pangan.

Kebijakan diversifikasi pangan salah satunya berbasis ubi kayu dilakukan guna menekan ketergantungan masyarakat akan beras. Semua upaya tersebut tidak cukup banyak mengangkat konsumsi ubi kayu pada segmen sosial sasarannya. Sumardi (2013) dalam penelitiannya tentang pola konsumsi pangan berbahan ubi kayu di Jawa Tegah mengukur tingkat konsumsi rumah tangga terhadap makanan dan bahan pangan berbahan ubi kayu. Hasilnya, tidak ada satu keluargapun yang mengkonsumsi makanan jadi berbahan dasar ubi kayu. Tingkat konsumsi untuk makanan utama ubi kayu hanya 4.409 ton atau hanya 2,31%.

Penelitian Suyastiri (2008) mengenai pola diversifikasi konsumsi pangan berbasis potensi lokal menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan masyarakat di daerah Semin Kabupaten Gunung Kidul dipengaruhi oleh musim panen petani. Apabila sedang panen jagung, petani akan cenderung mengonsumsi jagung. Apabila sedang panen ubi kayu, petani akan


(46)

B. Kerangka Pemikiran

Konsumsi pangan masyarakat Indonesia yang menjadikan beras sebagai satu-satunya pangan pokok meningkatkan ketergantungan pada konsumsi beras yang berdampak negatif bagi masyarakat dan perekonomian Indonesia. Gagasan atas tersedianya pangan alternatif sebagai sandingan beras tidak menunjukkan suatu perubahan yang signifikan terhadap pola konsumsi masyarakat akan beras. Hal ini dibuktikan dengan masih tingginya angka rata-rata konsumsi beras masyarakat Indonesia hingga tahun 2013. Bertitik tolak dari keinginan pemerintah untuk mengurangi konsumsi beras

masyarakat, maka dicanangkan sebuah kebijakan yang bertujuan untuk mengupayakan penganekaragaman jenis pangan yang dikonsumsi

masyarakat. Kebijakan tersebut merupakan kebijakan diversifikasi pangan.

Salah satu bentuk program nyata dari kebijakan diversifikasi pangan adalah adanya Program MP3L yang dilaksanakan dengan bertumpu pada dua tujuan program tersebut. Tujuan yang pertama mengharapkan terjadinya perubahan pola konsumsi masyarakat yang beraneka ragam dengan mendorong kembali proporsi konsumsi masyarakat pada pangan pokok lokal sandingan beras dan terigu. Kedua, program ini bertujuan untuk mengembangkan industri

komoditas pangan lokal untuk mencukupi ketersediaan pangan lokal.

Program MP3L dilaksanakan dengan mempertimbangkan sumber daya yang tersedia di wilayah pelaksana program, seperti komoditas unggulan wilayah, sehingga pelaksanaan program di Desa Pancasila Kecamatan Natar berbasis pada ubi kayu. Hasil dari kegiatan MP3L terwujud dalam suatu produk yang


(47)

dinamakan Beras Siger. Bahan baku Beras Siger merupakan ubi kayu dengan jenis manis. Pemilihan ubi kayu jenis ini dilakukan karena adanya kandungan racun dalam ubi kayu jenis pahit yang berbahaya untuk

dikonsumsi, mengingat proses pengolahan ubi kayu menjadi Beras Siger belum cukup untuk menghilangkan kandungan racun di dalam ubi kayu. Proses produksi Beras Siger sangat bergantung pada ketersediaan ubi kayu jenis manis, sehingga keberadaan petani ubi kayu yang mengalokasikan lahannya untuk ditanami ubi kayu manis secara tidak langsung berperan terhadap keberlangsungan program.

Dalam pelaksanaan Program MP3L, terdapat pihak pengelola yang berasal dari masyarakat Desa Pancasila yang juga bekerja untuk memproduksi Beras Siger. Sasaran utama dari terlaksananya Program MP3L merupakan anggota pelaksana yang terdiri dari anggota PKK, sehingga perubahan pola konsumsi pangan diharapkan terjadi pada anggota tersebut. Meski sosialisasi program hanya dilakukan bagi anggota program, namun tidak menutup kemungkinan bagi masyarakat selain anggota pelaksana program mengenal dan

mengonsumsi Beras Siger, karena distribusi Beras Siger tidak hanya

dikhususkan bagi anggota. Berkaitan dengan peranannya yang cukup penting untuk keberlanjutan Program MP3L di Desa Pancasila, maka perubahan pada pola konsumsi pangan petani ubi kayu di desa tersebut dapat terjadi.

Program MP3L merupakan cakupan dari lingkup diversifikasi konsumsi pangan dan diversifikasi produksi pangan. Dengan dorongan pencapaian tujuan pertama dari program untuk mengembalikan pola konsumsi pangan


(48)

masyarakat pada pangan pokok lokal berbasis ubi kayu, maka terlaksananya diversifikasi konsumsi pangan akan terwujud dengan cara dilakukannya subtitusi dari beras menjadi Beras Siger yang dilakukan oleh petani ubi kayu di Desa Pancasila. Untuk mengetahui adanya pengaruh dari Program MP3L terhadap lingkup diversifikasi konsumsi, maka penelitian ini hendak

menganalisis pola konsumsi pangan petani ubi kayu di Desa Pancasila yang akan diukur dengan skor PPH.

Lingkup diversifikasi produksi pangan terwujud melalui terciptanya produk Beras Siger. Penyediaan mesin-mesin produksi Beras Siger diberikan oleh Badan Ketahanan Pangan di Desa Pancasila. Adanya kegiatan produksi Beras Siger di Desa Pancasila dimaksudkan sebagai jaminan pasar untuk membeli hasil panen ubi kayu jenis manis bagi petani ubi kayu di desa

tersebut. Dengan demikian petani ubi kayu di desa pelaksana Program MP3L tergerak untuk mengalokasikan lahannya guna ditanami ubi kayu jenis manis sebagai bahan baku pembuatan Beras Siger. Perubahan yang terjadi pada petani ubi kayu dalam mengalokasikan lahan tanam untuk ditanami ubi kayu jenis manis menunjukkan proses adopsi yang dilakukannya terhadap Program MP3L.

Perubahan pola konsumsi pangan petani ubi kayu di Desa Pancasila dalam mengonsumsi beras akan berdampak pada perubahan pengeluaran pangan rumah tangga petani tersebut ketika konsumsi beras disubtitusikan dengan mengonsumsi Beras Siger. Perubahan pengeluaran pangan rumah tangga terjadi karena harga jual Beras Siger yang lebih rendah dibandingkan harga


(49)

jual rata-rata beras, yaitu Rp 7.000,00. Perubahan pengeluaran pangan juga dapat terjadi karena petani ubi kayu yang mengalokasikan lahannya untuk ditanami ubi kayu jenis manis umumnya akan memanfaatkan hasil panennya untuk dikonsumsi sendiri dalam berbagai olahan. Olahan-olahan ubi kayu yang dikonsumsi petani biasanya berupa tiwul, ubi kayu goreng, maupun ubi kayu kukus yang dapat digunakan sebagai subtitusi nasi dan makanan

selingan.

Perubahan yang terjadi pada alokasi lahan tanam, pengeluaran pangan rumah tangga dan pola konsumsi pangan petani ubi kayu di Desa Pancasila

merupakan wujud nyata adanya pengaruh dari Program MP3L bagi mereka. Guna melihat perubahan yang terjadi, maka dalam penelitian ini diperlukan sampel petani ubi kayu di desa yang bukan merupakan pelaksana program, yaitu Desa Negara Ratu. Dengan demikian, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh adanya Program MP3L terhadap petani ubi kayu di Desa Pancasila. Kerangka pemikiran mengenai perbandingan pola alokasi lahan, pengeluaran pangan dan pola konsumsi pangan antara petani ubi kayu pelaksana dan non pelaksana program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan ditunjukkan pada Gambar 8.


(50)

Keterangan:

= Fokus pembandingan pada desa non pelaksana Program MP3L

Gambar 8. Kerangka pemikiran perbandingan pola alokasi lahan, pengeluaran pangan dan pola konsumsi pangan antara petani ubi kayu pelaksana dan non pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan

Ketergantungan konsumsi beras MP3L Diversifikasi Pangan Pangan alternatif

Berbasis ubi kayu

Petani ubi kayu Pengelola program Beras

Siger Sosialisasi program Skor PPH Metode recall Pola konsumsi pangan

Pola alokasi lahan

Pengeluaran beras pangan

Desa non pelaksana program Desa pelaksana program Diversifikasi Konsumsi Pangan Tujuan pertama MP3L Tujuan kedua MP3L Bantuan dari BKP Diversifikasi Produksi Pangan


(51)

III. METODE PENELITIAN

A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional

Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis sehubungan dengan tujuan penelitian.

Diversifikasi pangan dalam penelitian ini adalah penganekaragaman jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi masyarakat untuk mengurangi kelebihan konsumsi beras, dalam lingkup konsumsi dan produksi pangan yang diukur melalui program MP3L.

Program MP3L adalah program yang mendukung penganekaragaman pangan yang dikonsumsi masyarakat dengan mengembangkan sumber pangan lokal yang mendukung serta kebiasaan pola konsumsi masyarakat untuk mengonsumsi tiwul. Sumber pangan lokal yang dipilih di Provinsi Lampung berbasis pada ubi kayu. Hasil utama program ini adalah produk Beras Siger yang berbahan baku ubi kayu dan memiliki bentuk seperti tiwul.

Luas lahan adalah total keseluruhan lahan yang dimanfaatkan responden untuk setiap kegiatan usahatani, baik berstatus milik sendiri, menyakap,


(52)

maupun menyewa. Lahan yang dimaksud adalah lahan sawah, ladang, dan perkebunan. Luas lahan diukur dalam satuan hektar (ha).

Alokasi lahan adalah pembagian luas lahan responden untuk ditanami tanaman yang berbeda-beda, diukur dalam satuan hektar (ha).

Pengeluaran beras adalah sejumlah uang yang dikeluarkan responden untuk mengonsumsi beras. Pengeluaran dalam penelitian ini difokuskan pada pengeluaran untuk konsumsi beras. Pengeluaran untuk pangan beras diukur dalam satuan Rupiah per kapita per tahun.

Pola konsumsi pangan adalah kontribusi setiap jenis kelompok pangan yang dikonsumsi petani ubi kayu sebagai responden. Perbedaan pola konsumsi berdasarkan jumlah konsumsi tiap-tiap kelompok makanan diukur melalui skor Pola Pangan Harapan (PPH) antara petani ubi kayu pelaksana dan non pelaksana Program MP3L.

B. Lokasi Penelitian, Responden, dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan

pertimbangan bahwa Kecamatan Natar merupakan satu-satunya kecamatan di Lampung Selatan yang menjadi pelaksana program MP3L.

Responden dalam penelitian ini merupakan petani yang membudidayakan ubi kayu pada lahan pertaniannya. Responden penelitian ini berada pada dua desa yaitu Desa Pancasila dan Desa Negara Ratu. Kedua desa tersebut


(53)

dipilih secara purposive karena beberapa alasan. 1) Kedua desa tersebut merupakan desa di Kecamatan Natar dimana terdapat petani yang membudidayakan ubi kayu dan memiliki karakteristik pengelolaan usahatani yang tidak jauh berbeda. 2) Desa Pancasila merupakan satu-satunya desa di Kecamatan Natar dan di Kabupaten Lampung Selatan yang menjadi pelaksana program MP3L. 3) Desa Negara Ratu merupakan desa di Kecamatan Natar yang menghasilkan produksi ubi kayu yang cukup tinggi dan bukan pelaksana program MP3L, selain itu letak desa yang berdekatan mempengaruhi kemiripan pengelolaan usahatani yang dilakukan. Kedua desa ini dipilih sebagai sampel untuk membandingkan alokasi lahan, pengeluaran pangan dan pola konsumsi pangan pada desa yang menjadi pelaksana dengan desa yang bukan pelaksana program MP3L.

Petani ubi kayu di Desa Pancasila berjumlah 22 orang. Semua petani ubi kayu tersebut seluruhnya ikut andil dalam program MP3L. Karena jumlah populasi yang kecil dan mudah dijangkau, maka dilakukan sensus

sehingga diharapkan hasilnya akan mendekati nilai yang sesungguhnya dan mampu memperkecil kesalahan atau penyimpangan nilai populasi. Jumlah petani ubi kayu di Desa Negara Ratu sebanyak 56 orang. Jumlah populasi petani ubi kayu di Desa Pancasila yang kecil menjadi alasan untuk menjadikan seluruh petani di desa tersebut sebagai responden dalam penelitian ini. Berdasarkan hal tersebut, maka untuk alasan kesetaraan proporsi sampel, maka diambil sebanyak 22 petani dari total 56 petani ubi kayu di Desa Negara Ratu. Dengan demikian, maka jumlah responden


(54)

dalam penelitian ini adalah sebanyak 44 responden yang terbagi atas 22 responden di Desa Pancasila dan 22 responden di Desa Negara Ratu. Pengumpulan data dilakukan pada Maret 2014 sampai dengan April 2014.

C. Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara yang secara langsung dilakukan dengan responden pelaksana program MP3L dan non-pelaksana program MP3L dengan bantuan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disediakan sebagai alat pengumpulan data. Dilakukan pula pengamatan langsung untuk mengetahui kondisi nyata yang ada di desa penelitian.

Untuk mengetahui jumlah dan jenis makanan yang telah dikonsumsi responden digunakan metode recall ( menanyakan kembali seluruh pangan yang telah dikonsumsi responden selama 24 jam sebelumnya).

Pengumpulan data dilakukan selama 2 hari tidak berturut-turut agar diperoleh keberagaman jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi responden. Untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi

responden maka diperlukan alat bantu berupa timbangan makanan. Data sekunder diperoleh dari studi literatur, laporan-laporan, publikasi, dan pustaka lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini, serta

lembaga/instansi yang terkait dalam penelitian ini, seperti Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Lampung Selatan, Badan Pusat Statistik, Dinas Pertanian Kabupaten Lampung Selatan, dan lain-lain.


(55)

D. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk menghitung dan

mengukur alokasi lahan tanaman ubi kayu, pengeluaran pangan, pola konsumsi pangan responden pelaksana dan non pelaksana program MP3L. Secara deskriptif, nilai yang diperoleh akan dijabarkan untuk menjawab tujuan-tujuan penelitian ini.

1. Analisis Alokasi Lahan Tanam

Metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan pertama penelitian ini adalah analisis kuantitatif. Dengan menggunakan metode tabulasi, data yang diperoleh dicatat dalam bentuk tabel. Angka yang ditunjukkan dalam tabel menjadi nilai pembanding alokasi lahan tanam, khususnya ubi kayu, antara responden pelaksana dan non pelaksana Program MP3L yang kemudian dideskripsikan.

2. Analisis Pengeluaran Beras

Pengeluaran beras dalam penelitian ini perlu dianalisis karena

berkaitan dengan tujuan program MP3L untuk mengurangi konsumsi beras. Pengeluaran untuk pangan beras diukur dalam satuan Rupiah (Rp). Untuk menjawab tujuan kedua dari penelitian ini maka digunakan metode analisis deskriptif kuantitatif.


(56)

Data yang diperoleh dicatat secara tabulasi, kemudian dikonversikan dalam satuan Rupiah per tahun untuk mengetahui jumlah pengeluaran beras dari responden. Data tersebut diolah dengan bantuan program Microsoft Excel untuk mempermudah proses perhitungan dan tabulasi data. Hasil tabulasi yang diperoleh selanjutnya dijabarkan secara deskriptif untuk membandingkan pengeluaran beras antara responden pelaksana dan non pelaksana program MP3L.

3. Analisis Pola Konsumsi Pangan

Tujuan ke tiga dari penelitian ini akan menggunakan metode analisis deskriptif kuantitatif. Analisis kuantitatif diperlukan untuk melakukan pengukuran pola konsumsi pangan yang memperhitungkan jumlah dan kontribusi konsumsi beberapa jenis pangan terhadap Angka

Kecukupan Gizi (AKG).

Jumlah beberapa jenis makanan yang dikonsumsi selama 2 hari

dikonversi dalam satuan zat gizi energi, kemudian dirata-ratakan dalam 1 hari. Untuk mengetahui kandungan gizi bahan makanan maka

digunakan rumus sebagai berikut (Hardinsyah dan Martianto, 1989):

Keterangan:

KGij = kandungan gizi (energi) jenis makanan yang dikonsumsi

Bj = berat makanan yang dikonsumsi (gram)

Gij = kandungan gizi (energi) dalam 100 gram jenis makanan yang

dikonsumsi


(57)

Rata-rata jumlah konsumsi berbagai makanan dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok pangan dan dicatat secara tabulasi dalam tabel skor PPH (Tabel 3). Skor PPH diperoleh dari hasil kali antara energi dengan bobot dari tiap kelompok pangan yang sudah

ditentukan. Dengan melihat skor PPH responden pelaksana dan non pelaksana Program MP3L akan dapat dijabarkan secara deskriptif perbedaan pola konsumsi pangan dari kedua responden.

Tabel 3. Skor PPH petani pelaksana dan non-pelaksana Program MP3L

No. Kelompok Pangan

Skor PPH Petani

pelaksana

Petani

non-pelaksana Ideal Nasional 1. Padi-padian

2. Umbi-umbian

3. Hewani

4. Minyak dan lemak 5. Buah dan biji

berminyak 6. Kacang-kacangan

7. Gula

8. Sayur dan buah 9. Lain-lain


(58)

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan 1. Keadaan Geografis

Kabupaten Lampung Selatan merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang membentang pada posisi 105º14’ BT - 105º45’ BT dan

25º15’ LS - 6º LS. Luas wilayah Kabupaten Lampung Selatan adalah

200.701 hektar. Kabupaten Lampung Selatan terdiri atas 17 kecamatan, 248 desa dan 3 kelurahan (BPS Kabupaten Lampung Selatan, 2013).

Secara administratif Kabupaten Lampung Selatan memiliki batas wilayah sebagai berikut.

1. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung Timur.

2. Sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa. 3. Sebelah selatan berbatasan dengan Selat Sunda.

4. Sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Pesawaran.

2. Keadaan Iklim

Kabupaten Lampung Selatan memiliki iklim tropis humid dengan suhu terendah 21,20˚C dan suhu terringginya mencapai 34,10˚C. Kelembapan


(59)

udara di Lampung Selatan berkisar 72 – 86 persen. Pada Desember 2012 curah hujan tertinggi terjadi selama 25 hari dengan rata-rata curah hujan mencapai 396,60 milimeter (mm). Sebagian besar wilayah Lampung Selatan merupakan dataran, dimana terdapat 195 desa yang berada di wilayah hamparan, sedang 18 desa sisanya berada di wilayah puncak dan lereng (BPS Kabupaten Lampung Selatan, 2013).

3. Keadaan Demografi

Berdasarkan BPS Kabupaten Lampung Selatan (2013), pada tahun 2012 terjadi peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Lampung Selatan yaitu mencapai 932.550 jiwa dari tahun sebelumnya (tahun 2010) yang

berjumlah 912.500 jiwa. Rata-rata kepadatan penduduk di Lampung Selatan adalah 464 jiwa per km2. Kepadatan penduduk di Lampung Selatan belum tersebar secara merata.

Angka sex ratio penduduk Lampung Selatan mencapai 106,36 persen, dimana menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibanding jumlah penduduk perempuan. Perbandingan tersebut masing-masing terdiri dari 480.643 jiwa penduduk berjenis kelamin laki-laki (51,54 persen) dan 451.909 jiwa penduduk berjenis kelamin perempuan (48,46 persen). Sebagian besar penduduk Kabupaten Lampung Selatan adalah memeluk agama Islam sebanyak 95,81 persen, agama Hindu sebanyak 1,20 persen, agama Protestan sebanyak 1,01 persen, agama Katolik sebesar 0,76 persen, dan agama Budha sebanyak 0,25 persen, serta kepercayaan lainnya sebesar 0,97 persen (BPS Kabupaten Lampung


(60)

Selatan, 2013). Distribusi penduduk di Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2012

Kelompok umur (tahun) Jumlah penduduk (jiwa) Persentase (%) 0 – 14

15 – 64 > 65 284.972 602.973 44.605 30,56 64,66 4,78

Total 932.550 100,00

Sumber : BPS Kabupaten Lampung Selatan, 2013

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa penduduk Kabupaten Lampung Selatan sebagian besar termasuk berada dalam kelompok usia produktif, yaitu berada pada kisaran 15 - 64 tahun atau sekitar 64,66 persen dari total jumlah penduduk. Hal ini dapat menunjukkan bahwa ketersediaan tenaga kerja di Kabupaten Lampung Selatan cukup tinggi.

4. Keadaan Umum Pertanian

Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terdiri atas lahan sawah seluas 45.785 hektar atau 22,81 persen dari total luas wilayah Lampung Selatan. Sisanya sebesar 77,19 persen merupakan lahan bukan sawah dan lahan bukan pertanian, seperti, rumah, bangunan, jalan, sungai dan lain-lain. Sebesar 76,56 persen lahan sawah yang terdapat di Kabupten Lampung Selatan merupakan lahan sawah tadah hujan dimana sebagian besar hanya ditanami satu kali.


(61)

Ubi kayu merupakan salah satu komoditas unggulan di Kabupaten

Lampung Selatan. Meskipun jumlah produksi ubi kayu tidak lebih tinggi dari pada komoditas unggulan Lampung Selatan lainnya, seperti padi dan jagung, namun produksi ubi kayu mampu menyumbangkan nilai cukup tinggi pada pendapatan daerah di bidang pertanian. Jenis tanaman lain yang banyak ditanam di Kabupaten Lampung Selatan antara lain ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau dan kacang kedelai, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Luas panen, produksi dan produktivitas padi dan palawija di Kabupaten Lampung Selatan, tahun 2012

No Jenis tanaman Luas panen

(ha)

Produksi (ton)

Produktivitas (ton/ha)

1 Jagung 105.252 529.028 5,03

2 Padi 85.120 428.965 5,04

3 Ubi kayu 10.100 214.730 21,26

4 Kacang kedelai 1.528 1.734 1,13

5 Ubi jalar 616 6.091 9,89

6 Kacang tanah 518 633 1,22

Sumber: BPS Kabupaten Lampung Selatan, 2013

Berdasarkan Tabel 5, produktivitas ubi kayu Lampung Selatan cukup tinggi. Produktivitas 21, 26 ton per hektar masih lebih tinggi dari nilai rata-rata produktivitas ubi kayu nasional sebesar 19,8 ton per hektar (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, 2013). Tingginya nilai produktivitas tersebut yang menjadikan ubi kayu sebagai komoditas unggulan di Kabupaten Lampung Selatan.


(62)

B. Keadaan Umum Kecamatan Natar 1. Keadaan Geografis dan Topografi

Kecamatan Natar merupakan salah satu kecamatan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Lampung Selatan. Natar merupakan kecamatan terluas di Lampung Selatan dengan total luas wilayahnya 235.740 hektar. Terdapat 22 desa yang tercakup pada wilayah Kecamatan Natar.

Secara administratif Kabupaten Lampung Selatan memiliki batas wilayah sebagai berikut.

a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Tegineneng Kabupaten Pesawaran.

b. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Jati Agung. c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kota Bandar Lampung.

d. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Tegineneng Kabupaten Pesawaran.

Ketinggian desa-desa di Kecamatan Natar rata-rata berada pada 100 meter di bawah permukaan laut, dengan topografi berupa dataran. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani karena topografi Natar yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Selain lahan pertanian, terdapat pula banyak industri dan Bandar Udara di

Kecamatan Natar, hal ini diharapkan mampu meningkatkan perekonomian masyarakatnya (Kecamatan Natar dalam Angka, 2013).


(63)

2. Keadaan Demografi

Pada tahun 2012, jumlah penduduk di Kecamatan Natar berdasarkan hasil proyeksi berjumlah 176.370 jiwa. Jumlah tersebut menunjukkan

peningkatan sebesar 2011 jiwa pada jumlah penduduk Kecamatan Natar dari tahun sebelumnya (tahun 2011). Kepadatan penduduk rata-rata Kecamatan Natar sebesar 695 jiwa per km2.

Jumlah penduduk laki-laki di Kecamatan Natar lebih tinggi dibanding perempuan. Penduduk laki-laki berjumlah 90.311 jiwa, sedang penduduk perempuan berjumlah 86.059 jiwa. Nilai sex ratio di Kecamatan Natar sebesar 104 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari 104 penduduk laki-laki terdapat 100 penduduk perempuan (Kecamatan Natar dalam Angka, 2013).

3. Keadaan Umum Pertanian

Kecamatan Natar memilki lahan sawah seluas 4.561 hektar dari total luas wilayahnya (Kecamatan Natar dalam Angka, 2013). Luas lahan pertanian di Natar dimanfaatkan untuk ditanami komoditas-komoditas unggulan wilayah yaitu padi, jagung dan ubi kayu. Ketiga komoditas tersebut menghasilkan produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas pertanian lainnya. Perbedaan luas lahan, produksi dan produktivitas ketiga komoditas tersebut disajikan pada Tabel 6.


(64)

Tabel 6. Luas panen, produksi dan produktivitas padi, jagung dan ubi kayu di Kabupaten Lampung Selatan, tahun 2012

No Jenis tanaman Luas panen

(ha)

Produksi (ton)

Produktivitas (ton/ha)

1 Padi 7.786 40.345 5,18

2 Jagung 6.192 31.123 5,03

3 Ubi kayu 807 17.157 21,26

Sumber: BPS Kabupaten Lampung Selatan, 2013

Berdasarkan Tabel 6, produktivitas ubi kayu di Kecamatan Natar cukup tinggi. Nilai rata-rata produktivitas ubi kayu di Kecamatan Natar setara dengan nilai rata-rata produktivitas tingkat kabupaten dan lebih tinggi dari nilai rata-rata produktivitas nasional. Ubi kayu masih bertahan sebagai komoditas unggulan di Kecamatan Natar.

C. Keadaan Umum Desa Pancasila dan Desa Negara Ratu

Desa Pancasila dan Desa Negara Ratu merupakan 2 desa yang terletak di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan. Dalam penelitian ini, Desa Pancasila merupakan sampel desa pelaksana Program Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L), sedangkan Desa Negara Ratu merupakan sampel desa non pelaksana Program MP3L. Desa Pancasila merupakan satu-satunya desa yang menjadi pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan.

1. Keadaan Geografis

Desa Pancasila memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut.

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Rulung Raya dan Desa Bandarejo.


(65)

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kerawang Sari. d. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Muara Putih.

Desa Pancasila memiliki wilayah seluas 1.004 hektar terdiri dari 819 Kepala Keluarga yang tersebar pada 6 dusun. Jarak Desa Pancasila dengan Ibukota Kabupaten Lampung Selatan adalah 90 km, sedangkan jarak dengan Ibukota Kecamatan Natar adalah 15 km (Profil Desa Pancasila, 2013).

Desa Negara Ratu memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Rejosari.

b. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Merak Batin. c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Gedung Tataan. d. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Natar.

Luas wilayah Negara Ratu adalah 850 hektar yang terdiri dari 14 dusun. Jarak Desa Negara Ratu dengan Ibukota Kabupaten Lampung Selatan adalah 120 km, sedangkan jarak dengan Ibukota Kecamatan Natar adalah 1,5 km (Monografi Desa Negara Ratu, 2013). Letak Desa Negara Ratu yang lebih berdekatan dengan ibukota kecamatan memudahkan penduduk untuk mengakses transportasi dan fasilitas umum.

2. Keadaan Demografi

Penduduk Desa Pancasila hingga akhir tahun 2013 berjumlah 2.810 jiwa, terdiri atas 1.429 jiwa penduduk berjenis kelamin laki-laki dan 1.381 jiwa penduduk berjenis kelamin perempuan (Profil Desa Pancasila, 2013),


(66)

sedangkan Desa Negara Ratu memiliki penduduk sebanyak 12.310 jiwa hingga tahun 2012 yang terdiri atas 6.337 penduduk laki-laki dan 5.974 penduduk perempuan (Monografi Desa Negara Ratu, 2013). Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Desa Pancasila dan Desa Negara Ratu disajikan pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Desa Pancasila dan Desa Negara Ratu tahun 2012

Keterangan Desa Pancasila Desa Negara Ratu

Laki-laki (jiwa) 1.381 6.337

Perempuan (jiwa) 1.492 5.974

Jumlah 2.810 12.310

Sumber: Profil Desa Pancasila, 2013

Pada Tabel 7 di atas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan lebih banyak di Desa Pancasila, yaitu sebanyak 1.492 jiwa dari total penduduk sebanyak 2.810 jiwa. Sebaliknya terjadi pada Desa Negara Ratu, lebih banyak jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki dibanding jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan. Dari total penduduk 12.310 jiwa, sebanyak 6.337 jiwa diantaranya merupakan penduduk berjenis kelamin laki-laki, dan 5.974 jiwa sisanya merupakan penduduk dengan jenis kelamin perempuan.

3. Keadaan Umum Pertanian

Penggunaan lahan di Desa Pancasila dan Desa Negara Ratu meliputi persawahan, peladangan/tegalan, perkebunan, dan lain-lain. Sebagian besar penggunaan lahan di Desa Pancasila adalah untuk lahan persawahan, khususnya sawah setengah teknis, dengan luas areal mencapai 578,25


(1)

Lampiran 5. Jumlah konsumsi beras dan pengeluaran beras responden di desa pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan

No Nama Anggota

Keluarga

Konsumsi beras (kg/hr/RT)

Konsumsi beras (kg/kap/thn)

Harga beras (Rp/kg)

Pengeluaran beras harian (Rp/kap/hari)

Pengeluaran beras bulanan (Rp/kap/tahun)

1 Tumino 5 1 73,00 8000 1600,00 584000,00

2 Waris 5 1,5 109,50 8000 2400,00 876000,00

3 Slamet 3 1,5 182,50 8000 4000,00 1460000,00

4 Memed 4 0,75 68,44 8000 1500,00 547500,00

5 Sugeng 4 1 91,25 8000 2000,00 730000,00

6 Suyatmoko 5 1,5 109,50 8000 2400,00 876000,00

7 Wanto 4 0,75 68,44 8000 1500,00 547500,00

8 Bari 3 0,5 60,83 8000 1333,33 486666,67

9 Wahyudi 4 1,5 136,88 8000 3000,00 1095000,00

10 Jainudin 5 1,5 109,50 8000 2400,00 876000,00

11 Sunari 4 1 91,25 8000 2000,00 730000,00

12 Suremi 5 1,5 109,50 8000 2400,00 876000,00

13 Marno 4 2 182,50 8000 4000,00 1460000,00

14 Sukatno 3 0,5 60,83 8000 1333,33 486666,67

15 Sukiman 5 1,5 109,50 8000 2400,00 876000,00

16 Samsudin 5 1,5 109,50 8000 2400,00 876000,00

17 Joko 4 1,5 136,88 8000 3000,00 1095000,00

18 Joni Irawan 4 1 91,25 8000 2000,00 730000,00

19 Sumaryono 4 1 91,25 8000 2000,00 730000,00

20 Ngatemin 4 1,5 136,88 8000 3000,00 1095000,00

21 Sutiono 3 1 121,67 8000 2666,67 973333,33

22 Sugino 5 1,5 109,50 8000 2400,00 876000,00

JUMLAH 92 27


(2)

Lampiran 6. Jumlah konsumsi beras dan pengeluaran beras responden di desa non pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan

No Nama Anggota

Keluarga

Konsumsi beras (kg/hr/RT)

Konsumsi beras (kg/kap/thn)

Harga beras (Rp/kg)

Pengeluaran beras per hari (Rp/kap/hari)

Pengeluaran beras per bulan (Rp/kap/tahun)

1 Misno 6 2 121,67 8000 2666,67 973333,33

2 Herman 4 2 182,50 8000 4000,00 1460000,00

3 Daliman 5 2 146,00 8000 3200,00 1168000,00

4 Bambang 3 1 121,67 8000 2666,67 973333,33

5 Sutejo 3 1 121,67 8000 2666,67 973333,33

6 Bustami 5 2,5 182,50 8000 4000,00 1460000,00

7 Bandi 6 2 121,67 8000 2666,67 973333,33

8 Wakidi 5 2 146,00 8000 2666,70 973345,50

9 Sirun 4 1,5 136,88 8000 3000,00 1095000,00

10 Saleh 4 1 91,25 8000 2000,00 730000,00

11 Slamet 2 0,5 91,25 8000 2000,00 730000,00

12 Bagyo 6 2,5 152,08 8000 3333,33 1216666,67

13 Tumani 5 2,5 182,50 8000 4000,00 1460000,00

14 Sudar 3 1 121,67 8000 1333,30 486654,50

15 Amin 5 2 146,00 8000 3200,00 1168000,00

16 Cahyo 4 1,5 136,88 8000 3000,00 1095000,00

17 Mulsani 5 2 146,00 8000 3200,00 1168000,00

18 Narko 2 0,5 91,25 8000 2000,00 730000,00

19 Setya 3 1 121,67 8000 2666,67 973333,33

20 Abdul 3 1,5 182,50 8000 4000,00 1460000,00

21 Darman 5 2,5 182,50 8000 2666,70 973345,50

22 Yono 4 1 91,25 8000 2000,00 730000,00

JUMLAH 92 35,5


(3)

No Padi-padian

Umbi-umbian Hewani

Minyak & lemak

Buah & biji berminyak

Kacang-kacangan Gula

Sayur &

buah Lain-lain

1 864 470,6 256,69 87,0 0,0 0 0 300 0,0

2 1112,4 0 202,65 87,0 0,0 0 0 94,85 0,0

3 883,8 497,75 168,875 87,0 0,0 0 0 82,5 0,0

4 1047,6 135,75 315,84 87,0 0,0 0 0 0 0,0

5 950,4 199,1 202,65 87,0 0,0 164 0 300 0,0

6 1328,4 0 202,65 87,0 0,0 0 0 225 0,0

7 1008 362 243,18 87,0 0,0 164 0 225 0,0

8 1155,6 0 945,864 87,0 0,0 246 0 0 0,0

9 1098 135,75 700,64 87,0 0,0 0 0 0 0,0

10 1033,2 307,7 243,18 87,0 0,0 0 0 53,5 0,0

11 1135,8 407,25 300,8 87,0 0,0 246 0 0 0,0

12 1017 181 202,65 87,0 0,0 0 364 110 0,0

13 1026 289,6 315,84 87,0 0,0 328 0 0 0,0

14 1017 769,25 243,18 87,0 0,0 0 0 153,75 0,0

15 1146,6 0 0 87,0 0,0 0 0 150 0,0

16 1112,4 181 202,65 87,0 0,0 0 0 82,5 0,0

17 1089 126,7 202,65 87,0 0,0 0 364 110 0,0

18 1027,8 742,1 216,16 87,0 0,0 246 0 52 0,0

19 1184,4 0 0 87,0 0,0 328 0 82,5 0,0

20 1051,2 497,75 202,65 87,0 0,0 328 0 300 0,0

21 876,6 633,5 243,18 87,0 0,0 0 546 78 0,0

22 966,6 434,4 202,65 87,0 0,0 0 0 82,5 0,0

JUMLAH 23131,8 6371,2 5814,6 1914,0 0,0 2050,0 1274,0 2482,1 0,0

RATA-RATA 1051,4 289,6 264,3 87,0 0,0 93,2 57,9 112,8 0,0

berdasarkan tiap kelompok pangan


(4)

No Padi-padian umbianUmbi- Hewani Minyak & lemak Buah & biji berminyak kacanganKacang- Gula Sayur &

buah Lain-lain

1 1458 543 202,65 87,0 0,0 0 0 225 0,0

2 1573,2 0 613,06 87,0 0,0 0 546 39 0,0

3 1274,4 0 388,6 87,0 0,0 164 546 0 0,0

4 1339,2 0 437,9 87,0 0,0 0 546 0 0,0

5 1152 181 162,12 87,0 0,0 0 0 225 0,0

6 1278 0 168,875 87,0 0,0 164 0 0 0,0

7 1090,8 0 0 87,0 0,0 492 0 118,5 0,0

8 1411,2 0 525,48 87,0 0,0 0 0 0 0,0

9 1152 0 101,325 87,0 0,0 246 0 127,5 0,0

10 1080 0 202,65 87,0 0,0 0 0 86,5 0,0

11 1062 181 135,1 87,0 0,0 0 0 110 0,0

12 1188 0 338 87,0 0,0 164 0 52,5 0,0

13 1231,2 0 135,1 87,0 0,0 0 0 225 0,0

14 1260 271,5 507 87,0 0,0 0 0 0 0,0

15 1170 0 67,55 87,0 0,0 246 0 110 0,0

16 1107 452,5 735,672 87,0 0,0 0 0 0 0,0

17 1166,4 0 770,704 87,0 0,0 164 0 0 0,0

18 1134 135,75 209,405 87,0 0,0 0 0 0 0,0

19 1211,4 362 202,65 87,0 0,0 0 0 110 0,0

20 1114,2 633,5 845 87,0 0,0 0 546 0 0,0

21 1278 181 236,425 87,0 0,0 0 0 137,5 0,0

22 1197 0 67,55 87,0 0,0 246 0 78 0,0

JUMLAH 26928,0 2941,3 7052,8 1914,0 0,0 1886,0 2184,0 1644,5 0,0

RATA-RATA 1224,0 133,7 320,6 87,0 0,0 85,7 99,3 74,8 0,0

berdasarkan tiap kelompok pangan


(5)

Lampiran 9. Skor PPH responden di desa pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan

No. Kelompok Pangan gr Kalori % kalori % kalori (per 2.200) Bobot Skor PPH Skor PPH Ideal

1 Padi-padian 292,1 1051,4 53,7 47,8 0,5 23,9 25

2 Umbi-umbian 160,0 289,6 14,8 13,2 0,5 2,5 2,5

3 Hewani 186,5 264,3 13,5 12,0 2,0 24,0 24

4 Minyak dan lemak 10,0 87,0 4,4 4,0 0,5 2,0 5

5 Buah dan biji berminyak 0,0 0,0 0,0 0,0 0,5 0,0 1,0

6 Kacang-kacangan 38,5 93,2 4,8 4,2 2,0 8,5 10

7 Gula 16,0 57,9 3,0 2,6 0,5 1,3 2,5

8 Sayur dan buah 125,0 112,8 5,8 5,1 5,0 25,6 30

9 Lain-lain 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0


(6)

Lampiran 10. Skor PPH responden di desa non pelaksana Program MP3L di Kabupaten Lampung Selatan

No. Kelompok Pangan gr Kalori % kalori % kalori (per 2.200) Bobot Skor PPH Skor PPH Ideal

1 Padi-padian 340,0 1224,0 60,4 55,6 0,5 25,0 25

2 Umbi-umbian 74,0 133,7 6,6 6,1 0,5 2,5 2,5

3 Hewani 210,5 320,6 15,8 14,6 2,0 24,0 24

4 Minyak dan lemak 10,0 87,0 4,3 4,0 0,5 2,0 5

5 Buah dan biji berminyak 0,0 0,0 0,0 0,0 0,5 0,0 1,0

6 Kacang-kacangan 26,5 85,7 4,2 3,9 2,0 7,8 10

7 Gula 34,0 99,3 4,9 4,5 0,5 2,3 2,5

8 Sayur dan buah 106,5 74,8 3,7 3,4 5,0 17,0 30

9 Lain-lain 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0