Saya Beragama Maka Saya Bahagia Kaitan R

Saya Beragama, Maka Saya Bahagia: Kaitan Religiusitas dan
Spiritualitas pada Kepribadian dan Subjective-Well Being
Esai Pengganti Ujian Akhir Semester Psikologi Lintas Budaya Lanjut

Christ Billy Aryanto
1406591775

Magister Ilmu Psikologi
Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
Depok
2015

Christ Billy Aryanto
1406591775

Psikologi Lintas Budaya Lanjut

Pendahuluan
Indonesia adalah negara dengan agama yang beragam. Meskipun berbeda, tetapi
warga Indonesia tetap bisa hidup berdampingan dan harmonis dalam keberagaman. Menurut

Suryadharma Ali, menteri Agama pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
periode 2009 - 2014, Indonesia merupakan negara yang memiliki toleransi antarumat
beragama yang paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara lainnya (Asril, 2013).
Meskipun berbeda-beda agama, tetapi warga Indonesia tetap percaya bahwa Tuhan adalah
Esa, bahkan sudah dituturkan dalam sila pertama Pancasila.
Indonesia mengenal 6 agama yang diakui yang sudah dipelajari dalam pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan sejak kecil, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik,
Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu. Terlepas dari Indonesia, agama yang dianut oleh dunia
sangatlah beragam dengan Kristen dan Islam dikatakan sebagai dua agama terbesar di dunia
di mana dua pertiga populasi dari dunia merupakan penganut dari salah satu dari kedua
agama tersebut (Green, 2015). Banyak agama yang dianut oleh warga di dunia yang mungkin
tidak banyak diketahui oleh warga Indonesia, seperti Baha’i, Jainisme, Judaisme, Shinto,
Sikh, Tao, Neopagan, dan lain-lain (Robinson, 2015). Berdasarkan data dari Ontario
Consultants on Religious Tolerance , sampai saat ini terdapat 40 agama dan kepercayaan yang

telah terorganisir (Robinson, 2015).
Keberagaman dari agama ini telah menarik para ahli di bidang psikologi untuk
melakukan penelitian terkait dengan agama dan kaitannya dengan manusia baik secara
kognitif, emosi, bahkan kesehatan jiwa. Studi mengenai agama dilakukan karena agama
dianggap penting oleh banyak orang dan banyak tingkah laku yang manusia lakukan

dilakukan atas nama agama (Hood, Peter, & Spilka, 2009). Beberapa tingkah laku manusia
yang didasarkan pada agama yang diberikan oleh Hood, Peter, dan Spilka (2009) adalah saat
seorang ibu melahirkan, sang bayi kemudian harus dibaptiskan atau disunat karena
merupakan anjuran dalam agama. Contoh lainnya adalah dalam pernikahan orang akan
melakukan pernikahan dengan pasangan yang memiliki kepercayaan yang sama dan
kemudian menginterpretasikan perannya sebagai suami atau istri sesuai dengan ajaran agama.
Agama juga membantu seseorang untuk menghadapi kematiannya dengan gambaran bahwa
setelah meninggal seseorang yang baik akan mendapatkan kehidupan yang baik, bahkan
terdapat kepercayaan lainnya yang percaya bahwa setelah meninggal akan bangkit kembali.
Agama yang sama bila dianut oleh seseorang yang berasal dari budaya yang berbeda
juga akan memberikan karakteristik yang berbeda terhadap cara pandang dan aspek
psikologis dari seseorang. Misalnya seperti Islam yang dianut di Timur Tengah, mereka

Christ Billy Aryanto
1406591775

Psikologi Lintas Budaya Lanjut

memahami Islam sebagai sebuah cara pandang ilmu pengetahuan lalu mengembangkannya
dengan model dan metode yang dirumuskan baik melalui adopsi dari metode berpikir Filsafat

Yunani maupun yang dibangun secara mandiri (Ramadhansyah, n. d). Geertz (1968)
menyatakan bahwa penyebab dari hal ini adalah karena dua negara yang berbeda memiliki
dua budaya yang berbeda juga. Dari sini dapat dilihat bahwa Psikologi Lintas Budaya dapat
berperan dalam hal ini karena Psikologi Lintas Budaya mempelajari secara kritis dan
membandingkan pengaruh budaya pada aspek psikologis manusia (Shiraev & Levy, 2010).
Perlu diingat bahwa aspek penting dalam psikologi lintas budaya adalah membandingkan dan
apa yang ditelitinya adalah keberagaman psikologis dan apa alasan dibalik keberagaman
tersebut.
Agama dapat mengarahkan seseorang untuk melakukan suatu tingkah laku tertentu,
sehingga dapat dikatakan bahwa agama dapat berkaitan juga dengan kepribadian.
Kepribadian juga merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi kebahagiaan (Diener,
2009). Esai ini akan membahas lebih dalam terkait religiusitas, spiritualitas, dan kaitannya
terhadap kepribadian dan kebahagiaan.

Tinjauan Pustaka
Sebelum melangkah lebih jauh untuk pembahasan mengenai religiusitas dan
spiritualitas, perlu diketahui dahulu hal fundamental yang memunculkan adanya religiusitas
dan spiritualitas yaitu agama. Agama sendiri merupakan suatu hal penting yang membentuk
religiusitas seseorang. Definisi apapun dari agama sendiri menurut Yinger (1967, dalam
Hood, Hill & Spilka, 2009) hanya dapat memuaskan dari pembuat defnisi saja dan belum

tentu bisa memuaskan untuk semua orang. Robinson (2015) juga menegaskan bahwa banyak
orang memiliki definisi yang disukainya secara pribadi sesuai dengan apa mereka yang
mereka tahu untuk menjadi definisi yang tepat tanpa mempedulikan apa pendapat orang lain.
Sayangnya, sampai sekarang tidak ada definisi yang mendekati konsensus. Secara tradisional,
istilah agama merujuk pada segala aspek yang berhubungan pada hubungan manusia dengan
Yang Maha Kuasa (Nelson, 2009). Masih terdapat perdebatan mengenai apakah religiusitas
dan spiritualitas merupakan suatu hal yang equivocal atau unequivocal (Rio & White, 2012).
Equivocal maksudnya adalah religiusitas dan spiritualitas adalah suatu hal yang tidak pasti

dan masih dapat dipertanyakan, sedangkan unequivocal adalah religiusitas dan spiritualitas
merupakan suatu hal yang pasti dan tidak perlu diragukan lagi (Rio & White, 2012).
Religiusitas sendiri mengenal apa yang disebut sebagai orientasi beragama. Allport
dan Ross (1967, dalam Herek, 1987) menyatakan terdapat 2 orientasi beragama atau cara

Christ Billy Aryanto
1406591775

Psikologi Lintas Budaya Lanjut

seseorang dalam menghayati agamanya. Pertama adalah orientasi beragama yang ekstrinsik,

di mana seseorang menganut agama untuk dirinya sendiri dan sebatas konform dengan apa
yang ada di lingkungannya. Seseorang dengan orientasi religius ekstrinsik digambarkan
mengikuti suatu agama tertentu sebagai usahanya untuk berpartisipasi dalam suatu kelompok
yang memiliki kekuatan (Genia & Shaw, 1991, dalam Maltby, Lewis, & Day, 1999). Kedua
adalah orientasi beragama yang intrinsik, di mana seseorang menganut agama dapat
memberikan orang tersebut pemahaman dan kerangka berpikir untuk memahami hidupnya.
Seseorang dengan orientasi beragama intrinsik digambarkan sebagai orang yang hidup dalam
kepercayaan agamanya dan agama memengaruhi segala aspek dalam kehidupannya (Allport,
1966, dalam Maltby, Lewis, & Day, 1999). Allport dan Ross (1967, dalam Herek, 1987)
menyimpulkan bahwa individu dengan orientasi beragama ekstrinsik akan ‘menggunakan’
agama untuk kepentingannya pribadi dan individu dengan orientasi beragama intrinsik
‘hidup’ dalam agama untuk menjawab pertanyaannya akan hidup.
Awalnya perbedaan intrinsik dan ekstrinsik dilihat sebagai sebuah dimensi yang
bipolar, namun akhirnya muncul empat tipologi berdasarkan orientasi beragama intrinsik dan

ekstrinsik dari cara pandang dualistik yang menganggap kedua hal tersebut continuum.
Tipologi pertama adalah intrinsic, yaitu memiliki orientasi beragama yang tinggi pada
intrinsik tetapi rendah pada ekstrinsik. Kedua adalah extrinsic, yaitu memiliki orientasi
beragama yang tinggi pada ekstrinsik tetapi rendah pada intrinsik. Ketiga adalah nonreligious, yaitu memiliki orientasi beragama yang rendah baik secara intrinsik maupun


ekstrinsik. Keempat adalah indiscriminately pro-religious, yaitu memiliki orientasi beragama
yang tinggi baik secara intrinsik maupun secara ekstrinsik (Herek, 1987).
Beit-Hallahmi dan Argyle (1997, dalam Maltby, Lewis, dan Day, 1999)
menambahkan satu lagi orientasi yang terlepas dari religiusitas intrinsik maupun ekstrinsik
yaitu quest. Individu dengan orientasi beragama quest digambarkan orang-orang terlibat
dalam agama secara terbuka, responsif terhadap pertanyaan-pertanyaan eksistensialis yang
muncul karena kontradiksi dalam hidup dan kejadian buruk dalam hidup (Batson, et al., 1993,
dalam Maltby, Lewis, dan Day, 1999). Orientasi beragama quest diduga menggolongkan
orientasinya dalam tiga faktor agama. Pertama adalah kemampuan untuk menjawab
pertanyaan

eksistensial

tanpa

mengurangi

kompleksitas

mereka.


Kedua

adalah

kecenderungan individu memahami kritik pada diri sendiri dan keraguan terhadap agama
sebagai sesuatu yang positif. Ketiga adalah kesementaraan (tentativeness) atau keterbukaan
untuk mengubah kepercayaan agamanya sendiri (Baston & Schoenrade, 1991a, dalam
Maltby, Lewis, dan Day, 1999).

Christ Billy Aryanto
1406591775

Psikologi Lintas Budaya Lanjut

Spiritualitas mengacu pada fenomena yang mengacu pada hal-hal ‘non-material’ yang
berkaitan pada iman, kepercayaan, dan harapan yang berbeda dari hal-hal ‘material’ yang
berkaitan pada kepemilikan, akumulasi dari hak milik, dan kompetisi (Shiraev & Levy, 2010,
p. 304). Dalam konteks psikologi, spiritualitas menekankan pada pikiran dibandingkan raga
(matter ), being dibandingkan having, dan usaha mental dibandingkan kegiatan fisik. Individu

mengembangkan sebuah kepercayaan yang kuat dalam kehadirannya ruh atau spiritual
essence yang mengisi semua yang ada dalam dunia, termasuk manusia. Ruh ini ada sebelum,

setelah, dan melebihi hadirnya suatu materi (Shiraev & Levy, 2010, p.304). Banyak peneliti
psikologi lintas budaya berusaha memahami spiritualitas dari suatu budaya terlebih dahulu
sebagai sumber informasi dan sumber penalaran dari orang-orang yang hidup dalam budaya
yang tradisional (Shiraev & Levy, 2010, p.304).
Religiusitas dikatakan memiliki korelasi dengan kebahagiaan seseorang (Bixter, 2014;
Lun & Bond, 2013; Stavrova, Fetchenhauer, & Schlosser, 2013) atau dalam psikologi positif
dikenal konsep bernama subjective well-being untuk menjelaskan kebahagiaan (Veenhoven,
2004). Membahas kebahagiaan tidak akan lepas juga dari kepribadian orang yang berbahagia,
sebab kepribadian merupakan salah satu faktor dari tinggi atau rendahnya subjective wellbeing (Diener, 2009). Telah ditemukan bahwa seseorang yang extrovert cenderung memiliki
subjective-well being yang lebih tinggi, karena biasanya orang yang extrovert akan cenderung

mencari sensasi dan ramah terhadap orang lain (Diener, 2009). Kepribadian seseorang juga
ternyata dapat terbentuk dari kepercayaannya terhadap agama, kepribadian itu sendiri
ditentukan melalui Five Factor Model of personality (Gebauer, Bleidorn, Gosling, Rentfrow,
Lamb, & Potter, 2014; Yeo, 2014). Penelitian kepribadian biasanya menggunakan Five
Factor Model dikarenakan telah konsisten di banyak budaya (McCrae & Allik, 2002, dalam


Church, Alvarez, Mai, French, Katigbak, & Ortiz, 2011).

Penelitian Lintas Budaya Terkait Kepribadian dan Kebahagiaan
Pertama akan dibahas terlebih dahulu terkait religiusitas dan spiritualitas dan
kaitannya dengan kepribadian antar budaya, setelah itu akan dibahas religiusitas dan
spiritualitas dan kaitannya dengan subjective well-being antar budaya. Salah satu penelitian
terbaru terkait religiusitas dan kepribadian adalah penelitian dari Gebauer dan kawan-kawan
(2014). Penelitiannya adalah variasi lintas budaya dari kepribadian berdasarkan Big Five atau
Five Factor Model dan hubungannya dengan religiusitas. Pengambilan data yang dilakukan

untuk penelitian ini tergolong lama, yaitu tahun 2001 sampai tahun 2012. Tidak heran bahwa
sampel dari penelitian ini terdiri atas 1.129.334 partisipan yang berasal dari 66 negara,

Christ Billy Aryanto
1406591775

Psikologi Lintas Budaya Lanjut

1.057.342 partisipan berasal dari 50 negara bagian di Amerika Serikat, 20.885 partisipan
berasal dari 15 negara federal Jerman, dan 544.512 partisipan berasal dari daerah urban

Inggris.
Satu studi dengan cara cross-sectional self report yang dilakukan oleh Gebauer dan
kawan-kawan (2014) dipecah menjadi 4 studi yang berbeda dan dibagi menjadi studi 1a
sampai studi 1d. Setiap studi dilakukan pengukuran Big Five Personality dengan Big Five
Inventory, personal religiosity yang diukur dengan sebuah item yang sudah valid, dan
sociocultural religiosity yang dilihat dari rerata respons partisipan terhadap personal
religiosity di suatu negara. Semua pengukuran tersebut diadministrasikan secara online

melalui Gosling-Potter Internet Personality Project. Sampel yang diambil pada studi 1a – 1b
dan 1c – 1d memiliki karakteristik yang sedikit berbeda di mana sampel pada studi 1a – 1b
merupakan sampel yang lebih religius dibandingkan sampel pada studi 1c – 1d yang lebih
sekuler.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa pada sampel yang lebih religius
memiliki agreeableness dan conscientiousness yang lebih tinggi dibandingkan sampel yang
lebih sekuler. Openness pada partisipan yang lebih religius memiliki korelasi yang negatif
dibandingkan dengan partisipan yang lebih sekuler. Extraversion dan neuroticism dikatakan
tidak memiliki kaitan dengan religiusitas, meskipun secara statistik menunjukkan bahwa
hasilnya signifikan. Hal ini diduga karena sampel yang diambil sangat banyak sehingga
secara statistik menunjukkan signifikan (Gebauer, et al., 2014). Pada sampel Indonesia,
penelitian dilakukan pada 2.856 partisipan dengan mean usia 24,21 tahun dan standar deviasi

7,8. Tingkat religiusitas negara (berdasarkan sociocultural religiosity) mendapat 3,19 poin
dan merupakan negara dengan tingkat religiusitas negara tertinggi ke 5 dari 66 negara setelah
Pakistan, Filipina, Mesir, dan Saudi Arabia. Hubungan antara religiusitas dan kepribadian
menunjukkan agreeableness 0,18, conscientiousness 0,18, openness 0,3, extraversion 0,3,
dan neuroticism -,01. Hasil di Indonesia berarti sesuai dan konsisten dengan penghitungan
berdasarkan keseluruhan negara atau hasil secara omnibus karena korelasi agreeableness dan
conscientiousness dan tidak pada openness, extraversion, dan neuroticism (Gebauer, et al.,

2014).
Penelitian lain melakukan penelitian yang lebih spesifik yaitu kepada warga Islam di
Jakarta (Yeo, 2014). Penelitian ini melihat tingkat religisiutas partisipan dengan alat ukur
bernama Faith Maturity Scale (FMS) yang memiliki dua dimensi yaitu dimensi horizontal
dan dimensi vertikal, gabungan kedua dimensi tersebut disebut dimensi total (Benson,
Donahue, & Erickson, 1993, dalam Yeo, 2014). Dimensi horizontal mengacu pada nilai

Christ Billy Aryanto
1406591775

Psikologi Lintas Budaya Lanjut

seseorang terhadap aktivitas-aktivitas prososial dan bagaimana seseorang memperbolehkan
iman mereka percayai untuk membimbing tidnakan yang dilakukannya. Hal ini juga tentang
bagaimana seseorang memandang penderitaan yang dialaminya dalam hidup dan cara
menanggapi kebutuhan akan orang lain. Dimensi vertikal mengacu pada hubungan pribadi
seseorang dengan Tuhan dan menekankan pada bagaimana seseprang memelihara
hubungannya dengan Tuhan. Dimensi total didefinisikan sebagai sejauh mana seseorang
mewujudkan prioritas, komitmen, dan perspektif karakteristik yang dinamis dan mengubah
hidup beriman (Yeo, 2014). Penelitian yang dilakukan Yeo (2014) tidak membedakan apa itu
religiosity dan spirituality karena berdasarkan penelitiannya Islam tidak secara jelas

membedakan antara spiritualitas dan agama dan cenderung melihat praktek religiusitas yang
dilakukan sebagai suatu perjalanan spiritual yang akan membawa umatnya menuju
keselamatan.
Hasil penelitian dari Yeo (2014) menggunakan multiple regression dengan
menjabarkan satu persatu pengaruh dari kepribadian berdasarkan Five Factor Model terhadap
faith maturity vertikal, faith maturity horizontal, dan faith maturity total. Pada dimensi

vertikal, ditemukan pengaruh positif yang signifikan pada extraversion dan agreeableness
dengan peningkatan 1 unit pada extraversion dan agreeableness akan meningkatkan masingmasing 0,26 unit dan 0,34 unit pada faith maturity vertikal. Pada dimensi horizontal,
ditemukan pengaruh negatif yang signifikan pada openness terhadap faith maturity horizontal
dan pengaruh positif signifikan pada agreeableness terhadap faith maturity horizontal. Hasil
penghitungan menunjukkan kenaikan 1 unit pada openness akan menurunkan 0,18 unit pada
faith maturity horizontal dan kenaikan 1 unit pada agreeableness akan menaikkan 0,09 unit

pada faith maturity horizontal. Pada dimensi faith maturity total, ditemukan pengaruh positif
pada agreeableness di mana peningkatan 1 unit pada agreeableness akan meningkatkan 0,43
unit pada faith maturity total.
Meskipun hasil-hasil penelitian yang menggunakan Five Factor Model tampaknya
konsisten pada berbagai budaya yang berbeda, tetapi perlu diperhatikan bahwa budaya yang
berbeda juga dapat memengaruhi kepribadian seseorang secara berbeda juga. Penelitianpenelitian lintas budaya yang menggunakan Five factor model khususnya yang diukur
menggukan Revised NEO Personality Inventory (NEO-PI-R, Costa & McCrae, 1992, dalam
Church, et al., 2011) menurut Church dan kawan-kawan (2011) perlu dikaji lebih dalam lagi
apakah benar-benar semua orang di budaya yang berbeda dapat dibagikan menjadi 5 trait
kepribadian. Penelitian kemudian dilakukan pada sampel di 3 negara berbeda, yaitu Amerika,
Filipina, dan Mexico, dan kemudian dilakukan pengujian differential item functioning (DIF)

Christ Billy Aryanto
1406591775

Psikologi Lintas Budaya Lanjut

untuk menguji sub-dimensi dari 5 dimensi kepribadian dalam five factor model. Penelitian ini
bertujuan untuk menunjukkan apakah benar bahwa five factor model dapat digeneralisir
secara universal ke negara dan budaya yang berbeda dan hasilnya ditemukan bahwa tiap
budaya memiliki kecenderungan kepribadian yang berbeda-beda jika dilihat dari sub-dimensi
masing-masing five factor model (Church, et al., 2011). Meskipun hasil penelitian tersebut
belum bisa digeneralisir ke dunia karena hanya dilakukan di 3 negara dan penelitianpenelitian menggunakan differential item functioning memang belum banyak dilakukan,
sehingga sampai sekarang five factor model masih valid dan reliabel untuk melakukan
penelitian terkait kepribadian antar budaya.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya ditemukan bahwa individu dengan
kepribadian extrovert cenderung memiliki subjective well-being yang lebih tinggi (Diener,
2009). Bila dikaitkan dengan religiusitas, ditemukan extraversion tidak memiliki korelasi
dengan religiusitas (Gebauer, et al., 2014). Tetapi apakah hal ini serta merta menunjukkan
bahwa seseorang yang religius memiliki subjective well-being yang rendah? Penelitian terkait
dengan religiusitas dan subjective well-being atau kebahagiaan telah dilakukan oleh beberapa
peneliti. Salah satunya adalah penelitian Bixter (2014) yang meneliti terkait kebahagiaan dan
religiusitas di 53 negara.
Bixter melakukan penelitian dengan mengukur kebahagiaan dan religiusitas dengan
alat ukur yang dikembangkan oleh general social survey (GSS, 2012, dalam Bixter, 2014).
Berdasarkan penghitungan regresi, ditemukan hasil bahwa religiusitas memiliki pengaruh
terhadap kebahagiaan di mana peningkatan 1 unit pada religiusitas akan meningkatkan
kebahagiaan sebanyak 0,19 unit.
Lun dan Bond (2013) melakukan juga penelitian untuk meneliti hubungan antara
agama dan spiritualitas terhadap subjective well-being di budaya yang berbeda-beda.
Penelitian dilakukan pada 42 negara termasuk Indonesia. Pengukuran terhadap variabelvariabel dilakukan dengan mengukur kepuasan terhadap hidup, kebahagiaan, kepercayaan
terhadap otoritas agama, nilai terhadap Tuhan atau terhadap tuhan-tuhan, nilai agama, praktek
spiritual, praktek agama secara sosial, dan identitas agama. Masing-masing dari negara juga
dicari tahu Human Development Index (HDI), Social Hostilities Index (SHI), dan dukungan
untuk sosialiasi agama di mana Human Development Index digunakan untuk mengetahui
angka harapan hidup, tingkat pendidikan, dan jumlah pendapatan dari masing-masing negara
(U.N Development Programme, 2010, dalam Lun & Bond, 2013), Social Hostilities Index
digunakan untuk mengetahui tingkat konflik sosial yang terjadi dalam terhadap agama di
negara yang berbeda-beda (Pew Forum on Religion & Public Life, 2009, dalam Lun & Bond,

Christ Billy Aryanto
1406591775

Psikologi Lintas Budaya Lanjut

2013), dan dukungan sosialisasi agama untuk melihat tingkat dukungan yang lebih tinggi
dianggap sebagai menunjukkan tingkat dukungan dalam beragama dalam konteks sosial, jika
tingkat dukungan semakin tinggi maka dukungan sosial normatif untuk sosialisasi agama
dalam konteks budaya nasional juga semakin tinggi (Lun & Bond, 2013). Di Indonesia
sendiri, sampel yang diambil sebanyak 1.671 orang dengan mean usia 36 dan standar deviasi
13,75. Human Development Index menunjukkan angka 0,61, Social Hostilities Index
menunjukkan angka 7,8, dan dukungan terhadap sosialisasi agama sebesar 92,3%. Hal yang
menarik adalah adalah dukungan terhadap sosialisasi agama di Indonesia mencapai angka
92,3% dan merupakan angka yang paling tinggi diantara 41 negara lainnya. Ini menunjukkan
toleransi beragama yang ada di Indonesia dan dukungan sosial normatif untuk sosialisasi
agama yang tinggi di Indonesia.
Penelitian tersebut kemudian melakukan dua analisis statistik di mana masing-masing
variabel dikorelasikan dengan variabel lainnya, yaitu menggunakan zero-order correlation
dan hierarchical linear modeling . Hasil yang akan dipaparkan akan berfokus pada pada hasil
dari zero-order correlation karena menunjukkan hubungan variabel dalam lingkup individu.
Zero-order correlation digunakan untuk mengetahui korelasi antar variabel pada level

individu dan hierarchical lineral modeling untuk level individu sampai level negara.
Berdasarkan hasil zero-order correlation, ditemukan bahwa kepuasan terhadap hidup
berkorelasi negatif dengan religiusitas dan spiritualitas, tetapi perlu diingat bahwa effect size
dari korelasi tersebut mendekati angka nol (Lun & Bond, 2013). Pada variabel kebahagiaan,
ditemukan hasil yang sama dengan kepuasan terhadap hidup di mana ditemukan korelasi
negatif antara kebahagiaan dengan religiusitas dan spiritualitas meskipun tidak signifikan
(Lun & Bond, 2013). Ditemukan hasil yang sama dengan temuan sebelumnya dimana
terdapat hubungan yang tidak kuat antara afek yang positif dan pengukuran religiusitas
(Diener, et al., 2011, dalam Lun & Bond, 2013).
Penelitian yang berbeda dilakukan oleh Stavrova dan kawan-kawan (2013) untuk
mengetahui apakah penerimaan norma sosial terhadap orang-orang yang religius
memengaruhi kebahagiaan orang-orang yang religius. Penelitian dilakukan di 64 negara
termasuk Indonesia dengan jumlah 101.682 partisipan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
orang-orang yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupannya dibandingkan
dengan orang-orang yang tidak religius (Stavrova, et al., 2013). Negara yang norma sosialnya
menerima orang-orang religius dinyatakan memiliki kebahagiaan dan kepuasan hidup yang
lebih tinggi dibandingkan yang norma sosialnya belum menerima, meskipun baik di negara

Christ Billy Aryanto
1406591775

Psikologi Lintas Budaya Lanjut

dengan norma sosial menerima ataupun tidak menerima sama-sama bahagia (Stavrova, et al.,
2013).
Penelitian Yeo (2014) yang secara spesifik meneliti warga Islam di Jakarta juga
menemukan adanya korelasi antara religiusitas, spiritualitas, dan kebahagiaan. Hasil yang
ditemukan adalah bahwa faith maturity dan religiusitas secara signifikan dapat meningkatkan
kepuasan terhadap hidup individu serta subjective well-being individu. Meskipun belum bisa
digeneralisir ke Indonesia, tetapi hal ini menunjukkan warga Muslim di Jakarta yang
memiliki kepercayaan terhadap agamanya memiliki kepuasan hidup dan kebahagiaan yang
lebih tinggi dibandingkan yang tidak memiliki kepercayaan.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu yang telah dijabarkan, dapat diketahui
kaitan antara religiusitas, spiritualitas, kepribadian berdasarkan Five Factor Model, dan
subjective well-being atau kebahagiaan. Orang yang lebih religius memiliki kepribadian
agreeableness dan conscientiousness yang lebih tinggi dibandingkan orang yang tidak

religius dan trait kepribadian openness memiliki korelasi yang negatif dengan religiusitas
(Gebauer, et al., 2014). Yeo (2014) memiliki arah korelasi yang berbeda sehingga
menghasilkan temuan yang berbeda di mana peneliti mencari tahun kaitan kepribadian dan
religiusitas dan spiritualitas dengan kepribadian sebagai variabel bebas. Hasilnya ditemukan
bahwa secara umum trait kepribadian agreeableness yang paling memiliki pengaruh terhadap
faith maturity baik faith maturity vertikal, horizontal, maupun total.

Temuan terkait dengan subjectve well-being sebelumnya menyatakan bahwa
extraversion merupakan kepribadian yang memiliki pengaruh terhadap subjective well-being

(Diener, 2009). Hasil dari penelitian terkait religisiutas, spiritualitas, dan kebahagiaan
menemukan hasil yang beragam antara penelitian Bixter (2012), Lun dan Bond (2013),
Stavrova (2012), dan Yeo (2014). Penelitian Bixter (2012), Stavrova (2013), dan Yeo (2014)
sama-sama menunjukkan bahwa religiusitas dan spiritualitas memiliki hubungan yang positif
dengan subjective well-being, kepuasan terhadap hidup, dan kebahagiaan. Perlu diperhatikan
bahwa cara pengukuran dan definisi operasional terkait religiusitas dan spiritualitas pada
penelitian-penelitian tersebut berbeda satu sama lain. Penelitian Lun dan Bond (2013)
menemukan hasil yang berbeda di mana religiusitas dan spiritualitas memiliki hubungan yang
negatif dengan kepuasan terhadap hidup dan kebahagiaan, meskipun effect size dari penelitian
tersebut mendekati nol. Hasil tersebut juga masih perlu diteliti secara spesifik di budaya yang
berbeda-beda karena korelasi antara religiusitas, spiritulitas, sujectice well-being, dan
kebahagiaan masih beragam sedangkan penelitian tersebut melihatnya secara global (Lun &
Bond, 2013).

Christ Billy Aryanto
1406591775

Psikologi Lintas Budaya Lanjut

Penelitian-penelitian yang telah dijabarkan tersebut tidak ada yang melakukan
pembahasan mengenai orientasi dari beragama apakah intrinsik, ekstrinsik, atau quest (Herek,
1987; Maltby, Lewis, dan Day, 1999). Sehingga tidak diketahui apakah partisipan-partisipan
dalam penelitian tersebut mendalami agama dan kepercayaan untuk kepentingan dirinya
sendiri, mencari jawaban atas pertanyaan akan hidup, atau memang secara terbuka terhadap
pertanyaan-pertanyaan agama yang muncul.

Aplikasi dalam Konteks Indonesia
Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia di mana
berdasarkan penelitian dari Pew Research Center (DeSilver, 2013) ditemukan bahwa 87,2%
atau sekitar 209.000.000 warga Indonesia merupakan penganut agama Islam. Meskipun
begitu, Indonesia tidak tergolong sebagai negara Islam karena beragamnya agama yang ada
di Indonesia. Seperti yang sudah disampaikan di awal bahwa Indonesia mengenal 6 agama
yang dianut warga negaranya, tetapi penuturan dari Lukman Hakim Saifuddin, Menteri
Agama Republik Indonesia, menyatakan bahwa negara Indonesia tak pernah menyebutkan
secara resmi bahwa ada enam agama di Indonesia (Lestari, 2014). Lukman Hakim Saiffuddin
menambahkan bahwa terdapat jaminan untuk seluruh agama dan kepercayaan di Indonesia
untuk dapat dilindungi konstitusi dan kebebasannya dalam beribadah dapat terjamin (Lestari,
2014). Hal ini menunjukkan bahwa toleransi beragama di Indonesia begitu tinggi.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lun dan Bond (2013)
bahwa dukungan terhadap sosialisasi agama di Indonesia mencapai angka 92,3%. Ini berarti
bahwa dukungan sosial normatif dalam beragama, terlepas dari agama apa yang dianut, tinggi
di Indonesia. Ini kemudian berkaitan dengan penelitian yang dijalankan oleh Stavrova dan
kawan-kawan (2013) terkait penerimaan sosial serta pengaruhnya terhadap religiusitas dan
kebahagiaan. Hasil yang ditemukan adalah negara yang norma sosialnya menerima orangorang religius dinyatakan memiliki kebahagiaan dan kepuasan hidup yang lebih tinggi
dibandingkan yang norma sosialnya belum menerima (Stavrova, et al., 2013). Indonesia
adalah negara yang memiliki norma sosial yang suportif terhadap beragama, apakah hal ini
berarti bahwa warga Indonesia berbahagia?
Penelitian telah dilakukan oleh Ipsos (2014), sebuah perusahaan market research,
terkait dengan global happiness yang melakukan penelitian pada 24 negara di dunia dengan
kurang lebih 1000 partisipan di setiap negara yang diadministrasikan kuesionernya secara
online. Hasilnya menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara paling bahagia di dunia

dengan 55% menyatakan bahwa dirinya sangat bahagia. Ini menunjukkan bahwa ternyata

Christ Billy Aryanto
1406591775

Psikologi Lintas Budaya Lanjut

norma sosial yang suportif terhadap seseorang yang beragama ternyata memiliki pengaruh
terhadap kebahagiaan. Tetapi masih perlu ditinjau lebih lanjut dahulu karena banyak faktor
yang memengaruhi kebahagiaan atau khususnya subjective well-being seseorang seperti
kepuasan hidup secara subjektif, pendapatan dan tingkah laku (Diener, 2009).
Menjawab pertanyaan mengenai apakah benar religiusitas yang menjadi salah satu
faktor yang memengaruhi kebahagiaan di Indonesia, hal ini dapat diketahui dengan meninjau
kembali penelitian dari Yeo (2014) mengenai religiusitas, kepribadian, dan kebahagiaan dari
Muslim yang hidup di Indonesia. Meskipun Yeo (2014) mengklaim bahwa lingkup
penelitiannya adalah Indonesia, pada kenyataannya penelitian yang dilakukan hanya pada
warga Jakarta dengan sampel hanya 251 partisipan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
religiusitas dan spiritualitas, yang dilihat dari tingkat faith maturity dan keterlibatan dalam
kegiatan-kegiatan keagamaan, memiliki korelasi yang positif dengan kepuasan hidup dan
subjective well-being. Hasil statistik juga meunjukkan bahwa faith maturity total, faith
maturity vertikal, faith maturity horizontal, serta keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan

keagamaan partisipan yang menjadi sampel penelitian juga tinggi (Yeo, 2014). Hal ini
membuktikan bahwa warga Muslim Jakarta memang memiliki religiusitas dan spiritualitas
yang baik dan berdampak pada kepuasan terhadap hidup dan subjective well-being.
Hubungan tersebut semakin diperkuat dengan adanya dukungan sosial normatif terhadap
orang-orang yang melakukan kegiatan keagamaan.

Kesimpulan
Berdasarkan dengan penelitian dari Yeo (2014) ditemukan bahwa kepribadian yang
paling menonjol dari warga Muslim di Jakarta adalah agreeableness. Hal ini wajar terjadi
khususnya bila partisipan berasal dari suku Jawa, sayang penelitian tersebut tidak
mencantumkan latar belakang apa dari partisipan yang menjadi partisipan penelitiannya
karena suku di Jakarta sangat beragam. Populasi Muslim terbesar di Indonesia yang paling
besar adalah di pulau Jawa dan individu dengan suku Jawa memiliki satu trait yang cukup
menonjol yaitu budaya ‘nun inggih’ atau budaya untuk menurut khususnya kepada figur
otoritas. Hal ini tercermin dari penelitian dari Yeo (2014) yang memang menunjukkan
agreeableness merupakan trait kepribadian yang paling menonjol.

Secara umum, Indonesia memang memiliki kebahagiaan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan negara-negara lain dan dalam hal ini religiusitas dan spiritualitas dapat
berperan dalam hal ini. Tetapi belum bisa serta merta menyatakan bahwa religiusitas dan
spiritualitas yang paling berpengaruh dalam hal ini karena banyak faktor yang memengaruhi

Christ Billy Aryanto
1406591775

Psikologi Lintas Budaya Lanjut

subjective well-being (Diener, 2009), bahkan terdapat penelitian sebelumnya yang

menyatakan terdapat hubungan yang lemah antara afek positif dan religiusitas (Diener, et al.,
2011, dalam Lund & Bond, 2013). Kepribadian warga Jakarta yang cenderung agreeableness
tampak tidak memiliki pengaruh terhadap subjective well-being seperti penelitian sebelumnya
yang menyatakan bahwa trait kepribadian extrovert yang paling memiliki pengaruh terhadap
subjective well-being (Diener, 2009). Pembahasan dalam religiusitas dan spiritualitas dalam

budaya dan negara yang berbeda harus mengacu pada kepercayaan dan agama yang berbedabeda, sehingga tidak bisa diarahkan pada agama tertentu saja memiliki pengaruh terhadap
suatu variabel.

Christ Billy Aryanto
1406591775

Psikologi Lintas Budaya Lanjut

Daftar Pustaka
Asril, S. (2013, Juli 17). Menteri Agama: Konflik Antaragama Wajar, yang Tak Wajar
"Tukang

Kompor”.

Kompas.com.

Diunduh

dari

http://nasional.kompas.com/read/2013/07/17/0856544/Menteri.Agama.Konflik.Antara
gama.Wajar.yang.Tak.Wajar.Tukang.Kompor. Pada tanggal 1 Juni 2015.
Bixter, M. T. (2015). Happiness, political orientation, and religiosity. Personality and
Individual Differences, 72, 7 – 11.

Church, A. T., Alvarez, J. M., Mai, N. T. Q., French, B. F., Katigbak, M. S., & Ortiz, F. A.
(2011). Are cross-cultural comparisons of personality profiles meaningful?
Differential item and facet functioning in the revised NEO personality inventory.
Journal of Personality and Social Psychology. Advance online publication. doi:

10.1037/a0025290.
DeSilver, D. (2013, Juni 7). World’s Muslim population more widespread than you might
think. Pew Research Center . Diunduh dari http://www.pewresearch.org/facttank/2013/06/07/worlds-muslim-population-more-widespread-than-you-might-think/
pada tanggal 2 Juni 2015.
Diener, E. (2009). Subjective well-being. In Diener, E. (Eds.), The science of well-being: The
collected works of ed diener. (pp 11-58). Springer Science+Bussiness Media.

Gebauer, J. E., Bleidorn, W., Gosling, S. D., Rentfrow, P. J., Lamb, M. E., & Potter, J.
(2014). Cross-cultural variations in big five relationships with religiosity: A
sociocultural motives perspective. Journal of Personality and Social Psychology,
107(6), 1064 – 1091.
Geertz, C. (1968). Islam observed: Religious development in morocco and indonesia.
Chicago: The University of Chicago Press.
Green, E. (2015, April 2). Islam Could Become the World's Largest Religion After 2070. The
Atlantic.

Diunduh

dari

http://www.theatlantic.com/international/archive/2015/04/islam-could-become-theworlds-largest-religion-after-2070/389210/ pada tanggal 1 Juni 2015.
Herek, G. M. (1987). Religious orientation and prejudice: A comparison of racial and sexual
attitudes. Personality and Social Psychology Bulletin , 13(1), 34 – 44.
Hood, R. W., Hill, P. C., & Spilka, B. (2009). The psychology of religion: An empirical
approach (4th ed.). New York: The Guilford Press.

Ipsos (2014, Januari 22). Global Happiness Report. Ipsos. Diunduh dari http://www.ipsosna.com/news-polls/pressrelease.aspx?id=6400 pada tanggal 2 Juni 2015.

Christ Billy Aryanto
1406591775

Psikologi Lintas Budaya Lanjut

Lestari, S. (2014, September 18). Menag: negara tak pernah 'resmikan' enam agama. BBC
Indonesia .

Diunduh

dari

http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/09/140918_agama_minoritas
pada tanggal 2 Juni 2015.
Lun, V. M., Bond, M. H. (2013). Examining the relation of religion and spirituality to
subjective well-being across national cultures. Psychology of Religion and
Spirituality, 5(4), 304 – 315.

Maltby, J., Lewis, C. A., & Day, L. (1999). Religious orientation and psychological wellbeing: The role of the frequency of personal prayer. British Journal of Health
Psychology, 4, 363 – 378.

Nelson, J. M. (2009). Psychology, religion, and spirituality. New York: Springer Science +
Business Media.
Ramadhansyah, F. (n.d.) Studi islam di timur tengah (Sebuah pengantar model kajian islam
bagi

ilmuan

arab).

Diunduh

dari

https://www.academia.edu/6434347/Studi_Islam_di_Timur_Tengah pada tanggal 1
Juni 2015.
Rio, C. M. D., & White, L. J. (2012). Separating spirituality from religiosity: A hylomorphic
attitudinal perspective. Psychology of Religions and Spirituality, 4(2), 123 – 142.
Robinson, B. A. (2015). Ontario consultant on religious tolerance . Diunduh dari
http://www.religioustolerance.org/ pada tanggal 1 Juni 2015.
Shiraev, E. B., & Levy, D. A. (2010). Cross-cultural psychology: Critical thinking and
contemporary applications (4th ed.). Boston: Pearson Education, Inc.

Stavrova, O., Fetchenhauer, D., & Schlosser, T. (2013). Why are religious people happy? The
effect of the social norm of religiosity across countries. Social Science Research , 42,
90 – 105.
Veenhoven, R. (2004). Happiness as a public policy aim: The greatest happiness principle. In
Linley, P. A., & Joseph, S. (Eds.), Positive psychology in practice. (pp 658-678). New
Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Yeo, P. L. (2014). Religiosity, Personality, and Subjective Wellbeing among Muslim adults in
Indonesia . Disertasi: Faculty of the School of Psychology and Counseling Regent

University.