analisa perpres 18 tahun 2016 waste to e

TUGAS

PENGELOLAAN PROYEK UNTUK INFRASTRUKTUR
AIR DAN SANITASI

ANALISA PERATURAN PRESIDEN NO 18 TAHUN 2016
TERKAIT PENGELOLAAN PROYEK WASTE TO ENERGY

Oleh:

Fauzana (25714312)

MAGISTER PENGELOLAAN INFRASTRUKTUR AIR BERSIH
DAN SANITASI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2016

1

ANALISA PERATURAN PRESIDEN NO 18 TAHUN 2016 TERKAIT
PENGELOLAAN PROYEK WASTE TO ENERGY


Permasalahan sampah adalah isu penting yang sangat mempengaruhi kualitas lingkungan
dan kesehatan manusia. Oleh karena itu, perlu adanya perhatian dan dukungan dari
pemerintah terkait hal ini.
Salah satu faktor kunci dalam pengelolaan sampah adalah peraturan perundang-undangan.
Peraturan tersebut menjadi acuan sekaligus payung hukum bagi pemerintah dalam
penanganan sampah dan mengikat/memaksa pemerintah maupun masyarakat untuk
melaksanakan sesuai aturan yang berlaku. Dengan demikian, jelaslah bahwa penetapan
peraturan perundang-undangan tersebut sangat menentukan arah pengelolaan sampah ke
depannya.
Regulasi pertama terkait pengelolaan sampah di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2008 yang ditetapkan sebagai respon dari longsornya TPA Leuwigajah tahun
2005. Selanjutnya, terbitlah aturan-aturan turunannya, di antaranya PP 81 Tahun 2012
tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga,
Permen PU No 03 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan
dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga,
serta Perda-Perda di masing-masing daerah.
Regulasi terbaru terkait persampahan adalah Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016
Tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI
Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya,

dan Kota Makasar. Perpres yang ditetapkan tanggal 13 Februari 2016 tersebut erat
hubungannya dengan pengelolaan proyek waste to energy. Tulisan ini antara lain akan
membahas institusi pengelola, struktur modal, peraturan terkait, dan siklus proyek PLTSa.
Institusi apakah yang mengelola Proyek Waste to Energy?
Sesuai Pasal 3 dan 4 Perpres Nomor 18 Tahun 2016, Pemda terkait dapat menunjuk BUMD
maupun Badan Usaha Swasta untuk membangun PLTSa sekaligus menjadi pengelola dan
Pengembang Proyek Pembangunan PLTSa tersebut. Badan usaha milik daerah yang
2

ditugaskan atau badan usaha swasta yang telah ditunjuk tersebut dapat bekerja sama dengan
badan usaha lainnya dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersebelahan dengan lokasi
pembangunan PLTSa.
Bagaimana struktur modal yang sesuai untuk proyek waste to energy?
Pada Pasal 11 disebutkan bahwa sumber pendanaan pembangunan PLTSa berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara(APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah(APBD), dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Infrastruktur PLTSa membutuhkan investasi yang sangat besar padahal dana publik yang
bersumber dari APBN maupun APBD jumlahnya terbatas. Oleh sebab itu, untuk program
percepatan tersebut sebaiknya dipilih bentuk pendanaan Public Private Partnership atau
Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) antara pemerintah dengan badan usaha swasta dalam

pembangunan proyek infrastruktur. Salah satu contoh skema pendanaan yang bisa digunakan
sebagai berikut:
 PLTSa dibangun oleh pihak swasta yang ditunjuk oleh Pemda dengan dana dari swasta
 PLTSa dioperasikan oleh swasta dengan pembagian resiko antara pemerintah dengan
swasta.
 Selanjutnya, setelah periode tertentu yang telah ditetapkan di depan, PLTSa itu
diserahkan ke pemerintah.
Peraturan lain terkait PLTSa?
Sebelum Peraturan Presiden No 18 Tahun 2016, telah ditetapkan Permen ESDM No. 44
Tahun 2015 tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)
dari Pembangkit Listrik Berbasis Sampah Kota. Dalam aturan tersebut, harga listrik dari
PLTSa dibedakan berdasarkan jenis teknologi, yang terdiri dari:
a. Melalui pengumpulan dan pemanfaatan Gas Metana dengan Teknologi Sanitary Landfill,
Anaerob Digestion, atau yang sejenis dari hasil penimbunan sampah
b. Melalui Pemanfaatan Panas/Termal dengan menggunakan Teknologi Thermochemical

3

Harga listrik dari PLTSa yang dihasilkan melalui teknologi termal lebih mahal dibandingkan
dengan yang berasal dari pemanfaatan Gas Metana. Perbandingan harga dari kedua jenis

teknologi tersebut disajikan dalam tabel-tabel berikut:
Tabel 1. Harga Listrik Melalui Pemanfaatan Panas/Termal
dengan Menggunakan Teknologi Thermochemical

Tabel 2. Harga Listrik Melalui Pemanfaatan Gas Metana dengan Teknologi Sanitary
Landfill , Anaerob Digestion, Atau Yang Sejenis dari Hasil Penimbunan Sampah

Pada kisaran kurs dollar terhadap rupiah saat ini (Rp. 13.075 per tanggal 4 Mei 2016), hargaharga di atas lebih tinggi dibandingkan tarif pemakaian tertinggi PLN Bulan Mei 2016
sebesar Rp. 1.529,73/KWh. Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan investor tertarik untuk
terlibat dalam proyek waste to energy.
Perpres No. 18 Tahun 2016 membatasi opsi teknologi untuk PLTSa di Provinsi DKI Jakarta,
Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota
Makasar menjadi gasifikasi, incinerator, dan pyrolysis saja. Sebelumnya, Ridwan Kamil
selaku Walikota Bandung sempat mengupayakan pengajuan teknologi digester (pemanfaatan
gas metana) untuk PLTSa di Kota Bandung karena besarnya penolakan masyarakat terhadap
insinerator. Namun, ternyata opsi tersebut tidak difasilitasi dalam peraturan ini.
4

Siklus proyek waste to energy?
Berdasarkan siklus hidup proyek, posisi izin lingkungan berada sebelum perencanaan teknis.

Salah satu manfaatnya adalah agar perencanaan teknis proyek dapat disesuaikan dengan
rekomendasi-rekomendasi yang diperoleh dari kajian lingkungan. Namun, pada Pasal 6 ayat
2 Perpres No. 18 Tahun 2016 disebutkan bahwa badan usaha milik daerah yang diberi
penugasan atau badan usaha swasta yang ditunjuk diberikan kemudahan percepatan izin
investasi langsung konstruksi, dimana kegiatan untuk memulai konstruksi dapat langsung
dilakukan bersamaan secara paralel dengan pengurusan izin mendirikan bangunan dan izin
lingkungan.

Gambar 1. Siklus Hidup Proyek
Aturan ini membuat pembangunan PLTSa menjadi terkesan terlalu ‘dipaksakan’ padahal
pengolahan sampah berbasis thermal termasuk kegiatan yang besar resikonya terhadap
lingkungan dan kesehatan masyarakat di sekitarnya jika tidak direncanakan dan dikelola
dengan baik. Selain itu, belum adanya aturan yang tegas mengenai standar efluen dari PLTSa
thermal dan belum adanya fasilitas pengukuran/pengujian dioksin di dalam negeri
menimbulkan kekhawatiran mengenai keamanan teknologi yang ditawarkan oleh pihak yang
akan membangun PLTSa tersebut terhadap lingkungan.
Sebagai contoh, untuk PLTSa di Bandung direncanakan akan dibangun di Gedebage tidak
jauh dari pemukiman penduduk. Tentu saja hal ini menuntut kehati-hatian dan kajian ekstra
agar keberadaan PLTSa tersebut tidak mengganggu masyarakat sekitarnya.


5

Jika konstruksi berjalan sebelum kajian lingkungan selesai, dikhawatirkan ketika kajian
lingkungan menuntut adanya perubahan mendasar dan proyek dipaksakan berjalan dengan
perencanaan

awal,

maka

akan

berdampak

buruk

bagi

lingkungan.


Jika

dihentikan/dipindahkan/diubah, maka kemungkinan akan ada pengaruh besar dalam segi
pendanaan karena sudah ada dana yang keluar untuk pembangunan sebelum izin keluar.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karena sangat pentingnya posisi regulasi dalam
menentukan arah pengelolaan sampah, maka diperlukan kehati-hatian agar penerapannya
tidak malah menimbulkan masalah baru. Perpres No. 18 Tahun 2016 perlu dikaji lagi
terutama terkait aspek opsi teknologi dan izin lingkungan. Selain itu, diperlukan juga aturanaturan dan fasilitas-fasilitas pendukung untuk memastikan agar pelaksanaan proyek waste to
energy berjalan dengan baik dan aman bagi lingkungan.

Referensi
1. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Percepatan
Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah Di Provinsi DKI Jakarta, Kota
Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota
Makasar
2. Permen ESDM No. 44 Tahun 2015 tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PT
Perusahaan Listrik Negara (Persero) dari Pembangkit Listrik Berbasis Sampah Kota
3. Islami, I. (2015). Project Finance dan Public Private Partnership: Skema Pendanaan

Alternatif


Proyek

Infrastruktur.

Diakses

dari

www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/149-artikel-kekayaan-negara-danperimbangan-keuangan/20574-project-finance-dan-public-private-partnership-skemapendanaan-alternatif-proyek-infrastruktur tanggal 26 April 2016
4. Penetapan Penyesuaian Tarif Tenaga Listrik (Tariff Adjustment) PLN(Persero) Bulan

Mei 2016. Diakses dari http://www.pln.co.id/wp-content/uploads/2016/05/TariffAdjusment-Mei-2016.jpg tanggal 2 Mei 2016

6