REVITALISASI JATI DIRI BANGSA SEBAGAI PE

REVITALISASI JATI DIRI BANGSA SEBAGAI
PERWUJUDAN IDENTITAS NASIONAL
Kondisi masyarakat Indonesia yang kian memprihatinkan dan semakin
kehilangan jati diri memaksa kita untuk ikut bertanggung jawab serta berperan
penting dalam perbaikan kerusakan sosial yang sedang terjadi. Krisis identitas
yang saat ini melanda masyarakat merupakan persoalan serius yang seharusnya
sudah bisa diprediksi jauh-jauh hari sebelumnya. Sejak bergulirnya reformasi
1998,

instabilitas

berbagai

dimensi

kehidupan

mengakibatkan

semakin


merosotnya kultur-kultur masyarakat Indonesia, kehalusan budi, kerukunan,
toleransi, serta solidaritas sosial telah hilang dan hanyut akibat derasnya arus
modernisasi dan globalisasi yang penuh paradoks. Krisis identitas yang melanda
menyadarkan kita bahwa upaya pelestarian budaya semakin perlu digalakkan
sebagai komitmen konstitusional sebagaimana telah dirumuskan oleh pendiri
bangsa dan dituangkan dalam UUD 1945.
Identitas Nasional dapat dimaknai sebagai manifestasi nilai-nilai budaya
yang tumbuh dan berkembang dari berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku
yang “dihimpun” dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan nasional
dengan acuan Pancasila dan roh “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai dasar dan arah
pengembangannya (Abd. Rasyid Rahman: 2011). Dengan kata lain hakikat dari
Identitas Nasional adalah Pancasila itu sendiri.
Upaya revitalisasi atau menghidupkan kembali Pancasila sebagai upaya
pemberdayaan Identitas Nasional menjadi satu hal yang dinilai perlu dan
mendesak dilakukan. Ini dapat dijadikan dasar dan arah dalam upaya untuk
mengatasi krisis dan disintegrasi yang cenderung sudah menyentuh semua segi
dan sendi-sendi kehidupan.
Revitalisasi sebagai manifestasi Identitas Nasional mengandung makna
bahwa Pancasila harus diposisikan sebagai satu keutuhan yang sejalan dengan
dimensi-dimensi yang melekat padanya, seperti realitas, Idealitas, dan

Fleksibilitas. Dimensi realitas yang bermakna bahwa nilai-nilai yang terkandung
dalam pancasila merupakan cerminan kondisi obyektif yang sedang terjadi di

masyarakat, dimana seharusnya dimaknai dengan semakin sejalannya jalan hidup
kita sesuai dengan Pancasila itu sendiri, yang memiliki persatuan, penyelesaian
dengan bermusyawarah, serta rasa keadilan yang mempunyai nilai kemanusiaan.
Kemudian dimensi Idalitas kita posisikan sebagai salah satu cara untuk
membangkitkan gairah optimisme warga masyarakat yang melihat masa depan
secara prospektif. Selain itu Pancasila bukanlah sesuatu yang kaku dan sakral,
namun bersifat fleksibel dan terbuka dengan hal-hal baru. Dengan demikian tanpa
menghilangkan nilai hakikatnya, Pancasila menjadi tetap aktual, relevan, dan
fungsional sebagai tiang-tiang penyangga semangat ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Kandungan sila-sila Pancasila jika dimaknai secara utuh juga akan
menunjang pemberdayaan Identitas Nasional. Sila pertama yang bermakna bangsa
Indonesia beragama dan berketuhanan akan semakin menguatkan moral
masyarakat serta kehidupan yang beretika. Selain itu sila kedua dan ketiga sebagai
wujud persatuan bangsa dan kemanusiaan yang bersifat adil dan memiliki tata
kelakuan yang beradab juga otomatis akan mendorong terwujudnya masyarakat
yang beridentitas.
Dengan demikian, dalam kondisi masyarakat yang sedang dilanda krisis

ini, Pancasila menjadi satu unsur penting. Melalui revitalisasi Pancasila sebagai
wujud pemberdayaan Identitas Nasional inilah, pembangunan nilai-nilai
berbudaya akan direalisasikan, jati diri bangsa akan semakin menguat sehingga
mewujudkan satu Identitas yang Nasional di negeri kita.

Revitalisasi Pancasila
Gelombang demokrasi dalam bentuk tuntutan reformasi di negara-negara
tidak demokrasi, termasuk Indonesia pada era Orde Baru, menjadi ancaman bagi
eksistensi ideologi nasional seperti Pancasila. Namun demikian, globalisasi juga
melahirkan paradoksnya sendiri: di satu sisi globalisasi demokrasi mengakibatkan
kebangkrutan banyak paham ideologi, di sisi yang lain juga mendorong
bangkitnya nasionalisme lokal, bahkan dalam bentuknya yang paling dangkal dan
sempit semacam ethnonationalism, atau bahkan tribalism. Gejala ini yang terus

mengancam integrasi negara-negara majemuk dari sudut etnis, sosiokultural, dan
agama seperti Indonesia. Gelombang demokratisasi yang melanda Indonesia
bersamaan dengan krisis moneter, ekonomi, dan politik membuat Pancasila
seolah kehilangan relevansinya.
Sementara itu proses desentralisasi dan otonomisasi daerah yang sedikit
banyak mendorong penguatan sentimen kedaerahan. Apabila tidak diantisipasi,

bukan tidak mungkin menumbuhkan sentimen local-nationalism yang dapat
tumpang tindih denganethnonationalism. Dalam proses ini, Pancasila baik sengaja
maupun akibat langsung dari proses desentralisasi akan makin kehilangan posisi
sentralnya ( Azyumardi Azra, 2008 ).
Mempertimbangkan posisi krusial Pancasila di atas, maka perlu dilakukan
revitalisasi makna, peran, dan posisi Pancasila bagi masa depan Indonesia sebagai
negara modern. Perlunya revitalisasi Pancasila karena didasari keyakinan bahwa
Pancasila merupakan simpul nasional yang paling tepat bagi Indonesia yang
majemuk. Rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila memerlukan keberanian moral
kepemimpinan nasional. Empat pemimpin nasional pasca Soeharto sejak dari
Presiden B.J. Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati
Soekarnoputri, sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, belum berhasil
membawa Pancasila ke dalam wacana dan kesadaran publik. Ada kesan traumatik
untuk kembali membicarakan Pancasila. Kini, sudah waktunya para elite dan
pemimpin nasional memberikan perhatian khusus kepada ideologi pemersatu ini
jika kita betul-betul peduli pada nation and character buildingdan integrasi
bangsa Indonesia.
Sementara itu Prof. Dr. Muladi, SH, Gubernur Lembaga Ketahanan
Nasional RI menyatakan bahwa salah satu side effect runtuhnya Orde Baru yang
sangat menyedihkan adalah berkembangnya sikap skeptis terhadap ideologi

bangsa Kegamangan terhadap ideologi Pancasila tersebut menyurutkan makna
ideologi, baik sebagai perekat persatuan bangsa maupun sebagai sarana untuk
menumbuhkan kepercayaan bangsa lain yang akan berhubungan dengan bangsa
Indonesia (the predictability function of ideology).

Sebagai bangsa yang merdeka, maka bangsa Indonesia mempunyai cita-cita dan
tujuan seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yakni adanya kehidupan
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Kebhinnekaan budaya
masyarakat Indonesia merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus
diterima sebagai kekayaan bangsa. Sejarah menunjukkan bahwa suku-suku bangsa
yang mendiami wilayah Nusantara ini, dengan keanekaragaman budayanya
masing-masing, sejak dahulu telah saling berhubungan dan berinteraksi.
Berdasarkan kesamaan visi mengenai masa depan, maka para pemuda dari sukusuku bangsa tersebut pada tahun 1928 telah mengikrarkan sumpah untuk menjadi
satu bangsa dengan menggunakan bahasa persatuan dan bersama-sama hidup di
satu tanah air. Dari peristiwa ini terlihat bahwa kebhinnekaan budaya bukan
menjadi halangan untuk mewujudkan persatuan bangsa.
Justru budaya yang beraneka ragam tersebut mampu berhubungan dan
berinteraksi satu dengan yang lainnya secara selaras dan serasi. Oleh sebab itulah
perlu selalu disadari dan dipahami bersama bahwa bangsa Indonesia ini memang
dibentuk dari suku-suku bangsa yang memiliki budaya yang beraneka ragam.

Maka langkah utama yang perlu ditempuh dalam rangka membangun kehidupan
baru bagi bangsa Indonesia di masa depan adalah menggunakan salah satu asas
dalam konsepsi kemandirian lokal, yaitu “pendekatan kebudayaan”, sebagai
bagian utama dari strategi pembangunan masyarakat dan bangsa. Implementasi
pendekatan kebudayaan dalam pembangunan bangsa diyakini akan dapat
menumbuhkan kebanggaan pada setiap anak bangsa terhadap diri dan budayanya
dan pada gilirannya akan menumbuhkan pula toleransi dan pengertian akan
keberadaan budaya lainnya. Hal ini merupakan faktor utama perekat persatuan
bangsa.
Pada proses reformasi, penyaluran aspirasi politik masyarakat telah dapat
diakomodasikan dalam sistem multi partai. Pada satu sisi, hal ini dapat
mencerminkan perwujudan demokrasi, akan tetapi pada sisi lain dapat mengarah
pada pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila. Hal tersebut pada akhirnya dapat
diselewengkan dengan pembentukan kekuatan-kekuatan dengan memobilisasi
kekuatan berdasarkan asas masing-masing. Hal ini dapat bermuara pada

berkembangnya primordialisme sempit berdasarkan agama, etnis ataupun ras dan
aspek kedaerahan lainnya.
Revitalisasi Pancasila semakin terasa penting kalau diingat kita tengah
gigih menerapkan prinsip-prinsip “good governance”, dimana tiga aktor yaitu

pemerintah (state), swasta (private sector) dan masyarakat (civil society) harus
bersinergi secara konstruktif mewujudkan pemerintahan yang lebih baik. Antara
lain terwujud dalam bentuk pelayanan publik (public services) yang optimal.
Dalam kaitannya dengan ancaman atau pengaruh globalisasi harus dihadapi
dengan sikap mental dan karakter yang kuat sebagai jatidiri bangsa Indonesia.
Akhirnya revitalisasi Pancasila menjadi penting karena kita masih menghadapi
ancaman disintegrasi nasional dengan semangat separatisme dari Daerah yang
merasa diperlakukan secara tidak adil oleh Pemerintah Pusat.
Kita jangan sampai tidak mengenal diri kita sendiri dan tidak mengenal
nilai-nilai hakiki dan luhur yang telah merupakan konsensus nasional menjadi
falsafah dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, yaitu Pancasila. Seperti kata
Socrates (470-399 SM)“kenalilah dirimu sendiri”.

Sumber :
https://aldisido.wordpress.com/2013/10/10/revitalisasi-pancasila-sebagai-upayapemberdayaan-identitas-nasional/
https://dhd45jateng.wordpress.com/2012/06/25/revitalisasi-pancasila-sebagai-jatidiri-bangsa-indonesia/