Peraturan Daerah Tentang Pelarangan Pere

Naskah Akademik
“PERATURAN DAERAH TENTANG PELARANGAN
PEREDARAN DAN PENJUALAN BARANG PALSU
DALAM BIDANG MODE DI KABUPATEN
BONDOWOSO”

Disusun guna memenuhi penilaian tugas mata kuliah Ilmu Perancangan Peraturan
Peundang-Undangan Kelas B
Disusun Oleh :
DYAH ANGGUN SISMAMI
E 0014115

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berubahnya zaman yang disertai dengan perkembangan teknologi

membuat orang semakin kreatif untuk menciptakan sesuatu yang baru.
Namun, hal ini justru disalah gunakan dengan menciptakan barang-barang
tiruan di berbagai bidang. Sehingga di era perdagangan global saat ini,
perlindungan terhadap merek merupakan hal yang harus dilakukan oleh
setiap negara. Hal ini dikarenakan merek mempunyai peran yang penting
untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat antara para pelaku
usaha.Indonesia

sendiri

juga

telah

mengatur

mengenai

masalah


perlindungan merek dalam satu undang-undang tersendiri yaitu, UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Berdasarkan UndangUndang tersebut merek ialah tanda yang berupa gambar, nama, kata,
huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, maupun kombinasi dari unsurunsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam
kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Dari apa yang telah diuraikan diatas, dapat kita lihat bahwa barangbarang yang kini banyak beredar di pasaran merupakan suatu pelanggaran
atas hak merek. Akibatnya para konsumen dibuat bingung karena barangbarang tiruan tersebut sangat mirip dengan barang asli. Dengan harga yang
jauh lebih murah, para konsumen tentu akan memilih untuk membeli

barang tiruan tanpa menyadari kualitas barang tersebut yang akan lebih
mudah rusak dibanding barang asli.
Seiring berjalannya waktu setelah diundangkannya UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, implementasi UndangUndang tersebut ternyata belum berjalan secara optimal. Di kabupaten
Bondowoso sendiri misalnya, marak sekali peredaran dan penjualan
barang palsu terutama di bidang mode yang memberikan dampak bagi
pemilik industry, konsumen. Berdasarkan hasil studi MIAP dengan LPEM
FEUI terhadap 12 sektor industri pada periode 2002-2005, menyebutkan,
tindakan pemalsuan di industri sepatu, tekstil, pakaian jadi, rokok, dan
pestisida selama periode tersebut menimbulkan kerugian mencapai Rp 4,4
triliun. Ini belum termasuk pemalsuan terhadap produk software yang
menimbulkan kerugian Rp 3,6 triliun. Kegiatan pemalsuan di 12 bidang
industri tersebut telah pula menghilangkan potensi lapangan pekerjaan
sebanyak 124 ribu.1

Berdasarkan Fakta Hukum yang terjadi di kabupaten Bondowoso,
Banyak kasus pelanggaran terhadap HKI yang kini sedang dilakukan
pemeriksaan oleh para aparat hukum, seperti menurut penelitian Tim
Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (Timnas
PPHKI), bahwa menurut catatannya telah terjadi 65 kasus pelanggaran
dalam bidang HKI, dengan rincian 45 pelanggaran terhadap hak cipta, 17
1

http://www.miap.or.id/main/berita/detail.php?detail=20091230160731 , diakses pada tanggal 25
September 2012.

pelanggaran terhadap hak merek, dan tiga kasus pelanggaran terhadap hak
paten. Dari ke 65 kasus tersebut hanya enam kasus yang sudah
terselesaikan, sedangkan 59 kasus masih dalam tahap pemeriksaan. Data
tersebut

tentunya

hanya


sebagian

kasus

yang

terungkap

di

permukaan.Padahal berdasarkan penelusuran di lapangan, masih banyak
peredaran dan penjualan barang palsu, terutama dalam bidang mode di
pasar-pasar.
Di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur juga tak luput dari praktek
peredaran dan penjualan barang palsu, seperti pemalsuan merek terhadap
tas merek coach, ransel, kaos merek nevada, sepatu merek jelly, crocs,
ariesta mode, new era, baju obral berkisar 10-35 ribu. Biasanya barangbarang palsu tersebut dijual di pasar-pasar maupun toko-toko kecil. Hal ini
yang menyebabkan atau menimbulkan pertentangan antara das sollen
dengan das sein-nya.
Setelah adanya fakta hukum yang bertentangan dengan undangundang, saatnya untuk mengetahui pengertian atau maksud dari barang

palsu tersebut yaitu merupakan barang-barang yang diproduksi dan / atau
diperdeagangkan dengan menggunakan merek terdaftar milik pihak lain.
Pelanggaran terhadap merek tersebut ternyata dilakukan secara sadar baik
oleh si pembuat, pembeli maupun penjual barang palsu tersebut. Bahkan
penjualan barang palsu yang merupakan pelanggaran dijadikan mata
pencaharian tetap bagi sebagian penjual.

Maraknya peredaran barang di kabupaten Bondowoso dipengaruhi
oleh berbagai faktor. Faktor yang utama adalah sanksi hukum pada
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek hanya dapat
dijatuhkan kepada mereka yang melakukan pelanggaran hanya jika ada
aduan dari seseorang yang dirugikan atas perbuatan orang lain. Sehingga
jika tidak pengaduan maka tidak dapat dilakukan proses hukum.
Faktor yang lain adalah sistem perlindungan hak merek yang
dianut oleh Indonesia saat ini adalah sistem first to file, yaitu pelanggaran
merek terjadi jika ada tindakan-tindakan penggunaan merek terdaftar oleh
pihak-pihak beritikad buruk yang dilakukan dalam masa perlindungan atas
merek yang bersangkutan sebagaimana tertera dalam sertifikat pendaftaran
mereknya. Atau dengan kata lain orang yang melakukan pengaduan harus
mampu menunjukkan sertifikat merek atau alas hak lainnya yang sah pada

saat melakukan pengaduan atas suatu tindak pidana merek. Jadi tidak ada
pelanggaran tanpa pendaftaran merek.
Selain faktor yuridis diatas, faktor masyarakat pun juga
memberikan pengaruh terhadap maraknya peredaran dan penjualan barang
palsu, seperti minimnya pengetahuan mereka akan pelanggaran merek,
faktor ekonomi masyarakat kabupaten Bondowoso yang sebagian besar
tidak dapat menjangkau untuk membeli barang original atau barang asli,
sehingga mereka beralih untuk membeli barang palsu yang lebih murah
dan hampir menyerupai barang asli meskipun kualitasnya berbeda.
Adanya peredaran dan penjualan barang palsu dalam bidang mode
di kabupaten Bondowoso menyebabkan kerugian yang besar bagi pemilik
merek, seperti menurunnya nilai penjualan barang. Setelah meninjau

alasan-alasan tersebut, maka sangat diperlukan untuk membentuk suatu
peraturan daerah di kabupaten Bondowoso yang mengatur mengenai
pelarangan dan peredaran barang palsu dibidang mode. Hal ini sebagai
upaya perlindungan terhadap merek, serta penegakan aturan hukum.
Salah satu upayanya adalah pengaturan mengenai penjatuhan
sanksi bagi mereka yang membuat, menjual, maupun yang membeli
barang palsu. Untuk meningkatkan efek jera dapat dijatuhkan sanksi baik

berupa sanksi perdata, sanksi pidana maupun kombinasi antara keduanya.
Sehingga dengan demikian dapat meminimalisir bahkan menghentikan
peredaran dan penjualan barang palsu dalam bidang mode di Kabupaten
Bondowoso.

B. Identifikasi Masalah
1. Permasalahan yang kini tengah dialami sebagian masyarakat kita
adalah berkenaan dengan peredaran barang-barang tiruan, sekilas
permasalahan ini nampak tidak terlalu serius sehingga luput dari
perhatian pemerintah. Tidak adanya tindakan yang nyata dari
pemerintah juga menyebabkan masyarakat semakin leluasa untuk
melakukan tindakan yang melanggar Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek ini. Permasalahan ini dapat diatasi dengan
membuat suatu peraturan yang jelas, namun tidak cukup sampai disitu,
peran struktur yang terdiri dari pemerintah dan masyarakat juga
dibutuhkan. Karena membuat masyarakat untuk turut berperan aktif
dalam pelaksanaan suatu peraturan tidak semudah membalikkan
telapak tangan maka perlu kesadaran dari dalam diri masyarakat,
soaialisasi


oleh

pemerintah

juga

dibutuhkan,

kemudian

pelaksanaannya juga harus dalam pengawasan pemerintah.
2. Rancangan peraturan daerah terkait pelarangan peredaran barang palsu
di kabupaten Bondowoso dirasa perlu karena diharapkan mampu
melindungi hak merek dari suatu produk, hal ini juga berkaitan dengan
perlindungan atas kreativitas seseorang. Apabila tindakan memalsu
barang terus dilanjutkan tentu hal ini akan mengurangi inovasi-inovasi
terhadap barang tertentu. Keterlibatan negara maupun pemerintah
dalam mewujudkan iklim persaingan usaha yang sehat sangat
dibutuhkan, karena mereka lah yang mampu memberikan sanksi yang
tegas bagi para pelanggar undang-undang.


3. Yang menjadi dasar filosofis dari pembuatan rancangan peraturan
daerah ini adalah agar masyarakat lebih menghargai ati nilai dari
sebuah kejujuran, diharapkan dengan adanya peraturan ini dapat
mendidik masyarakat menjadi masyarakat yang sadar akan akibat yang
ditimbulkan apabila mereka tetap membeli barang tiruan. Sedangkan
dasar sosiologisnya adalah dalam kehidupan bermasyarakat tentu tidak
dibenarkan untuk merugikan orang lain, mengingat persaingan yang
sehat menuntut agar tidak saling merugikan antara konsumen dan
produsen.
4. Dengan adanya peraturan daerah ini nantinya diharapkan masyarakat
dapat mematuhinya serta merujuk pada Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek. Para pembuat barang bajakan dapat
membuat dan mendaftarkan mereknya sendiri. Diharapkan persaingan
sehat di dunia usaha dapat tercipta di Kabupaten Bondowoso.
Peraturan daerah ini nantinya juga diharapkan dapat menjangkau
masyarakat awam yang membutuhkan pemahaman lebih atas peraturan
yang telah ada sebelumnya.

C. Tujuan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini dapat diuraikan
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tindakan nyata dari pemerintah bagi yang
2.

melanggar Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek;
Untuk mendiskripsikan dan menganalisis Rancangan peraturan
daerah terkait pelarangan peredaran barang palsu di Kabupaten

3.

Bondowoso;
Untuk mengetahui pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,
yuridis mengenai pembentukan rancangan Undang-undang atau
Rancangan Peraturan Daerah terkait pelarangan peredaran barang

4.

palsu di Kabupaten Bondowoso;
Untuk mengetahui sasaran yang akan diwujudkan dari pembuatan

peraturan rancangan peraturan daerah tentang pelanggaran merek
atau barang palsu di Kabupaten Bondowoso.

D. Manfaat Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Adapun kegunaan yang diharapkan dalam penyusunan perancangan
a.

Undang-undang atau Rancangan Peraturan Daerah :
Memberikan pandangan yang luas dalam pemahaman terhadap
tindakan yang nyata dari pemerintah bagi yang melanggar Undang-

b.

Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Sebagai sarana untuk pembelajaran dalam rancangan peraturan daerah

c.

terkait peredaran barang palsu di kabupaten Bondowoso.
Sebagai Informasi sasaran yang wijudkan darirancangan pembuatan

d.

peraturan daerah.
Bagi pemerintah sebagai masukan dan lebih tegas dalam rancangan
pembuatan peraturan daerah terkait peredaran barang palsu di

e.

kabupaten Bondowoso;
Bagi masyarakat sebagai bahan informasi dan pengetahuan terhadap
masyarakat mengenai adanya rancangan pembuatan peraturan daerah
terkait peredaran barang palsu di kabupaten Bondowoso.

BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis
Sebagai suatu hak yang lahir melalui intelektual manusia, hak
merek yang merupakan salah satu dari hak kekayaan intelektual (HKI)
perlu mendapatkan perlindungan hukum. Tanpa adanya perlindungan
hukum yang memadai, tentunya hal ini dapat menyebabkan peredaran
barang palsu atau biasa disebut barang KW di kalangan masyarakat
mengalami peningkatan terus menerus.
1.1

Pengertian Merek
Pada umumnya di era perdagangan global yang terjadi seperti

sekarang,

banyak

pelaku

usaha

berlomba-lomba

menarik

minat

masyarakat untuk membeli produk dalam bentuk barang maupun jasa yang
telah diproduksinya. Strategi yang digunakan oleh para pelaku usaha
tersebut adalah melalui merek atas suatu produk.
Merek bermanfaat sebagai pembeda antara produk satu dengan
produk lainnya yang sejenis, selain itu merek juga dapat menentukan
tinggi rendahnya harga suatu produk, serta menjaga persaingan usaha yang
sehat antar pelaku usaha. Semakin terkenal suatu merek, maka semakin
tinggi harga produk tersebut, dan begitupun sebaliknya. Oleh sebab itu,
merek merupakan komponen utama yang harus ada dalam suatu produk.
Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
pasal 1 ayat 1, merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, hurufhuruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur

tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan
perdagangan barang atau jasa.
Banyak para ahli hukum di dunia yang memberikan pengertian
merek, seperti :
Suryodiningrat, di dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Merek, bahwa
merek adalah barang-barang yang dihasilkan oleh pabriknyadengan
dibungkus dan pada bungkusnya itu dibubuhi tanda tulisan dan/atau
perkataan untuk membedakannya dari barang-barang sejenis hasil pabrik
pengusaha lain. Tanda itu disebut merek perusahaan2,
Soekardono mendefinisikan tentang merek dalam bukunya hukum
Dagang Indonesia Jilid I, merek adalah sebuah tanda, dengan mana
dipribadikan sebuah barang tertentu, dimana perlu juga untuk
mempribadikan asalnya barang atau menjamin kualitetnya barang dalam
perbandingan

dengan

barang-barang

sejenis

yang

dibuat

atau

diperniagakan oleh orang-orang atau badan perusahaan lain3.
H.M.N. Purwosutjipto, S.H. memberikan pengertian merek sebagai
berikut, merek adalah suatu tanda, dengan mana suatu benda tertentu
dipribadikan, sehingga dapat dibedakan dengan benda lain yang sejenis4.
Menurut Knapp (2001), merek adalah internalisasi sejumlah kesan
yang diterima oleh pelanggan dan konsumen yang mengakibatkan adanya
suatu posisi khusus dalam ingatan mereka terhadap manfaat emosional dan
fungsional yang dirasakan. Sebuah merek dikatakan khusus jika konsumen
merasa

yakin

bahwa

merek-merek

tersebut

benar-benar

khusus.

Menurut Aaker (1996), merek merupakan nama atau simbol yang
2

Suryodiningrat, R. M. Pengantar Ilmu Hukum Merek, Pradya Paramita, Jakarta, 1975, h. 30.
Soekardono, R. Hukum Dagang Indonesia Jilid I,Cetakan Ke 4, Soeroengan Jakarta, 1967, h. 149
4
H. OK. Saidin, OP, cit, h.343.
3

bersifat membedakan (seperti logo, cap, kemasan) dengan maksud
mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang penjual atau sebuah
kelompok penjual tertentu. Menurut Kotler (2000), merek adalah suatu
janji penjual untuk secara konsisten memberikan feature, manfaat dan jasa
tententu kepada pembeli, bukan hanya sekedar simbol yang membedakan
produk perusahaan tertentu dengan kompetitornya.
Berdasarkan pengertian menurut para ahli diatas, maka dapat
disimpulkan, bahwa merek adalah :
1. Merupakan tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna, maupun kombinasi dari berbagai
unsur tersebut
2. Berfungsi sebagai pembeda antara dengan produk lain yang
sejenis.
3. Digunakan dalam kegiatan perdagangan barang maupun jasa.

1.2

Pengertian Pemalsuan
Pada saat ini peredaran dan penjualan barang-barang palsu di

Indonesia terbilang tinggi dari tahun ke tahun.Sehingga seolah-olah pasar
di Indonesia dapat dikatakan sebagai surga bagi para penjual barang
palsu.Pemalsuan merupakan tindak pidana berupa pelanggaran Hak
Kekayaan Intelektual (HKI).
Menurut Masyarakat

Indonesia

Anti

Pemalsuan

(MIAP),

pemalsuan adalah memproduksi suatu produk yang menyalin atau meniru
penampakan fisik suatu produk asli sehingga menyesatkan para konsumen
bahwa ini adalah produk dari pihak lain5. Yang termasuk pemalsuan seperti
produk yang melanggar merek dagang, pelanggaran hak cipta, peniruan
kemasan, label, dan merek.
Menurut para ahli, penggolongan barang palsu berdasarkan tingkat
pelanggaran dibagi menjadi empat golongan, yaitu ;
1. Produk palsu sejati (True Conterfeit Product)
2. Produk palsu yang tampak serupa (Look-Alike)
3. Reproduksi
4. Imitasi yang tak meyakinkan.
Dikalangan masyarakat barang palsu yang sering beredar adalah
produk palsu yang tampak serupa (Look-Alike) atau lebih dikenal dengan
istilah barang KW. Terdapat dua pendapat tentang pengertian barang KW,
yaitu petama, jika konteks barang KW yang dimaksud adalah kwalitas 1,
2, 3, maka artinya barang tersebut merupakan produksi dari satu
perusahaan yang sama. Misalnya produk tas merek Georgio Armani,
Channel, Louis Vuitton, Esprit, Gucci. Dalam hal ini perusahaan tersebut
5

http://www.miap.or.id/main/berita/detail.php?detail=20091230160731 , diakses pada tanggal 25
September 2012.

membuat barang yang sama namun dengan standar kualitas yang
bertingkat. Akan tetapi jika ini yang dilakukan maka perusahaan tersebut
harus memberikan informasi pada labelnya kepada konsumen. Namun hal
yang mustahil jika perusahaan yang ternama dengan barang branded nya
membuat kualitas yang berbeda-beda, jika hal itu terjadi tentunya akan
menjatuhkan nama perusahaan dan produknya.
Kedua, barang KW yang berarti produk tiruan (palsu).Barang ini
yang biasanya beredar di pasaran. Barang KW tersebut bukan hasil
produksi dari perusahaan yang mengeluarkan barang branded, misalnya
merek Georgio Armani, Channel, Louis Vuitton, Esprit, Gucci, tetapi
dibuat oleh perusahaan yang sama sekali berbeda. Pihak yang meniru
tersebut dapat meniru model atau memalsukan merek. Biasanya barangbarang palsu ini di lingkungan para pedagang diberi nama barang
"tembakan", artinya mirip barang asli. Jika dilihat sepintas fisik barang
KW tidak kalah dengan barang asli. Namun ketika diperhatikan secara
teliti maka akan jauh berbeda dari sisi bentuk fisiknya apalagi kualitasnya.

1.3

Teori
Terdapat teori yang menjadi dasar sehingga disusunnya naskah
akademik ini, teori tersebut antara lain: reward theory, bahwa teori ini
memberikan suatu pengakuan terhadap karya intelektual, dalam hal ini hak
merek yang telah dihasilkan oleh seseorang melalui kerja kerasnya.
Pengakuan tersebut dapat berupa penghargaan sebagai imbalan atas upayaupaya inovatif dan kreatif dalam menemukan atau menciptakan karyakarya intelektual.
Reward theory juga sejalan dengan teori recovery theory, yakni
pemilik merek yang telah mengeluarkan waktu, biaya, dan tenaga dalam
menghasilkan karya intelektualnya harus memperoleh kembali sesuai
dengan apa yang telah dikeluarkannya tersebut. Selanjutnya, teori Robert
M. Sherwood dalam teorinya risk theory, menurut teori ini Hak Kekayaan
Intelektual merupakan suatu hasil karya yang mengandung resiko yang
dapat memungkinkan orang lain yang terlebih dahulu menemukan cara
tersebut atau memperbaikinya, sehingga demikian adalah wajar untuk
membentuk suatu perlindungan hukum terhadap upaya yang mengandung
resiko tersebut.
Sherwood berpendapat, bahwa resiko yang mungkin timbul dari
penggunaan secara illegal, sehingga menimbulkan kerugian secara
ekonomis maupun moral bagi pencipta dapat dihindari, jika terdapat
landasan hukum yang kuat maka dapat melindungi HKI tersebut.

Berdasarkan teori-teori tersebut, maka naskah akademik ini
disusun sebagai upaya untuk melindungi hak intelektual yang dimiliki para
pemilik hak (hak merek), sehingga hasil karya intelektual yang dihasilkan
oleh seseorang atas dasar intelektualnya melalui kerja keras, dan
pengorbanannya mendapatkan perlindungan hukum guna mencegah
bentuk eksploitasi secara komersial oleh pihak lain tanpa adanya
kompensasi kepada pihak yang menghasilkan karya-karya intelektual
tersebut.
Selain itu, melalui naskah akademik ini diharapkan dapat
meminimalisir jumlah peredaran dan penjualan barang palsu di Kabupaten
Bondowoso,

serta

menumbuhkan

dan

meningkatkan

kreativitas

masyarakat Kabupaten Bondowoso untuk menghasilkan suatu produk baru
yang berbeda dari produk yang lain. Dengan demikian dapat
menumbuhkan persaingan usaha yang sehat antara para pelaku usaha.
B. Kajian terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan
Norma-Norma.
Asas di dalam suatu peraturan hukum merupakan hal yang sangat
penting, tidak ada hukum yang dapat dimengerti tanpa asas-asas tersebut.
Norma-norma adalah pengejawantahan dari asas yang ada dalam peraturan
hukum. Dalam Naskah Akademik ini, asas-asas yang digunakan adalah
sebagai berikut:

a. Asas Kepribadian
Asas ini berarti bahwa penegakkan terhadap pelarangan dan
peredaran barang palsu merupakan suatu tindakan untuk melindungi,
menghormati, dan mengakui terhadap kepribadian manusia, dalam hal
ini adalah pemilik merek, Perlindungan kepada pemilik merek
merupakan perlindungan terhadap kepribadian manusia tersebut.
b. Asas Persekutuan
Asas persekutuan hukum artinya bahwa rakyat dan penguasa
negara

bersama-sama

merupakan

suatu

persekutuan

hukum

(rechtsgemeenschap), sehingga para pejabat penguasa negara di dalam
menjalankan tugas dan fungsi berserta menggunakan kekuasaan
negara, mereka tunduk kepada hukum (undang-undang) yang sama
dengan rakyat (warga masyarakat).
Asas ini menghendaki kehidupan yang tertib, aman, dan damai di
dalam masyarakat. Pelarangan peredaran dan penjualan barang palsu
perlu untuk ditegakkan untuk menciptakan ketertiban dan kedamaian
di masyarakat, sehingga tidak ada pihak (pemilik merek) yang merasa
terganggu dengan adanya keberadaan barang palsu.
c. Asas kesamaan
Asas ini berarti bahwa setiap orang dianggap sama di depan
hukum, keadilan merupakan realisasi dari asas ini. Asas kesamaan
yang dimaksud dalam naskah akademik ini adalah bahwa setiap orang
berhak untuk memiliki merek dan mendapatkan hak merek. Hak atas
merek dapat diperoleh jika telah memenuhi persyaratan, yaitu melalui
pendaftaran merek. Berdasarkan hal tersebut, maka para pihak yang
melakukan peredaran dan penjualan barang palsu telah melanggar hak

pemilik merek. Para penjual yang menjual barang palsu sudah
sepantasnya tidak berhak untuk memperjual belikan barang palsu,
sedangkan pemilik merek berusaha untuk membuat merek tersebut
terkenal di kalangan masyarakat melalui berbagai cara dengan
investasi dan strategi usaha tertentu. Agar pemilik merek memperoleh
keadilan, maka perlu suatu peraturan untuk menegakkan hukum, yaitu
melalui suatu peraturan daerah tentang pelarangan peredaran dan
penjualan barang palsu.
d. Asas pemisahan antara baik dan buruk
Asas ini merupakan makna dasar hukum itu sendiri, yaitu
menyangkut apa yang menjadi seharusnya dilakukan(hal-hal baik) dan
apa yang seharusnya tidak dilakukan (hal-hal buruk). Hukum harus
secara tegas membedakan antara hal-hal yang baik dan hal-hal yang
buruk. Tindakan yang buruk dapat mendatangkan sanksi, sedangkan
tindakan yang baik mungkin mendapat ganjaran. Dengan demikian
hukum yang ditetapkan bersifat adil artinya hukum tidak memihak dan
menindas.Pelaksanaannya diharapkan mewujudkan keadilan sosial
yang dapat memberi manfaat bagi seluruh anggota masyarakat. Asasasas di atas berlaku secara umum dan menyeluruh tanpa memandang
batas-batas negara atau bentuk pemerintahan. Hukum mempunyai
kedudukan

sangat

penting

agarmasyarakat

tidak

berbenturan

kepentingan. Benturan kepentingan dalam masyarakat akan berakibat
kekacauan.
Asas ini berarti bahwa adanya pemisahan antara perbuatan yang
boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Tindakan untuk

mengedarkan dan penjualan barang palsu adalah perbuatan yang
seharusnya tidak dilakukan.
e. Asas perlindungan terhadap merek terdaftar
Mengingat Indonesia menggunakan asas

konstitutif

pada

pendaftaran merek, maka hanya merek yang terdaftar yang dapat
memeperoleh perlindungan hukum. Perlindungan terhadap merek
terdaftar perlu dilakukan untuk melindungi hak-hak para pemilik
merek yang dirugikan akibat adanya peredaran dan penjualan barang
palsu di pasaran. Berdasarkan hal tersebut, jika merek yang dipalsukan
bukan merupakan merek yang terdaftar, maka bukan merupakan suatu
tindak pidana.

f. Asas persamaan dan ketidaksamaan
Salah satu fungsi merek adalah untuk membedakan antara produk
yang satu dengan produk lainnya. Sehingga suatu merek harus
memiliki suatu ciri khusus atau daya pembeda antara produk lain yang
sejenis. Sebagai tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi
yang dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara bersama sama
atau badan hukum dengan produksi orang lain atau badan hukum
lainnya.
Suatu merek memiliki fungsi sebagai alat promosi sehingga dalam
mempromosikan hasil produksinya cukup dengan menyebut mereknya.
Selain itu juga sebagai jaminan atas mutu barang, serta sebagai
petunjuk asal barang atau jasa yang dihasilkan.
Merek mempunyai peranan penting bagi kelancaran dan
peningkatan

perdagangan

barang

atau

jasa

dalam

kegiatan

perdagangan dan penanaman modal. Merek dengan bran imagenya
dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan tanda atau daya pembeda
yang teramat penting dan merupakan jaminan kualitas dari suatu
produk, sebab merek (branding) menjadi semacam “penjual awal”
bagi suatu produk kepada konsumen.
Dalam era persaingan sekarang ini memang tidak dapat lagi
dibatas masuknya produk-produk dari luar negeri ke Indonesia karena
fenomena tersebut sebetulnya sudah jauh diprediksi oleh Kanichi
Ohmae yang menyatakan “bahwa pada masa mendatang dunia tidak
lagi bisa dibatasi oleh apapun juga” dan prediksi tersebut saat ini
sudah nampak kebenarannya. Merek sebagai aset perusahaan akan

dapat menghasilkan keuntungan besar bila didayagunakan dengan
memperhatikan aspek bisnis dan pengelolaan manajemen yang baik.
Dengan semakin pentingnya peranan merek maka terhadap merek
perlu diletakan perlindungan hukum yakni sebagai obyek yang
terhadapnya terkait hak hak perseorangan ataupun badan hukum.
Dengan berkembangnya dunia perdagangan yang pesat dan
sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara,
tentunya akan memberikan dampak dibidang perdagangan terutama
karena adanya kemajuan di bidang teknologi, informasi, komunikasi
dan transportasi yang mana sebagai bidang tersebut merupakan faktor
yang memicu globalisasi Hak atas Kekayaan Intelektual.
Dalam kenyataan merek terkenal biasanya didahului oleh reputasi
dan good will yang melekat pada keterkenalan tersebut. Merek yang
mempunyai “good will” yang tinggi akan mampu memberikan
keuntungan yang luar biasa bagi perusahaan, meskipun sebetulnya
merek adalah sesuatu yang tidak dapat diraba (intangible). Sebuah
merek akan menjelma menjadi aset capital semata-mata hanya
berdasarkan

pada

good

menurut Lendsford menyebutkan

will,
bahwa

oleh
perusahaan

karena

itu

yang

telah

memiliki reputasi merek yang tinggi (higher reputation) akan memilik
aset kekayaan yang luar biasa hanya berdasarkan pada good will dari
merek tersebut.
C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada, serta
Masalah yang dihadapi Masyarakat

Fenomena pemalsuan merek berbagai macam produk yang terjadi
di berbagai wilayah Indonesia menjadi sangat penting untuk segera
ditangani, mengingat derajat permasalahannya yang semakin kompleks,
sedangkan peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang

perlindungan merek masih terkesan lemah dalam rangka melindungi hak
merek pemilik merek. Hal ini terlihat di dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek, hanya menitikberatkan pada pengaturan merek
barang/jasa.Selain itu, secara eksplisit Undang-Undang ini juga menyebut
seluruh tindak pidana penggunaan merek terdaftar oleh para pihak yang
beritikad buruk sebagai pelanggaran dan bukan kejahatan (Pasal 94 Ayat 2
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek).
Kemudian, pemalsuan merek merupakan delik aduan, yang diatur
pada Pasal 95 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Dalam ilmu hukum pidana, hal ini berarti bahwa pasal-pasal pidana di
dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek berlaku jika
terdapat laporan dari seseorang yang dirugikan atas perbuatan orang lain.
Dan sebaliknya, jika tidak ada laporan maka tidak akan ada penyidikan
dari kepolisian.
Tak hanya itu saja, dalam menilai sebuah barang merupakan
barang palsu atau bukan di mata hukum, polisi tidak dapat melakukannya
secara sepihak.Hal ini dikarenakan, sistem perlindungan hak merek yang
saat ini dianut oleh Indonesia, adalah sistem first to file6. Pelanggaran

6

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f98f0a42a785/apakah-pembeli-tas-kw-bisadipenjara, diakses pada tanggal 8 September 2012.

merek hanya terjadi apabila ada tindakan-tindakan penggunaan merek
terdaftar oleh pihak-pihak beriktikad buruk yang dilakukan dalam masa
perlindungan atas merek yang bersangkutan sebagaimana tertera dalam
sertifikat pendaftaran mereknya.
Tidak ada pelanggaran tanpa pendaftaran merek karena dalam
sistem first to file, perlindungan hukum hanya diberikan kepada pemilik
pendaftaran merek.Pelapor harus mampu menunjukkan sertifikat merek
atau alas hak lainnya yang sah pada saat melakukan pelaporan atas suatu
tindak pidana merek.Selain harus mampu menunjukkan bukti kepemilikan
merek yang sah, pelapor juga harus mampu menunjukkan kepada
kepolisian perbedaan-perbedaan antara barang asli dan barang palsu secara
jelas.Hal ini tentu saja untuk menghindari penegak hukum melakukan
kekeliruan dalam menangkap dan memproses pidana para pelaku
pelanggaran merek.
Dengan adanya peredaran barang palsu tersebut, tentunya
memberikan dampak bagi pemilik industry, konsumen, bahkan Negara.
Berdasarkan hasil studi MIAP dengan LPEM FEUI terhadap 12 sektor
industri pada periode 2002-2005, menyebutkan, tindakan pemalsuan di
industri sepatu, tekstil, pakaian jadi, rokok, dan pestisida selama periode
tersebut menimbulkan kerugian mencapai Rp 4,4 triliun. Ini belum
termasuk pemalsuan terhadap produk software yang menimbulkan
kerugian Rp 3,6 triliun. Kegiatan pemalsuan di 12 bidang industri tersebut

telah pula menghilangkan potensi lapangan pekerjaan sebanyak 124 ribu7.
Banyak kasus pelanggaran terhadap Hak Kekayaan Intelektual
yang kini sedang dilakukan pemeriksaan oleh para aparat hukum, seperti
menurut penelitian Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak
Kekayaan Intelektual (Timnas PPHKI), bahwa menurut catatannya telah
terjadi 65 kasus pelanggaran dalam bidang HKI, dengan rincian 45
pelanggaran terhadap hak cipta, 17 pelanggaran terhadap hak merek, dan
tiga kasus pelanggaran terhadap hak paten. Dari ke 65 kasus tersebut
hanya enam kasus yang sudah terselesaikan, sedangkan 59 kasus masih
dalam tahap pemeriksaan8. Data tersebut tentunya hanya sebagian kasus
yang terungkap di permukaan.Padahal berdasarkan penelusuran di
lapangan, masih banyak peredaran dan penjualan barang palsu, terutama
dalam bidang mode di pasar-pasar.
Di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur juga tak luput dari praktek
peredaran dan penjualan barang palsu, seperti pemalsuan merek terhadap
tas merk coach, ransel, kaos merk nevada, sepatu merk

jelly, crocs,

ariesta mode, new era, baju obral berkisar 10-35 ribu. Biasanya barangbarang palsu tersebut dijual di pasar-pasar maupun toko-toko kecil.
Mereka

(para

penjual)

menjual

barang-barang

palsu

tersebut

dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi, yaitu ingin meraup keuntungan yang
7

http://www.miap.or.id/main/berita/detail.php?detail=20091230160731 , diakses pada tanggal 25
September 2012.
8
http://www.miap.or.id/main/berita/detail.php?detail=20091230160731 , diakses pada tanggal 25
September 2012.

sebesar mungkin dari hasil penjualan barang palsu, yang biasanya dijual
dengan membanting harga melalui obral.
Konsumen atau pembeli juga ikut andil dalam maraknya peredaran
dan penjualan barang palsu di Kabupaten Bondowoso. Faktor ekonomi
kembali yang menjadi penyebabnya, para pembeli yang membeli barangbarang palsu tersebut rata-rata perekonomiannya yang rendah sampai
dengan menengah. Karena tidak mampu membeli barang original atau
barang asli, pembeli beralih untuk membeli barang palsu. Kualitas barang
tidak lagi dipikirkan oleh para pembeli, sudah cukup bagi mereka
memiliki barang yang meyerupai barang original atau barang asli.
Berdasarkan hal tersebut, maka terlihat faktor prestige juga ikut andil
dalam peredaran dan penjualan barang palsu.
Maraknya peredaran dan penjualan barang palsu di Kabupaten
Bondowoso menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat untuk mentaati
hukum masih kurang, padahal sejak tahun 2001 lalu Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek telah disahkan, maka sudah 11 tahun
waktu berjalan dan ternyata dalam prakteknya pelanggaran merek masih
sering terjadi.
D. Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang Akan Diatur
dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap Aspek
Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya terhadap Beban Keungan
Negara

Permasalahan peredaran dan penjualan barang palsu di Indonesia,
khususnya di Kabupaten Bondowoso yang terus meningkat tiap tahunnya,
hal ini menunjukkan bahwa implementasi Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek masih belum efektif. Akibatnya

Negara

Indonesia juga mengalami kerugian yang besar akibat adanya peredaran
serta penjualan barang palsu, sehingga dibutuhkan suatu peraturan daerah
untuk menyelesaikan masalah tersebut agar tidak berlarut-larut. Dengan
adanya naskah tentang pelarangan dan peredaran barang palsu juga dapat
berdampak positif bagi keuangan Negara, yaitu memberi dampak efisiensi
dan penghematan terhadap keuangan Negara.
Peraturan Daerah Tentang Pelarangan Peredaran dan Penjualan
Barang Palsu dalam Bidang Mode di kabupaten Bondowoso dibuat untuk
menekankan pelaksanaan peraturan yang sudah ada, yaitu Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Jika peraturan daerah ini dapat
diterapkan dengan baik, maka setidaknya dapat merubah mentality
masyarakat Kabupaten Bondowoso untuk lebih menghargai barang
original atau barang asli, serta apabila peredaran dan penjualan barang
palsu dapat diminimalisir, hal ini tentu saja dapat berdampak positif dalam
meningkatkan pendapatan daerah Kabupaten Bondowoso. Dampak
lainnya dengan adanya perda ini adalah masyarakat sekitar terdorong
meningkatkan kreativitasnya untuk menghasilkan produk sendiri guna
memenuhi kebutuhan hidup dibidang mode tanpa harus melanggar hukum.

BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Pengaturan mengenai pelarangan peredaran barang palsu memiliki
keterkaitan dengan dengan9:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The
World Trade Organization).
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1995 tentang
Komisi Banding Merek ditetapkan Tangga1 29 Agustus 1995.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1993 tentang
Tata Cara Permintaan Pendaftaran Merek ditetapkan Tangga1 31 Maret
1993.
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1993 tentang
Kelas Barang atau Jasa Bagi Pendaftaran Merek ditetapkan Tangga1 31
Maret 1993.

Meskipun Undang-Undang mengenai merek telah ada sejak tahun
1961 namun keberadaannya seringkali mengalami perubahan. Sedikitnya
Undang-Undang merek telah mengalami lima kali perubahan. Hingga pada
9

http://umarikmawaru.blogspot.com/2012/07/aspek-hukum-dalam-ekonomi-hakatas.html#.UGcKpGMR3Mw

saat ini Indonesia menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2001
tentang merek sebagai upaya nyata Pemerintah untuk memberi perlindungan
bagi pemilik merek terdaftar. Secara umum Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 mengatur tentang merek, permohonan pendaftaran merek, persyaratan
pendaftaran merek, penghapusan dan pembatalan pendaftaran merek,
penyelesaian sengketa merek dan sebagainya. Dalam kurun waktu 11 tahun
pelaksanaannya, Undang-Undang tersebut dirasakan kurang mampu lagi
untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat, khususnya
masyarakat Kabupaten Bondowoso.
Rancangan Peraturan Daerah mengenai Pelarangan Peredaran BarangBarang Palsu Dalam Bidang Mode Di Kabupaten Bondowoso memiliki
keterkaitan dengan berbagai Peraturan Perundang-undangan lain baik secara
vertikal maupun horizontal. Antara Rancangan Peraturan Daerah tersebut
dengan Peraturan Perundang-undangan lain diharapkan dapat saling
melengkapi, mengingat peraturan baru dibuat dengan tujuan untuk menambah
suatu aturan yang belum diundangkan maupun memperbaiki suatu aturan
yang telah ada namun dirasakan tidak lagi mampu untuk menyelesaikan
permasalahan terhadap kondisi yang ada.
Dengan adanya Rancangan Peraturan Daerah tersebut nantinya
diharapkan permasalahan mengenai peredaran barang-barang palsu di
Kabupaten Bondowoso dapat teratasi, karena telah ada suatu aturan yang
lebih khusus mengatur tentang peredaran barang palsu.Sanksi bagi para
produsen dan pedagang barang palsu yang selama ini hanya tertulis di dalam

Undang-Undang nantinya dapat di implementasikan secara baik dengan
Rancangan Peraturan Daerah Tersebut sebagai landasan hukumnya.
Dalam Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001, diatur mengenai berbagai peraturan maupun
keputusan pemerintah menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan merek.Apa
yang telah diatur sebelumnya tentu berkaitan dengan kondisi hukum yang ada
pada saat itu. Misalnya saja pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 1993 tentang Tata Cara Permintaan Pendaftaran Merek
ditetapkan Tangga1 31 Maret 1993, pada saat itu tentu kondisi hukum yang
terjadi mengenai tata cara permintaan pendaftaran merek tidak berjalan
sebagaimana

mestinya

sehingga

Pemerintah

memutuskan

untuk

mengeluarkan Peraturan Pemerintah mengenai Tata Cara permintaan
Pendaftaran Merek.

BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN
YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis disusunnya naskah akademik ini adalah
pancasila atau rechtsidee, yaitu konstruksi pikir yang mengarahkan hukum
kepada suatu hal yang dicita-citakan. Menurut Rudolf Stamler, rechtsidee
berfungsi sebagai leitsern atau bintang pemandu bagi terwujudnya cita-cita
sebuah masyarakat10.
Falsafah atau pandangan hidup suatu bangsa berisi nilai moral dan
etika dari bangsa tersebut. Moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai
yang baik dan yang tidak baik. Nilai yang baik adalah nilai yang wajib
dijunjung tinggi,didalamnya ada nilai kebenaran,keadilan dan kesusilaan
dan berbagai nilai lainnya yang dianggap baik. Pengertian baik, benar, adil
dan susila tersebut menurut takaran yang dimiliki bangsa yang
bersangkutan.
Hukum dibentuk tanpa memperhatikan moral bangsa akan sia-sia
diterapkan tidak akan dipatuhi. Semua nilai yang ada nilai yang ada
dibumi Indonesia tercermin dari Pancasila, karena merupakan pandangan
hidup, cita-cita bangsa, falsafah, atau jalan kehidupan bangsa (way of
10

Rudolf Steammler dalam Roscoe Pound, Hukum dan Kedudukannya Dalam Masyarakat, Terj.
Budiarto, Jogjakarta: Radjagrafindo, 1996, hal.11

life). Falsafah hidup berbangsa, merupakan suatu landasan untuk
membentuk hukum suatu bangsa, dengan demikian hukum yang dibentuk
harus mencerminkan falsafah suatu bangsa. Sehingga dalam penyusunan
naskah akademik harus mencerminkan moral dari daerah yang
bersangkutan. Kaidah-kaidah filsafati secara normatif dituangkan ke dalam
asas-asas penyusunan peraturan perundang-undangan.
Berlakunya undang-undang dalam arti materiil, dikenal adanya
beberapa asas. Asas-asas itu dimaksudkan, agar perundang-undangan
mempunyai akibat yang positif, apabila benar-benar dijadikan pegangan
dalam penerapannya, walaupun untuk hal itu masih diperlukan suatu
penelitian yang mendalam, untuk mengungkapkan kebenarannya.
Terhadap setiap sila yang terdapat dalam pancasila, problem
mengenai peredaran barang palsu memiliki keterkaitan dengan tiap-tiap
silanya, yaitu:
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
Dalam sila pertama diatur mengenai kewajiban kita sebagai sesama
umat manusia yang percaya akan adanya Tuhan untuk saling membina
kerukunan antar manusia. Kerukunan tercipta apabila setiap hak dan
kewajiban masyarakat seimbang dan tidak adanya konflik antara
sesama umat beragama. Apabila kita melihat permasalahan mengenai
peredaran barang palsu, hal ini sangat tidak mencerminkan adanya
kerukunan yang seharusnya tercipta antar sesama manusia. Para
produsen

maupun

pengedar

barang

palsu

bertindak

tanpa

berlandaskan prinsip ketuhanan sehingga menyebabkan perbuatannya

cenderung ke arah yang negatif. Sehingga diperlukan suatu aturan
yang bersifat memaksa mereka untuk memperbaiki tindakan negatif
tersebut demi terpenuhinya kerukunan antar sesama manusia ciptaan
Tuhan.
2) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Sila kedua mengatur mengenai keharusan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan serta pembelaan terhadap kebenaran dan keadilan. Nilainilai tentang kemanusiaan harus diterapkan pada setiap tindakan agar
tercipta kondisi yang baik. Begitu pula dalam melakukan pekerjaan,
sudah seharusnya etika bekerja yang berlandaskan nilai-nilai
kemanusiaan diimplementasikan. Apabila nilai-nilai akan kemanusiaan
tersebut diperhatikan dengan baik maka sudah pasti nilai kebenaran
dan keadilan terpenuhi. Namun pada faktanya mereka yang
memproduksi serta mengedarkan barang palsu tidak menerapkan nilainilai kemanusiaan sehingga tidak terpenuhinya kebutuhan akan
kebenaran dan keadilan. Dari kasus peredaran barang palsu di
Kabupaten Bondowoso tersebut, keadilan bagi pemilik hak cipta
maupun hak merek tidak terpenuhi. Apa yang menjadi haknya justru
beralih kepada orang lain yang tanpa izin memalsukan inovasi yang
ditemukan oleh si pemegang hak merek. Keadilan yang belum
sepenuhnya terlaksana ini harus segera dikembalikan kepada
hakikatnya sehingga tidak ada lagi hak keadilan yang dilanggar.
Dengan dibuatnya Rancangan Peraturan Daerah ini diharapkan mampu

untuk melindungi hak-hak pemilik merek yang selama ini tidak
terpenuhi.
3) Persatuan Indonesia
Sila ketiga ini mencakup rasa cinta terhadap bangsa dan tanah air
Indonesia. Kita sebagai warga negara Indonesia wajib untuk turut serta
dalam hal kepentingan negara. Terciptanya kondisi persaingan usaha
yang sehat merupakan salah satu kepentingan negara, sehingga demi
nama baik bangsa dan negara maka dengan dibentuknya Rancangan
Peraturan Daerah ini merupakan salah satu bentuk kontribusi untuk
menjaga persatuan bangsa Indonesia.
Selain berlandaskan Pancasila, landasan filosofis yang lainnya
terdapat pada pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
republik Indonesia (UUD NRI 1945). Pada alinea keempat dijelaskan
tujuan dari bangsa Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, sehingga disusunnya
Rancangan Peraturan Daerah ini merupakan salah satu upaya untuk
mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Seperti yang termuat pada
pembukaan UUD NRI 1945 dengan berlandaskan nilai-nilai yang
termuat dalam Pancasila.

B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis
dituangkan

di

dalam

dapat

suatu

diartikan

peraturan

sebagai

norma

yang

perundang-undangan

yang

mencerminkan suatu kebutuhan masyarakat terhadap suatu peraturan yang
sesuai dengan realitas kehidupanmasyarakat setempat. Oleh sebab itu,
dalam penyusunan peratalam suatu peraturan sesuai dengan kondisi yang
ada di masyarakat, uran tersebut diperlukan suatu penelitian langsung di
dalam

masyarakat.Dengan

demikian

gagasan-gagasan

yang

akan

dirumuskan sehingga jika peraturan tersebut nantinya disahkanakan dapat
berjalan dengan efektif.
Peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan keyakinan
umum atau kesadaran hukum masyarakat.Suatu peraturan perundang –
undangan harus mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuan –
ketentuan sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum
masyarakat.Hukum dibuat harus dapat dipahami masyarakat sesuai dengan
kenyataan yang dihadapi masyarakat.Dengan demikian dalam penyusunan
rancangan peraturan daerah harus sesuai dengan kondisi masyarakt yang
bersangkutan.
Pelanggaran norma yang berlaku mengendurkan jiwa ketaatan
hukum secara meluas kepada masyarakat, sehingga ancaman sanksi belum
bisa menjadi tolak ukur kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku.
Bentuk ketaatan hukum yang ”terbukti kebenarannya” atau ”terdukung”
secara otoritatif (gesteunde naleving) dan ”pemeliharaan hukum preventif’
(preventieverechtszorg), yang bertujuan menghilangkan ketidakpastian
hukum dan mencegah, sejauh mungkin, sengketa di kelak kemudian hari.

Dengan cara ini isi-isi yang khusus dan validitas dari hubunganhubungan hukum (yang baru) sesungguhnya diuji oleh orang-orang yang
berpengetahuan hukum dan pemegang otoritas hukum. Kerja sama (atau
keterlibatan) yang terang-terangan dari mereka itu, atau persetujuan diamdiam belaka, barangkali tidak memiliki ketegasan dan sifat dramatik
seperti halnya dengan keputusan akibat konflik dan argumen, namun hal
tersebut tetap berada dalam lingkungan pengendalian yang sah dan sanksi
hukum yang berkewenangan11. Tatanan dan praktik yang lama tidak dapat
dengan mudah begitu saja digantikan dengan yang baru. Hal itulah yang
menyebabkan bahwa masyarakat dalam transisi itu sekaligus merupakan
masyarakat yang bergolak.
Demikian halnya dengan dunia pemikiran hukum, secara dialektis
terjadi pemikiran baru yang selalu berujung pada perubahan. Di samping
itu, Satjipto Rahardjo juga menegaskan bahwa hukum bukan suatu
institusi yang selesai, tetapi sesuatu yang diwujudkan secara terus
menerus. Negara hukum dan institusi hukum adalah proyek yang ada
dalam proses penyelesaian. Satjipto Rahardjo menambahkan bahwa
pemahaman hukum secara legalistik posivistis dan berbasis peraturan
(rule bound) tidak mampu menangkap kebenaran, karena memang tidak
mau melihat atau mengakui hal itu.
Dalam ilmu hukum yang legalistis-posivistis, hukum sebagai
institusi pengaturan yang kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang

11

Holleman, JF. Kasus-kasus Sengketa dan Kasus-Kasus Di Luar Sengketa Dalam
Pengkajian Mengenai Hukum Kebiasaan dan Pembentukkan Hukum Dalam Antropologi Hukum,
Sebuah Bunga Rampai, Penyunting Ihrom.TO. Edisi Pertama. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
1993. Hal73

sederhana,

linier,

maknistik,

dan

deterministik,

terutama

untuk

kepentingan profesi12. Permasalahan yang terjadi juga berkaitan dengan
efektifitas hukum
Landasan sosiologis terhadap pelarangan peredaran dan penjualan
barangpalsu dalam bidang mode di Kabupaten Bondowoso adalah semakin
meningkatnya peredaran dan penjualan barangpalsu, khususnya dalam
bidang mode di Kabupaten Bondowoso yang meresahkan para pemilik
merek, padahal telah ada peraturan yang mengatur tentang perlindungan
merek, yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.
Berdasarkan hal tersebut maka terdapat kesenjanganantara das
sollen dan das sein.Kesenjangan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor,
seperti: Pertama, kurangnya pengetahuan masyarakat Bondowoso bahwa
mengedarkan dan menjual barang palsu atau barang KW merupakansuatu
pelanggaran tetapi menurut mereka hal itu bukanlah suatu pelanggaran.
Hal ini dikarenakan belum daa parat penegak hukum yang menghentikan
aktivitas mereka. Kedua, adanya faktor ekonomi, para penjual barang
palsu ingin memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara
membanting harga melalui obral. Obral merupakan salah satu strategi
penjual untuk menarik minat pembeli supaya membeli dagangan mereka
sebanyak mungkin. Ketiga, ikut berpartisipasinya konsumen, maksudnya

12

Dimyati, Khudzaifah. Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran
Hukum Di Indonesia 1945-1990, Cetakan Kedua. Muhammadiyah University Press. Surakarta.
2004. Hal 167

adalah peredaran dan penjualan barang palsu tidak akan pernah ada jika
konsumen tidak memintanya.
Pada umumnya konsumen atau pembeli menginginkan suatu
produk yang memiliki brand tapi dengan harga yang murah. Atas dasar
persepsi tersebut, maka penjua lberlomba-lomba untuk menjual barang
palsusesuai dengan minat masyarakat dan taklupa dengan harga yang
murah. Barang-barang palsu yang banyak dijual di Kabupaten Bondowoso
diadaptasi dari merek-merek yang telah memiliki banyak penggemar
tersendiri, baik merek dari dalam negeri ataupun merek luar negeri seperti
Hermes, Jimmy Cho, Dolce & Gabbana, Chanel, Louis Vuitton, Furla,
Zara, Mango, Reebook, Nike, Cardinal, Dagadu, Jangkrik, Jely dan
massih banyak lagi.
Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan suatu peraturan yang
dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pemilik merek yang
seringkali mengalami eksploitasi komersil tanpa adanya kompensasi yang
diberikan

oleh para pelaku tersebut. Dengan adanya suatu peraturan

tentang pelarangan peredaran dan penjualan barang palsu, diharapkan
dapat meminimalisir

bahkan menghentikan peredaran dan penjualan

barang palsu di Kabupaten Bondowoso.
C. Landasan Yuridis
Salah satu pertimbangan yang digunakan untuk menyusun
Rancangan Peraturan Daerah mengenai peredaran serta penjualan barang
palsu di Kabupaten Bodowoso ialah karena ketidak efektifan implementasi

dari Peraturan Perundang-undangan yang ada, yaitu Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Dalam problematika ini sebenarnya tidak terjadi kekosongan
hukum dalam skala nasional, namun apabila dilihat secara lebih fokus
memang belum ada Peraturan Daerah di Kabupaten Bondowoso yang
mengatur mengenai peredaran barang palsu, sehingga setelah melihat fakta
tentang maraknya peredaran barang palsu yang terjadi di wilayah
Kabupaten Bondowoso muncullah suatu gagasan untuk membuat suatu
Rancangan Peraturan Daerah yang nantinya dapat secara lebih khusus
mengatur mengenai peredaran barang palsu di kabupaten Bondowoso.
Sebenarnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
tidak mengalami tumpang tindih dengan Peraturan Perundang-undangan
lainnya, apa yang diatur didalam substansi Undang-Undang tersebut juga
belum terlalu ketinggalan jaman. Namun daya berlaku dari UndangUndang tersebut sangatlah lemah. Sehingga dirasa perlu untuk membentuk
Rancangan Peraturan Daerah guna memenuhi rasa keadilan masyarakat
serta memberikan kepastian hukum bagi masyarakat di wilayah Kabupaten
Bondowoso.
Bukan hanya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang
Merek saja yang mengatur mengenai merek, namun terdapat berbagai
ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang juga mengatur tentang
merek baik secara vertikal maupun horizontal. Berikut beberapa Peraturan
Perundang-undangan yang berkaitan dengan merek:
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing
The World Trade Organization).
3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1995
tentang Komisi Banding Merek ditetapkan Tangga1 29 Agustus 1995.
4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1993
tenta