BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Rabies - Analisis Faktor Predisposing, Enabling Dan Reinforcing Terhadap Tindakan Pemilik Anjing Dalam Pencegahan Penyakit Rabies Melalui Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) Di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Rabies

  Rabies telah dikenal sejak zaman dahulu dan dinilai sangat penting sehingga dicatat pada salah satu prasasti yang dibuat pada zaman kekuasaan raja Hammurabi (2300 SM). Rabies atau penyakit anjing gila adalah penyakit infeksi akut (bersifat

  

zoonosis ) pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies dan ditularkan

  melalui gigitan hewan penular terutama anjing, kucing dan kera. Penyakit ini selalu diakhiri dengan kematian pada hewan dan manusia bila telah menunjukkan gejala klinis (Depkes, 2000).

  Rabies merupakan zoonosis yang penting karena anjing selalu dekat kepada manusia sebagai hewan peliharaan. Penyakit ini hampir selalu menimbulkan kematian dan kerugian ekonomi yang besar (Soejoedono, 2004).

2.1.1. Penyebab Rabies

  Penyebab rabies adalah virus famili Rhabdoviridae yang termasuk dalam golongan ordo Mononegavirales, genus Lyssavirus (Greek lyssa : rabies). Lyssavirus terbagi atas beberapa serotype yang terdiri dari 1. Rabies virus (RABV); 2.Lagos bat

  

virus (LBV); 3. Mokola virus (MOKV); 4. Duvenhage virus (DUVV); 5. European

bat lyssavirus 1 (EBLV-1); 6. European bat lyssavirus 2 (EBLV-2); dan 7.Australian

bat lyssavirus (ABLV) (WHO, 2005 ).

  Di bawah mikroskop elektron, virus rabies ini berbentuk seperti peluru, dengan ukuran panjang sekitar 180 x 10-7 nm dan lebar 65 x 10-7 nm. Pada lapisan permukaan virus ini terdapat envelope yang tersusun atas 50% lemak dan 50% protein tergolong RNA. Virus ini sensitif dengan pelarut lemak (larutan sabun, eter, kloroform, aseton), etanol 45-70% dan preparat iodine (Meslin, 1994).

  Virus rabies dapat menginfeksi semua hewan berdarah panas, dan pada hampir semua kejadian infeksinya akan berakhir dengan kematian (Fenner,1995).

  2.1.2. Reservoir Rabies

skunks, raccoon, mongoose dan mamalia penggigit lainnya. Populasi vampire yang

  terinfeksi, kelelawar frugivorous (pemakan buah) dan insectivorous (pemakan serangga) di temukan di Amerika Serikat, Kanada dan Eropa. Di Amerika Selatan,

  

vampire (Desmodus rotundus murinus) merupakan pembawa virus rabies yang dapat

  menyerang ternak sapi atau kuda, bahkan kadang-kadang manusia. Di Eropa, rubah

  

(fox) menjadi sumber penular rabies pada ternak. Di negara berkembang, anjing

merupakan reservoir utama (Chin, 2000).

  2.1.3. Cara Penularan Rabies

  Air liur hewan positif rabies yang mengandung virus menularkan virus melalui gigitan atau cakaran. Sekitar 70% anjing yang tertular rabies mengandung virus di dalam salivanya. Meskipun jarang, infeksi juga dapat terjadi lewat kulit yang lecet atau konjungtiva yang kontak lewat saliva. Pada gua kelelawar yang mengandung virus rabies dalam jumlah sangat tinggi, penyebaran melalui udara pernah dilaporkan terjadi. Penularan rabies melalui transplantasi organ (kornea) dari orang yang meninggal karena penyakit sistem saraf pusat yang tidak terdiagnosa sebelumnya kemungkinan dapat menularkan rabies kepada penerima organ tadi (Chin, 2000)

  2.1.4. Masa Inkubasi Rabies

  Masa inkubasi sangat tergantung dari tingkat keparahan luka, lokasi luka yang erat kaitannya dengan kepadatan jaringan saraf di lokasi luka dan jarak luka dari otak Masa inkubasi rabies bervariasi sekitar 10 hari sampai 6 bulan. Biasanya berlangsung dengan kepala. Gigitan di daerah kepala mempunyai masa inkubasi sekitar 30–48 hari, sedangkan gigitan di daerah tangan 40-59 hari (Shnurrenberger, 1991). Masa inkubasi lebih pendek pada anak-anak, karena anak-anak umumnya terkena gigitan di daerah kepala dan leher (Bell,1995).

  2.1.5. Patogenesis

  Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan di dekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebarluas dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus berjalan ke arah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus ini menyerang hampir tiap organ dan jaringan di dalam tubuh dan berkembang biak dalam jaringan-jaringan seperti kelenjar ludah, dan ginjal (Depkes, 2007a).

2.1.6. Gejala Rabies

  1. Hewan Dikenal 2 (dua) bentuk rabies pada hewan terutama anjing, yakni dumb rabies

  (bentuk tenang) dan furious rabies (bentuk ganas/beringas). Hewan yang terjangkit rabies menunjukkan gejala umum dengan adanya kelainan pada tingkah laku. Anjing yang biasanya galak dapat tampak kehilangan sifat galak, sedangkan anjing yang

  Pada tipe rabies ganas, hewan tidak menuruti lagi perintah pemilik dan terlihat air liur yang keluar berlebihan. Hewan menjadi ganas, menyerang atau menggigit apa saja yang ditemui dan ekornya dilengkungkan ke bawah perut diantara dua paha. Terjadi kejang-kejang kemudian lumpuh, biasanya mati setelah 4-7 hari sejak timbul gejala atau paling lama 12 hari setelah penggigitan. Bentuk ganas/beringas lebih banyak dijumpai pada anjing, kucing dan kuda dibanding sapi dan spesies hewan laboratorium (Fenner,1995).

  Pada tipe rabies tenang, hewan bersembunyi ditempat gelap dan sejuk. Kejang=kejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat. Kelumpuhan terjadi sehingga tidak mampu menelan. Mulut terbuka dan air liur keluar berlebihan.

  Kematian terjadi dalam waktu singkat (Soeharsono, 2002).

1. Manusia

  Untuk mengetahui tanda-tanda rabies pada manusia, yang pertama harus diperhatikan adalah riwayat gigitan oleh hewan seperti anjing atau hewan penular rabies (HPR) lainnya. Berdasarkan diagnosa klinik gejala klinis rabies terbagi menjadi 4 stadium (Depkes, 2007), yaitu : a.

  Stadium Prodromal Gejala-gejala awal berupa demam, mual, malaise dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.

  Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka. Kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi berlebihan terhadap rangsangan sensorik.

  c. Stadium Eksitasi Tonus otot-otot dan aktivitas simpatis jadi meninggi dengan gejala hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupil dilatasi. Bersamaan dengan stadium eksitasi ini penyakit mencapai puncaknya, yang sangat khas pada stadium ini ialah adanya bermacam-macam fobi, yang sangat terkenal diantaranya ialah hidrofobi.

  Pada stadium ini dapat terjadi apnoe, sianosis, konvulsi dan takikardi. Tindak- tanduk penderita menjadi maniakal. Gejala-gejala eksitasi ini dapat terus berlangsung sampai penderita meninggal. d. Stadium Paralisis Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi.

  Kadangkadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang, yang memperlihatkan gejala paralysis otot-otot pernafasan.

2.1.7. Kejadian Rabies di Lapangan

  Kejadian (kasus) positif rabies di lapangan ditentukan atau dipengaruhi oleh hal: Ada 2 pola penggigitan oleh anjing terhadap manusia yang lazim terjadi di daerah-daerah pedesaan yaitu : a. Penggigitan karena ada provokasi :

  Penggigitan yang terjadi di sini didahului oleh adanya gangguan baik langsung atau tidak langsung. Pada anjing yang baru beranak, biasanya naluri untuk melindungi anaknya sangat kuat sehingga sangat mudah sekali anjing menyerang dan menggigit kalau diganggu. Bentuk provokasi terhadap anjing sangat beragam dari mulai memukul, menyeret ekor sampai dengan mengganggu anjing yang sedang tidur. Hal tersebut akan merangsang anjing untuk menggigit. Penggigitan-penggigitan yang disebabkan oleh adanya provokasi apalagi dilakukan dengan sengaja, tidak menjadi persoalan serius dalam kejadian rabies di lapangan, namun tetap harus diwaspadai melalui kegiatan observasi, apalagi bila diketahui anjing tersebut belum divaksinasi. b. Penggigitan tanpa provokasi Dalam hal ini anjing menyerang dan menggigit secara tiba-tiba tanpa adanya gangguan dalam bentuk apapun. Di lapangan, anjing yang menggigit secara tiba-tiba biasanya sudah menjadi “wandering-dog” atau “anjing luntang-lantung” yang berjalan tanpa tujuan dan menyerang serta menggigit siapa saja yang ditemuinya.

  Anjing tersebut biasanya adalah anjing liar atau anjing-anjing peliharaan yang ditelantarkan sehingga menjadi liar.

  2. Pola Penyebaran dipelihara dengan baik atau anjing liar yang merupakan ciri khas yang ada di pedesaan yang berkembang sangat cepat dan sulit dikendalikan. Suatu kondisi yang sangat kondusif untuk menjadikan suatu daerah dapat bertahan menjadi daerah endemis.

  Pada umumnya manusia merupakan “dead end” atau terminal akhir dari korban gigitan. Baik anjing liar maupun anjing peliharaan setiap saat dapat menggigit manusia. Sementara itu anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar dan anjing peliharaan dapat saling menggigit satu sama lain. Jika salah satu diantara yang menggigit tersebut positif rabies, maka akan terjadi kasus rabies yang semakin tinggi (Dinas Peternakan.Prop.Sumut 2006).

  ANJING ANJING ANJING PELIHARAAN

  MANUSIA

  MANUS ANJING ANJING ANJING ANJING ANJING ANJING ANJING PELIHARAA PELIHARAA YANG LIAR LIAR LIAR LIAR LIAR LIAR LIAR N N MENJADI LIAR

Gambar 2.1. Pola Penyebaran Rabies di Lapangan

  

Sumber : Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia Penyakit Hewan Menular, Departemen

Pertanian, Dirjen Bina Produksi Peternakan, Direktorat Kesehatan Hewan 2006. p, 7.

2.1.8. Diagnosa

  Rabies pada hewan dapat didiagnosa melalui tanda-tanda klinis pada hewan yang terjadi di lapangan dan melalui pemeriksaan laboratorium dengan pemeriksaan spesimen.

  1. Diagnosa Lapangan Untuk memperoleh tingkat akurasi yang tinggi, cara yang paling tepat adalah dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a.

  Anjing yang menggigit harus ditangkap dan diobservasi b. Riwayat penggigitan, ada tidaknya provokasi c. Jumlah penderita yang digigit.

  Anjing yang menggigit lebih dari satu orang dan penggigitannya tanpa diawali dengan provokasi (gangguan, stimulasi) anjing tersebut cenderung menderita rabies.

  Tetapi untuk membuktikannya, prosedur observasi selama 10 – 14 hari harus dilakukan. Apabila dalam masa observasi anjing tersebut mati maka dugaan ke arah rabies semakin besar.

  Berdasarkan pengalaman di lapangan, anjing yang menggigit lebih dari satu orang tanpa didahului oleh adanya provokasi dan anjing tersebut mati dalam masa observasi yang kemudian spesimen otaknya diperiksa di laboratorium hasilnya adalah positif rabies. Berdasarkan indikasi seperti tersebut di atas dapat ditentukan sebagai berikut : a) Hewan menggigit 1 orang tanpa provokasi, kemungkinan positif rabies 25%. b) Hewan menggigit 2 orang tanpa provokasi, kemungkinan positif rabies 50%.

  d) Hewan menggigit 4 orang tanpa provokasi, kemungkinan positif rabies 100%.

  Ketepatan diagnosa di lapangan ditentukan pula oleh status wilayah. Penggigitan yang terjadi di daerah wabah walaupun hanya terhadap 1 orang, kecenderungan positif rabies dapat menjadi 100%.

  2. Diagnosa Laboratorium Cara yang paling sederhana untuk menentukan rabies secara laboratorium adalah dengan menemukan Negeri bodies (typical inclusion bodies) pada preparat ulas jaringan otak (hypocampus) yang telah diwarnai dengan pewarnaan Sellers. Kadang-kadang Negeri bodies tidak terdeteksi, karena itu perlu dilakukan inokulasi jaringan otak pada tikus putih. Bila tikus tersebut mati maka jaringan otaknya diperiksa dengan Metode Sellers sebagaimana tersebut di atas. Metode pemeriksaan yang lebih canggih untuk mendiagnosa rabies adalah dengan Flourescence Antibody

  Test (FAT). Metode FAT hasilnya akurat dan cepat, sedangkan preparat yang diperlukan untuk pembuatan FAT bisa yang masih segar, beku atau spesimen dalam

  

glycerol . FAT juga bisa mendeteksi virus rabies yang berasal dari preparat kelenjar

ludah (salivary glands).

  Diagnosis laboratorium dari rabies pada hewan penting dilakukan di laboratorium tertentu oleh tenaga yang terampil dan berpengalaman, karena dalam banyak kasus, ini melibatkan keputusan pengobatan pada manusia (Dinas Peternakan Prop.Sumut, 2006). Penyakit ini sering berjalan dengan cepat dan dalam sepuluh hari dapat menyebabkan kematian sejak timbulnya gejala, sehingga pemeriksaan serologis 2007).

  Penetapan suatu Kejadian Luar Biasa (KLB) rabies jika memenuhi salah satu kriteria (Depkes 2004) : Peningkatan jumlah kasus gigitan hewan tersangka rabies menurut periode waktu

  • (mingguan/harian) di suatu kecamatan, desa/kelurahan dibandingkan dengan periode sebelumnya.
  • 2.2. Sejarah Rabies di Indonesia

  Terdapat satu kasus klinis rabies pada manusia

  Rabies merupakan penyakit zoonosis yang telah lama ada di Indonesia dan telah menyebar ke berbagai propinsi. Kejadian rabies pertama kali dilaporkan terjadi pada seekor kerbau oleh J.W. Esser (1884), kemudian dilaporkan oleh Penning yang terjadi pada seekor anjing di Jawa Barat (1889) dan kejadian rabies pada manusia dilaporkan pertama kali oleh Eilers de Zhaan pada tahun 1894 (Depkes, 2007). Setelah Perang Dunia ke-II kasus rabies di Indonesia ditemukan di Jawa Barat (1948), Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur (1953), Sumatera Utara (1956), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (1958), Sumatera Selatan (1959), DI Aceh (1970), Jambi dan Yogyakarta (1971).

  Soeharso (2003) menuliskan pada tahun 1972 ditemukan kasus pertama rabies di DKI Jakarta. Kasus pertama rabies di Bengkulu dan Kalimantan Timur (1974), Riau (1975) dan Kalimantan Tengah (1978). Penyakit rabies kembali meluas ke rabies muncul di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (Dinas Peternakan Prop.Sumut, 2006).

2.3. Pembagian Status Daerah dan Kriterianya

2.3.1. Status Daerah

  2.3.1.1.Daerah Bebas, kriterianya : a.

  Daerah yang secara historis tidak pernah ditemukan penyakit rabies.

  b.

  Daerah yang pernah tertular rabies tetapi dalam 2 (dua) tahun terakhir tidak ada kasus secara klinis dan epidemiologis dan dikonfirmasikan secara laboratoris.

  Khusus untuk manusia kasusnya berasal dari daerah tersebut (bukan kasus import).

  Beberapa daerah yang sebelumnya menjadi daerah tertular telah ditetapkan menjadi daerah bebas rabies yaitu :

  • (berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor : 892 /Kpts/TN. 560/9/97)

  Propinsi Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah

  • Nomor : 566/KPTS/PD.640/2004)

  Propinsi Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta (berdasarkan SK Menteri Pertanian

  2.3.1.2. Daerah Tertular, kriterianya: Daerah yang dalam 2 (dua) tahun terakhir pernah ada kasus rabies pada hewan dan manusia (baik secara berurutan atau tunggal) secara klinis, epidemiologis dan dikonfirmasikan secara laboratoris. Khusus untuk manusia kasusnya berasal dari

  2.3.1.3. Daerah Tersangka, kriterianya :

  a. Daerah yang dalam 2 (dua) tahun terakhir ada kasus rabies secara klinis dan epidemiologis tapi belum dibuktikan secara laboratoris.

  b. Daerah yang berbatasan langsung dalam satu daratan dengan daerah tertular.

2.3.2. Batas Daerah

  Yang dapat dijadikan pegangan dalam menentukan batasan daerah adalah: a. Pulau b. Propinsi/Kabupaten/Kota yang mempunyai sarana pengawasan lalu-lintas hewan penular rabies yang dapat mencegah penularan rabies (Departemen Pertanian RI,

  2006).

2.3.3. Epidemiologi Rabies 1.

  Berdasarkan Orang Dari hasil penelitian pada hewan peliharaan seperti anjing, kucing, dan kera, didaptkan data bahwa 12.581 gigitan hewan tersangka rabies, sebanyak 1112 hewan positif rabies, 120 orang meninggal, dengan kasus tertinggi di Nusa Tenggara Timur, Sumatera Barat, dan Riau, tanpa memandang jenis kelamin dan usia.

  2. Berdasarkan Tempat vektor penular yng berbeda-beda. Di Amerika Serikat ada beberapa kota yang bebas rabies (New York dan Philadelphia), tetapi sebagian besar negara bagian melaporkan kasus rabies pada binatang.

3. Berdasarkan Waktu Pda tahun 1975 dilaporkan terjadi 25 kasus rabies pada anjing di Amerika Utara.

  Rabies ditemukan di Indonesia pada tahun 1889 pada seekor kerbau di Bekasi, sementara rabies pada manusia pertama kali dilaporkan pada tahun 1894 oleh E.V. de Haan. Di jawa Tengah sejak tahun 1995 tidak terdapat lagi kasus rabies (Widoyono, 2005).

2.4. Program Pembebasan Rabies

  Mengingat akan bahaya rabies terhadap kesehatan dan ketentraman masyarakat karena dampak buruknya selalu diakhiri dengan kematian serta dapat mempengaruhi dampak perekonomian khususnya bagi pengembangan daerah-daerah pariwisata di Indonesia yang tertular rabies, maka usaha pengendalian penyakit berupa pencegahan dan pemberantasan perlu dilakukan seintensif mungkin menuju pada program pembebasan. Kebijakan memberantas rabies dilaksanakan dengan alasan utama untuk perlindungan kehidupan manusia dan mencegah penyebaran ke hewan lokal dan satwa liar (Dinas Peternakan.Prop.Sumut, 2006).

  2.4.1. Landasan Kerjasama

  Program pembebasan rabies merupakan Kesepakatan Nasional dan merupakan Jenderal Peternakan), Departemen Dalam Negeri (Direktorat Jenderal Pembinaan Umum dan Otonomi Daerah ) dan Departemen Kesehatan (Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman) dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Nomor : 279A/Men.Kes/SK/VIII/ 1978, Nomor : 522/Kpts/Um/8/78 dan Nomor : 143 Tahun 1978 yang dikeluarkan tanggal 15 Agustus 1978.

  Program ini dimulai pada Pelita V (1989 - 1993) di Pulau Jawa dan Kalimantan dan kemudian pada Pelita VI (1994-1998) diperluas ke semua pulau tertular yaitu Pulau Sumatera dan Sulawesi.

  2.4.2. Prinsip Dasar Sektor Peternakan

  Rabies adalah penyakit daftar B pada Office International des Epizooties (OIE) yang penting dari aspek sosio-ekonomi dan kesehatan masyarakat. (Dinas Peternakan Prop.Sumut, 2006). Pembebasan rabies dapat dicapai dengan menjalankan gabungan atau kombinasi strategi di bawah ini :

  1. Karantina dan pengawasan lalu lintas terhadap hewan penular penyakit.

  2. Pemusnahan hewan tertular dan hewan yang kontak untuk mencegah sumber virus rabies yang paling berbahaya.

  3. Vaksinasi semua hewan yang dipelihara di daerah tertular untuk melindungi hewan terhadap infeksi dan mengurangi kontak terhadap manusia.

  4. Penelusuran dan surveilans untuk menentukan sumber penularan dan arah 5.

  Kampanye peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness) untuk memfasilitasi kerjasama masyarakat terutama dari pemilik hewan dan komunitas yang terkait.

2.4.2.1. Metode Pencegahan Penyebaran dan Eliminasi Agen Penyebab

  Secara alamiah metode awal untuk mencegah penyebaran rabies dan eliminasi agen penyebab, adalah dengan cara sedapat mungkin menghindari gigitan, baik dari anjing peliharaan apalagi gigitan anjing liar atau yang diliarkan. Pendekatan ini terutama harus diterapkan pada anak-anak dan remaja yang berpotensi mendapat serangan gigitan. Mengurangi atau meniadakan tempat-tempat pembuangan sampah yang berpotensi untuk berkumpul dan bertemunya anjing, sekaligus akan mengurangi atau meniadakan kesempatan kontak antar anjing.

  Di lapangan sasaran pemberantasan ditujukan terhadap anjing atau hewan penular rabies (HPR) yang tidak diketahui status vaksinasinya, baik anjing peliharaan maupun anjing liar. Berdasarkan laporan penelitian tentang Analisa Epidemiologi Data Surveillance Rabies di Indonesia oleh Padri dkk (1986), diketahui adanya korelasi antara jumlah penduduk, jenis kelamin dan golongan umur, orang yang mendapat vaksin anti rabies, total gigitan, populasi anjing, jumlah anjing menggigit, jumlah spesimen diperiksa, jumlah spesimen yang positif dan jumlah hewan yang divaksinasi dengan prevalensi rabies.

  Di daerah-daerah/pulau-pulau yang bebas rabies kemungkinan hewan terjangkit rabies bisa saja terjadi, karena masuknya anjing atau hewan penular rabies (HPR) dari lalu lintas anjing dan hewan penular rabies yang masuk dari luar secara ketat harus dilakukan dengan konsisten.

  2.4.2.2. Tindakan Karantina dan Pengawasan Lalu-Lintas

  Luas daerah rawan bergantung kepada faktor-faktor seperti jumlah dan spesies hewan tertular dan hewan kontak, lokasi geografis, lalu lintas anjing dan HPR lainnya yang diketahui maupun yang tidak terawasi. Arus lalu lintas yang tidak terawasi adalah aspek kritis bagi pengendalian rabies di daerah. Dalam skala praktis di lapangan, daerah (desa, kecamatan, kabupaten) yang bersinggungan/ berbatasan dengan daerah tertular/wabah dianggap sebagai daerah rawan.

  2.4.2.3. Tindakan terhadap Hewan Tertular

  Setiap anjing dan HPR yang menggigit harus dianggap sebagai hewan tertular atau tersangka rabies. Tindakan observasi selama 10-14 hari harus diterapkan.

  Apabila hasil observasi negatif, pemusnahan paska observasi dapat dilaksanakan berdasarkan kondisi-kondisi tertentu seperti atas permintaan pemilik atau kondisi anjing sudah tidak layak untuk dipelihara lebih lanjut.

  Semua anjing dan HPR lain yang berada di wilayah administratif daerah yang terjadi wabah dinyatakan sebagai hewan tertular rabies sah dijadikan sasaran eliminasi. Hewan yang masuk dari luar ke dalam daerah wabah, terutama yang masuk secara ilegal dapat pula menjadi target pemusnahan. Pemusnahan dilakukan terutama terhadap anjing, kucing dan kera yang mempunyai potensi sangat besar dalam menularkan dan menyebarkan rabies.

  Hewan-hewan yang kontak dengan penderita rabies bisa saja menimbulkan masalah yang lebih besar daripada hewan tertular. Tanda-tanda klinis dari hewan tertular dapat terlihat setelah beberapa jam, beberapa hari, satu minggu atau paling lama dua minggu (Dinas Peternakan Prop.Sumut, 2006).

  Keunikan rabies adalah masa inkubasi penyakit ini cukup lama, dari beberapa minggu sampai beberapa bulan. Sehingga, seseorang bisa saja membawa anjing yang diperkirakan sehat sementara sudah terdapat virus rabies dalam tubuhnya dari daerah tertular. Dengan pola inilah rabies menyebar dari satu propinsi ke propinsi lain (Soedarsono, 2003).

  Tindakan karantina untuk memudahkan observasi, baik untuk hewan-hewan yang kontak dengan penderita rabies maupun anjing atau HPR lain yang menggigit, merupakan prosedur yang harus ditempuh sampai diperoleh kepastian bahwa hewan tersebut bebas rabies. Pada dasarnya hewan-hewan yang kontak dengan penderita rabies maupun anjing yang menggigit sama sekali tidak boleh dibunuh sebelum hasil observasi dikeluarkan.

  2.4.2.5. Pengendalian Lalu-lintas di Daerah Tertular

  Begitu kejadian kasus rabies dipastikan maka suatu langkah yang cepat harus dilakukan untuk menetapkan daerah tertular (DT) dan daerah rawan (DR) yang mengelilingi DT, dengan merujuk dan mempedomani secara ketat ketentuanketentuan yang berlaku secara nasional.

  Keberadaan DT berlaku hanya sampai dinyatakan bahwa anjing liar di daerah peliharaan lainnya di DT divaksinasi. Tidak ada lalu lintas HPR dan hewan yang tidak di vaksinasi masuk maupun keluar DT. Setelah kasus rabies dapat dihilangkan dari DT dan hewan-hewan peka lainnya telah divaksinasi, maka DT bisa diturunkan menjadi DR dan hewan yang ada di DT tersebut tetap berada di bawah pengawasan dan kontrol yang ketat petugas Dinas Peternakan.

  2.4.2.6. Tindakan terhadap Anjing yang Menggigit

  Anjing yang menggigit di daerah wabah dianggap telah tertular sehingga harus ditangkap dan dibunuh. Khususnya kalau anjing itu anjing liar atau diliarkan. Kepala atau otak langsung dikirim ke laboratorium untuk peneguhan diagnosa. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi jiwa manusia dan sekaligus mengurangi korban.

  Apabila anjing tersebut berpemilik perlu dilihat catatan atau informasi mengenai vaksinasinya. Tindakan terhadap hewan berpemilik yang telah divaksin apabila menggigit/mencakar dan terhadap hewan berpemilik yang kontak dengan hewan tertular rabies adalah: Isolasi dan observasi selama 14 hari

  • Jika dalam masa observasi tetap hidup dibebaskan tetapi jika hewan tidak
  • berpemilik maka dimusnahkan.

  Jika dalam masa observasi anjing mati, otaknya harus dikirim ke laboratorium

  • untuk peneguhan diagnosa rabies. Tindakan terhadap hewan berpemilik yang tidak divaksin apabila Isolasi dan observasi selama 14 hari.
  • Jika dalam masa observasi anjing/kucing tetap hidup dibebaskan.
  • Jika dalam masa observasi anjing/kucing mati maka otaknya harus dikirim ke
  • laboratorium untuk meneguhkan diagnosa rabies. Tindakan terhadap hewan yang tidak berpemilik apabila menggigit/mencakar adalah anjing dibunuh dan spesimen otak dikirim ke laboratorium untuk meneguhkan diagnosa rabies. (Dinas Peternakan.Prop.Sumut, 2006).

  Bertitik tolak dari langkah operasional pelaksanaan pembebasan rabies menurut Departemen Peternakan R.I (2006), salah satu kegiatan yang dilakukan adalah penertiban dan pengawasan pemeliharaan anjing dengan menetapkan beberapa ketentuan, yaitu : 1.

  Setiap anjing berpemilik harus divaksinasi.

2. Bagi anjing berpemilik yang tidak divaksinasi dilakukan eliminasi.

  3. Anjing dipelihara di halaman dan tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran.

  4. Bila rumah tidak berpagar rapat, anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak lebih dari 2 m.

  5. Anjing yang sudah divaksinasi diberi tanda.

  6. Apabila hendak dibawa keluar halaman, anjing harus diikat dengan rantai/tali dan moncongnya di berangus.

  7. Pemilik anjing wajib mendaftarkan anjingnya pada ketua RT dan wajib melakukan vaksinasi rabies terhadap anjingnya secara teratur setiap tahun

2.4.3.1. Pencegahan Rabies setelah Gigitan Hewan Penular Rabies

  Setiap ada kasus gigitan hewan penular rabies harus ditangani dengan cepat dan sesegera mungkin. Untuk mengurangi/mematikan virus rabies yang masuk pada luka gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air (sebaiknya air mengalir) dengan sabun atau detergen selama 10-15 menit, kemudian diberi antiseptik (alkohol 70%, betadine, jodium).

  Meskipun pencucian luka menurut keterangan penderita sudah dilakukan namun di Puskesmas Pembantu/Puskesmas/Rumah Sakit harus dilakukan kembali pencucian luka seperti di atas. Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi yang tidak terlalu erat dan tidak menghalangi pendarahan dan drainase. Bila memang perlu sekali untuk dijahit dengan alasan kosmetik dan dukungan jaringan. Jahitan dilakukan setelah pemberian Serum Anti Rabies (SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikkan di sekitar luka. Disamping itu harus dipertimbangkan pula perlu tidaknya pemberian serum/vaksin anti tetanus, anti biotik untuk mencegah infeksi dan pemberian analgetik ( Depkes, 2007 ).

2.4.3.2. Pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies

  Pemberian vaksin anti rabies (VAR) disertai serum anti rabies (SAR) harus didasarkan jawaban atas pertanyaan terhadap penderita yang meliputi : bagaimana bentuk paparan (kontak/jilatan/gigitan), lokasi kejadian (di daerah bebas / tertular / terancam), apakah di dahului tindakan provokatif/tidak), apakah hewan yang menggigit menunjukkan gejala rabies, hewan yang menggigit (hilang / lari / penderita pernah mendapat vaksin anti rabies (kapan) dan hewan yang menggigit pernah mendapat VAR (kapan).

  Dilakukan identifikasi luka gigitan apakah luka dengan resiko tinggi ; jilatan / luka pada mukosa, luka di atas daerah bahu (muka, kepala, leher), luka pada jari tangan, kaki , genitalia, luka yang lebar/ dalam dan banyak (multiple) . Terhadap luka resiko tinggi, selain VAR juga diberi SAR. Pada luka resiko rendah yaitu jilatan pada kulit luka, lecet akibat garukan atau luka kecil di sekitar tangan, badan dan kaki, hanya diberikan VAR saja.

  Apabila terjadi kontak (dengan air liur hewan tersangka rabies / hewan rabies atau penderita rabies), tetapi tidak ada luka, kontak tak langsung, tidak ada kontak, maka tidak perlu diberikan pengobatan VAR maupun SAR (Depkes, 2007 ).

2.5. Perilaku

  Perilaku manusia menurut Sarwono (2004) merupakan hasil daripada segala pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2003) merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku ini melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut merespons. Teori ini disebut Stimulus Organisme Respons.

  Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Meski stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respons tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku (Notoatmodjo, 2007). Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

  1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan sebagainya.

  2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

  Berdasarkan pembagian domain perilaku kesehatan, Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2003) membagi perilaku menjadi 3 domain yang dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikan yang terdiri dari : (1) pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan (knowledge), (2) sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan ( attitude), (3) praktek atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan dengan materi pendidikan yang diberikan (practice).

  Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada berupa materi atau objek di luarnya, sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut. Ini selanjutnya menimbulkan respons batin dalam bentuk sikap subjek terhadap objek yang diketahui. Akhirnya rangsangan itu, yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap atau sehubungan dengan stimulus atau objek tadi. Beberapa teori determinan perilaku, yaitu : 1.

  Teori Lawrence Green.

  Menurut model perubahan perilaku dari Lawrence Green dan M. Kreuter (2005), faktor-faktor penentu atau mempengaruhi perubahan perilaku dibagi atas tiga kategori yaitu : a. Faktor predisposisi (predisposing factors) Faktor predisposisi merupakan faktor yang dapat mempermudah atau mempredisposisi timbulnya perilaku dalam diri seorang individu atau masyarakat.

  Faktor-faktor yang dimasukkan ke dalam kelompok faktor predisposisi diantaranya adalah pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial.

  b. Faktor pendukung (enabling factors) Faktor pendukung perilaku adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku atau tindakan individu atau masyarakat. Faktor ini c. Faktor penguat (reinforcing factors)

  Faktor-faktor yang memperkuat terjadinya suatu tindakan untuk berperilaku sehat diperlukan adalah perilaku petugas kesehatan dan dari tokoh masyarakat seperti lurah dan tokoh agama. Selain hal tersebut juga diperlukan ada tersedianya peraturan dan perundang-undangan yang memperkuat .

  Dari teori L.Green diketahui bahwa salah satu cara untuk mengubah perilaku adalah dengan melakukan intervensi terhadap faktor predisposisi yaitu mengubah pengetahuan, sikap dan persepsi terhadap masalah kesehatan melalui kegiatan pendidikan kesehatan.

  2. Teori Model Kepercayaan Kesehatan Rosenstock .

  Menurut teori model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model) oleh Rosenstock (1982) dalam Sarwono (2004), seseorang individu baru akan melakukan suatu tindakan untuk menyembuhkan penyakitnya jika benar-benar merasa terancam oleh penyakit tersebut. Jika tidak maka dia tidak akan melakukan tindakan apa-apa.

  Model kepercayaan kesehatan ini mencakup lima unsur utama, yaitu : persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit (perceived susceptibility).

  Mereka yang merasa dapat terkena penyakit tersebut akan lebih cepat merasa terancam. Unsur yang kedua ialah pandangan individu tentang beratnya penyakit tersebut (perceived seriousness), yaitu risiko dan kesulitan apa saja yang akan dialaminya dari penyakit itu. Unsur yang ketiga adalah pandangan individu terhadap Ancaman ini mendorong individu untuk melakukan tindakan pencegahan atau penyembuhan penyakit. Unsur selanjutnya yang diambil individu untuk mengurangi rasa terancam terhadap suatu penyakit adalah pandangan individu tersebut tentang besarnya manfaat dan besarnya hambatan dari suatu alternaltif yang diajukan oleh petugas kesehatan (perceived benefits and barriers).

  Memutuskan menerima atau menolak alternatif tindakan tersebut diperlukan satu unsur lagi, yaitu faktor pencetus (cues to action) yang dapat timbul dari dalam individu (munculnya gejala-gejala penyakit itu) ataupun dari luar (nasihat orang lain, kampanye kesehatan, seorang teman atau anggota keluarga terkena oleh penyakit yang sama).

2.5.2. Perilaku Kesehatan

  Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit penyakit, sistem pelayanan kesehatan, lingkungan dan sebagainya (Notoatmodjo 2003). Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu :

  2.5.2.1. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (health maintenance)

  Usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan upaya penyembuhan bilamana sakit. Perilaku pemeliharaan kesehatan terdiri dari 3 aspek : a.

  Perilaku pencegahan dan penyembuhan penyakit serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat sehingga dapat mencapai tingkat kesehatan yang optimal.

  c. Perilaku gizi makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatan kesehatan tetapi dapat juga menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang bahkan dapat mendatangkan penyakit.

  

2.5.2.2. Perilaku Pencarian dan Penggunaan Sistem atau Fasilitas Pelayanan

Kesehatan, (health sekiing behavior)

  Perilaku yang menyangkut tindakan seseorang saat sakit/kecelakaan, mulai dari mengobati diri sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan keluar negeri.

  2.5.2.3. Perilaku Kesehatan Lingkungan

  Bagaimana seseorang merespons lingkungan baik fisik, sosial, budaya dan sebagainya agar tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga dan masyarakat.

2.5.3. Perubahan Perilaku

  1. Bentuk Perubahan Perilaku Bentuk perubahan perilaku sangat bervariasi, sesuai dengan konsep yang digunakan oleh para ahli dalam pemahamannya terhadap perilaku. Menurut WHO dalam Notoatmodjo (2007), perubahan perilaku itu dikelompokkan menjadi tiga:

  a. Perubahan alamiah (Natural change) Perilaku manusia selalu berubah. Sebagian perubahan itu disebabkan karena kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan di dalamnya juga akan mengalami perubahan.

  b. Perubahan terencana (Planned change) Perubahan ini terjadi karena direncanakan sendiri oleh subjek. Misalnya, seseorang perokok berat yang pada suatu saat terserang batuk yang sangat mengganggu, ia memutuskan untuk mengurangi rokok sedikit demi sedikit, dan akhirnya berhenti merokok sama sekali.

  c. Kesediaan untuk berubah (Readiness to change) Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan di dalam masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut (berubah perilakunya), dan sebagian orang lagi sangat lambat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut. Hal ini disebabkan setiap orang mempunyai kesediaan untuk berubah (readiness to change) yang berbeda-beda. Setiap orang di dalam masyarakat mempunyai kesediaan untuk berubah yang berbeda-beda meskipun kondisinya sama.

  2. Strategi Perubahan Perilaku Menurut WHO dalam Notoatmodjo (2007), strategi untuk memperoleh perubahan perilaku dikelompokkan 3 kelompok yaitu: a. Memberikan kekuatan/kekuasaan atau dorongan

  Dalam hal ini perubahan perilaku dipaksakan kepada sasaran atau masyarakat sehingga ia mau melakukan (berperilaku) seperti yang diharapkan. Cara ini dapat harus dipatuhi oleh anggota masyarakat. Cara ini akan menghasilkan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan berlangsung lama karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari oleh kesadaran sendiri.

  b. Pemberian infomasi Dengan memberikan informasi-informasi tentang cara mencapai hidup sehat, cara pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit, dan sebagainya akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut. Selanjutnya dengan pengetahuan-pengetahuan itu akan menimbulkan kesadaran mereka, dan akhirnya menyebabkan orang berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.

  c. Diskusi partisipasi Cara ini adalah sebagai peningkatan cara kedua yang dalam memberikan informasi tentang kesehatan tidak bersifat searah saja, tetapi dua arah. Hal ini berarti bahwa masyarakat tidak hanya pasif menerima informasi, tetapi juga harus aktif berpartisipasi melalui diskusi-diskusi tentang informasi yang diterimanya. Dengan demikian maka pengetahuan kesehatan sebagai dasar perilaku akan mereka peroleh dengan lebih mendalam. Diskusi partisipasi adalah satu cara yang baik dalam rangka memberikan informasi-informasi dan pesan-pesan kesehatan.

2.6. Landasan Teori

  Landasan teori yang diambil adalah Menurut Lawrence W. Green (1990) yang dikutip oleh Notoadmodjo (2007), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yakni :

  1. Faktor-faktor Predisposisi (predisposing factor) Yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredidposisi terjadinya perilaku seseorang. Faktor-faktor ini mencakup : pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi, adat istiadat dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan dan juga variasi demografi seperti tingkat sosial ekonomi, umur, jenis kelamin, dan susunan keluarga. Faktor ini lebih bersifat dari dalam diri individu tersebut.

  2. Faktor-faktor Pendukung (Enabling factors) Yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana, sumber informasi atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor- faktor ini disebut juga faktor-faktor pendukung. Misalnya : Puskesmas, Posyandu, Polindes, Rumah Sakit.

3. Faktor-faktor Penguat (Reinforcing factors) Adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku.

  Kadang-kadang meskipun orang mengetahui untuk perilaku sehhat, tetapi tidak melakukannya. Faktor-faktor ini meliputi : faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), toko agama (toga), dukungan suami, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga di sini undang-undang, dengan kesehatan.

  Faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal yang berkaitan dengan kesehatan, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya. Faktor pemungkin (enabling factors), yang mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban, dokter, bidan dan sebagainnya. Faktor penguat (reinforcing

  factor ) yang terwujud dalam sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para petugas termasuk petugas kesehatan.

  Menurut Notoadmodjo (2007) partisipasi masyarakat di bidang kesehatan berarti keikutsertaan seluruh masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan mereka sendiri. Peningkatan partisipasi masyarakat adalah suatu proses dimana individu, keluarga dan masyarakat dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pencegahan penyakit di wilayahnya. Kegiatan ini di maksud untuk meyakinkan masyarakat bahwa program ini perlu dilaksanakan oleh masyarakat untuk mengatasi masalah yang ada di lingkungannya, dapat digambarkan secara sistematis sebagai berikut :

  Faktor Predisposisi Pengetahuan

  • Sikap -

  Tradisi

  • Adat-istiadat
  • Kepercayaan -

  Pelaksanaan Faktor Pendukung

  Pencegahan

  • Sarana dan prasarana Penyakit Faktor Penguat - Dukungan masyarakat, tokoh agama, petugas kesehatan

Gambar 2.2. Landasan Teori

2.7. Kerangka Konsep

  Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disusun kerangka konsep penelitian yang menjelaskan arah atau alur penelitian tenatang pengaruh Faktor Predisposisi, pendukung dan penguat terhadap tindakan pemilik anjing dalam pencegahan Penyakit Rabies melalui gigitan hewan penular rabies (HPR) di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara.

  Variabel Bebas Variabel Terikat

  Faktor Predisposisi 1.

  Sikap 2. Pengetahuan

  Faktor Pendukung : Pencegahan

  1. Sumber informasi Penyakit

  Rabies Faktor Penguat : 1.

  Anjuran Tokoh Masyarakat 2. Dukungan Petugas

  Kesehatan

Dokumen yang terkait

Hubungan Pengetahuan Pemilik Anjing dan Faktor Persepsi Pencetus dengan Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah

0 51 177

Analisis Faktor Predisposing, Enabling Dan Reinforcing Terhadap Tindakan Pemilik Anjing Dalam Pencegahan Penyakit Rabies Melalui Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) Di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara

3 60 154

Pengaruh Faktor Predisposing, Enabling Dan Reinforcing Ibu Balita Terhadap Pencegahan Penyakit Pneumonia Pada Balita Di Kelurahan Batangberuh Kecamatan Sidikalang Tahun 2011

1 51 111

Hubungan Faktor Internal Dan Eksternal Pemilik Anjing Dengan Pemeliharaan Anjing Dalam Upaya Mencegah Rabies Di Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi

0 38 208

Pengaruh Karakteristik Pemilik Anjing Terhadap Partisipasinya Dalam Program Pencegahan Penyakit Rabies Di Kelurahan Kwala Bekala Kecamatan Medan Johor Kota Medan Tahun 2009

2 54 90

Pencegahan dan Pemberantasan Rabies

0 44 9

Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian Vaksin Rabies Pada Anjing Peliharaan Di Desa Yeh Embang Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana

1 3 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Gambaran Perilaku Pemilik Anjing Terhadap Pencegahan Penyakit Rabies di Kota Binjai Tahun 2016

0 0 7

Hubungan Pengetahuan Pemilik Anjing dan Faktor Persepsi Pencetus dengan Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku - Hubungan Karakteristik dengan Tindakan Ibu dalam Pencegahan Penyakit Malaria di Desa Sorik Kecamatan Batang Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012

0 0 37