Hubungan Pengetahuan Pemilik Anjing dan Faktor Persepsi Pencetus dengan Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah

(1)

HUBUNGAN PENGETAHUAN PEMILIK ANJING DAN FAKTOR PENCETUS PERSEPSI DENGAN PENCEGAHAN PENYAKIT

RABIES DI KECAMATAN SARUDIK KABUPATENTAPANULI TENGAH

KENANGAN T.H. PURBA 097032050/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

HUBUNGAN PENGETAHUAN PEMILIK ANJING DAN FAKTOR PENCETUS PERSEPSI DENGAN PENCEGAHAN PENYAKIT

RABIES DI KECAMATAN SARUDIK KABUPATENTAPANULI TENGAH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

KENANGAN T.H PURBA 097032050/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : HUBUNGAN PENGETAHUAN PEMILIK ANJING DAN FAKTOR PENCETUS PERSEPSI DENGAN PENCEGAHAN PENYAKIT RABIES DI KECAMATAN SARUDIK KABUPATENTAPANULI TENGAH

Nama Mahasiswa : Kenangan T.H Purba Nomor Induk Mahasiswa : 097032050/IKM

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. Erna Mutiara, M.Kes) (drh. Rasmaliah, M.Kes Ketua Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 27 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ir. Erna Mutiara, M.Kes Anggota : 1. drh. Rasmaliah, M.Kes

: 2. Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H : 3. drh. Hiswani, M.Kes


(5)

PERNYATAAN

HUBUNGAN PENGETAHUAN PEMILIK ANJING DAN FAKTOR PERSEPSI PENCETUS DENGAN PENCEGAHAN PENYAKIT RABIES

DI KECAMATAN SARUDIK KABUPATEN TAPANULI TENGAH

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2013

KENANGAN T. H PURBA 097032050/IKM


(6)

ABSTRAK

Pemilik anjing di Kecamatan Sarudik memiliki budaya tidak membuat kandang pada anjing peliharaannya sehingga anjing terbiasa berkeliaran dan bebas keluar masuk rumah. Keadaan ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan belum adanya informasi tentang hubungan pengetahuan dan faktor persepsi pencetus dengan pencegahan rabies.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan pengetahuan dan faktor persepsi pencetus dengan pencegahan rabies. Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan menggunakan pendekatan cross-sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga di Kecamatan Sarudik, yang memiliki anjing yaitu sebanyak 376 KK, yang tinggal di 4 (empat) kelurahan dan 1 (satu) desa. Sampel sebanyak 210 orang, diambil dengan metode klaster dan dibantu program C-Survey. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi logistik ganda pada α = 5%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan pencegahan penyakit rabies adalah pengetahuan pemilik anjing dan faktor pencetus (ancaman dan kematian) dan variabel pengetahuan merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan pencegahan penyakit rabies.

Perlu peningkatan penyuluhan tentang pencegahan penyakit rabies secara berkesinambungan dan terpadu melalui program Promkes (Promosi Kesehatan) oleh kader kesehatan di Posyandu, petugas dari puskesmas dan dukungan dari pemerintah kecamatan dan desa. Pemilik anjing dan Dinas Peternakan Kabupaten Tapanuli Tengah supaya melaksanakan vaksinasi anjing peliharaan, mengikat anjing, membuat penutup moncong dan mengeliminasi anjing tak bertuan, membuat peraturan daerah tentang kepemilikan anjing yang sah, syarat kepemilikan dan sanksi yang jelas karena akibat gigitan anjing yang terinfeksi rabies dapat mengakibatkan kematian.


(7)

ABSTRACT

Dog owner’s in the Sarudik Subdistrict have a culture not to make cages for their dogs, so that their dogs will not roam freely in and out of the house. This situation is caused due to lack of knowledge and lack of information about the relationship between knowledge, perception about precipitating factors and the prevention of rabies.

This study aimed to analyze the relationship between knowledge, perception about factors precipitating factors and the prevention of rabies. This study is a survey research using cross-sectional approach. The population in this study was all head of house hold in Sarudik Subdistrict, which has dog as many as 376 head of house hold, lived in 4 (four) villages (Kelurahan) and 1 (one) village (Desa). Sample of 210 head of house hold, was taken with the cluster method and is assisted C-Survey program. Data were obtained by questionnaire interviews, analyzed by multiple logistic regression at α = 5%.

The results showed that the factors related to the prevention of rabies were the dog owner's knowledge and perception about precipitating factors (namely perception about threat and death) and the variable of knowledge is the most dominant variable related to prevention of rabies.

Need to increase integreated and continuous education about rabies prevention through Health Promotion Program by health cadres in integrated service post (Posyandu), health center personels and support from the subdistrict and village governments. Dog owner’s and Tapanuli Tengah District Veterinary Office should do vaccination to their dogs, tie the dogs, fix the dog’s muzzle and eliminate the no-man's dog, make local regulations about official dog ownership, ownership requirements, and clear sanctions because rabies from dog bites can lead to death.


(8)

KATA PENGANTAR

Penulis panjatkan puji dan syukur yang tiada henti dan tak terhingga kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Hubungan Pengetahuan Pemilik Anjing dan Faktor Persepsi Pencetus dengan Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah”

Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Proses penulisan tesis dapat terwujud berkat dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan moral maupun material dari banyak pihak. Untuk itu izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(9)

4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

5. Dr. Ir. Erna Mutiara, M.Kes, sebagai ketua komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

6. drh. Rasmaliah, M.Kes selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai. 7. Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H dan drh. Hiswani, M.Kes, sebagai komisi

penguji atau pembanding yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

8. Camat Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah dan jajarannya yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada penulis untuk memberikan izin sampai selesai penelitian ini.

9. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

10. Kedua orang tua saya Ayahanda Harapan Dame Purba dan Ibunda Henny Nainggolan, yang telah memperjuangkan saya dan memberikan semangat.


(10)

11. Istri tercinta Hera Valentina dan kedua anak saya Yohana Debyola C. Purba dan Mirella Stephanie Purba, yang membuat saya terdorong untuk belajar dan belajar. 12. Rekan-rekan seperjuangan Mahasiswa FKM Universitas Sumatera Utara, yang

saling menopang dan memberi pendapat keilmuan dalam belajar.

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Oktober 2013

Penulis

Kenangan T.H. Purba 097032050/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Kenangan Tulus Halashon Purba, lahir pada tanggal 06 Februari 1976 di PO. Manduamas Kabupaten Tapanuli Tengah, anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Ayahanda Harapan Dame Purba dan Ibunda Henni Nainggolan.

Pendidikan formal penulis dimulai dari sekolah dasar di SD Inpres No 155708 PO. Manduamas, selesai Tahun 1987, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri Manduamas, selesai tahun 1990, Sekolah Menengah Atas di SMA Methodist -1 Medan, selesai Tahun 1993, Akademi Keperawatan Imelda Medan, selesai Tahun 1998, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, selesai Tahun 2004.

Penulis mulai bekerja sebagai staf pengajar di Akademi Keperawatan Imelda Medan tahun 1998, staf pengajar di Akademi Kebidanan Imelda Medan tahun 2002, Staf RSU Imelda Pekerja Indonesia 1998-2011, Staf Puskesmas Manduamas Kabupaten Tapanuli Tengah, 2011, Staf Puskesmas Saragih Kabupaten Tapanuli Tengah tahun 2012 sampai sekarang.

Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2009 dan menyelesaikan studi tahun 2013.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK………...………... i

ABSTRACT………...………... ii

KATA PENGANTAR………..……….. iii

RIWAYAT HIDUP………..……….. vi

DAFTAR ISI………..………. vii

DAFTAR TABEL………..………. x

DAFTAR GAMBAR………..……… Xii DAFTAR LAMPIRAN………...……… viii

BAB 1. PENDAHULUAN. ……… 1

1.1 Latar Belakang………..………… 1

1.2 Permasalahan……… 13

1.3 Tujuan Penelitian………..……… 13

1.4 Hipotesis……… 13

1.5 Manfaat Penelitian……… 14

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA………...……. 15

2.1 Penyakit Rabies………..…... 15

2.1.1 Tipe Rabies Pada Anjing………... 15

2.1.2 Reservoir Rabies………..…. 16

2.1.3 Penyebab Rabies (Etiologi)……….... 18

2.1.4 Patogenesis Rabies……… 19

21.5 Gejala dan Tanda Rabies Pada Manusia………... 19

2.1.6 Gejala dan Tanda Rabies Pada Anjing………... 21

2.1.7 Masa Inkubasi………... ... 23

2.1.8 Diagnosa Rabies……… 24

2.1.9 Cara Penularan……….. 26

2.1.10 Pola Penyebaran……….... 26

2.1.11 Epidemiologi Rabies………... 27

2.2 Pencegahan……… 29

2.2.1 Pencegahan Primer (Prinsip Dasar)………...….... 30

2.2.2 Pencegahan Sekunder (Pengendalian)………... 32

2.2.2 Pencegahan Tertier (Pemberantasan)……….... 33

2.3 Program Pemberantasan……… 34


(13)

2.3.2 Kebijakan dan Strategi………...………... 34

2.3.3 Kegiatan ……….…………... 34

2.3.4 Monitoring dan Evaluasi………...……… 35

2.3.5 Pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies...……..…….. 35

2.3.6 Anemnesis……... ………..……..……. 35

2.3.7 Pemeriksaan Fisiik..………...…... 35

2.3.8 Lain-Lain……… ………... 35

2.4 Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Tersangka Rabies……... 37

2.4.1 Penanganan Luka Gigitan………. 38

2.4.2 Pencegahan pada Hewan ………... 40

2.5 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pencegahan Rabies……….... 40

2.5.1 Pengetahuan……….. 41

2.5.2 Persepsi ………..……….. 43

2.5.3 Sikap………. 47

2.5.4 Perilaku………. 49

2.5.5 Teori Perilaku Sehat Health Belief Model (HBM)……… 50

2.5.6 Perilaku Kesehatan …………...……….... 52

2.5.7 Faktor Pencetus (Precipitating)….……… 53

2.6 Landasan Teori ………. 56

2.7 Kerangka Konsep ………. 57

BAB 3. METODE PENELITIAN………. 58

3.1 Jenis Penelitian ………. 58

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ……….. 58

3.2.1 Lokasi Penelitian………..………. 58

3.2.2 Waktu Penelitian ………..…………... 58

3.3 Populasi dan Sampel ……… 58

3.4 Metode Pengumpulan Data ……….………. 62

3.4.1 Data Primer……….…………. 62

3.4.2 Data Sekunder………..…………. 62

3.5 Variabel dan Definisi Operasional……… 63

3.6 Metode Pengukuran ………. 64

3.6.1 Pengukuran Variabel Dependen……….……….. 64

3.6.2 Pengukuran Variabel Independen………..……... 65

3.6.3 Uji Validitas dan Reliabilitas... 67

3.7 Metode Analisis Data……… 70

3.7.1 Analisis Univariat ……….…... 70

3.7.2 Analisis Bivariat ……….…. 70


(14)

BAB 4. HASIL PENELITIAN………...……… 71

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian………. 71

4.1.1 Distribusi Penduduk di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah………...….. 72

4.1.2 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan……...……….. 72

4.2 Analisis Univariat………. 73

4.2.1 Pencegahan Penyakit Rabies………...……….. 73

4.2.2 Pengetahuan Pemilik Anjing………..………... 74

4.3 Analisis Bivariat……… 81

4.4 Analisis Multivariat……….. 86

BAB 5. PEMBAHASAN……….... 90

5.1 Hubungan Pengetahuan dengan Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah……….. 90

5.2 Hubungan Persepsi Perkembangan Penyakit terhadap Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah………. 91

5.3 Hubungan Persepsi Kondisi terhadap Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah………... 92

5.4 Hubungan Persepsi Ancaman terhadap Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah………... 94

5.5 Hubungan Persepsi Cedera/luka terhadap Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah………... 95

5.6 Hubungan Persepsi Kematian terhadap Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah………... 96

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN……… 97

6.1 Kesimpulan……….. 97

6.2 Saran ……… 97

DAFTAR PUSTAKA………... 99 LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1 Variabel, Definisi Operasional, Cara, Alat, Hasil Ukur dan

Skala……….. 63

3.2 Hasil Uji Validitas Variabel Pengetahuan, Kondisi, Cedera/Luka,

Ancaman Dan Perkembangan Penyakit... 67

3.3 Hasil Uji Reliabilitas Variabel Pengetahuan, Kondisi, Cedera/Luka,

Ancaman Dan Perkembangan Penyakit... 69

4.1 Distribusi Penduduk di Kecamatan Sarudik Kabupaten

Tapanuli Tengah Menurut Kelurahan……… 72

4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di

Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah……….. 72

4.3 Distribusi Frekuensi Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah……….. 73

4.4 Distribusi Frekuensi Kategori Pencegahan Penyakit Rabies di

Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah……….. 74

4.5 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Pemilik Anjing diKecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah………….. 74

4.6 Distribusi Frekuensi Kategori Pengetahuan Pemilik Anjing


(16)

4.7 Distribusi Frekuensi Perkembangan Penyakit Rabies di

Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah……….. 77

4.8 Distribusi Frekuensi Kondisi di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah………..……… 77

4.9 Distribusi Frekuensi Kategori Kondisi Lingkungan di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah……….. 78

4.10 Distribusi Frekuensi Cedera/Luka di Kecamatan SarudikKabupaten Tapanuli Tengah……….. 78

4.11 Distribusi Frekuensi Kategori Cedera/Luka di Kecamatan

Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah………. 79

4.12 Distribusi Frekuensi Ancaman di Kecamatan Sarudik

Kabupaten Tapanuli Tengah……….. 80

4.13 Distribusi Frekuensi Kategori Ancaman di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah………. 81

4.14 Distribusi Frekuensi Kematian Akibat Penyakit Rabies di

Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah……….. 81

4.15 Hubungan Pengetahuan dan Faktor Pencetus (Perkembangan Penyakit, Kondisi, Cedera, Ancaman dan Kematian) dengan Pencegahan penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah……….. 82

4.16 Hubungan Pengetahuan dan Faktor Pencetus (Ancaman dan Kematian) terhadap Pencegahan Penyakit Rabies di


(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Virus Rabies Penampang Memanjang (a) dan Melintang (b)… 18

2.2 Pola Penyebaran Rabies di Lapangan……… 27

2.3 Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Tersangka Rabies…... 37

2.4 Landasan Teori……….. 56

2.5 Keraangka Konsep Penelitian……… 57

3.1 Besar Sampel Hasil Print Screen C Survey………... 60


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian……….. 104

2 Master Validitas dan Relibilitas Data……… 109

3 Uji Validitas dan Reliabilitas………. 110

4 Master Data Penelitian………... 115

5 Hasil Uji Statistik Efi Info………. 132

6 Hasil Uji Statistik STATA………. 151

6 Surat Ijin Peenelitian dari FKM USU……… 153


(19)

ABSTRAK

Pemilik anjing di Kecamatan Sarudik memiliki budaya tidak membuat kandang pada anjing peliharaannya sehingga anjing terbiasa berkeliaran dan bebas keluar masuk rumah. Keadaan ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan belum adanya informasi tentang hubungan pengetahuan dan faktor persepsi pencetus dengan pencegahan rabies.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan pengetahuan dan faktor persepsi pencetus dengan pencegahan rabies. Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan menggunakan pendekatan cross-sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga di Kecamatan Sarudik, yang memiliki anjing yaitu sebanyak 376 KK, yang tinggal di 4 (empat) kelurahan dan 1 (satu) desa. Sampel sebanyak 210 orang, diambil dengan metode klaster dan dibantu program C-Survey. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi logistik ganda pada α = 5%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan pencegahan penyakit rabies adalah pengetahuan pemilik anjing dan faktor pencetus (ancaman dan kematian) dan variabel pengetahuan merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan pencegahan penyakit rabies.

Perlu peningkatan penyuluhan tentang pencegahan penyakit rabies secara berkesinambungan dan terpadu melalui program Promkes (Promosi Kesehatan) oleh kader kesehatan di Posyandu, petugas dari puskesmas dan dukungan dari pemerintah kecamatan dan desa. Pemilik anjing dan Dinas Peternakan Kabupaten Tapanuli Tengah supaya melaksanakan vaksinasi anjing peliharaan, mengikat anjing, membuat penutup moncong dan mengeliminasi anjing tak bertuan, membuat peraturan daerah tentang kepemilikan anjing yang sah, syarat kepemilikan dan sanksi yang jelas karena akibat gigitan anjing yang terinfeksi rabies dapat mengakibatkan kematian.


(20)

ABSTRACT

Dog owner’s in the Sarudik Subdistrict have a culture not to make cages for their dogs, so that their dogs will not roam freely in and out of the house. This situation is caused due to lack of knowledge and lack of information about the relationship between knowledge, perception about precipitating factors and the prevention of rabies.

This study aimed to analyze the relationship between knowledge, perception about factors precipitating factors and the prevention of rabies. This study is a survey research using cross-sectional approach. The population in this study was all head of house hold in Sarudik Subdistrict, which has dog as many as 376 head of house hold, lived in 4 (four) villages (Kelurahan) and 1 (one) village (Desa). Sample of 210 head of house hold, was taken with the cluster method and is assisted C-Survey program. Data were obtained by questionnaire interviews, analyzed by multiple logistic regression at α = 5%.

The results showed that the factors related to the prevention of rabies were the dog owner's knowledge and perception about precipitating factors (namely perception about threat and death) and the variable of knowledge is the most dominant variable related to prevention of rabies.

Need to increase integreated and continuous education about rabies prevention through Health Promotion Program by health cadres in integrated service post (Posyandu), health center personels and support from the subdistrict and village governments. Dog owner’s and Tapanuli Tengah District Veterinary Office should do vaccination to their dogs, tie the dogs, fix the dog’s muzzle and eliminate the no-man's dog, make local regulations about official dog ownership, ownership requirements, and clear sanctions because rabies from dog bites can lead to death.


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Rabies merupakan penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus dan dapat menular pada manusia. Oleh karena itu, rabies dikategorikan sebagai penyakit zoonotik. Agen penyebab penyakit ini menginfeksi jaringan saraf, sehingga menyebabkan tejadinya peradangan pada otak atau ensefaalitis, sehingga berakibat fatal bagi hewan ataupun manusia yang tertular. Sejak lama penyakit ini telah dikenal oleh masyarakat dan diketahui telah tersebar secara luas diberbagai belahan dunia, bahkan penyebarannya dari waktu ke waktu selalu betambah luas (Akoso, 2011).

Penularan penyakit zoonosis selain karena kontak langsung dengan hewan, juga disebabkan oleh faktor ekologi, yakni perubahan cuaca, iklim, dan lingkungan. Perubahan-perubahan lingkungan biologik, fisik, sosial, dan ekonomi serta perubahan-perubahan tersebut berdampak terhadap kesehatan manusia. Untuk menangani penyakit zoonosis, diperlukan pengembangan disiplin ilmu ecohealth dengan cara mempersatukan berbagai kalangan, mulai dari dokter, dokter hewan, ahli konservasi, ahli ekologi, ahli ekonomi, ahli sosial, hingga ahli perencanaan, untuk secara komprehensif mempelajari dan memahami bagaimana perubahan ekosistem secara negatif berdampak pada kesehatan manusia dan hewan. Penanggulangannya tidak hanya dari aspek kesehatan manusia saja, tapi faktor dari hewan dan lingkungannya yang perlu diperhatikan (Aritama, 2011).


(22)

Rabies juga dapat menimbulkan keresahan sosial di masyarakat, penurunan angka

kunjungan wisatawan, dan meningkatnya angka kesakitan pada manusia (human Rabies).

Dalam kaitannya dengan yang hal tersebut, pemberantasan Rabies seharusnya dapat

dimaknai sebagai salah satu langkah pencapaian Millenium Development Goals

(MDG’s) yaitu peningkatan status kesehatan masyarakat melalui upaya pencegahan penularan penyakit bersumber hewan (animal origin diseases). Negara-negara berkembang termasuk Indonesia belum mampu memberantas rabies karena rendahnya prioritas terhadap penyakit ini, baik dari kesehatan manusia maupun kesehatan hewan (

Penyakit Rabies sering diabaikan atau disebut

Sofyannoor, 2011).

Neglected Zoonosis Diseases (NZDs). NZDs pada umumnya dirasakan oleh masyarakat pedesaan, hal ini disebabkan masyarakat pedesaan, masih bergantung pada hasil ternak dan juga masyarakat pedesaan belum mempunyai akses yang baik terhadap kesehatan, baik untuk kesehatan manusia ataupun ternak. Dalam melihat dampak secara sosial hal yang sering dihitung adalah efek langsung suatu penyakit terhadap produktifitas sesorang. Di Indonesia, sebagai contoh kerugian-kerugain yang diakibatkan oleh NZDs ini juga

signifikan. Dimulai oleh kerugian tak ternilai akibat korban nyawa manusia sampai

dengan berkurangnya produktifitas ternak (

Belum diketahui secara pasti kapan rabies mulai dikenal oleh umat manusia didunia sebagai penyakit menular serta membahayakan kesehatan manusia dan hewan. Informasi paling dini yang diketahui tentang penyakit rabies adalah ketika


(23)

ditemukannya pustaka untuk penyakit-penyakit pada anjing pada tahun 1885 sebelum Masehi (SM), yaitu sejak zaman pre-mozaik di Kota Eshmuna yang dikenal sebagai zaman raja Hammurabi dari Babylonia Kuno. Pada saat itu telah ditemukan adanya suatu peraturan khusus tentang kewajiban bagi seorang pemilik anjing untuk memelihara dan merawatnya dengan baik secara bertanggung jawab (Akoso, 2011).

Rabies masuk ke Indonesia pertamakali dilaporkan terjadi pada jaman penjajahan Belanda. Schorl pada tahun 1884, melaporkan penyakit rabies menyerang seekor kuda di Bekasi, Jawa Barat. Sedangkan kasus rabies pada seekor kerbau di daerah Bekasi dilaporkan Esser pada tahun 1889. Kemudian kasus rabies pada anjing di Tangerang dilaporkan oleh Penning pada tahun 1890. Kasus rabies pada manusia dilaporkan oleh E.de Haan, menyerang seorang anak di desa Palimanan, Cirebon pada tahun 1894. Berdasarkan studi retrospektif, wabah rabies di Indonesia dimulai pada tahun 1884 di Jawa Barat; tahun 1953 di Jawa Tengah; Jawa Timur; Sumatera Barat, kemudian tahun 1956 di Sumatera Utara. Selanjutnya Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara tahun 1958; Sumatera Selatan tahun 1959; Lampung tahun 1969; Aceh tahun 1970; Jambi; DI Yogyakarta tahun 1971; DKI Jakarta; Bengkulu dan Sulawesi Tengah tahun 1972; Kalimantan Timur tahun 1974; Riau tahun 1975; Kalimantan Tengah tahun 1978 dan Kalimantan Selatan tahun 1981 (Lampiran Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor : 344.b/kpts/PD.670.370/ L/12/06 Tanggal : 13 Desember 2006 Petunjuk Teknis Persyaratan Dan Tindakan Karantina Hewan Terhadap Lalulintas Pemasukan Hewan Penular Rabies (Anjing,


(24)

Kucing, Kera, Dan Hewan Sebangsanya).

Daerah bebas rabies di Asia secara terbatas antara lain Hongkong, Singapura, Jepang, Brunai Darussalam dan Bahrain. Beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat dan Kanada, berhasil mengendalikan penyakit rabies dengan menekan kasus secara optimal pada hewan budi daya atau anjing piaraan, tetapi masih mengalami kesulitan dan belum berhasil untuk membebaskan secara tuntas kasus rabies pada satwa liar (Akoso, 2011).

Pada tahun 2006 populasi anjing di Jepang berjumlah 13 juta anjing peliharaan, jumlah ini melebihi jumlah anak di bawah usia 12 tahun yang berjumlah 12 juta jiwa. Di Tokyo (2005) populasi anjing berjumlah 410.000. Perempuan dan pasangan keluaga yang tidak memiliki anak semakin sering menyanyangi anjing, bahkan keluarga dengan jumlah anak sedikit atau tidak mimiliki anak, beralih ke anjing untuk mengisi kekosongan (Facts and Details.com, 2010).

Jepang telah bebas rabies selama 50 tahun, kasus terakhir dari rabies pada manusia dan hewan yang dilaporkan pada tahun 1954 dan 1957, kecuali untuk 3 kasus rabies pada manusia pada tahun 1970 dan 2006. Penghapusan rabies di Jepang disebabkan tidak hanya isolasi geografis tetapi juga pencegahan dan tindakan pengendalian yang efektif, seperti pendaftaran dan vaksinasi anjing domestik, diperlukan karantina hewan impor yang rentan menularkan rabies, dan rencana secara nasional berdasarkan penelitian ilmiah. Penanggulangan terhadap rabies telah ditingkatkan melalui sebuah sistem manajemen yang lebih baik untuk anjing


(25)

domestik melalui suatu speraturan dan diubah menjadi undang-undang pencegahan rabies yang telah diberlakukan sejak April 2007. Sistem peraturan terbaru tersebut menjadi model yang efektif untuk mencegah, mengendalikan dan penghapusan

Saat ini rabies telah menyebar di 24 provinsi yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara dan Kalimantan Tenggara. Penyakit ini juga kerap menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Tahun 2005 KLB terjadi di provinsi Maluku, Maluku Utara dan Kalimantan Barat, akhir tahun 2007, KLB terjadi di Banten. November 2008, KLB terjadi di Kabupaten Badung Bali. KLB di Pulau Nias, Sumatera Utara 2010 (Kemenkes RI, 2010).

penyakit rabies di seluruh dunia (CDC, 2011).

Kegagalan pengendalian rabies di berbagai negara, terutama dinegara berkembang, disebabkan karena vaksinasi rabies terhadap anjing tidak mencapai jumlah yang cukup, sehingga siklus penyakit rabies, terutama pada anjing geladak (free ranging dogs) tidak dapat diputus. Kesulitan untuk melakukan vaksinasi anjing geladak dengan cara penyuntikan menghadapi kendala, karena anjing geladak tersebut sulit ditangkap (Soeharsono, 2011).


(26)

penderitanya, diestimasi kematian manusia di dunia akibat rabies mencapai 55.000 orang tiap tahunnya. Dimana jumlah kematian tertinggi terjadi di Asia

Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara (2010) mencatat kasus kematian akibat gigitan anjing gila atau rabies di Propinsi Sumatera Utara sepanjang 2010 sebanyak 20 jiwa (0,027 %). Salah satunya kematian penderita termasuk Kepala Dinas Kesehatan Nias Utara. Tempat kedua adalah Kabupaten Samosir dengan jumlah kematian sebanyak 3 jiwa (0,006 %).

sebanyak 50.000 kematian per tahun, India 20.000-30.000 kematian per tahun, China rata-rata 2.500 kematian per tahun, Vietnam 9.000 kematian per tahun, Filipina 200 – 300 kematian per tahun dan Indonesia selama 4 tahun terakhir rata-rata sebanyak 143 kematian per tahun, Di Bali, sejak kasus ini menyebar tahun 2008 di Kabupaten Badung meninggal 4 orang (Kemenkes RI, 2011).

Selama 3 tahun terakhir (2006 – 2008) tercatat sebanyak 18.945 kasus gigitan hewan penular rabies, diantaranya 13.175 kasus mendapat Vaksin Anti Rabies dan 122 orang positif rabies (angka kematian 100%), Di Bali, sejak kasus ini menyebar tahun 2008 di Kabupaten Badung, sampai bulan Agustus 2010 terdata 53.418 kasus GPHR (Kemenkes RI, 2011).

Di Bali yang menjadi pusat perhatian dunia, serangan rabies dalam tiga tahun terakhir sejak April 2008 sampai dengan akhir Agustus 2010 sebanyak 34.900 kasus gigitan binatang yang mengandung rabies, Sumatera Utara sampai dengan Juli 2010 terjadi 857 gigitan hewan penular rabies (GHPR), sekitar 815 diberi vaksin anti rabies


(27)

(Kemenkes RI, 2011)

Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara (2010) mencatat kasus akibat gigitan anjing gila atau rabies di Propinsi Sumatera Utara sepanjang 2010 mencapai 3.693 gigitan, dari 33 kabupaten/kota di Sumatera Utara, Kota Gunung Sitoli merupakan daerah terbanyak kasus rabies, yakni mencapai 737 gigitan dan tempat kedua adalah Kabupaten Samosir dengan 469 kasus gigitan (Kemenkes RI, 2011).

Rabies adalah tragedi bagi kemanusiaan dan kehewanan karena korban jiwa yang diakibatkannya. Selain itu, dampak ekonomi juga sangat signifikan. Analisis ekonomi akibat rabies rabies di Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 1998-2007 mencapai Rp 142 miliar atau Rp 14,2 miliar per tahun. Biaya itu dihabiskan untuk biaya pengobatan pasca gigitan anjing pada manusia Rp 19,9 miliar serta biaya vaksinasi dan biaya eliminasi hewan tertular sebesar Rp 122,5 miliar (Wera, 2010).

Menurut OIE (2009), biaya perawatan pasca gigitan pada manusia adalah sekitar dua puluh sampai seratus kali lebih mahal daripada vaksinasi anjing. Saat ini hanya 10% dari sumber daya keuangan yang digunakan di seluruh dunia untuk mengobati manusia setelah digigit anjing. Keperluan untuk pengobatan akibat terkena gigitan juga pasti berkurang. Hal ini akan sangat membantu penghematan finansial: biaya rata-rata pengobatan akibat terkena gigitan di Asia adalah sebesar USD 49 atau setara dengan IDR 490.000 per pasien

Pemerintah menargetkan dalam lima tahun ke depan mampu menuntaskan 1.000 kasus rabies setiap tahun, diharapkan bisa dikurangi 200 daerah yang terkena


(28)

kasus rabies. Pemerintah sudah menyiapkan 2 juta vaksin rabies per tahun. Target Pemerintah 2015 tidak ada lagi ditemukan kasus rabies (Pujiatmoko, 2011).

Lemahnya aspek perundangan merupakan kendala utama dalam upaya mengendalikan dan memberantas penyakit hewan menular terutama yang berpotensi menular ke manusia. Itu suatu kesimpulan dari Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) setelah melakukan evaluasi teknis terhadap sejumlah negara yang terjangkit flu burung atau avian influenza (AI) sejak tahun 2003 lalu. Kondisi ini kebanyakan terjadi di negara-negara berkembang di Afrika dan Asia. Bahkan beberapa negara berkembang sampai saat ini belum memiliki perundangan yang mengatur kesehatan hewan. Selain itu, masih ada negara-negara yang perundangannya warisan negara penjajah di masa lampau, termasuk Indonesia. Perundangan yang dimiliki Indonesia sejak zaman Belanda yang mengatur tentang penyakit hewan menular, yaitu Staatbalds Nomor 432 tahun 1912. Perundangan dibuat setelah Indonesia merdeka adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 yang memuat ketentuan-ketentuan pokok tentang peternakan dan kesehatan hewan dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Naipospos, 2012).

Pada tahun 2006 wilayah di Indonesia yang dinyatakan daerah bebas rabies yaitu Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT) kecuali Pulau Flores dan Lembata, Irian Jaya Barat dan Papua, pulau-pulau di sekitar Sumatera serta Pulau Jawa. Pulau Jawa dinyatakan bebas rabies oleh Pemerintah secara bertahap, yaitu berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 892/Kpts/TN/560/9/97 tanggal 9 September 1997, Jawa Timur, Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta dinyatakan bebas rabies diikuti tahun 2004, berdasarkan SK Menteri


(29)

Pertanian No. 566/Kpts/ PD/PD640/10/2004, DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat dinyatakan bebas rabies, sehingga dengan demikian Pulau Jawa dinyatakan bebas rabies (Lampiran Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor : 344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 Tanggal : 13 Desember 2006 Petunjuk Teknis Persyaratan Dan Tindakan Karantina Hewan Terhadap Lalulintas Pemasukan Hewan Penular Rabies (Anjing, Kucing, Kera, Dan Hewan Sebangsanya).

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan, yang menyatakan bahwa sasaran penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi kesehatan meliputi masalah-masalah yang berkaitan dengan program kesehatan yang ditetapkan berdasarkan prioritas nasional, bilateral, regional dan global, penyakit potensial wabah, bencana dan komitmen lintas sektor serta sasaran spesifik lokal atau daerah. Salah satu sasaran penyelenggaran sistem surveilans epidemiologi kesehatan adalah Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular, yang merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit menular dan faktor risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit menular, diantaranya adalah penyakit-penyakit zoonosis.

Sesuai Keputusan Menteri Pertanian No. 566 KPTS/PD 640/10/2004, tanggal 26 Oktober 2004 yang menyatakan Jakarta bebas rabies, telah dilakukan upaya mempertahankan Jakarta sebagai kota bebas rabies, diantaranya pelaksanaan vaksinasi terhadap hewan penular rabies, seperti anjing, kucing dan kera. Sejak


(30)

Januari hingga September 2010, sekitar 956 ekor hewan penular rabies telah divaksinasi.

Sejak dinyatakan KLB rabies, lalu lintas anjing dari dan ke pulau Nias ke daerah lain di Sumatera Utara dihentikan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Gubernur Sumatera Utara No 39 tahun 2010 tentang penutupan sementara pemasukan dan pengeluaran anjing, kucing, kera dari kepulauan Nias. Populasi anjing di Sumatera Utara sebanyak 290.000 ekor. Nias dengan populasi 61.756 ekor dan sudah dieliminasi sebanyak 28.243 ekor. Seluruh kabupaten dan kota di Sumatera Utara sudah terserang kasus rabies. Nias hingga saat ini diketahui masih endemis dan sudah diberikan pelatihan tentang rabies dan Nias juga dinyatakan masih KLB.

Keseriusan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah untuk bebas rabies adalah dengan pelaksanaan urusan peternakan dilaksanakan melalui pembangunan Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) di Kelurahan Sibuluan Nauli Kecamatan Pandan, pelayanan inseminasi buatan pada ternak sapi, pengembangan ternak ayam broiler, penyediaan pakan dan obat-obatan ternak, pencegahan penyakit menular ternak serta pengadaan vaksin rabies serta pelaksanaan vaksinasi rabies (Pemerintahan Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah, 2011).

Upaya pencegahan rabies sebenarnya telah banyak dilakukan seperti dicanangkannya Hari Rabies Sedunia yang prakarsai oleh Aliance for Rabies Control dan untuk pertama kali pada diperingati pada 28 September 2006. Di Indonesia, peringatan Hari Rabies Sedunia pertama kali diperingati pada 4 November 2009 di


(31)

Kabupaten Tabanan, Bali. Pemerintah Indonesia mencanangkan bebas rabies pada tahun 2020. Pada tanggal 18 Maret 2012 Dinas Kesehatan Sumatera Utara mencanangkan program Pulau Sumatera Bebas Rabies 2015 (Kemenkes RI, 2011).

Di Bali, sejak tahun 2008 – 2010 diantaranya telah dikirimkan VAR sekitar 11.000 kuur, serum anti rabies (SAR) sekitar 20.000 vial, pembentukan 43 Rabies Center di seluruh Bali serta mensukseskan bulan vaksinasi anjing. Kasus GHPR di Provinsi Sumatera Utara dari bulan Januari 2009 sampai dengan bulan Desember 2009 telah ditemukan sebanyak 1.839 orang dan yang mendapatkan VAR sebanyak 1.240 orang (67,43%). Di Nias, pemerintah bersama WHO mengirimkan vaksin anti rabies (VAR) 150 kuur, melakukan pelacakan kasus, membentuk tim koordinasi di semua kabupaten, membentuk Rabies Center di RSUD dan Puskesmas serta mengeliminasi dan vaksinasi anjing. Sampai dengan bulan April 2010 diperoleh informasi bahwa kasus GHPR di Pulau Nias yang tercatat di 5 Kabupaten/Kota ada 248 kasus dengan pemberian VAR kepada 100 kasus (40,32%) (Kemenkes RI, 2011).

Penyakit anjing gila dapat dikelola dengan baik apabila mengikuti aturan-aturan yang telah digariskan pemerintah melalui dinas terkait. Kurangnya pemahaman masyarakat khususnya pemilik binatang anjing peliharaan tentang pertolongan pertama apabila digigit anjing, dapat menimbulkan kerugian materil dan sering berujung dengan maut. Polemik sosial yang bermacam ragam tentang pemberantasan penyakit menular membuat Bangsa Indonesia sampai saat ini masih mencari model yang paling tepat untuk memberantas penyakit ini (Bali Animal


(32)

Welfare Asosiation, 2004).

Hasil pengamatan awal di Kecamatan Sarudik pada tahun 2011 dijumpai banyak anjing berkeliaran secara bebas di pemukiman padat penduduk. Pemilik anjing di Kecamatan Sarudik memiliki budaya tidak membuat kandang pada anjing peliharaannya, karena sudah merupakan kebiasaan dari dulu bahwa anjing tidak memiliki kandang dan kurangnya pengetahuan masyarakat bahwa anjing dapat membahayakan masyarakat. Pengamatan juga dilakukan pada perumahan penduduk, termasuk yang memelihara anjing tidak memiliki pagar sehingga anjing terbiasa berkeliaran dan bebas keluar masuk rumah pemiliknya serta tidak ada dijumpai anjing yang mempunyai penutup moncong. Berdasarkan data dari Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Tengah (2011), pada tahun 2010 terdapat 6 (enam) kecamatan dinyatakan sebagai KLB Rabies yaitu Kecamatan Sitahuis, Kecamatan Sorkam, Kecamatan Kolang, Kecamatan Sarudik, Kecamatan Pandan dan Kecamatan Tukka. Dari 6 (enam) kecamatan tersebut jumlah penderita akibat digigit anjing yang diduga rabies sebanyak 123 orang dan yang mengalami kematian sebanyak 4 (empat) orang. Di Kecamatan Sarudik sebagai tempat penelitian terdapat 4 (empat) orang digigit anjing yang diduga rabies dan satu orang yang meninggal dunia.

Keadaan ini dipengaruhi banyak anjing yang berkeliaran dan tidak jelas riwayat vaksinasinya. Anjing yang berkeliaran itu berisiko menggigit anjing, kucing, monyet dan manusia. Selain itu dipengaruhi juga oleh kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pencegahan penyakit rabies dan faktor pencetus. Pengetahuan


(33)

masyarakat sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya penyakit rabies, perilaku masyarakat yang diharapkan adalah memelihara dan meningkatkan kesehatan anjing peliharaan, mencegah terjadinya risiko penyakit, melindungi diri dari ancaman rabies, serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat.

Berdasarkan survei awal di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah terhadap 10 orang pada bulan Agustus 2011 diketahui bahwa terdapat 4 orang (40%) yang mengatakan kurangnya pengetahuan masyarakat melakukan pencegahan penyakit rabies disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat untuk mencegah penyakit rabies dari anjing peliharaan dan anjing liar yang bebas berkeliaran di masyarakat. Faktor pencetus yang ditemukan adalah berkembangnya penyakit rabies, kondisi masyarakat banyak memelihara anjing, adanya cedera/luka cakaran yang tidak dilaporkan, adanya rasa tidak nyaman pengunjung pada wilayah itu, dan terjadinya kematian akibat rabies.

Berdasarkan uraian di atas perlu diteliti hubungan pengetahuan pemilik anjing dan faktor pencetus terhadap pencegahan penyakit rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah rendahnya upaya pencegahan masyarakat terhadap penyakit rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah dan belum adanya informasi tentang hubungan


(34)

pengetahuan dan faktor persepsi pencetus dengan pencegahan rabies.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan pengetahuan pemilik anjing dan faktor persepsi pencetus dengan pencegahan penyakit rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah.

1.4 Hipotesis Penelitian

Faktor pengetahuan pemilik anjing dan faktor persepsi pencetus (perkembangan penyakit, kondisi, cedera, ancaman dan kematian) berhubungan dengan pencegahan penyakit rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Menjadi masukan model perbaikan untuk pencegahan penyakit rabies pada Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Tengah.

1.5.2 Menjadi bahan bacaan/referensi bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Tengah dalam menyusun rencana strategis dan kebijakan serta tindakan intervensi khususnya dalam program pemberantasan penyakit rabies, khususnya di Kecamatan Sarudik dan di daerah endemis, sehingga dapat menekan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit rabies.


(35)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Rabies

Rabies adalah penyakit zoonosis (penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia) yang disebabkan oleh virus rhabdovirus. Rabies dapat menular kepada manusia melalui kontak dekat dengan air liur yang terinfeksi melalui gigitan atau cakaran. Penyebab utama rabies kepada manusia adalah gigitan anjing penderita rabies. Sebagian besar kematian terjadi tanpa profilaksis pasca pajanan

Rabies adalah suatu penyakit encephalomyelitis viral akut dan fatal; serangan biasanya dimulai dengan perasaan ketakutan, sakit kepala, demam, malaise, perubahan perasaan sensoris, pada bekas gigitan binatang. Gejala yang sering muncul adalah eksitabilitas dan aerophobia. Penyakit ini berlanjut ke arah terjadinya paresis atau paralisis, kejang otot-otot menelan menjurus kepada perasaan takut terhadap air (hydrophobia), diikuti dengan delirium dan kejang. Tanpa intervensi medis, biasanya berlangsung 2-6 hari dan kadang-kadang lebih, kematian biasanya karena paralisis pernafasan (Chin, 2000).

(WHO, 2004).

2.1.1 Tipe Rabies Pada Anjing

Penyakit rabies atau yang dikenal masyarakat disebut penyakit anjing gila merupakan penyakit zoonosis menyerang susunan syaraf pusat, sangat berbahaya bagi hewan dan manusia karena selalu menyebabkan kematian bila gejala penyakit timbul.


(36)

Rabies ini telah tersebar di seluruh dunia dan tidak mengenal strata negara baik negara berkembang maupun negara maju (Disnak

Menurut D

Propinsi Jawa Barat 2011). inas Peternakan Propinsi Jawa Barat (2011) ada

a. Rabies Ganas

2 (dua) tipe rabies, yaitu :

Tipe rabies ganas adalah bahwa anjing t

b. Rabies Tenang

idak mau lagi menuruti perintah tuannya, air liur keluar berlebihan, hewan menjadi ganas, menyerang, atau menggit apa saja yang ditemui, dan ekor dilekungkan ke bawah perut diantara dua paha dan kejang-kejang kemudian lumpuh, biasanya mati setelah 4-7 hari sejak timbul atau paling lama 12 hari setelah penggigitan.

Tipe rabies tenang adalah anjing memilih b

2.1.2 Reservoir Rabies

ersembunyi di tempat gelap dan sejuk, kejang-kejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat, kelumpuhan tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar berlebihan dan kematian terjadi dalam waktu singkat

Walaupun semua spesies mamalia rentan terhadap infeksi virus rabies, hanya beberapa spesies penting sebagai reservoir untuk penyakit ini. Di Amerika Serikat, beberapa varian virus rabies yang berbeda telah diidentifikasi pada mamalia darat, termasuk rakun, sigung, rubah, dan coyote. Selain itu beberapa spesies kelelawar pemakan serangga juga reservoir untuk rabies (CDC, 2011).


(37)

Menurut Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat (2011) a

a. Penggigitan Karena Ada Provokasi

da 2 pola penggigitan oleh anjing terhadap manusia yang lazim terjadi di daerah-daerah pedesaan yaitu :

Penggigitan terjadi karena adanya gangguan langsung atau tidak langsung. Anjing yang sedang beranak biasanya naluri untuk melindungi anaknya sangat kuat, sehingga sangat mudah sekali anjing menyerang dan menggigit, apalagi kalau diganggu. Bentuk-bentuk provokasi terhadap anjing sangat beragam, dari mulai memukul, menyeret ekor, sampai dengan menggoda anjing yang sedang tidur. Hal tersebut akan menstimulasi anjing untuk menggigit. Bahkan pada kejadian lain orang membawa makanan lewat di depan anjing yang sedang lapar dapat memicu terjadinya penggigitan. Penggigitan yang disebabkan oleh provokasi apalagi dilakukan dengan sengaja, tidak menjadi persoalan serius dalam kejadian Rabies di

lapangan. Walaupun tetap harus diwaspadai melalui kegiatan observasi, apalagi

diketahui anjing tersebut belum divaksin. b. Penggigitan Tanpa Provokasi

Dalam hal ini, anjing menyerang dan menggigit secara tiba-tiba tanpa adanya gangguan dalam bentuk apapun. Anjing yang menggigit secara tiba-tiba biasanya sudah menjadi wandering-dog atau anjing lontang-lantung yang berjalan tanpa tujuan dan menyerang serta menggigit siapa saja yang ditemuinya. Anjing tersebut biasanya adalah anjing liar atau anjing-anjing peliharaan yang ditelantarkan sehingga menjadi liar. Anjing-anjing yang menggigit tanpa provokasi inilah yang


(38)

banyak menimbulkan persoalan dalam kejadian rabies di lapangan. Apalagi kalau menggigit lebih dari satu orang, berdasarkan pengamatan pasti positif rabies. 2.1.3 Penyebab Rabies (Etiologi)

Penyebab rabies adalah virus rabies yang termasuk famili Rhabdovirus. Bentuk virus menyerupai peluru, berukuran 180 nm dengan diameter 75 nm, dan pada permukaannya terlihat bentuk-bentuk paku dengan panjang 9 nm. Virus ini tersusun dari protein, lemak, RNA, dan karbohidrat. Sifat virus adalah peka terhadap panas namun dapat mati bila berada pada suhu 50°C selama 15 menit. Ada dua macam antigen, yaitu antigen glikoprotein dan antigen nukleoprotein. Virus ini akan mati oleh sinar matahari dan sinar ultraviolet serta mudah dilarutkan dengan detergen (Widoyono, 2005)

Klasifikasi : Order : Mononegavirales Famili : Rhabdoviridae Genus : Lyssavirus

Spesies : Rhabdovirus (Virus Rabies)

Gambar. 2.1Virus Rabies : Penampang Memanjang (a) dan Melintang (b) Sumber : Civas, 2011


(39)

2.1.4 Patogenesis Rabies

Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan di dekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Masa inkubasi bervariasi yaitu berkisar antara 2 minggu sampai 2 tahun, tetapi pada umumnya 3-8 minggu, berhubungan dengan jarak yang harus ditempuh oleh virus sebelum mencapai otak. Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian kearah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan-jaringannya, seperti kelenjar ludah, ginjal, dan sebagainya (Depkes RI, 2000)

2.1.5 Gejala dan Tanda Rabies Pada Manusia

Infeksi rabies pada manusia umumnya terjadi sebagai akibat gigitan hewan penular rabies sehingga terjadi pendedahan air liur yang berasal dari hewan rabies tersebut, terutama oleh anjing. Penularan rabies juga dimungkinkan karena air liur hewan rabies yang kontak dengan kulit atau selaput lendir yang tergores, terluka dan tidak tergantung pada besarnya luka (Akoso, 2011).

2.1.5.1 Prodromal


(40)

adalah persaan gelisah dan demam. Secara umum pesien diliputi persaan tidak enak, sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar, kedinginan, kondisi tubuh lemah, dan rasa sakit. Gejala awal mirip dengan influensa yakni dari hidung keluar ingus atau gejala infeksi pernafasan atas, sakit tenggorokan dan batuk. Pasien mungkin nafsu makannya menurun, muntah, rasa sakit perut. Penderita yang menyadari beberapa minggu sebelumnya telah terdedah atau digigit oleh hewan penular rabies, secara alami menjadi sangat khawatir, gelisah, tercekam dan merasa ada gangguan kesehatan. Perubahan lebih lanjut dapat muncul gejala mual, sakit perut hebat, perototan terasa sakit, atau terjadi komplikasi infeksi saluran pernafasan bagian atas. Paresthesia juga biasa dialami oleh penderita dengan rabies bentuk paralitik dan encepalitik. Gejala non lokal atau sistemik termasuk diantaranya adalah demam, mudah capek, gejala gangguan gastrointestinal, rasa sakit muskuluskletal yang menyerupai influensa atau infeksi saluran pernafasan atas.

2.1.5.2Furious Rabies

Tahap awal akan muncul gejala hidrofobia, tampilan neurologik dalam rabies ensfalitik adalah hipereaktivitas, dengan gejala berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara keras. Penderita umumnya selalu merintih sebelum kesadarannya hilang. Biasa dijumpai gejala demam tinggi, penderita menjadi bingung, gelisah, rasa tidak nyaman dan tidak ketidak beraturan. Kebingungan akan semakin hebat dan berkembang menjadi agresif, halusinasi dan selalu ketakutan. Tubuh gemetar atau kaku kejang.


(41)

Timbul gejala stimulasi saraf otonom termasuk peningkatan salifasi, air liur yang berbuih, mengeluarkan banyak keringat, lakrimasi, abnormalitas pupil dan piloereksi. Demam tubuh semakin meningkat sehingga suhu dapat mencapai 400

2.1.5.3Paralitik

C secara menetap. Dalam keadaan demikian penderita merasa kepala pusing. Situasi akan akhirnya berkembang dengan timbulnya gangguan kesadaran dan kemudian koma.

Gejala umumnya dimulai dengan demam dan sakit kepala. Segera kemudian timbul rasa panas seperti tertusuk jarum, mati rasa, keram otot, dan hilang perasaan. Kaki tubuh, lengan tangan, otot pernafasan, dan otot penelan menjadi terkena. Sembelit, tidak bisa mengosongkan kandung kemih, demam tinggi dan keringat banyak. Pada walnya penderita tampak sadar kemudian mengigau, tidak sadarkan diri dan koma. Beberapa kasus orang mengalami kaku leher yang memberi kesan meningitis dan air liur menetes karena tidak mampu menelan.

2.1.6 Gejala dan Tanda Rabies Pada Anjing

Dalam kehidupan di masyarakat, orang memanfaatkan anjing dan bangsa anjing untuk dipelihara dalam berbagai kepentingan, terutama sebagai hewan kesayangan atau hewan pekerja. Kedekatan antara manusia dan anjing telah berlangsung lama sejak zaman kuno hingga sekarang dan akan terus berlangsung untuk berbagai tujuan dan kepentingan (Akoso, 2011).

2.1.6.1 Tahap Prodromal


(42)

antara 2-3 hari. Pada anjing rabies, tahapan ini akan terlihat adanya perubahan temperamen yang masih ringan. Perilakunya sudah mulai berubah seolah-olah tidak mengenal, menghindar dari pemilik, dan mulai acuh terhadap perintah tuannya. Anjing akan menjadi sangat perasa, mudah terkejut, dan cepat berontak bila dipropokasi. Dalam keadaan ini perubahan perilaku mulai diikuti oleh kenaikan suhu badan. Pupil mata mengalami dilatasi dan refleks kornea menjadi lamban terhadap rangsangan. Pada anjing yang biasa kurang memperoleh perhatian dari pemiliknya terutama yang dipelihara lepas, gejala yang terjadi pada tahap prodromal seringkali berlangsung tanpa kecurigaan. Biasanya, tahap berikutnya, yaitu eksitasi baru diketahui ketika perubahan perilaku tampak sangat jelas.

2.1.6.2Tahap Eksitasi

Biasanya tahap ini berlangsung lebih lama daripada tahap prodromal bahkan bisa berlangsung selama 3-7 hari. Tahapan ini dalam manifestasi klinisnya sangat mudah dikenali, apalagi oleh pemiliknya. Pada tahap ini, anjing berperilaku cepat merasa terganggu, emosional, dan cepat bereaksi agresip terhadap apa saja yang dirasanya mengaganggu. Dalam keadaan tidak ada propokasi anjing menjadi murung, terkesan lelah dan selalu tampak ketakutan. Pada awal tahap ini, anjing cenderung suka menghindar bila bertemu atau berpapasan dengan orang, dan suka bersembunyi ditempat gelap, misalnya dikolong meja, dibawah ranjang, di bawah kursi dan lain-lain. Anjing mengalami fotopobia atau takut melihat sinar sehingga apabila ada cahaya akan bereaksi secara berlebihan dan tampak ketakutan serta mengelak,


(43)

melolong, mengerang atau bahkan menyerang dengan ganas. 2.1.6.3Tahap Paralisis

Tahap paralisis ini dapat berlangsung secara singkat sehingga gejalanya sulit untuk dikenali, atau bahkan tidak terjadi dan langsung berlanjut pada kematian. Tahapan ini lebih dikenal dengan bentuk rabies dungu, dengan ciri rahang menggantung karena kelumpuhan otot pengunyah sehingga anjing tersebut tidak lagi mampu makan atau minum. Kelumpuhan juga terjadi pada otot tenggorokan sehingga keluarnya air liur tidak terkendali dan terus menetes. Suaranya sering terdengan seperti tersedak yang menyebabkan pemilik atau dokter hewan yang memeriksa kadang-kadang memperikirakan kemungkinan adanya duri atau benda asing yang menyangkut di kerongkongan.

2.1.7 Masa Inkubasi

Rabies adalah penyakit yang menyerang saraf mamalia, hampir selalu fatal setelah gejala klinis berkembang. Manusia berisiko terinfeksi ketika mereka digigit oleh hewan yang terinfeksi. Luka pada jaringan tubuh manusia terkena air liur hewan yang terinfeksi sehingga sampai ke sistem saraf pusat (SSP). Masa inkubasi adalah waktu antara penggigitan sampai timbulnya gejala penyakit

2.1.7.1Masa Inkubasi Pada Manusia

(CFSPH, 2009).

Pada manusia, masa inkubasi beberapa hari sampai beberapa tahun. Sebagian besar kasus menjadi jelas setelah 1 sampai 3 bulan. Dalam sebuah penelitian, sekitar 4-10% kasus memiliki masa inkubasi 6 bulan atau lebih.


(44)

2.1.7.2 Masa Inkubasi Pada Hewan

Masa inkubasi bervariasi, tergantung jumlah virus yang masuk kedalam tubuh, jika gigitan lebih dekat ke kepala, maka kekebalan dan sifat luka host akan mengalami masa inkubasi yang lebih pendek. Pada anjing dan kucing, masa inkubasi adalah 10 hari - 6 bulan, kebanyakan kasus menjadi jelas antara 2 minggu dan 3 bulan. Pada sapi, masa inkubasi dari 25 hari sampai lebih dari 5 bulan. Kelelawar

2.1.8 Diagnosa Rabies

dilaporkan juga sudah tertular rabies.

Untuk kepastian diagnosis dilakukan pemeriksaan spesimen secara laboratorium. Untuk menjamin akurasi hasil diagnosa rabies, hanya laboratorium tertentu yang diakui pemerintah sebagai laboratorium yang berkompeten melaksanakan uji (Akoso, 2011).

2.1.8.1 Diagnosa pada Manusia

Penyakit ini sering berjalan dengan cepat dan dalam 10 hari dapat menyebabkan kematian sejak timbulnya gejala, sehingga pemeriksaan serologis kadang-kadang belum sempat dilakukan, walaupun secara klinis cukup jelas. Pada kasus dengan perjalanan yang agak lama, misalnya gejala paralis yang dominan dan mengaburkan diagnosis maka pemeriksaan laboratorium sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Virus rabies dapat diisolasi dari air liur, cairan serebrospinal dan urin penderita. Walaupun begitu, isolasi virus kadang-kadang tidak berhasil didapatkan dari jaringan otak dan bahan tersebut setelah 1-4 hari sakit. Hal ini


(45)

berhubungan dengan adanya neutralizing antibodies. Pemeriksaan Flourescent Antibodies Test (FAT) dapat menunjukkan antigen virus di jaringan otak, sedimen cairan serebrospinal, urin, kulit dan hapusan kornea, bahkan setelah teknik isolasi tidak berhasil. FAT ini juga bisa negatif, bila antibodi telah terbentuk. Serum neutralizing antibody pada kasus yang tidak divaksinasi tidak akan terbentuk sampai hari ke 10 pengobatan, tetapi setelah itu titer akan meningkat dengan cepat. Peningkatan titer yang cepat juga nampak pada hari ke 6-10 setelah onset klinis pada penderita yang diobati dengan anti rabies. Karakteristik respon imun ini, pada kasus yang divaksinasi dapat membantu diagnosis. Walaupun secara klinis gejalanya patognomonik namun negri bodies dengan pemeriksaan mikroskopis (seller) dapat negatif pada 10-20 % kasus, terutama pada kasuskasus yang sempat divaksinasi dan penderita yang dapat bertahan hidup setelah lebih dari 2 minggu (Depkes RI, 2000). 2.1.8.2 Diagnosis pada Hewan

Pada hewan, virus rabies biasanya diidentifikasi dengan Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) atau imunofluoresensi melalui sampel otak. Virus ini juga dapat ditemukan pada jaringan lain seperti kelenjar ludah, kulit (taktil folikel rambut wajah) dan pada kornea. Immunofluorescence dapat mengidentifikasi 98-100% kasus yang disebabkan oleh semua genotipe virus rabies dan rabies terkait, dan yang paling efektif pada sampel segar. Tes-tes lain untuk mendeteksi virus ini termasuk tes immunosorbent imunohistokimia dan enzyme-linked (ELISA). RT-PCR ini juga berguna, terutama bila sampel kecil (misalnya, air liur) atau ketika sejumlah


(46)

besar sampel harus diuji dalam wabah atau survei epidemiologi. Histologi untuk mendeteksi bahan agregat virus pada neuron adalah tidak spesifik, dan ini tidak dianjurkan jika teknik yang lebih spesifik yang tersedia. Serologi kadang-kadang digunakan untuk menguji serokonversi pada hewan peliharaan sebelum perjalanan internasional atau satwa liar dalam kampanye vaksinasi. Tes serologi meliputi tes netralisasi virus dan ELISA

2.1.9 Cara Penularan

(CFSPH, 2009).

Ar liur binatang yang sakit mengandung virus yang dapat ditularkan melalui gigitan atau cakaran (dan sangat jarang sekali melalui luka baru di kulit atau melalui selaput lendir yang utuh). Penularan dari orang ke orang secara teoritis dimungkinkan oleh karena liur dari orang yang terinfeksi dapat mengandung virus, namun hal ini belum pernah didokumentasikan. Transplantasi organ (cornea) dari orang yang meninggal karena penyakit sistem saraf pusat yang tidak terdiagnosa dapat menularkan rabies kepada penerima organ tadi. Penyebaran melalui udara telah dibuktikan terjadi di suatu gua dimana terdapat banyak kelelawar yang hinggap dan pernah juga terjadi di laboratorium, namun kejadiannya sangat jarang. Di Amerika Latin, penularan melalui kelelawar yang terinfeksi kepada binatang domestik sering terjadi. Di Amerika Serikat kelelawar pemakan serangga jarang menularkan rabies kepada binatang di darat baik kepada binatang domestik maupun binatang liar (Chin, 2000).

2.1.10 Pola Penyebaran


(47)

tidak dipelihara dengan baik atau anjing liar yang merupakan cirri khas yang ada di pedesaan yang berkembang sangat fluktuatif dan sulit dikendalikan. Suatu kondisi yang sangat kondusif untuk menjadikan suatu daerah dapat bertahan menjadi daerah endemis. Secara alami dan yang sering terjadi pola peenyebaran Rabies. Pada umumnya manusia merupakan dead end atau terminal akhir dari korban gigitan. Anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar maupun anjing peliharaan, setiap saat dapat menggigit manusia. Sementara itu anjing liar, anjing peliharaan yang menjadi liar dan anjing pelihara dapat saling menggigit satu sama lain. Kalau salah satu diantara anjing yang menggigit tersebut positif Rabies, maka akan terjadi kasus-kasus positif (+) Rabies (Civas, 2011).

Gambar 2.2 Pola Penyebaran Rabies di Lapangan Sumber : Civas (2011)

2.1.11 Epidemiologi Rabies a. Berdasarkan Orang

Rabies pada orang ditemukan setiap tahun diberbagai daerah endemik di Indonesia, sebagaimana juga ditemukan kasus pada hewan. Jumlah orang digigit dan meninggal karena rabies sebanding dengan jumlah kasus pada hewan di tiap-tiap daerah. Dalam lima tahun terakhir (2000-2004), jumlah orang meninggal Anjing Liar Anjing Peliharaan


(48)

dunia di Sumatera Barat karena rabies sebanyak 51 orang, Sulawesi Utara 37 orang, Sulawesi Selatan 59 orang, Sulawesi Tenggara 64 orang, dan Flores 91 orang. Ditinjau dari segi umur orang yang digigit HPR di Sumatera Barat paling banyak berumur 17-55 tahun (27,78 %), diiukuti umur 6-12 tahun (17,30 %), begitu pula di Provinsi Riau paling banyak berumur 17-55 tahun (20,62 %), diikuti umur 6-12 tahun (14,20 %). Sedangkan Provinsi Jambi orang paling banyak digigit HPR pada kelompok umur 17-55 tahun (26,01 %), berikutnya kelompok umur balita sebanyak (19,22 %). Apabila ditinjau dari segi jenis kelamin, baik di Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau kebanyakan orang yang digigit adalah jenis kelamin laki-laki (Akoso, 2011). b. Berdasarkan Tempat

Di berbagai belahan dunia sangat susah untuk mengestimasikan jumlah kasus kematian yang disebabkan oleh Rabies. Hal in terkait dengan sistem surveillans dan tidak adanya laboratorium yang cukup memadai di berbagai belahan dunia. WHO menyatakan bahwa sekitar 55.000 orang per tahun meninggal dunia karena Rabies, 95% dari jumlah itu berasal dari Asia dan Afrika (WHO, 2008). Sebagian besar dari korban sekitar 30-60% adalah anak-anak usia kecil dibawah 15 tahun (WHO, 2008). Penyebaran utama penyakit Rabies ini adalah gigitan dari anjing yang terkena Rabies. Kematian umumnya disebabkan tidak adanya perlakuan atau kurangnya perlakuan yang baik (post exposure treatment) dari korban yang terkena rabies (CIVAS, 2011).


(49)

c. Berdasarkan Waktu

Rabies di Indonesia ditemukan pada tahun 1884 di Jawa Barat; 1953 di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Barat; kemudian tahun 1956 di Sumatra Utara. Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara tahun 1958; Sumatra Selatan tahun 1959; Lampung 1969; Aceh tahun 1970; Jambi, DI Yogyakarta tahun 1971; DKI Jakarta, Bengkulu dan Sulawesi Tengah tahun 1972; Kalimantan Timur tahun 1974; Riau tahun 1975; Kalimantan Tengah tahun 1978; Kalimantan Selatan tahun 1981 dan Flores tahun 1997. Kalimantan Barat tahun 2005; Pulau Bali tahun 2008; dan Pulau Nias, Pulau Maluku tahun 2010 (Kemenkes RI, 2011).

2.2 Pencegahan

Indonesia, sebagai negara yang endemik rabies dengan anjing sebagai penular utama, eliminasi anjing merupakan tindakan penting sekiranya dapat diterima secara struktur sosial dan dalam capaian pengaturn finansial dari pemerintah. Dinegara yang penularannya melibatkan satwa liar, pengendalian secara tuntas memang mengalami banyak kendala, namun gigitan oleh anjing tetap juga merupakan bahwa tejadinya rabies ke orang. Pengendalian populasi anjing merupakan faktor penting dalam usaha memberantas rabies dan pengamanan terhadap kesehatan masyarakat. Program pengendalian rabies harus didasarkan atas pengetahuan epidemiologi penyakit dan pemahaman daur kehidupan hewan penular rabies (HPR) didaerah tertentu. (Akoso, 2011).


(50)

Pencegahan rabies terdiri 3 (tiga) yaitu pencegahan primer (prinsip dasar), pencegahan sekunder (pengendalian) dan pencegahan tertier (pemberantasan).

2.2.1 Pencegahan Primer (Prinsip Dasar)

Menurut CIVAS (2011) kebijakan memberantas rabies dilaksanakan dengan alasan utama untuk perlindungan kehidupan manusia dan mencegah penyebarannya ke hewan domestik dan satwa liar. Hal ini dapat dicapai dengan menjalankan gabungan atau kombinasi strategi di bawah ini :

a. Karantina dan pengawasan lalu-lintas terhadap hewan penular penyakit.

Arus lalu-lintas yang tidak terawasi adalah aspek kritis bagi pengendalian Rabies di daerah. Dalam skala praktis di lapangan, daerah (bisa desa, kecamatan, kabupaten) yang bersinggungan/berbatasan dengan daerah tertular/wabah dianggap sebagai Daerah Rawan. Hewan kesayangan yang dipelihara harus tetap tinggal di dalam rumah sampai keadaan darurat dinyatakan berlalu, dan lalu-lintas anjing dan kucing ke wilayah lain hanya diizinkan oleh pejabat yang berwenang. Keadaan darurat harus dinyatakan tetap berlaku, sampai paling tidak selama masa inkubasi 6 bulan menurut ketentuan World Organization for Animal Health (OIE)/Organisasi Kesehatan Hewan Dunia setelah berakhirnya program vaksinasi di daerah rawan (DR) atau kasus Rabies terakhir.

b. Pemusnahan hewan tertular dan hewan yang kontak untuk mencegah sumber virus Rabies yang paling berbahaya.


(51)

atau tersangka Rabies. Tindakan observasi selama 10 - 14 hari harus diterapkan. Apabila hasil observasi negatif, pemusnahan pasca observasi dapat dilaksanakan berdasarkan kondisi-kondisi tertentu seperti atas permintaan pemilik atau kondisi anjing sudah tidak layak untuk dipelihara lebih lanjut. Hewan seperti sapi, kerbau, domba, kambing dan kuda bukan ancaman bagi penyebaran Rabies (walaupun pada manusia masih tetap menjadi risiko). Apabila ada bukti yang meyakinkan (laboratoris) bahwa di suatu tempat terjadi wabah Rabies, maka langkah tindakan yang sistematis untuk menanggulangi wabah tersebut harus segera dijalankan, melalui tahaan-tahapankesiagaan darurat veteriner Indonesia (KIAT VETINDO). Diantaranya penutupan suatu wilayah terhadap keluar masuknya Hewan Penular Rabies (HPR). Vaksinasi menjadi program utama dalam pengendalian rabies selain tindakan seperti investigasi kasus penggigitan, observasi HPR penggigit, eleminasi HPR positif rabies dan yang liar serta ditelantarkan. Semua anjing dan HPR lain yang berada di wilayah administratif daerah bersangkutan dinyatakan sebagai hewan tertular Rabies yang sah dijadikan sasaran eliminasi. Hewan yang masuk dari luar ke dalam daerah wabah, terutama yang masuk secara ilegal dapat pula menjadi target pemusnahan. Pemusnahan dilakukan terutama terhadap anjing, kucing dan kera yang mempunyai potensi sangat besar dalam menularkan dan menyebarkan Rabies. Hewan-hewan yang kontak dengan penderita Rabies bisa saja menimbulkan masalah yang lebih besar daripada hewan tertular. Tanda-tanda klinis dari hewan tertular dapat terlihat setelah beberapa jam, beberapa hari,


(52)

satu minggu atau paling lama dua minggu. Meskipun demikian inkubasi penyakit tersebut dapat sampai berbulan-bulan. Oleh karena itu tindakan karantina untuk memudahkan observasi, baik untuk hewan-hewan yang kontak dengan penderita Rabies maupun anjing atau HPR lain yang menggigit, merupakan prosedur yang harus ditempuh sampai diperoleh kepastian bahwa hewan tersebut bebas Rabies. Pada dasarnya hewan-hewan yang kontak dengan penderita Rabies maupun anjing yang menggigit sama sekali tidak boleh dibunuh sebelum hasil observasi dikeluarkan.

c. Vaksinasi semua hewan yang dipelihara di daerah tertular untuk melindungi hewan terhadap infeksi dan mengurangi kontak terhadap manusia.

Hanya di daerah-daerah yang terjadi kasus atau wabah yang menjadi pusat (fokus) kegiatan vaksinasi, ditambah daerah-daerah lainnya yang berbatasan langsung dengan daerah kasus. Sedangkan di luar dari daerah tersebut (tertular dan terancam) kegiatan lebih ditekankan pada pengawasan lalu-lintas hewan rentan Rabies secara ketat dan pembentukan Sabuk Kebal melalui kegiatan vaksinasi di sepanjang perbatasan dengan daerah terancam

d. Penelusuran dan surveillans untuk menentukan sumber penularan dan arah pembebasan dari penyakit.

e. Kampanye peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness) untuk memfasilitasi kerjasama masyarakat terutama dari pemilik hewan dan komunitas yang terkait.


(53)

2.2.2 Pencegahan Sekunder (Pengendalian)

Di masa lalu Pengendalian dan Pemberantasan Rabies dilakukan melalui kegiatan vaksinasi dan eliminasi, dengan cara membagi rata jumlah vaksin dan strychnine ke semua wilayah tingkat dua. Pola semacam ini telah berlangsung lama dan sekarangpun mungkin masih banyak diterapkan di beberapa wilayah/daerah Rabies di Indonesia. Sistem membagi rata alokasi vaksin dan strychnine ke semua daerah berdasarkan kajian yang cukup lama dianggap tidak dapat menyelesaikan masalah Rabies secara tuntas. Hal ini disebabkan sasaran/target program menjadi tidak fokus, tidak spesifik, tidak berdaya guna dan tidak berhasil guna yang pada akhirnya kasus tetap muncul.

Pada saat ini Pengendalian dan Pembenrantasan Rabies harus dilaksanakan melalui Local Area Specific Problem Solving (LAS) penanganan Rabies melalui pendekatan spesifik wilayah (lokal) (Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat, 2011).

2.2.3 Pencegahan Tertier (Pemberantasan)

Anjing yang menggigit di daerah wabah dianggap telah tertular sehingga harus ditangkap dan dibunuh. Khususnya kalau anjing itu anjing liar atau diliarkan. Kepala atau otak langsung dikirim ke laboratorium untuk peneguhan diagnosa. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi jiwa manusia dan sekaligus mengurangi korban. Sedangkan kalau anjing tersebut berpemilik perlu dilihat catatan atau informasi mengenai vaksinasinya. Apabila anjing ternyata telah divaksin maka prosedur


(54)

observasi selama 10 - 14 hari harus dilaksanakan. Sebaliknya kalau anjing tersebut belum divaksin maka anjing harus dibunuh, selanjutnya kepala atau otaknya dikirim ke laboratorium untuk peneguhan diagnosa (Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat, 2011).

2.3Program Pemberantasan

Penanggulangan rabies yang menyangkut hewan menjadi tanggung jawab Departemen Pertanian cq.Direktotat Jendral Peternakan,sedangkan yang menyangkut manusia menjadi tanggung jawab Departemen Kesehatan. Program ini di susun dengan maksud agar dapat dipergunakan sebagai petunjuk, khususnya untuk dokter dan paramedis yang mengelola gigitan hewan serta merawat penderita rabies. Setiap kasus gigitan hewan harus ditangani segera karena waktu merupakan faktor yang sangat penting dalam penyelamatan jiwa manusia dari kematian akibat penyakit rabies (Depkes RI, 2000).

2.3.1 Tujuan

Mempertahankan daerah yang bebas rabies. 2.3.2 Kebijakan dan strategi

Kebijakan dan strategi miliputi lintas program dan lintas sektor (dinas peternakan dan pemerintah daerah) dan peran serta masyarakat (PSM).

2.3.3 Kegiatan


(55)

oleh dinas peternakan, mengeliminasi anjing liar, mencegah kematian pasien dengan VAR atau SAR, meregistrasi anjing peliharaan, konsolidasi mengenai vaksinasi anjing yang lolos registrasi, anjing yang baru datang, dan anjing berusia < 2 bulan melakukan sweeping anjing dan melakukan survei kualitas bebas rabies, yaitu memeriksa serum 100 anjing di laboratorium hewan.

2.3.4 Monitoring dan evaluasi

Melakukan monitoring dan evaluasi cakupan vaksinasi: jumlah anjing yang divaksin per populasi, cakupan eliminasi: jumlah anjing yang dieliminasi per populasi, cakupan pengobatan: jumlah kasus yang diobati per gigitan.

2.3.5 Pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies

Menurut Depkes RI (2000) pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) atau Vaksin Anti Rabies (VAR) disertai Serum Anti Rabies (SAR) harus didasarkan atas tindakan tajam dengan mempertimbangkan hasil-hasil penemuan di bawah ini.

2.3.6 Anamnesis

Anamnesis yang dilakukan meliputi : kontak/jilatan/gigitan, kejadian di daerah tertular/terancam/bebas, didahului tindakan provokatif/tidak, hewan yang menggigit menunjukkan gejala rabies, hewan yang menggigit hilang, lari dan tidak dapat di tangkap atau dibunuh dan dibuat, hewan yang menggigit mati, tapi masih diragukan menderita rabies, penderita luka gigitan pernah di VAR dan kapan dan hewan yang menggigit pernah di VAR dan kapan.


(56)

2.3.7 Pemeriksaan Fisik

Identifikasi luka gigitan (status lokalis). 2.3.8 Lain-lain

Kegiatan lain meliputi : temuan pada waktu observasi hewan, hasil pemeriksaan spesimen dari hewan dan petunjuk WHO. Luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit luka, garukan atau lecet (erosi, ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan dan kaki. Terhadap luka risiko tinggi, selain VAR juga diberi SAR. Yang termasuk luka berbahaya adalah jilatan/luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu (muka, kepala, leher), luka pada jari tangan/kaki, genetalia, luka yang lebar/dalam dan luka yang banyak (multipel).

Untuk kontak (dengan air liur atau saliva hewan tersangka/hewan rabies atau penderita rabies), tetapi tidak ada luka, kontak tak langsung, tidak ada kontak, maka tidak perlu diberikan pengobatan VAR maupun SAR. Sedangkan apabila kontak dengan air liur pada kulit luka yang tidak berbahaya, maka diberikan VAR atau diberikan kombinasi VAR dan SAR apabila kontak dengan air liur pada luka berbahaya.


(57)

2.4 Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Tersangka Rabies

Gambar 2.3 Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Tersangka Rabies Sumbe

Kasus Gigitan Anjing, Kucing, dan Kera

Hewan Penggigit Lari/Hilang Dan Tidak Dapat Ditangkap, Mati/Dibunuh

Hewan Penggigit Dapat ditangkap dan diobservasi 10-14 hari

Luka Risiko Rendah Luka Risiko Tinggi Segera diberi VAR Segera diberi

VAR & SAR

Luka Risiko Rendah Luka Risiko Tinggi Tidak diberi VAR, Tunggu Hasil Segera diberi VAR & SAR

Spesimen Hewan Dapat Diperiksa di Laboratorium Jika Tidak Dapat

Diperiksa dilab Lanjutkan VAR

Positi Negatif Stop

VAR

Tidak di VAR Beri/Lanjutkan di VAR VAR dilanjutkan Stop VAR Spesimen Otak Hewan

Diperiksa

Positif Negatif Hewan Mati Hewan Sehat Hewan Sehat Hewan Mati VAR dilanjutka Stop VAR


(58)

2.4.1

Rabies adalah suatu penyakit menular akut yang menyerang susunan syaraf pusat. Penyakit ini disebabkan oleh virus yang sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan kematian hampir 100 %. Rabies dapat menyerang semua hewan berdarah panas serta manusia. Dari sejumlah korban sebagian besar di negara sedang berkembang, dengan berjuta yang lainnya terpapar gigitan. Anjing peliharaan merupakan binatang penular terpenting di negara berkembang, sedangkan binatang liar merupakan penular penting di negara maju (Munif, 2011).

Penanganan Luka Gigitan.

Penanganan luka gigitan dapat dilakukan dengan cara :

a. Di tempat layanan kesehatan (bagi petugas kesehatan); kecuali hanya tergores di lapisan epidermis dan tak berdarah, sekecil apapun luka itu harus dilakukan explorasi karena pada luka gigitan, kerusakan jaringan tubuh di bagian dalam lebih serius dibandingkan dengan luka yang kelihatan di permukaan kulit.

b. Untuk mempermudah akses, setelah diberikan local anasthesia lakukan insisi dan pastikan dapat membersihkan luka hingga ke bagian dalam.

c. Pembersihan dengan bahan iodine bisa dicampur perhidrol (H2O2) 3% dan bilas dengan caira 0,9% dibarengi dengan nekrotomi yakni menghilangkan/memotong jaringan yang telah mati dan sangat kotor.

d. Luka dibiarkan terbuka, rawat basah dengan kompres NaCl ditambah antiseptik dan dievaluasi 1-2 hari kemudian.


(59)

e. Untuk luka yang luas dengan banyak gigitan; insisi dapat diperpanjang karena sangat mungkin kerusakan di bagian dalam berhubungan antara luka gigitan (bite mark) satu dengan yang lain.

f. Prosedur pencucian luka sama seperti di atas, namun jika insisi terlalu panjang (lebih dari 2 cm) penutupan luka dapat saja dijahit longgar menggunakan benang non absorbable dengan tidak lupa menyisipkan drain ke bagian dalamnya.

g. Drain ini bisa menggunakan material yang diambilkan dari glove atau handschoon. Dan dibuka 1-2 hari berikutnya.

h. Pemberian vaksin Rabies (untuk kasus risiko terjangkit Rabies); bagi pasien yang belum pernah menerima vaksinasi ini, setengah dari dosis pemberian vaksin Rabies disuntikkan di sekitar luka gigitan.

i. Pemberiannya diulang pada hari ke-3, 7, 14 dan hari ke-28 dengan masing-masing dosis 0,5 ml (cell culture rabies vaccine) tidak dibedakan baik untuk dewasa maupun anak-anak.

j. Pada luka yang lebih parah -lebih dari satu gigitan dan masuk hingga ke lapisan subdermal- pemberian vaksin sebaiknya dikombinasi dengan Human Rabies Immunoglobulin (HRI) cukup pada saat therapy awal saja.

k. Diberikan juga kombinasi obat antibiotika yang lain untuk mengantisipasi kemungkinan infeksi oleh kuman atau bakteri jenis lainnya. Ditambahkan juga obat-obat anti-inflamasi dan anti nyeri.


(1)

TABLES Ancaman Pencegahan WEIGHTVAR = Penduduk PSUVAR

= Desa

ANCAMAN

Pencegahan

Melakukan

Tidak Melakukan

TOTAL

Nyaman

10

79

89

Row %

12.677

87.323

100.000

Col %

17.119

57.217

44.117

SE %

3.892

3.892

LCL %

4.729

79.375

UCL %

20.625

95.271

Design Effect

1.204

1.204

Tidak

Nyaman

62

59

121

Row %

48.453

51.547

100.000

Col %

82.881

42.783

55.883

SE %

6.770

6.770

LCL %

34.626

37.721

UCL %

62.279

65.374

Design Effect

2.202

2.202

TOTAL

72

138

210

Row %

32.669

67.331

100.000

Col %

100.000

100.000

100.000

SE %

3.570

3.570

LCL %

25.379

60.041

UCL %

39.959

74.621


(2)

CTABLES COMPLEX SAMPLE DESIGN ANALYSIS OF 2 X 2 TABLE

Odds Ratio (OR) 0.154

Standard Error (SE) 0.381

95% Conf. Limits (0.06, 0.406 )

Risk Ratio (RR) 0.262

Standard Error (SE) 0.093

95% Conf. Limits (0.13, 0.540 )

RR = (Risk of Pencegahan=Melakukan if ANCAMAN=Nyaman) / (Risk of

Pencegahan=Melakukan if ANCAMAN=Tidak Nyaman)

Risk Difference (RD%)- 35.776

Standard Error (SE) 8.269

95% Conf. Limits (-52.66, -18.887 )

RD = (Risk of Pencegahan=Melakukan if ANCAMAN=Nyaman) - (Risk of

Pencegahan=Melakukan if ANCAMAN=Tidak Nyaman)

Sample Design Included:

Weight Variable: Penduduk

PSU Variable: Desa

Stratification Variable: None

Records with missing values: 0


(3)

TABLES Kematian Pencegahan WEIGHTVAR = Penduduk PSUVAR

= Desa

KEMATIAN

Pencegahan

Melakukan

Tidak Melakukan

TOTAL

Ada

42

36

78

Row %

54.784

45.216

100.000

Col %

57.522

23.036

34.302

SE %

5.607

5.607

LCL %

43.334

33.765

UCL %

66.235

56.666

Design

Effect

0.977

0.977

Tidak Ada

30

102

132

Row %

21.123

78.877

100.000

Col %

42.478

76.964

65.698

SE %

5.095

5.095

LCL %

10.718

68.473

UCL %

31.527

89.282

Design

Effect

2.041

2.041

TOTAL

72

138

210

Row %

32.669

67.331

100.000

Col %

100.000

100.000

100.000

SE %

3.570

3.570

LCL %

25.379

60.041

UCL %

39.959

74.621

Design


(4)

CTABLES COMPLEX SAMPLE DESIGN ANALYSIS OF 2 X 2 TABLE

Odds Ratio (OR) 4.524

Standard Error (SE) 1.726

95% Conf. Limits (1.86, 10.999 )

Risk Ratio (RR) 2.594

Standard Error (SE) 0.754

95% Conf. Limits (1.43, 4.696 )

RR = (Risk of Pencegahan=Melakukan if KEMATIAN=Ada) / (Risk of

Pencegahan=Melakukan if KEMATIAN=Tidak Ada)

Risk Difference (RD%) 33.662

Standard Error (SE) 8.703

95% Conf. Limits (15.89, 51.435 )

RD = (Risk of Pencegahan=Melakukan if KEMATIAN=Ada) - (Risk of

Pencegahan=Melakukan if KEMATIAN=Tidak Ada)

Sample Design Included:

Weight Variable: Penduduk

PSU Variable: Desa

Stratification Variable: None

Records with missing values: 0


(5)

r u n n i n g D: \ St a t a \ p r o f i l e . d o . . .

2 . ( / v # o p t i o n o r - s e t ma x v a r - ) 5 0 0 0 ma x i mu m v a r i a b l e s 1 . ( / m# o p t i o n o r - s e t me mo r y - ) 5 0 . 0 0 MB a l l o c a t e d t o d a t a No t e s :

STATA Li c e n s e d t o : STATAFo r Al l Se r i a l n u mb e r : 7 1 6 0 6 2 8 1 5 6 3

Si n g l e - u s e r St a t a l i c e n s e e x p i r e s 3 1 De c 9 9 9 9 :

9 7 9 - 6 9 6 - 4 6 0 1 ( f a x )

9 7 9 - 6 9 6 - 4 6 0 0 s t a t a @s t a t a . c o m 8 0 0 - STATA- PC h t t p : / / www. s t a t a . c o m Sp e c i a l Ed i t i o n Co l l e g e St a t i o n , Te x a s 7 7 8 4 5 USA

4 9 0 5 La k e wa y Dr i v e St a t i s t i c s / Da t a An a l y s i s St a t a Co r p

_ _ _ / / / _ _ _ / / / _ _ _ / 1 1 . 2 Co p y r i g h t 1 9 8 5 - 2 0 0 9 St a t a Co r p LP / _ _ / _ _ _ _ / / _ _ _ _ /

_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ ( R)

. gl m Pe nc e ga ha n Pe nge t a hua n Pe r ke mba nga n Kondi s i Ci de r a Anc a ma n Ke ma t i a n, f a m( poi s s on) l i nk( l og) nol og vc e ( r obus t ) e f or m . us e " D: \ T E S I S\ CONPREHENSI P\ K- 5\ LAMP CONPRE\ Ra bi e s Da t a St a t a Conpr e he ns i p. dt a " , c l e a r

Ke ma t i a n 1 . 4 2 1 5 5 1 . 1 5 4 6 6 1 4 3 . 2 3 0 . 0 0 1 1 . 1 4 8 5 6 1 . 7 5 9 4 2 6 An c a ma n 1 . 3 8 4 7 4 1 . 1 3 9 0 7 9 6 3 . 2 4 0 . 0 0 1 1 . 1 3 7 3 0 3 1 . 6 8 6 0 1 3 Ci d e r a 1 . 1 4 4 6 1 6 . 1 2 3 9 3 7 8 1 . 2 5 0 . 2 1 2 . 9 2 5 7 4 7 9 1 . 4 1 5 2 3 Ko n d i s i . 9 8 6 8 3 2 8 . 0 8 6 4 2 3 2 - 0 . 1 5 0 . 8 8 0 . 8 3 1 1 8 6 4 1 . 1 7 1 6 2 5 Pe r k e mb a n g a n 1 . 3 2 6 3 3 6 . 1 8 3 2 5 2 4 2 . 0 4 0 . 0 4 1 1 . 0 1 1 6 9 1 1 . 7 3 8 8 3 9 Pe n g e t a h u a n 1 . 6 5 2 1 7 . 2 4 8 8 6 0 7 3 . 3 3 0 . 0 0 1 1 . 2 2 9 8 1 9 2 . 2 1 9 5 6 7 Pe n c e g a h a n I RR St d . Er r . z P>| z | [ 9 5 % Co n f . I n t e r v a l ] Ro b u s t

Lo g p s e u d o l i k e l i h o o d = - 1 7 9 . 9 4 4 0 6 4 3 BI C = - 1 0 0 1 . 5 7 5 AI C = 1 . 7 8 0 4 2 Li n k f u n c t i o n : g ( u ) = l n ( u ) [ Lo g ]

Va r i a n c e f u n c t i o n : V( u ) = u [ Po i s s o n ]

Pe a r s o n = 6 5 . 1 6 5 6 7 6 4 4 ( 1 / d f ) Pe a r s o n = . 3 2 1 0 1 3 2 De v i a n c e = 8 3 . 8 8 8 1 2 8 6 7 ( 1 / d f ) De v i a n c e = . 4 1 3 2 4 2 Sc a l e p a r a me t e r = 1 Op t i mi z a t i o n : ML Re s i d u a l d f = 2 0 3 Ge n e r a l i z e d l i n e a r mo d e l s No . o f o b s = 2 1 0

. g l m Pe n c e g a h a n Pe n g e t a h u a n An c a ma n Ke ma t i a n , f a m( p o i s s o n ) l i n k ( l o g ) n o l o g v c e ( r o b u s t ) e f o r m

Lampiran 7

STATA


(6)

.

Ke ma t i a n 1 . 4 6 0 7 8 7 . 1 5 9 5 3 3 5 3 . 4 7 0 . 0 0 1 1 . 1 7 9 3 0 6 1 . 8 0 9 4 5 2 An c a ma n 1 . 4 3 9 9 9 9 . 1 2 9 3 0 4 6 4 . 0 6 0 . 0 0 0 1 . 2 0 7 6 1 5 1 . 7 1 7 1 Pe n g e t a h u a n 1 . 9 5 9 0 0 7 . 2 4 3 9 6 4 8 5 . 4 0 0 . 0 0 0 1 . 5 3 4 7 2 9 2 . 5 0 0 5 7 7 Pe n c e g a h a n I RR St d . Er r . z P>| z | [ 9 5 % Co n f . I n t e r v a l ] Ro b u s t

Lo g p s e u d o l i k e l i h o o d = - 1 8 1 . 0 0 2 5 2 1 2 BI C = - 1 0 1 5 . 4 9 9 AI C = 1 . 7 6 1 9 2 9 Li n k f u n c t i o n : g ( u ) = l n ( u ) [ Lo g ]

Va r i a n c e f u n c t i o n : V( u ) = u [ Po i s s o n ]

Pe a r s o n = 6 7 . 4 5 0 3 8 8 6 4 ( 1 / d f ) Pe a r s o n = . 3 2 7 4 2 9 1 De v i a n c e = 8 6 . 0 0 5 0 4 2 4 6 ( 1 / d f ) De v i a n c e = . 4 1 7 5 0 0 2 Sc a l e p a r a me t e r = 1 Op t i mi z a t i o n : ML Re s i d u a l d f = 2 0 6 Ge n e r a l i z e d l i n e a r mo d e l s No . o f o b s = 2 1 0


Dokumen yang terkait

Analisis Faktor Predisposing, Enabling Dan Reinforcing Terhadap Tindakan Pemilik Anjing Dalam Pencegahan Penyakit Rabies Melalui Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) Di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara

3 60 154

Hubungan Faktor Internal Dan Eksternal Pemilik Anjing Dengan Pemeliharaan Anjing Dalam Upaya Mencegah Rabies Di Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi

0 38 208

Gambaran Perilaku Pemilik Anjing Terhadap Pencegahan Penyakit Rabies di Kota Binjai Tahun 2016

0 0 10

Gambaran Perilaku Pemilik Anjing Terhadap Pencegahan Penyakit Rabies di Kota Binjai Tahun 2016

0 1 21

Hubungan Pengetahuan Pemilik Anjing dan Faktor Persepsi Pencetus dengan Pencegahan Penyakit Rabies di Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah

0 0 14

HUBUNGAN PENGETAHUAN PEMILIK ANJING DAN FAKTOR PENCETUS PERSEPSI DENGAN PENCEGAHAN PENYAKIT RABIES DI KECAMATAN SARUDIK KABUPATENTAPANULI TENGAH TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes)

0 0 18

LEMBAR KUESIONER PENGARUH FAKTOR PREDISPOSING, ENABLING DAN REINFORCING TERHADAP TINDAKAN PEMILIK ANJING DALAM PENCEGAHAN PENYAKIT RABIES MELALUI GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES (HPR) DI KECAMATAN TARUTUNG KABUPATEN TAPANULI UTARA Penjelasan Umum

1 1 28

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Rabies - Analisis Faktor Predisposing, Enabling Dan Reinforcing Terhadap Tindakan Pemilik Anjing Dalam Pencegahan Penyakit Rabies Melalui Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) Di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utar

0 0 32

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Faktor Predisposing, Enabling Dan Reinforcing Terhadap Tindakan Pemilik Anjing Dalam Pencegahan Penyakit Rabies Melalui Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) Di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara

0 0 12

Analisis Faktor Predisposing, Enabling Dan Reinforcing Terhadap Tindakan Pemilik Anjing Dalam Pencegahan Penyakit Rabies Melalui Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) Di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara

0 0 18