BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA DAN PENGAWASAN - Peranan Inspektorat Dalam Pelaksanaan Pengawasan Otonomi Daerah Di Provinsi Sumatera Utara Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara

  

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN PROVINSI

SUMATERA UTARA DAN PENGAWASAN

A. Gambaran Umum Provinsi Sumatera Utara Secara geografis daerah Provinsi Sumatera Utara terletak antara 1

  LU dan 98

  • – 4
  • – 100 BT. Daerah provinsi Sumatera Utara pada dasarnya dibagi atas :

  1. Pesisir Timur

  2. Pengunungan Bukit Barisan

  3. Pesisir Barat

  4. Kepulauan Nias Total luas administrasi 71.680 km

  2

  , wilayah Provinsi Sumatera Utara berbatasan dengan :

  1. Utara : Provinsi Aceh dan Selat Malaka

  2. Selatan : Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Barat dan Samudera Indonesia

  3. Barat : Provinsi NAD dan Samudera Indonesia

  4. Timur : Selat Malaka

  a. Ditinjau dari topografinya Pesisir timur merupakan wilayah di dalam provinsi yang paling pesat perkembangannya karena persyaratan infrastruktur yang relatif lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir timur juga merupakan wilayah yang relatif padat konsentrasi penduduknya dibandingkan wilayah lainnya.

  Di daerah tengah provinsi berjajar Pegunungan Bukit Barisan. Di pegunungan ini ada beberapa dataran tinggi yang merupakan kantong-kantong konsentrasi penduduk. Tetapi jumlah hunian penduduk paling padat berada di daerah timur provinsi ini. Daerah di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir juga menjadi tempat tinggal penduduk yang mengguntungkan hidupnya kepada danau ini. Pesisir barat biasa dikenal sebagai daerah Tapanuli.

  Terdapat 419 pulau di Provinsi Sumatera Utara. Pulau-pulau terluar tersebut adalah pulau Simuk (Kepulauan Nias), dan Pulau Berhala di Selat Sumatera (Malaka). Kepulauan Nias terdiri dari pulau Nias sebagai pulau utama dan pulau-pulau kecil lain disekitarnya. Kepulauan Nias terletak di lepas pantai pesisir barat di Samudera Hindia. Pusat pemerintahan terletak di Gunung Sitoli.

  Kepulauan Batu terdiri dari 51 pulau dengan 4 pulau besar yaitu Sibuasi, Pini, Tanahbala, Tanahmasa. Pusat pemerintahan di Pulau Telo dan di Pulau Sibuasi. Kepulauan Batu terletak di tenggara Kepulauan Nias. Pulau-pulau lain di Sumatera Utara : Imanna, Pasu, Bawa, Hamutaria, Batumakalele, Lego, Masa, Bau, Simaleh, Makole, Jake dan Sigata, Wunga.

  b. Ditinjau dari kependudukan Jumlah penduduk Provinsi Sumatera Utara pada akhir tahun 2010 ialah sebanyak

  12.985.05 jiwa. Jumlah penduduk Provinsi Sumatera Utara jika dibandingkan dengan luas

  2

  wilayah Provinsi Sumatera Utara 71.680 km maka kepadatan penduduk Provinsi Sumatera Utara pada akhir tahun 2010 adalah 177,9/km.

  Komposisi penduduk berdasarkan agama yang dianut di Provinsi Sumatera Utara memperlihatkan bahwa penganut agama Islam (65,5 %), Kristen (Protestan/Katolik) (31,4 %), Hindu (0,2 %), Parmalim, Konghucu.

  c. Ditinjau dari etnis Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi multi etnis yaitu suku Batak, Nias, Melayu sebagai penduduk asli wilayah ini. Daerah pesisir timur Provinsi Sumatera Utara, pada umumnya dihuni oleh orang-orang Melayu. Pantai Barat dari Barus hingga Natal, banyak bermukim orang Minangkabau (2,66 %), Banjar (0,97 %), Lain-lain (10,52 %).

  d. Ditinjau dari administrasi pemerintahan Provinsi Sumatera Utara adalah merupakan bagian dari negara kesatuan Republik

  Indonesia yang secara administratif dibagi atas 25 kabupaten, 8 kota (dahulu kotamadya) antara lain :

  1. Kabupaten Asahan dengan ibu kota Kisaran

  2. Kabupaten Batubara dengan ibu kota Limapuluh

  3. Kabupaten Dairi dengan ibu kota Sidikalang

  4. Kabupaten Deli Serdang dengan ibu kota Lubuk Pakam 5. Kabupaten Humbang Hasundutan dengan ibu kota Dolok Sanggul.

  6. Kabupaten Karo dengan ibu kota Kabanjahe 7. Kabupaten Labuhanbatu dengan ibu kota Rantau Prapat.

  8. Kabupaten Labuhanbatu Selatan dengan ibu kota Pinang.

  9. Kabupaten Labuhanbatu Utara dengan ibu kota Aek Kanopan

  10. Kabupaten Langkat dengan ibu kota Stabat

  11. Kabupaten Mandaling Natal dengan ibu kota Panyabungan

  12. Kabupaten Nias dengan ibu kota Gunung Sitoli

  13. Kabupaten Nias Barat dengan ibu kota Lahomi

  14. Kabupaten Nias Selatan dengan ibu kota Teluk Dalam

  15. Kabupaten Nias Utara dengan ibu kota lotu

  16. Kabupaten Padang Lawas dengan ibu kota Sibuhuan

  17. Kabupaten Padang Lawas Utara dengan ibu kota Gunung Tua

  18. Kabupaten Pakpak Bharat dengan ibu kota Salak

  19. Kabupaten Samosir dengan ibu kota Pangururan

  20. Kabupaten Serdang Badagai dengan ibu kota Sei Rampah

  21. Kabupaten Simalungun dengan ibu kota Raya

  22. Kabupaten Tapanuli Selatan dengan ibu kota Sipirok

  23. Kabupaten Tapanuli Tengah dengan ibu kota Pandan

  24. Kabupaten Tapanuli Utara dengan ibu kota Tarutung

  25. Kabupaten Toba Samosir dengan ibu kota Balige

  26. Kota Binjai dengan ibu kota Binjai Kota

  27. Kota Gunungsitoli

  28. Kota Medan

  29. Kota Padangsidempuan

  30. Kota Pematansiantar

  31. Kota Sibolga

  32. Kota Tanjungbalai

  33. Kota Tebing Tinggi Dari 25 kabupaten, 8 Kota (dahulu kotamadya) tersebut terdapat 325 Kecamatan dan 5.456 kelurahan/desa.

B. Otonomi Daerah

  Sistem otonomi luas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan pilar utama bagi negara kesatuan, atau terpeliharanya integrasi nasional. Secara logis hal itu disebabkan bahwa daerah merupakan benteng negara yang paling kokoh. Oleh karenanya, penguatan nasional berbasis daerah yang tentunya ditujukan demi terwujudnya kesejahteraan, kemakmuran, dan kemandirian

  4 harus diperkuat melalui otonomi yang luas.

  Dengan otonomi daerah, maka akan tercipta mekanisme dimana daerah dapat mewujudkan sejumlah fungsi politik pemerintahan, hubungan kekuasaan menjadi lebih adil, sehingga dengan demikian daerah akan memiliki tingkat kepercayaan dan akhirnya akan

  5

  terintegrasi ke dalam pemerintahan nasional. Namun demikian dalam rangka implementasi paket otonomi daerah tidaklah semudah yang dibayangkan. Paket otonomi daerah dapat berperan sebagai pengaturan integrasi nasional, sepanjang hal itu diupayakan dengan tepat dan benar.

  Untuk menemukan pengertian tentang otonomi daerah sebagai sarana membangun

  6

  kualitas kemandirian (zelfstandingheid) yang integral, demikian diungkapkan Solly Lubis, yaitu : “Dengan memberikan otonomi daerah, akan tumbuh prakarsa dan kreativitas daerah, meningkatkan partisipasi dan demokrasi, meningkatkan efektivitas pembangunan dan semakin kuatnya integrasi nasional, dan pada akhirnya akan terhindar ketidakadilan selama ini dimana daerah-daerah terlalu tergantung pada putusan dan sistem subsidi dari pusat”.

  4 M. Ryaas Rasyid, Op.Cit, hal. 285.

  5 Bambang Indra Gunawan, Peranan Bawasda Menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Fakultas Hukum USU, Medan, 2006, hal. 2.

  6 M. Solly Lubis, Politik dan Hukum di Era Reformasi, CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 46.

  Otonomi dan pengawasan memiliki hubungan logis yang sulit dipisahkan. Antaranya keduanya memiliki konsekuensi yang dapat saling mengukuhkan atau sebaliknya, apabila dijalankan dengan tanpa mempertimbangkan realitas dan manfaatnya bagi penguatan ekonomi menyebabkan kebebasan yang tidak terarah.

  Sejalan dengan hal tersebut, Bagir Manan mengatakan bahwa sistem pengawasan juga menentukan kemandirian suatu otonomi. Untuk menghindari agar pengawasan tidak melemahkan otonomi, maka sistem pengawasan ditentukan secara spesifik, baik lingkup maupun tata cara

  7 pelaksanaannya.

  Tegasnya lagi, semakin banyak dan semakin intensifnya pengawasan, maka semakin semput pula kemandirian daerah. Begitu juga sebaliknya, tidak boleh ada sistem otonomi yang menaifkan pengawasan. Hal tersebut justru akan menyebabkan munculnya sistem berotonomi

  8 yang mengabaikan kepentingan nasional.

  Seiring dengan bergulirnya arus reformasi yang menginginkan adanya perbaikan di segala bidang kehidupan bangsa dan negara Indonesia, maka salah satu substansi dari tuntutan reformasi adalah kebutuhan dan desakan untuk melakukan perubahan atau sistem pemerintahan yang sentralistis kepada pemberian kewenangan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah.

  Alasan mengadakan pemerintah daerah semata-mata disebabkan karena banyaknya urusan-urusan pemerintah pusat mengurusi kepentingan daerah. Hal ini sebagaimana dikatakan

  9

  oleh Boedi Soesetyo yaitu : “Bahwa alasan mengadakan pemerintahan daerah adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Hal yang dianggap doelmating untuk diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan kepada daerah. Hal-hal yang lebih tepat diurus oleh pemerintah pusat tetap diurus oleh pemerintah pusat yang bersangkutan. Dengan demikian, maka persoalan desentralisasi adalah persoalan teknik belaka yaitu teknik pemerintahan yang ditujukan untuk mencapai hasil yang sebaik- baiknya.”

  7 Bagir Manan,Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hal. 39.

  8 Ibid

  9 Boedi Soesetyo, dalam Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Gunung Agung, Jakarta, 1989, hal. 38.

  TAP MPR Nomor

  IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, telah menggariskan bahwa kebijakan otonomi diarahkan kepada pencapaian sasaran-sasaran sebagai berikut :

  1. Peningkatan pelayanan publik dan kreativitas masyarakat serta aparatur pemerintahan di daerah;

  2. Kesatuan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antara pemerintah daerah dalam kewenangan dan keuangan;

  3. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat di daerah; dan

  10 4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah.

  Keharusan pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat dilihat ketentuan dalam pasal 18 dan pasal 18 A amandemen ke empat UUD 1945, dalam ketentuan tersebut termaktub keharusan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan. Artinya, terdapat keharusan untuk menerapkan asas desentralisasi. Sebab, asas tersebut memberikan indikasi positif bagi penyelenggaraan pemerintahan antara pusat dan daerah.

  Sebagaimana disebutkan Amrah Muslimin, “Desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan kepada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dan daerah untuk

  11

  mengurus rumah tangganya sendiri”. Sedangkan menurut Riant Nugroho D. Mengartikan desentralisasi sebagai prinsip pendelegasian, prinsip ini mengacu kepada fakta adanya span of

  12 control dari setiap organisasi sehingga organisasi perlu diselenggarakan secara bersama-sama.

  Pemerintah daerah merupakan sub sistem dari pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, segala tujuan dan cita-cita yang diamanatkan oleh pembukaan UUD 1945 adalah juga merupakan cita-cita dan tujuan pemerintah daerah yang harus dicapai. Dengan dilaksanakannya asas desentralisasi, pemerintah daerah menjadi pemegang kendali bagi pelaksanaan pemerintah di daerah.

  10 Majelis Permusyawaratan Rakyat, Ketetapan-Ketetapan MPR Pada Sidang Tahunan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal. 23.

  11 Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni Bandung, 1982, hal.

  4.

  12 Riant Nugroho D., Otonomi Daerah, Desentralisasi Tanpa revolusi Kajian dan Kritik atas Kebijakan Desentralisasi di IndonesiaI, PT. Alex Media Komputindo, Jakarta

  Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah penekanan terhadap aspek demokrasi, keadilan, pemerataaan dan partisipasi masyarakat serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai wujud dari penekanan berbagai prinsip di atas, telah membuka peluang dan kesempatan yang sangat luas kepada daerah otonom untuk melaksanakan kewenangannya secara sendiri, luas, nyata, dan bertanggungjawab.

  Paradigma baru desentralisasi membuka tantangan besar bagi seluruh bangsa Indonesia, namun apabila pemahaman terhadap wawasan kebangsaan keliru, akan menimbulkan tuntutan- tuntutan yang bersifat memperlemah kesehatan dan persatuan bangsa, seperti tuntutan atas pengalihan sumber-sumber pendapatan negara, bahkan tuntutan bentuk pemisahan diri daerah dari negara di luar sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan pada hakekatnya tidak terlepas dari prinsip-prinsip manajemen modern, dimana fungsi-fungsi manajemen senantiasa berjalan secara simultan, proporsional dalam kerangka pencapaian tujuan organisasi.

  Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah otonomi. Menurut Hans Kelsen desentralisasi lebih luas yaitu sebagai lingkungan tempat (juga lingkungan orang) suatu kaidah hukum yang berlaku sah. Oleh karena itu desentralisasi mengandung teritorial dan fungsional. Lebih spesifik Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam pasal 1 ayat (7) dijelaskan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

  Pasal 1 ayat (2) dijelaskan bahwa pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut azas desentralisasi, pasal ini menunjukkan bahwa otonomi merupakan aplikasi dari azas desentralisasi tersebut.

13 Menurut Bagir Manan , otonom adalah hak untuk mengatur dan mengurus sendiri

  urusan pemerintahan tertentu di bidang administrasi negara yang merupakan urusan rumah tangga daerah. Hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri menimbulkan adanya otonom atau dikenal

13 Bagir Manan, Op.Cit, hal. 40

  dengan daerah otonom. Sedangkan secara tegas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (5) menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  14 Seiring dengan pendapat-pendapat di atas, Mohammad Hatta menyebutkan :

  “Menurut dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri melainkan juga pada tiap tempat di kota, didesa, dan di daerah. Tiap-tiap golongan persekutuan itu mempunyai badan perwakilan sendiri, seperti gemeenterraad, Provincial Road dan lain-lain, dengan keadaan demikian tiap-tiap atau golongan mendapat otonom”.

  Berdasarkan pendapat di atas, maka dalam Negara kesatuan yang diikuti dengan prinsip demokrasi, penyerahan kewenangan pusat kepada daerah merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar. Dengan desentralisasi pemerintah akan dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap masyarakat yang mempunyai berbagai tuntutan yang berbeda antara satu dengan daerah lain. Tujuan utama pemberian otonomi luas kepada daerah adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan menumbuhkan kemandirian daerah untuk mengelola serta mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah “Terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis dan bertanggungjawab” yang berarti bahwa pemberi otonomi daerah didasarkan pada faktor-faktor perhitungan dan tindakan atau kebijaksaan yang benar-benar menjamin daerah yang bersangkutan untuk mengurus rumah tangganya sendiri.

  Sehubungan dengan paparan di atas, maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sebelumnya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Salah satu perubahan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah adalah disahkannya pengaturan mengenai pemerintahan daerah dengan pemerintahan desa. Apabila sebelumnya pemerintahan daerah dan pemerintahan desa diatur dalam dua paket undang-undang yang berbeda, maka dalam Undang-Undang Nomor

14 Mohammad Hatta, dalam Bagir Manan, Op.Cit, hal. 42.

  32 Tahun 2004, selain mengatur tentang pemerintahan desa sehingga terjadinya penghematan produk hukum serta pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah.

C. Pengawasan Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

  Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah dimaksudkan sebagai upaya nyata dan terpadu dalam menjalankan asas desentralisasi. Penguatan asas tersebut hanya dilihat dari sejauh mana pelaksanaan otonomi daerah oleh pemerintahan di daerah mampu dibina dan diawasi secara benar dan bertanggungjawab. Pembinaan dan pengawasan menjadi penting, sebab tidak jarang hal tersebut menemukan berbagai kendala atau berbeda dengan realitasnya dilapangan.

  1. Pengertian Umum Pengawasan

  15 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan WJS. Poerwadarminta , pengawasan

  adalah bentuk kata berimbuhan pe- an, berasal dari kata “awas” yang berarti dapat melihat baik- baik, waspada dan lain- lain. Dengan kata lain pengawasan dapat diartikan kurang lebih “mampu mengetahui secara cermat dan seksam a”, sebagai bentuk kata kerja. Untuk dapat melakukan pengawasan diperlukan orang/subjek yang disebut “pengawas”, dapat berbentuk orang perorangan maupun bentuk Badan/Lembaga/Instansi, yang mempunyai tugas sebagai mata dan telinga Pimpinan/Manager suatu organisasi. Semakin berkembangnya suatu organisasi, serta semakin luas dan banyaknya urusan/pekerjaan yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan organisasi, membuat Pimpinan/Manager tidak mempunyai waktu dan kesempatan yang cukup untuk mengawasi jalannya organisasi secara pribadi, maka untuk itu memerlukan untuk mendelegasikan kewenangannya/menggunakan tenaga staf sebagai ganti dirinya dengan tugas khusus mengawasi organisasi apakah segala macam pekerjaan dilaksanakan sesuai rencana yang telah ditetapkan

15 WJS. Poerwadarmita, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hal. 153.

  sebelumnya secara berdaya guna, berhasil guna dan tepat dalam rangka mencapai tujuan organisasi.

16 Selanjutnya Soejamto memberikan batasan mengenai pengertian pengawasan adalah

  segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kegiatan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan dan menilai kenyataan apakah sesuai dengan semestinya atau tidak. Sedangkan istilah pengawasan dalam bahasa Inggris, disebut “Controlling” diterjemahkan dengan istilah pengawasan dan pengendalian, sehingga istilah controlling ini lebih luas artinya daripada pengawasan. Dikalangan para ahli telah disamakan pengertian “controlling” ini dengan pengawasan, jadi pengawasan termasuk pengendalian. Ada juga yang tidak setuju disamakannya makna istilah “controlling” ini dengan pengawasan karena controlling pengertiannya lebih luas daripada pengawasan. Dikatakan bahwa pengawasan adalah hanya kegiatan mengamati saja atau hanya melihat sesuai dengan rencana dan melaporkan hasil kegiatan sedangkan controlling disamping melakukan pengawasan juga melakukan kegiatan pengendalian yakni menggerakkan, memperbaiki dan meluruskan menuju arah yang benar.

  SP Siagian memberikan definisi pengawasan sebagai berikut proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin supaya semua pekerjaan yang sedang

  17 dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.

18 Selanjutnya M. Manullang mengatakan pendapatnya mengenai pengertian dari

  pengawasan yaitu suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilai dan mengoreksi bila perlu dengan maksud supaya pekerjaan sesuai dengan rencana semula.

  Kemudian dalam kata pengawasan ada istilah yang disebut dengan pemeriksaan dimana

  19

  pemeriksaan ini diartikan oleh Soejamto, sebagai berikut : “Pemeriksaan adalah suatu cara untuk bentuk kritik pengawasan yang dilakukan dengan jalan mengamati, menyelidiki atau mempelajari pekerjaan akan segala dokkumen dan keterangan- keterangan lainnya yang bersangkutan dengan pelaksanaan pekerjaan tersebut akan menerangkan hasil nya dalam Berita Acara Pemeriksaan”.

  16 Soejamto, Beberapa Pengertian Tentang Pengawasan, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983), hal. 32.

  17 SP. Siagian, Pengawasan dan Pengendalian diBidang Pemerintahan, UI Press, Jakarta, 1994, hal. 57.

  18 M. Manullang, Manajemen Personalia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1976, hal. 32.

  19 Soejamto, Op.Cit, hal. 18.

20 Menurut Panglaykin dan Hazil , pengawasan adalah kegiatan yang meliputi aspek-aspek

  mengawasi, penelitian, apakah yang dicapai itu sesuai dan sejalan dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan lengkap dengan perencanaan/kebijaksanaan, program dan lain sebagainya. Dengan demikian dapat diambil suatu pengertian bahwa pengawasan merupakan jaminan atau penjagaan supaya dapat diperoleh hasil yang sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa :

  a. Pelaksanaan pengawasan itu menitikberatkan kepada pekerjaan-pekerjaan yang sedang berjalan.

  b. Pengawasan tersebut adalah suatu proses pengamatan untuk mencapai sasaran tugas dengan baik dan bukan untuk mencari kesalahan seseorang yaitu tidak mengutamakan mencapai siapa yang salah;

  c. Apabila ditemukan kesalahan, penyimpangan dan hambatan supaya diteliti apa penyebabnya dan mengusahakan cara memperbaikinya; d. Pengawasan itu merupakan proses yang berlanjut, yang dilaksanakan terus menerus sehingga dapat diperoleh hasil pengawasan yang berkesinambungan.

  Pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah dimaksudkan untuk mencapai

  21

  beberapa tujuan yaitu untuk :

  a. Mencapai tingkat kinerja tertentu;

  b. Menjamin susunan administrasi yang baik dalam operasi unit-unit pemerintah daerah baik secara internal maupun dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga lain; c. Memperoleh perpaduan yang maksimum dalam pengelolaan pembangunan daerah dan nasional; d. Melindungi warga masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan di daerah;

  e. Mencapai integritas nasional; dan

  f. Pembinaan dan pengawasan tetap dijaga agar tidak membatasi inisiatif dan tanggungjawab daerah, di samping itu hal ini merupakan upaya menyelaraskan nilai efisiensi dan demokrasi.

  Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditentukan tentang pengawasan fungsional sebagaimana juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

20 Panglaykin dan Hazil, Wetwork Perencanaan dan Pengawasan Aktivitas Perusahaan, BPFE UGM, Yogyakarta, 1986, hal 91.

  21 khususnya pada Pasal 3 ayat (1) dan (2) ditentukan bahwa pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pejabat Pengawas Pemerintah dan dikoordinasikan oleh Inspektur Jenderal. Kembali ditegaskan bahwa pelaksanaan pengawasan fungsional tersebut dilakukan dalam kategori lembaga teknis daerah dan salah satu tugas lembaga teknis daerah itu adalah pengawasan seperti ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1), (2), (3) dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

  Adapun asas-asas yang harus dipatuhi dalam melakukan pengawasan antara lain sebagai berikut :

  1. Asas legalitas, yaitu pelaksanaan pengawasan haruslah berdasarkan pada suatu kewenangan yang diatur menurut Peraturan Perundang-Undangan.

  2. Asas pengawasan terbatas, yaitu pengawasan yang dibatasi pada sasaran yang telah dijadikan pedoman pada waktu kewenangan tersebut diberikan.

  3. Asas motivasi, yaitu bahwa alasan-alasan untuk melaksanakan pengawasan harus dapat mendukung keputusan yang diambil berdasarkan pengawasan tadi dan keputusan tersebut haruslah dimotivasi oleh masyarakat luas.

  4. Asas kecermatan, yaitu dalam melakukan pengawasan harus bersifat hati-hati dan teliti.

  5. Asas kepercayaan, yaitu bahwa hasil pengawasan itu harus dapat dipertanggungjawabkan pada pihak manapun.

  2. Maksud dan Tujuan Pengawasan Setiap kekuasaan sekecil apapun cenderung untuk disalahgunakan. Oleh sebab itu, dengan adanya keleluasaan bertindak dari aparatur negara dalam lingkkup pemerintahan yang memasuki semua sektor kehidupan masyarakat, yang kadang-kadang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat itu sendiri. Maka sangat wajar apabila timbul suatu keinginan untuk mengadakan suatu sistem pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, yang merupakan jaminan agar jangan sampai keadaan negara menjerumus ke arah diktator, dengan tanpa batas melaksanakan kewenangannya yang bertentangan dengan ciri negara hukum

  22

  . Oleh karena itu, sistem pengawasan memiliki maksud dan tujuan sebagai berikut : a. Agar terciptanya jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat agar pemerintah tidak melakukan tindakan yang sewenang-wenang dalam pelaksanaan tugasnya.

  23

  b. Agar juga ada perlindungan hukum bagi pemerintah dalam bertindak yang berarti segala tindakan pemerintah sesuai dengan aturan hukum dan tidak melakukan perbuatan yang salah menurut hukum;

  24

  c. Pengawasan itu sendiri menilai suatu pelaksanaan tugas secara de facto;

  25

  d. Tujuan dari pengawasan hanya terbatas pada pencocokan apakah kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan tolak ukur yang telah ditetapkan sebelumnya (dalam hal berwujud dalam suatu rencana).

26 Pengawasan selalu terkait dengan sistem manajemen apalagi jika dihubungkan dengan

  sistem manajemen pemerintahan, maka oleh karena itu pengawasan akan selalu diperlukan untuk menjamin pelaksanaan, perencanaan, dan tugas-tugas pemerintah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Apabila dihubungkan dengan pemerintahan yang dalam hal ini mempunyai tugas salah satunya menjalankan serta menciptakan iklim usaha atau kondisi yang baik pada negara untuk kepentingan pembangunan, dan dalam rangka proses menciptakan pembangunan yang kondusif itu maka peranan pengawasan pun akan sangat penting. Hal ini sejalan dengan pendapat Ismail Saleh, yang menyebutkan bahwa :

  “Pengawasan sebagai faktor pengaman pembangunan tidak boleh diabaikan, bahkan ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembangunan itu sendiri. Tanpa adanya pengawasan pembangunan akan terjadi banyak kebocoran, dan kebocoran itu pada dasarnya mampu menggagalkan pembangunan. Sehubungan dengan hal itu, maka seiring dengan lajunya pembangunan maka pengawasan pun tidak boleh surut. Semakin meningkatnya pembangunan maka pengawasan pun semakin tidak boleh surut. Dan tujuan pengawasan yang utama adalah ikut berusaha memperlancar roda pembangunan, serta mengamankan hasil-hasil pembangunan”.

  22 SF. Marbun, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UI Press Yogyakarta, 2001, hal. 261.

  23 Ibid, hal. 263.

  24 Ibid

  25 Nimatul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah dan Problematika, Pustaka Pelajar, 2005, hal. 68.

  26 Ibid

  27 Ismail Saleh, Ketertiban dan Pengawasan, Haji Mas Agung, Jakarta, 1998, hal. 1-2.

  27

  Dapat dikatakan bahwa untuk menjamin hasil optimal yang diharapkan dari kegiatan aparatur pemerintahan dalam mengemban tugas pembangunan, diperlukan pengawasan secara berkesinambungan dan berlangsung terus menerus sesuai dengan tingkat perkembangan pembangunan dan rencana yang telah ditetapkan.

28 Menurut Manullang tujuan pengawasan adalah agar pelaksanaan pekerjaan sesuai

  dengan instruksi yang dikeluarkan untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang dihadapi yang sekaligus dapat diambil tindakan-tindakan perbaikan.

  29 Selanjutnya Josef Riwu Kaho menyebutkan tujuan dari pengawasan :

  a. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan pemerintahan telah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan atau belum; b. Untuk mengetahui kesulitan apa yang dijumpai oleh para pelaksana sehingga dengan demikian dapat diambil langkah-langkah guna perbaikan dikemudian hari; c. Mempermudah atau meringankan tugas-tugas pelaksanaan karena pelaksanaan tidak mungkin dapat melihat kemungkinan-kemungkinan kesalahan yang dibuatnya karena kesibukan- kesibukan sehari-hari; dan d. Pengawasan bukanlah mencari-cari kesalahan, akan tetapi untuk memperbaiki kesalahan.

  30 Sedangkan menurut soewarno Handayaningrat, mengatakan bahwa pengawasan

  ber tujuan, “Agar hasil pelaksanaan pekerjaan diperoleh secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif), sesuai dengan rencana yang telah ditentukan”. Secara garis besarnya, dalam penelitian ini diperoleh bahwa tujuan pengawasan itu adalah : a. Agar terjadinya aparatur pemerintah yang berwibawa, bersih dan bertanggungjawab yang didukung oleh situasi system manajemen pemerintahan yang berdaya guna dan berhasil guna serta ditunjang oleh partisipasi masyarakat yang terkonstruktif dan terkendali dalam wujud pengawasan masyarakat yang objektif, sehat serta bertanggungjawab.

  b. Agar terselenggaranya tertib administrasi di lingkungan aparatur pemerintah serta menumbuhkan disiplin kerja yang sehat; dan c. Agar terdapat kelugasan dalam menjalankan peranan, tugas, fungsi atau kegiatan yang tumbuh budaya malu dari dalam diri masing-masing aparatur, rasa bersalah dan berdosa yang lebih mendalam untuk berbuat hal-hal yang tercela terhadap masyarakat dan jajarannya.

  28 M. Manullang, Op.Cit, hal.68.

  29 Josep Riwo M. Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta ; 1982, hal. 30.

  30 Hadayaningrat Soewarno, Pengantar studi Ilmu Administrasi dan Manajemen, Gunung Agung, Jakarta, 1981), hal. 71.

  Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa pengawasan itu merupakan alat pengontrol, pembimbing serta pencegah, kemudian melakukan tindakan perbaikan untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan.

  3. Prinsip-Prinsip dan Landasan Pengawasan Untuk mendapatkan pengawasan yang efektif dan efisien tentunya tidak terlepas dari prinsip-prinsip yang menjadi landasan dan terkandung dalam pengawasan itu sendiri. Adapun prinsip-prinsip yang terkandung dalam melakukan pengawasan tersebut adalah sebagai berikut :

  a. Objek yang menghasilkan fakta. Pengawasan harus objektif dan harus dapat menemukan fakta atau bukti konkrit tentang pelaksanaan pekerjaan dan berbagai faktor yang mempengaruhinya.

  b. Pengawasan berpedoman pada kebijakan yang berlaku. Untuk mengetahui dan menilai ada tidaknya indikasi penyimpangan dan kesalahan, haruslah bertolak pangkal dari keputusan pimpinan yang tercantum dalam; 1) Peraturan-peraturan yang telah ditetapkan; 2) Pedoman kerja yang telah digariskan; 3) Rencana kerja yang telah ditetapkan dan 4) Tujuan dan sasaran yang ditetapkan

  c. Preventif. Pengawasan harus bersifat mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan atau kesalahan. Oleh karena itu pengawasan harus dilakukan dengan menilai rencana yang akan dilakukan.

  d. Pengawasan Bukan Tujuan. Pengawasan hendaknya tidk dijadikan tujuan, namun hanya sarana untuk menjamin dan meningkatkan efisiensi dan efektifitas pencapaian suatu tujuan organisasi.

  e. Effisiensi. Pengawasan harus dilakukan secara efisien, bukan justru menghambat efisiensi pelaksanaan pekerjaan.

  f. Menemukan apa saja yang salah. Pengawasan terutama harus ditujukan mencari apa yang salah, penyebab kesalahan dan bagaimana sifat kesalahan tersebut.

  g. Hasil temuan dari hasil pengawasan berupa pemeriksaan haruslah diikuti dengan tindak lanjut.

  Adapun landasan dari pelaksanaan pengawasan Indonesia antara lain sebagai berikut :

  1. Landasan Idil Pelaksanaan pembangunan di lingkungan pemerintah khususnya pembangunan di bidang pengawasan adalah berdasarkan Pancasila sebagai landasan idil dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitutisional. Dalam hubungan itu yang penting bagi pembangunan, pengawasan harus dijiwai oleh norma-norma luhur Pancasila yang berfungsi mengatur, membatasi dan mengarah pada pola sikap, pola pikir dan pola tindak dalam pelaksanaan pengawasan. Disamping itu pelaksanaannya harus memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang berlaku baik bersumber dari Undang-Undang Dasar 1945 maupun sumber-sumber hukum yang lain yang dijabarkan dari hukum dasar tersebut.

  2. Landasan Formil Untuk melaksanakan pembangunan di bidang pengawasan diperlukan pedoman. Oleh karena itu landasan formil bagi pelaksanaan pembangunan di bidang pengawasan di Indonesia mengacu pada Program Pembangunan Nasional (Propenas).

  Program Pembangunan Nasional (Propenas) sebagai pedoman pelaksanaan pembangunan yang ditetapkan lima tahun sekali oleh Presiden bersama Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) untuk tahun 2001 menyatakan bahwa penyelenggaraan negara yang menyeluruh untuk pembangunan tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta mewujudkan kemajuan di segala bidang yang menempatkan Bangsa Indonesia sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

  Landasan kebijaksanaan pengawasan dalam organisasi pemerintah adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) No. II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang telah menggariskan pokok-pokok arah dan kebijaksanaan pembangunan aparatur pemerintah sebagai berikut :

  1. Pembangunan aparatur pemerintah diarahkan untuk menciptakan aparatur yang efisien, efektif, bersih dan berwibawa serta mampu melaksanakan seluruh tugas umum pemerintahan dan pembangunan dengan sebaik-baiknya dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian pada masyarakat, bangsa dan negara. Dalam hubungan ini kemampuan aparatur pemerintah untuk merencanaka, melaksanakan, mengawasi dan mengendalikan pembangunan perlu ditingkatkan.

  2. Disamping itu, kebijaksanaan dan langkah-langkah penertiban aparatur pemerintah perlu dilanjutkan dan semakin ditingkatkan, terutama dalam rangka menanggulangi masalah korupsi, penyalahgunaan wewenang, kebocoran dan pemborosan kekayaan dan keuangan Negara, pemungutan liar serta berbagai bentuk penyelewengan lainnya yang dapat menghambat pelaksanaan pembangunan serta merusak citra dan kewibawaan aparatur pemerintah. Untuk itu, perlu ditingkatkan secara lebih terpadu pengawasan dan langkah-langkah penindakannya serta dikembangkan kesetiakawanan sosial dan disiplin nasional.

  3. Landasan Fungsional Perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian merupakan fungsi manajemen yang harus diemban atau dilaksanakan oleh aparat pemerintah sebagai penyelenggara negara. Dengan demikian berarti keharusan melaksanakan manajemen yang berdaya guna dan berhasil guna khususnya dalam proses pengawasan merupakan landasan fungsional yang diemban oleh pejabat negara yang menempati posisi pimpinan dari tingkat yang paling rendah sampai tingkat yang paling tinggi.

  Berdasarkan landasan tersebut berarti pula bahwa kewenangan pengawasan berada pada pejabat/pimpinan, baik pejabat/pimpinan struktural sebagai atasan terhadap bawahannya, maupun pejabat/pimpinan sesuai dengan tugas yang dipimpinnya maupun pimpinan proyek.

  4. Subyek Pengawasan Pada prinsipnya pengawasan adalah salah satu unsur penting dalam rangka peningkatan pendayagunaan aparatur pemerintah dalam mendukung keberhasilan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan pengertian di atas maka pengawas tersebut adalah pegawai yang bertugas melakukan pengawasan, yang meliputi dua pengertian pokok yaitu para petugas pengawasan fungsional dan para pejabat atau pimpinan yang karena jabatannya harus senantiasa melakukan pengawasan dan pengendalian seluruh pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh perangkatnya.

  Dalam melakukan pengawasan kepribadian pengawas hendaknya dilandasi sifat jujur, berani, bijaksana dan bertanggungjawab selain itu juga harus memiliki keahlian atau kemampuan

  31

  teknik yang diperlukan dalam bidang tugasnya. Sehubungan dengan hal tersebut Sujamto berpendapat bahwa ada tiga kelompok atau tiga garis keahlian yang diperlukan oleh setiap pengawas, yaitu :

31 Sujamto, Op.Cit, hal. 2-3

  a. Keahlian atau pengetahuan yang menyangkut obyek yang diawasi/diperiksa;

  b. Keahlian tentang teknik atau cara melakukan pemeriksaan; dan c. Keahlian dalam menyampaikan hasil pengawasan/pemeriksaan.

  Dengan demikian jelas bahwa pengawasan mempunyai landasan yang kuat, baik landasan idil, landasan formil maupun landasan fungsional. Selanjutnya kepada pimpinan suatu organisasi pemerintahan tertentu dibentuk perangkat pengawasan fungsional menurut Pasal 9 adalah kegiatan pengawasan penyelenggaraan Pemerintah Daerah oleh Pejabat Pengawas dilakukan melalui kegiatan pemeriksaan, monitoring dan evaluasi. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang PedomanPembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah pada Pasal 28 ayat (1) berbunyi, “Aparat pengawas intern pemerintah melakukan pengawasan sesuai fungsi dan kewenangannya melalui : a. Pemeriksaan dalam rangka berakhirnya masa jabatan kepala daerah;

  b. Pemeriksaan berkala atau sewaktu-waktu maupun pemeriksaan terpadu;

  c. Pengujian terhadap laporan berkala dan/atau sewaktu-waktu dari unit/satuan kerja;

  d. Pengusutan atas kebenaran laporan mengenai adanya indikasi terjadinya penyimpangan, korupsi, kolusi dan nepotisme; e. Penilaian atas manfaat dan keberhasilan kebijaksanaan, pelaksanaan program dan kegiatan; dan

f. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dan pemerintahan desa”.

  Dalam pasal 44 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 disebutkan bahwa pemerintah memberikan penghargaan kepada pemerintahan daerah, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, anggota Dewan Perakilan Rakyat Daerah, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah, kepala desa, perangkat desa, dan angota badan permusyawaratan desa. Disamping hal tersebut, pemerintah dapat memberi sanksi sesuai dengan Pasal 45 ayat (2) yaitu dapat berupa : a. Penataan kembali suatu daerah otonom,

  b. Pembatalan pengangkatan pejabat;

  c. Penangguhan dan pembatalan suatu kebijakan daerah;

  d. Administratif; dan/atau e. Finansial.

Dokumen yang terkait

Efektifitas Dari Pelaksanaan Pelimpahan Tugas Dari Walikota Kepada Camat Dalam Pelaksanaan Tugas Pembangunan Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara

0 85 97

Peranan Inspektorat Dalam Pelaksanaan Pengawasan Otonomi Daerah Di Provinsi Sumatera Utara Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara

7 125 67

Peranan Inspektorat Provinsi Sumatera Utara Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Provinsi Sumatera Utara

6 84 104

Kajian Kritis Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Perkotaan Dalam Perspektif Otonomi Daerah Di Sumatera Utara

0 31 119

Realisasi Pengutipan Retribusi Perparkiran Di Kota Medan Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara

2 35 67

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERIZINAN DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN A. Pengertian Tempat Hiburan - Prosedur Perolehan Izin Tempat Hiburan Ditinjau Dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi Peraturan Daerah Kota Medan Peraturan Daerah (Perda)

0 0 13

BAB II DINAS PENDAPATAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA A. Sejarah Ringkas Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Utara - Sistem Informasi Akuntansi Pendapatan pada Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 30

BAB II PROFIL DINAS PERHUBUNGAN PROVINSI SUMATERA UTARA - Peranan Komputer Sebagai Alat Pengolah Data Akuntansi Pada Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara

0 1 12

BAB II DINAS PERHUBUNGAN PROVINSI SUMATERA UTARA A. Sejarah Ringkas - Sistem Pengawasan Internal Kas Pada Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara

0 0 17

BAB II PROFIL BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA A. Sejarah Ringkas Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Sumatera Utara - Peranan Sistem Informasi Akuntansi Atas Aktiva Tetap Pada Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 18