BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Kinerja 2.1.1. Definisi - Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Dukun Bayi Terlatih Dalam Melakukan Pertolongan Persalinan di Wilayah Kerja Puskesmas Kejuruan Muda Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2013

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Kinerja

2.1.1. Definisi

  Kinerja berasal dari pengertian performance. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kinerja adalah sesuatu yang dicapai; prestasi yang diperlihatkan; kemampuan kerja (tentang peralatan). Sedang menurut istilah, kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya (Wibowo, 2007).

  Mangkunegara (2005) mengemukakan istilah kinerja berasal dari kata job

  

performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang

  dicapai seseorang) yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya.

  Menurut Ilyas (2001), kinerja adalah penampilan hasil kerja personal baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi dan merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja personal. Sementara Fishbien dalam Widodo (2010) mengemukakan bahwa kinerja seseorang adalah penampilan (Performance) atau perilaku seseorang dalam menjalankan pekerjaan. Performance dan perilaku adalah sesuatu yang terbentuk karena ditanamkan oleh orang lain, lingkungan, kondisi sosial budaya, atau dipelajari secara sengaja oleh orang yang bersangkutan.

  Kinerja mencakup beberapa variabel yang berkaitan; input, perilaku-perilaku (proses), output dan outcome (dampak). Variabel-variabel tersebut tidak dapat dipisahkan dan saling berkaitan. Dalam satu organisasi yang terdiri dari individu- individu yang memiliki karakteristik yang berbeda, perilaku individu dalam organisasi berpengaruh terhadap output dan outcome yang akan diraih oleh organisasi. Organisasi akan berhasil mencapai tujuannya apabila perilaku-perilaku individu dapat diarahkan dan dimotivasi untuk mencapai output tertentu (Tika M.P, 2006).

2.1.2. Teori Kinerja

  Beberapa teori kinerja dikemukakan sebagai berikut : 1. Model Vroomian Vroom mengemukakan bahwa “performance = f (ability x motivation)”.

  Menurut model ini kinerja seseorang merupakan fungsi perkalian antar kemampuan (ability) dan motivasi (motivation). Hubungan perkalian tersebut mengandung arti bahwa: jika seseorang rendah pada salah satu komponen maka prestasi kerjanya akan rendah pula. Kinerja seseorang yang rendah merupakan hasil dari motivasi yang rendah (Mulyasa, 2003).

2. Model Lawler dan Potter

  Lawler dan Potter mengemukakan bahwa “Performance = Effort x Ability x Role

  

Perceptions” . Effort adalah banyaknya energi yang dikeluarkan seseorang dalam

  situasi tertentu, abilities adalah karakteristik individu seperti intelegensi, keterampilan, sifat sebagai kekuatan potensial untuk berbuat dan melakukan sesuatu. Sedangkan role perceptions adalah kesesuaian antara usaha yang dilakukan seseorang dengan pandangan atasan langsung tentang tugas yang seharusnya dikerjakan. Hal yang baru dalam model ini adalah “role perceptions” sebagai jenis perilaku yang paling cocok dilakukan individu untuk mencapai sukses (Mulyasa, 2003).

3. Model Ander dan Butzin

  Ander dan Butzin mengajukan model kinerja sebagai berikut: “Future

  Performance = Past Performance + (Motivation x ability)” . Jika semua teori

  tentang kinerja dikaji, maka di dalamnya melibatkan dua komponen utama yakni

  

“ability” dan “motivation”. Perkalian antara ability dan motivation menjadi

  sangat populer, sehingga mengadakan pengukuran terhadap kinerja berdasarkan suatu formula: “Performance = Ability x Motivation” (Mulyasa, 2003).

  Formula terakhir menunjukkan bahwa kinerja merupakan hasil interaksi antara motivation dengan ability, orang yang tinggi ability-nya tetapi rendah motivasinya akan menghasilkan kinerja yang rendah, demikian halnya orang bermotivasi tinggi tetapi ability-nya rendah (Mulyasa, 2003).

2.1.3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja

  Menurut A. Dale Timple dalam Mangkunegara (2005), faktor-faktor yang memengaruhi kinerja terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal (disposisional), yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang. Faktor eksternal, yaitu faktor-faktor yang memengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan, seperti perilaku, sikap, dan tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja, dan iklim organisasi. Faktor-faktor internal dan eksternal ini merupakan jenis-jenis atribusi yang memengaruhi kinerja seseorang.

  Menurut Mangkunegara (2005), faktor penentu kinerja seseorang dalam organisasi adalah faktor individu dan faktor lingkungan.

  1. Faktor individu Secara psikologis, individu yang normal adalah individu yang memiliki integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisiknya. Konsentrasi yang baik ini merupakan modal utama individu untuk mampu mengelola dan mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerja sehari-hari dalam mencapai tujuan organisasi.

  2. Faktor lingkungan Faktor lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu dalam mencapai prestasi kerja. Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, autoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja efektif, hubungan kerja harmonis, iklim kerja respek dan dinamis, peluang berkarir dan fasilitas kerja yang relatif memadai.

  Gibson (1987) menyatakan terdapat tiga kelompok variabel yang mempengaruhi kinerja dan perilaku yaitu: (1) variabel individu, yang meliputi kemampuan dan ketrampilan, fisik maupun mental, latar belakang, pengalaman dan demografi, umur dan jenis kelamin, asal usul dan sebagainya. Kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi kinerja individu, sedangkan demografi mempunyai hubungan tidak langsung pada perilaku dan kinerja, (2) variabel organisasi, yakni sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan, (3) variabel psikologis, yakni persepsi, sikap, kepribadian, belajar, kepuasan kerja dan motivasi. Persepsi, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang kompleks dan sulit diukur serta kesempatan tentang pengertiannya sukar dicapai, karena seseorang individu masuk dan bergabung ke dalam suatu organisasi kerja pada usia, etnis, latar belakang, budaya dan ketrampilan yang berbeda satu sama lainnya. Diagram teori perilaku dan kinerja digambarkan sebagai berikut:

  • Kemampuan dan keterampilan :
  • Persepsi • Sikap • Kepribadian • Belajar • Motivasi
  • >Sumber daya
  • Kepemimpinan • Imbalan • Struktur

    • Desain pekerjaan

Gambar 2.1. Diagram Skematis Teori Perilaku Dan Kinerja dari Gibson (1987)

  Variabel individu dikelompokkan pada sub-variabel kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan demografis. Sub-variabel kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama yang memengaruhi perilaku dan kinerja individu. Variabel demografis mempunyai efek tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu.

  Variabel Individu :

   Mental  Fisik • Latar belakang

   Keluarga  Tingkat sosial

   Pendidikan  Pengalaman • Demografis  Umur  Etnis  Jenis kelamin Perilaku individu

  (apa yang dikerjakan) Kinerja

  (hasil yang diharapkan) Psikologis:

  

Variabel organisasi : Variabel organisasi, menurut Gibson (1987) berefek tidak langsung terhadap perilaku dan kinerja individu. Variabel organisasi digolongkan dalam sub-variabel sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan.

  Variabel psikologik terdiri dari sub-variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel ini menurut Gibson (1987), banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis. Variabel psikologis seperti persepsi, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang kompleks dan sulit untuk diukur, juga menyatakan sukar mencapai kesepakatan tentang pengertian dari variabel tersebut, karena seorang individu masuk dan bergabung dalam organisasi kerja pada usia, etnis, latar belakang budaya dan keterampilan berbeda satu dengan yang lainnya.

  Stoner (1994) menyatakan bahwa kinerja individu disamping dipengaruhi oleh motivasi dan pengetahuan juga dipengaruhi oleh faktor persepsi peran yaitu pemahaman individu tentang perilaku apa yang diperlukan untuk mencapai prestasi individu. Kemampuan (ability) menunjukkan kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan dan tugas.

2.1.3. Penilaian Kinerja

  Penilaian kinerja (performance appraisal) adalah proses melalui mana organisasi-organisasi mengevaluasi dan menilai kinerja pegawai. Apabila penilaian kinerja tersebut dilaksanakan dengan baik, tertib dan benar, dapat membantu meningkatkan motivasi kerja sekaligus juga meningkatkan loyalitas organisasional dari para pegawai.

  Penilaian kinerja pegawai, pada dasarnya merupakan penilaian yang sistematik terhadap penampilan kerja pegawai itu sendiri dan terhadap taraf potensi pegawai dalam upayanya mengembangkan diri untuk kepentingan instansi. Dengan pelaksanaan penilaian yang ada akan menimbulkan suasana kerja yang sehat, bersemangat, saling menghargai bidang-bidang lain dan merasa memiliki instansi sebagai suatu kesatuan. Simamora (2004) mengemukakan tiga hal yang dimasukkan dalam penilaian kinerja yaitu tingkat kedisiplinan, tingkat kemampuan, serta perilaku- perilaku inovatif dan spontan. Sedangkan Davis dan Newstrom (2004) menyatakan agar penilaian kinerja yang dilakukan dapat lebih dipercaya dan objektif, perlu dirumuskan batasan atau faktor-faktor penilaian kinerja sebagai berikut:

  1. Performance, keberhasilan atau pencapaian tugas dalam jabatan.

  2. Competency, kemahiran atau penguasaan pekerjaan sesuai dengan tuntutan jabatan.

  3. Job behavior, kesediaan untuk menampilkan perilaku atau mentalitas yang mendukung peningkatan kinerja.

  4. Potency, kemampuan pribadi yang dapat dikembangkan.

  Davis dan Newstrom (2004) mengemukakan kegunaan penilaian kinerja sebagai berikut:

  1. Meningkatkan kinerja; umpan balik kinerja akan mendorong para pegawai, manager dan bagian personalia untuk mengambil langkah-langkah guna meningkatkan kinerja.

  2. Penentuan kompensasi; hasil evaluasi kinerja dapat membantu dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan penentuan kenaikan gaji dan penetapan bonus.

  3. Keputusan penempatan promosi; pemindahan dan demosi umumnya ditentukan berdasarkan kinerja, promosi yang merupakan ganjaran (reward) hasil kinerja.

  4. Kebutuhan pendidikan dan pelatihan; hasil evaluasi kinerja dapat digunakan untuk menganalisis kebutuhan pendidikan dan pelatihan karyawan yang diperlukan.

  5. Pengembangan dan perencanaan karir; umpan balik kinerja merupakan pedoman dalam menentukan keputusan karir sesuai dengan hasil perencanaan kerja.

  6. Evaluasi proses penyusunan karyawan (staffing); hasil penilaian kinerja akan memperlihatkan kekuatan atau kelemahan prosedur penyusunan pegawai.

  7. Analisis ketidakakuratan informasi personalia; kinerja yang rendah menunjukkan kemungkinan terjadinya kesalahan pada informasi analisis pekerja, perencanaan personalia atau hal lain dalam sistem informasi manajemen personalia. Ketidakakuratan informasi tersebut akan menyebabkan kesalahan dalam keputusan perekrutan atau pelatihan.

  8. Analisis kesalahan perencanaan pekerja (job design); kinerja yang rendah menunjukkan kemungkinan terjadi kesalahan pada perencanaan pekerjaan.

  9. Kesempatan yang sama; penilaian kinerja yang akurat akan menghindari kesalahan pengambilan keputusan personalia terhadap hal-hal diskriminatif.

  10. Tantangan eksternal; kinerja juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar lingkungan kerja, seperti keluarga, keuangan, kesehatan atau masalah pribadi lainnya.

  11. Umpan balik bagi fungsi sumber daya manusia; kinerja dalam suatu organisasi menunjukkan tingkat keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan fungsi Sumber Daya Manusia.

2.2. Dukun Bayi

2.2.1. Definisi

  Koentjaraningrat (2004), dukun bayi yaitu mereka yang memberi pertolongan pada waktu kelahiran atau dalam hal-hal yang berhubungan dengan pertolongan kelahiran, seperti memandikan bayi, upacara menginjak tanah, dan upacara adat seremonial lainnya. Pada kelahiran anak dukun bayi yang biasanya adalah seorang wanita tua yang sudah berpengalaman, membantu melahirkan dan memimpin upacara yang bersangkut paut dengan kelahiran itu.

  Dukun bayi adalah merupakan sosok yang sangat dipercayai di kalangan masyarakat. Mereka memberikan pelayanan khususnya bagi ibu hamil sampai dengan nifas secara sabar. Apabila pelayanan selesai mereka lakukan, sangat diakui oleh masyarakat bahwa mereka memiliki tarif pelayanan yang jauh lebih murah dibandingkan dengan bidan. Umumnya masyarakat merasa nyaman dan tenang bila persalinannya ditolong oleh dukun atau lebih dikenal dengan bidan kampung, akan tetapi ilmu kebidanan yang dimiliki dukun tersebut sangat terbatas karena didapatkan secara turun temurun (tidak berkembang) (Meilani dkk, 2009).

  Dukun bayi memiliki kedudukan istimewa di tengah masyarakat desa, dukun bayi suka disebut “ibu siang”. Bagaimana layaknya seorang ibu, segala pepatah dan nasihatnya pasti dituruti. Banyak pantangan yang biasanya dibisikkan ke telinga calon ibu, apalagi bila perempuan itu mengandung anak pertama. Perlakuan dukun bayi terhadap perempuan yang baru mengandung/ hamil, biasanya lebih khusus atau istimewa (Wahyudi, 2008).

  Tak berbeda dengan seorang bidan, dukun bayi melakukan pemeriksaan kehamilan, melalui indra raba. Biasanya perempuan yang mengandung, sejak ngidam sampai melahirkan, selalu berkonsultasi kepada dukun bayi. Bedanya, di bidan, perempuan yang mengandunglah yang datang ke tempat praktik bidan. Sedangkan dukun bayi, ia sendiri yang berkeliling dari pintu ke pintu, memeriksa perut orang yang berbadan dua. Sejak usia kandungan tujuh bulan, kontrol dilakukan lebih sering.

  Dukun bayi menjaga kalau-kalau ada gangguan, baik fisik maupun nonfisik terhadap ibu dan janinnya. Agar jabang bayi lahir normal, dukun bayi melakukan repositioning janin dalam kandungan dengan cara pemutaran disertai do’a (Wahyudi, 2008).

  Dalam menolong persalinan, kesalahan yang sering dilakukan oleh dukun bayi

sehingga dapat mengakibatkan kematian ibu dan bayi antara lain: terjadinya robekan

rahim karena tindakan mendorong bayi di dalam rahim dari luar sewaktu melakukan

pertolongan pada ibu bersalin, terjadinya perdarahan pasca persalinan yang disebabkan

oleh tindakan mengurut-urut rahim pada waktu kala III, terjadinya partus tidak maju;

  

karena tidak mengenal tanda kelainan partus dan tidak mau merujuk ke puskesmas atau

rumah sakit (Syahlan, 2006).

2.2.2. Jenis-jenis Dukun Bayi

  Menurut Syafrudin (2009), jenis dukun terbagi menjadi dua, yaitu : 1. Dukun terlatih : Dukun yang telah mendapatkan pelatihan oleh tenaga kesehatan dan telah dinyatakan lulus.

2. Dukun tidak terlatih : Dukun yang belum pernah dilatih oleh tenaga kesehatan atau dukun yang sedang dilatih dan belum dinyatakan lulus.

  Penolong persalinan oleh dukun mengenai pengetahuan tentang fisiologis dan patologis dalam kehamilan, persalinan, serta nifas sangat terbatas oleh karena atau apabila timbul komplikasi ia tidak mampu untuk mengatasinya, bahkan tidak menyadari akibatnya, dukun tersebut menolong hanya berdasarkan pengalaman dan kurang profesional. Berbagai kasus sering menimpa seorang ibu atau bayi sampai pada kematian ibu dan anak (Wiknjosastro, 2007).

2.2.3. Pelatihan Dukun Bayi

  Pada tahun 1987, untuk pertama kali di tingkat internasional, diadakan konferensi di Nairobi, Kenya tentang kematian ibu. Dalam konferensi ini disepakati peningkatan upaya bagi kesehatan ibu melalui gerakan Safe Motherhood sebagai salah satu upaya untuk menurunkan kesakitan dan kematian ibu dan anak. Salah satu intervensi untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu tersebut adalah dengan peningkatan pelatihan, termasuk pelatihan dukun, terutama untuk negara- negara berkembang. (Saifuddin dkk., 2001; Jokhio et al., 2005). Sibley et al. (1998) mengemukakan bahwa efektivitas pelatihan dukun menurut sejarahnya sangat mempengaruhi kemampuan individu dalam menolong persalinan, tetapi yang terjadi keamanan persalinan yang ditolong oleh dukun terlatih tidak menjamin keselamatan ibu dan bayi.

  Penelitian yang dilakukan oleh Goodburn et al. (2000) diperoleh hasil bahwa pelatihan yang diberikan kepada dukun tentang praktek kebersihan yang dikenal dengan istilah tiga bersih; bersih tangan, bersih tempat, dan bersih alat selama menolong persalinan tidak dapat mencegah terjadinya infeksi postpartum pada ibu bersalin. Penemuan Goodburn tersebut didukung pula oleh penelitian yang dilakukan oleh Smith et al. (2000) bahwa pelatihan dukun merupakan pilihan intervensi yang tetap dianjurkan oleh sponsor karena dukun bisa diandalkan untuk meningkatkan akses ke fasilitas dan tenaga kesehatan yang berkualitas, tetapi pelatihan dukun tidak akan menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan perinatal dalam jumlah yang besar (Zulaeha, 2008).

  Dalam usaha meningkatkan pelayanan kebidanan dan kesehatan anak maka tenaga kesehatan seperti bidan mengajak dukun bayi untuk melakukan pelatihan dengan harapan dapat meningkatkan kemampuan dalam menolong persalinan, selain itu dapat juga mengenal tanda-tanda bahaya dalam kehamilan dan persalinan dan segera minta pertolongan pada bidan. Dukun yang ada harus ditingkatkan kemampuannya, tetapi kita tidak dapat bekerjasama dengan dukun dalam mengurangi angka kematian dan angka kesakitan (Wiknjosastro, 2007).

  Pelatihan dukun bayi dilakukan oleh Tim Puskesmas yang terdiri dari Dokter Puskesmas dibantu oleh Bidan Koordinator Puskesmas serta tenaga kesehatan lain.

  Pelatihan ini dilaksanakan selama 3 hari, dimana bidan desa juga diikutkan pelatihan untuk mendampingi dukun. Sesuai dengan yang dijelaskan pada poin (b) bahwa materi magang dukun mengacu pada buku Pelatihan Dukun dan Buku Pintar Depkes tahun 1996 yang meliputi: pemeriksaan kehamilan, persiapan alat pertolongan persalinan, dan pertolongan persalinan. Secara keseluruhan, ketiga materi tersebut lebih ditekankan pada beberapa hal, seperti:

1. Pengenalan ibu hamil risiko tinggi (bumil risti), 2.

  Persiapan rujukan ibu hamil dan ibu bersalin (bumil dan bulin), 3. Perawatan bayi neonatal, dan 4. Perawatan ibu nifas.

  Selanjutnya dukun bayi yang sudah dilatih melakukan pemagangan. Pemagangan dukun bayi dilaksanakan setelah selesai pelatihan di puskesmas dan dilaksanakan selama 5 hari di polindes / poskesdes. Pelaksanaannya dapat satu per satu atau dua orang dukun sekaligus tergantung fasilitas yang ada di polindes. Namun, tidak ada target harus mendapatkan persalinan selama magang, karena lebih ditujukan untuk membina hubungan emosional antara bidan dan dukun bayi.

2.2.4. Materi Pelatihan Dukun

  Materi yang diberikan pada pelatihan dukun bayi adalah sebagai berikut : 1. Melaksanakan perawatan kehamilan a.

  Dukun bayi dapat melaksanakan motivasi ibu hamil untuk : periksa diri ke bidan desa/dokter atau fasilitas kesehatan yang dekat, mendapat imunisasi TT, b.

  Dukun bayi dapat menyebutkan tanda-tanda hamil muda dan hamil tua.

  c.

  Dukun bayi dapat melaksanakan anamnese d. Dukun bayi dapat melaksanakan periksa pandang kehamilan e. Dukun bayi mampu melaksanakan periksa raba untuk menentukan usia kehamilan dan letak janin.

  f.

  Dukun bayi dapat melaksanakan perawatan payudara dan melaksanakan motivasi tentang pemberian ASI sedini mungkin.

  g.

  Dukun bayi mampu menyebutkan tanda-tanda kehamilan dengan risiko dan merujuknya ke puskesmas.

  h.

  Dukun bayi mampu melaksanakan rujukan ke puskesmas. i.

  Dukun bayi mampu melakukan motivasi KB j. Dukun bayi dapat melaksanakan pembagian tablet zat besi pada ibu hamil k.

  Dukun bayi dapat memberikan nasehat tentang makanan bergizi.

  2. Mempersiapkan pertolongan persalinan dan memimpin persalinan dengan teknik sederhana a.

  Dukun bayi dapat menyebutkan tanda-tanda persalinan normal. b.

  Dukun bayi dapat mempersiapkan lingkungan ibu bersalin dengan benar termasuk kebutuhan untuk ibu dan bayi.

  c.

  Dukun bayi dapat mempersiapkan alat-alat persalinan sederhana secara bersih.

  d.

  Dukun bayi mampu mencuci tangan sebatas siku dengan sempurna (10 menit) e. Dukun bayi mampu memimpin persalinan dengan teknik sederhana

  1) Dukun bayi dapat membimbing ibu mengejan

  2) Dukun bayi mampu merawat tali pusat

  3) Dukun bayi dapat menjelaskan tanda-tanda plasenta lepas dan memeriksa kelengkapan plasenta.

  4) Dukun bayi dapat menyebutkan tindakan-tindakan yang dilarang

  5) Dukun bayi dapat melaksanakan rujukan. 6)

  Dukun bayi mampu melaksanakan pencatatan persalinan yang baru ditolong 7) Dukun bayi mampu membagi vitamin A kepada ibu sesudah bersalin.

  3. Merawat bayi baru lahir normal dan prematur a.

  Dukun bayi melaksanakan pembersihan mata, mulut dan hidung bayi b. Dukun bayi mampu memotong dan merawat tali pusat c. Dukun bayi mampu memandikan bayi dengan benar d. Dukun bayi mampu menyebutkan tanda-tanda kelainan pada bayi e. Dukun bayi dapat memberikan nasehat agar ibu menyusui bayi sedini mungkin. f.

  Dukun bayi mampu memotivasi ibu untuk memeriksakan bayinya dan mendapatkan imunisasi dasar.

  g.

  Dukun bayi mampu merawat bayi prematur Dukun bayi mampu melaksanakan perawatan bayi prematur dengan berat badan lebih dari 2 kg dan aktif.

4. Merawat ibu nifas dan ibu menyusui a.

  Dukun bayi mampu melaksanakan perawatan perineum b. Dukun bayi dapat merawat payudara c. Dukun bayi dapat mengenal kelainan nifas d. Dukun bayi dapat melakukan motivasi KB 5. Melaksanakan penyuluhan kesehatan kepada ibu hamil/bersalin/nifas

  Dukun bayi mampu melaksanakan penyuluhan tentang : a.

  Makanan bergizi untuk ibu hamil/bayi/anak b. Imunisasi c. KB d. Pentingnya ASI e. Hygiene perorangan 6. Pelaksanaan pencatatan dan pelaporan a.

  Dukun bayi dapat melaksanakan pencatatan dan pelaporan persalinan, kematian ibu dan bayi.

  b.

  Dukun bayi dapat mengirimkan laporan persalinan.

  c.

  Dukun dapat membantu pendataan ibu hamil dan bayi.

7. Melaksanakan Rujukan

  Dukun bayi dapat melaksanakan rujukan penderita risiko tinggi pada ibu hamil, bersalin, nifas, bayi dan anak.

  (Depkes RI, 2008).

2.3. Pertolongan Persalinan

2.3.1. Definisi Persalinan

  Persalinan (partus) adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri) yang dapat hidup ke dunia luar, dari rahim melalui jalan lahir atau dengan cara lain (Wiknjosastro, 2007; Mochtar, 2008). Cara persalinan terbagi atas 2: a) Persalinan biasa atau partus spontan adalah proses lahirnya bayi pada letak belakang kepala (LBK), dengan tenaga ibu sendiri tanpa bantuan alat-alat dan berlangsung < 24 jam dan tidak melukai ibu dan bayinya. b) Persalinan luar biasa (abnormal) adalah persalinan pervaginam dengan bantuan alat-alat atau melalui dinding perut dengan operasi caesarea (Mochtar, 2008). Persalinan normal menurut Saifuddin dkk. (2008) adalah proses pengeluaran hasil konsepsi yang terjadi pada usia kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentase belakang kepala dan berlangsung 18 jam tanpa komplikasi pada ibu dan bayinya. Sebab-sebab mulainya persalinan (Wiknjosastro, 2007; Mochtar, 2008) sampai saat ini masih merupakan teori-teori kompleks. Beberapa faktor disebut faktor penyebab persalinan, antara lain faktor-faktor humoral, pengaruh prostaglandin, struktur uterus, pengaruh tekanan pada saraf, dan nutrisi. Disamping itu, perubahan-perubahan dalam biokimia dan biofisika juga mengungkapkan dimulainya proses persalinan, misalnya penurunan kadar esterogen dan progesteron yang terjadi kira-kira 1-2 minggu sebelum persalinan dimulai.

  Persalinan dibagi dalam empat kala yaitu kala pertama dimulai dari saat persalinan mulai sampai pembukaan lengkap (10 cm), proses ini terbagi dalam dua fase yaitu fase laten (8 jam) serviks membuka sampai 3 cm dan fase aktif (7 jam) serviks membuka dari 3 cm sampai 10 cm, kontraksi lebih kuat dan sering selama fase aktif. Kala dua dimulai dari pembukaan lengkap (10 cm) sampai bayi lahir proses ini biasanya berlangsung 2 jam pada primi dan 1 jam pada multi. Kala tiga dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta yang berlangsung tidak lebih dari 30 menit. Dan kala empat dimulai dari saat lahirnya plasenta sampai 2 jam pertama post partum (Prawirohardjo, 2006).

  Persalinan terdiri atas empat kala yaitu kala pertama berlangsung dari awal gejala sampai serviks berdilatasi sempurna (10 cm). Termasuk awal fase laten, di mana kontraksi masih tak teratur atau sangat lemah; fase aktif, di mana kontraksi menjadi lebih sering, lebih lama, dan lebih kuat; dan fase transisi yang singkat, yang terjadi tepat sebelum dilatasi dan pendataran sempurna. Lamanya kala pertama rata-rata 6 sampai 18 jam pada primipara dan 2 sampai 10 jam pada multipara. Kala dua diawali dengan dilatasi sempurna serviks dan diakhiri dengan kelahiran bayi. Kontraksi pada kala ini biasanya sangat kuat. Pada multipara kala dua berakhir sekitar 20 menit dan pada primipara menghabiskan waktu sampai 2 jam untuk bayi melewati serviks yang berdilatasi dan jalan lahir. Kala tiga diawali dengan keluarnya bayi dan uterus dan diakhiri dengan keluarnya plasenta, proses ini biasanya berakhir beberapa menit baik pada multipara maupun primipara. Kala empat diawali dengan keluarnya plasenta dan berakhir ketika uterus tidak relaksasi lagi, kala empat lebih panjang pada multipara dari pada primipara, biasanya dari 4 sampai 12 jam (Hamilton, 2005).

2.3.2. Tanda-tanda Mulainya Persalinan

  Tanda-tanda mulainya persalinan adalah Lightening yaitu terbenamnya kepala janin ke dalam rongga panggul karena berkurangnya tempat di dalam uterus dan sedikit melebarnya simfisis. Sering buang air kecil yang disebabkan oleh tekanan kepala janin pada kandung kemih. Kontraksi Brakton-Hicks pada saat uterus yang teregang dan mudah dirangsang yang dapat menimbulkan distenfensi dinding abdomen sehingga dinding abdomen menjadi lebih tipis dan kulit menjadi lebih peka terhadap rangsangan (Farrer, 2001).

  Tanda-tanda permulaan persalinan adalah Lightening atau settling atau dropping yang merupakan kepala turun memasuki pintu atas panggul terutama pada primigravida. Perut kelihatan lebih melebar, fundus uteri turun. Perasaan sering- sering atau susah buang air kecil karena kandung kemih tertekan oleh bagian terbawah janin. Perasaan sakit di perut dan di pinggang oleh adanya kontraksi- kontraksi lemah di uterus. Serviks menjadi lembek, mulai mendatar dan sekresinya bertambah bisa bercampur darah (Mochtar, 2008).

2.3.2. Jenis Penolong Persalinan

  Jenis-jenis penolong persalinan adalah :

  1. Bidan Definisi bidan menurut Keputusan Menteri Kesehatan 2007 adalah seseorang yang telah mengikuti program pendidikan bidan yang diakui di negaranya, telah lulus dari pendidikan tersebut, serta memenuhi kualifikasi untuk didaftar (register) dan atau memiliki izin yang sah (lisensi) untuk melakukan praktik bidan.

  Bidan adalah seseorang dengan persyaratan tertentu telah mengikuti dan menyelesaikan program pendidikan yang diakui pemerintah dan lulus ujian sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Pengertian Bidan ini mengisyaratkan bahwa bidan tenaga yang baru, relative sangat muda, dan pengalaman mereka juga belum banyak dan masih kurang dewasa. Sedangkan dukun bayi tenaga yang cukup berpengalaman dalam menolong persalinan, masih diterima oleh masyarakat, maka tidak mustahil jika masyarakat lebih percaya menggunakan dukun bayi dibanding dengan bidan, dalam hal memeriksa kehamilan dan menolong persalinan (Salham, 2007). Bidan adalah seorang tenaga kesehatan yang mempunyai tugas penting dalam bimbingan dan penyuluhan kepada ibu hamil, persalinan nifas dan menolong persalinan dengan tanggung jawabnya sendiri, serta memberikan asuhan kepada bayi baru lahir (prenatal care) (Wiknjosastro, 2007). Asuhan ini termasuk tindakan pencegahan deteksi kondisi abnormal ibu dan anak, usaha mendapatkan bantuan medik dan melaksanakan tindakan kedaruratan dimana tidak ada tenaga bantuan medik. Dia mempunyai tugas penting dalam pendidikan dan konseling, tidak hanya untuk klien tetapi juga untuk keluarga dan masyarakat (Notoatmodjo, 2007). Pada saat ini, ada dua jenis bidan, yaitu mereka yang mendapat pendidikan khusus selama tiga tahun dan perawat yang kemudian dididik selama satu tahun mengenai kebidanan dan disebut sebagai perawat bidan (Syafrudin, 2009). Salah satu tempat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak adalah BPS (Bidan Praktek Swasta) Menurut Meilani dkk (2009) BPS adalah satu wahana pelaksanaan praktik seorang bidan di masyarakat. Praktik pelayanan bidan perorangan (swasta), merupakan penyediaan pelayanan kesehatan, yang memiliki kontribusi cukup besar dalam memberikan pelayanan, khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. Setelah bidan melaksanakan pelayanan di lapangan, untuk menjaga kualitas dan keamanan dari layanan bidan, dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan kewenangannya. Penyebaran dan pendistribusian badan yang melaksanakan praktik perlu pengaturan agar dapat pemerataan akses pelayanan yang sedekat mungkin dengan masyarakat yang membutuhkannya. Tarif dari pelayanan bidan praktik akan lebih baik apabila ada pengaturan yang jelas dan transparansi, sehingga masyarakat tidak ragu untuk datang ke pelayanan Bidan Praktik Perorangan (swasta). Layanan kebidanan dimaksudkan untuk sebisa mungkin mengurangi intervensi medis. Bidan memberikan pelayanan yang dibutuhkan wanita hamil yang sehat

sebelum melahirkan. Cara kerja mereka yang ideal adalah bekerjasama dengan setiap wanita dan keluarganya untuk mengidentifikasi kebutuhan fisik, social dan emosional yang unik dari wanita yang melahirkan. Layanan kebidanan terkait dengan usaha untuk meminimalisir episiotomy, penggunaan forcep, epidural dan operasi sesar (Gaskin, 2003)

  2. Dokter Spesialis Kandungan Dokter spesialis kandungan adalah dokter yang mengambil spesialis kandungan.

  Pendidikan yang mereka jalani difokuskan untuk mendeteksi dan menangani penyakit yang terkait dengan kehamilan, terkadang yang terkait dengan proses melahirkan. Seperti halnya dokter ahli bedah (Gaskin, 2003) Dokter spesialis kandungan dilatih untuk mendeteksi patologi. Ketika mereka mendeteksinya, seperti mereka yang sudah pelajari, mereka akan memfokuskan tugasnya untuk melakukan intervensi medis. Dokter spesialis kandungan menangani wanita hamil yang sehat, demikian juga wanita hamil yang sakit dan beresiko tinggi. Ketika mereka menangani wanita hamil yang sehat, mereka sering melakukan intervensi medis yang seharusnya hanya dilakukan pada wanita hamil yang sakit atau dalam keadaan kritis. Di sebagian besar negara dunia, tugas dokter kandungan adalah untuk menangani wanita hamil yang sakit atau dalam keadaan kritis (Gaskin, 2003). Baik dokter spesialis kandungan maupun bidan bekerja lebih higienis dengan ruang lingkup hampir mencakup seluruh golongan masyarakat. Umumnya, mereka hanya dapat mengulangi kasus-kasus fisiologis saja, walaupun dokter spesialis secara teoritis telah dipersiapkan untuk menghadapi kasus patologis. Jika mereka sanggup, harus segera merujuk selama pasien masih dalam keadaan cukup baik (Syafrudin, 2009). Walaupun mereka dapat menanggulangi semua kasus, tetapi hanya sebagian kecil saja masyarakat yang dapat menikmatinya. Hal ini disebabkan karena biaya yang terlalu mahal, jumlah yang terlalu sedikit dan penyebaran yang tidak merata. Dilihat dari segi pelayanan, tenaga ahli ini sangat terbatas kegunaannya. Namun, sebetulnya mereka dapat memperluas fungsinya dengan bertindak sebagai konseptor program obstetri yang pelaksanaannya dapat dilakukan oleh dokter spesialis atau bidan (Syafrudin, 2009).

  3. Dukun Bayi Dukun bayi menurut definisi WHO adalah “A traditional birth attendant is person

  

(usually a woman) who assits to mother at child birth and who initially acquires

her skills delivering babies by herself or by working with other traditional birth

attendant”:

  Dukun bayi adalah seorang anggota masyarakat yang pada umumnya adalah seorang wanita yang mendapat kepercayaan serta memiliki keterampilan menolong persalinan secara tradisional. Keterampilan tersebut diperoleh secara turun temurun, belajar secara praktis atau cara lain yang menjurus ke arah peningkatan keterampilan serta melalui tenaga kesehatan. Dukun bayi juga merupakan seseorang yang dianggap terampil dan dipercaya oleh masyarakat untuk menolong persalinan dan perawatan ibu dan anak sesuai dengan kebutuhan masyarakat (Meilani, 2009).

  Banyak masyarakat terutama di pedesaan lebih memilih melahirkan di dukun bayi daripada bidan. Hal ini karena pertimbangan tradisi di desa yang sudah sejak dahulu jika melahirkan ditolong oleh dukun bayi. Selain itu dukun bayi lebih cepat dipanggil, mudah dijangkau, biayanya lebih murah, serta adanya hubungan yang akrab dan bersifat kekeluargaan dengan ibu-ibu yang ditolongnya. Masih banyak wanita negara berkembang khususnya di pedesaan lebih suka memanfaatkan pelayanan tradisional dibanding fasilitas pelayanan kesehatan modern. Dari segi sosial budaya masyarakat khususnya di daerah pedesaan, kedudukan dukun bayi lebih terhormat, lebih tinggi kedudukannya dibanding dengan bidan sehingga mulai dari pemeriksaan, pertolongan persalinan sampai perawatan pasca persalinan banyak yang meminta pertolongan dukun bayi.

  Masyarakat tersebut juga sudah secara turun temurun melahirkan di dukun bayi dan menurut mereka tidak ada masalah (Iskandar, 1996).

2.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Dukun Bayi Terlatih

2.4.1 Umur

  Umur adalah usia seseorang yang dihitung sejak lahir sampai dengan batas terakhir masa hidupnya. Faktor umur mempengaruhi seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya. Dukun bayi biasanya seorang wanita sudah berumur ± 40 tahun ke atas. Pekerjaan ini turun temurun dalam keluarga atau karena ia merasa mendapat panggilan tugas sebagai penolong persalinan. Hurlock (2002), menyatakan bahwa umur adalah lamanya hidup dalam tahun yang dihitung sejak dilahirkan. Masa dewasa dini dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun. Masa dewasa dini adalah masa pencaharian, kemantapan dan masa reproduktif dimana dimulainya suatu karier dan merupakan masa reproduksi. Masa dewasa madya dimulai umur 41-60 tahun, masa antara umur 41-50 tahun yaitu setelah puas dari hasil yang diperoleh dan menikmati hasil dari kesuksesan mereka sampai mencapai usia 60-an. Masa dewasa lanjut (usia lanjut) dimulai pada umur 60 tahun sampai kematian, ini merupakan masa pensiun, pensiun selalu menyangkut perubahan peran, keinginan dan nilai perubahan secara keseluruhan terhadap pola kehidupan setiap individu. Jika umur dihubungkan dengan tingkat pengetahuan seseorang, maka semakin bertambahnya umur maka akan semakin bertambah pula pengetahuannya.

2.4.2 Lama Menjadi Dukun Terlatih

  Pengalaman adalah guru yang baik, oleh sebab itu pengalaman merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu (Notoatmodjo, 2002).

  Program Safe Motherhood mulai tahun 1990, salah satu terobosannya adalah menempatkan tenaga bidan di setiap desa dan melatih dukun serta dilengkapi dengan dukun kit, sehingga diharapkan dukun yang sudah dilatih mampu dan mau menerapkan persalinan 3 bersih (bersih tempat, alat dan cara) (Depkes RI, 2010).

  Pelaksanaan pelatihan dukun bayi di Kabupaten Aceh Tamiang dilakukan sejak tahun 1992, sehingga sampai dengan saat ini pelatihan dukun bayi sudah berjalan lebih kurang 20 tahun (Dinkes Kabupaten Aceh Tamiang, 2012).

2.4.3 Pengetahuan

  Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.

  Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu : tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation).

  Sebelum seseorang mengadopsi perilaku (berperilaku baru) dan mempunyai kinerja yang baik maka orang tersebut harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya, keluarganya dan lingkungannya (Notoatmodjo, 2007).

  Pengetahuan dukun bayi tentang fisiologis dan patologis dalam kehamilan, persalinan, serta nifas biasanya terbatas oleh karena itu apabila timbul komplikasi ia tidak mampu untuk mengatasinya, bahkan tidak menyadari akibatnya, dukun tersebut menolong hanya berdasarkan pengalaman dan kurang professional. Berbagai kasus sering menimpa seorang ibu atau bayinya seperti kecacatan bayi sampai pada kematian ibu dan anak (Manuaba, 2011).

  2.4.4 Sikap

  Notoatmodjo (2010) mengatakan bahwa sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek.

  Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.

  Sikap dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu sikap positif dan negatif. Apabila individu memiliki sikap yang positif terhadap suatu obyek ia akan siap membantu, memperhatikan, berbuat sesuatu yang menguntungkan obyek itu.

  Sebaliknya bila ia memiliki sikap yang negatif terhadap suatu obyek, maka ia akan mengecam, mencela, menyerang bahkan membinasakan obyek itu (Ahmadi, 2007).

  2.4.5. Motivasi

  Robbins (2003) mendefinisikan motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya untuk memenuhi sesuatu kebutuhan individu. Menurut Mangkunegara (2000) yang dikutip oleh Nursalam (2007), motivasi kerja adalah suatu kondisi yang berpengaruh untuk membangkitkan, mengarahkan dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja.

  Menurut Herzberg (motivation-Hygiene theory) bahwa staf atau pegawai dapat dibagi menjadi dua golongan besar: mereka yang termotivasi oleh faktor-faktor intrinsik, yaitu daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing seperti prestasi, pengakuan, tanggungjawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri dan kemungkinan berkembang. Faktor-faktor ekstrinsik, yaitu pendorong yang datang dari luar diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja seperti gaji, kondisi kerja, jaminan pekerjaan, prosedur perusahaan, kebijakan perusahaan mutu supervisi, hubungan dengan pengawas, dan hubungan dengan rekan sejawat. Makna dari teori ini adalah bahwa orang yang bekerja terdorong secara intrinsik atau lebih mudah diajak meningkatkan kinerjanya dibandingkan mereka yang terdorong secara ekstrinsik (Ilyas, 2001).

2.5 Landasan Teori

  Dukun bayi pada umumnya seorang perempuan yang berusia lanjut, menggunakan bahasa yang sama dengan komunitasnya, kebanyakan buta huruf (Latin, tapi mungkin dapat membaca huruf Arab), kurang dapat berbahasa Indonesia, dan melakukan perawatan kehamilan dan pertolongan persalinan bukan sebagai pekerjaan utama. Status sosio-ekonomi dukun bayi biasanya termasuk miskin, karena pekerjaan utamanya adalah buruh tani yang mendapat upah kecil dari pemilik tanah garapannya. Sebagai dukun bayi, ia tidak pernah melalui pelatihan formal; ia belajar melalui pengalaman dan melalui observasi dari dukun bayi yang lebih senior, mungkin ibunya, neneknya, saudaranya, atau tetangga yang biasa membantu perempuan dalam kehamilannya, melahirkan dan pasca melahirkan. Dukun bayi umumnya memiliki kemampuan sebagai perantara yang baik. Lebih jauh lagi, dukun bayi itu sendiri biasanya mempunyai orang-orang yang akan melanjutkan profesinya. Ia adalah anggota komunitas yang dilayaninya.

  Walaupun banyak dukun bayi yang buta huruf, ia berbicara dan memahami bahasa yang sama dengan komunitasnya dan menjadi bagian dari sistem kepercayaan dan kebudayaan. Umumnya, seorang dukun bayi adalah perempuan yang bijak dan pandai, yang dipilih oleh perempuan-perempuan dalam keluarganya karena pendekatan praktis dan pengalamannya.

  Untuk mengurangi AKI dan AKB, Departemen Kesehatan Nasional melalui Dinas Kesehatan Propinsi, untuk setiap kabupaten melakukan sejumlah pelatihan untuk dukun bayi untuk meningkatkan pengetahuannya mengenai kehamilan dan melahirkan, khususnya, bagaimana mengenali kehamilan dengan resiko tinggi, bagaimana merujuk bila situasi semacam itu terjadi, dan mengajarkan pentingnya tindakan yang higienis terhadap tali pusat. Setelah mengikuti pelatihan, dukun bayi terlatih di beri “Dukun Kit‟. Dengan mengikuti pelatihan, maka dukun bayi tersebut sudah disebut sebagai dukun bayi terlatih dan diharapkan mampu melakukan pelayanan kepada ibu hamil, ibu bersalin dan bayi baru lahir sesuai dengan apa yang telah diberikan pada saat pelatihan sehingga dapat menunjukkan kinerja sesuai dengan yang diharapkan.

  Kinerja dukun bayi terlatih merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang dukun bayi terlatih dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawabnya sebagai dukun bayi yang diminta masyarakat khususnya ibu hamil, bersalin, nifas, dan perawatan bayi baru lahir yang diukur berdasarkan materi pelatihan yang pernah diikutinya.

  Model teori kinerja menurut Gibson (1987) terdiri dari variabel individu (kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan demografis, yaitu umur, jenis kelamin, status pernikahan, tempat tinggal, dan masa kerja), variabel organisasi (sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur, dan desain pekerjaan), dan variabel psikologis (persepsi, sikap, kepribadian, belajar, dan motivasi). Sedangkan Stoner (1994), mengatakan bahwa kinerja individu dipengaruhi oleh motivasi, pengetahuan, dan persepsi.

  Variabel Individu :

  • Kemampuan dan keterampilan :
  • Latar belakang
  • Demogr
  • Sesuai harapan

  Variabel organisasi : Kinerja

  • Tidak sesuai
  • Sumber daya

  harapan

  • Kepemimpinan • Imbalan • Struktur • Desain pekerjaan

  Psikologis:

  • Persepsi • Sikap • Motivasi • Kepribadian • Pengetahuan • Belajar • Persepsi • Motivasi (Stoner, 1994) (Gibson, 1987)

Gambar 2.2. Kerangka Teori

2.6. Kerangka Konsep

  Berdasarkan kerangka teori di atas dan disesuaikan dengan keadaan dukun bayi terlatih di wilayah kerja penelitian maka kerangka konsep penelitian dapat digambarkan sebagai berikut: Variabel Independen

  Variabel Dependen

  Individu :

  Umur

  • Lama menjadi dukun
  • terlatih

  Psikologi : Kinerja Dukun Bayi

  • Terlatih

  Sikap

  Motivasi

  • Pengetahuan -

Dokumen yang terkait

Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian Vitamin A kepada Ibu Nifas di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2013

0 36 117

Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Dukun Bayi Terlatih Dalam Melakukan Pertolongan Persalinan di Wilayah Kerja Puskesmas Kejuruan Muda Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2013

2 34 182

Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Dukun Bayi terhadap Tindakan Pertolongan Persalinan oleh Dukun Bayi di Kecamatan Baktiya Kabupaten Aceh Utara

2 40 79

Persepsi Masyarakat Terhadap Bidan Dan Dukun Bayi Terlatih Dalam Memberikan Pertolongan Persalinan

1 47 1

Persepsi Masyarakat Terhadap Bidan Dan Dukun Bayi Terlatih Dalam Memberikan Pertolongan Persalinan Di Kabupaten Kampar-Riau

2 64 151

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vitamin - Faktor-faktor yang Memengaruhi Bidan dalam Pemberian Vitamin K1 pada Bayi Baru Lahir di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Limun Medan Tahun 2013

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Bayi Berat Lahir Rendah - Pengaruh Karakteristik Ibu dan Pelayanan Antenatal Care Terhadap Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Desa Bukit Rata Kecamatan Kejuruan Muda Kabupaten Aceh Tamiang

0 0 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hamil Usia Dini - Analisis Faktor yang Memengaruhi Kehamilan Usia Dini di Kecamatan Karang Baru Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2013

1 2 15

Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian Vitamin A kepada Ibu Nifas di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2013

0 0 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Menopause - Faktor-faktor yang Memengaruhi Waktu Terjadinya Menopause pada Wanita Usia 40–55 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Langsa Barat

0 0 20