Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian Vitamin A kepada Ibu Nifas di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2013

(1)

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMENGARUHI PEMBERIAN VITAMIN A KEPADA IBU NIFAS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KECAMATAN

SAWANG KABUPATEN ACEH SELATAN TAHUN 2013

TESIS

Oleh HILMA YASNI 117032220/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMENGARUHI PEMBERIAN VITAMIN A KEPADA IBU NIFAS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KECAMATAN

SAWANG KABUPATEN ACEH SELATAN TAHUN 2013

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

HILMA YASNI 117032220/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : FAKTOR - FAKTOR YANG MEMENGARUHI PEMBERIAN VITAMIN A KEPADA IBU NIFAS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

KECAMATAN SAWANG KABUPATEN ACEH SELATAN TAHUN 2013

Nama Mahasiswa : Hilma Yasni Nomor Induk Mahasiswa : 117032220

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Kesehatan Reproduksi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si) (Drs.Abdul Jalil Amri Arma.M.Kes Ketua Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah diuji

pada tanggal : 26 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si Anggota : 1. Drs. Abdul Jalil Amri Arma. M.Kes

2. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si 3. dr. Ria Masniari Lubis, M.Si


(5)

PERNYATAAN

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMENGARUHI PEMBERIAN VITAMIN A KEPADA IBU NIFAS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KECAMATAN

SAWANG KABUPATEN ACEH SELATAN TAHUN 2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2013 Penulis

Hilma Yasni 11703220/IKM


(6)

ABSTRAK

Vitamin A merupakan salah satu zat gizi penting yang larut dalam lemak dan disimpan dalam hati. Salah satu sasaran pemberian vitamin A dosis tinggi adalah ibu nifas . Pemberian kapsul vitamin A 200.000 SI paling lambat 30 hari setelah melahirkan pada ibu nifas memiliki manfaat penting bagi ibu dan bayi yang disusuinya.

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pemberian Vitamin A kepada ibu nifas di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan tahun 2013. Jenis penelitian adalah survei dengan desain cross sectional. Populasi adalah seluruh bidan di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Sawang sebanyak 32 orang dan seluruh populasi dijadikan sampel. Data tentang pengetahuan, sikap, masa kerja, ketersediaan vitamin A dan dukungan Dinas Kesehatan diperoleh melalui kuesioner. Untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pemberian vitamin A digunakan uji regresi logistik berganda.

Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan bidan yang baik (56,3%), masa kerja <4tahun (62,5%), sikap yang kurang (56,3%), ketersediaan vitamin A tidak sesuai (65,6%), tidak ada dukungan Dinas kesehatan (53,1%). Uji statistik dengan Chi-Square menunjukkan ada pengaruh masa kerja dan dukungan Dinas Kesehatan terhadap pemberian vitamin A kepada ibu nifas, namun pengetahuan, sikap dan ketersediaan vitamin A tidak berpengaruh terhadap pemberian vitamin A kepada ibu nifas . Uji regresi logistik berganda menunjukan bahwa masa kerja memiliki pengaruh yang paling besar dibandingkan dengan dukungan Dinas kesehatan terhadap pemberian vitamin A kepada ibu nifas (OR=13,692).

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Selatan untuk meningkatkan kinerja bidan dengan mengadakan pendidikan dan pelatihan tentang pemberian vitamin A.


(7)

ABSTRACT

Vitamin A is one of the important fat-soluble nutrients stored in the liver. One of the targets of the administration of high-dose Vitamin A capsules is the partum mothers. The administration of 200.000 SI Vitamin A capsule for the post-partum mothers is not later than 30 (thirty) days after delivering their babies because Vitamin A with this dose provides important benefits for the mothers and their babies they breastfeed.

The purpose of research is to analyze the factors influencing the administration of vitamin a for the post-partum mothers in the working area of the Health Center in Sawang Subdisritc Aceh Selatan District in 2013.The population of this survey study cross-sectional design was the 32 midwives serving and all of them were selected to be the samples. The data on knowledge, attitude, length of service, the availability of vitamin A and the support of District Health Service obtained through questionnaires.

The result of the research showed that a good knowledge (56.3%), length of service <4 years (62.5%), less attitude (56.3%), the availability of vitamin A is not appropriate (65.6%), no support the Department of health (53.1%). Statistical test with multiple logistic regression showed that length of service had more dominant influence on the administration of Vitamin A for the post-partum mothers than the support of District Health Service (OR = 13.692).

It is recommended that the management of Aceh Selatan District Health Service to further improve the performance of midwives by providing education and training on the Vitamin A administration.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “ Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian Vitamin A kepada Ibu Nifas di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2013 “.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam menyusun tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan, bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., MSc, (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat.

4. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, dorongan, saran dan perhatian selama proses proposal hingga penulisan tesis ini selesai.


(9)

5. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si dan dr. Ria Masniari Lubis, M. Si, selaku Tim Penguji yang telah memberikan bimbingan, kritik dan saran untuk kesempurnaan tesis ini.

6. Para dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

7. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Selatan yang telah memberikan izin penelitian.

8. Kepala Puskesmas Kecamatan Sawang yang telah membantu memfasilitasi penulis dalam melakukan penelitian.

9. Orang tua tercinta almarhum Bulchaini dan almarhumah Halimah serta keluarga besar yang telah memberikan do’a, dukungan dan bantuan selama penyelesaian tesis ini.

10. Suami tercinta Drs. Azwar dan anak-anakku Muhammad Ilham Asrafi, Albar Naufal dan Syifa Amalia yang telah memberikan do’a, dukungan, pengorbanan baik lahir maupun batin dan berkat merekalah saya termotivasi untuk menyelesaikan studi ini.

11. Teman- teman seperjuangan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat yang telah bersedia menjadi teman diskusi untuk penyelesaian tesis ini.


(10)

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak sebagai masukan dan perbaikan dengan harapan semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangsih bagi kemajuan serta peningkatan dalam bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, September 2013

Penulis

Hilma Yasni


(11)

RIWAYAT HIDUP

Hilma Yasni, lahir di Tapaktuan pada tanggal 17 Desember 1971, anak keempat dari lima bersaudara., dari pasangan ayahanda Bulchaini dan Ibunda Halimah. Menikah dengan Drs.Azwar dan dikarunia 3 (tiga) orang anak yaitu M.Ilham Asrafi, Albar Naufal dan Syifa Amalia.

Pendidikan Dasar penulis di SDN 7 Tapaktuan, tamat tahun 1984, Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Tapaktuan, tamat tahun 1987, Sekolah Perawat Kesehatan Depkes RI Meulaboh tamat tahun 1990. Tahun 1991 melanjutkan pendidikan D-I Program Pendidikan Bidan. Tahun 1995 melanjutkan perkuliahan di Akademi Keperawatan Depkes RI Wijaya Kusuma Jakarta dan menyelesaikan AKTA III pada tahun 1999, Tahun 2004 menamatkan jenjang pendidikan D-IV Perawat Pendidik di Universitas Sumatera Utara. Pada tahun 2011 melanjutkan pendidikan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sampai sekarang.

Setelah tamat dari Program Pendidikan Bidan tahun 1991 bertugas sebagai bidan desa di kecamatan Samadua Kabupaten Aceh Selatan. Dan setelah menyelesaikan Akta III tahun 1999 bekerja di Akademi Keperawatan Pemkab Aceh Selatan sampai sekarang.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 11

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Hipotesis Penelitian ... 11

1.5 Manfaat Penelitian ... 12

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA... 13

2.1 Suplementasi Vitamin A pada Ibu Nifas ... 13

2.2 Waktu Pemberian ... 18

2.3 Perilaku Kesehatan ... 18

2.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian Vitamin A kepada Ibu Nifas ... 29

2.5 Landasan Teori ... 37

2.7 Kerangka Konsep ... 42

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 43

3.1 Jenis Penelitian ... 43

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 43

3.3 Populasi dan Sampel ... 43

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 43

3.5 Uji Validitas dan Reliabilitas Data ... 44

3.6 Variabel dan Defenisi Operasional ... 47

3.7 Metode Pengukuran ... 50

3.8 Metode Analisis Data ... 52

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 55

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 55


(13)

4.3 Analisis Bivariat ... 65

4.4 Analisis Multivariat... 70

BAB 5. PEMBAHASAN ... 73

5.1 Pengaruh Pendidikan terhadap Pemberian Vitamin A pada Ibu Nifas di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan ... 73

5.2 Pengaruh Umur terhadap Pemberian Vitamin A pada Ibu Nifas di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan ... 74

5.3 Pengaruh Masa Kerja terhadap Pemberian Vitamin A pada Ibu Nifas di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan ... 74

5.4 Pengaruh Pengetahuan terhadap Pemberian Vitamin A pada Ibu Nifas di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan ... 78

5.5 Pengaruh Sikap terhadap Pemberian Vitamin A pada Ibu Nifas di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan ... 81

5.6 Pengaruh Ketersediaan Vitamin A terhadap Pemberian Vitamin A pada Ibu Nifas di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan ... 83

5.7 Pengaruh Dukungan Dinas Kesehatan terhadap Pemberian Vitamin A pada Ibu Nifas di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan ... 88

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

6.1 Kesimpulan ... 92

6.2 Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 94 LAMPIRAN


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Instrumen

Pengetahuan Bidan di Puskesmas Lhok Bengkuang Aceh Selatan ... 45 3.2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Instrumen

Sikap Bidan di Puskesmas Lhok Bengkuang Aceh Selatan... 46 3.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada Instrumen

Ketersediaan Vitamin A di Puskesmas Lhok Bengkuang Aceh

Selatan ... 47 3.4 Definisi Operasional, Variabel, Cara Pengukuran dan Hasil Ukur ... 50 4.1 Jumlah Penduduk dan Jenis Kelamin Menurut Desa di Kecamatan

Sawang Kabupaten Aceh Selatan tahun 2013 ... 56 4.2 Distribusi Kategori Pemberian Vitamin A di Wilayah Kerja

Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2013 ... 58 4.3 Distribusi Frekuensi Jumlah dan Cara Pemberian Vitamin A di Wilayah

Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan

Tahun 2013 ... 58 4.4 Distribusi Frekuensi Pendidikan, Umur dan Masa Kerja di Wilayah

Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan Tahun

2013 ... 59 4.5 Distribusi Frekwensi Jawaban Responden Varabel Pengetahuan

di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang

Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2013 ... 60 4.6 Distribusi Kategori Pengetahuan tentang Pemberian Vitamin A pada

Ibu Nifas di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang


(15)

4.7 Distribusi Frekwensi Jawaban Responden Kategori Sikap

di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2013 ... 62 4.8 Distribusi Kategori Sikap di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan

Sawang Kabupaten Aceh Selatan Tahun 201.... ... ...63 4.9 Distribusi Kategori Ketersediaan Vitamin A di Wilayah Kerja

Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2013 ... 63 4.10 Distribusi Frekwensi Jawaban Responden Variabel Dukungan Dinas

Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang

Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2013 ... 64 4.11 Distribusi Kategori Dukungan Dinas Kesehatan di Wilayah Kerja

Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2013 ... 65 4.12 Hubungan Pendidikan dengan Pemberian Vitamin A di Wilayah

Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan Tahun

2013 ... 65 4.10 Hubungan Umur dengan Pemberian Vitamin A di Wilayah

Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan Tahun

2013 ... 63 4.11 Hubungan Masa Kerja dengan Pemberian Vitamin A di Wilayah

Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan Tahun

2013 ... 63 4.12 Hubungan Pendidikan dengan Pemberian Vitamin A di Wilayah

Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan Tahun

2013 ... 66 4.13 Hubungan Umur dengan Pemberian Vitamin A di Wilayah

Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan Tahun


(16)

4.14 Hubungan Masa Kerja dengan Pemberian Vitamin A di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan Tahun

2013 ... 67 4.15 Hubungan Pengetahuan dengan Pemberian Vitamin A di

Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh

Selatan Tahun 2013 ... 68

4.16 Hubungan Sikap dengan Pemberian Vitamin A di Wilayah Kerja

Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2013 ... 68 4.17 HubunganKetersediaanVitamin An dengan Pemberian Vitamin A

di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh

Selatan Tahun 2013 ... 70 4.18 Hubungan Dukungan Dinas Kesehatan dengan Pemberian Vitamin A

di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh

Selatan Tahun 2013 ... 71 4.19 Pengaruh Variabel Independen (Masa Kerja dan Dukungan) terhadap

Pemberian Vitamin A di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan


(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 2.1 Teori Stimulus – Organisme – Respon ( S- O - R)... ... 27 2.2 Landasan Teori Lawrence Green (1980) ... 41


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuesioner... ... 98

2 Master Data ... 102

3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Penelitian ... 103

4 Hasil Statistik ... 109

5 Surat Izin Survei Pendahuluan ... 124

6 Surat Izin Penelitian ... 125


(19)

ABSTRAK

Vitamin A merupakan salah satu zat gizi penting yang larut dalam lemak dan disimpan dalam hati. Salah satu sasaran pemberian vitamin A dosis tinggi adalah ibu nifas . Pemberian kapsul vitamin A 200.000 SI paling lambat 30 hari setelah melahirkan pada ibu nifas memiliki manfaat penting bagi ibu dan bayi yang disusuinya.

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pemberian Vitamin A kepada ibu nifas di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan tahun 2013. Jenis penelitian adalah survei dengan desain cross sectional. Populasi adalah seluruh bidan di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Sawang sebanyak 32 orang dan seluruh populasi dijadikan sampel. Data tentang pengetahuan, sikap, masa kerja, ketersediaan vitamin A dan dukungan Dinas Kesehatan diperoleh melalui kuesioner. Untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pemberian vitamin A digunakan uji regresi logistik berganda.

Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan bidan yang baik (56,3%), masa kerja <4tahun (62,5%), sikap yang kurang (56,3%), ketersediaan vitamin A tidak sesuai (65,6%), tidak ada dukungan Dinas kesehatan (53,1%). Uji statistik dengan Chi-Square menunjukkan ada pengaruh masa kerja dan dukungan Dinas Kesehatan terhadap pemberian vitamin A kepada ibu nifas, namun pengetahuan, sikap dan ketersediaan vitamin A tidak berpengaruh terhadap pemberian vitamin A kepada ibu nifas . Uji regresi logistik berganda menunjukan bahwa masa kerja memiliki pengaruh yang paling besar dibandingkan dengan dukungan Dinas kesehatan terhadap pemberian vitamin A kepada ibu nifas (OR=13,692).

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Selatan untuk meningkatkan kinerja bidan dengan mengadakan pendidikan dan pelatihan tentang pemberian vitamin A.


(20)

ABSTRACT

Vitamin A is one of the important fat-soluble nutrients stored in the liver. One of the targets of the administration of high-dose Vitamin A capsules is the partum mothers. The administration of 200.000 SI Vitamin A capsule for the post-partum mothers is not later than 30 (thirty) days after delivering their babies because Vitamin A with this dose provides important benefits for the mothers and their babies they breastfeed.

The purpose of research is to analyze the factors influencing the administration of vitamin a for the post-partum mothers in the working area of the Health Center in Sawang Subdisritc Aceh Selatan District in 2013.The population of this survey study cross-sectional design was the 32 midwives serving and all of them were selected to be the samples. The data on knowledge, attitude, length of service, the availability of vitamin A and the support of District Health Service obtained through questionnaires.

The result of the research showed that a good knowledge (56.3%), length of service <4 years (62.5%), less attitude (56.3%), the availability of vitamin A is not appropriate (65.6%), no support the Department of health (53.1%). Statistical test with multiple logistic regression showed that length of service had more dominant influence on the administration of Vitamin A for the post-partum mothers than the support of District Health Service (OR = 13.692).

It is recommended that the management of Aceh Selatan District Health Service to further improve the performance of midwives by providing education and training on the Vitamin A administration.


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pencapaian derajat kesehatan ditandai dengan menurunnya angka kematian Bayi (AKB), menurunnya Angka Kematian Ibu (AKI) dan menurunnya prevalensi gizi kurang dan gizi buruk serta meningkatnya Umur harapan Hidup (UHH), di Indonesia, AKB telah menurun dari 35 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2004 menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (SDKI, 2007). AKI menurun dari 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2004 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Target yang akan dicapai sesuai kesepakatan

Millineum Development Goal’s (MDGs) tahun 2015 adalah menurunkan angka kematian ibu menjadi 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi menjadi 24 per 1000 kelahiran hidup (Kemenkes, 2010).

Morbiditas dan mortalitas pada wanita hamil, bersalin dan nifas adalah masalah besar di negara berkembang. Di negara-negara miskin, sekitar 25-50% kematian wanita usia subur disebabkan hal yang berkaitan dengan kehamilan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan lebih dari 585.000 ibu pertahunnya meninggal saat hamil, melahirkan dan masa nifas (Karwati dkk, 2011).

Tingginya AKI menunjukkan derajat kesehatan di Indonesia masih rendah. AKI dipengaruhi oleh penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Salah satu penyebab langsung berkaitan dengan infeksi yang berulang. Penyebab langsung ini


(22)

diperburuk oleh status kesehatan gizi ibu yang kurang baik saat kehamilan (Prawihardjo, 2009).

Menurut hasil Survei Kesehatan Demografi Indonesia (SKDI) tahun 2010, penyebab kematian ibu hampir 90% terjadi pada saat persalinan dan segera setelah persalinan. 50% kematian ibu disebabkan oleh perdarahan (27%) dan eklampsi (23%), sedangkan yang lain disebabkan oleh infeksi, abortus dan komplikasi persalinan lainnya. Selain itu rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil, pemberdayaan perempuan yang kurang baik (gender) dan latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan masyarakat dan politik serta kebijakan merupakan faktor penentu angka kematian (Riskesdas, 2010).

Provinsi Aceh pada tahun 2011 jumlah AKI sebesar 158/100.000 kelahiran Hidup. Proporsi penyebab kematian ibu tersebut adalah perdarahan (38%), eklamsi (20%) dan infeksi (4%). Jumlah kematian ibu merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan pada sektor kesehatan. Jumlah kematian ibu meliputi kematian yang terkait dengan masa kehamilan, persalinan dan nifas. Salah satu upaya untuk menurunkan AKI adalah program pemberian vitamin A pada ibu nifas. Cakupan vitamin A pada ibu nifas di provinsi Aceh untuk tahun 2011 adalah sebanyak 70,0%. Sedangkan tahun 2012 adalah sebesar 73,4 % (Dinkes Provinsi Aceh, 2012).

Kabupaten Aceh Selatan merupakan salah satu Kabupaten di Aceh yang terdiri dari 18 Kecamatan. Jumlah Puskesmas sebanyak 22 buah. Angka Kematian Ibu (AKI) di Aceh Selatan tahun 2012 sebanyak 7 orang (222,2/100.000 KH), dengan


(23)

penyebab kematian adalah hipertensi dalam kehamilan 1 orang (14,5%), infeksi 2 orang (28,5%) dan penyebab lain 4 orang (57%) dan AKB berjumlah 32 orang (10,2/1.000 KH), dengan penyebab kematian BBLR 12 orang (37,5%), asfiksia 11 orang (34,3%), tetanus neonatorum 1 orang (3 %), infeksi 2 orang (6%) dan penyebab lain 6 orang (18,7%) (Dinkes Aceh Selatan, 2013).

Angka cakupan vitamin A pada ibu nifas di kabupaten Aceh Selatan pada tahun 2011 adalah sebesar 70,12 %, sedangkan pada tahun 2012 cakupan vitamin A adalah 80,75 %. Walaupun cakupan vitamin A pada ibu nifas mengalami kenaikan sebesar 10,63 %, namun cakupan tersebut belum memenuhi target cakupan nasional, yaitu 100 % ibu nifas harus mendapat vitamin A dosis tinggi. Dan masih ditemui kejadian infeksi nifas sebagai penyebab kematian ibu yaitu sebesar 28,5 % dari 3.450 ibu nifas di kabupaten Aceh Selatan tahun 2012.

Infeksi kala nifas adalah infeksi-peradangan pada semua alat genital pada masa nifas oleh sebab apapun dengan ketentuan meningkatnya suhu tubuh melebihi 38º C tanpa menghitung hari pertama dan berturut-turut selama dua hari. Sumber terjadinya infeksi kala nifas adalah manipulasi penolong yang terlalu sering melakukan pemeriksaan dalam atau penggunaan alat yang kurang steril ( Manuaba, 2010).

Menurut Almatsier (2010), fungsi kekebalan tubuh menurun pada kekurangan vitamin A, sehingga mudah terserang infeksi. Di samping itu lapisan sel yang menutupi trakhea dan paru-paru mengalami keratinisasi, tidak mengeluarkan lendir, sehingga mudah dimasuki mikroorganisme dan bakteri atau virus yang menyebabkan


(24)

infeksi saluran pernafasan. Bila terjadi pada permukaan dinding usus akan menyebabkan diare. Perubahan pada permukaan saluran kemih dan kelamin dapat menimbulkan infeksi pada ginjal dan kandung kemih serta vagina. Kekurangan vitamin A pada ibu nifas dapat menyebabkan komplikasi infeksi nifas yang dapat menyebabkan kematian. Vitamin A dinamakan juga vitamin anti-infeksi.

Upaya pemanfaatan sumber-sumber vitamin A alami dan fortifikasi masih belum dapat dilaksanakan secara luas dan intensif, maka pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi sangat penting dan tetap dilaksanakan. Cakupan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI) dapat tercapai apabila seluruh jajaran kesehatan dan sektor-sektor terkait dapat menjalankan peranannya masing-masing dengan baik. Pemberian kapsul vitamin A pada ibu nifas dilakukan oleh petugas Puskesmas, bidan desa dan dukun bayi. Pemberian ini dapat dilakukan pada waktu pertolongan persalinan atau kunjungan rumah (Depkes, 2000).

Kurang Vitamin A (KVA) masih merupakan masalah yang tersebar di seluruh dunia terutama di negara berkembang dan dapat terjadi pada semua umur terutama pada masa pertumbuhan. KVA dalam tubuh dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit yang merupakan “Nutrition Related diseases” yang dapat mengenai berbagai anatomi dan fungsi dari organ tubuh seperti menurunkan sistem kekebalan tubuh dan menurunkan epitelisme sel-sel kulit. Suplementasi kapsul Vitamin A pada anak umur 6-59 bulan dan ibu nifas bertujuan tidak hanya untuk pencegahan kebutaan tetapi juga untuk penanggulangan Kurang Vitamin A (KVA) (Depkes, 2006).


(25)

Salah satu sasaran pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi adalah pada ibu nifas. Pemberian kapsul vitamin A pada ibu nifas memiliki manfaat penting bagi ibu dan bayi yang disusuinya. Vitamin A melalui suplementasi dapat meningkatkan kualitas air susu ibu (ASI), meningkatkan daya tahan tubuh, dan dapat meningkatkan kelangsungan hidup anak. Oleh sebab itu, pemerintah di tingkat kabupaten dapat meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan anak dengan upaya memperkuat program vitamin A ibu nifas. Berbeda dengan hampir semua komponen dalam ASI, yang secara relatif ada dalam jumlah yang sama, konsentrasi vitamin A dalam ASI sangat bergantung pada status gizi ibu. Pemberian kapsul vitamin A pada ibu setelah melahirkan dapat meningkatkan status vitamin A dan jumlah kandungan vitamin tersebut dalam ASI. Pedoman Nasional saat ini merekomendasikan bahwa 100 % ibu nifas menerima satu kapsul vitamin A dosis tinggi 200.000 SI paling lambat 30 hari setelah melahirkan. Meskipun data Nutrition and Health Surveillance System (NSS) di beberapa provinsi menunjukkan bahwa cakupannya hanya berkisar antara 15-25%. Di Indonesia rendahnya cakupan vitamin A ibu nifas karena adanya kendala seperti: tidak selalu bidan memiliki akses akan kapsul vitamin A, kunjungan rumah oleh kader jarang dilakukan, dan masih banyak ibu maupun petugas kesehatan yang belum tahu adanya program pemerintah mengenai pemberian kapsul vitamin A pada ibu nifas (HKI, 2004).

Wanita di Indonesia mengalami KVA karena asupan makanan mereka tidak mencukupi kebutuhan akan vitamin A. Angka kecukupan gizi vitamin A di Indonesia untuk ibu hamil adalah 500 RE (Retinol Equivalent) per hari. Jumlah ini meningkat


(26)

menjadi 700 RE per hari pada ibu hamil dan 850 RE per hari pada ibu menyusui. Berdasarkan data terbaru Nutrition and Health Surveillance System (NSS), media asupan vitamin A untuk ibu di Indonesia hanyalah 150 RE untuk ibu yang berada di daerah kumuh perkotaan dan hanya 200 RE untuk ibu yang tinggal di daerah pedesaan. Dengan menghitung rata-rata masa menyusui 18-20 bulan untuk setiap anak dan tingkat fertilitas saat ini, kemungkinan seorang ibu akan membutuhkan vitamin A yang tinggi pada sepertiga kurun waktu masa subur mereka (HKI, 2004).

Pedoman International yang menganjurkan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama didasarkan pada bukti ilmiah tentang mamfaat ASI bagi daya tahan hidup bayi, pertumbuhan dan perkembangannya. ASI memberi semua energi dan gizi (nutrisi) yang dibutuhkan bayi selama 6 bulan pertama hidupnya. Pemberian ASI eksklusif mengurangi tingkat kematian bayi yang disebabkan oleh berbagai penyakit yang umum menimpa anak-anak seperti diare dan radang paru, serta mempercepat pemulihan bila sakit dan membantu menjarangkan kelahiran. Ibu nifas yang diberikan vitamin A dosis tinggi akan meningkatkan kandungan vitamin A dalam ASInya (Maritalia, 2012).

Menurut Almatsier (2010), vitamin A berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh pada manusia dan hewan. Mekanisme sebenarnya belum diketahui pasti. Retinol tampaknya berpengaruh terhadap pertumbuhan dan diferensiasi limfosit B (leukosit yang berperan dalam proses kekebalan humoral). Di samping itu kekurangan vitamin A menurunkan respon antibodi yang bergantung pada sel – T (limfosit yang berperan pada kekebalan seluler).


(27)

Status nutrisional pada masa remaja, kehamilan dan laktasi memiliki dampak langsung pada kesehatan maternal dan bayi selama masa nifas. Intake nutrisi pasca persalinan harus ditingkatkan untuk mengatasi kebutuhan energi selama menyusui. Tiga defisiensi vitamin dan mineral adalah kelainan yang terjadi sebagai akibat kekurangan iodin, kekurangan vitamin A, serta anemia defisiensi besi (Prawirohardjo, 2009).

Rendahnya cakupan pemberian kapsul vitamin A untuk ibu nifas disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya a). Ketidaktahuan ibu tentang manfaat kapsul vitamin A untuk ibu nifas; b). Tidak tersedianya kapsul vitamin A untuk ibu nifas pada penolong persalinan; c). Kurangnya kordinasi antara petugas di lapangan terutama dengan penolong persalinan; d). Kurang dimanfaatkannya kader dalam distribusi kapsul vitamin A untuk ibu nifas; e). Ketidaktahuan petugas kesehatan mengenai adanya program pemerintah mengenai kapsul vitamin A untuk ibu nifas yang diberikan dua kali (Dewi, 2010).

Bidan berperan penting dalam pemberian pelayanan kebidanan, oleh karenanya selain bidan harus memiliki ketrampilan klinis dan pengetahuan, juga sikap yang baik, namun bidan tidak akan dapat melakukan yang terbaik untuk keluarga dan komunitas dalam perawatan manakala bidan tidak memiliki otonomi profesional dan budaya perawatan. Artinya dalam melakukan pelayanan kebidanan, bidan harus memiliki kompetensi dan jiwa menolong. Bidan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Pasal 2 ayat (1) termasuk tenaga kesehatan, pasal tersebut menyebutkan bahwa tenaga kesehatan terdiri dari : Tenaga medis, Tenaga


(28)

keperawatan, Tenaga kefarmasian,Tenaga kesehatan masyarakat, Tenaga gizi, Tenaga keterapian fisik, Tenaga keteknisian medik. Sesuai dengan bunyi Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 bahwa, Tenaga Keperawatan meliputi Perawat dan Bidan (Mustika dkk, 2001).

Pelayanan kesehatan dasar yang harus dilakukan oleh seorang bidan desa antara lain adalah melaksanakan pemeriksaan berkala ibu hamil, melakukan pertolongan persalinan, melakukan deteksi dini pada ibu hamil resiko tinggi. Bidan desa merupakan pelaku perawatan nifas, pembina dukun bayi, dan pelaku otopsi verbal. Selain itu, bidan desa juga harus melakukan rujukan ibu hamil resiko tinggi dan melakukan pendampingan persalinan pada tenaga non kesehatan (Depkes, 2005)

Bidan memiliki fungsi yang sangat penting dalam asuhan mandiri, kolaborasi dan rujukan yang tepat. Bidan dituntut untuk senantiasa mampu mendeteksi secara dini tanda serta gejala komplikasi kehamilan, memberikan pertolongan kegawadaruratan kebidanan, prenatal serta merujuk kasus. Praktek kebidanan saat ini sudah mengalami perluasan peran dan fungsi, dari terfokus pada ibu hamil, bersalin, nifas, bayi baru lahir serta anak balita. Dengan demikian pemberian vitamin A kepada ibu nifas merupakan salah satu tanggung jawab bidan, karena bidanlah yang paling sering mendampingi proses persalinan ( Farodis, 2012).

Hasil penelitian Yatino (2005) menunjukkan bahwa hasil cakupan program kesehatan dan gizi tidak berhubungan dengan kinerja bidan desa. Hal ini dimungkinkan, karena jika dilihat dari keberhasilan program hampir semua bidan tidak menunjukkan hasil yang memuaskan begitupun dengan cakupan. Baik untuk


(29)

cakupan program gizi dan kesehatan, semua bidan desa masih dibawah target yang telah ditentukan Dinas Kesehatan. Mungkin hanya satu atau dua orang bidan saja yang mencapai target dalam program. Berdasarkan pengamatan dilapang terlihat semangat/etos kerja bidan desa relatif rendah, bidan desa kurang memahami tugas dan fungsinya sebagai bidan desa yang merupakan ujung tombak pelayanan di masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena bidan tidak menerapkan buku-buku panduan yang ada, kemudian bidan desa beranggapan mereka tidak di perhatikan oleh pemerintah terutama Departemen Kesehatan karena sejak mereka diangkat/ ditugaskan menjadi bidan desa PTT (Pegawai Tidak Tetap) tidak juga diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Padahal sebelumnya pemerintah menjanjikan mereka akan diangkat setelah mengabdi 2 (dua) tahun, sedangkan beban kerja mereka sama dengan bidan PNS bahkan lebih berat kerena mereka tinggal di desa dan bidan PNS kebanyakan tinggal di Ibukota Kecamatan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Depkes RI tahun 2000 yang menyatakan bahwa keterlibatan bidan desa dalam keberhasilan program kesehatan dan gizi sangat kecil. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa program bidan desa hanya dapat meningkatkan program sebesar 0,05 %. Dengan demikian program bidan desa tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan yaitu sebagai pelaksana pelayanan kesehatan yang langsung berhubungan dengan masyarakat dan juga sebagai perpanjangan tangan dari Puskesmas.

Berdasarkan survei awal yang dilakukan di Puskesmas Kecamatan Sawang terdapat 15 desa dan setiap desa terdapat 1-2 bidan desa dan jumlah bidan semuanya


(30)

32 orang, dari 200 orang ibu nifas tahun 2012, hanya 127 orang (63,50 %) yang mendapat Vitamin A sebanyak 2 kali dalam masa nifas. Jumlah kematian neonatal dari Januari sampai Desember 2012 sebanyak 4 orang (AKB 10,2/1.000 Kelahiran Hidup) dengan penyebab kematian BBLR 2 orang, asfiksia 1 orang dan penyebab lain 1 orang.

Dari hasil wawancara peneliti dengan 10 orang bidan di Kecamatan Sawang, 5 orang mengatakan sudah memberikan vitamin A pada ibu nifas, sedangkan 5 orang lagi belum, dikarenakan mereka tidak tahu tentang mamfaat dan pemberian vitamin A pada ibu nifas. Banyak dari ibu-ibu nifas tersebut yang mengalami masalah pada saat masa nifas seperti demam, anemia, ASI yang kurang. Juga adanya masalah pada bayinya seperti bayi yang sering demam, diare, campak dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA).

Pemberian Vitamin A pada ibu nifas dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pengetahuan dan sikap. Pengetahuan diperlukan sebagai dorongan sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan stimulus terhadap tindakan seseorang. Tindakan seseorang terhadap sesuatu dapat ditunjukkan dengan sikap. Sikap merupakan suatu reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu (Notoatmodjo, 2010).

Dari uraian di atas diperlukan suatu upaya yang sistematis dan berkesinambungan dari semua pihak, terutama bidan untuk meningkatkan cakupan


(31)

pemberian vitamin A kepada ibu nifas, sehingga akibat yang ditimbulkan karena dampak KVA tidak terjadi.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang memengaruhi pemberian vitamin A kepada ibu nifas di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan.

1.2 Permasalahan

Masih terdapat ibu nifas yang tidak mengkonsumsi vitamin A di Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan tahun 2013. Maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana faktor (umur, pendidikan, masa kerja, pengetahuan, sikap bidan, ketersediaan vitamin A, dan dukungan Dinas kesehatan) memengaruhi pemberian Vitamin A kepada ibu nifas di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan tahun 2013.

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis faktor (umur, pendidikan, masa kerja, pengetahuan, sikap bidan, ketersediaan vitamin A, dan dukungan Dinas Kesehatan) memengaruhi pemberian Vitamin A kepada ibu nifas di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan tahun 2013.

1.4 Hipotesis

Umur, pendidikan, masa kerja, pengetahuan, sikap bidan, ketersediaan vitamin A, dan dukungan Dinas Kesehatan memengaruhi pemberian Vitamin A


(32)

kepada ibu nifas di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan tahun 2013.

1.5Manfaat Penelitian

1. Memberikan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Selatan dalam merumuskan kebijakan terhadap peningkatan pemberian vitamin A kepada ibu nifas untuk dapat menurunkan AKI dan AKB.

2. Memberikan masukan bagi Puskesmas Kecamatan Sawang dalam meningkatkan cakupan pemberian vitamin A kepada ibu nifas.


(33)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Suplementasi Vitamin A pada Ibu Nifas

Vitamin A merupakan salah satu zat gizi penting yang larut dalam lemak dan disimpan dalam hati, tidak dapat dibuat oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi dari luar (essensial). Vitamin A berfungsi dalam sistem penglihatan, pertumbuhan, dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit (Depkes, 2005).

Vitamin A perlu diberikan dan penting bagi ibu selama dalam masa nifas. Pemberian kapsul vitamin A pada ibu nifas dapat menaikkan jumlah kandungan vitamin A dalam ASI, sehingga pemberian Vitamin A (400.000 unit) pada ibu nifas sangatlah penting, selain bermamfaat bagi ibu, kapsul vitamin A juga bermanfaat pada bayi karena pada masa nifas ibu menyusui bayinya, sehingga secara tidak langsung bayipun juga memperolehnya (Aroni, 2012).

Ibu nifas adalah ibu yang baru melahirkan sampai 6 minggu setelah kelahiran bayi (0-42 hari). Selama masa nifas, organ reproduksi secara perlahan akan mengalami perubahan seperti, kekeadaan sebelum hamil. Perubahan organ ini disebut

involusi. Asuhan selama periode masa nifas perlu mendapat perhatian, karena sekitar 60 % Angka Kematian Ibu terjadi pada periode ini (Maritalia, 2012).

Ibu nifas harus diberikan kapsul Vitamin A dosis tinggi karena: 1) Pemberian 1 kapsul Vitamin A merah cukup untuk meningkatkan kandungan Vitamin A dalam ASI selama 60 hari, 2) Pemberian 2 kapsul Vitamin A merah diharapkan cukup


(34)

menambah kandungan Vitamin A dalam ASI sampai bayi berusia 6 bulan, 3) Kesehatan ibu cepat pulih setelah melahirkan (Depkes, 2009).

Semua anak, walaupun mereka dilahirkan dari ibu yang berstatus gizi baik dan tinggal di negara maju, terlahir dengan cadangan vitamin A yang terbatas pada tubuhnya (hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sekitar dua minggu). Di negara berkembang, pada bulan-bulan pertama kehidupannya, bayi sangat tergantung pada vitamin A yang terdapat dalam ASI. Oleh sebab itu sangatlah penting bahwa ASI mengandung cukup vitamin A. Anak -anak yang sama sekali tidak mendapatkan ASI akan berisiko lebih tinggi terkena xeropthalmia dibanding dengan anak-anak yang mendapat ASI walau hanya dalam jumlah tertentu. Berbagai studi yang dilakukan mengenai vitamin A ibu nifas memperlihatkan hasil yang berbeda-beda. Tetapi sebuah studi yang dilakukan pada anak-anak usia enam bulan yang ibunya mendapatkan kapsul vitamin A setelah melahirkan, menunjukkan bahwa terdapat penurunan jumlah kasus demam pada anak-anak tersebut dan waktu penyembuhan yang lebih cepat saat mereka terkena Infeksi Saluran pernafasan Atas (ISPA) (HKI, 2004).

Untuk mencukupi kebutuhan vitamin A pada ibu nifas, sejak tahun 1996, di Indonesia telah dilakukan program pemberian dua kapsul vitamin A dosis tinggi dengan takaran 200.000 IU untuk ibu nifas. Dalam laporan Riskesdas tahun 2010, cakupan vitamin A ibu nifas disajikan krostabulasi menurut karakteristik daerah (provinsi dan lokasi perkotaan/perdesaan), karakteristik rumah tangga (kuintil pengeluaran, pendidikan kepala keluarga, pekerjaan kepala rumah tangga) dan


(35)

karakteristik ibu nifas (jenis kelamin dan kelompok umur). Belum ada analisis lanjut tentang faktor yang berperan dalam cakupan vitamin A menurut karakteristik rumah tangga dan akses terhadap pelayanan kesehatan hasil. Riskesdas 2010 menunjukkan hanya satu dari dua ibu nifas yang mendapatkan kapsul vitamin A, lebih rendah dibanding cakupan balita (Sandjaja, 2011).

Buta senja merupakan indikator yang sederhana dan tepat dalam menentukan masalah kurang vitamin A dan dapat digunakan sebagai alat pemantau dalam survey di tingkat masyarakat. Data NSS (Sistem Pemantauan Gizi dan Kesehatan) yang dikumpulkan pada tahun 1999-2003 menunjukkan bahwa buta senja masih terjadi pada tingkat yang cukup tinggi diantara wanita usia subur di Indonesia. Cakupan vitamin A untuk ibu nifas juga masih sangat rendah dibandingkan dengan target nasional. Dengan demikian suatu perhatian khusus perlu dilakukan untuk meningkatkan cakupan vitamin A pada ibu nifas, sebagai bagian strategi untuk meningkatkan status vitamin A pada wanita usia reproduktif di Indonesia (HKI, 2005).

Pedoman nasional yang ada saat ini merekomendasikan bahwa 100% ibu nifas menerima satu kapsul vitamin A dosis tinggi 200.000 SI paling lambat 30 hari setelah melahirkan saat ini, ibu nifas mungkin mendapat kapsul vitamin A bila mereka melahirkan di puskesmas atau rumah sakit. Walaupun begitu tidak tertutup kemungkian ibu nifas mendapat vitamin A melalui kader dan bidan di desa saat mereka melakukan kunjungan rumah. Di Indonesia, terutama di daerah pedesaan, mayoritas ibu masih melahirkan di rumah. Sering terjadi bahwa bidan ataupun


(36)

mereka yang membantu kelahiran tidak selalu memiliki akses akan kapsul vitamin A. Selain itu kunjungan rumah oleh kader untuk memberikan vitamin A jarang dilakukan. Banyak ibu ataupun petugas kesehatan yang tidak mengetahui program pemerintah mengenai pemberian kapsul vitamin A pada ibu nifas. Hal-hal tersebut merupakan suatu kendala yang menyebabkan rendahnya cakupan vitamin A ibu nifas di Indonesia. Selain itu pengetahuan tentang pedoman baru suplementasi vitamin A ibu nifas sebanyak 2 x 200.000 SI serta pengetahuan mengapa kapsul vitamin A tersebut harus diberikan, masih sangat kurang (HKI, 2004).

Menurut Almatsier (2010), vitamin A berperan dalam berbagai fungsi faali tubuh, 1) Penglihatan; vitamin A berfungsi dalam penglihatan normal pada cahaya remang. Kecepatan mata beradaptasi setelah terkena cahaya terang berhubungan langsung dengan vitamin A yang tersedia dalam darah untuk membentuk rodopsin. Tanda pertama kekurangan vitamin A adalah rabun senja. Suplementasi vitamin A dapat memperbaiki penglihatan yang kurang bila itu disebabkan oleh kekurangan vitamin A, 2) Diferensiasi sel ; terjadi bila sel – sel tubuh mengalami perubahan dalam sifat dan fungsi semulanya. Perubahan sifat dan fungsi sel ini adalah salah satu karakteristik dari kekurangan vitamin A yang terjadi pada tiap tahap perkembangan tubuh. Diduga vitamin A dalam membentuk asam retinoat memegang peranan aktif dalam kegiatan inti sel, 3) Fungsi kekebalan ; retinol berpengaruh terhadap pertumbuhan dan diferensiasi sel limfosit B (leukosit yang berperan dalam proses kekebalan humoral), kekurangan vitamin A juga menurunkan respon anti bodi yang tergantung pada sel – T. Sebaliknya infeksi dapat memperburuk kekurangan vitamin


(37)

A, 4) Fungsi pertumbuhan dan perkembangan ; vitamin A berpengaruh terhadap sintesa protein, dengan demikian terhadap pertumbuhan sel. Vitamin A dibutuhkan untuk perkembangan tulang dan sel epitel yang membentuk email dalam pertumbuhan gigi, 5) Fungsi reproduksi ; vitamin A dalam bentuk retinol dan retinal berperan dalam reproduksi pada tikus. Pembentukan sperma dan pembentukan sel telur dan perkembangan janin dalam kandungan membutuhkan vitamin A dalam bentuk retinol.

Menurut penelitian Adriani (2006) yang menyatakan bahwa terjadi penurunan kadar IgG pada bayi dan kadar retinol ASI pada ibu nifas sesudah perlakuan hanya penurunan pada kelompok perlakuan lebih kecil dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil statistik menunjukkan ada perbedaan secara bermakna (p<0,05) antar kelompok kontrol dan kelompok perlakuan baik pada respon imun bayi (IgG) dan retinol ASI ibu nifas sesudah perlakuan.

Menurut Mustofiyah (2011) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pemberian kapsul vitamin A pada ibu nifas dengan terjadinya diare pada bayi. Dan tidak ada hubungan antara pemberian kapsul vitamin A pada ibu nifas dengan pertumbuhan bayi. Sedangkan penelitian Siddiqi (2001) di Pakistan tentang program vitamin A pada ibu postpartum yaitu ada hubungan faktor gizi dan sosial ekonomi yang mempengaruhi status vitamin A pada ibu postpartum.


(38)

2.2Waktu Pemberian Vitamin A

Kapsul Vitamin A merah (200.000 SI) diberikan pada masa nifas sebanyak 2 kali yaitu :1 (satu) kapsul Vitamin A diminum segera setelah saat persalinan, 1 (satu) kapsul Vitamin A kedua diminum 24 jam sesudah pemberian kapsul pertama. Tenaga yang memberikan suplementasi Vitamin A untuk ibu nifas yaitu Tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat, tenaga gizi dan lain-lain) dan kader (telah mendapat penjelasan terlebih dahulu dari petugas kesehatan) (Depkes, 2009).

Cara Pemberian vitamin A antara lain : sebelum dilakukan pemberian kapsul, tanyakan pada ibu apakah setelah melahirkan sudah menerima kapsul Vitamin A, jika belum : Kapsul Vitamin A merah diberikan segera setelah melahirkan dengan cara meminum langsung 1 (satu) kapsul, kemudian minum 1(satu) kapsul lagi minimal 24 jam setelah pemberian kapsul pertama. Tempat pemberian vitamin A yaitu di sarana fasilitas kesehatan (rumah sakit, puskesmas, pustu, poskesdes/polindes, balai pengobatan, praktek dokter, bidan praktek swasta, Posyandu) (Depkes, 2006).

Pelaksanaan pemberian vitamin A pada ibu nifas bersamaaan dengan pemberian imunisasi hepatitis B kepada bayi umur 0-7 hari pada kunjungan neonatal (KN1). Apabila kapsul vitamin A tidak diberikan pada KN 1, maka dapat diberikan pada kunjungan KN 2 (8-28 hari) atau pada KN 3 (minggu ke 6 setelah persalinan).

Untuk menghindari duplikasi pemberian kapsul vitamin A oleh petugas kepada ibu nifas, setiap petugas yang akan memberikan kapsul harus memberitahukan dan menanyakan kepada ibu nifas tentang pemberian kapsul vitamin A tersebut.


(39)

2.3 Perilaku Kesehatan 2.3.1 Konsep Prilaku

Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat kompleks sehingga kadang-kadang kita tidak sempat memikirkan penyebab seseorang menerapkan perilaku tertentu. Karena itu amat penting untuk dapat menelaah alasan dibalik perilaku individu, sebelum ia mampu mengubah perilaku tersebut (Wawan, 2010).

Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme tersebut dipengaruhi baik oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan itu merupakan penentu dari perilaku makhluk hidup termasuk perilaku manusia. Hereditas atau faktor keturunan adalah konsepsi dasar antara modal untuk perkembangan perilaku makhluk hidup itu untuk selanjutnya. Sedangkan lingkungan adalah kondisi atau lahan untuk perkembangan perilaku tersebut. Suatu mekanisme pertemuan antara kedua faktor dalam rangka terbentuknya perilaku disebut proses belajar (learning process) (Notoatmodjo, 2007).

Skinner (1938) seorang ahli perilaku mengemukakan bahwa perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan atau respon. Ia membedakan adanya dua respon, yaitu :

1. Responden respons atau reflexive repons, ialah respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu. Perangsangan-perangsangan semacam ini


(40)

disebut eliciting stimulasi, karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap, misalnya makanan lezat menimbulkan air liur, cahaya yang kuat akan menyebabkan mata tertutup dan sebagainya. Pada umumnya perangsangan – perangsangan yang demikian ini mendahului respon yang ditimbulkan.

Responden respon (respondent behaviour) ini emosi respon atau emotional behavior. Emosional respon ini timbul karena yang kurang mengenakkan organisme yang bersangkutan, misalnya menangis karena sedih atau sakit. Sebaliknya hal yang mengenakkanpun dapat menimbulkan perilaku emosional misalnya, tertawa berjingkat-jingkat karena senang dan sebagainya.

2. Operant respont atau instrumental respon adalah respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsangan tertentu. Perangsang semacam ini disebut reiforcing stimulus atau reinforcer, kerena perangsangan- perangsangan tersebut memperkuat respon yang telah dilakukan oleh organisme. Oleh sebab itu perangsangan yang demikian itu mengikuti atau memperkuat suatu perilaku tertentu yang telah dilakukan. Apabila seorang anak belajar dan telah melakukan perbuatan, kemudian memperoleh hadiah, maka ia menjadi lebih giat belajar atau akan lebih baik lagi melakukan perbuatan tersebut. Dengan kata lain responnya akan lebih intensif atau lebih kuat lagi.

2.3.2 Prosedur Pembentukan Perilaku

Seperti telah disebutkan di atas, sebagian besar perilaku manusia adalah operant respon. Untuk membentuk jenis respon atau perilaku ini perlu diciptakan


(41)

adanya suatu kondisi tertentu yang disebut operant conditioning. Prosedur pembentukan perilaku menurut Skinner sebagai berikut :

a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinforcer

berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk.

b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud.

c. Dengan menggunakan secara urut komponen–komponen itu sebagai tujuan-tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-masing komponen.

d. Melakukan pembentukan perilaku, dengan menggunakan urutan komponen yang telah disusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan, maka hadiahnya diberikan, hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan) tersebut akan sering dilakukan.

2.3.3 Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Perilaku kesehatan mencakup :

1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia berespons, baik secara pasif (mengetahui, bersikap dan mempersepsi penyakit dan rasa sakit) maupun aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan


(42)

penyakit dan sakit tersebut. Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan tingkatan pencegahan penyakit, yakni :

a) Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health promotion behaviour), misalnya makan makanan bergizi, olah raga dan sebagainya.

b) Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behaviour), adalah respon untuk melakukan pencegahan penyakit, misalnya tidur memakai kelambu untuk mencegah gigitan nyamuk, imunisasi dan sebagainya.

c) Perilaku sehubungan dengan pengobatan (health seeking behaviour), yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan, misalnya berusaha mengobati sendiri penyakitnya, atau mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas kesehatan modern (puskesmas, mantri, dokter praktek dan sebagainya), maupun ke fasilitas kesehatan tradisional (dukun, sinshe dan sebagainya). d) Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation

behaviour), yaitu perilaku yang berhubungan dengan usaha-usaha pemulihan kesehatan setelah sembuh dari suatu penyakit. Misalnya melakukan diet, mematuhi anjuran dokter dalam rangka pemulihan kesehatannya.

2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan, adalah respons seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan, baik sistem kesehatan modern maupun tradisional. Perilaku ini mencakup respon terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan, petugas kesehatan dan obat-obatan yang terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas, petugas dan obat-obatan.


(43)

3. Perilaku terhadap makanan (nutrition behaviour), yakni respon seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku ini meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktek kita terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung di dalamnya (zat gizi), pengolahan makanan, dan sebagainya.

4. Perilaku terhadap kesehatan lingkungan (environmental health behaviour) adalah respon seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia. Lingkup perilaku ini seluas lingkup kesehatan lingkungan itu sendiri. Perilaku ini mencakup perilaku sehubungan dengan air bersih, perilaku sehubungan dengan air kotor, perilaku sehubungan dengan limbah, perilaku sehubungan dengan rumah yang sehat dan perilaku sehubungan dengan pembersihan sarang nyamuk (vektor) dan sebagainya.

Robert Kwick (1974) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap adalah hanya suatu kecendrungan untuk mengadakan tindakan terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda -tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia.

Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2007), mengklasifikasikan perilaku yang berhubungan yang berhubungan dengan kesehatan (health related behaviour) sebagai berikut :


(44)

a. Perilaku kesehatan (health behaviour), yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit, memilih makanan, sanitasi dan sebagainya.

b. Perilaku sakit (the sick role behaviour), yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh individu yang merasa sakit, untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit. Termasuk di sini juga kemampuan atau pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit, penyebab penyakit, serta usaha-usaha mencegah penyakit tersebut.

c. Perilaku peran sakit (the sidk role behaviour), yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan. Perilaku ini di samping berpengaruh terhadap kesehatan/kesakitannya sendiri, juga berpengaruh terhadap orang lain, terutama kepada anak-anak yang belum mempunyai kesadaran dan tanggungjawab terhadap kesehatannya.

2.3.4 Domain Perilaku Kesehatan

Perilaku manusia itu sangat komplek dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2007), membagi perilaku itu ke dalam 3 domain (ranah/kawasan), meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas. Pembagian kawasan ini untuk kepentingan tujuan pendidikan. Bahwa dalam tujuan suatu pendidikan adalah mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku tersebut, yang terdiri dari : a) ranah


(45)

kognitif (cognitif domain), b) ranah afektif (affective domain), c) ranah psikomotor (psychomotor domain).

Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau objek luarnya. Selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap terhadap objek yang diketahui. Akhirnya rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap atau sehubungan dengan stimulus atau objek tadi. Namun demikian dalam kenyataan stimulus yang diterima oleh subjek dapat langsung menimbulkan tindakan. Artinya seseorang dapat bertindak atau berespon baru tanpa mengetahui terlebih dahulu terhadap makna stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain tindakan (practice) seseorang tidak harus disadari oleh pengetahuan dan sikap.

2.3.5 Perubahan – Perubahan Perilaku

Hal yang penting dalam perilaku kesehatan adalah masalah pembentukan dan perubahan perilaku. Karena perubahan perilaku merupakan tujun dari pendidikan atau penyuluhan kesehatan sebagai penunjang program-program kesehatan yang lain. Banyak teori perubahan perilaku, antara lain :

a. Teori Stimulus-Organisme-Respon (S-O-R)

Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung pada kualitas rangsangan (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme. Artinya kualitas dari sumber komunikasi (sources), misalnya kredibilitas,


(46)

kepemimpinan, gaya berbicara sangat menentukan keberhasilan perubahan perilaku seseorang, kelompok atau masyarakat.

Hosland,et al (1953) mengatakan bahwa proses perubahan perilaku pada hakekatnya adalah sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku tersebut mengambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari :

1) Stimulus (rangsangan) yang diberikan pada organisme dapat diterima atau ditolak. Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak, berarti stimulus itu tidak efektif mempengaruhi perhatian individu yang berhenti di sini. Bila stimulus diterima oleh organisme, berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut efektif.

2) Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme (diterima) maka ia mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses selanjutnya.

3) Setelah organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak, demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap).

4) Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan, maka stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (bersikap).

Selanjutnya teori ini mengartikan bahwa perilaku dapat berubah hanya apabila stimulus (rangsangan) yang diberikan benar-benar melebihi dari stimulus semula. Stimulus yang dapat melebihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan harus dapat meyakinkan organisme.


(47)

Proses perubahan perilaku berdasarkan teori S – O – R ini dapat digambarkan seperti di bawah ini :

Teori S – O – R

Gambar 2.1 Teori S – O – R ( Stimulus – Organisme – Respon )

Dari teori di atas dapat kita simpulkan bahwa bidan yang mendapat informasi yang cukup tentang pemberian vitamin A pada ibu nifas, akan mempunyai perhatian yang besar akan program vitamin A tersebut yang selanjutkan akan memunculkan pengertian yang baik akan program tersebut sehingga sikap menerima program tersebut akan menimbulkan reaksi terbuka berupa perubahan praktik, yaitu memberikan vitaminA sebanyak dua kali pada setiap ibu nifas.

Sikap merupakan pernyataan evaluatif, baik yang menguntungkan ataupun yang tidak menguntungkan objek, orang atau peristiwa, dan sikap merupakan cara

Stimulus

-Perhatian

-Pengertian -Penerimaan

Reaksi tertutup (perubahan sikap)

Reaksi terbuka (perubahan praktik)


(48)

pandang seseorang merasakan sesuatu, dengan demikian bidan akan mempunyai sikap positif dalam pemberian vitamin A, apabila faktor-faktor yang ada di sekitar lingkungan pekerjaan mendukung, atau sesuai dengan kemampuan dan keinginan (Yulianti, 2010).

b. Teori Festinger (Dissonance Theory)

Teori Finger (1957) dalam Notoatmojdo (2007) telah banyak pengaruhnya dalam psikologi sosial. Teori ini sebenarnya sama dengan konsep ‘imbalance’

merupakan keadaan ketidakseimbangan. Hal ini berarti bahwa keadaan ‘cognitive dissonance’ merupakan keadaan ketidakseimbangan psikologis yang diliputi oleh ketegangan diri yang berusaha untuk mencapai keseimbangan kembali. Apabila terjadi keseimbangan dalam diri individu, maka berarti sudah tidak terjadi ketidakseimbangan lagi, dan keadaan ini disebut ‘consonance’ (keseimbangan).

Dissonance (ketidakseimbangan) terjadi karena dalam diri individu terdapat dua elemen kognitif yang saling bertentangan. Apabila individu menghadapi suatu stimulus atau objek, dan stimulus tersebut menimbulkan pendapat atau keyakinan yang berbeda dalam diri individu sendiri, maka terjadilah dissonance.

c. Teori Fungsi

Teori ini berdasarkan anggapan bahwa perubahan perilaku individu tergantung kepada keutuhan. Hal ini berarti bahwa stimulus yang dapat mengakibatkan perubahan perilaku seseorang apabila stimulus tersebut dapat dimengerti dalam konteks kebutuhan orang tersebut.


(49)

Menurut Katz (1906) perilaku dilatarbelakangi oleh kebutuhan individu yang bersangkutan, Katz berasumsi bahwa :

1. Perilaku itu memiliki fungsi instumental, artinya dapat berfungsi dan memberikan pelayanan terhadap kebutuhan.

2. Perilaku dapat berfungsi sebagai ‘defence macanism’ atau sebagai pertahanan diri dalam menghadapi lingkungannya.

3. Perilaku berfungsi sebagai penerima objek dan memberikan arti. Dalam perannya seseorang senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya melalui tindakannya.

4. Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari diri seseorang dalam menjawab suatu situasi. Perilaku dapat merupakan layar, dimana segala ungkapan diri orang dapat dilihat.

2.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pemberian Vitamin A kepada Ibu Nifas 2.4.1 Umur

Umur adalah rentang kehidupan yang diukur dengan tahun, dikatakan masa awal dewasa adalah usia 18 tahun sampai 40 tahun, dewasa madya adalah 41 sampai 60 tahun, dewasa lanjut > 60 tahun. Umur adalah lamanya hidup dalam tahun yang dihitung sejak dilahirkan (Harlock, 2004).

Umur berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan. Berdasarkan Lubis (2009) yang mengutip pendapat Ericson (1950), umur usia produktif pada usia dewasa muda (20-40 tahun), usia dewasa matang (40-60 tahun) pada usia ini diharapkan usia telah


(50)

mapan dan tingkat kedisiplinan terhadap pekerjaan baik, dan usia lanjut pada usia > 60 tahun. Robbins (2008) mengungkapkan bahwa ada kualitas positif pada pekerja yang berusia tua, meliputi pengalaman, pertimbangan, etika kerja yang kuat, dan komitmen terhadap mutu.

Menurut Yatino (2005) umur yang masih muda diharapkan dapat membuat contoh memiliki kinerja yang bagus dan semangat untuk bekerja serta berprestasi. Bila ditinjau dari segi umur, bidan yang belum lama menyelesaikan pendidikan kebidanannya, diharapkan dapat melaksanakan semua tugas dan tanggung jawab yang pernah didapatkan di bangku pendidikan dibandingkan dengan bidan yang sudah lama menyelesaikan pendidikan.

Menurut penelitian Mardhiah (2011), terdapat hubungan yang tidak bermakna antara umur dengan kinerja bidan dalam mendukung program Inisiasi Menyusui Dini (IMD) di Pekanbaru dengan p > 0,05 yang dikarenakan bidan yang sudah tua hanya mengandalkan ilmu yang sudah didapat di bangku sekolah dulu, meskipun bidan sudah tua, namun belum pernah mengikuti pelatihan, kinerjanya tidak akan sebaik bidan yang pernah mengikuti pelatihan.

2.4.2 Pendidikan

Tingkat pendidikan, mempunyai hubungan yang berbanding lurus dengan tingkat kesehatan, semakin tinggi pendidikan maka individu lebih mudah menerima konsep tentang kesehatan. Apabila pendidikan seseorang tinggi maka akan berpengaruh terhadap pengetahuannya, pengetahuannya akan lebih baik serta


(51)

tindakannya juga akan lebih baik karena didasari oleh pengetahuan yang baik (Notoatmodjo,2003).

Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara (mengatasi masalah), dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan pemeliharan dan peningkatan kesehatan dihasilkan oleh pendidikan kesehatan, ini di dasarkan kepada pengetahuan dan kesadarannya melalui proses pembelajarannya (Notoatmodjo, 2010).

Status pendidikan bidan berpengaruh terhadap pelaksanaan pemberian vitamin A pada ibu nifas, karena status pendidikan mempengaruhi kesadaran dan pengetahuan bidan tentang manfaat vitamin A pada ibu nifas. Hal yang sering menjadi penghambat bidan dalam pemberian kapsul vitamin A bagi ibu nifas diantara adalah kurangnya kesadaran dan pengetahuan bidan tentang manfaat vitamin A dan juga dengan rendahnya pendidikan menjadikan pengetahuan bidan kurang dalam hal pemberian dan manfaat vitamin A pada ibu nifas.

Menurut hasil penelitian Yatino (2005) menyatakan bahwa pendidikan yang lebih tinggi belum tentu mempunyai kinerja yang baik. Secara statistik tidak terdapat hubungan antara pendidikan dengan kinerja bidan desa (p>0,05). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Nurani (2000) mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) di Kabupaten Cirebon, yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan dengan kinerja TPG.


(52)

2.4.2 Masa Kerja

Lama kerja adalah jangka waktu yang telah dilalui seseorang sejak menekuni pekerjaan. Lama kerja dapat menggambarkan pengalaman seseorang dalam menguasai bidang tugasnya. Pada umumnya, petugas dengan pengalaman kerja yang banyak tidak memerlukan bimbingan dibandingkan dengan petugas yang pengalaman kerjanya sedikit. Menurut Ranupendoyo dan Saud (1990), semakin lama seseorang bekerja pada suatu organisasi maka akan semakin berpengalaman orang tersebut sehingga kecakapan kerjanya semakin baik.

Masa kerja adalah rata-rata masa kerja responden yang dihitung setelah dia menyelesaikan pendidikannya dan mulai bekerja pertama kalinya sebagai tenaga penolong persalinan khususnya dalam pemberian Vitamin A pada ibu nifas. Lamanya bekerja berkaitan erat dengan pengalaman-pengalaman yang telah didapat selama menjalankan tugas. Pengalaman seseorang dalam melakukan tugas tertentu secara terus menerus dalam waktu yang cukup lama dapat meningkatkan kedewasaan teknisnya. Semakin lama masa kerja kecakapan seseorang semakin baik karena sudah menyesuaikan dengan pekerjaannya.

Menurut Winarni (2008), bidan dengan masa kerja ≥ 4 tahun melaksanakan pelayanan kebidanan khususnya menolong persalinan umumnya mempunyai pengalaman yang lebih banyak dibandingkan dengan bidan yang mempunyai masa kerja < 4 tahun. Dengan kondisi demikian umumnya bidan desa yang banyak melakukan pertolongan persalinan dan masa kerja yang cukup lama tentunya mampu memahami dan melaksanakan perannya sebagai bidan desa.


(53)

Menurut hasil penelitian Yatino (2005) yang menyatakan bahwa masa kerja secara statistik tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan kinerja bidan desa (p>0,05). Ini diduga penyebabnya karena merasa jenuh sehingga kegiatan mereka laksanakan hanya merupakan kegiatan rutin dan sekedar melaksanakan tugas serta sering meninggalkan tugas karena apabila dilihat dari asal daerah.

2.4.4 Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok yaitu : kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep tentang sesuatu objek, kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek dan kecendrungan untuk bertindak (tend to behave).

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total atitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.

Menurut Dewi dkk (2003) sebagian besar sikap bidan di desa tidak mendukung dalam mencapai cakupan pemberian kapsul vitamin A pada ibu nifas sebesar (62,90%) dan sikap yang mendukung hanya 37,10%. Sikap bidan di desa yang tidak mendukung dan yang mendukung tidak berpengaruh terhadap pencapaian cakupan pemberian kapsul vitamin A pada ibu nifas.

Azwar (2012) berpendapat bahwa sikap terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu sehingga pembentukan sikap dipengaruhi oleh berbagai faktor 1) pengalaman pribadi baik yang telah ada maupun yang sedang kita alami ikut


(54)

membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus interaksi sosial, 2) pengaruh orang lain yang dianggap penting akan sangat mempengaruhi pembentukan sikap kita seperti orang tua, teman dekat, sahabat guru, teman kerja, istri maupun suami, 3) pengaruh kebudayaan tanpa kita sadarai kebudayaan telah menanamkan pengaruh sikap kita terhadap berbagai permasalahan, 4) media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang, 5) lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat mempengaruhi pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu serta 6) faktor emosional seseorang yang berfungsi sebagai penyalur frustasi dan pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap yang demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih per sistem dan tahan lama.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat/pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan – pernyataan hipotesis kemudian ditanyakan kembali pendapat responden melalui kuesioner (Notoatmodjo, 2007)

Menurut Mardiah (2011), hubungan sikap dan kinerja bidan menunjukkan hubungan yang tidak bermakna dengan p > 0,05. Walaupun bidan sudah bersikap baik, namun belum tentu dalam tindakan bidan juga berperilaku baik, karena sikap merupakan perilaku tertutup yang artinya walaupun bidan berperilaku positif dalam


(55)

mendukung program inisiasi menyusui dini (IMD) namun dalam kenyataannya bisa jadi perilaku bidan yang bersikap negatif lebih baik dibandingkan dengan bidan yang bersikap positif.

2.4.5 Pengetahuan

Bloom (1974) dalam Notoatmodjo (2010), menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour).

Penelitian Naibaho dkk (2011) menunjukkan hasil diantara ke-9 penolong persalinan ada 4 penolong persalinan (44,4%) yang mengetahui pemberian dan mamfaat vitamin A untuk ibu nifas yang diberikan dua kali. Hanya 1 dari 9 ibu nifas (11,1%) yang mengetahui tentang pemberian dan mamfaat pemberian kapsul vitamin A untuk ibu nifas.

Menurut Mardiah (2011), hubungan tingkat pengetahuan dengan kinerja bidan menunjukkan hubungan yang bermakna dengan p < 0,05. Bidan yang memiliki tingkat pengetahuan kurang mempunyai peluang 3,62 kali memiliki kinerja kurang dibandingkan dengan yang memiliki tingkat pengetahuan baik.


(56)

2.4.6 Ketersediaan Vitamin A

Ketersediaan alat adalah tersedianya sarana dan peralatan untuk mendukung tercapainya tujuan pelayanan kebidanan sesuai beban tugasnya dan fungsi institusi pelayanan. Menurut Heni (2009), prosedur ketersediaan alat meliputi: tersedia peralatan sesuai dengan standar, ada mekanisme keterlibatan, ada buku inventaris peralatan yang mencerminkan jumlah barang dan kualitas barang, ada pelatihan khusus untuk bidan tentang penggunaan alat tertentu, ada prosedur permintaan dan penghapusan alat.

Menurut Depkes (2009), ketersediaan Kapsul vitamin A di Kabupaten /kota diharapkan dapat memenuhi kebutuhan 100% sasaran. Pengadaan kapsul vitamin A dilakukan oleh Tim Pengadaan Dinas Kesehatan kabupaten/kota (menggunakan dana APBD). Kapsul vitamin A harus sudah tersedia di Puskesmas minimal 1 bulan sebelum pelaksanaan bulan vitamin A. Petugas gizi Puskesmas mengambil kapsul vitamin A ke kabupaten/kota.

Menurut Purwati (2003), sebanyak 60% penolong persalinan tenaga kesehatan dan 78,6% dukun bayi tidak mempunyai persediaan kapsul vitamin A dosis tinggi, sebanyak 86,6% ibu mempunyai tingkat pengetahuan kurang dan sebanyak 71,7% ibu nifas tidak mendapat kapsul vitamin A pada masa nifas.

2.4.7 Dukungan Dinas Kesehatan

Dukungan Dinas Kesehatan juga mempengaruhi dalam pencapaian cakupan vitamin A pada ibu nifas. Tenaga kesehatan yang bertanggungjawab atas sosialisasi dan pencapaian program distribusi vitamin A adalah pengelola program kesehatan


(57)

(Promkes) dan Gizi. Kegiatan pemantauan dan evaluasi dilakukan di posyandu sampai Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Hasilnya dilaporkan secara berjenjang dan disertai umpan balik. Kegiatan ini dibutuhkan untuk mengatur kegiatan suplementasi vitamin A agar berjalan sesuai dengan rencana, sehingga bila ada masalah dapat ditemukan dan ditangani sejak dini (Depkes, 2009).

Menurut Sarfino yang dikutip oleh Niven (2002), dukungan petugas kesehatan merupakan dukungan sosial dalam bentuk dukungan informatif, dimana perasaan subjek bahwa lingkungan (petugas kesehatan) memberikan keterangan yang cukup jelas mengenai hal-hal yang diketahui.

Pemerintah meningkatkan akses pelayanan kesehatan gizi yang bermutu, melalui penempatan bidan di desa dan peningkatan kemampuan tenaga kesehatan dalam mendeteksi, menemukan dan menangani kasus gizi buruk sedini mungkin. Selain itu pemerintah juga membentuk Tim Asuhan Gizi yang terdiri dari dokter, perawat, bidan, ahli gizi, serta dibantu oleh tenaga kesehatan lain. Diharapkan dapat memberikan penanganan yang cepat dan tepat pada kasus gizi buruk baik di Puskesmas maupun di rumah sakit.

2.5 Landasan Teori

Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh mahluk hidup, baik yang diamati secara langsung atau tidak langsung perilaku manusia dapat dilihat dari 3 aspek yaitu: aspek fisik, psikis dan sosial yang secara terinci merupakan refleksi dari berbagai gejolak kejiwaan seperti pengetahuan, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya, yang


(58)

ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik dan sosial budaya masyarakat. Bahkan kegiatan internal seperti berpikir, berpersepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia.

Sejalan dengan batasan perilaku menurut Skinner, maka perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Upaya kesehatan yang dilakukan untuk mewujudkan kesehatan seseorang diselenggarakan dengan empat macam pendekatan yaitu pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (promotive), pencegahan penyakit (preventive), penyembuhan penyakit (curative) dan pemulihan kesehatan (rehabilitative).

Respon atau reaksi manusia dibedakan menjadi dua kelompok yaitu yang bersifat pasif dan bersifat aktif. Bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap), bersifat aktif (tindakan yang nyata atau practice). Perilaku terhadap pelayanan kesehatan adalah respon seseorang terhadap pelayanan kesehatan baik pelayanan kesehatan yang modern maupun pelayanan kesehatan yang tradisional. Perilaku ini menyangkut respon terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan, petugas kesehatan, dan obat-obatannya, yang terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap dan pengguna fasilitas, petugas, dan obat-obatan. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain ; susunan saraf pusat, persepsi, motivasi, emosi, proses belajar, lingkungan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).


(59)

Menurut Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2010) yang menentukan perilaku terbentuk sehingga menimbulkan perilaku yang positif terdiri dari 3 faktor yaitu :

a. Faktor-faktor Predisposisi (Predisposing Factors)

Merupakan faktor anteseden terhadap perilaku yang menjadi dasar atau motivasi bagi perilaku mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya. Sebagai contoh : perilaku ibu hamil dalam minum kapsul vitamin A akan termotivasi apabila ibu hamil tersebut tahu manfaat akan tablet Fe. Kepercayaan ibu hamil terhadap tablet Fe dapat mencegah terjadinya anemi akan bertambah apabila ibu tersebut sudah punya pengalaman dari kehamilan yang pertama.

b. Faktor-faktor Pemungkin (Enabling Factors)

Faktor pemungkin adalah faktor anteseden terhadap perilaku yang memungkinkan suatu motivasi atau aspirasi terlaksana yang termasuk dalam faktor pemungkin ini mencakup ketersedian sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, untuk berperilaku sehat masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung. Fasilitas ini pada hakekatnya mendukung untuk mewujudkan perilaku kesehatan, maka faktor ini disebut dengan faktor pendukung atau faktor pemungkin. Misalnya termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit.


(60)

c. Faktor-faktor Penguat (Reinforcing Factors)

Faktor-faktor penguat merupakan faktor penyerta perilaku atau yang datang sesudah perilaku itu ada. Faktor penguat meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan, dan undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif, dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, para petugas terutama petugas kesehatan. Di samping itu undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut. Demikian juga halnya dengan partisipasi pria dalam keluarga berencana perlu dukungan istri, dan dukungan petugas kesehatan, juga diperlukan peraturan atau perundang-undangan yang mendukung pria berpartisipasi dalam keluarga berencana. Sebagai contoh dalam partisipasi ibu nifas dalam program pemberian vitamin A yang menjadi penguat adalah dukungan sosial yang meliputi dukungan suami, mertua, dan tenaga kesehatan.


(61)

Gambar 2.2 Landasan Teori Lawrence Green (1980) Faktor Predisposing :

- Pengetahuan - Sikap

- Nilai

- Kepercayaan - Demografi

Faktor Reinforcing : - Dukungan keluarga - Dukungan tenaga

kesehatan

- Dukungan Tokoh Masyarakat

Perilaku Kesehatan Faktor Enabling :

- Sumber-sumber yang tersedia / ketersediaan fasilitas

- Keterampilan lain - Fasilitas


(1)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1Kesimpulan

1. Masa kerja berpengaruh terhadap pemberian vitamin A kepada ibu nifas di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Sawang. Jika bidan memiliki masa kerja <4 tahun berpeluang untuk tidak memberikan vitamin A sebesar 14 kali dibandingkan jika bidan memiliki masa kerja ≥4 tahun. Semakin lama seseorang bekerja semakin banyak pengetahuan dan keterampilan yang didapat. Maka keterampilan dalam melaksanakan tugas pada saat kegiatan akan semakin tinggi sehingga partisipasi bidan dalam kegiatan puskesmas akan semakin baik.

2. Dukungan Dinas Kesehatan berpengaruh terhadap pemberian vitamin A kepada ibu nifas di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Sawang. Jika bidan tidak mendapat dukungan maka peluang untuk tidak memberikan vitamin A sebesar 9 kali dibanding dengan bidan yang mendapat dukungan.

3. Masa kerja bidan merupakan variabel yang paling dominan dalam mempengaruhi pemberian vitamin A kepada ibu nifas.


(2)

6.2Saran

1. Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Selatan diharapkan untuk membuat kebijakan operasional seperti meningkatkan pendidikan dan melakukan pelatihan terutama pada bidan yang masa kerja <4 tahun dan menitoring yang berkesinambungan terhadap kinerja bidan guna meningkatkan cakupan program pemberian vitamin A secera menyeluruh serta memperhatikan kelengkapan ketersediaan vitamin A. 2. Kepala Puskesmas Kecamatan Sawang diharapkan lebih meningkatkan fungsi

pengawasan dan evaluasi dalam kinerja bidan serta memberikan reward kepada bidan yang berprestasi dalam meningkatkan program pemberian vitamin A agar kinerja bidan semakin meningkat.

3. Bidan diharapkan lebih meningkatkan pengetahuan dan kinerja dengan cara ikut serta dalam seminar dan mengikuti pelatihan tentang pemberian vitamin A, serta menyadari tugas dan fungsinya sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan dan perpanjangan tangan dari Puskesmas dalam melayani masyarakat.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Adriani, M., Bambang,W., Evy, A., Triska, S.S., 2006. Pengaruh Pemberian Vitamin pada Ibu Nifas Terhadap Kadar Retinol ASI dan Respon Imun pada Bayi. Jurnal FKM Universitas Airlangga

Ali, M.B., T, Deli., 2009. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Penabur Ilmu

Almatsier, S., 2012. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Aroni, H., 2012. Pentingnya Vitamin A pada Ibu Nifas.

Azwar, S., 2012. Sikap Manusia Edisi ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset

Depkes RI., 2000. Laporan Penyusunan Pedoman Pemberian Kapsul Vitamin A Dosis Tinggi. Jakarta

_________, 2005. Apa dan Mengapa Tentang Vitamin A, Panduan Praktis untuk Praktisi Kesehatan. Jakarta

_________, 2006. Deteksi dan Tatalaksana Kasus Xeroftalmia. Pedoman Bagi Tenaga Kesehatan.Direktorat Jenderal Binkesmas.Jakarta

_________, 2007. Survey Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2007.

_________, 2009. Panduan Manajemen Suplemen Vitamin A. Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Jakarta

Dewi, V.K., 2010. Peran Bidan di Desa dan Cakupan Pemberian Kapsul Vitamin A pada Ibu Nifas. FK UGM, Berita Kedoteran Masyarakat, Vol. 26, No. 2, Juni 2010. Yogyakarta

Dinas Kesehatan Aceh., 2012. Profil Kesehatan Aceh 2011

Dinas Kesehatan Aceh Selatan., 2013. Profil Kesehatan Aceh Selatan 2012

Farodis, Z., 2012. Panduan Lengkap Manajemen Kebidanan. Yogyakarta: D-Medika. Harlock, E., 2004. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.


(4)

HKI., 2004. Program Pemberian Kapsul Vitamin A Perlu Ditingkatkan Agar Bermanfaat Untuk Ibu dan Anak. Buletin Kesehatan dan Gizi Indonesia dalam Masa Transisi. Jakarta. Tahun 6 edisi1 Diunduh dari

________, 2005. Buta Senja: Suatu masalah yang biasa terjadi pada wanita tidak hamil-menunjukkan perlunya suatu upaya peningkatan cakupan kapsul vitamin A ibu nifas segera. Kesehatan dan Gizi Indonesia Dalam Masa Transisi. Jakarta. Tahun 7 edisi1 Diunduh dr hhtp://www.hki.org//tg.pdf. diakes 30 Maret 2013

Heni, P., 2009. Etika Profesi Kebidanan. Yogyakarta: Penerbit Fitramaya

Hidayat, A., 2010. Metode Penelitian Kesehatan Paradigma Kuantitatif. Surabaya: Health Books Publishing

Karwati, D.P., Sri, M., 2011. Asuhan Kebidanan V ( Kebidanan Komunitas). Jakarta: Trans Info Media

Kementerian Kesehatan, RI., 2010. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), 2010. Jakarta Lubis, E., 2009. Pengaruh Karakteristik Individu dan Motivasi Ekstrinsik terhadap

Kinerja Dokter dalam Kelengkapan Pengisian Rekam Medis Pasien rawat Inap di Rumah Sakit PT Perkebunan Nusantara IV (PERSERO) Tahun 2008. Tesis Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Medan

Manuaba., 2010. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan KB. Jakarta: EGC.

Mardiah., 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Bidan dalam Mendukung Program Inisiasi Menyusui Dini (IMD) Di Kota Pekanbaru. Thesis. UNAND Padang

Maritalia, D., 2012. Asuhan Kebidanan Nifas dan Menyusui. Jakarta: Pustaka Belajar.

Mustofiyah., 2011. Hubungan Pemberian Kapsul Vitamin A pada Ibu Nifas dengan Kejadian Diare dan Pertumbuhan pada Bayi di Desa Ciduwet Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes, Thesis, Universitas Muhammadiyah Semarang


(5)

Mustika, S., dkk., 2001. Bidan Menyongsong Masa Depan, 50 Tahun IBI, Jakarta: PP IBI, hal. Rulina Mustika Sofyan., et all., 2006, Bidan Menyongsong Masa Depan. cetakan ke VI. Jakarta: PP IBI

Naibaho, E., 2011. Gambaran Pemberian Kapsul Vitamin A untuk Ibu Nifas oleh Penolong Persalinan di Wilayah Kerja Puskesmas Poriaha Kecamatan Tapian Nauli Kabupaten Tapanuli Tengah. Fakultas Kedoteran Universitas Diponegoro. Semarang

Niven, N., 2002. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Grasindo

Notoatmodjo, S., 2003. Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT Rineka Cipta.

_____________, 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: PT Rineka Cipta.

_____________, 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

_____________, S., 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Nursalam., 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.

Jakarta: Salemba Medika

Prawihardjo, S., 2009. Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Cetakan 2. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo

Purwanti, E., 2003. Hubungan Ketersediaan Kapsul Vitamin A Dosis Tinggi Penolong Persalinan dan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Pemberian Vitamin A Dosis Tinggi pada Ibu Nifas Di Puskesmas Batang III Kabupaten Batang. Thesis. Universitas Diponegoro.

Ranupandoyo, H., Husnan, S., 1990. Manajemen Personalia, Edisi ke-4. Jakarta: BPFE

Riyanto, A., 2009. Pengolahan dan Analisis Data Kesehatan. Yogyakarta: Jaza Mulia. Robbins, S.P., Judge, T.A., 2008. Perilaku Organisasi, Edisi Ke-12 Terjemahan,

Jakarta: Salemba Empat


(6)

Sandjaja, E.R., 2011. Cakupan Suplementasi Kapsul vitamin A pada Ibu Masa Nifas dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi di Indonesia Analisa Data Riskesda, 2010, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan –Vol 15 N0. 1 Januari 2012. Jakarta

Sastroasmoro S., Ismael, S., 2002. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-2. Jakarta: CV Sagung Seto

Siddiqi, N., Igbal, R., 2001. Maternal Postpartum Vitamin A Supplementation Progrmme: Is there a need in Pakistan. http/www.jpma.org.pk/full_article_text.php

Sunaryo., 2004. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC

Utami, T.R. 1997., Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Cakupan Program Pemberian Kapsul Vitamin a Pada Balita di Purworejo. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

UNICEF., 1998. The State of The World’s Children 1998. New York: Oxford University Press.

Wawan, A., Dewi, M., 2010. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika

Winarni, L.P., 2008. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Peranan Bidan Desa dalam Upaya Menurunkan Angka Kematian Ibu di Kabupaten Aceh Utara Tahun 2007. Medan: Tesis FKM USU

Yatino. 2005., Analisis Kinerja Bidan Desa dan Hubungannya dengan Keberhasilan Program Perbaikan Gizi dan Kesehatan di Kabupaten Lampung Barat. Skripsi Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor: Fakultas Pertanian IPB

Yulianti, D., Anhari, A., 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Petugas Terhadap SOP Imunisasi pada Penanganan Vaksin Campak. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Universitas Indonesia