Analisis Kelayakan Finansial dan Prospek Pemasaran Budidaya Gaharu

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Gaharu

   Di Indonesia gaharu dikenal mulai abad ke-12 diperdagangkan barter

  antara masyarakat Kalimanatan Barat dan Sumatera Selatan dengan pedagang Kwang Tung, China. Gaharu dalam bentuk gubal semula dipungut dari pohon penghasilnya di dalam hutan dengan cara menebang pohon hidup dan mencacahnya untuk mendapatkan bagian yang bergaharu. Komoditas gaharu telah cukup lama dikenal masyarakat umum. Beberapa jenis tanaman gaharu yang dikenal antara lain Aquilaria malaccensis, A. filaria, A. hirta, A, agalloccha, A. macrophylum dan beberapa puluh jenis lainnya (Duryatmo, 2009).

  Dari puluhan jenis tanaman yang berpotensi tersebut, Aquilaria malaccensis adalah tanaman penghasil gaharu berkualitas terbaik dengan nilai jual yang tinggi, jenis ini termasuk dalam family Thymelleaceae, tumbuh di dataran rendah hingga pegunungan, 0-750 mdpl, suhu rata - rata 32°C dengan kelembaban rata - rata 70%, curah hujan sekitar 2000 mm. Pembudidayaan tanaman penghasil gaharu akhir - akhir ini makin marak, karena sebagian masyarakat sudah dapat menikmati hasilnya. Namun di sisi lain juga dijumpai beberapa kasus ketidakberhasilan pengusahaan gaharu yang disebabkan antara lain oleh kegagalan dalam pemeliharaan, kegagalan dalam melakukan inokulasi, dan adanya pencurian pohon di kebun gaharu (Duryatmo, 2009).

  Deskripsi Gaharu

  Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) merupakan nama perdagangan dari produk kayu (incense) yang dihasilkan oleh beberapa spesies pohon penghasil gaharu. Dalam perdagangan internasional, produk ini dikenal sebagai agarwood,

  

aloeswood, atau oudh. A.malaccensis adalah salah satu jenis tanaman hutan yang

  memiliki mutu sangat baik dengan nilai ekonomi tinggi karena kayunya mengandung resin yang harum. Bagian tanaman penghasil gaharu yang digunakan adalah bagian kayu yang membentuk gubal resin, sebagai produk metabolit sekunder (Santoso, 2007).

  Untuk jenis gaharu dengan nilai jual yang relatif rendah, biasanya disebut sebagai Selain ditentukan dari jenis tanaman penghasilnya, kualitas gaharu juga ditentukan oleh banyaknya kandungandalam jaringan kayunya. Semakin tinggi kandungan resin di dalamnya maka harga gaharu tersebut akan semakin mahal dan begitu pula sebaliknya. Secara umum perdagangan gaharu digolongkan menjadi tiga kelas besar, yaituubal merupakan kayu berwarna hitam atau hitam kecoklatan dan diperoleh dari bagian pohon penghasil gaharu yang memiliki kandungan damar wangi beraroma kuat. Kemedangan adalah kayu gaharu dengan kandunganwangi dan aroma yang lemah serta memiliki penampakan fisik berwarna kecoklatan sampai abu-abu, memilikikasar, dan kayu lunak. Kelas terakhir adalah abu gaharu yang merupakanharu harus diolah terlebih dahulu untuk mendapatkanyang terkandung di dalamnya (Dephut, 2002).

  Sebagian kayu gaharu dapat dijual ke ahliatau air untuk mengekstraksi minyak dari kayu tersebut. Untuk mendapatkan minyak gaharu denganayu gaharu direndam dalam air kemudian dipindahkan ke dalam suatu tempat untuk menguapkan air hingga minyak yang terkandung keluar ke permukaan wadah dan senyawa aromatik yang menguap dapat dikumpulkan secara terpisah. Teknik distilasi uap menggunakan potongan gaharu yang dimasukkan ke dalam peralatandapat keluar. Uap air akan membawa senyawa aromatik tersebut kemudian melalui tempat pendinginan yang membuatnya tekembali menjadi cairan. Cairan yang berisi campuran air dan minyak akan dipisahkan hingga terbentuk lapisan minyak di bagian atas dan air di bawah. Salah satu metode digunakan saat ini adalah ekstraksi dengan superkritikal CO

  2 , yaitu CO 2 cair yang terbentuk karena tekanan tinggi. CO 2 cair

  berfungsi sebagai pelarut aromatik yang digunakan untyang tersisa, CO

  

2 dapat dengan mudah diuapkan saat berbentukpada suhu dan tekanan

normal (Dephut, 2002).

  Budidaya Gaharu

  Menurut Sumarna (2009) tata cara pembudidayaan gaharu adalah sebagai berikut : A.

Pembersihan lahan

  Dalam pengusahaan secara monokultur, lahan lahan tanam dibersihkan dari tonggak/tunggul dari bekas tegakan dari pohon berkayu (Hutan Alam Produksi, HTI) atau berbagai jenis tanaman perkebunan. Tumbuhan lain disekitar titik tanam untuk sementara dibiarkan tumbuh, sebagai upaya pemberian naungan sesuai sifat pohon gaharu yang semitoleran terhadap cahaya. Sedangkan pada lahan terbuka, perlu dibina terlebih dahulu adanya pohon lain yang cepat tumbuh, agar dapat berperan sebagai naungan sementara hingga tanaman gaharu berumur 2 – 3 tahun. Sedangkan pada lahan dan atau kawasan yang tersedia secara alami adanya pohon lain, pembersihan lahan dilakukan hanya pada sekitar titik tanam sesuai model.

  B.

Pengolahan Lahan

  Pengolahan lahan lebih dimaksudkan kepada upaya memperbaiki struktur 0,5 m – 1,0 m. Tanah dicangkul dan dibersihkan dari tumbuhan lain serta digemburkan agar dapat menunjang laju pertumbuhan bibit tanaman gaharu.

  B.1. Pengajiran dan Pembuatan Lubang Tanam.

  Pengajiran dilakukan untuk menetapkan titik letak tanam sesuai rencana dan program pengusahaan tanaman gaharu. Sesuai kondisi lingkungan lahan letak ajir tanam dalam satuan luas dapat dipola berdasarkan kapasitas dan tujuan produksi. Untuk budidaya monokultur dapat dipola sesuai program Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan jarak tanam 2 x 3 m atau 3 x 3 m ( 1000 – 1600 pohon/Ha) dan bila terpola secara diversifikasi (agroforestry, hutan campuran) ideal berjarak tanam 4 x 5 m (500 batang/Ha) atau 5 x 5 m (400 batang/Ha). Pada titik ajir buat lubang tanam yang disesuaikan dengan kondisi tingkat kesuburan lahan, pada lahan cukup baik, lubang tanam cukup berukuran 30 x 30 x 30 cm dan pada lahan kurang subur lubang tanam diperlebar. Pembuatan lubang tanam optimal dilakukan pada sekitar 1 bulan sebelum waktu tanam. B.2. Pemupukan dan Proteksi Lubang Tanam.

  Pemupukan dasar dipandang penting sebagai upaya mempercepat laju pertumbuhan bibit. Setiap lubang tanam dapat diberikan pupuk kompos organik matang sebanyak 3 – 5 kg, atau ditambahkan pupuk majemuk buatan jenis NPK 20 – 30 gram dan 20 gram TSP. Bila tanah memiliki keasaman dengan pH < 5, sebaiknya diberikan kapur dolomit 100 gram/lubang tanam untuk memudahkan akar dalam menyerap hara lahan.

  Untuk melindungi kemungkinan adanya gangguan hama akar pada awal tanam dapat diberikan pestisida (kimia/organik), sedangkan untuk melindungi akar dari gangguan penyakit yang dapat mematikan bibit setelah tanam, perlu dipersiapkan kondisi fisik lahan sekitar letak tanam yang terhindar dari terjadinya genangan air.

  C. Teknis Penanaman C.1. Seleksi Bibit

  Bibit gaharu yang telah tersedia di areal pesemaian, lakukan pemilihan bibit yang memiliki ukuran dan umur yang seragam serta sehat, usahakan bibit yang seragam baik kondisi tumbuh maupun umur (> 9 bulan), sehat, memiliki tinggi optimal antara 40 – 50 cm dan berdiameter sekitar 1 cm serta secara fisik perakaran bibit belum menembus polybag. C.2. Pengangkutan Bibit

  Bibit yang terseleksi sekitar 1 – 2 bulan sebelum tanam angkut ke wilayah areal penanaman sebagai upaya penyesuaian dengan kondisi ekologis lingkungan areal tanam (aklimatisasi) dan atau langsung tempatkan pada titilk letak dekat lubang tanam yang telah dipersiapkan. Usahakan bibit dalam keadaan baik, tetap segar dan tidak layu akibat proses pengangkutan C.3. Penanaman Waktu Tanam

  Kelola dan tetapkan waktu tanam yang sesuai dengan resiko kematian bibit setelah tanam rendah. Sebaiknya waktu tanam ditetapkan pada awal atau Teknik Penanaman

  Teknis penanaman gaharu secara umum tidak berbeda jauh dengan tanaman lain, lepaskan polybag dari media secara baik dan usahakan media tidak pecah, letakan pada lubang tanam dengan kondisi pangkal batang sejajar permukaan lubang tanam, timbun bibit dengan tanah galian bagian permukaan yang telah dipisahkan dalam proses pembuatan lubang tanam, tekan-tekan hingga batang berdiri tegak dan kuat. Agar tidak terganggu secara fisik, bekas ajir ikatkan dengan batang bibit dan sebagai tanda lubang tanam telah tertanam bibit, bekas polybag letakan diujung ajir.

  D.

Pemeliharaan

  Pemeliharaan pertanaman gaharu ideal dilaksanakan intensif hingga mencapai umur sekitar 6 tahun dengan tujuan untuk memperoleh volume kayu yang erat kaitannya dengan volume produksi gaharu yang dapat dihasilkan. Jenis kegiatan pemeliharaan sebagai berikut : D.1. Penyiangan Agar bibit dalam proses aklimatisasi dan adaptasi dengan kondisi iklim dan lingkungan setempat serta untuk mengurangi tingkat kompetisi hara lahan, maka dalam interval 4 – 6 bulan sekali lakukan pembersihan gulma dengan menyiangi sekitar tanaman gaharu dalam radius sekitar 50 cm, hingga berumur sekitar 4 - 5 tahun tanam.

  Penggemburan tanah disekitar tanaman dalam radius minimal 0,5 m penting dilakukan hingga tanaman gaharu berumur 4 - 5 tahun dengan maksud agar pertukaran oksigen dalam tanah mampu mendukung dan D.3.Pemupukan

  Dalam pengembangan budidaya tanaman, ideal kondisi lahan tanam baik menyangkut struktur dan tekstur tanah dianalisa, sebagai bahan dalam menetukan perlakuan jenis dan dosis pupuk yang perlu diberikan kepada tanaman. Secara fisik aspek kebutuhan pupuk bertujuan untuk meningkatkan perkembangan riap tumbuh (tinggi dan diameter) serta kesehatan tanaman. Pemberian pupuk alami berupa kompos organik dari jenis kotoran ternak besar dan atau kecil, dapat diberikan kepada tanaman bersama dengan pupuk kimia (UREA, NPK, KCl) yang disesuaikan dengan umur dan perkembangan pertumbuhan tanaman.

  D.4.Pengendalian Hama dan Penyakit Aspek pengendalian hama dan penyakit lebih ditujukan kepada upaya mempertahankan populasi tanaman per satuan luas dan atau jenisa usaha yang diterapkan. Secara umum apabila kondisi kawasan hutan memiliki kondisi tingkat penyerapan air (drainase) yang baik, secara biologis akan terhindar dari gangguan penyakit akar dan pada lahan sering dihuni oleh hama akar (uret tanah), ideal pada saat tanam diberikan pestisida kimia atau biologis.

  Maka dalam upaya budidaya pohon penghasil gaharu, diperlukan strategi dengan 3 kriteria dan indikator terpenting antara lain adalah : (a) : Bahan tanaman memiliki sifat rentan terhadap penyakit pembentuk gaharu, (b) Areal budidaya tersedia adanya pohon lain sebagai naungan dengan intensitas cahaya masuk sekitar 60 %, (c) Lahan budidaya memiliki kondisi fisik dan kimia yang menghasilkan faktor munculnya stress dan (d) Untuk membangun volume kayu yang optimal, perlu pemeliharaan intensif hingga tanaman mencapai fase pertumbuhan generatif (± 6 tahun), agar dapat menghasilkan limit diameter minimal batang pohon yang siap untuk diproduksi ≥ 15 cm (Sumarna, 2012).

  Prospek Pengembangan

  Indonesia adalah produsen gaharu terbesar di dunia dan menjadi tempat tumbuh endemik beberapa spesies gaharu komersial dari marga Aquilaria, seperti

  A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. filarial, dan lain-lain.

  Pada tahun 1985, jumlah ekspor gaharu Indonesia mencapai sekitar 1.487 ton, namun eksploitasi hutan alam tropis dan perburuan gaharu yang tidak terkendali telah mengakibatkan spesies-spesies gaharu menjadi langka. Tingginya harga jual gaharu mendorong masyarakat untuk memburu gaharu tidak hanya dengan cara memungut dari pohon penghasil gaharu yang mati alami melainkan juga dengan menebang pohon hidup, oleh karena itu pada tahun 1995 CITES memasukkan

  A. malaccensis, penghasil gaharu terbaik ke dalam daftar appendix II dan sejak saat itu ekspor gaharu dibatasi oleh kuota yaitu hanya 250 ton/tahun (Suharti, 2009).

  Perkembangan yang terjadi selanjutnya ternyata kurang begitu bagus. Bahkan sejak tahun 2000, total ekspor gaharu dari Indonesia terus menurun hingga jauh di bawah ambang kuota CITES. Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam telah mengakibatkan semua pohon penghasil gaharu (Aquilaria spp. dan Gyrinops spp.) dimasukkan dalam Appendix II pada konvensi CITES tanggal 2-14 Oktober 2004 di Bangkok. Selanjutnya, karena adanya kekhawatiran akan punahnya spesies gaharu di Indonesia, maka sejak tahun 2005 Departemen Kehutanan kembali menurunkan kuota ekspor menjadi hanya 125 ton/tahun (Gun et all., 2004).

  Permintaan terhadap gaharu terus meningkat, karena banyaknya manfaat gaharu. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi industri, gaharu tidak hanya digunakan sebagai bahan wangi - wangian (industri parfum), tetapi juga digunakan sebagai bahan baku obat - obatan, kosmetika, dupa, dan pengawet berbagai jenis aksesoris. Selain itu, beberapa agama di dunia mensyaratkan wangi gaharu yang dibakar sebagai sarana peribadatan (untuk keperluan kegiatan religi).

  Namun dari sisi negara pengekspor, tingginya permintaan gaharu belum dapat dipenuhi, karena kekurangan bahan baku bermutu tinggi untuk ekspor. Hal ini banyak dikeluhkan oleh beberapa eksportir gaharu Indonesia (Adijaya, 2009).

  Ekspor untuk pasar Timur Tengah sebagai contoh menurun dari 67.245 kg pada tahun 2005 menjadi 39.400 kg tahun 2006, karena sulitnya memperoleh bahan baku gubal super yang diminta. Keluhan kekurangan bahan baku gaharu untuk ekspor juga dialami oleh pemasok pasar Singapura. Sebagai contoh CV Ama Ina Rua, eksportir di Jakarta yang pada tahun 2005 bisa mengekspor 5-6 ton/bulan, pada tahun 2006 hanya mampu mengekspor 2-3 ton/bulan. Penurunan kemampuan ekspor Indonesia tersebut sudah diprediksi oleh berbagai pihak, karena eksploitasi hutan dan perburuan gaharu yang tidak terkendali (Adijaya, 2009).

  Penurunan kemampuan ekspor Indonesia tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan harga gaharu, baik di pasar dunia maupun di tingkat pengumpul. Pada tahun 1980, harga gaharu di tingkat pengumpul berkisar antara Rp 30.000-50.000/kg untuk kualitas rendah dan Rp 80.000/kg untuk kualitas super. Pada awalnya kenaikan harga gaharu relatif lambat, yaitu hanya naik menjadi Rp100.000/kg pada tahun 1993. Kenaikan pesat terjadi pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997, dimana harga gaharu mencapai Rp 3-5 juta/kg (Suharti, 2009).

  Kenaikan harga gaharu terus berlanjut dan makin tajam hingga mencapai Rp 10 juta/kg pada tahun 2000 dan meningkat lagi hingga mencapai Rp 15 juta/kg pada tahun 2009. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa gaharu sangat prospektif untuk dikembangkan, khususnya bagi Indonesia yang memiliki potensi biologis yaitu tersedianya beragam spesies tumbuhan penghasil gaharu dan masih luasnya lahan-lahan kawasan hutan yang potensial serta tersedianya teknologi inokulasi yang menunjang untuk pembudidayaan gaharu (Suharti, 2009).

  Analisis Finansial

  Analisis finansial bertujuan untuk menghitung kebutuhan dana baik kebutuhan dana aktiva tetap, maupun dana untuk modal kerja. Studi aspek finansial bertujuan untuk mengetahui perkiraan pendanaan dan aliran kas usaha sehingga dapat diketahui layak atau tidaknya usaha yang dimaksud.

  Menurut Suharjito et all. (2003) bahwa analisis finansial pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang diperoleh, biaya yang dikeluarkan, berapa keuntungannya, kapan pengembalian investasi dan pada tingkat suku bunga berapa investasi itu memberikan manfaat.

  Pada umumnya ada beberapa metode yang biasa dipertimbangkan untuk dipakai dalam penelitian aliran kas dari suatu investasi, yaitu metode Net Present

  Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), dan Internal Rate of Return (IRR).

  a. Net Present Value (NPV) Analisis yang digunakan untuk mengukur profitabilitas suatu investasi jangka panjang dalam kegiatan pertanian adalah Net Present Value, yaitu selisih antara nilai manfaat dan nilai biaya selama kurun waktu tertentu pada tingkat bunga yang ditentukan. Nilai positif NPV dari satu sistem kegiatan investasi menunjukkan bahwa budidaya tanaman tersebut cukup menguntungkan. NPV yang dihitung dengan harga finansial yaitu perhitungan dengan nilai pasar yang mencerminkan penerimaan dan pengeluaran nyata petani, menghasilkan parameter profabilitas untuk kepentingan para pengambil keputusan atau masyarakat yang lebih luas.

  Mengingat bahwa produktivitas lahan merupakan kepentingan para pengambil keputusan, maka NPV yang dihitung dengan nilai ekonomi, merupakan indikator profabilitas yang lebih baik. Karena memasukkan semua komponen lingkungan didalamnya (Budidarsono, 2001). b. Benefit Cost Ratio (BCR) Benefit Cost ratio (BCR) merupakan perbandingan antara nilai manfaat dan nilai biaya dari satu investasi pada tingkat susku bunga yang telah ditentukan.

  Nilai BCR lebih besar dari satu menunjukkan bahwa investasi cukup menguntungkan.

  c. Internal Rate of Returns (IRR) Internal Rate of Returns (IRR) membandingkan manfaat dan biaya yang ditunjukkan dalam persentasi. Dalam hal ini nilai IRR merupakan tingkat bunga di mana nilai manfaat sama dengan nilai biaya. IRR merupakan parameter yang menunjukkan sejauh mana satu investasi mampu memeberikan keuntungan besar dari tingkat bunga umum memberikan petunjuk bahwa investasi tersebut cukup menguntungkan.