Tentang Hutan Hak Dan Bagaimana Kerangka
Tentang Hutan Hak Dan
Bagaimana Kerangka
Hukumnya
Grahat Nagara
Bagian Kesatu. Pendahuluan:
Hutan seperti halnya ruang agraria lainnya tidak dapat secara mutlak dikuasai oleh
negara. Sejarah membuktikan, foresta atau yang berada di luar, bukan berarti tidak
pernah didomestifikasi oleh masyarakat (Barton 2004). Namun, konsep hutan yang
dikelola oleh masyarakat (hutan domestik) baik individual maupun komunal pada
dasarnya tidak berarti harus melepaskannya dari kerangka hutan politik – yang
memberikan ruang bagi kepentingan yang lebih luas. Alamiahnya, sosialpolitik dan
ekologi berada dalam satu kerangka hukum dan lanskap bersama. Kerangka hukum di
Indonesia, terutama dalam UU 41/1999, telah menyediakan peluang tersebut – bahkan
jika dicermati validitas hukumnya jauh lebih kuat ketimbang memaksakan penguasaan
tunggal oleh negara atas hutan. Terutama semenjak diperkuat melalui Putusan MK
45/2011, Putusan MK 35/2012, Perber 4 Menteri, dan PermenLHK 32/2015.
Bagian Kedua. Asumsi dasar dan validitas hukumnya:
(1) Hutan hak dan hutan adat berada di dalam kawasan hutan. Pasal yang dapat
dijadikan argumen diantaranya:
a. Pasal 1 huruf d UU 41/1999 menyebutkan bahwa hutan negara adalah
hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
Sementara huruf e menyatakan hutan hak adalah hutan yang dibebani
hak atas tanah.
i. Ketentuan ini menerangkan adanya klasifikasi hutan berdasarkan
status penguasaan. Baik oleh negara, hak, maupun adat.
ii. Apabila dibaca bahwa kawasan hutan berbeda dengan klasifikasi
hutan, maka menjadi janggal, karena akan menghadirkan obyek
hutan negara di luar dari kawasan hutan.
b. Kemudian disebutkan dalam Pasal 36 (1) dan Pasal 37 (1) UU 41/1999
bahwa pemanfaatan hutan hak dan hutan adat dilakukan sesuai dengan
fungsinya. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa pemanfaatan
hutan lindung dan konservasi di hutan hak maupun adat dapat
dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.
1
i. Penting agar ketentuan ini dibaca secara a contrario. Kalau
kemudian hutan adat dan hutan hak berada di luar kawasan
hutan, maka pemerintah tidak punya kewenangan untuk
mengatur lagi apakah hutan yang ada di kelola sesuai fungsinya.
ii. Dengan demikian pengaturan tersebut mengisyaratkan bahwa
pemerintah tetap harus mengatur fungsi dalam tiap penguasaan
atas hutan, baik itu oleh hak maupun oleh adat.
(2) Hak masyarakat atas hutan merupakan posisi awal (teori residual). Pasal yang
dapat dijadikan argumen diantaranya:
a. Bahwa di dalam Pasal 68 ayat (3) disebutkan bahwa
i. Kembali, pembacaan terhadap pasal a quo harus terbalik (a
contrario)! Kompensasi hanya bisa diberikan atas dasar hak yang
hilang. Jika undangundang menilai masyarakat tidak memiliki
hak, tentu tidak perlu diberikan kompensasi.
ii. Selain itu, negara sejak awal mengakui posisi awal masyarakat
sebagai subyek hukum de facto yang memiliki hak untuk
mengakses hutan.
(3) Pengakuan hak di dalam kawasan hutan, tidak hanya mendasarkan
penguasaan tanah secara de jure, melainkan de facto.
a. Bahwa di dalam Pasal 67 disebutkan syarat pengelolaan hutan adat
adalah pengakuan dan kenyataannya masih ada.
i. Pasal tersebut menyebutkan pengakuan keberadaan dan
eksistensi aktual sebagai dasar hak untuk mengelola hutan, tetapi
tidak menyebutkan kepemilikan dokumen hak atas tanah yang
formal.
ii. Dengan demikian sebenarnya penguasaan tanah secara efektif dan
pengakuan eksistensi oleh peraturan perundangundangan sudah
cukup untuk menjadi dasar mendapatkan hak pengelolaan hutan.
b. Bahwa di dalam PP 24/1992 diatur bahwa .
i. Kewenangan untuk mengatur hak atas tanah tidak dimiliki oleh
rezim kehutanan. Pun, sebenarnya UU 41/1999 tidak memiliki
pengaturan tentang pemberian hak atas tanah, kecuali jika dalam
penetapan kawasan hutan secara kontinjensi menyebabkan
hilangnya. Oleh karena itu, pengaturan tentang pengakuan hak
atas tanah de facto, sebagaimana diatur di dalam PP 24/1992
harus dibaca sama dengan yang berlaku di sektor kehutanan.
Bagian Ketiga. Penetapan hutan hak:
(1) Penetapan hutan hak pada dasarnya merupakan pendaftaran status, bukan
perubahan peruntukan juga bukan perubahan fungsi.
a. Perubahan peruntukan dan fungsi diatur secara khusus dalam Pasal 19,
sementara penetapan status diatur juga dalam Pasal 5 (3).
i. Pengaturan Pasal 5 (3) menegaskan perbuatan administrasi
negara yang berbeda dengan perubahan peruntukan maupun
2
fungsi. Pasal 19 tidak merujuk pada Pasal 5 (3) baik dalam batang
tubuh maupun penjelasannya. Jelas, penetapan status tidak
berkorelasi pada perubahan peruntukan maupun fungsi.
b. Perubahan peruntukan dan fungsi berbeda dengan perubahan status.
Istilah perubahan status secara khusus diatur di dalam penjelasan Pasal
68 ayat (3).
i. Pasal 68 (3) mengatur tentang konsekuensi dari pengukuhan
kawasan hutan yang dapat menyebabkan perubahan status dan
fungsi kawasan hutan yang menghilangkan hak atas tanah
masyarakat maupun aksesnya. Istilah ‘dapat’ diartikan tidak
selalu terjadi.
(2) Dalam logika administratif, penetapan hutan hak berbeda dengan pemberian
izin dalam UPHHK.
a. Analoginya bisa dibandingkan dengan yang berlaku di sektor
perkebunan, ada yang penguasaan dan pengelolaan perkebunannya
menggunakan Izin Usaha Perkebunan, tetapi ada juga yang
pengelolaannya cukup didaftarkan – yaitu untuk pekebun skala kecil
dengan penguasaan tanah efektif maupun hak atas tanah individual.
i. Pemegang izin pada dasarnya mendapatkan haknya untuk
mengelola kawasan hutan berdasarkan delegasi kewenangan
pemerintah untuk mengelola sumber daya alam. Hal ini berbeda
dengan pengelolaan hutan hak – karena negara mengakui
keberadaannya sebagai penyandang hak atas tanah.
(3) Dengan penetapan hutan hak, maka berlaku juga hak dan kewajiban yang harus
dipatuhi pada setiap pemegang kuasa hutan.
(4) Mengacu pada ketentuan di dalam UU 41/1999 maka penetapan hutan hak,
dapat meliputi proses:
Pengaturan
Bentuk
Permohonan
Pasal 5 dan Pasal
6 PermenLHK
32/2015
Bukti hak atas
tanah/
penguasaan
Perda MHA/ SK
Bupati/ Putusan
Pengadilan
Pembuktian
Pasal 4 PermenLHK
32/2015,
PP 24/1997, Pasal 67 UU
41/1999
Penguasaan tanah tertulis
maupun tidak tertulis
Penetapan
Pasal 4 dan Pasal 8
UU 41/1999 dan
PermenLHK 32/2015
SK Penetapan Status
Kawasan Hutan
Pengakuan subyek hukum
(5) Saat ini tidak ada mekanisme administratif untuk pemulihan hak antara hutan
hak dengan unit pengelola di hutan negara maupun administrasi dalam
pengelolaan hutan hak dalam berbagai bentuk fungsi. Perlu diskresi dan segera
3
menerbitkan peraturan yang mengatur administrasi dalam pengelolaan hutan
hak.
a. Bahwa pemanfaatan kawasan hutan dan penggunaannya seharusnya
diberikan pasca pengukuhan kawasan hutan selesai. Begitu juga dengan
penatagunaannya. Berbagai kebijakan kehutanan namun demikian,
memungkinkan penggunaan dan pemanfaatan dijalankan meskipun
perencanaan hutan belum selesai sepenuhnya.
i. Jika tidak ada mekanisme transisi untuk memulihkan hak akibat
proses penggunaan dan pemanfaatan tersebut, maka proses
pemberian izin tidak ada bedanya dengan perampasan hak
masyarakat.
ii. Namun, dipahami bahwa hingga saat ini belum ada pengaturan
mengenai pemulihan hak, terutama jika berada pada kawasan
hutan yang telah dibebani unit manajemen.
4
Bagaimana Kerangka
Hukumnya
Grahat Nagara
Bagian Kesatu. Pendahuluan:
Hutan seperti halnya ruang agraria lainnya tidak dapat secara mutlak dikuasai oleh
negara. Sejarah membuktikan, foresta atau yang berada di luar, bukan berarti tidak
pernah didomestifikasi oleh masyarakat (Barton 2004). Namun, konsep hutan yang
dikelola oleh masyarakat (hutan domestik) baik individual maupun komunal pada
dasarnya tidak berarti harus melepaskannya dari kerangka hutan politik – yang
memberikan ruang bagi kepentingan yang lebih luas. Alamiahnya, sosialpolitik dan
ekologi berada dalam satu kerangka hukum dan lanskap bersama. Kerangka hukum di
Indonesia, terutama dalam UU 41/1999, telah menyediakan peluang tersebut – bahkan
jika dicermati validitas hukumnya jauh lebih kuat ketimbang memaksakan penguasaan
tunggal oleh negara atas hutan. Terutama semenjak diperkuat melalui Putusan MK
45/2011, Putusan MK 35/2012, Perber 4 Menteri, dan PermenLHK 32/2015.
Bagian Kedua. Asumsi dasar dan validitas hukumnya:
(1) Hutan hak dan hutan adat berada di dalam kawasan hutan. Pasal yang dapat
dijadikan argumen diantaranya:
a. Pasal 1 huruf d UU 41/1999 menyebutkan bahwa hutan negara adalah
hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
Sementara huruf e menyatakan hutan hak adalah hutan yang dibebani
hak atas tanah.
i. Ketentuan ini menerangkan adanya klasifikasi hutan berdasarkan
status penguasaan. Baik oleh negara, hak, maupun adat.
ii. Apabila dibaca bahwa kawasan hutan berbeda dengan klasifikasi
hutan, maka menjadi janggal, karena akan menghadirkan obyek
hutan negara di luar dari kawasan hutan.
b. Kemudian disebutkan dalam Pasal 36 (1) dan Pasal 37 (1) UU 41/1999
bahwa pemanfaatan hutan hak dan hutan adat dilakukan sesuai dengan
fungsinya. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa pemanfaatan
hutan lindung dan konservasi di hutan hak maupun adat dapat
dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.
1
i. Penting agar ketentuan ini dibaca secara a contrario. Kalau
kemudian hutan adat dan hutan hak berada di luar kawasan
hutan, maka pemerintah tidak punya kewenangan untuk
mengatur lagi apakah hutan yang ada di kelola sesuai fungsinya.
ii. Dengan demikian pengaturan tersebut mengisyaratkan bahwa
pemerintah tetap harus mengatur fungsi dalam tiap penguasaan
atas hutan, baik itu oleh hak maupun oleh adat.
(2) Hak masyarakat atas hutan merupakan posisi awal (teori residual). Pasal yang
dapat dijadikan argumen diantaranya:
a. Bahwa di dalam Pasal 68 ayat (3) disebutkan bahwa
i. Kembali, pembacaan terhadap pasal a quo harus terbalik (a
contrario)! Kompensasi hanya bisa diberikan atas dasar hak yang
hilang. Jika undangundang menilai masyarakat tidak memiliki
hak, tentu tidak perlu diberikan kompensasi.
ii. Selain itu, negara sejak awal mengakui posisi awal masyarakat
sebagai subyek hukum de facto yang memiliki hak untuk
mengakses hutan.
(3) Pengakuan hak di dalam kawasan hutan, tidak hanya mendasarkan
penguasaan tanah secara de jure, melainkan de facto.
a. Bahwa di dalam Pasal 67 disebutkan syarat pengelolaan hutan adat
adalah pengakuan dan kenyataannya masih ada.
i. Pasal tersebut menyebutkan pengakuan keberadaan dan
eksistensi aktual sebagai dasar hak untuk mengelola hutan, tetapi
tidak menyebutkan kepemilikan dokumen hak atas tanah yang
formal.
ii. Dengan demikian sebenarnya penguasaan tanah secara efektif dan
pengakuan eksistensi oleh peraturan perundangundangan sudah
cukup untuk menjadi dasar mendapatkan hak pengelolaan hutan.
b. Bahwa di dalam PP 24/1992 diatur bahwa .
i. Kewenangan untuk mengatur hak atas tanah tidak dimiliki oleh
rezim kehutanan. Pun, sebenarnya UU 41/1999 tidak memiliki
pengaturan tentang pemberian hak atas tanah, kecuali jika dalam
penetapan kawasan hutan secara kontinjensi menyebabkan
hilangnya. Oleh karena itu, pengaturan tentang pengakuan hak
atas tanah de facto, sebagaimana diatur di dalam PP 24/1992
harus dibaca sama dengan yang berlaku di sektor kehutanan.
Bagian Ketiga. Penetapan hutan hak:
(1) Penetapan hutan hak pada dasarnya merupakan pendaftaran status, bukan
perubahan peruntukan juga bukan perubahan fungsi.
a. Perubahan peruntukan dan fungsi diatur secara khusus dalam Pasal 19,
sementara penetapan status diatur juga dalam Pasal 5 (3).
i. Pengaturan Pasal 5 (3) menegaskan perbuatan administrasi
negara yang berbeda dengan perubahan peruntukan maupun
2
fungsi. Pasal 19 tidak merujuk pada Pasal 5 (3) baik dalam batang
tubuh maupun penjelasannya. Jelas, penetapan status tidak
berkorelasi pada perubahan peruntukan maupun fungsi.
b. Perubahan peruntukan dan fungsi berbeda dengan perubahan status.
Istilah perubahan status secara khusus diatur di dalam penjelasan Pasal
68 ayat (3).
i. Pasal 68 (3) mengatur tentang konsekuensi dari pengukuhan
kawasan hutan yang dapat menyebabkan perubahan status dan
fungsi kawasan hutan yang menghilangkan hak atas tanah
masyarakat maupun aksesnya. Istilah ‘dapat’ diartikan tidak
selalu terjadi.
(2) Dalam logika administratif, penetapan hutan hak berbeda dengan pemberian
izin dalam UPHHK.
a. Analoginya bisa dibandingkan dengan yang berlaku di sektor
perkebunan, ada yang penguasaan dan pengelolaan perkebunannya
menggunakan Izin Usaha Perkebunan, tetapi ada juga yang
pengelolaannya cukup didaftarkan – yaitu untuk pekebun skala kecil
dengan penguasaan tanah efektif maupun hak atas tanah individual.
i. Pemegang izin pada dasarnya mendapatkan haknya untuk
mengelola kawasan hutan berdasarkan delegasi kewenangan
pemerintah untuk mengelola sumber daya alam. Hal ini berbeda
dengan pengelolaan hutan hak – karena negara mengakui
keberadaannya sebagai penyandang hak atas tanah.
(3) Dengan penetapan hutan hak, maka berlaku juga hak dan kewajiban yang harus
dipatuhi pada setiap pemegang kuasa hutan.
(4) Mengacu pada ketentuan di dalam UU 41/1999 maka penetapan hutan hak,
dapat meliputi proses:
Pengaturan
Bentuk
Permohonan
Pasal 5 dan Pasal
6 PermenLHK
32/2015
Bukti hak atas
tanah/
penguasaan
Perda MHA/ SK
Bupati/ Putusan
Pengadilan
Pembuktian
Pasal 4 PermenLHK
32/2015,
PP 24/1997, Pasal 67 UU
41/1999
Penguasaan tanah tertulis
maupun tidak tertulis
Penetapan
Pasal 4 dan Pasal 8
UU 41/1999 dan
PermenLHK 32/2015
SK Penetapan Status
Kawasan Hutan
Pengakuan subyek hukum
(5) Saat ini tidak ada mekanisme administratif untuk pemulihan hak antara hutan
hak dengan unit pengelola di hutan negara maupun administrasi dalam
pengelolaan hutan hak dalam berbagai bentuk fungsi. Perlu diskresi dan segera
3
menerbitkan peraturan yang mengatur administrasi dalam pengelolaan hutan
hak.
a. Bahwa pemanfaatan kawasan hutan dan penggunaannya seharusnya
diberikan pasca pengukuhan kawasan hutan selesai. Begitu juga dengan
penatagunaannya. Berbagai kebijakan kehutanan namun demikian,
memungkinkan penggunaan dan pemanfaatan dijalankan meskipun
perencanaan hutan belum selesai sepenuhnya.
i. Jika tidak ada mekanisme transisi untuk memulihkan hak akibat
proses penggunaan dan pemanfaatan tersebut, maka proses
pemberian izin tidak ada bedanya dengan perampasan hak
masyarakat.
ii. Namun, dipahami bahwa hingga saat ini belum ada pengaturan
mengenai pemulihan hak, terutama jika berada pada kawasan
hutan yang telah dibebani unit manajemen.
4