Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi. doc
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
SINOPSIS DISERTASI
POLICY EVALUATION INDONESIAN NATIONAL QUALIFICATIONS FRAMEWORK
FIELD HIGHER EDUCATION
EVALUASI KEBIJAKAN KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA
BIDANG PENDIDIKAN TINGGI
Binsar Antoni Hutabarat
[email protected]
Abstract: The dissertation entitled "Policy Evaluation Indonesian National Qualifications
Framework (KKNI) Field of Higher Education" is focused on the evaluation of higher
education KKNI formulation. So far there has been no research related to corruption
policy evaluation in higher education. This study examined the law in addition to the
policies set KKNI also examined the response to the policy KKNI college conducted at
three universities in Jakarta and Tangerang. Data were collected through interview,
observation given questionnaire and documents, as well as a variety of sources. The
results of this study indicate that policy formulation KKNI using incremental model and
elitist models that do not fit with the system of democratic countries should be more use
of public choice model. That is why the socialization of this policy requires a long time
and seen the results of research in the field.
Keywords.
Public policy, policy evaluation, the Indonesian national qualifications
framework.
Binsar Antoni Hutabara
1
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
EVALUASI KEBIJAKAN KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA
BIDANG PENDIDIKAN TINGGI
POLICY EVALUATION INDONESIAN NATIONAL QUALIFICATIONS FRAMEWORK
FIELD HIGHER EDUCATION
Binsar Antoni Hutabarat
[email protected]
ABSTRAK
Disertasi yang berjudul “Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI) Bidang Pendidikan Tinggi” ini fokus pada evaluasi perumusan KKNI bidang
pendidikan tinggi.
Penelitian ini selain meneliti undang-undang dimana kebijakan KKNI ditetapkan juga
meneliti respon perguruan tinggi terhadap kebijakan KKNI yang dilakukan di tiga
universitas di Jakarta dan Tangerang. Data dikumpulkan melalui teknik wawancara,
pemberian kuesioner dan observasi dokumen, serta beragam sumber.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa formulasi kebijakan KKNI menggunakan
model inkremental dan model elitis yang tidak sesuai dengan sistem negara demokratis
yang mestinya lebih menggunakan model pilihan publik. Itulah sebabnya sosialisasi
kebijakan ini membutuhkan waktu yang lama dan terlihat dari hasil penelitian di
lapangan.
Kata kunci. Kebijakan publik, evaluasi kebijakan, kerangka kualifikasi nasional Indonesia.
2
Binsar Antoni Hutabarat
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kebijakan
pendidikan
nasional
Indonesia
sesungguhnya
menempati
posisi yang sentral bagi usaha memajukan
bangsa Indonesia. Apabila pemerintah
Indonesia gagal membuat kebijakan yang
unggul dalam bidang pendidikan, maka
taruhannya
adalah
kerusakan
dan
kehancuran kehidupan bangsa Indonesia.
Kebijakan pendidikan yang buruk akan
berdampak panjang. Indonesia hanya bisa
menjadi bangsa yang unggul jika
kebijakan
yang
dihasilkan
adalah
kebijakan-kebijakan yang unggul dan
tentu saja dapat diimplementasikan
(Nugroho, 2009).
Pendidikan tinggi Indonesia memasuki
sebuah dekade baru setelah pemerintah
Indonesia meratifikasi beberapa perjanjian
dan komitmen global (AFTA, WTO,
GATTS).
Pemberlakuan
berbagai
kesepakatan internasional nyata dalam
hal seperti diberlakukannya berbagai
macam
parameter
kualitas
untuk
menstandarkan
kualitas
dan
mutu
perguruan tinggi berikut lulusannya. Tahun
2013, ASEAN Economic Community
mempersiapkan AFTA (ASEAN Free
Trade Association Area) 2012. Sedang
WTO
(World
Trade
Organisation)
merupakan satu organisasi internasional
yang berperan untuk mengatur transaksi
perdagangan yang dilakukan oleh negaranegara anggotanya terbentuk tahun 1995.
WTO
sebenarnya
sudah
memiliki
dasarnya pada General Agreement on
Tariffs and Trade (GATT) pada tahun
1947. WTO mengatur beberapa hal
mengenai perdagangan barang (goods),
jasa (service) dan kekayaan intelektual
(property rights). Dengan kehadiran
organisasi-organisasi internasional itu,
maka kesepakatan dan kesepahaman
antarnegara-negara di ASEAN mulai
ditetapkan. Peta pengembangan (Road
map) mobilitas bebas tenaga kerja
profesional antarnegara di ASEAN mulai
dibentangkan (Sailah, 2014).
Ancaman pendidikan era global untuk
pendidikan di Indonesia semakin terasa
ketika diperhadapkan dengan mutu
pendidikan di Indonesia saat ini,
khususnya pendidikan tinggi. Rendahnya
kualitas pendidikan tinggi di Indonesia
bukan berarti bahwa pendidikan di
Indonesia tidak mengalami pertumbuhan
sama sekali, namun arus globalisasi yang
membuka
sekat-sekat
antarnegara
mengakibatkan persaingan antar negara
menjadi jauh lebih terbuka, karena itu
harus diakui, “mutu pendidikan di Indonesi
secara umum memiliki standar yang lebih
rendah dibandingkan negara-negara lain,
khususnya terhadap negara-negara maju
(Tilaar, 2006).
Kondisi tersebut di atas membuat
pemerintah Indonesia harus menyusun
strategi
pengembangan
pendidikan
Indonesia
yang
relevan
dalam
menyongsong era globalisasi. Karena itu,
perubahan mendasar pada bidang
pendidikan tinggi di Indonesia tak dapat
dihindari. Pendidikan tinggi di Indonesia
pada era global kemudian diarahkan
menjadi lembaga pembelajaran dan
sumber pengetahuan yang memiliki
interaksi dengan perubahan pasaran
Binsar Antoni Hutabara
3
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
kerja,
disamping
sebagai
tempat
pengembangan budaya dan pembelajaran
terbuka untuk masyarakat, maupun
wahana kerjasama internasional (Kunaefi,
2008).
Kondisi persaingan global dalam area
pendidikan kemudian secara khusus
direspon oleh Kementerian Pendidikan
Nasional dengan meluncurkan sebuah
booklet tentang
Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia (KKNI) yang berisi
tentang
implikasi
dan
strategi
implementasi
KKNI
pada
tahun
2010/2011. Hasil perumusan kebijakan
KKNI
bidang pendidikan tinggi itu
kemudian dituangkan dalam Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 8 tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI) tahun 2012. Kebijakan penerapan
KKNI di perguruan tinggi ini kemudian
mendapatkan landasan hukum yang kuat
pada UU Pendidikan Tinggi No.12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Untuk melaksanakan kebijakan KKNI
yang
ditetapkan
dalam
Peraturan
Presiden 2012, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan
menetapkan
Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2013
tentang Penerapan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan
Tinggi. Kebijakan penerapan KKNI di
perguruan tinggi itu bertujuan untuk
meningkatkan kualitas tenaga kerja
Indonesia, sebagaimana juga menjadi
tujuan penetapan KKNI pada sektor
pelatihan kerja nasional yang ditetapkan
dalam Peraturan Pemerintah tahun 2006
tentang Sistem Pelatihan Kerja nasional.
Penerapan KKNI bidang pendidikan tinggi
dan sektor pelatihan kerja akan menjadi
4
peta jalan peningkatan kualitas tenaga
kerja Indonesia.
Penetapan KKNI sebagai kerangka
penjenjangan kualifikasi kompetensi kerja
dalam pelatihan kerja ditetapkan juga
sebagai acuan kualifikasi kemampuan
lulusan perguruan tinggi. Tujuannya
adalah agar terdapat integrasi antara
bidang pendidikan dan bidang pelatihan
kerja serta pengalaman kerja dalam
rangka pemberian pengakuan kompetensi
kerja sesuai dengan struktur pekerjaan
diberbagai sektor.
Menurut penelitian awal, kebijakan
penerapan KKNI di bidang pendidikan
tinggi ini telah menimbulkan kontroversi.
Karena kebijakan KKNI oleh sebagian
dosen dianggap mereduksi Visi, Misi,
perguruan tinggi menjadi sekadar institusi
pemasok “tenaga kerja”, untuk kebutuhan
industri. Pada sisi lain, sebagian dosen
setuju dengan kebijakan penerapan KKNI
karena selama ini belum ada acuan
kualifikasi untuk lulusan pendidikan
formal. Mereka yang setuju terhadap
kebijakan
KKNI
berpendapat,
sebagaimana pendidikan kerja telah
menggunakan KKNI sebagai acuan
kualifikasi lulusan pelatihan kerja, maka
pendidikan tinggi juga harus mempunyai
acuan yang sama agar lulusan perguruan
tinggi dapat diterima pada dunia kerja,
terlebih lagi dengan persaingan global
pada bidang pendidikan tinggi.
Terkait dengan kebijakan KKNI
tersebut hingga saat ini belum pernah
dilakukan evaluasi terhadap kebijakan
KKNI bidang pendidikan tinggi. Karena itu,
perlu
dilakukan
penelitian
evaluasi
kebijakan
KKNI
untuk
mengetahui
bagaimanakah struktur dan rumusan
kebijakan KKNI serta kondisi perguruan
Binsar Antoni Hutabarat
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
tinggi sebagai sasaran kebijakan tersebut.
Apakah kebijakan KKNI merupakan
jawaban terhadap kebutuhan perguruan
tinggi dalam menghadapi ancaman global
di bidang pendidikan, dan apakah
kebijakan dapat diterima perguruan tinggi
sebagai sebuah alternatif kebijakan untuk
meningkatkan kualitas perguruan tinmggi
di Indonesia. Berdasarkan Time Line
pengembangan KKNI, kebijakan itu akan
diterapkan tahun 2016 pada perguruan
tinggi di Indonesia (Sutrisno dan Suyadi,
2016.
Penelitian
kebijakan
KKNI
ini
ditekankan untuk mendapatkan informasi
tentang
bagaimanakah
perumusan
kebijakan tersebut dan bagaimanakah isi
kebijakan KKNI bidang pendidikan tinggi.
Penelitian ini lebih kepada evaluasi
rumusan dari kebijakan KKNI. Apakah
perumusan kebijakan KKNI itu telah
melalui tahapan-tahapan yang seharusnya
dilakukan dalam perumusan kebijakan
dalam
sistem
pemerintahan
yang
demokratis.
B. Fokus dan Sub Fokus Penelitian
Berdasarkan
penjelasan
latar
belakang tersebut di atas, maka fokus
penelitian ini adalah untuk memahami
bagaimana perumusan Kebijakan KKNI
bidang pendidikan tinggi itu telah
dilakukan. Sedang sub fokus penelitian ini
adalah:
1. Struktur Kebijakan KKNI.
2. Rumusan kebijakan KKNI.
3. Kondisi perguruan tinggi di Indonesia
sebagai sasaran kebijakan KKNI.
4. Dampak Kebijakan KKNI.
Untuk lebih operasional, fokus dan
sub fokus penelitian ini diturunkan dalam
beberapa pertanyaan penelitian:
1.Bagaimanakah
struktur
kebijakan
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI)?
2.Bagaimanakah
rumusan
kebijakan
KKNI?
3.Bagaimanakah kondisi perguruan tinggi
di Indonesia dalam menghadapi kebijakan
KKNI ?
4.Bagaimanakah dampak kebijakan KKNI
bidang pendidikan tinggi ?
D. Kegunaan Penelitian
Secara teoritis diharapkan dapat
menambah khasanah ilmu pengetahuan
tentang struktur kebijakan KKNI dan
bagaimana rumusan kebijakan KKNI
bidang
pendidikan
tinggi.
Dengan
dipahaminya hal tersebut diharapkan
maka para pengelola perguruan tinggi,
kepala program studi di perguruan tinggi,
Dosen dapat memahami kepentingan
kebijakan KKNI bidang pendidikan tinggi,
dan dapat mendorong agar perguruan
tinggi di Indonesia dapat merespon secara
tepat sesuai dengan kebijakan yang
ditetapkan, sehingga dengan demikian
akan
dapat
meningkatkan
mutu
pendidikan
tinggi
di
Indonesia
sebagaimana
tujuan
dari
rumusan
kebijakan KKNI.
KAJIAN TEORETIK
A. Konsep Evaluasi Kebijakan
1. Kebijakan publik
Mengenai Istilah “kebijakan” dan
“kebijakan publik” para ahli memiliki
pendapat yang beragam.
C. Rumusan Masalah
Binsar Antoni Hutabara
5
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
Wayne Parsons berujar, kebijakan
(policy) adalah istilah yang tampaknya
banyak disepakati bersama, namun
menurut Parsons, dalam penggunaan
yang umum, “istilah kebijakan dianggap
berlaku untuk sesuatu yang ‘lebih besar’
ketimbang keputusan tertentu, tetapi lebih
kecil ketimbang gerakan sosial (Parsons,
2006).
Sejalan dengan Parsons, mengenai
istilah
“kebijakan”,
Budi
Winarno
berpendapat,
secara
umum
istilah
“kebijakan” atau “policy” digunakan untuk
menunjuk perilaku seorang aktor atau
sejumlah aktor dalam suatu bidang
tertentu (Budi Winarno, 2007). Selanjutnya
Winarno
sejalan
dengan
Parsons
menjelaskan, pengertian kebijakan hanya
memadai untuk keperluan pembicaraan
biasa atau umum, namun menjadi kurang
memadai
untuk
pembicaraanpembicaraan yang lebih bersifat ilmiah
dan sistematis menyangkut analisis
kebijakan publik (Winarno, 2007).
Makna kata kebijakan harus dipahami
dalam konteks historis, makna kebijakan
yang senantiasa berubah menunjukkan
perubahan-perubahan
dalam
praktik
kebijakan.
Parsons
lebih
lanjut
mengungkapkan demikian:
Di Inggris, (policy) mengandung
makna yang kompleks dan beragam .
Dalam karya Shakespeare, misalnya kita
menjumpai empat makna yang berbeda:
kehati-hatian, sebentuk pemerintahan,
tugas, dan administrasi, serta sebagai
‘‘Machiavellianisme. Kebijakan mencakup
seni ilusi politik dan duplikasi. Penonjolan,
penampilan luar dan tipuan (illusion)
adalah beberapa unsur yang membentuk
kekuasaan
(power).
Shakespeare
menggunakan
istilah
filsafat
6
Machiavellian; dan policy menunggangi
kesadaran, demikian dikatakan sang
penyair dalam Timon of Athens (Parsons,
2006).
Pada awalnya istilah “kebijakan” atau
pokok-pokok platform menjadi rasionalitas
politik. Mempunyai kebijakan berarti
memiliki alasan atau argumen yang
mengandung
klaim
bahwa
pemilik
kebijakan memahami persoalan beserta
solusinya.
Kebijakan
memberikan
semacam teori yang mendasari klaim
legitimasi.
Selanjutnya,
dengan
berkembangnya sistem partai dan pemilu
modern di masyarakat industri, diskursus
kebijakan kemudian menjadi sarana
utama bagi elektorat untuk terlibat dalam
kegiatan “politik” dan persaingan elite
politik. Dalam konteks tersebut di atas,
politisi dituntut memiliki “kebijakan”
sebagaimana halnya sebuah toko mesti
mempunyai barang dagangan. Dalam
area itu, kebijakan merupakan “mata
uang” penting dalam perdagangan
demokratik (Parsons, 2006).
Kebijakan adalah sebuah produk.
Gagasan kebijakan sebagai “produk” atau
“prinsip” kemudian berkembang menjadi
istilah dalam konotasi netral seperti
dinyatakan
oleh
Lasswell:
“Kata
“kebijakan”(policy) umumya dipakai untuk
menunjukkan pilihan terpenting yang
diambil baik dalam kehidupan organisasi
atau privat (Parsons, 2006).” Berdasarkan
penjelasan Lasswell dapat dipahami,
bahwa
Lasswell tidak membatasi
penggunaan istilah kebijakan hanya dalam
area politik saja, menurutnya, ”Kebijakan”
bebas dari konotasi yang dicakup dalam
kata politis (political) yang sering kali
diyakini
mengandung
makna
“keberpihakan” dan korupsi (Parsons,
Binsar Antoni Hutabarat
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
2006). Tidak berbeda dengan definisidefinisi di atas, kajian ini menetapkan
istilah kebijakan publik sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor: Per/04/M.PAN/4/2007 tentang
Pedoman
Umum
Formulasi,
Implementasi, Evaluasi Kinerja, dan revisi
Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga
Pemerintah Pusat dan Daerah seperti
berikut:” Kebijakan adalah keputusan yang
dibuat oleh suatu lembaga pemerintahan
atau organisasi dan bersifat mengikat para
pihak yang terkait dengan lembaga
tersebut.
Menurut Tilaar dan Nugroho (2009) istilah
kebijakan publik mempunyai banyak
pemahaman teoritis, yang dirumuskannya
demikian:
Kebijakan publik adalah keputusan
yang dibuat oleh negara, khususnya
pemerintah, sebagai strategi untuk
merealisasikan tujuan dari negara yang
bersangkutan. Kebijakan publik adalah
strategi untuk mengantar masyarakat
pada masa awal, memasuki masyarakat
transisi, untuk menuju kepada masyarakat
yang dicita-citakan (Tilaar dan Nugroho,
2009).
Berdasarkan definisi di atas jelaslah
bawa kebijakan publik merupakan upaya
yang
dilakukan
pemerintah
untuk
menyelesaikan
permasalahan
publik.
Thomas R. Dye merangkum dari definisidefinisi
mengenai
kebijakan
publik
demikian: “Public policy is whatever
governments choose to do or not to do
(Dye, 1978). (kebijakan publik adalah
apapun
pilihan
pemerintah
untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan
(Dye, 1978). Bagi Dye pusat perhatian
kebijakan publik tidak hanya pada apa
yang dilakukan pemerintah, melainkan
termasuk juga apa saja yang tidak
dilakukan oleh pemerintah. Karena hal-hal
yang
tidak
dilakukan
pemerintah
menurutnya juga mempunyai dampak
yang cukup besar terhadap masyarakat
seperti halnya dengan tindakan-tindakan
yang tidak dilakukan oleh pemerintah
(Suntoro dan Hariri, 2015).
2. Ciri-Ciri umum Kebijakan Publik
Kebijakan publik pada hakikatnya
merupakan sebuah aktivitas yang khas,
dalam arti mempunyai ciri-ciri tertentu
yang tidak dimiliki oleh jenis kebijakan
lain. Ciri-ciri khusus yang melekat pada
kebijakan-kebijakan
publik
adalah
kebijakan publik itu lazimnya dipikirkan,
didesain, dirumuskan dan diputuskan oleh
mereka yang memiliki otoritas dalam
sistem politik, yakni mereka yang duduk
pada jabatan pemerintahan (eksekutif,
legislatif, yudikatif, hakim, administrator).
Mengingat posisi strategis para pejabat
pemerintahan tersebut, maka mereka
dianggap berhak untuk mengambil
tindakan-tindakan tertentu atas nama
warga yang telah memilih mereka, dalam
batas-batas
koridor
peran
dan
kewenangan mereka (Suntoro dan Hariri,
2015).
b. Proses Kebijakan Publik
Menurut William N. Dunn (2003) tahapan
proses kebijakan publik sebagai berikut:
1). Penyusunan agenda. Agenda setting
adalah sebuah fase dan proses yang
sangat strategis dalam realitas kebijakan
publik. Dalam proses inilah pembuat
Binsar Antoni Hutabara
7
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
keputusan
memiliki
ruang
untuk
memaknai apa yang disebut sebagai
masalah publik dan prioritas dalam
agenda publik yang dipertarungkan. Jika
sebuah isu berhasil mendapatkan status
sebagai
masalah
publik,
dan
mendapatkan prioritas dalam agenda
publik, maka isu tersebut berhak
mendapatkan alokasi sumber daya publik
yang lebih daripada isu lain.
2). Formulasi kebijakan. Masalah yang
sudah masuk dalam agenda kebijakan
kemudian dibahas oleh para pembuat
kebijakan.
Masalah-masalah
tadi
didefinisikan untuk kemudian dicari
pemecahan masalah yang terbaik.
Pemecahan masalah tersebut berasal dari
berbagai alternatif atau pilihan kebijakan
yang ada. Sama halnya dengan
perjuangan suatu masalah untuk masuk
dalam agenda kebijakan, dalam tahap
perumusan kebijakan masing-masing
alternatif bersaing untuk dapat dipilih
sebagai kebijakan yang diambil untuk
memecahkan masalah.
3). Adopsi/ legitimasi kebijakan. Tujuan
legitimasi adalah untuk memberikan
otorisasi
pada
proses
dasar
pemerintahan. Jika tindakan legitimasi
dalam suatu masyarakat diatur oleh
kedaulatan rakyat, warga negara akan
mengikuti arahan pemerintah, namun
warga negara harus percaya bahwa
tindakan pemerintah yang sah. Dukungan
untuk rezim cenderung berdifusi cadangan dari sikap baik dan niat baik
terhadap tindakan pemerintah yang
membantu
anggota
menolerir
pemerintahan disonansi. legitimasi dapat
dikelola melalui manipulasi simbol-simbol
tertentu. Di mana melalui proses ini orang
belajar untuk mendukung pemerintah.
8
4).
Implementation/implementasi
kebijakan. Implementasi kebijakan pada
prinsipnya adalah cara yang dilaksanakan
agar sebuah kebijakan dapat mencapai
tujuannya. Untuk mengimplementasikan
kebijakan ada dua pilihan langkah yang
memungkinkan,
yaitu:
langsung
mengimplementasikan
dalam
bentuk
program-program, atau dapat melalui
turunan (derivate) dari kebijakan publik
tersebut. Kebijakan publik dalam bentuk
undang-undang,
menuntut
adanya
kebijakan turunan dalam bentuk peraturan
pemerintah (Syafaruddin, 2008).
5). Penilaian/Evaluasi kebijakan. Secara
umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan
sebagai kegiatan yang menyangkut
estimasi atau penilaian kebijakan yang
mencakup substansi, implementasi dan
dampak. Dalam hal ini, evaluasi
dipandang sebagai
suatu
kegiatan
fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan
tidak hanya dilakukan pada tahap akhir
saja, melainkan dilakukan dalam seluruh
proses kebijakan. Dengan demikian,
evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap
perumusan masalah-masalah kebijakan,
program-program yang diusulkan untuk
menyelesaikan
masalah
kebijakan,
implementasi, maupun tahap dampak
kebijakan.
Secara garis besar proses kebijakan
publik
meliputi
tahap-tahap
seperti
berikut(Lembaga Administrasi Negara,
2008):
1). Perumusan kebijakan publik. Tahap ini
mulai dari perumusan masalah sampai
dengan
dipilihnya
alternatif
untuk
direkomendasikan dan disahkan oleh
pejabat yang berwenang. 2). Implementasi
kebijakan publik. Setelah kebijakan publik
disahkan oleh pejabat yang berwenang,
Binsar Antoni Hutabarat
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
maka kemudian kebijakan publik tersebut
diimplementasikan (dilaksanakan). 3)
Monitoring kebijakan publik. Monitoring
kebijakan publik adalah proses kegiatan
pengawasan
terhadap
implementasi
kebijakan, yaitu untuk memperoleh
informasi tentang seberapa jauh tujuan
kebijakan itu tercapai. 4). Evaluasi
kebijakan publik. Evaluasi kebijakan publik
Ini bertujuan untuk menilai apakah
perbedaan
sebelum
dan
sesudah
kebijakan, yaitu perbandingan antara
sebelum dan sesudah diberlakukannya
suatu kebijakan.
4.Prinsip Penyusunan Kebijakan Publik
Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor: Per/04/M.PAN/4/2007 tentang
Pedoman
Umum
Formulasi,
Implementasi, Evaluasi Kinerja, dan revisi
Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga
Pemerintah Pusat dan Daerah, prinsip
penyusunan kebijakan publik adalah
seperti berikut:
a. Benar dalam proses, yaitu bahwa
prosesnya harus transparan, dapat
dipertanggungjawabkan
dan
melibatkan pihak yang seharusnya
dilibatkan.
b. Benar secara isi, yaitu bahwa isi
kebijakan: mengatur isu kebijakan
yang harus diatur atau fokus pada isu
kebijakan;bukan
merupakan
kompromi
politik
dana
tau
ekonomi;langsung pada
masalah
yang diatur; tidak bertentangan
dengan kebijakan yang lebih tinggi
atau setara, dan pasal-pasalnya
sinkron (tidak ada pertentangan satu
sama lain). Isi kebijakan, antara lain
memuat: pasal-pasal yang mengatur
isi kebijakan (seperti aturan, batasan,
larangan, insentif, dan sanksi dari
pelanggaran
kebijakan),
waktu,
proses, dan cara implementasi,
termasuk di dalamnya kerangka
acuan
diskresi
bagi
pelaksana
kebijakan apabila menghadapi situasi
yang
luar
biasa,
sehingga
memerlukan
tindakan
diskresi
kebijakan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan, dan waktu
untuk evaluasi (termasuk di dalamnya
pasal
tentang
penyempurnaan
kebijakan).
c. Benar
secara
politik-etik,
yaitu
mengakomodasi para pihak yang
terkait secara langsung dengan
kebijakan, menerapkan prinsip-prinsip
pokok dalam good governance,
sebagaimana dimuat pada Huruf “a”,
yaitu proses, dan memerhatikan
kaidah-kaidah
moralitas
dalam
pembuatan kebijakan.
d. Benar secara hukum, yaitu bahwa
kebijakan ini benar-benar merupakan
kaidah hukum, karenanya kebijakan
publik bukan himbauan, melainkan
memberikan batas-batas aturan serta
mencantumkan sanksi yang tegas
bagi pelanggaran atasnya, dan
memberikan keadilan dan kesamaan
di depan hukum bagi publik.
e. Benar secara manajemen, isi dari
kebijakan bersifat sistematis, dapat
dilaksanakan,
meskipun
pelaksanaannya
bukan
oleh
pemerintah, namun pemerintah dapat
mengendalikan secara efektif, dan
mempunyai manfaat dan (impact)
yang terukur.
Binsar Antoni Hutabara
9
Sinopsis
f.
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
Benar secara Bahasa, yaitu bahwa
setiap kebijakan publik di Indonesia
harus
menggunakan
Bahasa
Indonesia yang baik dan benar,
meskipun kebijakan itu hasil kerja
sama dengan asing, dan kemudian
seandainya perlu, diterjemahkan ke
Bahasa asing atau daerah; Bahasa
tersebut harus baik, yaitu Bahasa
yang dapat dipahami publik dalam
satu makna, dan benar, yaitu tidak
terdapat penyimpangan terhadap
logika Bahasa.
5. Model-model Perumusan Kebijakan
Publik
a. Model Institusional
Model
Institusional/kelembagaan
menurut Wahab, merupakan model yang
dikembangkan oleh pakar ilmu politik yang
memandang kebijakan publik sebagai
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga pemerintah. Strukturstruktur
dan
lembaga-lembaga
pemerintahan sejak lama menjadi pusat
perhatian ilmu politik , bahkan ilmu politik
sering disebut sebagai ilmu yang
mempelajari
lembaga-lembaga
pemerintah (Wahab, 2008).
Dari
sudut
pandang
model
kelembagaan, kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh warga negara, baik secara
perorangan maupun secara berkelompok
pada umumnya terkonsetrasi dan tertuju
pada
lembaga-lembaga
pemerintah.
Kebijakan
publik
menurut
model
kelembagaan ini ditetapkan, disahkan,
dilaksanakan
dan
dipaksakan
pemberlakuannya oleh lembaga-lembaga
pemerintah. Dengan perkataan lain,
menurut model ini terdapat hubungan
yang erat antara kebijakan publik dan
10
lembaga-lembaga pemerintah. Kebijakan
apapun tidak akan menjadi kebijakan
publik
kalau
tidak
diterima,
diimplementasikan,
dan
dipaksakan
pemberlakuannya oleh lembaga-lembaga
pemerintah (wahab, 2008).
b. Model Elite Massa
Model teori elite berkembang dari teori
politik elite massa yang melandaskan diri
pada asumsi bahwa dalam setiap
masyarakat pasti terdapat dua kelompok,
yaitu pemegang kekuasaan atau elite dan
yang tidak memiliki kekuasaan atau
massa. Teori ini mengembangkan diri
pada kenyataan bahwa se-demokratis
apapun, selalu ada bias dalam formulasi
kebijakan
karena
pada
akhirnya
kebijakan-kebijakan
yang
dilahirkan
merupakan preferensi politik dari para elite
(Nugroho, 2009).
Model ini merupakan abstraksi dari
suatu proses pembuatan kebijakan di
mana kebijakan publik itu bisa dikatakan
identik dengan perspektif elite politik.
Dalam model ini kehidupan sosial terdiri
atas dua lapisan, yakni lapisan atas yang
disebut elite dengan jumlah sangat kecil
yang selalu mengatur, dan lapisan bawah
dengan jumlah sangat besar sebagai
pihak yang diatur. Jadi dalam model ini
terlihat kebijakan negara mencerminkan
kehendak atau nilai-nilai elite atau
sekelompojk kecil orang yang berkuasa
(Wibawa, 1994).
c. Model Kelompok
Model kelompok merupakan abstraksi
dari proses pembuatan kebijakan yang di
dalamnya
beberapa
kelompok
kepentingan
berusaha
untuk
mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan
Binsar Antoni Hutabarat
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
secara interaktif. Perumusan kebijakan
pada model ini terlihat sebagai upaya
untuk menanggapi tuntutan dari berbagai
kelompok kepentingan dengan cara
bargaining, negosiasi, dan kompromi.
Tuntutan-tuntutan yang saling bersaing di
antara
kelompok-kelompok
yang
berpengaruh itu dikelola dengan model ini
(wibawa, 1994).
Interaksi kelompok pada hakekatnya
merupakan kenyataan politik. Individu
yang
memiliki
kepentingan
sama
meningkatkan secara formal ataupun
informal dalam kelompok kepentingan
(interest group), yang dapat mengajukan
dan memaksakan kepentingannya kepada
pemerintah. Menurut teori kelompok,
kebijakan publik merupakan perimbangan
(equilibrium) yang dicapai sebagai hasil
perjuangan kelompok. Untuk menjaga
perimbangan tersebut tugas atau peran
sistem politik adalah menengahi konflik
yang terjadi di antara kelompok tersebut
(Anggara, 2014).
Secara garis besar pendekatan ini
menyatakan
bahwa
pembentukan
kebijakan
publik
pada
dasarnya
merupakan hasil dari perjuangan antara
kelompok-kelompok yang ada dalam
masyarakat. Suatu kelompok dalam hal ini
merupakan kumpulan individu-individu
yang diikat oleh tingkah laku atau
kepentingan yang sama. Kelompokkelompok itu mempertahankan dan
membela tujuan-tujuan mereka dalam
persaingannya
vis-à-vis
kelompokkelompok lain. Bila suatu kelompok gagal
dalam mencapai tujuan-tujuannya melalui
tindakan-tindakannya
sendiri,
maka
kelompok itu biasanya menggunakan
politik dan pembentukan kebijakan publik
untuk
mempertahankan
kepentingan
kelompoknya. Pada akhirnya “social
equilibrium” dicapai pada waktu pola-pola
interaksi kelompok dikarakteristikkan oleh
suatu tingkat stabilitas yang tinggi
(Winarno, 2007).
f. Model Rasional
Pembuatan
kebijakan
publik
rasional (rational public policy making)
dapat dilacak pada karya Herbert Simon
berjudul Administrative Behavior. Untuk
pertama kalinya buku ini diterbitkan pada
tahun 1945. Karya Simon ini boleh
dikatakan merupakan sebuah karya
teoritik monumental pertama dalam ilmu
administrasi
publik
yang
banyak
memberikan
sumbangan
pemikiran
mengenai proses pengambilan keputusan
(decision-making
process)
dalam
organisasi. Dalam buku karyanya tersebut
Simon di antaranya menyatakan bahwa
teori-teori administrasi
(administrative
theories)
haruslah
menempatkan
pengambilan keputusan dalam posisi
strategis,
sebagai
pusat
perhatian
utamanya (Winarno, 2007).
Simon menyatakan bahwa pilihan
rasional itu mencakup pemilihan alternatifalternatif yang kondusif bagi tercapainya
tujuan-tujuan
yang
telah
dipilih
sebelumnya. Adanya tujuan-tujuan atau
sasaran-sasaran
dalam
organisasi
merupakan sesuatu yang penting dan
fundamental dalam memberikan makna
terhadap perilaku administrasi (Winarno,
2007).
Rasionalitas
yang
diambil
adalah
perbandingan antara pengorbanan dan
hasil yang dicapai. Semakin rendah nilai
pengorbanan dan semakin tinggi tingkat
pencapaiannya maka suatu kebijakan
Binsar Antoni Hutabara
11
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
dianggap baik, dengan kata lain model ini
lebih menekankan pada aspek efisiensi
maupun ekonomis (Wibawa, 1994).
g. Model Inkremental
Model inkremental pada hakikatnya
memandang kebijakan publik sebagai
kelanjutan dari kegiatan-kegiatan yang
telah dilakukan oleh pemerintah di masa
lampau, dengan hanya melakukan
perubahan-perubahan seperlunya. Model
inkremental
ini
pertama
kalinya
dikembangkan oleh ekonom Charles E.
Lindblom, sebagai kritik terhadap model
rasional komprehensif dalam pembuatan
kebijakan public (Wahab, 2008).
Lindblom
sebagaimana
dikutip
Thomas R Dye menjelaskan bahwa para
pembuat kebijakan publik tidak akan
melakukan penilaian tahunan secara
teratur terhadap seluruh kebijakankebijakan yang ada maupun yang telah
diusulkan sebelumnya dengan cara
misalnya: mengidentifikasi tujuan-tujuan
masyarakat secara keseluruhan, meneliti
manfaat dan biaya dari tiap alternatif
kebijakan dan membuat urutan-urutan
prioritas dari tiap alternatif kebijakan, serta
melihat rasio/nisbah antara manfaat dan
biayanya , kemudian memilih alternatif
terbaik. Tetapi justru hal sebaliknyalah
yang
dilakukan,
terutama
karena
hambatan-hambatan baik dari segi waktu,
kecakapan maupun biaya, sehingga para
pembuat
kebijakan
enggan
untuk
mengidentifikasikan
semua
alternatif
kebijakan, berikut semua akibat-akibatnya
(Dye, 1978).
h. Model Teori Permainan (Game
Theory): Kebijakan Sebagai Pilihan
Rasional dalam Situasi Kompetitif
12
Gagasan pokok dari kebijakan dalam
teori
permainan
adalah,
pertama,
formulasi kebijakan publik berada dalam
situasi kompetisi intensif. Kedua, para
aktor berada dalam situasi pilihan yang
tidak independen ke dependen melainkan
situasi pilihan yang sama-sama bebas
atau independen. Sama seperti permainan
catur, setiap langkah akan bertemu
dengan kombinasi langkah lanjut dan
langkah balasan yang masing-masing
relatif bebas. Model ini mendasarkan pada
formulasi kebijakan rasional, namun
dalam kondisi kompetisi yang tingkat
keberhasilannya ditentukan oleh aktor
pembuat kebijakan, dan juga aktor-aktor
lainnya (Tilaar dan Nugroho, 2009).
Teori permainan merupakan varian
dari model rasional dan merupakan studi
mengenai pembuatan keputusan rasional
dalam suatu keadaan di mana terjadi dua
atau lebih partisipan yang mempunyai
pilihan-pilihan atas kebijakan dan hasilnya
tergantung pada pilihan mereka masingmasing. Istilah ‘game’ mengandung arti
pembuat kebijakan harus memutuskan
sesuatu yang hasilnya tergantung pada
pilihan aktor yang terlibat. Para pemain
harus saling menyesuaikan diri guna
saling
merefleksikan
pertimbangan
masing-masing
bahwa
efektivitas
kebijakan bukan hanya bergantung pada
keinginan dan kemampuan mereka, tetapi
juga terhadap apa yang akan dikerjakan
oleh partisipan lainnya (Tilaar dan
Nugroho, 2009).
i. Model Pilihan Publik (Public Choice
Model)
Model
ini
melihat
perumusan
kebijakan sebagai keputusan
kolektif
individu-individu. Model ini didasarkan
pada teori ekonomi bahwa manusia
Binsar Antoni Hutabarat
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
adalah
homo
economicus
yang
mempunyai kebutuhan ekonomi dan perlu
dipenuhi secara ekonomi. Peran kebijakan
adalah untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Perumusan kebijakan sama
dengan mekanisme pasar di mana
pembeli menemui penjual dan penawaran
memenuhi
permintaan.
Model
ini
memberikan
penjelasan
mengapa
pemenang
pemilihan
kadang-kadang
gagal untuk memberikan kebijakan terbaik
bagi bangsa (Nugroho, 2009).
Setiap kebijakan publik yang dibuat
pemerintah harus merupakan pilihan
publik yang menjadi pengguna. Artinya,
proses formulasi kebijakan melibatkan
publik
melalui
kelompok-kelompok
kepentingan sehingga model ini bersifat
demokratis. Pilihan publik adalah studi
ekonomi
pengambilan
keputusan
nonmarket, khususnya penerapan analisis
ekonomi untuk pembuatan kebijakan
publik. Dalam ilmu politik, dipelajari
perilaku dalam arena publik dan
berasumsi
bahwa
individu-individu
dipengaruhi oleh gagasan mereka sendiri
dalam kepentingan publik. Jadi, terdapat
versi-versi yang berbeda mengenai
motivasi manusia yang dikembangkan
dalam ilmu politik dan ekonomi: gagasan
dari homo
economics diasumsikan
kepentingan pribadi seorang aktor yang
berusaha memaksimalkan keuntungan
pribadi,
sedangkan homo
politicus
diasumsikan jiwa publik seorang aktor
yang berusaha untuk memaksimalkan
kesejahteraan sosial (Nugroho 2009).
Teori pilihan publik ini berasumsi
bahwa seluruh aktor politik, seperti
pemilih, pembayar pajak, kandidat,
legislatif, birokrat, kelompok kepentingan,
partai, dan pemerintah berusaha untuk
memaksimalkan
keuntungan
pribadi
mereka dalam politik maupun dalam
pasar. Menurut James Buchanan, bahwa
individu-individu datang bersama-sama di
dalam politik untuk kepentingan mereka
bersama, sama seperti mereka datang
bersama-sama di dalam pasar, dan
melalui perjanjian (kontrak) di antara
mereka sendiri yang mana mereka dapat
meningkatkan
sendiri
kesejahteraan
mereka. Dengan demikian, orang akan
mengikuti kepentingan pribadi mereka
baik di dalam politik maupun pasar, akan
tetapi dengan motivasi diri sendiri mereka
dapat saling menguntungkan melalui
pengambilan keputusan kolektif (Nugroho,
2014).
j. Model Pengamatan Terpadu (Mixed
Scaning)
Model
Pengamatan
Terpadu
merupakan perpaduan model rasionalkomprehensif dan Inkremental, karena
kedua model ini sulit untuk diaplikasikan
atau setidak-tidaknya masing-masing
mempunyai kelemahan. Dalam model
rasional-komprehensif untuk membuat
suatu keputusan harus menganalisis
semua alternatif yang ada sehingga akan
menghasilkan sesuatu yang tidak efisien,
sedang model inkremental cenderung
mempertahankan status-quo, melupakan
kebutuhan pihak-pihak yang tidak atau
kurang mempunyai kekuasaan dan
mengabaikan inovasi sosial. Model
pengamatan terpadu intinya merupakan
gabungan unsur-unsur kebaikan model
rasional-komprehensif dan inkremental
(Suntoro dan Hariri, 2015).
Binsar Antoni Hutabara
13
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
6. Model-model Implementasi kebijakan
Publik
Model-model
implementasi
kebijakan
sangat
mempengaruhi
efektivitas
implementasi suatu kebijakan. Model
implementasi kebijakan terbagi dalam tiga
model, yaitu model rasional atas-bawah
(top down), model rasional bawah-atas
(bottom-up) dan model teori-teori sintesis
(hybrid theories) (Suntoro dan Hariri,
2015).
a. Model rasional atas-bawah (top down)
Model
rasional
(top
down)
lebih
menekankan
pada
usaha
untuk
mengidentifikasi faktor-faktor apa saja
yang membuat suatu kebijakan bisa
berjalan sukses di lapangan. Model atas
bawah menekankan terutama pada
kemampuan pembuat keputusan untuk
menghasilkan tujuan kebijakan yang tegas
dan
pada
pengendalian
tahap
implementasi (Frank Fisher, Gerald J.
Miller, Mara S. Sidney, 2015). Model
implementasi inilah yang paling pertama
muncul. Van Meter dan van Horn
menyatakan bahwa standar dan sasaran
kebijakan harus jelas dan terukur
sehingga dapat terwujud. Apabila standar
dan sasaran kebijakan tidak jelas, maka
akan terjadi multi tafsir dan akan mudah
menimbulkan konflik di antara para
pelaksana sebagai implementor. Selain itu
perlu implementasi kebijakan perlu
dukungan sumberdaya manusia, maupun
sumberdaya
non-manusia.
Selain
sumberdaya,
implementasi
sebuah
program perlu dukungan dan koordinasi
dengan lembaga lain. Dengan demikian
diperlukan koordinasi dan kerjasama
antarlembaga untuk keberhasilan suatu
program (Wibawa, 1994).
14
b. Model pendekatan bawah-atas (bottomup)
Model implementasi dengan pendekatan
bottom up muncul sebagai kritik terhadap
model pendekatan rasional (top down).
Kritik bawah-atas melihat birokrat lokal
sebagai aktor utama dalam penyampaian
kebijakan dan memahami implementasi
sebagai proses negosiasi dalam jaringan
pelaksana.
Parsons
mengemukakan
bahwa yang benar-benar penting dalam
implementasi adalah hubungan antara
pembuat kebijakan dengan pelaksana
kebijakan. Model bottom-up adalah model
yang memandang proses sebagai sebuah
negosiasi dan pembentukan konsensus.
Model
pendekatan
bottom
up
menekankan
pada
fakta
bahwa
implementasi di lapangan memberikan
keleluasaan dalam penerapan kebijakan.
Implementasi
kebijakan
dipandang
sebagai suatu proses atau alur (Wibawa,
1994).
c. Model teori-teori hasil sintesis (Hybrid
Theories)
Model
rasional
(top-down)
memusatkan perhatian pada institusi dan
kondisi
sosial
ekonomi
yang
mempengaruhi perilaku. Sintesis ini
disempurnakan melalui pendekatan policy
subsystem, yaitu semua aktor terlibat
secara interaktif satu sama lain dalam
proses politik dan kebijakan. Teori hibrida
mencoba mengatasi kesenjangan antara
dua
pendekatan
tersebut
dengan
menggabungkan unsur-unsur model atasbawah, bawah atas dan model teoritis
lainnya (Frank Fisher, Gerald J. Miller,
Mara S. Sidney, 2015).
Untuk melihat bagaimana implementasi
KKNI di perguruan tinggi tidak bisa
semata-mata
menggunakan
model
Binsar Antoni Hutabarat
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
rasional (top down) atau model partisipasi
(bottom up). Sebab, kebijakan KKNI
merupakan kebijakan yang memberikan
kewenangan yang lebih luas pada
perguruan tinggi sesuai dengan otoritas
perguruan tinggi yang diakui pemerintah
Indonesia. Meskipun pendidikan tinggi
diberi kewenangan dalam menerapkan
KKNI, tetapi dalam praktiknya pemerintah
tidak lepas kontrol sama sekali terhadap
proses penerapan KKNI di perguruan
tinggi.
7. Evaluasi Kebijakan Publik
Menurut William N Dunn, “Secara
umum istilah evaluasi dapat disamakan
dengan penaksiran (appraisal, pemberian
angka
(rating)
dan
penilaian
(assessment), kata-kata yang menyatakan
usaha untuk menganalisis kebijakan arti
satuan nilainya. Dalam arti spesifik,
evaluasi berkenaan dengan produksi
informasi mengenai nilai atau manfaat
hasil kebijakan (Dunn, 2003). Hasil
kebijakan
menurutnya
dikatakan
mempunyai nilai, karena hasil kebijakan
tersebut memberi sumbangan pada tujuan
atau sasaran. Dalam kondisi tersebut
dapat dikatakan bahwa kebijakan atau
program telah mencapai tingkat kinerja
yang bermakna, yang berarti bahwa
masalah-masalah kebijakan dibuat jelas
atau diatasi (Dunn, 2003).
David Macmias menjelaskan evaluasi
kebijakan sebagai: “Suatu pengkajian
secara sistematik dan empiris terhadap
akibat-akibat dari suatu kebijakan dan
program pemerintah yang sedang berjalan
dan kesesuaiannya dengan tujuan-tujuan
yang hendak dicapai oleh kebijakan
tersebut (Lembaga Administrasi Negara,
2008).
Bila kebijakan dipandang sebagai
suatu pola kegiatan yang berurutan, maka
dapat dipahami bahwa evaluasi kebijakan
merupakan tahap akhir dalam proses
kebijakan. Namun, secara umum evaluasi
kebijakan
sebagaimana
dikatakan
Winarno, sejalan dengan apa yang
dikatakan David Macmias dapat dikatakan
sebagai, “tindakan yang menyangkut
estimasi atas penilaian kebijakan yang
mencakup substansi, implementasi dan
dampak (Winarno, 2007).” Dengan
demikian jelaslah bahwa evaluasi dapat
dilakukan pada setiap tahapan kebijakan
sebagaimana
juga
dikatakan
Leo
Agustino, “evaluasi kebijakan sebenarnya
juga membahas persoalan perencanaan,
isi, implementasi, dan tentu saja efek atau
pengaruh dari kebijakan itu sendiri
(Agustino, 2008).” Selanjutnya, mengutip
Laster dan Steward, Agustini menjelaskan,
“Evaluasi
ditujukan
untuk
melihat
sebagian-sebagian
kegagalan
suatu
kebijakan dan untuk mengetahui apakah
kebijakan yang telah dirumuskan dan
dilaksanakan dapat menghasilkan dampak
yang diinginkan (Agustino, 2008).
Evaluasi
kebijakan
memberikan
informasi
yang
membolehkan
stakeholders mengetahui apa yang terjadi
berikutnya
dari
maksud
kebijakan.
Evaluasi juga memberikan pemaparan
aktivitas implementasi kebijakan. Pada
tingkat
kompleksitas
lebih
besar,
pelaksanaan yang dicapai sesuai sasaran.
Akhirnya, evaluasi dapat memberikan
pemahaman
terhadap
keberhasilan
kebijakan atau kegagalan dan dapat
memberikan saran terhadap alasan
Binsar Antoni Hutabara
15
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
keberhasilan kebijakan atau kegagalan
dan dapat memberikan saran terhadap
tindakan
untuk
memberdayakan
pencapaian
sasaran
kebijakan
(Syafaruddin, 2008).
d. Model-model evaluasi kebijakan
Berdasarkan
penjelasan
tentang
evaluasi kebijakan diketahui bahwa
evaluasi kebijakan dapat dilakukan pada
tiap tahapan. Evaluasi kebijakan dapat
dibedakan menjadi “evaluasi perumusan
kebijakan,
evaluasi
implementasi
kebijakan, dan evaluasi lingkungan
kebijakan (Nugroho, 2006).” Namun,
konsep “evaluasi” selalu terikat konsep
‘”kinerja’ sehingga evaluasi kebijakan
publik pada ketiga wilayah itu bermakna
kegiatan pasca. Jadi evaluasi kebijakan
publik tidak hanya pada implementasi
kebijakan, tetapi juga berkenaan dengan
perumusan, implementasi, dan lingkungan
kebijakan publik, atau seluruh tahapan
kebijakan publik.
Secara umum, evaluasi formulasi
kebijakan publik berkenaan dengan
apakah formulasi kebijakan publik telah
dilaksanakan:
1). Menggunakan pendekatan yang
sesuai dengan masalah yang hendak
diselesaikan, karena setiap masalah
publik memerlukan model formulasi
kebijakan publik yang berlainan;
2). Mengarah pada permasalahan inti,
karena setiap pemecahan masalah harus
benar-benar
mengarah
pada
inti
permasalahannya.
3). Mengikuti prosedur yang diterima
secara bersama baik dalam rangka
keabsahan maupun juga dalam rangka
kesamaan dan keterpaduan langkah
perumusan (Nugroho, 2006).
16
Mengenai
evaluasi
implementasi
kebijakan
berdasarkan
waktu
dilakukannya evaluasi dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu sebelum dilaksanakan,
pada waktu dilaksanakan, dan setelah
dilaksanakan. Evaluasi pada waktu
pelaksanaan biasanya disebut evaluasi
proses. Evaluasi setelah kebijakan disebut
evaluasi konsekuensi (output) kebijakan
dan/atau
evaluasi
impak/pengaruh
(outcome) kebijakan, atau sebagai
evaluasi sumatif (Tilaar dan Nugroho,
2009).
Sedang evaluasi lingkungan kebijakan
menganalisis lingkungan implementasi
kebijakan terkait dengan faktor-faktor
lingkungan apa saja yang membuat
kebijakan
gagal
atau
berhasil
diimplementasikan. Evaluasi lingkungan
kebijakan penerapan KKNI ini penting
karena peguruan tinggi sebagai sasaran
kebijakan KKNI amat beragam, dan saat
ini pendidikan tinggi di Indonesia sedang
menghadapi ancaman persaingan global
dalam bidang pendidikan, demikian juga
luaran pedidikan tinggi harus menghadapi
derasnya tenaga asing yang masuk ke
Indonesia. Lahirnya kebijakan KKNI itu
sendiri juga tidak terlepas dari usaha
untuk menjawab persoalan persaingan
global dalam bidang pendidikan tinggi,
secara khusus luaran pendidikan tinggi
yang harus berkompetesi dengan tenaga
kerja luar negeri.
Obyek evaluasi dalam kajian ini
adalah
evaluasi
kebijakan,
maka
fenomena yang akan dinilai terkait dengan
kebijakan penerapan KKNI ini adalah
berkaitan
dengan
tujuan,
sasaran
kebijakan, kelompok sasaran (target
groups) yang ingin diintervensi, responsi
dari lingkungan kebijakan, kinerja yang
Binsar Antoni Hutabarat
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
dicapai dan dampak yang terjadi.
Selanjutnya
untuk
mengevaluasi
komponen-komponen program kebijakan
penerapan kebijakan KKNI tersebut akan
dianalisis menggunakan evaluasi program
yang sesuai dengan model kebijakan
penerapan KKNI tersebut.
B.Deskripsi Konsep Kebijakan KKNI
Bidang Pendidikan Tinggi
1.Konsep
Kerangka
Kualifikasi
Nasional
Kerangka
Kualifikasi
Nasional
(National Qualification Framework) tidak
hanya ada di Indonesia, tetapi juga pada
banyak negara di dunia. Kerangka
kualifikasi nasional merupakan fenomena
global, 70 negara di seluruh dunia saat ini
sedang
mengembangkan
Kerangka
kualifikasi nasional, baik itu negara-negara
yang
maju
dalam
industri
dan
perekonomiannya,
negara-negara
anggota Uni Eropa, dan juga negaranegara berkembang di Asia dan di Afrika.
Kerangka
kualifikasi
nasional
ini
merupakan isu besar terkait dengan
elemen pendidikan dan ketenagakerjaan.
Mengenai Kerangka Kualifikasi Nasional,
Gavin Heron & Pam Green Lister
menjelaskan, bahwa “kerangka kualifikasi
nasional dimaksudkan untuk memberikan
pedoman cara mengkualifikasikan levellevel pendidikan yang berbeda dan
membandingkannya baik secara nasional
maupun internasional dengan cara yang
memungkinkan (Heron dan Lister, 2014).
Secara umum, kerangka kualifikasi
dapat didefinisikan sebagai "deskripsi
sistematis
kualifikasi
suatu
sistem
pendidikan
(Heron dan Lister, 2014).
Mengikuti pendekatan ini, adalah mungkin
untuk mengklaim bahwa setiap negara
memiliki kerangka kualifikasi nasional
(Spudyte,Vengris,
Misiunas,
2006).
Lahirnya penetapan Kerangka Kualifikasi
Nasional di seluruh belahan dunia ini tidak
terlepas dari sebuah langkah yang paling
penting dalam reformasi akademik yang
dilakukan di Eropa, dinyatakan dalam
Deklarasi Bologna yang menegaskan
demikian:
We must look with special attention at
the objective to increase the international
competitiveness of the European system
of higher education. The vitality and
eficiency of any civilization is measured, in
fact, by the attraction that its cultural
system exerts on other countries. We
need to ensure that the European system
of higher education acquires in the world a
degree of attraction equal to our
extraordinary
cultural
and
scientic
traditions(Maruk C. Van Der Wend, 2000).
2. Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional di Indonesia
Perumusan kebijakan KKNI melewati
jalan yang cukup panjang, sejak
ditetapkannya
KKNI
pada
bidang
pelatihan kerja, yaitu dalam undangundang tentang sistem pelatihan kerja
nasional, dalam peraturan tersebut juga
telah ditetapkan bahwa kebijakan KKNI
untuk bidang pendidikan tinggi akan
ditetapkan lewat peraturan Presiden.
Periode waktu penetapan KKNI dalam
peraturan Presiden juga membutuhkan
waktu yang lama, sekitar enam tahun.
Berarti
sesungguhnya
perumusan
kebijakan KKNI bidang pendidikan tinggi
terbilang cukup lama.
Binsar Antoni Hutabara
17
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
Berdasarkan
Booklet
tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan
Nasional yang berisi Kajian tentang
implikasi dan implementasi KKNI dapat
dipahami bahwa rumusan kebijakan KKNI
tersebut lahir dengan kajian yang
mendalam
dan
melibatkan
banyak
policies
stakeholder.
Pada
proses
penyusunan konsep-konsep KKNI, studi
banding juga telah dilakukan ke berbagai
negara untuk dapat mengembangkan
KKNI yang sebanding dengan kerangka
kualifikasi
negara-negara
lain.
Kesepadanan antara KKNI dengan
kerangka kualifikasi negara-negara lain
sangat diperlukan agar KKNI dapat
dipahami dan diakui sebagai sebuah
sistem kualifikasi yang handal dan
terpercaya. Dengan adanya pengakuan
dan kepercayaan KKNI maka kerjasama
atau program penyetaraan kualifikasi
ketenagakerjaan antara Indonesia dengan
negara-negara lain akan lebih mudah
diwujudkan, Jadi, pengembangan KKNI
juga merujuk dan mempertimbangkan
sistem kualifikasi negara lain seperti
Eropa, Australia, Inggris, Scotlandia,
Hongkong, dan Selandia baru.
5. Tujuan Kebijakan KKNI
Peraturan
Pemerintah
Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 2006 tentang
Sistem Pelatihan Kerja Nasional pasal 2
ayat 1 menjelaskan bahwa, tujuan Sistem
Pelatihan
Kerja
Nasional
adalah,
mewujudkan pelatihan kerja nasional yang
efektif dan efisien dalam rangka
meningkatkan kualitas tenaga kerja.
Selanjutnya dalam pasal 5 ayat 1
diterangkan
bahwa
dalam
rangka
pengembangan kualitas tenaga kerja
18
ditetapkan
KKNI
yang
disusun
berdasarkan
jenjang
kualifikasi
kompetensi kerja dari yang terendah
sampai yang tertinggi. Jadi, jelaslah dapat
diketahui bahwa tujuan kebijakan KKNI
adalah untuk meningkatkan kualitas
tenaga kerja Indonesia.
Tujuan
kebijakan
KKNI
dalam
Peraturan Presiden yang mengacu pada
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun
2006 memiliki tujuan yang sama sebagai
kerangka
penjenjangan.
Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 pasal 1
menerangkan,
“Kerangka
Kualifikasi
Nasional Indonesia yang selanjutnya
disingkat
KKNI,
adalah
kerangka
penjenjangan kualifikasi kompetensi yang
dapat menyandingkan, menyetarakan dan
mengintegrasikan
antara
bidang
pendidikan dan bidang pelatihan kerja
serta pengalaman kerja dalam rangka
pemberian pengakuan kompetensi kerja
sesuai dengan struktur pekerjaan di
berbagai sektor.” Bunyi pasal 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 ini
tidak berbeda dengan apa yang
ditetapkan dalam Peraturan Presiden
Nomor 8 Tahun 2012. Kemudian dalam
istilah yang tidak berbeda pernyataan
tersebut ditetapkan dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Bagian kelima dari undang-undang
tersebut pasal 29 menjelaskan tentang
KKNI seperti berikut: (1) Kerangka
Kualifikasi
Nasional
merupakan
penjenjangan capaian pembelajaran yang
menyetarakan luaran bidang pendidikan
formal,
nonformal,
informal
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
SINOPSIS DISERTASI
POLICY EVALUATION INDONESIAN NATIONAL QUALIFICATIONS FRAMEWORK
FIELD HIGHER EDUCATION
EVALUASI KEBIJAKAN KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA
BIDANG PENDIDIKAN TINGGI
Binsar Antoni Hutabarat
[email protected]
Abstract: The dissertation entitled "Policy Evaluation Indonesian National Qualifications
Framework (KKNI) Field of Higher Education" is focused on the evaluation of higher
education KKNI formulation. So far there has been no research related to corruption
policy evaluation in higher education. This study examined the law in addition to the
policies set KKNI also examined the response to the policy KKNI college conducted at
three universities in Jakarta and Tangerang. Data were collected through interview,
observation given questionnaire and documents, as well as a variety of sources. The
results of this study indicate that policy formulation KKNI using incremental model and
elitist models that do not fit with the system of democratic countries should be more use
of public choice model. That is why the socialization of this policy requires a long time
and seen the results of research in the field.
Keywords.
Public policy, policy evaluation, the Indonesian national qualifications
framework.
Binsar Antoni Hutabara
1
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
EVALUASI KEBIJAKAN KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA
BIDANG PENDIDIKAN TINGGI
POLICY EVALUATION INDONESIAN NATIONAL QUALIFICATIONS FRAMEWORK
FIELD HIGHER EDUCATION
Binsar Antoni Hutabarat
[email protected]
ABSTRAK
Disertasi yang berjudul “Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI) Bidang Pendidikan Tinggi” ini fokus pada evaluasi perumusan KKNI bidang
pendidikan tinggi.
Penelitian ini selain meneliti undang-undang dimana kebijakan KKNI ditetapkan juga
meneliti respon perguruan tinggi terhadap kebijakan KKNI yang dilakukan di tiga
universitas di Jakarta dan Tangerang. Data dikumpulkan melalui teknik wawancara,
pemberian kuesioner dan observasi dokumen, serta beragam sumber.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa formulasi kebijakan KKNI menggunakan
model inkremental dan model elitis yang tidak sesuai dengan sistem negara demokratis
yang mestinya lebih menggunakan model pilihan publik. Itulah sebabnya sosialisasi
kebijakan ini membutuhkan waktu yang lama dan terlihat dari hasil penelitian di
lapangan.
Kata kunci. Kebijakan publik, evaluasi kebijakan, kerangka kualifikasi nasional Indonesia.
2
Binsar Antoni Hutabarat
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kebijakan
pendidikan
nasional
Indonesia
sesungguhnya
menempati
posisi yang sentral bagi usaha memajukan
bangsa Indonesia. Apabila pemerintah
Indonesia gagal membuat kebijakan yang
unggul dalam bidang pendidikan, maka
taruhannya
adalah
kerusakan
dan
kehancuran kehidupan bangsa Indonesia.
Kebijakan pendidikan yang buruk akan
berdampak panjang. Indonesia hanya bisa
menjadi bangsa yang unggul jika
kebijakan
yang
dihasilkan
adalah
kebijakan-kebijakan yang unggul dan
tentu saja dapat diimplementasikan
(Nugroho, 2009).
Pendidikan tinggi Indonesia memasuki
sebuah dekade baru setelah pemerintah
Indonesia meratifikasi beberapa perjanjian
dan komitmen global (AFTA, WTO,
GATTS).
Pemberlakuan
berbagai
kesepakatan internasional nyata dalam
hal seperti diberlakukannya berbagai
macam
parameter
kualitas
untuk
menstandarkan
kualitas
dan
mutu
perguruan tinggi berikut lulusannya. Tahun
2013, ASEAN Economic Community
mempersiapkan AFTA (ASEAN Free
Trade Association Area) 2012. Sedang
WTO
(World
Trade
Organisation)
merupakan satu organisasi internasional
yang berperan untuk mengatur transaksi
perdagangan yang dilakukan oleh negaranegara anggotanya terbentuk tahun 1995.
WTO
sebenarnya
sudah
memiliki
dasarnya pada General Agreement on
Tariffs and Trade (GATT) pada tahun
1947. WTO mengatur beberapa hal
mengenai perdagangan barang (goods),
jasa (service) dan kekayaan intelektual
(property rights). Dengan kehadiran
organisasi-organisasi internasional itu,
maka kesepakatan dan kesepahaman
antarnegara-negara di ASEAN mulai
ditetapkan. Peta pengembangan (Road
map) mobilitas bebas tenaga kerja
profesional antarnegara di ASEAN mulai
dibentangkan (Sailah, 2014).
Ancaman pendidikan era global untuk
pendidikan di Indonesia semakin terasa
ketika diperhadapkan dengan mutu
pendidikan di Indonesia saat ini,
khususnya pendidikan tinggi. Rendahnya
kualitas pendidikan tinggi di Indonesia
bukan berarti bahwa pendidikan di
Indonesia tidak mengalami pertumbuhan
sama sekali, namun arus globalisasi yang
membuka
sekat-sekat
antarnegara
mengakibatkan persaingan antar negara
menjadi jauh lebih terbuka, karena itu
harus diakui, “mutu pendidikan di Indonesi
secara umum memiliki standar yang lebih
rendah dibandingkan negara-negara lain,
khususnya terhadap negara-negara maju
(Tilaar, 2006).
Kondisi tersebut di atas membuat
pemerintah Indonesia harus menyusun
strategi
pengembangan
pendidikan
Indonesia
yang
relevan
dalam
menyongsong era globalisasi. Karena itu,
perubahan mendasar pada bidang
pendidikan tinggi di Indonesia tak dapat
dihindari. Pendidikan tinggi di Indonesia
pada era global kemudian diarahkan
menjadi lembaga pembelajaran dan
sumber pengetahuan yang memiliki
interaksi dengan perubahan pasaran
Binsar Antoni Hutabara
3
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
kerja,
disamping
sebagai
tempat
pengembangan budaya dan pembelajaran
terbuka untuk masyarakat, maupun
wahana kerjasama internasional (Kunaefi,
2008).
Kondisi persaingan global dalam area
pendidikan kemudian secara khusus
direspon oleh Kementerian Pendidikan
Nasional dengan meluncurkan sebuah
booklet tentang
Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia (KKNI) yang berisi
tentang
implikasi
dan
strategi
implementasi
KKNI
pada
tahun
2010/2011. Hasil perumusan kebijakan
KKNI
bidang pendidikan tinggi itu
kemudian dituangkan dalam Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 8 tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI) tahun 2012. Kebijakan penerapan
KKNI di perguruan tinggi ini kemudian
mendapatkan landasan hukum yang kuat
pada UU Pendidikan Tinggi No.12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Untuk melaksanakan kebijakan KKNI
yang
ditetapkan
dalam
Peraturan
Presiden 2012, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan
menetapkan
Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2013
tentang Penerapan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan
Tinggi. Kebijakan penerapan KKNI di
perguruan tinggi itu bertujuan untuk
meningkatkan kualitas tenaga kerja
Indonesia, sebagaimana juga menjadi
tujuan penetapan KKNI pada sektor
pelatihan kerja nasional yang ditetapkan
dalam Peraturan Pemerintah tahun 2006
tentang Sistem Pelatihan Kerja nasional.
Penerapan KKNI bidang pendidikan tinggi
dan sektor pelatihan kerja akan menjadi
4
peta jalan peningkatan kualitas tenaga
kerja Indonesia.
Penetapan KKNI sebagai kerangka
penjenjangan kualifikasi kompetensi kerja
dalam pelatihan kerja ditetapkan juga
sebagai acuan kualifikasi kemampuan
lulusan perguruan tinggi. Tujuannya
adalah agar terdapat integrasi antara
bidang pendidikan dan bidang pelatihan
kerja serta pengalaman kerja dalam
rangka pemberian pengakuan kompetensi
kerja sesuai dengan struktur pekerjaan
diberbagai sektor.
Menurut penelitian awal, kebijakan
penerapan KKNI di bidang pendidikan
tinggi ini telah menimbulkan kontroversi.
Karena kebijakan KKNI oleh sebagian
dosen dianggap mereduksi Visi, Misi,
perguruan tinggi menjadi sekadar institusi
pemasok “tenaga kerja”, untuk kebutuhan
industri. Pada sisi lain, sebagian dosen
setuju dengan kebijakan penerapan KKNI
karena selama ini belum ada acuan
kualifikasi untuk lulusan pendidikan
formal. Mereka yang setuju terhadap
kebijakan
KKNI
berpendapat,
sebagaimana pendidikan kerja telah
menggunakan KKNI sebagai acuan
kualifikasi lulusan pelatihan kerja, maka
pendidikan tinggi juga harus mempunyai
acuan yang sama agar lulusan perguruan
tinggi dapat diterima pada dunia kerja,
terlebih lagi dengan persaingan global
pada bidang pendidikan tinggi.
Terkait dengan kebijakan KKNI
tersebut hingga saat ini belum pernah
dilakukan evaluasi terhadap kebijakan
KKNI bidang pendidikan tinggi. Karena itu,
perlu
dilakukan
penelitian
evaluasi
kebijakan
KKNI
untuk
mengetahui
bagaimanakah struktur dan rumusan
kebijakan KKNI serta kondisi perguruan
Binsar Antoni Hutabarat
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
tinggi sebagai sasaran kebijakan tersebut.
Apakah kebijakan KKNI merupakan
jawaban terhadap kebutuhan perguruan
tinggi dalam menghadapi ancaman global
di bidang pendidikan, dan apakah
kebijakan dapat diterima perguruan tinggi
sebagai sebuah alternatif kebijakan untuk
meningkatkan kualitas perguruan tinmggi
di Indonesia. Berdasarkan Time Line
pengembangan KKNI, kebijakan itu akan
diterapkan tahun 2016 pada perguruan
tinggi di Indonesia (Sutrisno dan Suyadi,
2016.
Penelitian
kebijakan
KKNI
ini
ditekankan untuk mendapatkan informasi
tentang
bagaimanakah
perumusan
kebijakan tersebut dan bagaimanakah isi
kebijakan KKNI bidang pendidikan tinggi.
Penelitian ini lebih kepada evaluasi
rumusan dari kebijakan KKNI. Apakah
perumusan kebijakan KKNI itu telah
melalui tahapan-tahapan yang seharusnya
dilakukan dalam perumusan kebijakan
dalam
sistem
pemerintahan
yang
demokratis.
B. Fokus dan Sub Fokus Penelitian
Berdasarkan
penjelasan
latar
belakang tersebut di atas, maka fokus
penelitian ini adalah untuk memahami
bagaimana perumusan Kebijakan KKNI
bidang pendidikan tinggi itu telah
dilakukan. Sedang sub fokus penelitian ini
adalah:
1. Struktur Kebijakan KKNI.
2. Rumusan kebijakan KKNI.
3. Kondisi perguruan tinggi di Indonesia
sebagai sasaran kebijakan KKNI.
4. Dampak Kebijakan KKNI.
Untuk lebih operasional, fokus dan
sub fokus penelitian ini diturunkan dalam
beberapa pertanyaan penelitian:
1.Bagaimanakah
struktur
kebijakan
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI)?
2.Bagaimanakah
rumusan
kebijakan
KKNI?
3.Bagaimanakah kondisi perguruan tinggi
di Indonesia dalam menghadapi kebijakan
KKNI ?
4.Bagaimanakah dampak kebijakan KKNI
bidang pendidikan tinggi ?
D. Kegunaan Penelitian
Secara teoritis diharapkan dapat
menambah khasanah ilmu pengetahuan
tentang struktur kebijakan KKNI dan
bagaimana rumusan kebijakan KKNI
bidang
pendidikan
tinggi.
Dengan
dipahaminya hal tersebut diharapkan
maka para pengelola perguruan tinggi,
kepala program studi di perguruan tinggi,
Dosen dapat memahami kepentingan
kebijakan KKNI bidang pendidikan tinggi,
dan dapat mendorong agar perguruan
tinggi di Indonesia dapat merespon secara
tepat sesuai dengan kebijakan yang
ditetapkan, sehingga dengan demikian
akan
dapat
meningkatkan
mutu
pendidikan
tinggi
di
Indonesia
sebagaimana
tujuan
dari
rumusan
kebijakan KKNI.
KAJIAN TEORETIK
A. Konsep Evaluasi Kebijakan
1. Kebijakan publik
Mengenai Istilah “kebijakan” dan
“kebijakan publik” para ahli memiliki
pendapat yang beragam.
C. Rumusan Masalah
Binsar Antoni Hutabara
5
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
Wayne Parsons berujar, kebijakan
(policy) adalah istilah yang tampaknya
banyak disepakati bersama, namun
menurut Parsons, dalam penggunaan
yang umum, “istilah kebijakan dianggap
berlaku untuk sesuatu yang ‘lebih besar’
ketimbang keputusan tertentu, tetapi lebih
kecil ketimbang gerakan sosial (Parsons,
2006).
Sejalan dengan Parsons, mengenai
istilah
“kebijakan”,
Budi
Winarno
berpendapat,
secara
umum
istilah
“kebijakan” atau “policy” digunakan untuk
menunjuk perilaku seorang aktor atau
sejumlah aktor dalam suatu bidang
tertentu (Budi Winarno, 2007). Selanjutnya
Winarno
sejalan
dengan
Parsons
menjelaskan, pengertian kebijakan hanya
memadai untuk keperluan pembicaraan
biasa atau umum, namun menjadi kurang
memadai
untuk
pembicaraanpembicaraan yang lebih bersifat ilmiah
dan sistematis menyangkut analisis
kebijakan publik (Winarno, 2007).
Makna kata kebijakan harus dipahami
dalam konteks historis, makna kebijakan
yang senantiasa berubah menunjukkan
perubahan-perubahan
dalam
praktik
kebijakan.
Parsons
lebih
lanjut
mengungkapkan demikian:
Di Inggris, (policy) mengandung
makna yang kompleks dan beragam .
Dalam karya Shakespeare, misalnya kita
menjumpai empat makna yang berbeda:
kehati-hatian, sebentuk pemerintahan,
tugas, dan administrasi, serta sebagai
‘‘Machiavellianisme. Kebijakan mencakup
seni ilusi politik dan duplikasi. Penonjolan,
penampilan luar dan tipuan (illusion)
adalah beberapa unsur yang membentuk
kekuasaan
(power).
Shakespeare
menggunakan
istilah
filsafat
6
Machiavellian; dan policy menunggangi
kesadaran, demikian dikatakan sang
penyair dalam Timon of Athens (Parsons,
2006).
Pada awalnya istilah “kebijakan” atau
pokok-pokok platform menjadi rasionalitas
politik. Mempunyai kebijakan berarti
memiliki alasan atau argumen yang
mengandung
klaim
bahwa
pemilik
kebijakan memahami persoalan beserta
solusinya.
Kebijakan
memberikan
semacam teori yang mendasari klaim
legitimasi.
Selanjutnya,
dengan
berkembangnya sistem partai dan pemilu
modern di masyarakat industri, diskursus
kebijakan kemudian menjadi sarana
utama bagi elektorat untuk terlibat dalam
kegiatan “politik” dan persaingan elite
politik. Dalam konteks tersebut di atas,
politisi dituntut memiliki “kebijakan”
sebagaimana halnya sebuah toko mesti
mempunyai barang dagangan. Dalam
area itu, kebijakan merupakan “mata
uang” penting dalam perdagangan
demokratik (Parsons, 2006).
Kebijakan adalah sebuah produk.
Gagasan kebijakan sebagai “produk” atau
“prinsip” kemudian berkembang menjadi
istilah dalam konotasi netral seperti
dinyatakan
oleh
Lasswell:
“Kata
“kebijakan”(policy) umumya dipakai untuk
menunjukkan pilihan terpenting yang
diambil baik dalam kehidupan organisasi
atau privat (Parsons, 2006).” Berdasarkan
penjelasan Lasswell dapat dipahami,
bahwa
Lasswell tidak membatasi
penggunaan istilah kebijakan hanya dalam
area politik saja, menurutnya, ”Kebijakan”
bebas dari konotasi yang dicakup dalam
kata politis (political) yang sering kali
diyakini
mengandung
makna
“keberpihakan” dan korupsi (Parsons,
Binsar Antoni Hutabarat
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
2006). Tidak berbeda dengan definisidefinisi di atas, kajian ini menetapkan
istilah kebijakan publik sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor: Per/04/M.PAN/4/2007 tentang
Pedoman
Umum
Formulasi,
Implementasi, Evaluasi Kinerja, dan revisi
Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga
Pemerintah Pusat dan Daerah seperti
berikut:” Kebijakan adalah keputusan yang
dibuat oleh suatu lembaga pemerintahan
atau organisasi dan bersifat mengikat para
pihak yang terkait dengan lembaga
tersebut.
Menurut Tilaar dan Nugroho (2009) istilah
kebijakan publik mempunyai banyak
pemahaman teoritis, yang dirumuskannya
demikian:
Kebijakan publik adalah keputusan
yang dibuat oleh negara, khususnya
pemerintah, sebagai strategi untuk
merealisasikan tujuan dari negara yang
bersangkutan. Kebijakan publik adalah
strategi untuk mengantar masyarakat
pada masa awal, memasuki masyarakat
transisi, untuk menuju kepada masyarakat
yang dicita-citakan (Tilaar dan Nugroho,
2009).
Berdasarkan definisi di atas jelaslah
bawa kebijakan publik merupakan upaya
yang
dilakukan
pemerintah
untuk
menyelesaikan
permasalahan
publik.
Thomas R. Dye merangkum dari definisidefinisi
mengenai
kebijakan
publik
demikian: “Public policy is whatever
governments choose to do or not to do
(Dye, 1978). (kebijakan publik adalah
apapun
pilihan
pemerintah
untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan
(Dye, 1978). Bagi Dye pusat perhatian
kebijakan publik tidak hanya pada apa
yang dilakukan pemerintah, melainkan
termasuk juga apa saja yang tidak
dilakukan oleh pemerintah. Karena hal-hal
yang
tidak
dilakukan
pemerintah
menurutnya juga mempunyai dampak
yang cukup besar terhadap masyarakat
seperti halnya dengan tindakan-tindakan
yang tidak dilakukan oleh pemerintah
(Suntoro dan Hariri, 2015).
2. Ciri-Ciri umum Kebijakan Publik
Kebijakan publik pada hakikatnya
merupakan sebuah aktivitas yang khas,
dalam arti mempunyai ciri-ciri tertentu
yang tidak dimiliki oleh jenis kebijakan
lain. Ciri-ciri khusus yang melekat pada
kebijakan-kebijakan
publik
adalah
kebijakan publik itu lazimnya dipikirkan,
didesain, dirumuskan dan diputuskan oleh
mereka yang memiliki otoritas dalam
sistem politik, yakni mereka yang duduk
pada jabatan pemerintahan (eksekutif,
legislatif, yudikatif, hakim, administrator).
Mengingat posisi strategis para pejabat
pemerintahan tersebut, maka mereka
dianggap berhak untuk mengambil
tindakan-tindakan tertentu atas nama
warga yang telah memilih mereka, dalam
batas-batas
koridor
peran
dan
kewenangan mereka (Suntoro dan Hariri,
2015).
b. Proses Kebijakan Publik
Menurut William N. Dunn (2003) tahapan
proses kebijakan publik sebagai berikut:
1). Penyusunan agenda. Agenda setting
adalah sebuah fase dan proses yang
sangat strategis dalam realitas kebijakan
publik. Dalam proses inilah pembuat
Binsar Antoni Hutabara
7
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
keputusan
memiliki
ruang
untuk
memaknai apa yang disebut sebagai
masalah publik dan prioritas dalam
agenda publik yang dipertarungkan. Jika
sebuah isu berhasil mendapatkan status
sebagai
masalah
publik,
dan
mendapatkan prioritas dalam agenda
publik, maka isu tersebut berhak
mendapatkan alokasi sumber daya publik
yang lebih daripada isu lain.
2). Formulasi kebijakan. Masalah yang
sudah masuk dalam agenda kebijakan
kemudian dibahas oleh para pembuat
kebijakan.
Masalah-masalah
tadi
didefinisikan untuk kemudian dicari
pemecahan masalah yang terbaik.
Pemecahan masalah tersebut berasal dari
berbagai alternatif atau pilihan kebijakan
yang ada. Sama halnya dengan
perjuangan suatu masalah untuk masuk
dalam agenda kebijakan, dalam tahap
perumusan kebijakan masing-masing
alternatif bersaing untuk dapat dipilih
sebagai kebijakan yang diambil untuk
memecahkan masalah.
3). Adopsi/ legitimasi kebijakan. Tujuan
legitimasi adalah untuk memberikan
otorisasi
pada
proses
dasar
pemerintahan. Jika tindakan legitimasi
dalam suatu masyarakat diatur oleh
kedaulatan rakyat, warga negara akan
mengikuti arahan pemerintah, namun
warga negara harus percaya bahwa
tindakan pemerintah yang sah. Dukungan
untuk rezim cenderung berdifusi cadangan dari sikap baik dan niat baik
terhadap tindakan pemerintah yang
membantu
anggota
menolerir
pemerintahan disonansi. legitimasi dapat
dikelola melalui manipulasi simbol-simbol
tertentu. Di mana melalui proses ini orang
belajar untuk mendukung pemerintah.
8
4).
Implementation/implementasi
kebijakan. Implementasi kebijakan pada
prinsipnya adalah cara yang dilaksanakan
agar sebuah kebijakan dapat mencapai
tujuannya. Untuk mengimplementasikan
kebijakan ada dua pilihan langkah yang
memungkinkan,
yaitu:
langsung
mengimplementasikan
dalam
bentuk
program-program, atau dapat melalui
turunan (derivate) dari kebijakan publik
tersebut. Kebijakan publik dalam bentuk
undang-undang,
menuntut
adanya
kebijakan turunan dalam bentuk peraturan
pemerintah (Syafaruddin, 2008).
5). Penilaian/Evaluasi kebijakan. Secara
umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan
sebagai kegiatan yang menyangkut
estimasi atau penilaian kebijakan yang
mencakup substansi, implementasi dan
dampak. Dalam hal ini, evaluasi
dipandang sebagai
suatu
kegiatan
fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan
tidak hanya dilakukan pada tahap akhir
saja, melainkan dilakukan dalam seluruh
proses kebijakan. Dengan demikian,
evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap
perumusan masalah-masalah kebijakan,
program-program yang diusulkan untuk
menyelesaikan
masalah
kebijakan,
implementasi, maupun tahap dampak
kebijakan.
Secara garis besar proses kebijakan
publik
meliputi
tahap-tahap
seperti
berikut(Lembaga Administrasi Negara,
2008):
1). Perumusan kebijakan publik. Tahap ini
mulai dari perumusan masalah sampai
dengan
dipilihnya
alternatif
untuk
direkomendasikan dan disahkan oleh
pejabat yang berwenang. 2). Implementasi
kebijakan publik. Setelah kebijakan publik
disahkan oleh pejabat yang berwenang,
Binsar Antoni Hutabarat
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
maka kemudian kebijakan publik tersebut
diimplementasikan (dilaksanakan). 3)
Monitoring kebijakan publik. Monitoring
kebijakan publik adalah proses kegiatan
pengawasan
terhadap
implementasi
kebijakan, yaitu untuk memperoleh
informasi tentang seberapa jauh tujuan
kebijakan itu tercapai. 4). Evaluasi
kebijakan publik. Evaluasi kebijakan publik
Ini bertujuan untuk menilai apakah
perbedaan
sebelum
dan
sesudah
kebijakan, yaitu perbandingan antara
sebelum dan sesudah diberlakukannya
suatu kebijakan.
4.Prinsip Penyusunan Kebijakan Publik
Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor: Per/04/M.PAN/4/2007 tentang
Pedoman
Umum
Formulasi,
Implementasi, Evaluasi Kinerja, dan revisi
Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga
Pemerintah Pusat dan Daerah, prinsip
penyusunan kebijakan publik adalah
seperti berikut:
a. Benar dalam proses, yaitu bahwa
prosesnya harus transparan, dapat
dipertanggungjawabkan
dan
melibatkan pihak yang seharusnya
dilibatkan.
b. Benar secara isi, yaitu bahwa isi
kebijakan: mengatur isu kebijakan
yang harus diatur atau fokus pada isu
kebijakan;bukan
merupakan
kompromi
politik
dana
tau
ekonomi;langsung pada
masalah
yang diatur; tidak bertentangan
dengan kebijakan yang lebih tinggi
atau setara, dan pasal-pasalnya
sinkron (tidak ada pertentangan satu
sama lain). Isi kebijakan, antara lain
memuat: pasal-pasal yang mengatur
isi kebijakan (seperti aturan, batasan,
larangan, insentif, dan sanksi dari
pelanggaran
kebijakan),
waktu,
proses, dan cara implementasi,
termasuk di dalamnya kerangka
acuan
diskresi
bagi
pelaksana
kebijakan apabila menghadapi situasi
yang
luar
biasa,
sehingga
memerlukan
tindakan
diskresi
kebijakan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan, dan waktu
untuk evaluasi (termasuk di dalamnya
pasal
tentang
penyempurnaan
kebijakan).
c. Benar
secara
politik-etik,
yaitu
mengakomodasi para pihak yang
terkait secara langsung dengan
kebijakan, menerapkan prinsip-prinsip
pokok dalam good governance,
sebagaimana dimuat pada Huruf “a”,
yaitu proses, dan memerhatikan
kaidah-kaidah
moralitas
dalam
pembuatan kebijakan.
d. Benar secara hukum, yaitu bahwa
kebijakan ini benar-benar merupakan
kaidah hukum, karenanya kebijakan
publik bukan himbauan, melainkan
memberikan batas-batas aturan serta
mencantumkan sanksi yang tegas
bagi pelanggaran atasnya, dan
memberikan keadilan dan kesamaan
di depan hukum bagi publik.
e. Benar secara manajemen, isi dari
kebijakan bersifat sistematis, dapat
dilaksanakan,
meskipun
pelaksanaannya
bukan
oleh
pemerintah, namun pemerintah dapat
mengendalikan secara efektif, dan
mempunyai manfaat dan (impact)
yang terukur.
Binsar Antoni Hutabara
9
Sinopsis
f.
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
Benar secara Bahasa, yaitu bahwa
setiap kebijakan publik di Indonesia
harus
menggunakan
Bahasa
Indonesia yang baik dan benar,
meskipun kebijakan itu hasil kerja
sama dengan asing, dan kemudian
seandainya perlu, diterjemahkan ke
Bahasa asing atau daerah; Bahasa
tersebut harus baik, yaitu Bahasa
yang dapat dipahami publik dalam
satu makna, dan benar, yaitu tidak
terdapat penyimpangan terhadap
logika Bahasa.
5. Model-model Perumusan Kebijakan
Publik
a. Model Institusional
Model
Institusional/kelembagaan
menurut Wahab, merupakan model yang
dikembangkan oleh pakar ilmu politik yang
memandang kebijakan publik sebagai
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga pemerintah. Strukturstruktur
dan
lembaga-lembaga
pemerintahan sejak lama menjadi pusat
perhatian ilmu politik , bahkan ilmu politik
sering disebut sebagai ilmu yang
mempelajari
lembaga-lembaga
pemerintah (Wahab, 2008).
Dari
sudut
pandang
model
kelembagaan, kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh warga negara, baik secara
perorangan maupun secara berkelompok
pada umumnya terkonsetrasi dan tertuju
pada
lembaga-lembaga
pemerintah.
Kebijakan
publik
menurut
model
kelembagaan ini ditetapkan, disahkan,
dilaksanakan
dan
dipaksakan
pemberlakuannya oleh lembaga-lembaga
pemerintah. Dengan perkataan lain,
menurut model ini terdapat hubungan
yang erat antara kebijakan publik dan
10
lembaga-lembaga pemerintah. Kebijakan
apapun tidak akan menjadi kebijakan
publik
kalau
tidak
diterima,
diimplementasikan,
dan
dipaksakan
pemberlakuannya oleh lembaga-lembaga
pemerintah (wahab, 2008).
b. Model Elite Massa
Model teori elite berkembang dari teori
politik elite massa yang melandaskan diri
pada asumsi bahwa dalam setiap
masyarakat pasti terdapat dua kelompok,
yaitu pemegang kekuasaan atau elite dan
yang tidak memiliki kekuasaan atau
massa. Teori ini mengembangkan diri
pada kenyataan bahwa se-demokratis
apapun, selalu ada bias dalam formulasi
kebijakan
karena
pada
akhirnya
kebijakan-kebijakan
yang
dilahirkan
merupakan preferensi politik dari para elite
(Nugroho, 2009).
Model ini merupakan abstraksi dari
suatu proses pembuatan kebijakan di
mana kebijakan publik itu bisa dikatakan
identik dengan perspektif elite politik.
Dalam model ini kehidupan sosial terdiri
atas dua lapisan, yakni lapisan atas yang
disebut elite dengan jumlah sangat kecil
yang selalu mengatur, dan lapisan bawah
dengan jumlah sangat besar sebagai
pihak yang diatur. Jadi dalam model ini
terlihat kebijakan negara mencerminkan
kehendak atau nilai-nilai elite atau
sekelompojk kecil orang yang berkuasa
(Wibawa, 1994).
c. Model Kelompok
Model kelompok merupakan abstraksi
dari proses pembuatan kebijakan yang di
dalamnya
beberapa
kelompok
kepentingan
berusaha
untuk
mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan
Binsar Antoni Hutabarat
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
secara interaktif. Perumusan kebijakan
pada model ini terlihat sebagai upaya
untuk menanggapi tuntutan dari berbagai
kelompok kepentingan dengan cara
bargaining, negosiasi, dan kompromi.
Tuntutan-tuntutan yang saling bersaing di
antara
kelompok-kelompok
yang
berpengaruh itu dikelola dengan model ini
(wibawa, 1994).
Interaksi kelompok pada hakekatnya
merupakan kenyataan politik. Individu
yang
memiliki
kepentingan
sama
meningkatkan secara formal ataupun
informal dalam kelompok kepentingan
(interest group), yang dapat mengajukan
dan memaksakan kepentingannya kepada
pemerintah. Menurut teori kelompok,
kebijakan publik merupakan perimbangan
(equilibrium) yang dicapai sebagai hasil
perjuangan kelompok. Untuk menjaga
perimbangan tersebut tugas atau peran
sistem politik adalah menengahi konflik
yang terjadi di antara kelompok tersebut
(Anggara, 2014).
Secara garis besar pendekatan ini
menyatakan
bahwa
pembentukan
kebijakan
publik
pada
dasarnya
merupakan hasil dari perjuangan antara
kelompok-kelompok yang ada dalam
masyarakat. Suatu kelompok dalam hal ini
merupakan kumpulan individu-individu
yang diikat oleh tingkah laku atau
kepentingan yang sama. Kelompokkelompok itu mempertahankan dan
membela tujuan-tujuan mereka dalam
persaingannya
vis-à-vis
kelompokkelompok lain. Bila suatu kelompok gagal
dalam mencapai tujuan-tujuannya melalui
tindakan-tindakannya
sendiri,
maka
kelompok itu biasanya menggunakan
politik dan pembentukan kebijakan publik
untuk
mempertahankan
kepentingan
kelompoknya. Pada akhirnya “social
equilibrium” dicapai pada waktu pola-pola
interaksi kelompok dikarakteristikkan oleh
suatu tingkat stabilitas yang tinggi
(Winarno, 2007).
f. Model Rasional
Pembuatan
kebijakan
publik
rasional (rational public policy making)
dapat dilacak pada karya Herbert Simon
berjudul Administrative Behavior. Untuk
pertama kalinya buku ini diterbitkan pada
tahun 1945. Karya Simon ini boleh
dikatakan merupakan sebuah karya
teoritik monumental pertama dalam ilmu
administrasi
publik
yang
banyak
memberikan
sumbangan
pemikiran
mengenai proses pengambilan keputusan
(decision-making
process)
dalam
organisasi. Dalam buku karyanya tersebut
Simon di antaranya menyatakan bahwa
teori-teori administrasi
(administrative
theories)
haruslah
menempatkan
pengambilan keputusan dalam posisi
strategis,
sebagai
pusat
perhatian
utamanya (Winarno, 2007).
Simon menyatakan bahwa pilihan
rasional itu mencakup pemilihan alternatifalternatif yang kondusif bagi tercapainya
tujuan-tujuan
yang
telah
dipilih
sebelumnya. Adanya tujuan-tujuan atau
sasaran-sasaran
dalam
organisasi
merupakan sesuatu yang penting dan
fundamental dalam memberikan makna
terhadap perilaku administrasi (Winarno,
2007).
Rasionalitas
yang
diambil
adalah
perbandingan antara pengorbanan dan
hasil yang dicapai. Semakin rendah nilai
pengorbanan dan semakin tinggi tingkat
pencapaiannya maka suatu kebijakan
Binsar Antoni Hutabara
11
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
dianggap baik, dengan kata lain model ini
lebih menekankan pada aspek efisiensi
maupun ekonomis (Wibawa, 1994).
g. Model Inkremental
Model inkremental pada hakikatnya
memandang kebijakan publik sebagai
kelanjutan dari kegiatan-kegiatan yang
telah dilakukan oleh pemerintah di masa
lampau, dengan hanya melakukan
perubahan-perubahan seperlunya. Model
inkremental
ini
pertama
kalinya
dikembangkan oleh ekonom Charles E.
Lindblom, sebagai kritik terhadap model
rasional komprehensif dalam pembuatan
kebijakan public (Wahab, 2008).
Lindblom
sebagaimana
dikutip
Thomas R Dye menjelaskan bahwa para
pembuat kebijakan publik tidak akan
melakukan penilaian tahunan secara
teratur terhadap seluruh kebijakankebijakan yang ada maupun yang telah
diusulkan sebelumnya dengan cara
misalnya: mengidentifikasi tujuan-tujuan
masyarakat secara keseluruhan, meneliti
manfaat dan biaya dari tiap alternatif
kebijakan dan membuat urutan-urutan
prioritas dari tiap alternatif kebijakan, serta
melihat rasio/nisbah antara manfaat dan
biayanya , kemudian memilih alternatif
terbaik. Tetapi justru hal sebaliknyalah
yang
dilakukan,
terutama
karena
hambatan-hambatan baik dari segi waktu,
kecakapan maupun biaya, sehingga para
pembuat
kebijakan
enggan
untuk
mengidentifikasikan
semua
alternatif
kebijakan, berikut semua akibat-akibatnya
(Dye, 1978).
h. Model Teori Permainan (Game
Theory): Kebijakan Sebagai Pilihan
Rasional dalam Situasi Kompetitif
12
Gagasan pokok dari kebijakan dalam
teori
permainan
adalah,
pertama,
formulasi kebijakan publik berada dalam
situasi kompetisi intensif. Kedua, para
aktor berada dalam situasi pilihan yang
tidak independen ke dependen melainkan
situasi pilihan yang sama-sama bebas
atau independen. Sama seperti permainan
catur, setiap langkah akan bertemu
dengan kombinasi langkah lanjut dan
langkah balasan yang masing-masing
relatif bebas. Model ini mendasarkan pada
formulasi kebijakan rasional, namun
dalam kondisi kompetisi yang tingkat
keberhasilannya ditentukan oleh aktor
pembuat kebijakan, dan juga aktor-aktor
lainnya (Tilaar dan Nugroho, 2009).
Teori permainan merupakan varian
dari model rasional dan merupakan studi
mengenai pembuatan keputusan rasional
dalam suatu keadaan di mana terjadi dua
atau lebih partisipan yang mempunyai
pilihan-pilihan atas kebijakan dan hasilnya
tergantung pada pilihan mereka masingmasing. Istilah ‘game’ mengandung arti
pembuat kebijakan harus memutuskan
sesuatu yang hasilnya tergantung pada
pilihan aktor yang terlibat. Para pemain
harus saling menyesuaikan diri guna
saling
merefleksikan
pertimbangan
masing-masing
bahwa
efektivitas
kebijakan bukan hanya bergantung pada
keinginan dan kemampuan mereka, tetapi
juga terhadap apa yang akan dikerjakan
oleh partisipan lainnya (Tilaar dan
Nugroho, 2009).
i. Model Pilihan Publik (Public Choice
Model)
Model
ini
melihat
perumusan
kebijakan sebagai keputusan
kolektif
individu-individu. Model ini didasarkan
pada teori ekonomi bahwa manusia
Binsar Antoni Hutabarat
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
adalah
homo
economicus
yang
mempunyai kebutuhan ekonomi dan perlu
dipenuhi secara ekonomi. Peran kebijakan
adalah untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Perumusan kebijakan sama
dengan mekanisme pasar di mana
pembeli menemui penjual dan penawaran
memenuhi
permintaan.
Model
ini
memberikan
penjelasan
mengapa
pemenang
pemilihan
kadang-kadang
gagal untuk memberikan kebijakan terbaik
bagi bangsa (Nugroho, 2009).
Setiap kebijakan publik yang dibuat
pemerintah harus merupakan pilihan
publik yang menjadi pengguna. Artinya,
proses formulasi kebijakan melibatkan
publik
melalui
kelompok-kelompok
kepentingan sehingga model ini bersifat
demokratis. Pilihan publik adalah studi
ekonomi
pengambilan
keputusan
nonmarket, khususnya penerapan analisis
ekonomi untuk pembuatan kebijakan
publik. Dalam ilmu politik, dipelajari
perilaku dalam arena publik dan
berasumsi
bahwa
individu-individu
dipengaruhi oleh gagasan mereka sendiri
dalam kepentingan publik. Jadi, terdapat
versi-versi yang berbeda mengenai
motivasi manusia yang dikembangkan
dalam ilmu politik dan ekonomi: gagasan
dari homo
economics diasumsikan
kepentingan pribadi seorang aktor yang
berusaha memaksimalkan keuntungan
pribadi,
sedangkan homo
politicus
diasumsikan jiwa publik seorang aktor
yang berusaha untuk memaksimalkan
kesejahteraan sosial (Nugroho 2009).
Teori pilihan publik ini berasumsi
bahwa seluruh aktor politik, seperti
pemilih, pembayar pajak, kandidat,
legislatif, birokrat, kelompok kepentingan,
partai, dan pemerintah berusaha untuk
memaksimalkan
keuntungan
pribadi
mereka dalam politik maupun dalam
pasar. Menurut James Buchanan, bahwa
individu-individu datang bersama-sama di
dalam politik untuk kepentingan mereka
bersama, sama seperti mereka datang
bersama-sama di dalam pasar, dan
melalui perjanjian (kontrak) di antara
mereka sendiri yang mana mereka dapat
meningkatkan
sendiri
kesejahteraan
mereka. Dengan demikian, orang akan
mengikuti kepentingan pribadi mereka
baik di dalam politik maupun pasar, akan
tetapi dengan motivasi diri sendiri mereka
dapat saling menguntungkan melalui
pengambilan keputusan kolektif (Nugroho,
2014).
j. Model Pengamatan Terpadu (Mixed
Scaning)
Model
Pengamatan
Terpadu
merupakan perpaduan model rasionalkomprehensif dan Inkremental, karena
kedua model ini sulit untuk diaplikasikan
atau setidak-tidaknya masing-masing
mempunyai kelemahan. Dalam model
rasional-komprehensif untuk membuat
suatu keputusan harus menganalisis
semua alternatif yang ada sehingga akan
menghasilkan sesuatu yang tidak efisien,
sedang model inkremental cenderung
mempertahankan status-quo, melupakan
kebutuhan pihak-pihak yang tidak atau
kurang mempunyai kekuasaan dan
mengabaikan inovasi sosial. Model
pengamatan terpadu intinya merupakan
gabungan unsur-unsur kebaikan model
rasional-komprehensif dan inkremental
(Suntoro dan Hariri, 2015).
Binsar Antoni Hutabara
13
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
6. Model-model Implementasi kebijakan
Publik
Model-model
implementasi
kebijakan
sangat
mempengaruhi
efektivitas
implementasi suatu kebijakan. Model
implementasi kebijakan terbagi dalam tiga
model, yaitu model rasional atas-bawah
(top down), model rasional bawah-atas
(bottom-up) dan model teori-teori sintesis
(hybrid theories) (Suntoro dan Hariri,
2015).
a. Model rasional atas-bawah (top down)
Model
rasional
(top
down)
lebih
menekankan
pada
usaha
untuk
mengidentifikasi faktor-faktor apa saja
yang membuat suatu kebijakan bisa
berjalan sukses di lapangan. Model atas
bawah menekankan terutama pada
kemampuan pembuat keputusan untuk
menghasilkan tujuan kebijakan yang tegas
dan
pada
pengendalian
tahap
implementasi (Frank Fisher, Gerald J.
Miller, Mara S. Sidney, 2015). Model
implementasi inilah yang paling pertama
muncul. Van Meter dan van Horn
menyatakan bahwa standar dan sasaran
kebijakan harus jelas dan terukur
sehingga dapat terwujud. Apabila standar
dan sasaran kebijakan tidak jelas, maka
akan terjadi multi tafsir dan akan mudah
menimbulkan konflik di antara para
pelaksana sebagai implementor. Selain itu
perlu implementasi kebijakan perlu
dukungan sumberdaya manusia, maupun
sumberdaya
non-manusia.
Selain
sumberdaya,
implementasi
sebuah
program perlu dukungan dan koordinasi
dengan lembaga lain. Dengan demikian
diperlukan koordinasi dan kerjasama
antarlembaga untuk keberhasilan suatu
program (Wibawa, 1994).
14
b. Model pendekatan bawah-atas (bottomup)
Model implementasi dengan pendekatan
bottom up muncul sebagai kritik terhadap
model pendekatan rasional (top down).
Kritik bawah-atas melihat birokrat lokal
sebagai aktor utama dalam penyampaian
kebijakan dan memahami implementasi
sebagai proses negosiasi dalam jaringan
pelaksana.
Parsons
mengemukakan
bahwa yang benar-benar penting dalam
implementasi adalah hubungan antara
pembuat kebijakan dengan pelaksana
kebijakan. Model bottom-up adalah model
yang memandang proses sebagai sebuah
negosiasi dan pembentukan konsensus.
Model
pendekatan
bottom
up
menekankan
pada
fakta
bahwa
implementasi di lapangan memberikan
keleluasaan dalam penerapan kebijakan.
Implementasi
kebijakan
dipandang
sebagai suatu proses atau alur (Wibawa,
1994).
c. Model teori-teori hasil sintesis (Hybrid
Theories)
Model
rasional
(top-down)
memusatkan perhatian pada institusi dan
kondisi
sosial
ekonomi
yang
mempengaruhi perilaku. Sintesis ini
disempurnakan melalui pendekatan policy
subsystem, yaitu semua aktor terlibat
secara interaktif satu sama lain dalam
proses politik dan kebijakan. Teori hibrida
mencoba mengatasi kesenjangan antara
dua
pendekatan
tersebut
dengan
menggabungkan unsur-unsur model atasbawah, bawah atas dan model teoritis
lainnya (Frank Fisher, Gerald J. Miller,
Mara S. Sidney, 2015).
Untuk melihat bagaimana implementasi
KKNI di perguruan tinggi tidak bisa
semata-mata
menggunakan
model
Binsar Antoni Hutabarat
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
rasional (top down) atau model partisipasi
(bottom up). Sebab, kebijakan KKNI
merupakan kebijakan yang memberikan
kewenangan yang lebih luas pada
perguruan tinggi sesuai dengan otoritas
perguruan tinggi yang diakui pemerintah
Indonesia. Meskipun pendidikan tinggi
diberi kewenangan dalam menerapkan
KKNI, tetapi dalam praktiknya pemerintah
tidak lepas kontrol sama sekali terhadap
proses penerapan KKNI di perguruan
tinggi.
7. Evaluasi Kebijakan Publik
Menurut William N Dunn, “Secara
umum istilah evaluasi dapat disamakan
dengan penaksiran (appraisal, pemberian
angka
(rating)
dan
penilaian
(assessment), kata-kata yang menyatakan
usaha untuk menganalisis kebijakan arti
satuan nilainya. Dalam arti spesifik,
evaluasi berkenaan dengan produksi
informasi mengenai nilai atau manfaat
hasil kebijakan (Dunn, 2003). Hasil
kebijakan
menurutnya
dikatakan
mempunyai nilai, karena hasil kebijakan
tersebut memberi sumbangan pada tujuan
atau sasaran. Dalam kondisi tersebut
dapat dikatakan bahwa kebijakan atau
program telah mencapai tingkat kinerja
yang bermakna, yang berarti bahwa
masalah-masalah kebijakan dibuat jelas
atau diatasi (Dunn, 2003).
David Macmias menjelaskan evaluasi
kebijakan sebagai: “Suatu pengkajian
secara sistematik dan empiris terhadap
akibat-akibat dari suatu kebijakan dan
program pemerintah yang sedang berjalan
dan kesesuaiannya dengan tujuan-tujuan
yang hendak dicapai oleh kebijakan
tersebut (Lembaga Administrasi Negara,
2008).
Bila kebijakan dipandang sebagai
suatu pola kegiatan yang berurutan, maka
dapat dipahami bahwa evaluasi kebijakan
merupakan tahap akhir dalam proses
kebijakan. Namun, secara umum evaluasi
kebijakan
sebagaimana
dikatakan
Winarno, sejalan dengan apa yang
dikatakan David Macmias dapat dikatakan
sebagai, “tindakan yang menyangkut
estimasi atas penilaian kebijakan yang
mencakup substansi, implementasi dan
dampak (Winarno, 2007).” Dengan
demikian jelaslah bahwa evaluasi dapat
dilakukan pada setiap tahapan kebijakan
sebagaimana
juga
dikatakan
Leo
Agustino, “evaluasi kebijakan sebenarnya
juga membahas persoalan perencanaan,
isi, implementasi, dan tentu saja efek atau
pengaruh dari kebijakan itu sendiri
(Agustino, 2008).” Selanjutnya, mengutip
Laster dan Steward, Agustini menjelaskan,
“Evaluasi
ditujukan
untuk
melihat
sebagian-sebagian
kegagalan
suatu
kebijakan dan untuk mengetahui apakah
kebijakan yang telah dirumuskan dan
dilaksanakan dapat menghasilkan dampak
yang diinginkan (Agustino, 2008).
Evaluasi
kebijakan
memberikan
informasi
yang
membolehkan
stakeholders mengetahui apa yang terjadi
berikutnya
dari
maksud
kebijakan.
Evaluasi juga memberikan pemaparan
aktivitas implementasi kebijakan. Pada
tingkat
kompleksitas
lebih
besar,
pelaksanaan yang dicapai sesuai sasaran.
Akhirnya, evaluasi dapat memberikan
pemahaman
terhadap
keberhasilan
kebijakan atau kegagalan dan dapat
memberikan saran terhadap alasan
Binsar Antoni Hutabara
15
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
keberhasilan kebijakan atau kegagalan
dan dapat memberikan saran terhadap
tindakan
untuk
memberdayakan
pencapaian
sasaran
kebijakan
(Syafaruddin, 2008).
d. Model-model evaluasi kebijakan
Berdasarkan
penjelasan
tentang
evaluasi kebijakan diketahui bahwa
evaluasi kebijakan dapat dilakukan pada
tiap tahapan. Evaluasi kebijakan dapat
dibedakan menjadi “evaluasi perumusan
kebijakan,
evaluasi
implementasi
kebijakan, dan evaluasi lingkungan
kebijakan (Nugroho, 2006).” Namun,
konsep “evaluasi” selalu terikat konsep
‘”kinerja’ sehingga evaluasi kebijakan
publik pada ketiga wilayah itu bermakna
kegiatan pasca. Jadi evaluasi kebijakan
publik tidak hanya pada implementasi
kebijakan, tetapi juga berkenaan dengan
perumusan, implementasi, dan lingkungan
kebijakan publik, atau seluruh tahapan
kebijakan publik.
Secara umum, evaluasi formulasi
kebijakan publik berkenaan dengan
apakah formulasi kebijakan publik telah
dilaksanakan:
1). Menggunakan pendekatan yang
sesuai dengan masalah yang hendak
diselesaikan, karena setiap masalah
publik memerlukan model formulasi
kebijakan publik yang berlainan;
2). Mengarah pada permasalahan inti,
karena setiap pemecahan masalah harus
benar-benar
mengarah
pada
inti
permasalahannya.
3). Mengikuti prosedur yang diterima
secara bersama baik dalam rangka
keabsahan maupun juga dalam rangka
kesamaan dan keterpaduan langkah
perumusan (Nugroho, 2006).
16
Mengenai
evaluasi
implementasi
kebijakan
berdasarkan
waktu
dilakukannya evaluasi dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu sebelum dilaksanakan,
pada waktu dilaksanakan, dan setelah
dilaksanakan. Evaluasi pada waktu
pelaksanaan biasanya disebut evaluasi
proses. Evaluasi setelah kebijakan disebut
evaluasi konsekuensi (output) kebijakan
dan/atau
evaluasi
impak/pengaruh
(outcome) kebijakan, atau sebagai
evaluasi sumatif (Tilaar dan Nugroho,
2009).
Sedang evaluasi lingkungan kebijakan
menganalisis lingkungan implementasi
kebijakan terkait dengan faktor-faktor
lingkungan apa saja yang membuat
kebijakan
gagal
atau
berhasil
diimplementasikan. Evaluasi lingkungan
kebijakan penerapan KKNI ini penting
karena peguruan tinggi sebagai sasaran
kebijakan KKNI amat beragam, dan saat
ini pendidikan tinggi di Indonesia sedang
menghadapi ancaman persaingan global
dalam bidang pendidikan, demikian juga
luaran pedidikan tinggi harus menghadapi
derasnya tenaga asing yang masuk ke
Indonesia. Lahirnya kebijakan KKNI itu
sendiri juga tidak terlepas dari usaha
untuk menjawab persoalan persaingan
global dalam bidang pendidikan tinggi,
secara khusus luaran pendidikan tinggi
yang harus berkompetesi dengan tenaga
kerja luar negeri.
Obyek evaluasi dalam kajian ini
adalah
evaluasi
kebijakan,
maka
fenomena yang akan dinilai terkait dengan
kebijakan penerapan KKNI ini adalah
berkaitan
dengan
tujuan,
sasaran
kebijakan, kelompok sasaran (target
groups) yang ingin diintervensi, responsi
dari lingkungan kebijakan, kinerja yang
Binsar Antoni Hutabarat
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
dicapai dan dampak yang terjadi.
Selanjutnya
untuk
mengevaluasi
komponen-komponen program kebijakan
penerapan kebijakan KKNI tersebut akan
dianalisis menggunakan evaluasi program
yang sesuai dengan model kebijakan
penerapan KKNI tersebut.
B.Deskripsi Konsep Kebijakan KKNI
Bidang Pendidikan Tinggi
1.Konsep
Kerangka
Kualifikasi
Nasional
Kerangka
Kualifikasi
Nasional
(National Qualification Framework) tidak
hanya ada di Indonesia, tetapi juga pada
banyak negara di dunia. Kerangka
kualifikasi nasional merupakan fenomena
global, 70 negara di seluruh dunia saat ini
sedang
mengembangkan
Kerangka
kualifikasi nasional, baik itu negara-negara
yang
maju
dalam
industri
dan
perekonomiannya,
negara-negara
anggota Uni Eropa, dan juga negaranegara berkembang di Asia dan di Afrika.
Kerangka
kualifikasi
nasional
ini
merupakan isu besar terkait dengan
elemen pendidikan dan ketenagakerjaan.
Mengenai Kerangka Kualifikasi Nasional,
Gavin Heron & Pam Green Lister
menjelaskan, bahwa “kerangka kualifikasi
nasional dimaksudkan untuk memberikan
pedoman cara mengkualifikasikan levellevel pendidikan yang berbeda dan
membandingkannya baik secara nasional
maupun internasional dengan cara yang
memungkinkan (Heron dan Lister, 2014).
Secara umum, kerangka kualifikasi
dapat didefinisikan sebagai "deskripsi
sistematis
kualifikasi
suatu
sistem
pendidikan
(Heron dan Lister, 2014).
Mengikuti pendekatan ini, adalah mungkin
untuk mengklaim bahwa setiap negara
memiliki kerangka kualifikasi nasional
(Spudyte,Vengris,
Misiunas,
2006).
Lahirnya penetapan Kerangka Kualifikasi
Nasional di seluruh belahan dunia ini tidak
terlepas dari sebuah langkah yang paling
penting dalam reformasi akademik yang
dilakukan di Eropa, dinyatakan dalam
Deklarasi Bologna yang menegaskan
demikian:
We must look with special attention at
the objective to increase the international
competitiveness of the European system
of higher education. The vitality and
eficiency of any civilization is measured, in
fact, by the attraction that its cultural
system exerts on other countries. We
need to ensure that the European system
of higher education acquires in the world a
degree of attraction equal to our
extraordinary
cultural
and
scientic
traditions(Maruk C. Van Der Wend, 2000).
2. Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional di Indonesia
Perumusan kebijakan KKNI melewati
jalan yang cukup panjang, sejak
ditetapkannya
KKNI
pada
bidang
pelatihan kerja, yaitu dalam undangundang tentang sistem pelatihan kerja
nasional, dalam peraturan tersebut juga
telah ditetapkan bahwa kebijakan KKNI
untuk bidang pendidikan tinggi akan
ditetapkan lewat peraturan Presiden.
Periode waktu penetapan KKNI dalam
peraturan Presiden juga membutuhkan
waktu yang lama, sekitar enam tahun.
Berarti
sesungguhnya
perumusan
kebijakan KKNI bidang pendidikan tinggi
terbilang cukup lama.
Binsar Antoni Hutabara
17
Sinopsis
Evaluasi Kebijakan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi
Berdasarkan
Booklet
tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan
Nasional yang berisi Kajian tentang
implikasi dan implementasi KKNI dapat
dipahami bahwa rumusan kebijakan KKNI
tersebut lahir dengan kajian yang
mendalam
dan
melibatkan
banyak
policies
stakeholder.
Pada
proses
penyusunan konsep-konsep KKNI, studi
banding juga telah dilakukan ke berbagai
negara untuk dapat mengembangkan
KKNI yang sebanding dengan kerangka
kualifikasi
negara-negara
lain.
Kesepadanan antara KKNI dengan
kerangka kualifikasi negara-negara lain
sangat diperlukan agar KKNI dapat
dipahami dan diakui sebagai sebuah
sistem kualifikasi yang handal dan
terpercaya. Dengan adanya pengakuan
dan kepercayaan KKNI maka kerjasama
atau program penyetaraan kualifikasi
ketenagakerjaan antara Indonesia dengan
negara-negara lain akan lebih mudah
diwujudkan, Jadi, pengembangan KKNI
juga merujuk dan mempertimbangkan
sistem kualifikasi negara lain seperti
Eropa, Australia, Inggris, Scotlandia,
Hongkong, dan Selandia baru.
5. Tujuan Kebijakan KKNI
Peraturan
Pemerintah
Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 2006 tentang
Sistem Pelatihan Kerja Nasional pasal 2
ayat 1 menjelaskan bahwa, tujuan Sistem
Pelatihan
Kerja
Nasional
adalah,
mewujudkan pelatihan kerja nasional yang
efektif dan efisien dalam rangka
meningkatkan kualitas tenaga kerja.
Selanjutnya dalam pasal 5 ayat 1
diterangkan
bahwa
dalam
rangka
pengembangan kualitas tenaga kerja
18
ditetapkan
KKNI
yang
disusun
berdasarkan
jenjang
kualifikasi
kompetensi kerja dari yang terendah
sampai yang tertinggi. Jadi, jelaslah dapat
diketahui bahwa tujuan kebijakan KKNI
adalah untuk meningkatkan kualitas
tenaga kerja Indonesia.
Tujuan
kebijakan
KKNI
dalam
Peraturan Presiden yang mengacu pada
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun
2006 memiliki tujuan yang sama sebagai
kerangka
penjenjangan.
Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 pasal 1
menerangkan,
“Kerangka
Kualifikasi
Nasional Indonesia yang selanjutnya
disingkat
KKNI,
adalah
kerangka
penjenjangan kualifikasi kompetensi yang
dapat menyandingkan, menyetarakan dan
mengintegrasikan
antara
bidang
pendidikan dan bidang pelatihan kerja
serta pengalaman kerja dalam rangka
pemberian pengakuan kompetensi kerja
sesuai dengan struktur pekerjaan di
berbagai sektor.” Bunyi pasal 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 ini
tidak berbeda dengan apa yang
ditetapkan dalam Peraturan Presiden
Nomor 8 Tahun 2012. Kemudian dalam
istilah yang tidak berbeda pernyataan
tersebut ditetapkan dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Bagian kelima dari undang-undang
tersebut pasal 29 menjelaskan tentang
KKNI seperti berikut: (1) Kerangka
Kualifikasi
Nasional
merupakan
penjenjangan capaian pembelajaran yang
menyetarakan luaran bidang pendidikan
formal,
nonformal,
informal