Formulasi dan Evaluasi Fisik Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum) sebagai Anti-Aging

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FORMULASI DAN EVALUASI FISIK MIKROEMULSI

YANG MENGANDUNG EKSTRAK UMBI TALAS

JEPANG (

Colocasia esculenta

(L.) Schott

var antiquorum

)

SEBAGAI

ANTI-AGING

.

SKRIPSI

ATHIYAH

1111102000031

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JULI 2015


(2)

FORMULASI DAN EVALUASI FISIK MIKROEMULSI

EKSTRAK UMBI TALAS JEPANG (

Colocasia esculenta

(L.) Schott

var antiquorum

) SEBAGAI

ANTI-AGING

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

ATHIYAH

1111102000031

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JULI 2015


(3)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Athiyah

NIM : 1111102000031

Tanda Tangan : :


(4)

Nama : Athiyah

NIM : 1111102000031 Program Studi : Farmasi

Judul : Formulasi dan Evaluasi Fisik Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum) sebagai

Anti-Aging

Disetujui Oleh:

Pembimbing II

Mengetahui,

Kepala Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pembimbing I


(5)

Skripsi ini diajukan oleh:

Nama : Athiyah

NIM : 1111102000031

Program Studi : Strata-1- Farmasi

Judul Skrips : Formulasi dan Evaluasi Fisik Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum) sebagai Anti-Aging

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : Dr. Azrifitria, M.Si., Apt. ( ) Pembimbing II : Afriani Rahma, M.Farm., Apt. ( ) Penguji I : Yuni Anggraeni, M.Farm.,Apt. ( ) Penguji II : Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt. ( )

Ditetapkan di : Jakarta Tanggal :8 Juli 2015


(6)

Program Studi : Strata-1- Farmasi

Judul Skripsi : Formulasi dan Evaluasi Fisik Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum) sebagai

Anti-Aging.

Umbi Talas Jepang merupakan salah satu tanaman yang berpotensi sebagai

anti-aging. Umbi talas jepang megandung senyawa polifenol, vitamin C, vitamin A, monogliserida, besi, tarin dan saponin yang berperan dalam menghambat dan memperlambat proses penuaan. Pada penelitian ini dilakukan pengembangan formulasi berupa mikroemulsi ekstrak umbi talas jepang untuk meningkatkan kemampuan penetrasi ke dalam kulit. Pembuatan mikoemulsi dilakukan menggunakan kombinasi surfaktan tween 80 dan span 80 serta variasi jenis kosurfaktan (propilen glikol, gliserin, etanol, dan polietilen glikol 400) denganberbagaikonsentrasi. Kemudiandihasilkanmikroemulsidengankomposisi 15% tween 80, 23% span 80, 5% polietilen glikol 400, 48,5% minyak zaitun, 0,5% vitamin E, 3% ekstrak umbi talas jepang, dan 5% akuades dengan kecepatan pengadukan ±750 rpm, suhu 31-35 ⁰C selama 30 menit. Hasil evaluasi fisik mikroemulsi menunjukan nilai pH 5,875, nilai viskositas 364 cP dengan tipe aliran Newton, tipe air dalam minyak (a/m), bobot jenis 0,959 g/ml, dan stabil pada suhu ruang (25 ± 2 ⁰C) dan suhu rendah (4 ± 2 ⁰C).


(7)

Program Study : Pharmacy

Title : Formulation and Physical Evaluation of microemulsion of Japanese Taro Tuber Extract (Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum) as an Anti-Aging agent

Japanese taro tuber is a plant that has potential as an anti-aging angent. Japanese taro tuber consistst of polyphenol compounds, vitamin C, vitamin A, monoglycerides, iron, tarin and saponins that play a role in inhibiting and slowing the aging process. In this research, the development of a microemulsion formulation of the Japanese taro root extract is to increase the ability to penetrate the skin. Microemultion is made by using a combination of surfactants, which are tween 80 and span 80 as well as variations in the type of cosurfactant (propylene glycol, glycerin, ethanol, and polyethylene glycol 400) with various concentrations. The result of the obtained microemulsion had a composition of 15% tween 80, 23% span 80, 5% polyethylene glycol 400, 48.5% olive oil, 0.5% vitamine E, 3% taro root extract, and 5% distilled water with stirring speed at±750 rpm, temperature at 31-35 ⁰C for 30 minutes. Microemulsion physical evaluation results showed that the value of pH was 5.875, viscosity value was 364 cP with the Newton flow type, thewater-in-oil (a / m) type , the specific gravity was 0.959 g / ml, and showed stability at room temperature (25 ± 2 ⁰C) and low temperature ( 4 ± 2 ⁰C).


(8)

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi saya yang berjudul “Formulasi dan Evaluasi Fisik Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum) Sebagai Anti-Aging. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Dr. Azrifitria, M.Si., Apt. dan IbuAfriani Rahma, M.Si., Apt. sebagai Pembimbing yang telah bersedia memberikan ilmu, waktu, tenaga, nasehat, serta arahan selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Bapak Yardi, Ph.D., Apt danIbuNelly Suryani, M.Si., Ph.D., Apt.sebagai ketua dansekretarisProgram Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.

3. Bapak Dr. Arief Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Puteri Amelia M.Farm., Apt.sebagai pembimbing akademik yang telah membimbing dan memberikan dukungan dalam menghadapi permasalahan-permasalahan akademik.

5. Bapak dan Ibu staf pengajar, serta karyawan yang telah memberikan bimbingan dan bantuan selamamenempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kedua orangtua tercinta Ayahanda Abu Yazid dan Almarhumah Ibunda Siti Barkah,serta adik-adiktersayangHafiz, Qanita, dan Sami dankeluarga besar yang selalu ikhlas tanpa pamrih memberikan kasih sayang, dukungan, serta doa setiap waktu.


(9)

rintangan bersama dan tempat berbagi keluh kesah.

8. Sahabat-sahabat tercinta, Laila, Elsa, Annisa, Tiara, Silvia, Karimah, Sheila, Arini, Puput, Sheila, Meryza, dan teman-teman Farmasi ABCD yang telah menjadi keluarga kedua yang telah menghabiskan waktu susah senang bersama.

9. Laboran-laboran yang telah membantu dalam kelancaran penelitian ini Kak Eris, Kak Lisna, Kak Rani, Kak Tiwi,dan Kak Rahmadi.

10.Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian dan penulisan yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan ini, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan demi perbaikan skripsi ini. Dan semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Jakarta, 8 Juli 2015 Athiyah


(10)

Sebagai sivitas akademik Universitas Islma Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Athiyah

NIM : 1111102000031 Program Studi : Farmasi

Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya dengan judul:

FORMULASI DAN EVALUASI FISIK MIKROEMULSI EKSTRAK UMBI TALAS JEPANG (Colocasiaesculenta (L.) Schott varantiquorum) SEBAGAI

ANTI-AGING

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Dengan demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta Pada Tanggal : 8 Juli 2015

Yang menyatakan,

(Athiyah)


(11)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 TanamanTalasJepang ... 4

2.1.1 Taksonomi ... 4

2.1.2 Kandungan Kimia ... 4

2.2 Kulit ... 5

2.2.1Epidermis ... 5

2.2.2Dermis ... 7

2.2.3Subkutis ... 7

2.2.4FisiologiKulit ... 7

2.2.5 PenetrasiObatMelaluiKulit ... 9

2.3Kosmetik ... 10

2.4Penuaan ... 11

2.4.1Teori Proses Penuaan ... 11

2.4.2 Proses PenuaanpadaKulit ... 12

2.4.3Faktor-Faktor yang MempengaruhiPenuaanKulit ... 13

2.5Antioksidan ... 14

2.6 Mikroemulsi ... 15

2.7 KomponenMikroemulsi ... 17

2.7.1 MinyakZaitun ... 17

2.7.2 Span 80 ... 18

2.7.3 Tween 80 ... 18

2.7.4 Poletilen Glikol 400 (PEG 400) ... 19

2.7.5Vitamin E ... 19

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ... 21

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

3.2 Alat dan Bahan ... 21

3.2.1 Alat ... 21

3.2.2 Bahan ... 21


(12)

3.3.2.2Karakterisasispesifik ... 23

3.3.2.3UjiKelarutan ... 23

3.3.3 MetodeEkstraksi ... 22

3.3.4PenapisanFitokimia ... 23

3.3.5Penetapan Kadar Polifenol Total... 24

3.3.5.1PembuatanLarutanIndukAsamGalat ... 24

3.3.5.2 Penetapan PanjangGelombangMaksimum... 24

3.3.5.3PembuatanKurvaStandar ... 25

3.3.5.4Penentuan Kadar Total SenyawaPolifenol ... 25

3.3.6UjiAntioksidandenganMetode DPPH ... 26

3.3.6.1PembuatanLarutan DPPH ... 26

3.3.6.2PembuatanLarutanBlanko ... 26

3.3.6.3PenentuanAktivitasAntioksidan ... 26

3.3.7 PembuatanMikroemulsi ... 26

3.3.7.1 UjiPendahuluan... 26

3.3.7.2FormulasiMikroemulsi ... 27

3.3.8 EvaluasiFisikMikroemulsi ... 27

3.3.8.1PemeriksaanOrganoleptik ... 27

3.3.8.2Uji pH ... 28

3.3.8.3UjiTipeMikroemulsi ... 28

3.3.8.4PenentuanViskositas ... 28

3.3.8.5 PengukuranBobotJenis ... 26

3.3.8.6UjiStabilitas ... 28

3.3.8.7Cycling Test ... 29

3.3.8.8UjiSentrifugasi ... 29

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1DeterminasiTanaman ... 30

4.2Karakterisasi ... 30

4.3PenapisanFitokimia ... 32

4.4Penetapan Kadar Total Polifenol ... 34

4.5UjiAntioksidandenganMetode DPPH ... 37

4.6FormulasiMikroemulsi ... 38

4.7EvaluasiFisikMikroemulsi ... 46

4.7.1PemeriksaanOrganoleptik ... 46

4.7.2 Uji pH ... 47

4.7.3 Uji Viskositas ... 47

4.7.4PenentuanTipeMikroemulsi ... 48

4.7.5PengukuranBobotJenis ... 49

4.7.6 Uji Sentrifugasi ... 49

4.7.7Cycling Test ... 49

4.7.8UjiStabilitas ... 50

BAB 5. PENUTUP ... 54


(13)

(14)

Tabel 2.1 PerbedaanAntara Penuaan Intrinsik dan Ekstrinsik ... 13

Tabel 3.1 Formula Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang ... 27

Tabel 4.1 Hasil Karakterisasi Ekstrak Umbi Talas Jepang ... 31

Tabel 4.2 Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Umbi Talas Jepang ... 33

Tabel 4.3 Nilai Absorbansi Standar Asam Galat ... 35

Tabel 4.4 Kadar Total Polifenol Ekstrak Umbi Talas Jepang ... 36

Tabel 4.5 Nilai Absorbansi, % Inhibisi, dan IC50 Ekstrak Umbi Talas Jepang .... 37

Tabel 4.6 Hasil Optimasi Formula Sediaan Mikroemulsi ... 41

Tabel 4.7 Hasil Optimasi Kondisi Pemebentukan Mikroemulsi ... 45

Tabel 4.8 Hasil Formula dan Kondisi Terbaik ... 45

Tabel 4.9 HasilPemeriksaanOrganoleptikdanHomogenitas ... 46

Tabel 4.10 Nilai Viskositas Mikroemulsi pada Berbagai Kecepatan ... 48

Tabel 4.11 Hasil Pengamatan Organoleptik Mikroemulsi pada Cycling Test ... 50

Tabel 4.12 Hasil Pengamatan Makroskopik Mikroemulsi pada Berbagai Suhu ... 51


(15)

Gambar 2.1 Umbi Talas Jepang ... 4

Gambar 2.2 Struktur Anatomi Kulit ... 5

Gambar 2.3 Struktur Alpha Tocopherol ... 19

Gambar 4.1 Kurva Kalibrasi Asam Galat ... 36

Gambar 4.2 Bagan Optimasi Pembentukan Mikroemulsi ... 40

Gambar 4.3 Diagram Fase Pseudoterner Mikroemulsi ... 43


(16)

Lampiran 1. Alur Penelitian ... 55

Lampiran 2. Hasil Determinasi Tanaman ... 56

Lampiran 3. Gambar Hasil Penapisan Fitokimia ... 57

Lampiran 4. Perhitungan Parameter Non Spesifik Ekstrak Umbi Talas Jepang 59 Lampiran 5. Perhitungan dan Hasil Penetapan Kadar Total Polifenol ... 60

Lampiran 6. Hasil dan PerhitunganAktivitas Antioksidan ... 63

Lampiran 7. Nilai Viskositas Mikroemusi pada Berbagai Kecepatan ... 66

Lampiran 8. Gambar Hasil Penelitian ... 70


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penuaan telah menjadi masalah tersendiri bagi kaum wanita. Penuaan merupakan suatu proses multidimensional, yakni mekanisme perusakan dan perbaikan di dalam tubuh dan sistem tersebut terjadi secara bergantian pada kecepatan dan saat-saat yang berbeda (Tambayong, 2000). Proses terjadinya penuaan kulit tidak sama pada setiap orang. Pada orang tertentu proses penuaan kulit terjadi sesuai dengan usianya sedangkan pada orang lain dapat datang lebih cepat, keadaan ini disebut sebagai penuaan dini (premature aging). Hal ini menunjukan bahwa proses penuaan pada setiap individu berbeda, tergantung dari berbagai faktor yang mempengaruhi dan mempercepat proses penuaan (Cunningham, 1998 dan Soepardiman, 2003). Meskipun proses penuaan adalah sesuatu yang harus terjadi, namun berbagai usaha untuk mencegah atau memperlambatnya terus dilakukan. Salah satu bentuk upaya untuk mencegah atau memperlambat terjadinya proses penuaan dini adalah dengan menggunakan sediaan kosmetik, berupa anti-aging yang memiliki kemampuan untuk mencegah atau memperlambat terjadinya proses tersebut (Elsnerdan Howard, 2000 dan Tranggono dan Latifah, 2007).

Kurun waktu terakhir, banyak dikembangkan penelitian yang berfokus pada bahan alam, termasuk penelitian di bidang kosmetik. Penggunaan bahan alami dari tanaman memiliki beberapa keunggulan, diantaranya adalah tidak menyebabkan terjadinya efek samping (Chen, Pearson, dan Gray, 1992; Kahl dan Kappus, 1993). Salah satu tumbuhan yang telah digunakan oleh masyarakat sebagai anti-aging adalah talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum. Talas jepang juga biasa digunakan sebagai obat dalam mempercepat penyembuhan luka sehingga talas jepang dianggap memiliki kemampuan untuk meregenerasi sel yang rusak. Talas jepang memiliki kandungan polifenol, vitamin

C, vitamin A, besi, saponin, dan monogliserida ((2’S) -1-O-(9-oxo-10(E),12(E)-oktadekadienoil) gliserol, besi, saponin, dan tarin yang mempunyai manfaat


(18)

sebagai anti-aging (Wang, 1983; Lintner dan Sederma, 2015; Sharma dan Arvind Sharma, 2012; dan Kim, Moon, Seon Yeo, dan Kang, 2010). Hal inilah yang melatarbelakangi pembuatan sediaan anti-aging dari ekstrak umbi talas jepang.

Kulit memiliki pertahanan yang sulit ditembus oleh molekul obat terutama yang bersifat hidrofilik (Tranggono dan Latifah, 2007) sehingga ekstrak umbi talas jepang akan sulit untuk berpenetrasi karena ekstrak talas jepang bersifat hidrofilik. Zat aktif dalam sediaan harus mampu melewati kulit terutama lapisan tanduk (stratum korneum) yang merupakan lapisan penghalang utama (Fatmawaty, Tjendra, Riski, dan Nisa, 2012). Oleh sebab itu perlu dikembangkan bentuk sediaan yang dapat meningkatkan penetrasinya, diantaranya adalah bentuk sediaan mikroemulsi.

Produk kosmetik ekstrak umbi talas jepang yang telah beredar adalah dalam bentuk krim sehingga bentuk mikroemulsi ini merupakan salah satu dari upaya pengembangan dari produk ekstrak umbi talas jepang. Kosmetik dalam bentuk mikroemulsi merupakan kosmetik yang mulai dikembangkan di zaman teknologi yang lebih maju seperti sekarang, karena memiliki sistem penghantaran baru dan menjanjikan hasil yang lebih baik dan lebih cepat dibandingkan sediaan topical lainnya, seperti sediaan krim. Mikroemulsi tersusun atas air, minyak, dan surfaktan, terkadang bersama kosurfaktan (Flanagan dan Singh, 2006; Cho, Kim, Bae, Mok, dan Park, 2008). Sifat mikroemulsi yang termodinamis dapat mendukung partisi ke dalam kulit. Sarana mikroemulsi juga dapat mengurangi penghalang difusi dari stratum korneum dan menunjukan peningkatan efisiensi dalam penetrasi melalui kulit (Zhu dan Gao, 2008; Shetye dkk, 2010).

Pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan sediaan mikroemulsi tipe air dalam minyak (a/m) dari ekstrak umbi talas jepang dan melihat kestabilannya secara fisik. Tipe ini dipilih karena zat aktif (fase terdispersi) berifat hidrofil. Pembuatan mikroemulsi ini dilakukan dengan menggunakan minyak zaitun dan vitamin E sebagai fase minyak. Pada penelitian ini dilakukan penentuan konsentrasi kombinasi surfaktan yang digunakan, yakni span 80 dan tween 80 dengan beberapa variasi kosurfaktan, yakni propilen glikol, gliserin, etanol, dan polietilen glikol (PEG) 400 pada berbagai konsentrasi agar dapat menghasilkan sediaan mikroemulsi yang jernih dan stabil.


(19)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, terdapat masalah yang harus terselesaikan, yaitu:

1.2.1 Apakah jenis kosurfaktan dan berapa konsentrasi kosurfaktan dan surfakatan (tween 80 dan span 80) yang dapat membentuk mikroemulsi tipe air dalam minyak (a/m) ekstrak umbi talas jepang?

1.2.2 Apakah produk ekstrak umbi talas jepang dapat dibuat menjadi sediaan mikroemulsi air dalam minyak (a/m) yang stabil secara fisik?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan formula mikroemulsi air dalam minyak (a/m) ekstrak umbi talas jepang dan mengevaluasi kestabilan fisik sediaan.

1.4 Manfaat Peneltian

Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai stabilitas fisik mikroemulsi air dalam minyak (a/m) ekstrak umbi talas jepang dan memberikan tambahan pengetahuan kepada penulis mengenai mikroemulsi.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Talas Jepang 2.1.1 Taksonomi

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Liliopsida Sub Kelas : Arecidae Ordo : Arales Famili : Araceae Genus : Colocasia

Spesies : Colocasia esculenta (L.) Schott

Varian : Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum

(Anonim, 2012, p. 376)

Gambar 2.1.Umbi Talas Jepang [sumber : Bebeja, 2014]

2.1.2 Kandungan Kimia

Umbi talas jepang mengandung senyawa polifenol, vitamin C, vitamin A, 81,40% air; 0,07% lemak; 15, 34% karbohidrat; 0,63% serat; 1,44% protein; 0,013 kalsium; 0,032% fosfat; 0,0015% besi; kalsium oksalat; alkaloid, vitamin B1.Talas jepang mengandung sejumlah tinggi seng dan asam folat (Irawan, Hanny, Suwido, Yasuyuki, Mitsuru, dan Ici, 2006).Asam glikolat oksidase


(21)

(Okamoto, 1967 dalam Wang, 1983), antosianin, karoten, steroid, pati, glukosamin, galaktosa, glukosa, arabinosa, ribosa, ramnosa, dan glukonolakton (Wang, 1983).

2.2 Kulit

Kulit merupakan organ terluas penyusun tubuh manusia yang terletak paling luar dan menutupi seluruh permukaan tubuh (Kumesan, 2013). Luas kulit orang dewasa sekitar 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat badan (Anwar, 2012).Kulit manusia mempunyai ketebalan yang bervariasi, mulai dari 0,5 mm hingga 5 mm (Tranggono dan Latifah, 2007).

Secara histologis, kulit tersusun atas 3 lapisan utama, yaitu lapisan epidermis atau kutikel, lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin), dan lapisan subkutis (hipodermis) (Anwar, 2012).

Gambar 2.2.Struktur Anatomi Kulit [sumber :US National Institute of Health, 2013]

2.2.1 Epidermis

Epidermis merupakan jaringan epitel berlapis pipih, dengan sel epitel yang mempunyai lapisan tertentu. Lapisan ini terdiri dari lima bagian, yakni (Anwar, 2012):


(22)

a. Stratum germinativum (stratum basal)

Merupakan lapisan terbawah epidermis.Di dalamnya terdapat sel-sel melanosit, yaitu sel-sel yang tidak mengalami keratinasi dan fungsinya hanya membentuk pigmen-pigmen melanin dan memberikannya kepada sel-sel keratinosit melalui dendrit-dendritnya.Melanin merupakan pigmen utama untuk warna dari kulit manusia (Hearing, 2005).

b. Stratum spinosum

Memiliki sel yang berbentuk kubus dan seperti berduri.Intinya besar dan oval.Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri atas serabut protein (Tranggono dan Latifah, 2007).Seluruh selnya terikat rapat lewat serat-serat yang ada pada sitoplasma sehingga secara keseluruhan lapisan sel-selnya berduri.Lapisan ini untuk menahan gesekan dan tekanan dari luar, tebal, dan terdapat di daerah tubuh yang banyak bersentuhan atau menahan beban dan tegangan (Syaifuddin, 2009).

c. Stratum granulosum

Tersusun oleh sel-sel keratinosit yang berbentuk poligonal, berbutir kasar, berinti mengkerut (Tranggono dan Latifah, 2007).Lapisan ini menghalangi masuknya benda asing, kuman, dan bahan kimia masuk ke dalam tubuh (Syaifuddin, 2009).

d. Stratum lusidum

Merupakan lapisan yang tipis, jernih, mengandung eleidin, sangat tampak jelas pada telapak tangan dan telapak kaki.Antara stratum lusidum dan stratum granulosum terdapat lapisan keratin tipis yang disebut rein’s barrier yang tidak bisa ditembus (impermeable) (Tranggono dan Latifah, 2007).

e. Stratum korneum

Lapisan ini terdiri atas beberapa lapis sel yang pipih, mati, tidak memiliki inti, tidak mengalami proses metabolisme, tidak berwarna, dan sangat sedikit mengandung air. Lapisan ini sebagian besar terdiri atas keratin, jenis protein yang tidak larut dalam air, dan sangat resisten terhadap bahan-bahan kimia (Tranggono dan Latifah, 2007).

Dari sudut kosmetik, epidermis merupakan bagian kulit yang menarik karena kosmetik dipakai pada bagian epidermis (Tranggono dan Latifah, 2007).


(23)

2.2.2 Dermis

Dermis merupakan jaringan ikat fibroelastis.Lapisan ini jauh lebih tebal daripada epidermis(Anwar, 2012).Dermis terutama terdiri dari bahan dasar serabut kolagen dan elastin, yang berada di dalam substansi dasar yang bersifat koloid dan terbuat dari gelatin mukopolisakarida.Serabut kolagen dapat mencapai 72 persen dari keseluruhan berat kulit manusia bebas lemak. Di dalam dermis terdapat adneksa-adneksa kulit, seperti folikel rambut, papilla rambut, kelenjar keringat, saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak rambut, ujung pembuluh darah dan ujung saraf, juga sebagian serabut lemak yang terdapat pada lapisan lemak bawah kulit (Tranggono dan Latifah, 2007).

2.2.3 Subkutis

Lapisan ini ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan sel-sel lemak yang membentuk jaringan lemak.Lapisan lemak ini disebutpanikulus adipose

yang berfungsi sebagai cadangan makanan dan bantalan.Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan saluran getah bening (Anwar, 2012).

2.2.4 Fisiologi Kulit

Fungsi kulit sangat kompleks dan berkaitan satu dengan yang lainnya di dalam tubuh manusia, dengan berbagai fungsi antara lain (Anwar, 2012):

a. Fungsi proteksi

Kulit dapat melindungi bagian dalam tubuh manusia terhadap gangguan fisik maupun mekanik. Gangguan fisik misalnya tekanan mekanik, gesekan, tarikan, panas, dingin, gangguan sinar radiasi atau sinar ultraviolet, dan gangguan kuman, jamur, bakteri atau virus sedangkan gangguan kimiawi, seperti zat-zat kimia iritan. Gangguan fisik dan mekanik ditanggulangi dengan adanya bantalan lemak subkutis, tebalnya lapisan kulit dan serabut penunjang yang berfungsi sebagai pelindung bagian luar tubuh. Gangguan kimia ditanggulangi dengan adanya lemak permukaan kulit yang berasal dari kelenjarpalit kulit yang mempunyai pH 4,5-6,5 (Anwar, 2012).


(24)

b. Fungsi absorpsi

Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan maupun benda padat.Tetapi cairan yang mudah menguap lebih mungkin mudah diserap kulit, begitu pula zat yang larut dalam minyak.Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembapan udara, metabolisme, dan jenis pembawa zat yang menempel di kulit.Absorpsi dapat melalui celah antar sel, saluran kelenjar atau kelenjar rambut (Anwar, 2012).

c. Fungsi ekskresi

Kelenjar-kelenjar pada kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna atau sisa metabolisme dalam tubuh, misalnya NaCl, urea, asam urat, amonia, dan sedikit lemak (Anwar, 2012).

d. Fungsi pengindra (sensori)

Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis.Badan Ruffini yang terletak di dermis, menerima rangsangan dingin dan rangsangan panas diperankan oleh badan Krause.Badan taktil Meissner yang terletak di papil dermis menerima rangsang rabaan, demikian pula badan Merkel-Renvier yang terletak di epidermis (Anwar, 2012).

e. Fungsi termoregulasi (pengaturan suhu tubuh)

Kulit melakukan peran ini dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan otot dinding pembuluh darah kulit (Anwar, 2012).

f. Fungsi pembentukan pigmen (melanogenesis)

Sel pembentuk pigmen kulit (melanosit) terletak di lapisan basal epidermis.Jumlah melanosit dan besarnya melanin yang terbentuk menentukan warna kulit (Anwar, 2012).

g. Fungsi keratinisasi

Keratinisasi dimulai dari sel basal yang kuboid, bermitosis ke atas berubah bentuk lebih poligonal yaitu sel spinosum, terangkat ke atas menjadi lebih gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum. Kemudian sel tersebut terangkat ke atas lebih gepeng dan granula serta intinya hilang menjadi sel spinosum dan akhirnya sampai di permukaan kulit menjadi sel yang mati, protoplasmanya mongering menjadi keras, gepeng, tanpa inti yang disebut sel tanduk. Proses ini berlangsung


(25)

terus-menerus dan berguna untuk fungsi rehabilitasi kulit agar dapat melaksanakan fungsinya secara baik (Anwar, 2012).

h. Fungsi produksi vitamin D

Kulit juga dapat membuat vitamin D dari bahan baku 7-dihidroksikolesterol dengan bantuan sinar matahari. Namun, produksi ini masih lebih rendah dari kebutuhan tubuh (Anwar, 2012).

2.2.5Penetrasi Obat Melalui Kulit

Penetrasi obat melintasi stratum korneum dapat terjadi karena adanya proses difusi melalui dua mekanisme, yaitu (Anwar, 2012):

a. Absorpsi transepidermal

Jalur ini merupakan jalur utama bila dibandingkan dengan jalur melalui kelenjar-kelenjar lainnya karena luas permukaan epidermal 100 sampai 1000 kali lebih luas dari permukaan kelenjar-kelenjar tersebut.Jalur absorpsi transepidermal merupakan jalur difusi melalui stratum korneum yang terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur transelular yang berarti melalui protein di dalam sel dan melewati daerah yang kaya akan lipid, dan jalur paraselular yang berarti jalur melalui ruang antar sel (Anwar, 2012).

Penetrasi transepidermal berlangsung melalui dua tahap.Pertama, pelepasan obat dari pembawa ke stratum korneum, tergantung koefisien partisi obat dalam pembawa dan stratum korneum.Kedua, difusi melalui epidermis dan dermis dibantu oleh aliran pembuluh darah dalam lapisan dermis (Anwar, 2012). b. Absorpsi transappendageal

Merupakan jalur masuknya obat melalui folikel rambut dan kelenjar keringat disebabkan karena adanya pori-pori di antaranya, sehingga memungkinkan obat berpenetrasi (Anwar, 2012).

Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan adalah sifat-sifat fisikokimia dari obat, sifat pembawa yang digunakan, dan kondisi fisiologis kulit.(Anwar, 2012).


(26)

2.3 Kosmetik

Menurut peraturan Menteri Kesehatan RI No. 44/Menkes/Permenkes/1998 kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin bagian luar), gigi, dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampilan, melindungi supaya dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit (Tranggono dan Latifah, 2007).

Kosmetik menurut kegunaannya bagi kulit dibagi menjadi kosmetik perawatan kulit (skin-care cosmetics), kosmetik untuk mulut (oral cosmetics), dan wangi-wangian (fragrances) (Mitsui, 1993).

Kosmetik perawatan kulit disebut juga kosmetik wajah dan terutama digunakan pada wajah (Mitsui, 1993).Kosmetik wajah terdiri dari kosmetik untuk membersihkan kulit atau cleanser (sabun, cleansing cream, cleansing milk, dan freshener), Kosmetik untuk melembabkan kulit atau moisturizer (moisturizing cream, night cream, anti wrinkle cream), kosmetik untuk menipiskan kulit atau

peeling (scrub cream).Kosmetik anti penuaan atau anti-aging merupakan salah satu kosmetik perawatan kulit (Wasitaatmadja, 1997; Tranggono dan Latifah, 2007).

Kosmetik riasan diperlukan untuk merias dan menutup cacat pada kulit sehingga menghasilkan penampilan yang lebih menarik serta menimbulkan efek psikologis yang baik. Contoh dari kosmetik riasan ini adalah foundation, eye make up, lipstick, dan rouges (Wasitaatmadja, 1997; Tranggono dan Latifah, 2007).

Kosmetik perawatan rambut diantaranya adalah shampoo, preparat perawatan dan gaya rambut (hair styling). Produk yang termasuk didalamnya yaitu promoter penumbuh rambut dan perawatan kulit kepala dan rambut (Mitsui, 1993).

Kosmetik perawatan mulut diantaranya, yaitu pasta gigi dan produk penyegar mulut (Mitsui, 1993).


(27)

2.4 Penuaan

Proses penuaan merupakan proses fisiologis yang akan terjadi pada semua makhluk hidup yang meliputi seluruh organ tubuh termasuk kulit (Cunningham, 1998).

2.4.1 Teori Proses Penuaan

Bermacam-macam teori proses penuaan telah dikemukakan para ahli namun sampai saat ini mekanisme yang pasti belum diketahui. Ada berbagai teori penuaan, antara lain (Soepardiman, 2003 dan Wasiaatmadja, 1997):

1. Teori Replikasi DNA

Teori ini mengemukakan bahwa terjadinya proses penuaan disebabkan kematian sel secara perlahanlahan antara lain akibat pengaruh sinar ultraviolet (sinar matahari) yang merusak sel DNA sehingga mempengaruhi masa hidup sel (Cunningham, 1998; Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).

2. Teori Kelainan Alat

Proses penuaan terjadi kibat kerusakan DNA yang menyebabkan terbentuknya molekul-molekul yang tidak sempurna sehingga terjadi kelainan enzim-enzim intraselular yang mengakibatkan kerusakan atau kematian sel (Cunningham, 1998; Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).

3. Teori Ikatan Silang

Proses penuaan merupakan akibat dari pembentuan ikatan silang yang progresif dari protein-protein intraseluler dan interseluler serabut kolagen yang menyebabkan kolagen kurang lentur dan tidak tegang (Cunningham, 1998; Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).

4. Teori Neuro-Endokrin

Proses menjadi tua diatur oleh organ-organ penghasil hormon seperti timus, hipotalamus, hipofisis, tiroid yang secara berkaitan mengatur keseimbangan hormonal dan regenerasi sel-sel tubuh manusia (Cunningham, 1998; Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).

5. Teori Radikal Bebas

Teori radikal bebas dewasa ini lebih banyak dianut dan dipercaya sebagai mekanisme proses penuaan. Radikal bebas adalah sekelompok elemen dalam


(28)

tubuh yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan sehingga tidak stabil dan sangat reaktif. Sebelum memiliki pasangan, radikal bebas akan terus menerus menghantam sel-sel tubuh guna mendapatkan pasangannya termasuk menyerang sel-sel tubuh yang normal. Akibatnya sel-sel akan rusak dan menua serta mempercepat timbulnya kanker (Cunningham, 1998; Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).

2.4.2 Proses Penuaan pada Kulit

Proses penuaan kulit mempunyai dua fenomena yang saling berkaitan, yaitu:

1. Proses Kronologis (Penuaan Intrinsik)

Merupakan proses penuaan fisiologis yang berlangsung secara alamiah, disebabkan berbagai faktor dari dalam tubuh sendiri seperti genetik, hormonal, dan rasial. Fenomena ini tidak dapat dicegah atau dihindari dan mengakibatkan perubahan kulit yang menyeluruh sesuai dengan pertambahan usia (Cunningham, 1998; Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).

2. Proses penuaan ekstrinsik

Proses ini terjadi akibat berbagai faktor dari luar tubuh. faktor lingkungan seperti sinar matahari, kelembaban udara, suhu, dan berbagai faktor eksternal lainnya dapat mempercepat proses penuaan kulit sehingga terjadi penuaan dini. Perubahan pada kulit terutama terjadi di daerah terpajan seperti kulit wajah sehingga wajah terlihat lebih tua, tidak sesuai dengan usia yang sebenarnya (Cunningham, 1998; Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).

Secara garis besar gejala penuaan intrinsik dan penuaan ekstrinsik (photoaging) dapat dibedakan sebagai berikut (Soepardiman, 2003 dan Wasiatmadja, 1997):


(29)

Tabel 2.1 Perbedaan Antara Penuaan Intrinsik dan Ekstrinsik

Penuaan Intrinsik Penuaan Ekstrinsik

 Kulit tipis dan halus

 Kulit kering

 Kerut halus, garis ekspresi lebih dalam

 Kulit kendur

 Dapat timbul tumor jinak

 Kulit menebal dan kasar

 Kulit kering

 Kerut lebih dalam dan nyata

 Bercak pigmentasi tidak teratur

 Pelebaran pembuluh darah

 Dapat timbul tumor jinak, pra kanker maupun kanker kulit

2.4.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penuaan Kulit

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya proses penuaan pada kulit dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Faktor intrinsik

Merupakan faktor-faktor dari dalam tubuh yang berpengaruh pada proses penuaan kulit, diantaranya (Cunningham, 1998 dan Soepardiman, 2003):

a. Keturunan (genetik) b. Rasial

c. Hormonal

2. Faktor ekstrinsik

Berbagai faktor dari luar tubuh yang dapat menyebabkan proses penuaan dini, antara lain:

a. Faktor lingkungan 1. Sinar matahari

Sinar matahari merupakan faktor utama penyebab terjadinya proses penuaan kulit. Penuaan dini yang terjadi akibat paparan sinar matahari disebut sebagai photo aging (dermatoheliosis) (Wasiatmadja, 1997 dan Pellerano dan Bemstein, 1996). Kulit yang terpapar oleh sinar matahari akan menyerap radiasi sinar UV dan menghasilkan komponen yang berbahaya yaitu Reactive Oxygen Species (ROS) yang dapat menyebabkan kerusakan oksidatif pada komponen seluler seperti dinding sel, membran lipid, mitokondria, dan DNA. Pembentukan ROS tersebut akan menginduksi aktivator protein (AP)-1 yang


(30)

merupakan faktor transkripsi yang menghambat produksi kolagen dan meningkatkan penghancuran kolagen dengan memperbanyak enzim yang disebut matriks metalloproteinase (MMPs) (Helfrich, Sachs, and Voorhees, 2008).

Radiasi UV juga menyebabkan penurunan pembentukan transforming growth factor (TGF)-beta yang merangsang pembentukan kolagen sehingga pembentukan kolagen menurun (Helfrich, Sachs, and Voorhees, 2008). Selain itu, radikal bebas juga dapat dihasilkan polusi udara, asap rokok, paparan dari bahan kimia, dan bahan tambahan pada makanan seperti pengawet, pewarna, dan pelezat (Cunningham, 1998 dan Wasiatmadja, 1997).

2. Kelembaban udara

Kelembaban udara yang rendah di daerah pengunungan atau dataran tinggi, ruangan AC, paparan angin, dan suhu dingin akan menyebabkan kulit menjadi kering sehingga mempercepat proses penuaan kulit (Wasiatmadja, 1997 dan Pellerano dan Bemstein, 1996).

3. Keadaan gizi yang buruk 4. Stress psikologis

5. Pemakaian otot-otot muka yang berulang-ulang dan berlagsung lama 6. Penyakit menahun

7. Kehilangan struktur penunjang kulit yang berlebihan (Cunningham, 1998; Soepardiman, 2003; dan Wasiatmadja, 1997).

Berbagai masalah dan kelainan kulit dapat timbul pada kulit yang menua, yakni:

1. Kulit kering dan kasar (Pindha IGAS, 2000).

2. Kulit kendur, timbul kerutan, dan lipatan kulit yang nyata (Pindha IGAS, 2000).

3. Bercak pigmentasi (Cunningham, 1998; Pellerano dan Bemstein, 1996; dan Pindha IGAS, 2000).

4. Tumor kulit (Cunningham, 1998; Pellerano dan Bemstein, 1996; dan Pindha IGAS, 2000).


(31)

2.5 Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa yang mempunyi struktur molekul yang dapat memberikan elektron dengan cuma-cuma kepada molekul radikal bebas (Kumalaningsih, 2006). Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan dibagi menjadi 2 golongan, yaitu antioksidan larut air seperti natrium metabisulfit dan vitamin C dan antioksidan larut lemak seperti BHT dan BHA (Angela, 2012).

Ada berbagai metode dalam menguji aktivitas antioksidan, beberapa diantaranya adalah dengan meenggunakan metode aktivitas penghambatan radikal superoksida, metode Reducing Power, metode uji kapasitas serapan radikal oksigen, metode tiosianat, dan metode peredaman dengan DPPH (2,2 Diphenyl-1-picrylhidrazyl), dan metode penimbangan (Angela, 2012).

Metode peredaman dengan DPPH merupaka uji aktivitas antioksidan yang paling sering digunakan.Metode ini merupakan metode yang mudah, cepat dan murah serta memberikan informasi reaktivitas senyawa yang diuji dengan suatu radikal stabil.DPPH memberikan serapan kuat pada panjang gelombang 517 nm dengan warna violet gelap.Penangkapan radikal bebas menyebabkan elektron menjadi berpasangan yang kemudian menyebabkan penghilangan warna yang sebanding dengan jumlah elektron yang diambil (Sunarni, 2005).

Menurut Bois (1958), uji dengan metode peredaman DPPH akan menunjukkan kekuatan aktivitas antioksidan yang ditentukan berdasarkan IC50. Aktivitas antioksidan dikatakan sangat kuat bila nilai IC50 lebih kecil dari 50

μg/ml, kuat bila nilai IC50 antara 50-100 μg/ml, sedang bila nilai IC50 antara

100-150 μg/ml, dan dikatakan lemah bila IC50 antara 151-200 μg/ml (Angela, 2012).

2.6 Mikroemulsi

Konsep mikroemulsi diperkenalkan pertama kali pada tahun 1940 oleh Hoar dan Schulman.Mikroemulsi adalah dispersi isotropik, stabil secaratermodinamis, transparan, dengan ukuran partikel berkisarantara 5-100 nm, berasal dari pembentukan spontan bagian hidrofobik dan hidrofilik molekul surfaktan. Mikroemulsi tersusunatas air, minyak, dan surfaktan, kadang bersama


(32)

dengan kosurfaktan (Flanagan dan Singh, 2006; Cho, Kim, Bae, Mok, dan Park., 2008).

Keunggulan mikroemulsi lainnya adalah mempunyai viskositas yang rendah dan preparasinyamudah (Flanagan dan Singh, 2006) serta menunjukan kecepatan dan efisiensi dalam penetrasi ke dalam kulit. Hal tersebut menjanjikan untuk rute pengiriman transdermal dan dermal yang efisien (Kreilgaard, 2002; Rhee dkk., 2001; Kreilgaard dkk., 2000; Baboota Kohli, Dixit, Shakeel., 2007; Kamal dkk., 2007; Chen dkk., 2007). Beberapa mekanisme telah diusulkan untuk menjelaskan keuntungan dari mikroemulsi untuk rute pengiriman transdermal dan dermal.Pertama, termodinamika terhadap kulit meningkat karena sejumlah besar obat tergabung dalam formulasi.Kedua, peningkatan aktivitas termodinamika obat dapat mendukung partisi ke dalam kulit. Ketiga, sarana mikroemulsi dapat mengurangi penghalang difusi dari stratum korneum dan meningkatkan tingkat penetrasi obat melalui kulit dengan bertindak sebagai peningkat permeasi sehingga memungkinkan sejumlah besar obat dapat berpenetrasi karena struktur dan formulasinya dibandingkan sediaan topikal lainnya (Zhu danGao, 2008 dan Shetye dkk, 2010).

Pada awalnya, minyak yang digunakan pada pembuatanmikroemulsi berupa hidrokarbon minyak mineral, terutama karena mudah membentuk mikroemulsi dan juga kemurnian sistem hidrokarbon (Flanagan dan Singh, 2006).Akan tetapi, minyak yang memiliki komposisi asam lemak jenuh dan asam lemak rantai sedang lebih banyak memiliki keuntungan tersendiri karena lebih stabil dan memerlukan jumlah surfaktan yang lebih sedikit untuk membentuk mikroemulsi (Yuwanti dkk, 2011).

Surfaktan HLB rendah memudahkan pelarutan komponen larut minyak, surfaktan HLB tinggi akan memudahkan pelarutan komponen larut air. Surfaktan HLB sedang mempunyai polaritas sedang diharapkan dapat berinteraksi dengan kedua surfaktan lainnya, tegangan antar muka menjadi lebih rendah dan memungkinkan pembentukan droplet baru dengan ukuran lebih kecil sehingga diperoleh mikroemulsi yang lebih stabil (Yuwanti dkk, 2011).Campuran penggunaan surfaktan hidofobik dan hidrofilik dapat memperkecil tegangan antar


(33)

muka dan ukuran droplet mikroemulsi sehingga memperbaiki stabilitas mikroemulsi yang dihasilkan (Cho Kim, Bae, Mok, dan Park, 2008).

Mikroemulsi dibagi menjadi tiga jenis, yaitu mikroemulsi air dalam minyak (a/m), mikroemulsi minyak dalam air (m/a), dan mikroemulsi

bicontinuous. Jenis mikroemulsi yang terbentuk bergantung pada komposisi pembentuknya.Mikroemulsi minyak dalam air terbentuk karena fraksi dari minyak rendah.Sedangkan mikroemulsi air dalam minyak terjadi ketika fraksi dari air rendah. Sistem mikroemulsi bicontinuous mungkin terjadi jika jumlah air dan minyak hampir sama (Lawrence, 2000).

Mikroemulsi yang stabil ditandai dengan dispersi globul yang seragam dalam fase continue. Namun dapat terjadi penyimpangan dari kondisi tersebut.Disamping itu suatu mikroemulsi mungkin sangat dipengaruhi oleh kontaminasi dan pertumbuhan mikroba serta perubahan fisika dan kimia lainnya. Seperti emulsi, ketidakstabilan mikroemulsi bisa digolongkan sebagai berikut (Fauzy, 2012):

a. Creaming

Agregat dari bulatan fase dalam mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk naik ke permukaan mikoemulsi atau jauh ke dasar mikroemulsi tersebut daripada partikel-partikelnya sendiri (Fauzy, 2012).

b. Flokulasi

Flokulasi adalah agregasi globul menjadi kelompok besar (Fauzy, 2012). c. Coalescence (breaking, cracking)

Coalescence merupakan penggabungan bulatan-bulatan fase dalam (coalesense) dan pemisahan fase tersebut menjadi suatu lapisan. Sedangkan

pemisahan fase dalam dari mikroemulsi tersebut disebut “pecah” atau “retak”

(cracked). Hal ini bersifat irreversible karena lapisan pelindung di sekitar bulatan-bulatan fase terdispersi tidak ada lagi (Djajadisastra, 2004).

2.7 Komponen Mikroemulsi 2.7.1 Minyak Zaitun

Minyak zaitun merupakan campuran dari gliserida asam lemak.Minyak zaitun memiliki proporsi asam lemak tidak jenuh yang tinggi.Minyak zaitun


(34)

merupakan cairan minyak berwarna jernih atau kuning, transparan.Minyak zaitun umumnya berfungsi sebagai pembawa berminyak.Aplikasinya biasa digunakan dalam enema, linimen, salep, plaster, dan sabun (Rowe, Sheskey, dan Quin, 2009).

Minyak zaitun sedikit larut dalam etanol (95%), dapat bercampur dengan eter, kloroform, petroleum putih (50-70 ºC), dan karbon disulfida. Ketika didinginkan, minyak zaitun akan menjadi keruh kira-kira pada suhu 10 ºC, dan menjadi seperti massa mentega pada suhu 0 ºC. Minyak zaitun dapat mengalami saponifikasi dengan alkali hidroksida.Minyak zaitun cenderung mudah teroksidasi dan inkompatibel dengan agen pengoksidasi (Rowe, Sheskey, dan Quin, 2009).

Minyak zaitun digunakan dalam formulasi ini sebagai basis atau pembawa minyak.Minyak zaitun memiliki khasiat dan manfaat bagi kesehatan kulit.Minyak zaitun berkhasiat untuk melembabkan dan menutrisi kulit. Minyak zaitun sangat kompatibel dengan pH kulit, kaya akan vitamin dan zat-zat bernutrisi lainnya yang melembutkan dan melindungi kulit (Smaoui, 2012).

2.7.2 Span 80

Span 80 merupakan cairan kental berwarna kuning dengan pH 8. Span 80 merupakan ester sorbitan yang memiliki bau dan rasa yang khas. Span 80 biasa digunakan sebagai agen pengemulsi, agen pelarut, dan agen pembasah. Span 80 umumnya larut atau terdispersi dalam minyak, larut dalam pelarut organik. Di dalam air span 80 dapat terdispersi. Span 80 stabil dalam asam maupun basa lemah. span 80 harus disimpan dalam wadah tertutup, dingin, dan kering. (Rowe, Sheskey, dan Quin, 2009).

2.7.3 Tween 80

Tween 80 disebut juga sebagai polisorbat 80 (polioksietilen 20 sorbitan monooleat).Tween 80 memiliki karakteristik cairan berminyak berwarna kuning pada suhu 25 C dan suhu hangat, serta berasa pahit. Tween 80 larut dalam etanol dan air, tidak larut dalam minyak mineral dan minyak nabati.Tween 80 berfungsi sebagai pengemulsi, surfaktan nonionik, solubilizing agent, agen pensuspensi, dan agen pembasa (Rowe, Sheskey, dan Quin, 2009).


(35)

Tween 80 stabil untuk elektrolit dan asam serta basa lemah, saponifikasi terjadi dengan asam dan basa kuat.Ester asam oleat sestitif terhadap oksidasi.Tween 80 higroskopis dan harus disimpan dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya, dingin, dan kering (Rowe, Sheskey, dan Quin, 2009).

2.7.4 Polietilen Glikol 400 (PEG 400)

Polietilen glikol 400 berwujud cairan kental, jernih, tidak berwarna atau berwarna sedikit kuning.PEG 400 sedikit berbau serta berasa pahit dan sedikit membakar.PEG 400 memiliki berat molekul 380-420, titik leleh 6-8 ºC, pH 4,0-7,0 (larutan 5% w/v), massa jenis 1,120 g/cm3 pada suhu 25 ºC. PEG 400 larut dalam air, aseton, alkohol, benzena, gliserin, dan glikol.PEG 400 stabil secara kimia dalam udara dan dalam larutan.PEG 400 inkompatibel dengan beberapa agen pewarna.Aktivitas antibakteri dari antibiotik dikurangi dalam basis polietilen glikol (penisillin dan basitrasin).PEG400 dapat bereaksi dengan golongan sulfonamida dan sorbitol.Sulfonamida dapat mengalami kehilangan warna sedangkan sorbitol dapat diendapkan dari campurannya.Plastik, seperti polietilen, fenolformaldehid, polivinil klorida, dan membran ester sellulosa (dalam penyaring) dapat dilembutkan atau tidak larut dengan polietilen glikol. Migrasi dari polietilen glikol dapat terjadi dari pelapis film tablet, tertama interaksi dengan komponen inti (Rowe, Sheskey, and Quin, 2009).

2.7.5 Vitamin E (Alpha Tocopherol)

Gambar 2.3 Struktur Alpha Tocopherol

[sumber :Rowe, Sheskey, and Quin, 2009]

Vitamin E memiliki fungsi sebagai antioksidan dan agen terapi. Vitamin E merupakan produk alami berupa larutan kental berminyak,jernih, tidak berwarna, atau berwarna kuning seperti coklat. Vitamin E memiliki titik didih 23 ºC dengan massa jenis 0,947-0,951 g/cm3. Vitamin E tidak larut dalam air, bebas larut dalam


(36)

aseton, etanol, eter, dan minyak nabati.Vitamin E dioksidasi secara lambat oleh oksigen atmosfir dan secara cepat oleh garam besi dan perak.Vitamin E harus disimpan di bawah gas inert, di dalam wadah kedap udara, dingin, kering dan terlindung dari cahaya.Vitamin E inkompatibel dengan peroksida dan ion metal, terutama besi, tembaga, dan perak (Rowe, Sheskey, and Quin, 2009).

Vitamin E digunakan dalam formulasi ini sebagai antioksidan untuk sediaan.Vitamin E juga dapat memelihara stabilitas jaringan ikat di dalam sel (menjga integritas serat elastin antara dermis dan kolagen sehingga kelenturan dan kekenyalan kulit tetap terjaga) (Tranggono dan Latifah, 2007).


(37)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian 2, Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia, Laboratorium Kimia Obat, Laboratorium Kesehatan Lingkungan, Laboratorium Penelitian 1, Laboratorium Biologi, dan Laboratorium Steril Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri, Syarif Hidayatullah, Jakarta. Waktu penelitian dimulai pada bulan Januari hingga Juni 2015.

3.2. Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi homogenizer (IKA® RW 20 Digital), spektofotometri UV-Vis (Hitachi), sentrifugator (Eppendorf SH7R), viskometer (Visco Tester 6R HAAKE), hotplate stirrer, oven (France Etuves C 3000®), refrigerator (Sanyo Medicool), piknometer (Iwaki pyrex®), pH meter (Horiba F-52, Jepang), mikroskop optik (Olympus), magnetic stirrer, mikropipet (Rainin, USA), timbangan analitik (KERN ACJ 220-4M, Balingen), termometer, tabung eppendorf, tanur, krus silikat, piknometer, termometer, botol timbang, dan alat gelas (Iwaki pyrex®) lain yang biasa digunakan.

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan adalah umbi talas jepang dan ekstrak umbi talas jepang (CV Rajawali Mas, Indonesia), span 80 (Brataco, Indonesia), tween 80 (Brataco, Indonesia), minyak zaitun (Brataco, Indonesia), polietilen glikol 400 (Brataco, Indonesia), vitamin E (Bronson & Jacobs, Indonesia), akuades (Alam Kimia, Indonesia), DPPH, metanol pro analisa (Merck, Jerman), Na2CO3 pro analisa (Sinopharm, China), Folin-Ciocalteu (Merck, Jerman), asam galat standar (Sigma, USA), kloroform, H2SO4 2 N, pereaksi mayer, pereaksi dragendorff, etanol, serbuk Mg, HCl, H2SO4 pekat, asam asetat anhidrat, FeCl3 1%, H2SO4 encer.


(38)

3.3 Prosedur Kerja

3.3.1 Determinasi Tanaman

Tanaman umbi talas jepang yang didapat dari CV Rajawali Mas dideterminasi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor.

3.3.2 Metode Ekstraksi

Ekstrak umbi talas jepang dibuat dengan menggunakan metode pengepresan (expression) dan dipanaskan pada suhu 50 ⁰C selama 2 jam, kemudian didiamkan selama 24 jam. Metode ini akan menghasilkan dua lapisan setelah dipanaskan. Lapisan yang digunakan adalah lapisan atas yang berwujud cair. Ekstrak kemudian ditempatkan di dalam desikator untuk mendapatkan kadar air yang memenuhi persyaratan.

3.3.3 Karakterisasi Ekstrak Umbi Talas Jepang 3.3.2.1Karakterisasi non-spesifik

Adapun karakterisasi non-spesifik yang dilakukan meliputi penetapan kadar air dan kadar abu.

a. Kadar air

Dimasukan lebih kurang 0,1 gram ekstrak, dan ditimbang seksama dalam wadah yang telah ditara. Keringkan pada suh 105 ⁰C selama 2 jam, dan timbang. Lakukan pengeringan dan timbang pada jarak 30 menit sampai perbedaan antara jarak penimbangan bertururt-turut tidak lebih dari 0,25% (Anonim, 1995).

% Kadar air =Bobot awal −Bobot akhir

Bobot awal × 100%

b. Uji kadar abu

Ditimbang sebanyak 2 gram bahan uji dan dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah dipijar dan ditara, pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, dinginkan dan ditimbang. Kadar abu total dihitung terhadap berat bahan uji, dinyatakan dalam % b/b (Anonim, 2000).

% Kadar abu total = w 3−w1

w2 × 100%


(39)

W1 = Bobot wadah (gram) W2 = Bobot zat awal (gram)

W3 = bobot wadah dan abu zat setelah pemanasan (gram)

3.3.2.2Karakterisasi spesifik a. Organoleptik

Penetapan organoleptik yaitu dengan pengenalan secara fisik menggunakan panca indera dalam mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa (Anonim, 2000).

3.3.2.3Uji Kelarutan

Kelarutan ekstrak diukur dengan menggunakan pelarut akuades. Sebanyak 0,1 gram ekstrak dilarutkan dengan akuades sedikit demi sedikit hingga larut. Kemudian dihitung jumlah akuades yang digunakan.

3.3.3 Penapisan Fitokimia

a. Identifikasi golongan alkaloid

Sampel dicampur dengan 5 mL kloroform dan 5 mLamoniak kemudian dipanaskan, dikocok dan disaring. Ditambahkan 5 tetes asam sulfat 2 N pada masing-masing filtrat, kemudian dikocok dan didiamkan. Bagian atas dari masing-masing filtrat diambil dan diuji dengan pereaksi Meyer dan Dragendorff. Terbentuknya endapan putih dan jingga yang menunjukkan adanya alkaloid (Anonim, 2000).

b. Identifikasi golongan flavonoid

Sampel dicampur dengan 5 mL etanol, dikocok, dipanaskan, dan dikocok lagi kemudian disaring. Kemudian ditambahkan serbuk Mg 0,2 g dan 3 tetes HCl pada masing-masing filtrat. Terbentuknya warna merah pada lapisan etanol menunjukkan adanya flavonoid (Anonim, 2000).


(40)

Sampel dididihkan dengan 20 mLair dalam penangas air. Filtrat dikocok dan didiamkan selama 15 menit. Terbentuknya busa yang stabil berarti positif terdapat saponin (Anonim, 2000).

d. Identifikasi golongan steroid

Sampel diekstrak dengan etanol dan ditambah 2 mLasam sulfat pekat dan 2 mLasam asetat anhidrat. Perubahan warna dari ungu ke biru atau hijau menunjukkan adanya steroid (Anonim, 2000).

e. Identifikasi golongan triterpenoid

Sampel dicampur dengan 2 mL kloroform dan 3 mL asam sulfat pekat. Terbentuknya warna merah kecoklatan pada antar permukaan menunjukkan adanya triterpenoid (Anonim, 2000).

f. Identifikasi golongan tannin

Sampel didihkan dengan 20 mLa ir lalu disaring. Ditambahkan beberapa tetes FeCl3 1% dan terbentuknya warna coklat kehijauan atau biru kehitaman menunjukkan adanya tannin (Anonim, 2000).

3.3.4 Penetapan Kadar Polifenol Total

Dilakukan dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis dan asam galat sebagai standar.

3.3.4.1Pembuatan Larutan Induk Asam Galat dalam Akuades

Larutan standar asam galat dengan konsentrasi 1000 ppm (µg/mL) dapat dibuat dengan cara 10 mg asam galat standar dilarutkan dalam 1 mL metanol pro analisa lalu ditambahkan akuades di dalam labu ukur 10 mL sampai tanda batas (Ratnayani, 2012).

3.4.4.2 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asam Galat dalam Akuades

Larutan standar asam galat 40 ppm (µg/mL) dibuat dengan cara mengambil 0,2 mL larutan induk asam galat 1000 ppm (µg/mL), lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL dan ditambahkan akuades sampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL larutan standar 40 ppm dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambah 0,3 mL reagen Folin-Ciocalteu dan 2 mL larutan Na2CO3 15%, lalu


(41)

ditambahkan 2,2 mL akuades. Larutan diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam. Campuran larutan tersebut kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang 400 sampai 800 nm. Hasil yang diperoleh dibuat dalam bentuk kurva, sebagai sumbu y adalah absorbansi dan panjang gelombang cahaya sebagai sumbu x. Dari kurva tersebut dapat ditentukan panjang gelombang yang memberikan serapan maksimum (Alfian, Susanti, 2012 dan Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014).

3.4.4.3Pembuatan Kurva Standar Asam Galat dalam Akuades

Larutan standar asam galat dengan konsentrasi 20, 30, 40, 50, 60, 70, dan 80 ppm (µg/mL) dibuat dengan cara mengambil masing-masing sebanyak 0,2 mL; 0,3 mL; 0,4 mL; 0,5 mL; 0,6 mL; 0,7 mL dan 0,8 mL larutan induk asam galat 1000 ppm (µg/mL), lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, dan ditambahkan akuadessampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL dari masing-masing seri konsentrasi larutan tersebut dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambah 0,3 mL reagen Folin-Ciocalteu dan 2 mL larutan Na2CO3 15%, lalu ditambahkan 2,2 mL akuades. Campuran larutan tersebut kemudian diinkubasi selama 2 jam. Semua larutan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 755 nm, kemudian dibuat kurva kalibrasi hubungan antara

konsentrasi asam galat (μg/mL) dengan absorbansi (Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014).

3.4.4.4 Penentuan Kadar Total Senyawa Polifenol dalam Ekstrak Umbi Talas Jepang

Sebanyak 10 mg ekstrak umbi talas jepang dilarutkan dalam akuades di dalam labu ukur 10 mL sampai tanda batas. Sebanyak 0,5 mL larutan ekstrak yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambah 0,3 mL reagen Folin-Ciocalteu dan 2 mL larutan natrium karbonat 15%, lalu ditambahkan 2,2 mL akuades. Larutan diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam. Campuran larutan tersebut diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 755 nm, kadar senyawa polifenol total dapat dihitung dengan menggunakan persamaan regresi linear


(42)

dari kurva kalibrasi. Kadar total polifenol ditetapkan sebagai ekivalen asam galat (GAE) (Pontis, Costa, Silva, Flach, 2014).

3.3.5 Uji Antioksidan dengan Metode DPPH (Harun, 2014)

3.3.5.1Pembuatan Larutan DPPH 0,1 mM

Sebanyak 1,98 mg DPPH (BM 394,32) dilarutkan dengan methanol pro analisa dan dimasukkan kedalam labu ukur 50 mL. Volume dicukupkan dengan metanol pro analisa hingga tanda batas, kemudian ditempatkan dalam botol gelap.

3.3.5.2Pembuatan Larutan Blangko

Dipipet 2 mL larutan DPPH (0,1 mM) kedalam tabung reaksi dan ditambahkan metanol p.a sebanyak 2 mL. Ditutup dengan aluminium foil.

Kemudian dihomogenkan dengan vortex dan diinkubasi dalam ruangan gelap selama 30 menit.

3.3.5.3Pembuatan Larutan Uji Ekstrak Umbi Talas Jepang a. Pembuatan Larutan Uji Ekstrak Umbi Talas Jepang

Ditimbang sebanyak 50 mg ekstrak kemudian dilarutkan dengan metanol pro analisa. Larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL.Volume dicukupkan dengan metanol pro analisa sampai tanda batas (1000 ppm). Kemudian dari larutan induk dibuat seri konsentrasi 100 ppm, 300 ppm, 500 ppm, 700 ppm, dan 1000 ppm.

b. Pengukuran Serapan dengan Menggunakan Spekrofotometer

UV-Vis

Masing-masing konsentrasi larutan uji sebanyak 2 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Ditambahkan larutan DPPH 0,1 mM sebanyak 2 mL, dihomogenkan dengan vortex. Selanjutnya diinkubasi dalam ruangan gelap selama 30 menit. Lalu diukur absorbansinya pada panjang gelombang 517 nm.

3.3.6 Pembuatan Mikroemulsi 3.3.6.1Uji Pendahuluan

Percobaan pendahuluan dilakukan untuk menentukan kondisi percobaan dan komposisi bahan yang sesuai untuk menghasilkan sediaan mikroemulsi yang


(43)

jernih dan stabil. Dilakukan percobaan pembuatan mikroemulsi dengan span 80 dan tween 80 sebagai surfaktan dan propilen glikol, gliserin, PEG 400, dan etanol sebagai kosurfaktan dengan berbagai variasi konsentrasi. Kondisi yang harus diperhatikan dalam pembuatan sediaan mikroemulsi ini meliputi:

1. Konsentrasi kombinasi surfaktan (15-45%),

2. Kecepatan pengadukan (300, 500, 750, 1000, 1500 rpm),

3. Temperatur (suhu ruang (25 ± 2 ⁰C), 30-35 ± 2 ⁰C, dan 36-40 ± 2 ⁰C), 4. Lama pengadukan (10, 20, 30, dan 40 menit).

3.3.6.2Formulasi Mikroemulsi

Mikroemulsi yang akan dibuat terdiri dari minyak zaitun, vitamin E, span 80, tween 80, PEG 400, ekstrak umbi talas jepang, dan akuades. Adapun formula mikroemulsi ekstrak umbi talas jepang yang diperoleh, terdiri dari:

Tabel 3.1 Formula Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang

No. Nama Bahan Konsentrasi

(%b/v)

Fungsi

1 Minyak Zaitun 48,5 Pembawa minyak

2 Vitamin E 0,5 Antioksidan untuk sediaam

3 Span 80 23 Surfaktan

4 Tween 80 15 Surfaktan

5 PEG 400 5 Kosurfaktan

6 Ekstrak Umbi Talas Jepang 3 Zat aktif

7 Akuades 5 Pelarut

Prosedur pembuatan dilakukan dengan cara masing-masing fase, yakni fase minyak (minyak zaitun, vitamin E, dan span 80) dan fase air (ekstrak umbi talas jepang, PEG 400, tween 80, dan akuades) dicampurkan didalam beaker glass

yang berbeda dengan menggunakan magnetic stirrer pada suhu 30-35 ± 2 ⁰C. Setelah homogen, fase airdimasukan sedikit demi sedikit ke dalam fase minyak dan diaduk dengan menggunakan homogenizer pada kecepatan ±750 rpm hingga terbentuk mikroemulsi yang jernih selama ±30 menit.


(44)

3.3.7 Evaluasi Fisik Mikroemulsi 3.3.7.1Pemeriksaan Organoleptik

Sediaan mikroemulsi diperiksa secara visual warna, homogenitas, dan kosistensinya (Haneefa dkk,2012).

3.3.7.2Uji pH

Sebanyak 10 gram sediaan mikroemulsi diukur pH sediaan dengan menggunakan alat potensiometrik (pH meter) pada suhu 25 ± 2 ⁰C (Sharma, Sharma, Sandeep, Gupta, dan Bishnol, 2012).

3.3.7.3Uji Tipe Mikroemulsi

Dilakukan dengan menggunakan uji pengenceran, dengan cara mengencerkan mikroemulsi dengan air. Jika mikroemulsi tercampur baik dengan air, maka tipe mikroemulsi adalah minyak dalam air (m/a), sebaliknya jika air yang ditambahkan membentuk globul pada mikroemulsi maka tipe mikroemulsi adalah air dalam minyak (a/m) (Martin, Swarbrick, dan Cammarata, 2008).

3.3.7.4Penentuan Viskositas

Pengukuran dilakukan dengan Visco Tester 6R HAAKE pada temperatur ruang (25 ± 2 ⁰C). Shear rates dan shear stress diaplikasikan pada sampel sejumlah 150 gram dan akan menghasilkan reogram yang akan dibuat untuk menentukan viskositas dan reologi sampel (Mortazavi, Pishrochi, dan Jafari azar, 2013).

3.3.7.5Pengukuran Bobot Jenis

Bobot jenis diukur dengan menggunakan piknometer pada suhu ruang. Bobot piknometer kosong ditimbang pada suhu ruangan (A gram). Kemudian diisi dengan air sampai penuh dan ditimbang (A1 gram). Air dikeluarkan dari piknometer dan piknometer dibersihkan. Sediaan mikroemulsi diisikan dalam piknometer sampai penuh dan ditimbang (A2 g). Bobot jenis sediaan diukur dengan perhitungan sebagai berikut (Deepak dan Vedha Hari, 2013):

Bobot jenis (gram/mL) = A2 – A A1−A


(45)

3.3.7.6Uji Stabilitas

Uji stabilitas dilakukan dengan cara menempatkan masing-masing sediaan (150 gram) pada suhu tinggi (40 ± 2 ⁰C), kamar (25 ± 2 ⁰C), dan suhu rendah (4 ± 2 ⁰C) selama 1 bulan. Dilakukan pengamatan organoleptik setiap 2 minggu sekali serta pengukuran pH dan viskositas pada hari terakhir (Lou, Qiu, Crill, Helms, dan Almoazen, 2013; Fahima MH, Dalia, Mohamed, Aliaa, 2011; Fauzy, 2010).

3.3.7.7 Cyling test (Uji freeze-thaw)

Sampel sebanyak ±150 gram diuji kestabilannya secara bergantian pada suhu dingin (4 ± 2 ⁰C) dan suhu tinggi (40 ± 2 ⁰C), masing-masing temperatur diuji selama 24 jam. Uji dilakukan sebanyak 6 siklus, untuk diuji kestabilan fisiknya. Dilakukan pengamatan organoleptik dan pengukuran pH pada sediaan mikroemulsi setelah cyling test (Fauzy., 2012).

3.3.7.8Uji Sentrifugasi

Sediaan mikroemulsi (5 gram) dimasukan ke dalam tabung sentrifugasi kemudian dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 13.000 rpm selama 30 menit. (Lou, Qiu, Crill, Helms, dan Almoazen, 2013).


(46)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Determinasi Tanaman

Hasil determinasi tanaman yang dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor menyatakan bahwa tanaman yang digunakan adalah benar talas jepang (Colocasia esculenta (L.)Schott) familiAraceae.Hasil determinasi dapat dilihat pada lampiran 2.

4.2 Karakterisasi

Standardisasi atau karakterisasi merupakan proses penjaminan produk akhir agar mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan terlebih dahulu (Helmi dkk, 2006). Standardisasi merupakan proses yang penting untuk menjamin mutu dan keamanan bahan. Karakterisasi dilakukan terhadap parameter spesifik, parameter non-spesifik, dan uji kelarutan.

Parameter spesifik meliputi identitas dan organoleptik, yakni bentuk, warna, bau, dan rasa sedangkan parameter non-spesifik yang diujikan yaitu kadar air dan kadar abu. Hasil dari karakterisasi ekstrak umbi talas jepang dapat dilihat pada tabel 4.1.


(47)

Tabel 4.1 Hasil Karakterisasi Ekstrak Umbi Talas Jepang

Jenis Karakterisasi Hasil Nilai Berdasarkan

Literatur Parameter Spesifik a. Identitas b. Organoleptik  Bentuk  Warna  Bau  Rasa

Ekstrak umbi talas jepang (Colocasia esculenta(L.) Schott var antiquorum)

Kental Cokelat tua Aromatik

Manis sedikit pahit

Ekstrak umbi talas jepang (Colocasia esculenta(L.) Schott

var antiquorum)

-

Parameter Non Spesifik a. Kadar Air

b. Kadar Abu

Uji Kelarutan

7,01%

1,54%

1 : 20

<10% (Soetano dan Soediro, 1997)

Maksimal 9% (MMI)

Termasuk dalam kategori larut dalam akuades

Berdasarkan hasil pengamatan diperolehidentitas dan organoleptikekstrak adalah ekstrak umbi talas jepang (Colocasia esculenta(L.) Schott var antiquorum)dengan warna cokelat tua, berbau khas aromatik, dan memiliki rasa yang manis sedikit pahit. Rasa pahit dari ekstrak disebabkan dari kadaralkaloid yang terdapat di dalamnya (Anam dkk, 2013).

Kadar airekstrak umbi talas jepang yang diperoleh sebesar 7,01%. Hal ini telah sesuai dengan persyaratan dimana kadar air seharusnya adalah antara <10% sehingga ekstrak umbi talas jepang dapat digunakan dalam formulasi mikroemulsi (Soetarno dan Soediro, 1997). Jika kadar air terlalu tinggi akan memudahkan sampel tercemar oleh bakteri dan jamur serta menyebabkan ketidakstabilan


(48)

komponen-komponen aktif yang terkandung pada suatu sampel sehingga dapat menurunkan aktivitas biologi ekstrak selama penyimpanan (Saifuddin, Rahayu, dan Teruna 2011).

Parameter non-spesifik berikutnya adalah penentuan kadar abu. Uji kadar abu dilakukan untuk mengetahui kadar zat anorganik dan mineral yang ada dalam ekstrak. Pada uji kadar abu, ekstrak dipanaskan pada suhu tinggi hingga senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap hingga tersisa unsur mineral dan unsur anorganik saja (Anam dkk, 2013). Hasil kadar abu yang diperoleh sebesar 1,54%. Nilai tersebut dimungkinkan karenamasih cukup banyak mineral yang terkandung di dalam ekstrak tersebut. Akan tetapi, kadar tersebut masih memenuhi persyaratan dimana kadar abu maksimal dalam Materia Medika Indonesia adalah 9%.

Setelah itu dilakukan pengujian kelarutan ekstrak dalam akuades. Uji ini dilakukan untuk melihat sifat kelarutan ekstrak dalam akuades sehingga dapat ditentukan tipe mikroemulsi yang akan dibuat. Berdasarkan hasil di atas menunjukan bahwa 1 bagian ekstrak dapat larut dalam 20 bagian akuades sehingga ekstrak umbi talas jepang dapat dikatakan larut dalam air dan bersifat hidrofil. Oleh sebab itu, tipe mikroemulsi yang akan dibuat dalam formulasi ini adalah tipe air dalam minyak (a/m).

4.3 Penapisan Fitokimia

Mutu ekstrak berkaitan dengan kandungan metabolit sekunder dalam tanaman.Metabolit sekunder adalah senyawa kimia hasil biogenesis dari metabolit primer yang bukan merupakan senyawa penentu kelangsungan hidup secara langsung tetapi lebih sebagai hasil dari mekanisme pertahanan diri organisme yang umumnya dihasilkan oleh tumbuhan tingkat tinggi. Jenis dan kadar metabolit sekunder memegang peran penting karena perbedaan senyawa secara teoritis akan memberikan aktivitas farmakologi berbeda untuk tiap ekstrak sehingga perlu dilakukan penapisan fitokimia untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder yang ada pada ekstrak.

Penapisan fitokimia dilakukan dengan melihat reaksi pengujian warna dengan menggunakan suatu pereaksi warna.Pada penelitian ini dilakukan


(49)

penapisan fitokimia terhadap senyawa golongan alkaloid, flavonoid, saponin, steroid, triterpenoid, dan tannin.Hasil penapisan fitokimia pada ekstrak umbi talas jepang dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2Hasil Penapisan FitokimiaEkstrak Umbi Talas Jepang

Golongan Hasil Keterangan

Alkaloid + Endapan putih (dengan pereaksi Mayer)

Endapan merah bata (dengan perekasi Drangendorff) Flavonoid + Terbentuk warna merah

Saponin + Terbentuk busa yang stabil

Steroid - Tidak terjadi perubahan warna dari ungu ke biru atau hijau Triterpeoid + Adanya warna merah kecokelatan

Tannin + Terbentuk warna cokelat kehijauan Keterangan: (+) = ada

(-) = tidak ada

Pada pengujian alkaloid dilakukan penambahan asam kuat sebelum ditambahkan pereaksi karena alkaloid bersifat basa sehingga diekstraksi dengan pelarut yang mengandung asam (Harbone, 1996). Pada pengujian alkaloid akan terjadi reaksi penegndapan karena adanya penggantian ligan. Atom nitrogen yang mempunyai pasangan elektron bebas pada alkaloid akan mengganti ion iod dalam pereaksi Dragendroffdan pereaksi Mayersehingga mengakibatkan terbentuknya endapan jingga pada penambahan pereaksi Dragendorffdan endapan putih pada penambahan pereaksi Mayer(Marliana dkk, 2005 dan Sangi dkk, 2008).

Pengujian steroid dan tritepenoid didasarkan pada kemampuan senyawa untuk membentuk warna dengan asam sulfat pekat dalam pelarut asam asetat anhidrat (Sangi dkk, 2008).


(50)

Pengujian tannin dilakukan dengan menambahkan FeCl3. Perubahan warna yang terjadi dikarenakan salah satu gugus hidroksil yang ada akan bereaksi dengan reagen FeCl3 sehingga dapat terbentuk warna cokelat kehijauan.

Pada pengujian saponin terbentuk buih dengan pengocokan.Hal ini disebabkan saponin memiliki gugus hidrofil dan hidrofob. Pada saat dikocok, gugus hidrofil akan berikatan dengan air sedangkan gugus hidrofob akan berikatan dengan udara sehingga membentuk buih (Kumalasari dan Sulistyani, 2011).

Berdasarkan uji penapisan fitokimia yang telah dilakukan, memberikanhasil positif pada alkaloid, flavonoid, saponin, triterpenoid, dan tannin serta memberikan hasil yang negatif pada steroid.Hasil ini berbeda dengan literatur (Wang, 1983)yang menunjukan bahwa terdapat kandungan steroid di dalamnya.Hal tersebut dimungkinkan karena kadar steroid yang kecil sehingga tidak dapat terdeteksi secara kualitatif.

Beberapa golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak, dapat memberikan manfaat untuk kulit, yakni sebagai anti-aging. Senyawa golongan flavonoid, saponin, dan terpenoid dapat mempercepat proses re-epitalisasi jaringan epidermis sehingga jaringan yang rusak akan segera tergantikan dengan jaringan yang baru (Wijaya, Citraningtyas, dan Franly, 2014). Flavonoid, terpenoid, dan tannin memiliki efek antioksidan untuk menetralkan radikal bebas yang terbentuk akibat paparan sinar UV sehingga sel-sel kulit terhidar dari kerusakan (Elsner dan Howard, 2000).Flavonoid dan tannin juga memiliki aktivitas anti melanogenik sehingga dapat mencegah terjadinya hiperpigmentasi yang dapat menyebabkan noda hitam pada wajah dengan berperan dalam menghambat pembentukan melanin dan mencegah terjadinya tanda-tanda penuaan (Lintner dan Sederma, 2015; Sharma dan Arvind Sharma, 2012). Akan tetapi, pada penelitian ini tidak dilakukan pengujian dari aktivitas golongan tersebut sehingga diperlukan pengujian aktivitas untuk ke depannya.

4.4 Penetapan Kadar Total Polifenol

Polifenol merupakan derivat metabolit sekunder yang berasal dari jalur pentosa posfat, sikimat, dan fenilpropanoid.(Tura and Robards., 2002; Madsen


(51)

and Bertelsen., 1999; dan Harbone, 1998).Polifenol merupakan antioksidan dengan reaksi redoks sebagai agen pereduksi dan donator hidrogen (Pietta, 2000). Jumlah dari total polifenol ditentukan dengan pereaksi Folin-Ciocalteu. Pereaksi Folin-Ciocalteu sensitiv untuk mereduksi komponen termasuk polifenol (Savitree, Isara, Nittaya, dan Worapan., 2004 dan Pourmorad, Hosseinimehr, and Shahabimajd., 2006). Asam galat dipergunakan sebagai standar dalam pengujian ini. Kadar total polifenol dinyatakan dalam mg/g asam galat. Asam galat digunakan sebagai standar karena asam galat merupakan turunan dari asam hidroksibenzoat yang tergolong fenol sederhana, selain itu asam galat lebih stabil, serta lebih murah dibandingkan dengan standar yang lainnya.

Prinsip penentuan total senyawa polifenol adalah senyawa fenol yang akan bereaksi dengan pereaksi Folin-Ciocalteau akan memberikan warna kuning dan dengan penambahan alkali akan menghasilkan warna biru. Gugus hidroksil pada senyawa polifenol bereaksi dengan pereaksi Folin-Ciocalteu membentuk kompleks molibdenum-tungsten berwarna biru dalam suasana basa agar terjadi disosiasi proton pada senyawa fenolik menjadi ion fenolat yang dapat dideteksi dengan spektrofotometer UV-Vis (Alfian, Susanti, 2012).

Berdasarkan hasil uji, didapatkan panjang gelombang maksimum 755 nm.Panjang gelombang maksimum asam galat dalam akuades dapat dilihat pada lampiran 5.

Persamaan kurva kalibrasi yang diperoleh dengan menggunakan standar asam galat dalam akuades adalah y = 0,010x + 0,006, dengan koefisien korelasi (r) adalah 0,9999 dan koefisien determinasi (R²) 0,9997. Nilai koefisien korelasi (r) yang mendekati 1 dari kurva kalibrasi menunjukkan korelasi antara konsentrasi dan absorbansi.Nilai koefisien korelasi yang didapatkan memenuhi persyaratan linearitas validasi metode analisis sehingga dapat digunakan untuk menghitung kadar total fenolik dalam ekstrak umbi talas jepang (Day dan Underwood, 2002).Adapun kurva kalibrasi tersebut dapat dilihat pada gambar 4.3.


(52)

Tabel 4.3 Nilai Absorbansi Standar Asam Galat Konsentrasi

(ppm)

Absorbansi

0 0

20 0,219

30 0,312

40 0,421

50 0,519

60 0,618

70 0,72

80 0,824

Gambar 4.1 Kurva Kalibrasi Asam Galat dalam Akuades

Tabel 4.4 Kadar Total Polifenol Ekstrak Umbi Talas Jepang

Absorbansi Kadar Total Polifenol (mgGAE/100 g)

Pengukuran ke-1 0,334 3280

Pengukuran ke-2 0,321 3150

Rata-rata 0,328 3215

Pengukuran kadar total polifelnol pada ekstrak umbi talas jepang dilakukan sebanyak dua kali dan didapatkan hasil 0,334 dan 0,321. Setelah melalui perhitungan, didapatkan nilai kadar total polifenol masing-masing adalah 3280 mgGAE/100 g dan 3150 mgGAE/100 g sehingga didapatkan kadar rata-rata total polifenol sebesar 3215 mgGAE/100 g atau setara dengan 3,215%.Kandungan

y = 0,010x + 0,006 R = 0,9999

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

0 50 100

A b sor b an si Konsentrasi (µg/ml)


(53)

polifenol total yang ditetapkan menurut metode Folin-Ciocalteu bukan merupakan kadar absolut, tetapi prinsipnya berdasarkan kapasitas reduksi dari bahan yang diuji terhadap suatu reduksi ekivalen dari asam galat (Singleton dan Rossi, 1965). Pada penelitian terdahulu dari tanaman Marrubium peregrinum memiliki nilai kadar total polifenol sebesai 4678 mgGAE/100 g pada fraksi air dan menunjukan kadar antioksidan yang kuat (Stankovie, 2011). Nilai kadar total polifenol dalam ekstrak umbi talas jepang menunjukan nilai yang mendekati kadar total polifenol dalam tanaman Marrubium peregrinum sehingga dapat diasumsikan bahwa ekstrak umbi talas jepang juga berkemungkinan memiliki aktivitas antioksidan yang kuat. Oleh karena itu pada tahap selanjutnya dilakukan pengujian aktivitas antioksidan pada ekstrak umbi talas jepang.

Kandungan polifenol yang ada di dalam sampel tersebut juga dapat berperan sebagai penghambat enzim tirosinase yakni enzim yang berperan penting dalam pembentukan melanin. Polifenol akan berkompetisi dengan L-DOPA yang merupakan produk dari hidroksilasi L-tirosin untuk berikatan dengan enzim tirosinase sehingga akan mengurangi pembentukan melanin pada kulit (Ramsden dan Patrick, 2010). Untuk melihat aktivitas penghambatan enzim tirosinase, diperlukan penelitian lebih lanjut.

4.5 Uji Antioksidan dengan Metode DPPH

Uji ini dilakukan untuk melihat aktivitas dan kemampuan antioksidan dari ekstrak tesebut.Uji aktivitas antioksidan ini dilakukan dengan menggunakan metode perendaman radikal bebas DPPH.Metode ini dipilih karena sederhana, mudah, cepat, murah, tidak memerlukan banyak reagen, serta memberikan informasi reaktivitas senyawa yang diuji dengan suatu radikan stabil (Juniarti dkk, 2009 dalam Desi, 2014; Sunarni, 2005 dalam Angela, 2012).

Pengujian ini dilakukan dengan mengukur absorbansi dari beberapa seri konsentrasi ekstrak yang telah dibuat sebelumnya, yakni 100 ppm, 300 ppm, 500 ppm, 700 ppm, dan 1000 ppm yang direaksikan dengan pereaksi DPPH pada panjang gelombang 517 nm. Seri konsentrasi ini dipilih karena menunjukan hasil absorbansi diantara 0,2-0,8 sehingga masih memenuhi hukum Lambert-Beer.


(54)

Dari hasil absorbansi yang diperoleh, maka akan didapatkan nilai % inhibisi, dan IC50 dari ekstrak umbi talas jepang. Hasil absorbansi, %inhibisi, dan IC50 dapat dilihat pada tabel 4.5.

Tabel 4.5Nilai Absorbansi, % Inibisi, dan IC50Ekstrak Talas Jepang Sampel Konsentrasi

(ppm)

Absorbansi % Inhibisi IC50 (ppm)

Ekstrak Talas Jepang

100 0,472 13,075

1745,909

300 0,440 18,969

500 0,407 25,046

700 0,383 29,466

1000 0,357 34,254

Berdasarkan nilai pada tabel di atas, dapat diketahui nilai IC50 dari ekstrak umbi talas jepang sebesar 1745,909 ppm.Berdasarkan literatur (Bois, 1958) dalam Angela, 2012), aktivitas antioksidan ekstrak umbi talas jepang termasuk dalam golongan lemah karena memiliki IC50>200 ppm. Nilai tersebutjauh lebih tinggi dibandingkan estrak lain seperti ekstrak air kentang kuning (82,18 ppm) yang juga digunakan sebagai zat aktif dalam formulasi kosmetika anti-aging (Angela, 2012). Hal ini menunjukan bahwa ekstrak umbi talas jepang memiliki kemampuan antioksidan yang jauh lebih rendah.Hasil tersebut mungkin disebabkan oleh kandungan polifenol yang terdapat pada sampel telah lebih banyak teroksidasi sehingga dapat disimpulkan bahwa aktivitas anti-aging dari ekstrak talas jepang bukan berasal dari kemampuannya sebagai antioksidan.

4.6 Formulasi Mikroemulsi

Mikroemulsi merupakan sediaan yang transparan, isotropik, dan stabil secara termodinamik yang terbuat dari surfaktan, minyak, dan air dengan atau tanpa kosurfaktan. Mikroemulsi dipilih karena memiliki sifat termodinamis dan mendukung partisi ke dalam kulit serta dapat mengurangi penghalang difusi dari stratum korneum dan menunjukan peningkatan dan efisiensi dalam penetrasi melalui kulit dibandingkan sediaan topikal lainnya (Zhu dan Gao, 2008; Shetye


(55)

dkk, 2010). Diperlukannya karakter ini dalam formulasi dikarenakan ekstrak umbi talas jepang yang digunakan sebagai zat aktif bersifat hidrofilik sehingga akan sulit untuk berpenetrasi sebab kulit memiliki pertahanan yang sulit ditembus oleh molekul obat yang bersifat hidrofil (Tranggono dan Latifah, 2007).

Mikroemulsi ekstrak umbi talas jepang dibuat dengan menggunakan minyak zaitun sebagai fase minyak.Minyak zaitun memiliki khasiat dan manfaat bagi kesehatan kulit.Minyak zaitun dapat memberikan kelembaban untuk kulit. Minyak zaitun sangat kompatibel dengan pH kulit dan kaya akan vitamin dan zat-zat bernutrisi lainnya yang dapat melembutkan dan melindungi kulit (Smaoui, 2012).

Penentuan formula mikroemulsi dilakukan melalui uji pendahuluan menggunakan kombinasi surfakatan (tween 80 dan span 80) dengan berbagai variasi konsentrasi.Pada uji pendahuluan juga dilakukan penentuan jenis kosurfaktan (propilen glikol, gliserin, etanol, dan PEG 400) serta konsentrasinya yang dapat membentuk mikroemulsi yang jernih dan transparan.Uji pendahulan juga dilakukan untuk menentukan kondisi pembuatan, meliputi suhu, waktu, dan kecepatan pengadukan.

Kosurfaktan yang sering digunakan dalam mikroemulsi adalah alkohol rantai pendek.Kosurfaktan digunakan untuk membantu menstabilkan mikroemulsi yang telah terbentuk (Subramanian, 2005).Pemilihan beberapa kosurfaktan tersebut didasarkan karena selain kosurfaktan tersebut dapat membantu kelarutan zat aktif dan juga dapat berfungsi sebagai sebagai peningkat penetrasi zat aktif ke dalam kulit.

Pada penelitian ini, digunakan surfaktan nonionik sebagai zat pengemulsi.Surfaktan nonionik telah digunakan secara luas dalam sediaan topikal dan dikenal sebagai turunan polioksietilen yang tidak toksik dan tidak mengiritasi kulit.Golongan surfaktan nonionik juga dapat meminimalisir terjadinya gangguan keseimbangan pada sistem mikroemulsi karena sifatnya yang tidak memiliki muatan sehingga dapat mencegah terjadinya fluktuasi muatan pada sistem mikroemulsi.Golongan ini dapat mengurangi tegangan antarmuka sampai 1 dyne/cm3 sehingga dapat mendukung terbentuknya mikroemulsi (Martin, Swarbrick, dan Cammarata, 2008).


(56)

Minyak zaitun memiliki nilai HLB 7 dan untuk membentuk mikroemulsi tipe a/m dengan minyak zaitun diperlukan nilai HLB sekitar 6-9.Oleh karena itu dibutuhkan jenis surfaktan nonionik yang memiliki nilai HLB yang lebih dekat dengan nilai HLB di atas, yakni tween 80 dan span 80 yang memiliki nilai HLB untuk masing-masingnya sebesar 4,3 dan 15. Diharapkan dengan penggunaan surfaktan dengan nilai HLB yang lebih dekat dengan nilai yang diminta, emulsifikasi akan lebih cocok. Tween 80 dan span 80 juga memiliki bentuk berupa cairan kental dalam suhu ruang sehingga tidak diperlukan suhu tinggi untuk meleburkannya.Suhu tinggi dapat mengakibatkan kerusakan pada komponen senyawa yang ada pada ekstrak sehingga penggunaan suhu tinggi dalam pembuatan mikroemulsi ini perlu dihindari. Penambahan tween 80 juga merujuk pada hasil studi pendahuluan yang menunjukan bahwa mikroemulsi yang dibentuk hanya dengan menggunakan span 80 sebagai surfaktan tunggal menghasilkan pemisahan fase setelah 2 hari didiamkan. Hal tersebut menunjukan bahwa penggunaan span 80 belum dapat membentuk mikroemulsi yang stabil sehingga diperlukan kombinasi dengan surfaktan lain. Tween 80 ditambahkan dengan harapan dapat lebih banyak mengikat fase air sehingga penggunaan kombinasi span 80 dengan tween 80 dapat membentuk lapisan monomolekuler yang lebih kompleks dan menghasilkan sediaan mikroemulsi yang lebih stabil.


(1)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Reogram Mikroemulsi Herba Talas Jepang Setelah Masa Penyimpanan pada Suhu

Ruang (25 ± 2 ⁰C)

Reogram Mikroemulsi Setelah Masa Penyimpanan pada Suhu Tinggi (40 ± 2 ⁰C)

0 20 40 60 80 100 120

0 20 40 60 80 100

K ec ep at an G ese r (r p m )

%

Torque 0 20 40 60 80 100 120

0 10 20 30 40 50 60

K ec ep at an G ese r (r p m ) %Torque


(2)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Rheogram Mikroemulsi Setelah Masa Penimpanan pada Suhu Rendah (4 ± 2 ⁰C)

0 20 40 60 80 100 120

0 20 40 60 80 100 120

K ec ep at an G ese r (r p m ) %Torque


(3)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 8. Gambar Hasil Penelitian

Hasil Uji Kadar Total Polifenol Hasil Uji Antioksidan, konsentrasi 100, -1000 ppm dan blanko (dari kanan ke kiri

Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas Jepang Hasil Uji Homogenitas Mikroemulsi


(4)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(a) (b)

Mikroemulsi Sebelum Disentrifugasi (a), Mikroemulsi Setelah Disentrifugasi (b)

(a) (b)

Mikroemulsi Sebelum Dilakukan Cycling Test (a), Mikroemulsi Setelah Dilakukan Cycling Test (b)


(5)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Hasil Mikroemulsi Setelah Masa Penyimpanan pada Tiga Suhu yang Berbeda. ME Setelah Disimpan pada Suhu 4 °C (a), ME Setelah Disimpan pada Suhu 25 °C

(b),ME Setelah Disimpan pada Suhu 40°C (c).


(6)

Dokumen yang terkait

Uji Aktivitas Penyembuhan Luka Bakar Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley

4 21 107

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) terhadap Penyembuhan Luka Terbuka pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley

0 35 120

Karakteristik Tepung Talas (Colocasia esculenta (L) Schott) dan Pemanfaatannya dalam Pembuatan Cake

6 36 156

KAJIAN KARAKTERISTIK TEPUNG UMBI TALAS (Colocasia esculenta L. Schott) VARIETAS BENTUL DAN SUTERA.

0 0 3

PEMANFAATAN TALAS BERDAGING UMBI KUNING (Colocasia esculenta (L.) Schott) DALAM PEMBUATAN COOKIES Utilization of Yellow Corm Taro (Colocasia esculenta (L.) Schott) in Producing Cookies

0 0 10

FORMULASI TABLET EFFERVECENT DARI EKSTRAK ETANOL DAUN TALAS (Colocasia esculenta L.) SEBAGAI ANTISEPTIK TOPIKAL

0 0 5

PEMBUATAN BIOETANOL DARI KELADI LIAR (Colocasia esculenta L schott var.antiquorum) MELALUI HIDROLISIS DENGAN KATALIS ASAM KLORIDA DAN FERMENTASI

0 0 7

PENGARUH THIDIAZURON DAN HIDROLISAT KASEIN TERHADAP MULTIPLIKASI TUNAS SATOIMO (Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum) SECARA IN VITRO

0 0 8

Mutu Fisik Dan Kimia Tiwul Instan Umbi Bentul (Colocasia Esculenta (L.) Schott) Sebagai Produk Pangan Fungsional

0 0 113

UJI INDEKS GLIKEMIK UMBI TALAS UNGU (Colocasia esculenta L) DAN UMBI TALAS JEPANG (Colocasia esculenta Var Antiquorum) PADA MENCIT JANTAN (Mus musculus)

0 2 91