SEKOLAH 1 MAKALAH APASIA. docx

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bahasa merupakan sesuatu yang paling kompleks dari perilaku yang
ditunjukkan oleh manusia, karena bahasa melibatkan memori, belajar,
keterampilan penerimaan pesan, proses, danekspresi. Di dalam kehidupan
sehari-hari, individu selalu melakukan interaksi dengan orang lain. Interaksi
tersebut menggunakan kemampuan kita dalam bahasa. Berbicara dengan
orang lain, memperoleh kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu,
memahamiapa yang orang lain katakan, serta dalam membaca, menulis dan
melakukan isyaratpun termasuk dalam bagian dari penggunaan bahasa.
Manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya tentu dapat berbahasa
dengan baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat
bicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif
maupun reseptif. Jadi, kemampuan berbahasa terganggu. Gangguangangguan berbahasa tersebut sebenarnya akan sangat mempengaruhi proses
berkomunikasi dan berbahasa. Banyak faktor yang mempengaruhi dan
menyebabkan adanya gangguan berbahasa, kemudian factor-faktor tersebut
akan menimbulkan gangguan berbahasa. Ketika satu atau lebih dari
penggunaan bahasa tidak lagi berfungsi dengan baik (yang dikaren akan oleh
cedera otak), maka kondisi tersebut dinamakan afasia. Afasia, A (= tidak)

fasia (= bicara) berarti seseorang tidak dapat lagi mengungkapkan apa yang
dia mau. Dia tidak bisa lagi menggunakan bahasa. Maka dari itu, dalam
makalah iniakan dijabarkan definisi afasia, gejala, penyebab serta
intervensinya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi afasia?
2. Apa penyebab dari afasia?
3. Bagaimana intervensi atau terapi untuk afasia?

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Afasia
Afasia adalah gangguan berbahasa dan pengetahuan tentang afasia
disebut sebagai afasiologi. Afasiologi sudah lama dikenal. Istilah afasia
sebagai istilah medik sudah dipakai sejak diusulkan oleh Trousseau pada
tahun 1864. Afasia selalu dikaitkan dengan kelainan di pusat berbahasa yang
berada


di

hemisfer

otak

sebelah

kiri

(Kusumoputro,1992)

Afasia merupakan gangguan bahasa perolehan yang disebabkan oleh cedera
otak dan ditandai oleh gangguan pemahaman serta gangguan pengutaraan
bahasa lisan maupun tertulis. Afasia merupakan gangguan bahasa, hal ini
mengimplikasikan bahwa daya ingat non verbal dan pemikiran pada dasarnya
masih

tetap


pemikirannya

utuh.

Seseorang

melalui

bahasa

dapat

berpikir,

terganggu.

tetapi

pengungkapan


(Dharmaperwira,

1993).

Afasia adalah gangguan kemampuan bahasa seseorang yang disebabkan oleh
kerusakan otak akibat suatu stroke (gangguan peredaran darah di otak) atau
cedera kepala yang menyebabkan cedera otak yang ditandai dengan
kehilangan kemampuan membuat formulasi, menyatakan dan membuat katakata ujaran, gangguan dalam membaca dan menulis(Kusumoputro,1992)
Afasia adalah suatu gangguan kemampuan berbahasa, penderita afasia
menggunakan bahasa secara tidak tepat atau mengalami gangguan
pemahaman suatu kata atau kalimat. Afasia harus dikenal secara klinis, karena
hal ini menunjukan lokasi lesi pada korteks serebri.(Levit&Wainer,1994)
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa afasia adalah masalah
yang berkaitan dengan kehilangan dan ganguan bahasa yang disebabkan oleh
kerusakan otak. Dari definisi tersebut menyebutkan mengenai adanya masalah
(luka dan cedera) pada otak yang nantinya letak, jenis dan besarnya luka pada
otak inilah yang menentukan jenis afasia yang dialami serta derajat
keparahannya.

Penggunaan bahasa tidak lagi berfungsi dengan baik (yang

dikarenakan oleh cedera otak), maka kondisi tersebut dinamakan aphasia.
Secara harfiah aphasia berarti, A (tidak) dan phasia (bicara) berarti seseorang
tidak dapat lagi mengungkapkan apa yang dia mau. Berikut adalah beberapa
pengertian menurut para ahli :
Menurut Wood (1971) afasia merupakan “parsial or complete loss of
ability to speak or to comprehend the spoken word due to injury, disease. Or
maldevelopment of brain.” (Kehilangan kemampuan untuk bicara atau untuk
memahami sebagaan atau keseluruhan dari yang diucapkan oleh orang lain,
yang diakibatkan karena adanya gangguan pada otak). Menurut Wiig dan
Semel (1984) bahwa “Aphasia as involving those who have acquired a
language disorder because of brain damage resulting in impairment of
language comprehension formulation, and use”. (Mereka yang memiliki
gangguan pada perolehan bahasa yang disebabkan karena kerusakan otak
yang mengakibatkan ketidakmampuan dalam memformulasikan pemahaman
bahasa dan pengguanaan bahasa). Jadi pengertian aphasia secara umum
berkaitan dengan disorder of brain, injury of the brain.
Afasia berbeda dari satu orang dengan yang lain. Tingkat keparahan
dan luasnya cakupan afasia tergantung dari lokasi dan keparahan cedera otak,
kemampuan berbahasa sebelum afasia, dan kepribadian seseorang. Beberapa
penderita afasia dapat mengerti bahasa dengan baik, tetapi mengalami

kesulitan untuk mendapatkan kata-kata yang tepat atau membuat kalimatkalimat. Penderita yang lain dapat berbicara panjang lebar, tetapi apa yang
diucapkan susah atau tidak dapat dimengerti oleh lawan bicaranya. Penderita
seperti ini sering mengalami masalah besar dalam memahami bahasa.
Seseorang lain lagi ada yang disebut Afasia orang dewasa banyak yang
mendefinisikan secara berbeda. Eisenson (1971) menyarankan bahwa agar
kesepakatan terjadi antara para ahli dengan cara lebih baik mengindentifikasi

gejala-gejala suatu individu yang aphasia dari pada dengan hanya
mendefinisikannya atau tentang esensi afasianya. Menurut Eisnson (1971)
mengemukakan hasil observasi dari individu yang menderita aphasia:
1. Ada beberapa tingkatan dalam kesulitannya, seseorang dikatakan
afasia yaitu menunjukkkan ketidak mampuan untuk menerima
rangkaian bahasa lisan sebagai out put. Gangguan ini sering disebut
sebagai gangguan span memory atau span attention. Gangguan ini
(serangkaian

output

dimanifestasikan


dalam

gangguan

memformulasikan secara sintaksis).
2. Kesulitan afasia secara umum diekspresikan dalam kurangnya
kemampuan dalam memformulasikan bahasa yang dapat dipahami
atau memproduksi dalam jenis dan cara yang konsisten dengan situasi
(dikaitkan dengan formulasi bahasa). Pada umumnya, kurang mampu
untuk merespon yang lebih intelektual dan abstrak terhadap situasi
yang terjadi.
B. Jenis-Jenis Afasia
1. Afasia Broca
Individu yang menderita Broca’s afasia memiliki kesulitan dalam berbicara
walaupun ia mampu memahami suatu kalimat. Broca’s afasia dikenal juga
dengan motor, expressive atau noninfluent afasia. Pasien ini berbicara
lambat sekali dengan struktur kata yang sangat sederhana. Kata benda
mampu disebutkan hanya ketika ia menyebutkan satu kata saja. Kata
sambung, kata sifat, dan lainnya jarang sekali digunakan.


2. Transkortikal afasia
Transkortikal afasia sering disebut juga sebagai isolation syndrome dimana
individu dapat mengulang dan memahami kata dan nama objek tapi tidak
dapat berbicara secara spontan, atau mereka tidak dapat memahami kata-

kata walaupun mereka dapat mengulangnya. Afasia ini diduga diakibatkan
oleh hilangnya area korteks luar bahasa tradisional.
3. Afasia Konduksi
Afasia konduksi adalah sebuah paradoxical deficit dimana orang dengan
gangguan ini dapat bicara dengan mudah, mengetahui nama objek, dan
memahami pembicaraan, tapi mereka tidak dapat mengulang kata-kata.
Penejelasan tentang masalah ini adalah terdapat hubungan yang buruk
antara perceptual word image dalam pariental-temporal cortex dan sistem
motorik yang memproduksi kata-kata.

4. Afasia Wernick

Afasia Wernicke, atau afasia sensoris, adalah ketidakmampuan untuk
mengerti dari suatu kata atau menyuarakannya menjadi ucapan yang utuh.
Luria mengatakan bahwa afasia ini memiliki tiga karakteristik atau ciri.

Pertama, untuk mendengar dan membuat suatu suara, salah satunya harus
bisa menjadi suara atau bunyi. Sebagai contohnya, dalam bahasa Jepang
bunyi dari huruf “L” dan “R” tidak berbeda. Orang Jepang yang mendengar
bahasa Inggris tidak dapat membedakan bunyi dari kedua huruf tersebut
karena tidak ada cetakan huruf tersebut di dalam otak mereka. Meskipun
perbedaan antara kedua huruf tersebut sangatlah jelas bagi orang yang
berbicara dalam bahasa Inggris, tetapi tidak untuk orang Jepang. Contoh
tersebutlah yang menjadi masalah dalam bahasa orang yang mengidap
penyakit

afasia

wernicke,

ketidakmampuan

untuk

membedakan


karakteristik fonem yang signifikan dan menggolongkan suara kedalam
system fonem yang telah diketahui.
Karakteristik yang kedua ialah terdapat kerusakan dalam berbicara. Orang
yang menderita mungkin dapat berbicara dan mungkin berbicara banyak,
namun ia merasa bingung dalam karakteristik fonetik, yang sering disebut
sebagai word salad. Karakteristik yang ketiga ialah kerusakan dalam
menulis. Seseorang yang tidak dapat mencerna karakteristik fonetik tidak
bisa diharapkan untuk bisa menulis, karena ia tidak mengetahui bentuk
huruf yang dapat disusun menjadi suatu kata.
5. Afasia tuli kata murni
Orang dengan tuli kata murni, tidak tuli, mereka tidak bisa mengerti
pembicaraan. Seperti salh satu yang mengatakan, “saya dapat mendengar
anada berbicara, saya hanya tidak bisa mengerti apa yang anda katakana.”
Pasien-pasien ini dapat mengenali suara yang bukan pembicaraan, seperti
gong-gongan anjing, suara bel pintu dan suara klakson. Mereka juga dapat
mengenali emosi yang terungkap melalui intonasi pembicaraan meskipun

mereka tidak dapat memahami apa yang dikatakan. Mereka dapat
memahami apa yang orang lain katakan dengan membaca bibir mereka.
Mereka juga dapat membaca dan menulis dan mereka kadang-kadang

meminta orang-orang untuk berkomunikasi dengan mereka secara tertulis.
Tuli kata murni bukanlah ketidakmampuan untuk mamahami arti kata, jika
seperti itu, orang-orang dengan gangguan ini tidak mampu membaca bibir
orang atau membaca kata-kata yang ditulis di atas kertas.

C. Gejala Afasia
1. Secara umum, tiga penurunan fungsi bicara disebabkan oleh lesi di dalam
area Broca, yaitu :
a. Agramatisme
Pasien kesulitan menggunakan kontruksi gramatikal. Orang dengan
aphasia Broca jarang menggunakan kata-kata fungsi. Bahkan mereka
jarang menggunakan tanda gramatikal dan sering menggunakan –ing,
karena khiran ini mengubah kata kerja menjadi kata benda.
b. Anomia
Mengacu pada kesulitan untuk menemukan kata, karena penderita
aphasia menggunakan kata yang tidak tepat. Biasanya penderita
memperlihatkan ekspresi wajah mereka dan sering menggunakan “eh”
hal ini terlihat jelas bahwa mereka berusaa untuk mencari kata-kata
c. Kesulitan dengan artikulasi
Salah mengucapkan kata-kata dan sering mengubah urutan suara,
sebagai contoh “ lipstick” bisa diucapkan “likstip”. Sebenarnya
penderita tahu bahwa mereka keliru dalam pengucapan dan mereka
2.

berusaha untuk memperbaikinya.
Gejala afasia wernick
Afasia Wernick penderita masih fasih dan tanpa susah payah dalam
berbicara, ia juga tidak terlihat tegang dalam mengartikulasikan kata-kata

dan tidak nampak mencari kata-kata. Penderita memperrhankan melodi,
dengan suara naik dan turun secara nomal. Ketika anda mendengarkan
penderita afasia Wernick berbicara, tampaknya terdengar gramatikal
(sesuai tata bahasa). Penderitanya menggunakan beberapa kata konten,
tapi kata-kata yang diangkai secara bersama-sama tidak masuk akal.
Secara ekstrem, ucapannya semakin memburuk dan campur aduk tidak
ada artinya.
Karena terjadi penurunn fungsi bicara pada penderita afasia Wernick
ketika kita mencoba untuk menilai kemampuan mereka untuk
memahami

pembicaraan,

kita

harus

memint

mereja

untuk

memnggunakan respon non verbal. Artinya, kita tidak bisa berasumsi
bahwa mereka tidak memahami apa yang orang lain katakan kepada
mereka hanya karena mereka tidak memberikan jawaban yang tepat.
Tes pemahaman yang biasa digunakan menilai kemampuan mereka
untuk memahami pertanyaan dengan menunjuk ke objek di atas meja
di depan mereka. Misalnya, mereka diminta untuk “ tunjukan yang
mengunakan tinta.” Jika mereka menunjuk ke sebuah objek selain
pena berarti merek tidak mengerti permintaan tersebut. Saat diuji
dengan cara ini, penderita afasia Wernick parah memamng
menunjukkan pemahaman yang buruk.
Sebuah fakta luar biasa tentang penderita afasia Wernick adalah
mereka tampaknya sering tidak menyadari kekurangan mereka.
Artinya, mereka terlihat tidak mengakui bahwa ucapan mereka salah,
dan juga tidak mengakui bahwa merek tidak bisa memahami
pembicaraan orang lain. Mereka tidak tampak bingung ketika
seseorang mengatakan kepada mereka sesuatu, meskipun mereka jelas
tidak dapat memahami apa yang mereka dengar. Mungkin penurunan
fungsi pemahaman mereka mencegah mereka unuk menyadari bahwa
apa yang mreka katakan dan mereka dengar, tidak masuk akal. Mereka

masih mengikuti kebiasaan atau konvensi sosial, bergiliran dalam
percakapan dengan pemeriksa, meskipun mereka tidak memahami
ucapan pemeriksa dan jawaban mereka kurang masuk akal. Mereka
tetap peka terhadap ekspresi wajah orang lain, dan nada suara serta
mulai berbicara ketika orang tersebut mengajukan pertanyaan dan jeda
untuk jawaban.
Eisenson (1971) menyarankan bahwa agar kesepakatan terjadi antara
para ahli dengan cara lebih baik mengindentifikasi gejala-gejala suatu
individu yang afasia dari pada dengan hanya mendefinisikannya atau
tentang esensi aphasianya. Menurut Eisnson (1971) mengemukakan
hasil observasi dari individu yang menderita afasia:
1. Ada beberapa tingkatan dalam kesulitannya, seseorang dikatakan
aphasia yaitu menunjukkkan ketidak mampuan untuk menerima
rangkaian bahasa lisan sebagai out put. Gangguan ini sering disebut
sebagai gangguan span memory atau span attention. Gangguan ini
(serangkaian

output

dimanifestasikan

dalam

gangguan

memformulasikan secara sintaksis).
2. Kesulitan afasia secara umum diekspresikan dalam kurangnya
kemampuan dalam memformulasikan bahasa yang dapat dipahami
atau memproduksi dalam jenis dan cara yang konsisten dengan
situasi (dikaitkan dengan formulasi bahasa). Pada umumnya,
kurang mampu untuk merespon yang lebih intelektual dan abstrak
terhadap situasi yang terjadi.

D. PENYEBAB AFASIA
1. Afasia Wernick
Penyebab dari afasia Wernick adalah adanya lesi pada bagian posterior
gyrus temporal superior ( area Wernick ) dan area basal posterior karena
gyrus temporal superior merupakan wilayah korteks asosiasi auditori.

Wernick menyebutkan bahwa wilayah yang sekarang meyandang namanya
adalah lokasi memori urutan suarayang merupakan kata-kata. Korteks
asosiasi auditoris dari gyrus temporal superior mengenali bunyi kata, sama
halnya dengan korteks asosiasi visual dari gyrus temporal inverior
mengenali ketika melihat objek. Lesi yang menyebabkan afasia jenis
Wernicke terletak di daerah bahasa bagian posterior. Semakin berat defek
dalam komprehensi auditif, semakin besar kemungkinan lesi mencakup
bagian posterior dari girus temporal superior. Bila pemahaman kata tunggal
terpelihara, namun kata kompleks terganggu, lesi cenderung mengenai
daerah lobus parietal, ketimbang lobus temporal superior. Afasia jenis
Wernicke dapat juga dijumpai pada lesi subkortikal yang merusak isthmus
temporal memblokir signal aferen inferior ke korteks temporal.
2. Tuli kata murni
Kerusakan pada lobus temporal sebelah kiri dapat menyebabkan gangguan
pengenalan kata yang berhubungan dengan pendengaran, yang tidak
terkontaminasi oleh masalah lain. Sebagian besar penelitian percaya bahwa
belahan kiri terutama terlibat dalam penilaian waktu, komponen bunyi
kompleks yang berubah dengan cepat, sedangkan belahan kakan terutama
terlibat dalam menilai komponen yang berubah lebih lambat, termasuk
melodi. Bukti menunjukkan bahwa aspek paling penting dari bunyi ucapan
adalah waktu, bukan nada.
Dua jenis cedera otak dapat menyebabkan tuli kata murni yaitu : gangguan
input auditori menuju korteks temporal superior (temporal atau kerusakan
korteks temporal superior itu sendiri). Kedua tipe gangguan tersebut
mengganggu analisis bunyi kata, sehingga seorang tersebut tidak dapat
mengenali pebicaraan orang lain.

3. Afasia Broca
Kerusakan daerah inferior lobus frontal kiri menyebabkan afasia Broca.
Bagian belakang dari belahan otak memiliki sesuatu untuk dikatakan, tetapi
kerusakan pada lobus frontal membuat pasien mengalami kesulitan untuk
mengucapkan pikiran tersebut. Daerah yang mengalami lesi pada afasia
Broca ini terdapat pada korteks frontal arah kepala menuju dasar korteks
motor primer (area Broca).
4. Afasia konduksi
Afasia ini disebabkan oleh adanya lesi pada materi putih di bawah lobus
parietal superior menuju lateral (fasikulus arkuota).
5. Afasia Anomik
Afasia ini disebabkan oleh adanya lesi pada bagian parietal dan lobus
temporal. Banyak tempat lesi di hemisfer dominan yang dapat menyebabkan
afasia anomik, dengan demikian nilai lokalisasi jenis afasia ini terbatas.
Anomia dapat demikian ringannya sehingga hampir tidak terdeteksi pada
percakapan biasa atau dapat pula demikian beratnya sehingga keluaran
spontan tidak lancar dan isinya kosong. Prognosis untuk penyembuhan
bergantung kepada beratnya defek inisial. Karena output bahasa relatif
terpelihara dan komprehensi lumayan utuh, pasien demikian dapat
menyesuaikan diri dengan lebih baik daripada jenis afasia lain yang lebih
berat.
Afasia dapat juga terjadi oleh lesi subkortikal, bukan oleh lesi kortikal saja.
Lesi di talamus, putamen-kaudatus, atau di kapsula interna, misalnya oleh
perdarahan atau infark, dapat menyebabkan afasia anomik. Mekanisme
terjadinya afasia dalam hal ini belum jelas, mungkin antara lain oleh
berubahnya input ke serta fungsi korteks di sekitarnya.

6. Afasia Sensoris Transkortikal
Adanya lesi pada area bahasa posterior. Afasia transkortikal disebabkan oleh
lesi yang luas, berupa infark berbentuk bulan sabit, di dalam zona perbatasan
antara pembuluh darah serebral mayor (misalnya di lobus frontal antara
daerah arteri serebri anterior dan media). Afasia transkortikal motorik terlihat
pada lesi di perbatasan anterior yang menyerupai huruf C terbalik. Lesi ini
tidak mengenai atau tidak melibatkan korteks temporal superior dan frontal
inferior (area 22 dan 44 dan lingkungan sekitar) dan korteks peri sylvian
parietal. Korteks peri sylvian yang utuh ini dibutuhkan untuk kemampuan
mengulang yang baik.
Penyebab yang paling sering dari afasia transkortikal ialah:
1. Anoksia sekunder terhadap sirkulasi darah yang menurun, seperti yang
dijumpai pada henti-jantung (cardiac arrest).
2. Oklusi atau stenosis berat arteri karotis.
3. Anoksia oleh keracunan karbon monoksida.
4. Demensia.

E. Diagnosa Afasia
Diagnosa
Diagnosis adalah identifikasi sifat-sifat penyakit atau kondisi atau
membedakan satu penyakit atau kondisi dari yang lainnya. Penilaian dapat
dilakukan melalui pemeriksaan fisik, teslaboratorium, atau sejenisnya, dan
dapat dibantu oleh program komputer yang dirancang untuk memperbaiki
proses pengambilan keputusan.

Diagnosis merupakan hasil dari evaluasi dan itu mencerminkan temuan.
Evaluasi disini berarti upaya yang dilakukan untuk menegakan atau
mengetahui jenis penyakit yang diderita oleh seseorang atau masalah kesehatan
yang dialami oleh masyarakat. Setelah dilakukan diagnosis dari suatu kondisi
tertentu barulah tindakan prognosis dapatdilakukan.
Berikutini diagnosis untuk afasia


Pengecualian dari masalah komunikasi lainnya



Samping tempat tidur dan pengujian neuro psikologi



Pencitraan otak



interaksi verbal biasanya dapat mengidentifikasi afasia. Namun, dokter
harus mencoba untuk membedakan afasia dari masalah komunikasi
yang berasal dari dysarthria parah atau dari gangguan pendengaran,
penglihatan (misalnya, ketika menilai membaca), atau kemampuan
menulis bermotor.

Awalnya, Wernicke afasia mungkin keliru untuk delirium. Namun, Wernicke
afasia adalah gangguan bahasa murni tanpa fitur lain dari delirium (misalnya,
tingkat berfluktuasi kesadaran, halusinasi, kurangnyaperhatian).
Pengujian untuk mengidentifikasi defisit spesifik harus mencakup penilaian
sebagai berikut:


Spontan ucapan: Pidato dinilai untuk kelancaran, jumlah kata yang
diucapkan, kemampuan untuk memulai pidato, kehadiran kesalahan spontan,
jeda menemukan kata, keragu-raguan, dan prosodi.



Penamaan: Pasien diminta untuk nama benda. Mereka yang mengalami
kesulitan penamaan sering menggunakan perkataan panjang (misalnya, "apa
yang Anda gunakan untuk memberitahu waktu" untuk "jam").



Pengulangan: Pasien diminta untuk mengulangi frasegramatikal kompleks
(misalnya, "tidak ada jika, dan, atautapi-tapian").



Pemahaman: Pasien diminta untuk menunjuk ke objek disebut oleh dokter,
melakukan satu langkah dan perintah tahapan, dan menjawab sederhana dan
kompleksya-atau-tidak ada pertanyaan.



Membacadanmenulis: Pasien diminta untuk menulis spontan dan membaca
keras-keras. Membaca pemahaman, ejaan, dan menulis.

Formal pengujian kognitif oleh neuro psikolog atau pidato dan terapis bahasa bisa
mendetek sitingkat yang lebih halus dari disfungsi dan membantu dalam
perencanaan perawatan dan menilai potensi untuk pemulihan. Berbagaites formal
untuk mendiagnosis afasia (misalnya, Boston Diagnostic Aphasia Examination,
Western Afasia Battery, Boston Penamaan Test, Token Test, Action Penamaan
Test) yang tersedia.
Pencitraan otak (misalnya, CT, MRI, dengan atau tanpa protokolan giografi)
diperlukan

untuk

mencirikan

lesi

(misalnya,

infark,

perdarahan,

massa). Pemeriksaan lebih lanjut dilakukanuntuk menentuk anetiologi dari lesi
(misalnya, langkah evaluasi ) seperti yang ditunjukkan.
F. Prognosis
Prognosis adalah yang digunakan dalam menyampaikan suatu tindakan untuk
memprediksi perjalanan penyakit yang didasarkan pada informasi diagnosis yang
tersedia.istilah medis ini yang menunjukkan prediksi dokter tentang bagaimana

pasien akan berkembang, dan apakah ada kemungkinan pemulihan. Istilah ini juga
sering digunakan dalam laporan medis dari pandangan dokter pada suatu kasus,
seperti prognosis penyakit kanker, patah kaki dan lain – lain.
Tujuan dari prognosis adalah untuk mengkomunikasikan prediksi dari kondisi
pasien di masa datang, dengan penyakit yang telah dideritanya.
Fungsi dari prognosis ini adalah menentukan rencana terapi selanjutnya, sabagai
bahan pertimbangan perawatan dan rehabilitasi.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat prognosa, seperti Sifat
atau ciri – cirri gangguan yang dialami pasien, Fungsi apa yang paling tinggi
tingkat aktivitasnya dan yang masih bisa berfungsi dengan baik dan masalah
umum, misalnya jika terjadi pada usia awal. Biasanya pronosisnya lebih buruk,
terutama untuk perkembangan selanjutnya. Sehingga kita harus memperhatikan
adanya dukungan sosial yang mungkin akan diterima pasien dari lingkungan
untuk membuatnya lebih baik dan bentukt indakan yang efektif serta tindakan
yang pernah gagal dilakukan, penting untuk diperhatikan.
Sebuah prognosis tidak selalu berakibat fatal, tetapi hanya mengungkapkan apa
yang paling mungkin terjadi di masa depan berdasarkan apa yang diketahui pada
saat dilakukan pemeriksaan. Untuk membuat prognosis yang akurat ,sangat sulit.
Terkadang diagnosis tidak akurat, terjadi baik karena hasil tes tidak akurat, atau
karena salah tafsir informasi.Terkadang diagnosis yang tepat, tetapi prognosis
tidak akurat. Kadang-kadang kedua diagnosis dan prognosis yang akurat.
Penilaian atau prediksi dilakukan dengan sangat hati – hati sehingga bisa
mencapai prognosis yang akurat, berdasarkan diagnosis yang ada. Hal Ini
merupakan upaya untuk mengantisipasi adanya konsekuensi yang lebih berat lagi
pada saat pemulihan atau penyembuhan suatu penyakit. Untuk mewujudkan
penyembuhan yang efektif dibutuhkan prognosis yang efektif pula.

Berikut ini prognosis untuk afasia
Pemulihan afasia dipengaruhi oleh:


Sebab



Ukuran dan lokasi lesi



Tingkat penurunan bahasa



Respon terhadap terapi



Untuk tingkat yang lebih rendah, usia, pendidikan, dan kesehatan umum
pasien

Prognosis untuk hidup pada pasien dengan afasia tergantung pada penyebab afasia
tersebut. Sebuah belahan glioblastoma meninggalkan mungkin terkait

dengan

harapan hidup yang sangat singkat, sedangkan stroke ringan mungkin memiliki
prognosis yang sangat baik. Inia dalah patologi yang mendasari, bukan afasia sendiri,
yang menentukan prognosis.
Untuk pemulihan bahasa bervariasi tergantung pada ukuran dan sifat lesi dan usia dan
kesehatan keseluruhan pasien.Pemulihan afasia dipengaruhi oleh lokasi lesi dan jenis
afasia. Sebagai contoh, lesi besar di otak kiri dengan afasia global yang memiliki
pemulihan jauhl ebih buruk dibandingkan, lesi subkortikal kecil dengan anomia.

Kebanyakan pasien, bahkan yang tua, mengalami beberapa pemulihan dalam pasca
stroke aphasia, dan beberapa sembuh sepenuhnya. Secara umum, pasien dengan
fungsi bahasa reseptif diawetkan adalah kandidat yang lebih baik untuk rehabilitasi
daripada orang-orang dengan gangguan pemahaman. Potensi untuk pemulihan
fungsional afasia terutama ekspresif seperti afasia Broca setelah stroke sangat
baik. Potensi pemulihan dari afasia Wernicke karena stroke tidak sebagus situ untuk
Broca afasia, tetapi sebagian besar pasien ini menunjukkan beberapa pemulihan.
Potensi untuk pemulihan afasia karena tumor diobati atau penyakit neuro
degenerative miskin.

Prognosis untuk pasien untuk menjadi mandiri agak berbeda dari itu untuk pemulihan
bahasa. Pasien mungkin pulih fungsional dan mampu hidup mandiri meskipun
memiliki afasia bertahan, selama mereka tidak memiliki deficit penyertalainnya
seperti kemampuan untuk menggunakan alat rumah tangga (apraxia), sering
berhubungan dengan lobulus parietal inferior atau keterlibatan frontal atau deficit
kognitif lainnya.

Meskipun pernah diajarkan bahwa sebagian peningkatan afasia terjadi dalam enam
bulan pertama setelah stroke, paling sekarang mengakui pemulihan yang dapat terjadi
berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah awal stroke yang menyebabkan
penurunan nilai tersebut. Dalam parah, afasia global, ada sebenarnyabisalebih banyak
perbaikan di kedua 6 bulan setelah stroke disbanding pada 6 bulan pertama.
Usia juga sangat berpengaruh dalam pemuluhan bahasa. Anak-anak < 8 thn sering
mendapatkan kembali fungsi bahasa setelah kerusakan parah. Setelah usia itu,
sebagian besar pemulihan akan lebih sulit.

G. Intervensi atau Terapi
Ada beberapa terapi yang dapat diterapkan pada penderita aphasia dilihat dari
beberapa sudut pandang dan berdasarkan tujuan dari proses terapi yang dilakukan
( Howard & Hatfield, 1987). Tingkat keparahan dari afasia juga memiliki variasi,
pendekatan terapi dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yang utama
( Albert, Goodglass, Helm Rubens & Alexander 1981, Seron, 1984) didasarkan pada
pandangan yang mendasari afasia dan bagaimana terapi yang akan dilakukan.
Pertama adalah keyakinan bahwa afasia merupakan penurunan akses bahasa atau
kerusakan proses bahasa ( representasi). Terapi yang dapat dilakukan dalam hal ini
adalah terapi relearned atau dilatih. Pendekatan kedua didasarkan pada asumsi bahwa
proses gangguan itu sendiri irremediable. Terapi ini menarik pada strategi kompensasi
(bahasa lain dan keterampilan komunikasi) untuk mengambil alih fungsi-fungsi yang
terganggu.
terapi yang disajikan berdasarkan pada sudut pandang neuropsikologi, hal ini
dinyatakan bahwa fungsi bahasa dapat dilatih ulang atau diakses ulang melalui target
intervensi dan akan sering langsung memperhatikan proses-proses yang terganggu.
Berdasarkan penekanan pada analisis dari kedua gangguan dan dipertahankan
kemampuan pemrosesan bahasa, pendekatan ini juga menyediakan dasar bagi
perkembangan terapi pendekatan yang berpusat pada pengembangan kompensasi
strategi yang menarik pada fungsi dipertahankan. Dalam intervensi holistik yang
dilakukan pada penderita afasia, terapi ini termotivasi dari dasar kognitif
neuropsikologi dan dari pendekatan terapi yang lain. Terapi yang ditargetkan harus
sesuai dengan terapi bertujuan untuk komunikasi secara keseluruhan dan untuk
menangani efek psikologis afasia dari penderita dan keluarga penderita. Misalnya,
melakukan terapi yang berfokus pada membantu klien untuk mengatasi kehilangan
bahasa karna efek cacat yang ada pada diri klien itu sendiri dalam kehidupannya.

Semua pengobatan untuk afasia harus mencerminkan seorang individu memiliki
kebutuhan untuk komunikasi, keinginan untuk berkomunikasi dan prioritas mereka
untuk pengobatan. Prioritas ini termasuk terapi yang ditargetkan pada penurunan
sistem pengolahan bahasa dan kognitif neuropsikologi memberi kesempatan yang
unik untuk mengidentifikasi dan melakukan identifikasi untuk kesembuhan afasia.
Tujuan akhir dari terapi kognitif neuropsikologi yaitu penggunaan keterampilan
komunikasi dalam pengaturan pengobatan sehari-hari seperti harus mengolah bahan
dan tema yang relevan sesuai kebutuhan klien. Demikian pula harus melakukan
evaluasi evektivitas intervensi mengalami perbaikan dari sistem pengolahan bahasa
yang akan berdampak pada komunikasi kehidupan nyata dan manfaat yang benar dan
perubahan positif yang dirasakan oleh penderita afasia.
Dari perspektif neuropsikologi kognitif tujuan penilaian adalah untuk memahami
bicara dan pola bahasa klien dalam hal sistem pengolahan normal dan intervensi yang
dilakukan memungkinkan adanya perkembangan pada individu. Penilaian perlu
cukup rinci untuk memungkinkan identifikasi proses gangguan atau proses
kemampuan pengolahan yang tetap utuh pada mereka. Analisis gejala permukaan atau
gejala awal tidak cukup untuk merencanakan terapi, karna gejala permukaan yang
timbul mengalami kesamaan dengan berbagai cara. Terapi yang sebenarnya
ditawarkan mungkin tidak secara langsung atau signifikan berbeda dengan metode
teknik tradisional. Perbedaannya adalah teknik tradisional menargetkan pada aspek
gangguan klien dipilih atas dasar pemahaman teoritis dari gangguan yang
mendasarinya.
Kontribusi yang paling penting dari neuropsikologi kognitif untuk aphasia terapi,
terletak pada pengurangan besar dari pilihan teoritis-termotivasi dibiarkan terbuka
untuk terapis. Jelas diartikulasikan dan rinci dari hipotesis tentang representasi dan
pengolahan fungsi kognitif, memungkinkan penolakan semua strategi mereka untuk
pengobatan yang tidak secara teoritis dibenarkan. Semakin rinci model kognitif, yang

sempit, spektrum perawatan termotivasi semakin rasional, sedangkan kurang
finegrained model kognitif, semakin besar jumlah teoritis intervensi terapeutik
dibenarkan.
Pendekatan terapi yang berbeda
1. Reaktivasi Untuk mengaktifkan akses ke bahasa terganggu dan pengolahan
kemampuan.
2. Belajar kembali prosedur bahasa Gangguan atau pengetahuan yang ulang
yang diperoleh melalui pembelajaran.
3. Kognitif-estafet Untuk mencari rute alternatif atau sarana melakukan fungsi
bahasa, yaitu menggunakan komponen utuh dari sistem bahasa untuk
mencapai fungsi terganggu melalui cara tidak langsung (Luria, 1970).
4. Pergantian Untuk mendorong adopsi dari suatu prostesis eksternal untuk
mempromosikan komunikasi.
5. Kompensasi untuk memaksimalkan penggunaan bahasa ditahan dan perilaku
komunikasi, tanpa berfokus pada fungsi terganggu.
H. Identifikasi Terapi
Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah broca.
Seseorang dengan afasia motorik tidak bisa mengucapkan satu kata apapun, namun
masih bisa mengutarakan pikirannya dengan jalan menulis (Mardjono & Sidharta,
2004, hlm.205). Salah satu bentuk terapi rehabilitasi gangguan afasia adalah dengan
memberikan terapi wicara (Sunardi, 2006, hlm.7). Terapi wicara merupakan
tindakan yang diberikan kepada individu yang mengalami gangguan komunikasi,
gangguan berbahasa bicara, gangguan menelan. terapi wicara ini berfokus pada
pasien dengan masalah-masalah neurologis, diantaranya pasien pasca stroke
(Hearing Speech & Deafness Center, 2006, dalam sunardi, 2006, hlm.1)
Pasien stroke dapat mengalami gangguan bicara, sangat perlu dilakukan latihan
bicara baik disartia maupun afasia. Speech therapy sangat dibutuhkan mengingat

bicara dan komunikasi merupakan faktor yang berpengaruh dalam interaksi sosial.
Kesulitan dalam berkomunikasi akan menimbulkan isolasi diri dan perasaan frustasi
(Sunardi, 2006).
Stroke merupakan suatu gangguan neurologik fokal yang timbul dari adanya
thrombosis, embolus, ruptur dinding pembuluh darah. Akibat adanya sumbatan
tersebut mengakibatkan pecahnya pembuluh darah, sehingga aliran darah ke daerah
distal mengalami gangguan, sel mengalami kekurangan oksigen sehingga
mengakibatkan terjadinya infark (Price & Willson, 2006).
Akan tetapi pasien stroke yang yang mengalami gangguan bicara dikarenakan lesi
yang merusak daerah Broca. Daerah Broca inilah yang mengatur atau
mengendalikan kemampuan bicara, yang terletak di lobus frrontalis kiri berdekatan
dengan daerah motorik korteks yang mengontrol otot-otot artikulasi, sehingga pasien
akan mengalami afasia motorik (Sherwood, 2011, hlm.163).
Setelah diberikan terapi AIUEO terjadi peningkatan kemampuan bicara pada pasien.
Hal ini sesuai hasil penelitian bahwa yang semula ada 4 responden dengan gangguan
bicara berat menjadi tidak ada. Menurut Meinzer et al., (2005) menjelaskan bahwa
85% pasien stroke mengalami peningkatan kemampuan bahasa secara signifikan
setelah menjalani terapi

wicara yang

intensif.

Perbaikan-perbaikan yang

berkelanjutan juga terjadi pada pasien-pasien tersebut selama enam bulan.
Hal ini sependapat Bakheit, et. al (2007 dalam Dachrud 2010) menjelaskan bahwa
treatment berupa terapi yang diberikan pada pasien penderita gangguan komunikasi
untuk memberikan kemampuan berkomunikasi baik secara lisan, tulisan maupun
isyarat.
Terapi wicara (speech therapy) merupakan suatu proses rehabilitasi pada penderita
gangguan komunikasi sehingga penderita gangguan komunikasi mampu berinteraksi
dengan lingkungan secara wajar dan tidak mengalami gangguan psikososial
(Rodiyah, 2012, 1).

Terapi wicara difokuskan pada pembentukan organ bicara agar dapat memproduksi
bunyi dengan tepat. Terapi ini biasanya meliputi bagaimana menempatkan posisi
lidah dengan tepat, bentuk rahang, dan mengontrol nafas agar dapat memproduksi
bunyi dengan tepat. Bunyi yang dihasilkan oleh adanya getaran udara, akan diterima
oleh saraf pendengaran. Melalui saraf pendengaran, rangsangan diterima dan diolah
sebagai informasi. Sehingga terapi wicara ini dapat meningkatkan kemampuan
bicara. (Gunawan, 2008, hlm.26).

Terapi AIUEO terhadap kemampuan bicara pada pasien stroke yang
mengalami afasia motorik.
Menurut Wardhana (2011, hlm.167) penderita stroke yang mengalami kesulitan
bicara dapat diberikan terapi AIUEO yang bertujuan untuk memperbaiki ucapan
supaya dapat dipahami oleh orang lain.
Teknik yang diajarkan pasien afasia adalah menggerakkan otot bicara yang akan
digunakan untuk mengucapkan lambang-lambang bunyi bahasa yang sesuai dengan
pola-pola standar, sehingga dapat dipahami oleh pasien. Hal ini disebut dengan
artikulasi organ bicara. Pengartikulasia bunyi bahasa atau suara akan dibentuk oleh
koordinasi tiga unsur, yaitu unsur motoris (pernafasan), unsur yang bervibrasi
(tenggorokan dengan pita suara), dan unsur yang beresonansi (rongga penuturan:
rongga hidung, mulut dan dada) (Gunawan, 2008, hlm.18). Penelitian ini dilejaskan
bahwa dalam memberikan terapi AIUEO dilakukan dalam 2 kali sehari dalam 7 hari.
Hal ini dalam memberikan treatment dengan sesering mungkin dapat meningkatkan
kemampuan bicara. Menurut (Bakhiet, et.al, 2007), latihan secara intensif dapat
meningkatkan neuralplasticity, reorganisasi peta kortikal dan meningkatkan fungsi
motorik. Neuroplastisitas otak merupakan perubahan dalam aktivitas jaringan otak
yang merefleksikan kemampuan adaptasi otak. Dengan adanya kemampuan ini
kemampuan motorik klien yang mengalami kemunduran karena stroke dapat

dipelajari kembali. Proses neuroplastisitas otak terjadi melalui proses substitusi yang
tergantung pada stimulus eksternal, melalui terapi latihan dan proses kompensasi
yang dapat tercapai melalui latihan berulang untuk suatu fungsi tertentu (Wirawan,
2009)
Pedoman untuk berkomunikasi
Afasia mengubah cara seseorang dalam memahami sesuatu atau bersikap. Dengan
memanfaatkan secara optimal kemungkinan komunikasi yang masih ada, lingkungan
penderita afasia masih bisa berkomunikasi dengannya. Seseorang yang menderita
afasia berat sering hanya dapat mengerti kata-kata penting dari sebuah kalimat. Dia
hanya bisa mengerti ‘kata-kata kunci’. Mengerti dengan menggunakan kata-kata
kunci dapat menimbulkan salah pengertian. Pesan yang ingin disampaikan
disalahartikan. Hal ini timbul dari kombinasi kata-kata kunci dengan pengetahuan
umum mengenai subyek tertentu. Terkadang kita mengira bahwa kita dan penderita
afasia mengerti dengan baik satu sama lain. Reaksi yang timbul kemudian
menunjukkan hal yang berbeda.
Ketika Anda ingin memberitahukan sesuatu kepada penderita afasia
1. Luangkan waktu khusus untuk percakapan tersebut.
2. Duduk tenang dan buat kontak mata.
3. Jika Anda merasa tidak yakin dengan percakapan tersebut, mulai dengan sesuatu
yang sederhana mengenai diri Anda. Setelah itu ajukan pertanyaan yang
jawabannya ingin Anda ketahui.
4. Bicaralah dengan tenang dengan menggunakan kalimat-kalimat pendek. Berikan
penekanan pada kata-kata yang paling penting.
5. Tuliskan kata-kata yang paling penting. Ulangi pesan yang ingin Anda sampaikan
dan berikan tulisan tersebut kepada pasien afasia. Pasien afasia dapat
menggunakan tulisan tersebut untuk membantu ingatannya atau sebagai alat bantu
komunikasi.

6. Bantu penderita afasia mengungkapkan permasalahannya dengan menggunakan
bahasa isyarat, menggambar, atau menulis atau minta dia untuk juga menunjuk,
memberikan isyarat, menggambar, atau menuliskan permasalahannya. Sama-sama
mencari di buku saku bahasa atau buku percakapan.
Ketika penderita afasia ingin memberitahukan sesuatu kepada Anda
Pertama-tama harus jelas mengenai siapa yang dibicarakan, apa yang terjadi, dan
dimana atau kapan kejadian itu berlangsung. Sangat penting bagi Anda untuk
mengajukan pertanyaan yang tepat, inventif, dan sebisa mungkin dilakukan dengan
sistematis. Coba untuk selalu memberikan pertanyaan pilihan. Tuliskan pilihan yang
salah satunya harus atau dapat dipilih, berdekatan satu sama lain.
Alat bantu komunikasi
Di banyak negara terdapat buku menunjuk-gambar khusus. Di dalamnya terdapat
kata-kata dan gambar-gambar. Dengan menunjuk kata-kata dan gambar, seseorang
bisa memperjelas apa yang dia maksudkan. Minta informasi dari dokter atau ahli
logopedia Anda mengenai keberadaan alat bantu seperti itu di negara Anda. Jika tidak
ada, Anda dapat membuat sendiri buku komunikasi seperti itu. Di dalam buku
tersebut Anda dapat menempelkan foto-foto atau gambar-gambar yang penting bagi
penderita afasia. Dengan demikian pembicaraan mengenai suatu kejadian dapat
dilakukan dan perasaan dapat diungkapkan. Dengan menggunakan buku menunjuk,
Anda dan penderita afasia bersama-sama mencari konteks yang penting untuk
pembicaraan tersebut. Pastikan Anda mempunyai kertas dan pulpen untuk hal ini.
Anda dapat membuat daftar kata-kata yang paling penting dalam pembicaraan
tersebut. Hal ini akan memudahkan mengikuti dan mengingat isi pembicaraan
tersebut.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Afasia adalah masalah yang berkaitan dengan kehilangan dan ganguan bahasa
yang disebabkan oleh kerusakan otak. Penyebab dari afasia Wernick adalah
adanya lesi pada bagian posterior gyrus temporal superior ( area Wernick )
dan area basal posterior karena gyrus temporal superior merupakan wilayah
korteks asosiasi auditori. Kerusakan pada lobus temporal sebelah kiri dapat
menyebabkan gangguan pengenalan kata yang berhubungan dengan
pendengaran, yang tidak terkontaminasi oleh masalah lain. Dua jenis cedera
otak dapat menyebabkan tuli kata murni yaitu : gangguan input auditori
menuju korteks temporal superior (temporal atau kerusakan korteks temporal
superior itu sendiri). Kedua tipe gangguan tersebut mengganggu analisis
bunyi kata, sehingga seorang tersebut tidak dapat mengenali pebicaraan orang
lain. Kerusakan daerah inferior lobus frontal kiri menyebabkan afasia Broca.
Bagian belakang dari belahan otak memiliki sesuatu untuk dikatakan, tetapi
kerusakan pada lobus frontal membuat pasien mengalami kesulitan untuk
mengucapkan pikiran tersebut. Daerah yang mengalami lesi pada afasia Broca

ini terdapat pada korteks frontal arah kepala menuju dasar korteks motor
primer (area Broca). Afasia ini disebabkan oleh adanya lesi pada materi putih
di bawah lobus parietal superior menuju lateral (fasikulus arkuota). Afasia ini
disebabkan oleh adanya lesi pada bagian parietal dan lobus temporal. Banyak
tempat lesi di hemisfer dominan yang dapat menyebabkan afasia anomik,
dengan demikian nilai lokalisasi jenis afasia ini terbatas. Afasia dapat juga
terjadi oleh lesi subkortikal, bukan oleh lesi kortikal saja. Lesi di talamus,
putamen-kaudatus, atau di kapsula interna, misalnya oleh perdarahan atau
infark, dapat menyebabkan afasia anomik. Mekanisme terjadinya afasia dalam
hal ini belum jelas, mungkin antara lain oleh berubahnya input ke serta fungsi
korteks di sekitarnya. Adanya lesi pada area bahasa posterior. Afasia
transkortikal disebabkan oleh lesi yang luas, berupa infark berbentuk bulan
sabit, di dalam zona perbatasan antara pembuluh darah serebral mayor
(misalnya di lobus frontal antara daerah arteri serebri anterior dan media).
Afasia transkortikal motorik terlihat pada lesi di perbatasan anterior yang
menyerupai huruf C terbalik. Lesi ini tidak mengenai atau tidak melibatkan
korteks temporal superior dan frontal inferior (area 22 dan 44 dan lingkungan
sekitar) dan korteks peri sylvian parietal. Korteks peri sylvian yang utuh ini
dibutuhkan untuk kemampuan mengulang yang baik. Penyebab yang paling
sering dari afasia transkortikal ialah: Anoksia sekunder terhadap sirkulasi
darah yang menurun, seperti yang dijumpai pada henti-jantung (cardiac
arrest), oklusi atau stenosis berat arteri karotis, anoksia oleh keracunan karbon
monoksida, dan demensia. Terapi yang disajikan berdasarkan pada sudut
pandang neuropsikologi, hal ini dinyatakan bahwa fungsi bahasa dapat dilatih
ulang atau diakses ulang melalui target intervensi dan akan sering langsung
memperhatikan proses-proses yang terganggu. Berdasarkan penekanan pada
analisis dari kedua gangguan dan dipertahankan kemampuan pemrosesan
bahasa, pendekatan ini juga menyediakan dasar bagi perkembangan terapi
pendekatan yang berpusat pada pengembangan kompensasi strategi yang

menarik pada fungsi dipertahankan. Dalam intervensi holistik yang dilakukan
pada penderita afasia, terapi ini termotivasi dari dasar kognitif neuropsikologi
dan dari pendekatan terapi yang lain. Terapi yang ditargetkan harus sesuai
dengan terapi bertujuan untuk komunikasi secara keseluruhan dan untuk
menangani efek psikologis afasia dari penderita dan keluarga penderita.
Misalnya, melakukan terapi yang berfokus pada membantu klien untuk
mengatasi kehilangan bahasa karna efek cacat yang ada pada diri klien itu
sendiri dalam kehidupannya. Semua pengobatan untuk afasia harus
mencerminkan seorang individu memiliki kebutuhan untuk komunikasi,
keinginan untuk berkomunikasi dan prioritas mereka untuk pengobatan.
Prioritas ini termasuk terapi yang ditargetkan pada penurunan sistem
pengolahan bahasa dan kognitif neuropsikologi memberi kesempatan yang
unik untuk mengidentifikasi dan melakukan identifikasi untuk kesembuhan
afasia. Tujuan akhir dari terapi kognitif neuropsikologi yaitu penggunaan
keterampilan komunikasi dalam pengaturan pengobatan sehari-hari seperti
harus mengolah bahan dan tema yang relevan sesuai kebutuhan klien.
Demikian pula harus melakukan evaluasi evektivitas intervensi mengalami
perbaikan dari sistem pengolahan bahasa yang akan berdampak pada
komunikasi kehidupan nyata dan manfaat yang benar dan perubahan positif
yang dirasakan oleh penderita afasia.

DAFTAR PUSTAKA
Carlson, Neil R. 2015. Fisiologi Perilaku. Erlangga: Jakarta
Haryanto, Ghoffar Dwi Agus, dkk.. “PENGARUH TERAPI AIUEO TERHADAP
KEMAMPUAN BICARA PADA PASIEN STROKE YANG MENGALAMI
AFASIA MOTORIK DI RSUD TUGUREJO SEMARANG”. Jurnal Ilmu
Keperawatan Dan Kebidanan (JIKK).
http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=393106&val=6378&title=PENGARUH%20TERAPI%20AIUEO
%20TERHADAP%20KEMAMPUAN%20BICARA%20PADA%20PASIEN
%20STROKE%20YANG%20MENGALAMI%20AFASIA%20MOTORIK
%20%20DI%20RSUD%20TUGUREJO%20SEMARANG. 6 November 2016.
Juniasti, Ridwan. “Afasia menurut seorang Terapis Wicara”. 7 November 2016.
http://astitbercerita.blogspot.co.id/2011/09/afasia-menurut-seorang-terapiswicara.html.
Kirshner, Howart. “Aphasia Prognosis”. 7 November 2016.
http://emedicine.medscape.com/article/1135944-followup.
Kluwer, Walters. “Aphasia Prognosis and treatment”. 9 November 2016.
http://www.uptodate.com/contents/aphasia-prognosis-and-treatment.

Whitworth, Anne, dkk. July 1, 2004. “A Cognitive Neuropsychological Approach to
Assessment

and

Intervention

in

Aphasia”.

Volume

13,

No.

5,

https://books.google.co.id/books/about/A_Cognitive_Neuropsychological_Approa
ch.html?id=PSUtMpki23UC&redir_esc=y. 6 November 2016.