Menuju Hukum Pidana yang Berkeadilan Ber

Menuju Hukum Pidana yang Berkeadilan,
Berdaya Jera, Restoratif, dan Responsif 1
Oleh:
T. J. Gunawan, S.T., MIMS, M.H.2

“To restore both parties to equality, a judge must take the amount that is greater
than the equal that the offender possesses and give that part to the victim so that
both have no more and no less than the equal: - Aristoteles, dikutip dari:
Nicomachean Ethics ,http://en.wikipedia.org/wiki/Nicomachean_Ethics.

Abstrak

Tulisan

ini adalah salah satu materi Penataran Dosen dan Praktisi Hukum Pidana
Tingkat Nasional 2017; 29 November 2017 di Hotel Gunawangsa Merr, yang mencoba
mengusung rancang bangun Hukum Pidana Indonesia ke arah baru yang berkeadilan,
berdaya jera, restoratif, dan responsif yang dibangun berdasar nilai asli Indonesia yang
berbasis Pancasila yang mengusung nilai filosofis mufakat nilai.
Mendasarkan diri dari nilai Ketuhanan (hukum karma) dan Pancasila, diusung suatu
proposal rancang bangun yang merefleksikan diri dari bagaimana Tuhan menegakkan

keadilan yang tegas; sehingga memastikan kejahatan tidak menguntungkan, namun welas
asih; dengan keadilan restoratif yang tidak mengutamakan penistaan. Karena keterbatasan
kemampuan manusia, maka dibutuhkan nilai filsafat Pancasila yang mengutamakan
mufakat nilai yang secara modern dapat diwakili oleh teori reflective equilibrium - John
Rawls maupun ilmu statistik, untuk menyatukan berbagai filsafat, norma, dan teori dalam
ilmu hukum pidana, sekaligus untuk menentukan nilai kerugian korban yang sifatnya
bukan kerugian ekonomis.
Rancang bangun ini menjadi landasan berpikir dalam membentuk Konsep Pemidanaan
Berbasis Kerugian Ekonomi yang sebelumnya diajukan dibangun dengan metode berpikir
ekliktik terhadap filsafat dan teori-teori hukum pidana yang ada yang di dalamnya telah
mengadopsi dan mengeliminasi tabrakan tabrakan nilai-nilai yang ada; sebagaimana
proces re-engineering, sehingga penerapannya tidak terfrakmentasi dan tumpang tindih
namun menjadi suatu proses yang integral dalam menerapakan keadilan restoratif yang
1

Materi yang disampaikan dalam acara Penataran Dosen dan Praktisi Hukum Pindana Tingkat Nasional
2017 di Hotel Gunawangsa Merr – Surabaya yang diadakan Ikabhara dan Mahupiki.
2
Anggota Ikabhara – Alumni S2 Universitas Bhayangkara Surabaya tahun 2014, S2 Master of Management
Information and Systems dengan gelar MIMS di Monash University Australia tahun 2004 dengan

spesialisasi bidang Business Intelligence Systems dan e-commerce, dan penulis buku: Konsep
Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi (2015).

1

tegas, welas asih, dan mampu mencapai tujuannya memperbaiki sikap pelaku kejahatan.
Rancang bangun ini juga memasukkan beberapa nilai penting yang diperlukan untuk
memastikan perubahan Hukum Pidana yang lebih baik dengan memasukkan konsepkonsep atau nilai-nilai seperti, nilai kerugian korban, kerugian negara untuk menegakkan
atursn, insentif aparat untuk mengembalikan keadaan menjadi adil, kesetaraan sanksi lain
di luar sanksi pidana penjara, disamping tetap juga memperjuangkan keadilan pelaku.

Abstract
This paper is one of literatures for improvement course material of National Level
Criminal Law Lecturers and Practitioner 2017; 29th November 2017 at Hotel Gunawangsa
Merr, which tries to carry the blueprint of Indonesian Penal Code into a new direction
which is into justice, can have a deterrent effect, restorative, and responsive that is built
based on the original values of Indonesia: Pancasila which carries the philosophical value
of “mufakat nilai” (reflective equilibrium values / common ground).
Base on the values derived from God (karmic law) and Pancasila, it is proposing a design
proposal that reflects itself on how God upholds firm justice; thus ensuring crime does

not pay, but compassionate; with applying restorative justice and not putting defamation
as primary tool to achieve it. Because of the limitations of human justice capabilities, the
value of Pancasila philosophy is used prioritizes the value of “mufakat nilai” which can
be represented by reflective equilibrium theory - John Rawls and statistics, to unite
philosophical, theories, and norms in criminal justice science, including to determine the
value of non economic based victim’s losses.
This design is the foundation of thinking in shaping the previously proposed the Concept
of Economic Losses Value Based Sentencing built with the eclectic thinking method of
philosophy and the existing criminal law theories in which it has adopted and eliminated
the collisions of existing values; as what is done in a method called process reengineering, so that its application is not fragmented and overlapping but becomes an
integral process in applying restorative justice that is just, compassionate, and capable of
achieving its goal of improving the attitude of the perpetrator. This design also
incorporates some important values necessary to ensure better Criminal Justice Law by
incorporating concepts or values such as, the value of the victim’s loss, the loss of the
state to enforce the law, the incentive of the apparatus (enforcer) to restore the situation
back to just/ normal, the value equality of other sanctions outside of imprisonment
sanctions, and; in addition, to continuing to fight for justice for perpetrator(s) as well.
Keywords:
Criminal justice reform, Indonesia Penal Law Reform, Restorative Justice, sentencing
guidelines, deterrent effect, Analysis Economic of Criminal Justice Law, Law and

Economic, Economic based Criminal Justice System, double-track sentencing system:
value equality of jail sentence and other type of sentences, Daad-dader-slachtoffer
Strafrecht, offender-victim-state criminal justice (dader-slachtoffer-state Strafrecht).

2

Kondisi Hukum Pidana Indonesia Saat Ini

Sebelum dipaparkan lebih lanjut, hendaknya penting untuk disadari bahwa
Hukum Pidana Indonesia (KUHP) saat ini dan yang ke depan; dengan Rancangan
Undang-Undang KUHP terkini, telah dapat dibuktikan tidak memenuhi Crime Does Not
Pay – tindak pidana tidak menguntungkan. Ini berarti dalam kondisi yang dapat
diprediksi (nilai kerugian tindak pidana tersebut besar dan objeknya tidak dapat
dikembalikan) Hukum Pidana tidak dapat memberi perlindungan pada korban,
masyarakat, maupun Negara.
Hal ini ditemukan berdasar pemikiran sederhana: bahwa dalam banyak
keadaan; terutama ketika besar kerugian kejahatan tersebut cukup besar dan tidak dapat
dikembalikan, bahkan ketentuan maksimum delik pidana tersebut sama sekali tidak bisa
memberi perlindungan. Beberapa contoh yang bisa diajukan seperti ketika pencuri yang
mencuri sebuah mobil Ferrari senilai 4 Milyar Rupiah; yang tidak dapat dikembalikan

dalam bentuk apapun, ketika pelaku dihukum maksimum 5 tahun apakah sudah adil?
Pertanyaannya adalah apakah pelaku dapat mendapatkan nilai uang yang sama ketika
bekerja dengan sah selama 5 tahun tersebut? Belum lagi kebiasaan yang berlaku atas
timbangan menrea hakim yang seringkali tidak menjatuhkan hukuman maksimum.
Lalu bagaimana cara hukum pidana bisa memastikan penjeraan jika pidana
penjara bisa dijadikan jalan singkat untuk menikmati yang bukan haknya dan resiko
maksimumnya ternyata lebih singkat dari waktu yang dibutuhkannya jika dia bekerja
secara sah? Hal ini yang menjadi alasan munculnya penelitian hukum yang pada akhirnya
berujung pada penulisan buku Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi (ke
depan disingkat Konsep PBNKE): mencari hukum pidana yang bagaimana yang bisa
mecapai daya jera.
Di sisi lain, juga ditemukan bahwa, hukum pidana bisa menjadi sangat tidak
adil bagi pelaku ataupun korban politisasi pidana. Hukum Pidana saat ini sangat bisa
dijadikan alat pihak yang mengaku sebagai korban untuk meminta pertanggung jawaban
yang jauh lebih besar (bahkan mungkin mengada-ada nilai kerugiannya) sehingga bisa
dibuktikan dengan pengalaman pribadi keluarga penulis, maupun pengalaman pahit salah
sau senior kita Prof. Romli Atmasasmita sendiri. Hal ini menekankan pada perlunya
Hukum Pidana Indonesia yang berkeadilan untuk memastikan tidak pemidanaan tidak
kurang - undercriminalization maupun tidak terlalu berlebih - overcriminalization.
Dari penelitian hukum tersebut bahwa dalam upaya mencapai tujuan-tujuan

yang dikehendaki, ditemukan bahwa kelemahan mendasar Hukum Pidana Indonesia saat
ini adalah: 1) tidak terpenuhinya ketentuan crime does not pay, dan 2) elasticity of
sentencing ternyata membuat Hukum Pidana menjadi tidak adil yang penuh dengan
ketidak pastian; hal ini menjadikan seolah tersangka, terdakwa, atau terpidana seolaholah berada dalam sistem perjudian yang karenanya apakah bisa didapat rasa jera?
Belum lagi sebagaimana juga diungkap Bernard L. Tanya yang
mengungkapkan kosmologi Hukum Pidana masih terlalu condong pada teori pemidanaan
retributif yang cenderung diartikan sebagai upaya menyakiti/penistaan. Mohon bisa
dijelaskan disini, bagaimana cara mengobati sikap mental sakit pelaku; sebagaimana teori
tujuan pemidanaan relatif yang dianut saat ini, bisa didapatkan dengan menyakiti?

3

Bagaimana merubah sifat seseorang
binatang saja kita bisa jinakkan bukan
reward and punishment dan perlakuan
konsep-konsep atau nilai-nilai yang
tujuannya.

menjadi lebih baik dengan disiksa? Bukankah
dengan menyakiti namun dengan kejelasan aturan

yang penuh cinta kasih? Disini ditekankan adanya
hilang dalam Hukum Pidana dalam mencapai

Hal ini mendorong penelitian yang berujung pada penulisan buku Konsep
PBNKE yang isinya merupakan “pendekatan eklektik terhadap beberapa filsafat, teori,
dan norma yang ada dan diterima dalam sistem hukum pidana secara umum yang dibahas
dengan pendekatan metode Reflective Equilibrium untuk mendapatkan mufakat nilai
yang kemudian disistematika menjadi rumusan yang eksak dan diskrit” dengan tujuan
mencari formulasi Hukum Pidana yang berkeadilan, berdaya jera, berkepastian, dan
kemudian ditemukan juga memberi sifat transparan, akuntabel, dan mampu mengikuti
perkembangan jaman.
Penelitian tersebut ternyata juga berhasil mengidentifikasi bahwa salah satu
elemen keadilan 3 adalah harus bersifat restoratif4: dalam suatu sistem yang berkeadilan,
harus berisi kemungkinan serangan dari salah satu pihak secara tidak sah sehingga untuk
meredam konflik harus diutamakan upaya pengembalian keadaan dengan sebagaimana
diungkap Aristoteles: mengambil lebih dari apa yang didapat pelaku dan mengembalikan
kepada korban. Selain itu keadilan juga harus bersifat menjamin persamaan perlakuan
bagi semua (fairness) atau prinsip equality 5, memberi jaminan untuk memberi batasan
minimum untuk kemanusiaan 6, dan harus memberi jalan dalam menjalankan kebebasan
manusia untuk menentukan pencapaiannya sendiri7.

Pada saat yang bersamaan, Romli Atamasasmita juga mengungkapkan
impiannya tentang pembentukan Hukum Pidana yang restoratif dan responsif yang
diungkapnya dalam buku Analisis Mikro Ekonomi Tentang Hukum Pidana Indonesia
yang dibuat Romly Atmasasmika dan Kodrat Wibowo yang terbit tahun 20168. Penulisan
buku Konsep PBNKE ini memiliki kesamaan pandangan, visi, dan misi dengan hasil
analisis Teori Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Pidana; yang pada draft edisi revisi
buku Konsep PBNKE diungkap dan dijelaskan lebih lanjut, yaitu: untuk mengejar tujuan
hukum, Hukum Pidana dalam mencapai tujuanya harus merupakan penerapan restorative
justice dan harus bersifat responsif untuk mengikuti perkembangan jaman yang didorong
perkembangan ekonomi.
Berdasar hal tersebut diatas, dan hasil diskusi penulis dengan para senior
(Barda Nawawi Arief, M. Arief Amrullah, Romli Atmasasmita, almarhum Johnny
Ibrahim, M. Sholehuddin, Bernard L. Tanya, Maria G.S. Soetopo, Artidjo Alkostar,
Gazalba Saleh, dan yang lain yang tidak sempat saya sebut) yang searah dengan ide dasar
3

Disitensa dari teori keadilan distributif dan keadilan korektif Aristoteles yang juga ikut mengadopsi
ketentuan Teori Keadilan John Rawls.
4
T.J. Gunawan, Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi, Yogyakarta: Genta Press, 2015,

Bab 3.2.4. Prinsip Restoratif.
5
Ibid. , Bab 3.2.1. Prinsip Persamaan (Equality).
6
Ibid, Bab 3.2.3. Prinsip Batasan Minimum Untuk Kemanusiaan..
7
Ibid,Bab 3.2.2. Prinsip Kebebasan (Liberty Principle).
8
Romli Atmasasmika dan Kodrat Wibowo, Analisis Mikro Ekonomi Tentang Hukum Pidana Indonesia,
Jakarta: Prenadamedia Group, 2016.

4

penulisan Buku Konsep PBNKE ini dalam mewujudkan impian-impian beliau untuk
diterapkan dalam Hukum Pidana ke depan maka diajukanlah pemikiran ini Ikatan
Keluarga Alumni Universitas Bhayangkara Surabaya (Ikabhara) yang kemudian diajukan
bersama dengan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) untuk
mengadakan Penataran Dosen dan Pratisi Hukum Pidana tingkat Nasional 2017 ini
dengan tema Rancang Bangun Hukum Pidana Indonesia yang Berkeadilan, Berdaya Jera,
Restoratif, dan Responsif. Pada saat yang bersamaan diajukan konsep ini yang dinilai

mampu menjawab a. Bagaimana membangun Hukum Pidana yang restoratif, responsif,
berdaya jera, dan berkepastian, dan b. Dan penanganan overcriminalization dan
overreach Hukum Pidana.
Sekaligus mengingat, karena sangat mendesaknya pengesahan RUU KUHP
yang mana masih berisi kekurangan yang sama dengan penerapan KUHP saat ini yang:
sudah pasti tidak adil, tidak memenuhi ketentuan crime does not pay, penerapan
restorative justice yang cenderung tidak jelas dan tambal sulam, tidak memperhatikan
kerugian korban, sehingga sangat tidak mungkin mengejar ketinggalan dengan
perkembangan Hukum Pidana di negara lain 9.
Maka diajukannya tulisan ini yang merupakan sistesis penulisan buku dan
draf buku edisi revisi Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi ini dalam
format rekontruksi konsep-konsep yang ada dalam Hukum Pidana Indonesia ke depan
yang merefleksikan diri dari sifat Ketuhanan dan Pancasila yang tegas-adil, namun welas
asih, dan merupakan hasil mufakat nilai dari nilai-nilai yang berlaku dalam ilmu hukum
pidana.

Ringkasan Dasar Teori
Sebagaimana yang telah dijelaskan Soebekti: hakim dalam memutus perkara
harus melihat 3 hal:
1. Perbuatan melawan hukum: intinya harus salah yaitu memenuhi seluruh ketentuan

unsur delik yang dituduhkan;
2. Pertanggungjawaban pidana (Criminal Liability), dalam hal ini berbicara tentang
beberapa hal antara lain:
a. Kemampuan untuk menerima tanggung jawab pidana seperti umur dan
kesehatan mental;
b. Sengaja atau tidak sengajanya perbuatan: sengaja (Dolus) atau kealpaan
(Culpa);
c. Ada atau tidaknya alasan pembenar, penghapus, pengurangan, dan
pemberatan pidana.
3. Penentuan Hukuman: yaitu penentuan besar sanksi pidana dan/atau sanksi
tindakan.
9

Di Amerika dengan US Sentencing Commission yang sudah berdiri 1984 dengan tabel pedoman
pemidanaanya yang mana berisi 43 Offence Level untuk tabel pemidanaannya, lihat USSC, An Overview
of the UNITED STATES SENTENCING COMMISSION, 5 January 2011,
(https://isb.ussc.gov/files/USSC_Overview.pdf), hlm. 2 dan Wikipedia, United States Federal Sentencing
Guidelines, 27 Juni 2017, (https://en.wikipedia.org/wiki/United_States_Federal_Sentencing_Guidelines)

5

Namun, sampai hari ini tidak ada sistematika maupun teori apapun yang
memberi jawaban bagaimana menghitung beban pemidanaan yang adil: seperti
dikatakan John Kaplan, kebijakan pidana (sanksi) dalam hukum pidana di berbagai
negara cenderung tidak rasional. Menurutnya, sanksi-sanksi yang tersedia untuk delikdelik yang berbeda, sama sekali tanpa suatu dasar atau landasan rasional 10. Sanksi-sanksi
yang berbeda itu, menurut Kaplan, sering kali hanya merupakan refleksi dari perbedaanperbedaan yang kecil yang tidak krusial. Bahkan bagi Guru Besar Hukum Pidana
University Of Nijmigen, J.P. Peter, di Belanda yang sistem peradilan pidananya relatif
maju dan modern, terdapat juga ketidakjelasan kriteria dalam kebijakan penalisasi.
Ketidakjelasan itu mencakup seluruh dimensi pidana, yakni Strafsoort (jenis pidana),
Strafmaat (berat-ringannya pidana), dan Strafmodus-nya (bentuk pengenaan pidananya) 11.
Bahkan dalam KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini masih belum memiliki
pedoman pemidanaan (Straftoemetingsleidraad), saat ini pedoman pemidanaan sudah
diwacanakan dalam kententuan Pasal 55 dan Pasal 56 RUU KUHP tahun 2013 (ke depan
disebut RUU KUHP). Hanya saja pedoman tersebut hanya berupa abstraksi ketentuan
dan masih dirasa terlalu abstrak, kecuali Pasal 56; sehingga tidak mampu memberi
petunjuk bagaimana menghitung pembebanan pemidanaan. Misal: seberapa besar motif
tindak pidana mempengaruhi berat pemidanaan.
Padahal, esensi hukum pidana adalah pemidanaannya. Berdasarkan temuan dalam
penelitian yang berujung Konsep Pemidanaan ini; besar sanksi pidana yang adil, tepat
dan akuntanbilitas yang penting agar Hukum Pidana bisa mencapai tujuannya. 3 alasan
pendapat tersebut antara lain:
1. Pemidanaan adalah esensi dari sistem hukum pidana karena yang terpenting
dari semua pencapaian tujuan hukum pidana mengarah ke besaran
pemidanaan yang dapat mengembalikan keadaan dari yang tidak adil menjadi
adil;
2. Sanksi yang berat sebenarnya adalah pemberi efek deteren/penangkal terhadap
tindak pindana: logika manusia sederhana; jika dihadapkan pilihan yang lebih
tidak menguntungkan, pasti memilih yang lebih menguntungkan oleh karena
itu dalam sistem sanksi pidana harus memastikan pesan sederhana: Crime
does not pay;
3. Jika dilihat alasan kenapa korban melaporkan ke pihak berwajib ialah untuk
meminta pertanggungjawaban pidana pelaku terhadap perbuatan tindak pidana
yang ia lakukan. Kalau hasil hukuman pidana tidak adil, maka korban tentu
mencari jalan lain untuk melampiaskan rasa ketidakadilan yang dideritanya.
Fakta jelas membuktikan; misalnya dengan mediasi penal atau cara lain
seperti carok, ketika hukum pidana tidak dapat memberi keadilan, korban
akan menggunakan cara lain yang terkadang tidak diharapkan oleh hukum.

10

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan konsep
KUHP Baru) , Kencana, Jakarta, 2011, hlm. 175.
11
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 138139.

6

Kembali ke alasan pertama: Pemidanaan adalah esensi dari sistem hukum pidana
karena yang terpenting dari semua pencapaian tujuan hukum pidana mengarah ke besaran
pemidanaan yang dapat mengembalikan keadaan: baik secara teori relatif maupun teori
retributif (murni maupun tidak murni), dari yang tidak adil menjadi adil. Keberhasilan
tujuan pemidanaan dan sistem hukum pidana sangat erat dengan perlakuan dalam
pemidanaan yang menekankan:
a. Perlakuan sikap yang fair, memastikan pemidanaan yang sebanding (atau
lebih besar) dengan nilai kejahatan yang timbul (Didukung oleh: Aristoteles,
Cesare Beccaria, Jeremy Bentham, David Fogel, Sue Titus Reid, dan lain-lain);
b. Menimbulkan efek jera (deterrent effect), dan baru kemudian;
c. Menekankan pada tujuan akhir yaitu upaya pengembalian dari sikap mental
yang sakit untuk diobati dan dikembalikan pada masyarakat.
Tujuan hukum pidana adalah untuk memberikan hukuman (pidana) bagi pelaku
untuk berbagai tujuan seperti revenge theory , expiation theory , special deterrence, global
deterrence, preventive, vindictive tergantung dari sisi mana yang terbaik yang bisa
digunakan. Sanksi pidana memastikan perampasan keuntungan pelaku terhadap tindak
pidana yang telah dilakukan, sehingga menjadi titik pembalik yang memastikan semua
tindak kriminal itu dalam segala hal tidak menguntungkan. Tanpa sanksi pidana atau
sanksi pengganti yang lain (sanksi administratif – dalam double track system12) yang kuat,
maka ketentuan-ketentuan yang dilarang oleh hukum pidana sama sekali tidak bisa
ditegakkan karena logika ekonomi sederhana: tindakan pidana lebih menguntungkan.
Perdebatan antara teori pemidanaan baik teori tujuan pemidanaan retributif
modern (contoh Teori Just Desert - Sue Titus Reid) dan relatif pada awalnya seperti yang
diungkapkan oleh Jeremy Bentham; jika tidak dilihat pada argumen tujuannya, namun
pada titik dimanakah beban sanksi harus diberikan, ternyata saling melengkapi. Ketika
diambil ketentuan sanksi pidana sesuai teori Jeremy Bentham “Nilai penghukuman harus
tidak boleh kurang dalam segala kasus terhadap apa yang cukup untuk menimbang berat
keuntungan pelanggaran” dibandingkan dengan ungkapan Sue Titus Reid bahwa sanksi
pidana harus “cukup untuk menimbang berat keuntungan pelanggaran” adalah bicara
pada titik yang sama.
Kemudian ketika melihat lebih jauh ke belakang dimana Aristoteles menekankan
“untuk mengambil lebih dari apa yang yang didapat pelaku” juga sama dengan ungkapan
Bentham yang mengungkapkan “penghukuman [/pemidanaan] adalah untuk mengobati
sikap mental yang sakit”. Rumusan Aristoteles inilah rumusan yang secara notasi
matematis lebih tepat untuk menggambarkan tujuan pemidanaan relatif Jeremy Bentham,
tanpa mengambil yang lebih dari apa yang didapat pelaku bagaimana cara yang
dikehendaki Jeremy Bentham untuk menjerakan pelaku dan mengembalikannya pada
masyarakat. Disini terlihat bahwa titik temu antara berat sanksi pidana dengan nilai
kerugian korban yang ditimbulkan (atau yang didapat oleh pelaku) adalah apa yang
diperjuangkan Teori Tujuan Pemidanaan Retributif sedangkan Teori Tujuan Pemidanaan
12

“Double Track System, merupakan sistem dua jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana, yakni jenis sanksi
pidana (Punishment) di satu pihak dan jenis sanksi tindakan (Treatment) di pihak lain”: M. Sholehuddin,
Op.cit., hlm. 17.

7

Relatif Jeremy Bentham dan turunannya berbicara tentang titik lebih dari besar nilai
kerugian korban yang tujuannya adalah mengobati sikap mental pelaku yang sakit (bobot
nilai kerugian sosial).
Kemudian disisi lain, perlu juga dijadikan perhatian utama untuk membentuk
suatu sistem sanksi pidana yang bersifat adil dalam arti fair (persamaan perlakuan).
Kalau besarnya sanksi yang merugikan pelaku bisa memberi efek jera (efek deteren),
perlakuan yang manusiawi, welas asih namun tegas dan adillah yang diargumenkan
penulis menjadi satu-satunya cara untuk mengobati sifat mental sakit pelaku; yang untuk
lebih jauhnya akan membawa dia menuju masyarakat yang sadar hukum dan bukan takut
hukum.
Hal ini di atas memperkuat argumen penulis bahwa esensi hukum pidana adalah
pemidanaannya. Jadi perlu suatu sistem pemidanaan yang menjamin tidak terlalu berlebih,
tidak kurang yang memastikan pemenuhan crime does not pay, dan terukur sehingga 2
kasus atau lebih yang sama bisa memiliki beban pidana yang paling tidak sama.
Berdasarkan temuan dalam penelitian yang berujung Konsep Pemidanaan ini; besar
sanksi pidana yang adil, berdaya jera, berkepastian (/tepat) dan transparan (/akuntabel)lah yang penting agar Hukum Pidana bisa mencapai tujuannya.
Titik temu bobot nilai dalam pemidanaan inilah yang menurut penulis adalah
yang paling penting dalam pembangunan keilmuan hukum pidana Indonesia ke depan,
hal ini dapat membawa ilmu hukum tertutama ilmu hukum pidana ke level positifistik
berikutnya setelah Aguste Comte dengan mazab positifistik keilmuan yang kemudian;
menurut penulis, pada ilmu fisika diperkuat oleh perkembangan kalkulus yang salah satu
tokoh yang memegang peran penting yaitu Issac Newton, upaya Issac Newton dalam
menerjemahkan fenomena alam dalam rumusan matematis dengan dasar kalkuluslah
yang memungkinkan manusia dengan cukup presisi menghitung fenomena alam yang
menghubungkan massa, jarak, dan waktu sehingga timbul banyak konsep alam yang bisa
diidentifikasi dan dihitung dengan cukup presisi; yang paling tidak masih dapat
digunakan ilmuan untuk merencanakan penerbangan satelit menuju planet lain, yang juga
menimbulkan beberapa teori-teori baru seperti: percepatan, gaya (force), menghitung
grafitasi, dan 3 hukum mekanika klasik.
Konsep yang diajukan disini membawa positifistik ilmu hukum ke arah berbeda
dengan John Austin maupun membaharuannya oleh H.L.A Hart yang menekankan pada
hukum tertulis dan membawa ke dimensi yang lebih dari teori Analysis Economic of Law
(AEL) dengan pemikiran: jika hukum dapat dianalisa dengan teori ekonomi maka dalam
hukum pasti berlaku variabel-variabel ekonomi, maka sangat mungkin untuk dibangun
suatu model sistem hukum dari nilai-nilai ekonomi.
Hal ini membawa positifisme ilmu hukum terutama ilmu hukum pidana untuk
membuat suatu model berdasar nilai-nilai ekonomi yang juga dianut oleh masyarakat
sehingga dapat membentuk dan mengarahkan masyarakat dengan ketentuan hukum yang
logis dan dapat diterima oleh masyarakat. Hal tersebut juga dapat mendorong positifisme
hukum pidana untuk membentuk ketentuan hukum yang seharusnya ada yang mendorong
nilai-nilai yang dituju seperti keadilan, kepastian, transparasi, memiliki efek jera, dan
dapat memprediksi dengan keakuratan yang cukup tinggi.

8

Melihat beberapa teori seperti a) Teori Pilihan Rasional oleh Gary Becker (1968) 13:
individu menimbang dari berbagai kemungkinan yang ada (untung-rugi) untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu tindak pidana. b) G. Von Mayr - Criminology and
Economic Condition berhasil membuktikan adanya hubungan antara kejahatan dan
kondisi ekonomi negara. c) Teori Willem Boger14 (1905) tentang beberapa unsur yang
menjadi penyebab terjadinya kejahatan faktor nomor 2 (dua)-nya adalah “kesengsaraan”
yang tak lain adalah timbul dari faktor ekonomi. Dan d) oleh Richard Posner dalam teori
Economic Analysis Of Law yang mengkaitkan faktor ekonomi dalam hukum.
Secara singkat dalam konsep PBNKE yang diajukan ini juga berisi penerapan
beberapa teori/konsep penting:
1. Merupakan upaya pemodelan keadilan dengan acuan nilai ekonomi: merupakan
sintesa teori keadilan distributif dan keadilan korektif aristoteles yang sudah
dimoderenisasi oleh teori keadilan John Rawls dan menggunakan nilai timbangan
ekonomi;
2. Merupakan penerapan keadilan berketuhanan dengan harus memastikan
terpenuhinya crime does not pay;
3. Merupakan penerapan teori keadilan restoratif:
a. konsep ini tidak hanya penerapan teori M. Arief Amrullah dengan hukum
pidana yang memperhatikan perbuatan, pelaku, dan korban atau yang
disebut Daad-dader-slachtoffer Strafrecht; namun juga menambahkan
menempatkan keharusan hakim harus memastikan besar nilai kerugian
ekonomi korban sehingga hukum pidana yang direkomendasikan
merupakan suatu sistem yang dibangun dari dasar sebagai sistem yang
menerapkan restorative justice yang mencari keseimbangan antar klaimklaim kerugian para pihak baik korban, negara dan masyarakat, serta sisi
pelaku/terdakwa;
b. konsep ini memasukkan Alternate Dispute Resolution atau mediasi penal
dalam alur proses Hukum Pidana dan memberi ketegasan: alur mediasi
penal harus dipastikan tidak boleh kurang dari crime does not pay,
sehingga merupakan penerapan restorative justice juga karena konsep
utama restorative justice yang mencolok adalah mendorong upaya
pengembalian menjadi pilihan yang terutama dari pada menjatuhkan
sanksi pidana penjara;
c. ini berarti keadilan restoratif (restorative justice) berisi ketentuan
(sebagaimana ketentuan keadilan korektif Aristoteles) suatu sistem yang
berusaha mengembalikan keseimbangan antara korban dan pelaku
kejahatan dengan memastikan mengambil lebih dari yang didapat dari
tindak kejahatan tersebut, dan mengembalikan kerugian kembali kepada
korban dengan janji untuk tetap adil bagi pelaku/terpidana yang mana
memberi janji setiap upaya baik pelaku mendapat reward; yang pantas
secara tertulis dalam sistemnya (baca poin No.6 di bawah).

13
14

Abintoro Prakoso, Kriminologi & Hukum Pidana, Yogyakarta : Laksbang Grafika, 2013, hlm. 136.
Ibid., hlm. 98.

9

4. Mengajukan konsep menggunakan 1 (satu) standar menghitung sanksi pidana dan
pemidanaan yang menggunakan Nilai Ekonomi (NE); yang paling tidak satu
pandangan dengan teori Analisis Ekonomi Micro Terhadap Hukum Pidana. Nilai
Ekonomi (NE) adalah bobot nilai yang dihitung dengan nilai ekonomi. Ini adalah
hasil sintesa pemikiran sederhana jika hukum bisa dianalisa dengan ilmu ekonomi
maka “sistem” hukum sangat mungkin dibangun dengan variabel atau nilai
ekonomi.
5. Mengajukan konsep/teori pemidanaan dan tujuan pemidanaan yang diajukan
untuk menjembatani 2 konsep besar yang selama ini dianggap terpisah; teori
tujuan pemidanaan retributif dan tujuan pemidanaan relatif, menjadi 1 konsep:
konsep/teori tujuan pemidanaan pemenuhan crime does not pay atau yang pada
edisi revisi ini disebut ratio-legis pemidanaan 15 yang intinya penjatuhan sanksi
pidana; bukan sebagai bentuk balas dendam ataupun penistaan namun, sebagai
bentuk pembayaran hutang kerugian yang timbul dari tindak pidana kepada semua
pihak yang terkena rugi yaitu korban dan negara (serta/atau masyarakat).
Rumusannya:
NE Pemidanaan = Kerugian Ekonomis Korban + Kerugian Sosial
Sedikit mundur ke belakang, Konsep kesetaraan nilai pemidanaan dengan nilai
Kerugian Ekonomi Korban dan nilai ekonomis Kerugian Sosial paling tidak
didukung oleh teori-teori sebelumnya yaitu:


Nigel Walker: dasar tujuan pemidanaan “retributif adalah beratnya sanksi
harus berhubungan dengan besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh
pelanggar ”16.



Jeremy Bentham: Nilai penghukuman harus tidak boleh kurang dalam
segala kasus terhadap apa yang cukup untuk menimbang berat keuntungan
pelanggaran 17.



Aristoteles: Untuk mengembalikan kondisi para pihak kembali berimbang,
seorang hakim harus mengambil jumlah yang lebih dari yang sama yang
dimiliki pelanggar 18.

Yang Notasi matematisnya adalah:
NE Pemidanaan ≥ Kerugian Ekonomi Korban
Untuk memastikan pencapaian yang pasti dan adil bagi terpidana maka
seberapa besar bobot nilai ekonomi Pemidanaan yang mungkin lebih dari nilai
Kerugian Ekonomi Korban, serta sebagai penerapan teori tujuan pemidanaan
15

T.J. Gunawan, Draft Buku Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi edisi revisi. Bab 7.3.
Ratio-legis Pemidanaan: Pemenuhan Crime Does Not Pay.
16
Dalam buku: Sentencing in a Rational Society tahun 1971, dikutip dari M. Sholehuddin, Op. cit., hlm. 3637
17
T.J. Gunawan, Konsep Pemidanaan... Op.Cit., Bab 4.3. Eksistensi Pemidanaan atau Hukuman.
18
Ibid., Bab 3.2. Tentang Keadilan .

10

relatif yang menekankan bobot nilai pemidanaan sebagai bobot kerugian negara
dan/atau masyarakat atas sikap mental yang sakit maka ditambahkan variabel
nilai ekonomi Kerugian Sosial.
6. Mengajukan konsep/teori pemidanaan menjadi 1 rumusan bahwa nilai
pemidanaan secara keseluruhan adalah total nilai semua tipe sanksi pidana yang
bisa dijatuhkan pada terpidana; dan bukan seperti yang berlaku pada Hukum
Indonesia saat ini yang terpisah-pisah (pemisahan pidana dan perdata), serta tidak
ada kesetaraan dan cenderung tidak rasional antara sanksi pidana penjara dan
sanksi pidana tindakan yang lain seperti pidana denda, pencabutan hak, dan
sanksi-sanksi pidana tindakan lain. Ini merupakan penerapan Teori Double Track
System dalam sanksi-sanksi hukum pidana oleh M. Sholehuddin yang mendorong
kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan (atau sanksi administratif) 19
sekaligus penerapan restorative justice (keadilan restoratif). Dengan
mempertimbangkan masukan para senior yang menekankan pentingnya masingmasing variabel yang ada dalam pemidanaan yang menekankan pemisahan sanksi
tindakan/administratif terlepas dari pengembalian / restitusi pada korban, maka
Pemidanaan secara sekeluruhan berisi sanksi pidana, sanksi tindakan, dan
restitusi/pengembalian yang mana harus setara dan secara total merupakan nilai
pertanggung jawaban terpidana secara menyeluruh. Maka penulis
mengembangkan rumusannya:
NE Pemidanaan = NE Sanksi Pidana + NE Sanksi Tindakan + Pengembalian
7. Mengajukan konsep/teori kesetaraan sanksi pidana penjara yang nilai ekonomis
per waktu harus menggambarkan kesetaraan dengan nilai ekonomis orang lain
bekerja secara sah dalam kondisi yang kurang beruntung.
Yang mana
rumusannya:
NE Sanksi Pidana (/ Bulan) = UMR
Dimana: Nilai Upah Minimum Regional / Bulan = UMR
Jadi, Nilai Ekonomi Sanksi Pidana atau yang rumusannya disebut NE Sanksi
Pidana adalah:
NE Sanksi Pidana = Pidana Penjara (/Bulan) x UMR
8. Atas konsep-konsep yang diajukan di atas didapat suatu rumusan sanksi pidana
penjara yang harus dijalani menjadi satu konsep yaitu konsep sanksi pidana
penjara berbasis nilai ekonomi yang memperhatikan keseimbangan terpidana
dengan klaim kerugian-kerugian ekonomis korban dan negara yang diterima
hakim, sehingga rumusannya menjadi:
NE Sanksi Pidana + NE Sanksi Tindakan + Pengembalian =
Kerugian Ekonomis Korban + Kerugian Sosial
19

Nama yang teridentifikasi disebut oleh Romli dan Kodrat yang mengutip Oswald Jansen (2013) lihat:
Romli Atmasasmika dan Kodrat Wibowo, Analisis Mikro Ekonomi Tentang Hukum Pidana Indonesia,
Jakarta: Prenadamedia Group, 2016, Hal:22.

11

Pidana Penjara (/Bulan) x UMR + NE Sanksi Tindakan + Pengembalian =
Kerugian Ekonomis Korban + Kerugian Sosial
Pidana Penjara (/Bulan) x UMR =
Kerugian Ekonomis Korban + Kerugian Sosial
- NE Sanksi Tindakan - Pengembalian
Jika ada sanksi Pidana Penjara biasanya Sanksi Tindakan adalah tidak ada (0), maka:
Pidana Penjara = Kerugian Ekonomis + Kerugian Sosial – Pengembalian
(dalam Bulan)
UMR

Rumusan di atas adalah rumusan akhir yang didapat untuk menjelaskan
secara sederhana Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi (Konsep
PBNKE) ini yang terdiri dari beberapa sub konsep, namun rumusan di atas masingmasing bukanlah keseluruhan ataupun inti dari konsep PBNKE. Konsep ini adalah
gabungan konsep-konsep di atas yang menekankan pada pentingnya keadilan dengan
mengutamakan upaya pengembalian keadaan supaya adil. Sehingga sangat penting dalam
konsep ini untuk mencari keseimbangan yang menyeluruh terhadap klaim-klaim kerugian
para pihak.

Kepentingan Korban +
Negara

Kepentingan Pelaku

Pemidanaan,
dan/atau Tindakan

Kerugian Ekonomis
Korban

Pengembalian

Kerugian Sosial

Gambar 1 : Skema Timbangan Pembentukan Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian
Ekonomi.

12

Dengan rumusan yang adil demikian, penulis berpendapat bahwa tujuan
hukum pidana dapat tercapai karena secara sistematika sudah menekankan upaya mencari
titik tengah yang adil yang tidak membutuhkan upaya tambahan dari para pihak untuk
bisa menggeser hukum pidana sesuai arah yang dikehendaki. Dengan pola pikir (mindset)
pemidanaan bukan sebagai penistaan melainkan sebagai bentuk kontrak kerja paksa
sosial untuk membayar hutang yang ditimbulkan akibat tindak pidana pelaku yang
menimbulkan kerugian terhadap korban dan negara. Paling tidak, hal ini setara dengan
apa yang diungkapkan pada simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada
tahun 1980.20

Rancang Bangun Hukum Pidana yang Dituju
Rancang bangun Hukum Pidana ini diajukan karena terdeteksi banyak
konsep/teori yang belum masuk dalam rancangan Hukum Pidana yang ada saat ini,
beberapa di antaranya: a) konsep pemenuhan crime does not pay, b) konsep restorative
justice yang meniru hukum karma, c) mufakat nilai konsep-konsep yang ada yang
penerapan konsepnya meniru teori Reflective Equilibrium- John Rawl dan aplikasinya
yang merupakan hasil statistika, d) konsep penetapan kerugian ekonomi korban, e)
konsep mufakat nilai kerugian korban non-ekonomi yang menggunakan statistika biaya
korban dalam golongan tertentu untuk pulih yang paling tidak seperti orang lain sebagai
janji batasan minimum dalam Hukum Pidana memberi perlindungan, f) hak terpidana
yang tidak bisa dilanggar (Inviolability of Humand Rights) yang melahirkan dorongan
untuk memperdayakan terpidana, g) Konsep nilai ekonomi kerugian sosial, yang
didalamnya ada: h) Kerugian masyarakat, dan i) kerugian negara yang harus ikut
diperhitungkan dalam menilai suatu kasus, serta di dalam kerugian negara juga
memasukkan perlunya j) insentif aparat untuk keberhasilannya memulihkan keadaan.
Belum lagi beberapa konsep lain seperti pemidanaan generasi ke empat
yang juga didalamnya terdapat konsep reintegratif shaming – penjatuhan sanksi
pemaluan, upaya penanganan overcriminalization, undercriminalization, overreach of
Criminal Justice System. Penanganan Hukum Pidana yang tidak lagi “tajam ke bawah
dan tumpul di atas” namun sudah mengarah pada “tumpul ke atas dan tumpul ke bawah”.
Terilhami dari sifat keadilan Tuhan yang tegas namun welas asih yang
didapat dari hasil kontemplasi dengan hukum karma atau hukum sebat-akibat, maka
dapat dengan mudah dilihat bahwa Tuhan yang Maha Adil dipercaya pasti memberi
sanksi yang setimpal atas setiap perbuatan jahat manusia yang pasti dituai di kehidupan
ini, dan/atau kehidupan setelah, di sisi lain terlihat juga sifat welas asih Tuhan
sedemikian bagi umat yang percaya hukum karma dipercaya manusia masih bisa
menebus dosanya dengan perbuatan baik. Jadi sifat Ketuhanan mewakili 2 konsep yang
harus berjalan bersama yaitu a. keadilan; yang berisi ketentuan persamaan perlakuan
yang sama untuk semua tanpa pandang bulu dan ketegasan yang memastikan
menghukum karma jahat, dan b. Sikap welas asih Tuhan yang tidak begitu saja
20

T.J. Gunawan, Konsep PBNKE, Op.Cit., Bab 4.4.3. Eksistensi Pemidanaan atau Hukuman, dan Bab 4.4.1.
Perkembangan Tujuan Pemidanaan.

13

menghukum manusia; yang tidak sempurna dan penuh dosa ini, dengan kepastian
penistaan. Bayangkan jika Tuhan yang Maha Tahu memiliki prinsip menjatuhkan
hukuman seperti Hukum Pidana manusia saat ini: tentu manusia tidak akan hidup seperti
saat ini.
Jikalau Tuhan tidak bersikap demikian, mengapa Hukum Pidana manusia
bisa bersifat begitu kejam: “tidak perduli perbuatan baik apa yang anda lakukan, kalau
anda salah ya anda harus dipenjara”. Sifat keharusan menang telak atau kalah total dalam
Hukum Pidana inilah yang patut dikritisi, mindset ini sudah mendarah daging baik di
seluruh level aparat penegak hukum seperti kepolisian, jaksa, dan kehakiman. Karakter
keadilan yang merefleksikan diri dari Tuhan sangat jelas menunjukkan upaya mencari
keseimbangan antara besar karma buruk yang diperbuat dan karma baik sebagai
pengurang yang pada intinya adalah upaya mencari keseimbangan. Jadi hendaknya
Hukum Pidana Indonesia juga merupakan suatu sistem yang mencari keseimbangan –
sebagaimana juga sempat diungkap Didik Endro Purwoleksono dari UNAIR Surabaya.
Sifat ketegasan Tuhan inilah yang juga mendorong penulis untuk
mengkukuhkan bahwa Hukum Pidana Indonesia ke depan dalam segala hal harus
memenuhi ketentuan crime does not pay. Sedang sifat welas asih Tuhan menyakinkan
penulis bahwa Hukum Pidana Indonesia ke depan harus merupakan penerapan keadilan
restoratif.
Disisi lain, sebagai diungkap Barda Nawawi Arief sempat mengungkapkan
keraguannya dalam acara bedah buku Konsep PNBKE ini: ada keraguan bagaimana
sistem yang dibuat manusia ini bisa mengimbangi keadilan Tuhan, apalagi jika dilihat
apa yang diajukan konsep ini hanya menggunakan variabel nilai ekonomi. Jujur diakui
penulis bahwa memang sangat sulit untuk bisa mengusung suatu sistem yang pasti adil
100%, keadilan murni dan kesempurnaan adalah milikNya semata.
Namun dengan memegang nilai musyawarah untuk mufakat nilai yang
bersumber dari ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila; konsep ini berani diajukan
dengan pendekatan bahwa dengan mufakat nilai untuk mencari dan menentukan besarnya
nilai ekonomi kerugian minium korban sehingga memastikan jaminan Hukum Pidana
untuk dapat melindungi korban: bahwa pertanggung jawaban pidana pelaku pasti lebih
dari besar kerugian yang korban derita. Hal tersebut sendiri sudah bisa menjadi insentif
penggunaan konsep ini karena konsep ini menawarkan tolok ukur yang nyata yang
memasikan jaminan minimum kepentingan korban sudah terpenuhi hingga tidak perlu
lagi upaya tambahan untuk meminta keadilan. Inilah salah satu alasan mengapa Hukum
Pidana yang menerapkan konsep ini akan dengan mudah mencapai tujuannya: untuk
mencapai upaya perdamaian para pihak.
Terlepas dengan adanya kemungkinan konversi nilai ekonomi masih
mungkin tidak bisa mencapai keadilan sejati, konsep ini bisa membuktikan bahwa apa
yang ada dalam delik-delik pidana KUHP saat ini (dan sangat mungkin RUU KUHP-nya)
jauh lebih kecil dari nilai yang dapat dinilai korban dan/atau keluarga korban adalah titik
yang adil. Dari keilmuan lain seperti ilmu asuransi; adanya nilai Human Life Values /
Nilai Hidup Manusia yang digunakan untuk menghitung kerugian yang timbul akibat
kematian seseorang secara prematur, ataupun logika sederhana bahwa manusia masa
produktifnya adalah 49 tahun (15 hingga 64 tahun), belum lagi jika pembunuhan tersebut

14

mungkin saja bermotif untuk mendapat keuntungan ekonomi yang luar biasa besar.
Pertanyaannya adalah apakah 15 tahun pidana penjara cukup untuk membayar kerugian
sebesar itu?
Memang di akui adanya hukuman mati dan hukuman seumur hidup sebagai
batasan maksimum delik hukum pidana, hal ini sama dengan pendekatan banyak Hukum
Pidana negara lain. Masalahnya adalah seumur hidup itu susah untuk diquantifikasi
nilainya, dalam hal kalau tidak bisa dikuantifikasikan nilainya dan mewakili nilai yang
besar bisa disamakan dengan nilai yang tidak berbatas (infinity). Hal ini juga
menimbulkan problematika sendiri: semisal UMR yang berlaku adalah 2,6 Juta Rupiah/
bulan, maka ada gap yang begitu besar antara nilai 15 tahun penjara (= Rp. 468.000.000,-)
dengan nilai infinity. Di sisi lain perkembangan ekonomi manusia sudah mulai
menyentuh angka yang jauh di luar itu, sudah bicara angka milyar, puluh milyar, ratus
milyar, bahkan trilliun Rupiah. Jadi jika Hukum Pidana tidak bisa menkuantifikasikan
kerugian dengan angka-angka demikian besar, bagaimana Hukum Pidana bisa
menghasilkan solusi pengembalian keadaan yang mewakili kepentingan para pihak baik
pelaku, korban, dan negara?
Kesalahan yang sama juga terlihat bahkan pada tabel pedomana pemidanaan
Amerika (US Sentencing Guidelines) yang mematok sanksi pidana maksimum sebelum
sanksi pidana seumur hidup yaitu 360 bulan atau 30 tahun.
Jadi secara singkat, konsep yang diajukan ini merupakan rekonstruksi
konsep-konsep Hukum Pidana yang berbasis Ketuhanan dan Pancasila. Digabungkan
dengan beberapa konsep/teori yang ada dalam ilmu Hukum Pidana baik yang sudah
masuk dalam Hukum Pidana yang berlaku saat ini maupun yang belum dengan mudah
didapat suatu rancang bangun yang mengarah pada pembentukan timbangan Pemidanaan
yang berkeadilan, berdaya jera, dan berkepastian.

15

Konsep PBNKE yang diajukan disini tidak hanya memberikan landasan
secara filosofis, konsep ini berisi kententuan yang siap untuk dipakai pada taraf normatif
hingga praktek sekaligus yang bisa digunakan oleh semua tingkatan aparat penegak
hukum; baik kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Dan diyakini bisa menjadi suatu cara
unifikasi teori-teori pidana yang saat ini sering terpecah-pecah seperti pidana ringan,
pidana umum, pidana lingkungan, hingga pidana korupsi.
Konsep ini menjanjikan suatu komitmen keadilan baik bagi korban, negara,
dan/atau masyarakat, serta pada pelaku/terpidana sekaligus, konsep yang sangat mungkin
digunakan untuk pedoman pemidanaan (sentencing guideline ), politik pemidanaan
(sentencing policy), bahkan sedikit berusaha memperbaiki arah pandang dalam politik
hukum pidana (criminal justice policy). Konsep ini juga terlihat sangat mungkin menjadi
rancang bangun suatu timbangan pemidanaan yang mengembalikan kembali kewenganan

16

hukum dan bukan kewenangan pejabat yang terkait untuk merumuskan apa yang adil
bagi semua pihak.
Pada akhirnya penulis hendak menanyakan, siapakah manusia yang lebih
hebat dari Superman? Kalau dalam cerita film Dawn of Justice; sang penjahat Lex Lutor
mampu menyandera Superman untuk bertempur hidup atau mati dengan Batman dengan
menyandera Ibu angkatnya (Marta); hingga seorang Superman pun bisa mengungkapkan
kalimat, “di dunia seperti ini siapakah yang bisa tetap baik?”. Mari kita pikirkan, apakah
kita puas dengan membentuk sistem yang mengarahkan namun tidak bisa memberi acuan
yang detail seperti memberi suatu alat ukur atau timbangan yang akan digunakan aparat
yang kita percayai, apakah anda yakin mereka yang kita percayai ini siap untuk
mengorbankan karir masa depannya, kehormatan, atau nyawa istri dan/atau anak-anaknya
untuk memegang teguh nilai-nilai yang kita junjung dalam Hukum Pidana?
Dengan adanya suatu timbangan baku, atau kalau dalam ilmu informatika
disebut decission support system, bagi aparat penegak hukum, maka siapapun baik
atasannya atau pihak lain yang berusaha menggeser hasil putusan Hukum Pidana ke arah
yang dikehendaki akan berhadapan dengan Hukum Pidana itu sendiri; keberadaan
timbangan menjadikan semua putusan dapat dianalisa sehingga lebih pasti, lebih
transparan, dan accountable, pejabat dalam tekananpun bisa menggunakan timbangan ini
sebagai perisai atas tekanan-tekanan yang ada.
Konsep ini juga menjadikan Hukum Pidana menjadi lebih manusiawi;
sebagai mahluk yang tidak sempurna pasti kita memiliki kelemahan atau kesalahan, yang
terpenting yang diajukan dalam konsep ini adalah upaya pengembaliaan keadaan dan
bukan upaya penistaan terhadap suatu perbuatan. Yang terpenting ketika sudah terpenuhi
crime does not pay maka:


Pihak korban bisa dipuaskan sehingga berujung kedamaian: Hukum Pidana
yang mengadopsi konsep ini memastikan besar kerugian korban dicatat dan
oleh karenanya bisa dikembalikan kepada korban/ keluarga korban;



Tiada pidana tanpa adanya kerugian yang belum terbayar; baik kerugian
korban dan kerugian negara dan/atau masyarakat;



Setelah terpenuhi crime does not pay maka pelaku pun bisa segera mungkin
berkarya ditengah masyarakat;



Pemenuhan crime does not pay menjadi acuan yang sesuai dengan teori tujuan
pemidanaan relatif yang bertujuan untuk menjerakan; dan, bukankah setelah
terpenuhinya ketentuan crime does not pay – tindak kejahatan merugikan
menjadikan suatu pesan sederhana yang bisa sangat diterima dan disadari
masyarakat.

Selain itu konsep ini mengajukan beberapa pemikiran dalam rancang
bangun Hukum Pidana ke depan antara lain:


Hak seorang terpidana untuk diberdayakan; pemberdayaan tidak boleh
dipaksakan namun dalam sistem lembaga pemasyarakatan yang mendorong
upaya persiapan terpidana untuk dikembalikan kepada masyarakat harus berisi
17

opsi-opsi yang bisa dipilih terpidana untuk melakukannya sendiri dan semakin
berguna bagi negara semakin cepat pembebasannya yang dihitung berdasar
merit yang dicapai;


Disini juga menanyakan sampai mana titik pemidanaan adalah beban negara
dan sampai mana adalah bentuk pertanggung jawaban pelaku; kalau
pemidanaan adalah murni beban negara maka bagaimana formulasi untuk
mengembalikan keadaan bisa dibentuk? Pemidanaan adalah tetap beban
terpidana karena:
o ketika dalam terpidana bekerja selama dalam sistem lembaga
pemasyarakatan kebebasannya dirampas yang mana nilai kerugian
yang dia derita dianggap impas dengan beban negara untuk
mengurungnya;
o waktu terpidana di dalam sistem lembaga pemasyarakatan maka waktu
produktifnya dinilai minimum sama dengan UMR pada saat ia
melakukan kejahatan: untuk pemenuhan kesetaraan nilai pemidanaan
dengan nilai ekonomi yang didapat orang lain waktu itu dan di tempat
kejadian perkara dan dalam kondisi yang paling kurang beruntung
(gaji UMR);
o Ketika terpidana sudah membayar kerugian yang ia timbulkan baik
dengan sanksi penjara, sanksi tindakan, dan/atau dengan pengembalian,
maka setiap penahanan kebebasan terpidana tersebut adalah kerugian
negara karena dalam kondisi bebas tentu banyak insentif yang ada
dalam kondisi bebas yang mendorong seseorang untuk berusaha
bekerja lebih untuk mendapatkan hasil yang lebih besar; pada akhirnya,
disini di lihat bahwa negara melihat mengumpulan sumber daya (baik
materi maupun finansial) masing-masing anggota masyarakatnya
secara sah adalah penambahan sumber daya bagi negara.



Ini juga akan mengurangi beban yang ditanggung negara saat ini yang
digunakan untuk lembaga pemasyarakatan yang kedepan diharapkan dengan
perlakuan yang welas asih kepada terpidana dan pemberdayaannya akan
mendorong produktifitas sehingga upaya lembaga pemasyarakatan bisa:
o Menjadi sumber pendanaan yang mampu membiayai sebagian besar
(atau bahkan semua) biaya operasionalnya sendiri;
o Mengadakan dorongan bagi para terpidana untuk ikut berkompetisi
untuk berguna bagi negara dan bangsa dengan imbalan langsung yang
mengurangi kerugian yang ia harus bayar dengan sanksi pindana
penjara;
o Mengadakan struktur sosial yang berlaku pada masyarakat bebas yaitu
struktus sosial yang dibangun dari merit yang diberikan kepada sistem
/ negara.

18

Di sisi lain, jaminan keadilan bagi terpidana juga menjadi jawaban untuk
problematika overcriminalization dan overreach of criminal justice system. Timbangan
yang menjanjikan perlindungan ada batasan maksimum sesuai dengan kondisi jiwa
pelaku yang sakit yang dihitung secara sistematis dengan milestone seperti penerapan
ilmu manajemen menghitung Key Performance Index (KPI)
Konsep ini memberi alat yang memudahkan menghitung kapan terjadi
overcriminalization: jika UMR di tempat itu dan di saat itu adalah 2,6 Juta Rupiah, maka
1 hari kerjanya (1 bulan = 26 hari kerja) memiliki nilai ekonomi Rp.100.000,- (seratus ribu
rupiah). Tentu kita mulai bisa nilai secara objektif teriakan masyarakat ketika melihat
kasus kasus pencurian ringan yang membelit tersangka terlalu jauh berlebih dari besar
kerugian yang pelaku timbulkan. Kita dapat mudah menilai bahwa kasus kasus pencurian
sandal, kokoa, batang kayu kecil; yang nilainya sangat kecil, apa layak harus melalui
proses yang begitu lama dan menghabiskan biaya tersangka dan aparat negara (1 bulan
proses persidangan itu beban emosi ke pelaku yang terlalu lama dan merugikan).
Konsep ini juga mampu memberi acuan kapan sang korban mulai
menggunakan kesempatan untuk meminta pertanggung jawaban yang terlalu berlebih
kepada pelaku, hal ini bisa menjadi penyebab mengapa terjadi overcriminalization dan
bagaimana mengeliminasinya, atau lebih jauh: menghitung selisih permintaan korban
(yang saat itu menjadi predaktor) yang sepantasnya dengan apa yang dia minta yang
kalau diperlukan dan karena terindikasi sangat kuat adanya sifat jahat dari yang semula
sang korban ini untuk dibalik dimintai pertanggung jawaban padanya atas sifat
predaktorialnya yang merugikan pelaku dan negara. Disini, konsep ini juga bisa menjadi
jawaban bagi pihak pihak kor