Peran Komunitas dan Desa dalam Pembangun

Peran Komunitas dan Desa dalam
Pembangunan Wilayah Berkelanjutan
Thomas Oni Veriasa
Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Perdesaaan (PWD)- IPB

Paradigma Pembangunan Wilayah Berkelanjutan
Pembangunan sering dianggap sebagai “obat” bagi penyelesaian masalah
yang muncul di masyarakat terutama pada negara-negara berkembang dan
dunia ketiga. Sehingga pendekatan pembangunan yang digunakan adalah
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dengan asumsi hal tersebut mampu
meningkatkan standar kehidupan masyarakat. Indikator-indikator ekonomi
seperti GNP (gross national product) dan PDRB (Produk Domestik Regional
Bruto) menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan sehingga hal tersebut
menjadi prioritas dan seringkali mengabaikan aspek lingkungan dan sosial.
Pembangunan seperti ini, logikanya memiliki tujuan dan sasaran yang
cenderung berpusat pada produksi atau yang biasa di kenal sebagai
paradigma production centered development. Ekstraksi dan ekploitasi sumber
daya alam menjadi tumpuan pembangunan agar menghasilkan produsi bagi
masyarakat banyak. Kontrol pembangunan sangat sentralistik dan top-down
serta terpusat dan cenderung berpihak pada masyarakat kelas menengah

perkotaan dan mengabaikan masyarakat perdesaan.
Hasilnya, yang didapat yaitu peningkatan ekonomi jangka pendek, dan tidak
memperhatikan karakteristik kemampuan sosial dan lingkungan. Kerusakan
sumber daya alam dan penurunan daya dukung lingkungan tidak sebanding
dengan manfaat ekonomi yang di dapat. Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
mengatasi degradasi lingkungan ternyata lebih besar dari biaya-biaya
produksinya. Hasil-hasil pembangunan yang hanya bertumpu pada
pertumbuhan ekonomi saja, ternyata tidak selalu diikuti dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakat secara luas.
Hal ini di perparah dengan ketiadaan political will dari pengambil kebijakan,
sehingga kepentingan-kepentingan akan ruang terutama yang terkait dengan
sumber daya alam, selalu berpihak kepada pengusaha. Padahal, sumbersumber kekayaan alam tersebut umumnya berada di wilayah desa dan jika
terjadi kerusakan lingkungan maka masyarakat desa lah yang akan
menerima dampaknya.
Oleh karena itu, pergeseran paradigma pembangunan mutlak di perlukan.
Dengan kondisi sumber daya lahan yang terbatas dan tetap sementara jumlah
peduduk terus meningkat, maka diperlukan kemampuan untuk

menyesuaikan penggunaan lahan yang serasional mungkin, teknologi
produksi yang berkelanjutan dan mampu memenuhi berbagai kebutuhan

masyarakat sementara pada saat yang sama melindungi ekosistem yang
rentan dan kekayaan genetis.
Paradigma pembangunan berkelanjutan dapat dipandang sebagai suatu
tindakan penyeimbangan yang menyertakan berbagai bentuk sumber daya.
Menurut Brutland Report dalam sidang PBB tahun 1987, pembangunan
berkelanjutan atau dalam bahasa Inggris sering disebut sustainable
development merupakan proses pembangunan yang berprinsip untuk
memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi
yang akan datang. Pembangunan ini tetap bertujuan meningkatkan standard
dan kualitas hidup masyarakat tetapi secara bersamaan melakukan
perlindungan sumber daya alam dan peningkatan modal sosial masyarakat.
Komunitas dan desa dalam Konteks Pembangunan Wilayah
Secara definisi, komunitas adalah suatu unit atau kesatuan sosial yang
terorganisasikan ke dalam kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan
bersama (common interest) baik bersifat fungsional maupun yang
mempunyai teritorial. Definisi lain tentang komunitas adalah masyarakat
yang bertempat tinggal di dalam wilayah geografi dengan batas-batas
tertentu dan memiliki ikatan sosial dan psikologi satu dengan yang lain dan
dengan tempat dimana mereka tinggal. (Mattessich dan Monsey, 2004 dalam
Phillips dan Pittman (eds), 2009).

Sedangkan definisi desa menurut UU no 6 tahun 2014 adalah “Desa
merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak
asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Kalau merujuk dari definisi keduanya, komunitas dan desa merupakan suatu
hal yang saling terkait dan saling menguatkan. Komunitas merupakan entitas
yang memiliki interaksi sosial dan kepentingan yang sama di dalam suatu
wilayah teritori yaitu desa. Interaksi sosial tersebut menghasilkan berbagai
kelembagaan yang sesuai dengan kepentingan penduduk desa.
Dalam konteks sejarah perkembangan negara Republik Indonesia,
kelembagaan desa telah mengalami tranformasi sosial. Kehancuran
kelembagaan desa telah terjadi sejak jaman kolonialisme, dimana penjajah
melakukan perubahan kelembagaan desa yang tadinya mandiri dan mampu
menyelesaikan masalah desanya sendiri, menjadi perpanjangan alat
kekuasaan sekaligus pekerja mereka. Kemudian, setelah Indonesia merdeka,
kondisi ini tidak semakin baik, pemerintah saat itu juga menggunakan kepala

desa sebagai perpanjangan tangan dan alat penguasa. Kebijakan yang jelas

sekali terlihat yaitu munculnya UU No.5 tahun 1979 yang bertujuan
menyeragamkan desa di seluruh Indonesia. Aturan ini sama sekali tidak
memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kelembagaan yang sudah
ada dan berkembang di masyarakat.
Pola pembangunan wilayah yang sentralistik ini telah melahirkan kebijakankebijakan pembangunan dengan pola-pola top-down. Pendekatan ini tanpa
disadari telah memarginalkan keberadaan masyarakat secara luas sampai ke
desa-desa, karena setiap permasalahan pembangunan wilayah di daerah,
selalu dan “harus” atas petunjuk dari pemerintah Pusat. Pendekatan ini telah
menyebabkan kerusakan struktur sosial masyarakat dimana masyarakat desa
tidak mengenal kesatuan-kesatuan sosial dan organisasi adat serta terjadi
penurunan modal sosial (social capital) seperti hilangnya nilai-nilai gotongroyong dan tumbuhnya sikap individualis dan apatis. Akibat pengabaian dan
pembiaran ini, masyarakat cenderung acuh terhadap perubahan lingkungan
di wilayahnya.
Munculnya gerakan-gerakan untuk merubah paradigma kebijakan yang
sentralistik dengan kebijakan yang desentralistik semakin terus menguat
sejak lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah yang kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, digantikan lagi dengan UU 23 tahun 2014 tentang pemerintahan
daerah serta direvisi 2 (dua) kali melalui UU no 9/2015. Undang-Undang ini
memberikan ruang gerak untuk mewujudkan mekanisme pembangunan yang

lebih praktis dengan kebijakan yang lebih representatif dan
mengakomodasikan kepentingan masyarakat. Dengan kata lain, bahwa
pelibatan aktif masyarakat mulai dari tingkat desa di dalam pengambilan
kebijakan pembangunan daerah mutlak diperlukan.
Gagasan-gagasan tentang kemandirian desa ini terus bergulir dan menjadi
momentum dengan lahirnya UU no 6 tahun 2014 tentang Desa. Butuh waktu
16 tahun bagi pemerintah, sejak desentralisasi digulirkan, untuk mengakui
bahwa desa merupakan bagian yang penting dalam proses pembangunan
nasional. Sesuai dengan amanat UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, tujuan
pembangunan desa adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan
kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui
pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa,
membangun potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumberdaya alam dan
lingkungan secara berkelanjutan.
Kalau kita merujuk data yang ada, lahirnya Undang-Undang ini dapat
dipahami, mengingat dari sekitar 234,2 juta penduduk Indonesia, sekitar
14,15 % adalah penduduk miskin, dan mereka umumnya tinggal di
perdesaan dan daerah kumuh perkotaan. Menurut data Kementrian Dalam

Negeri dalam buku induk kode dan data wilayah administrasi pemerintahan

per provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan seluruh Indonesia tahun 2013,
terdapat 72.944 wilayah administrasi desa dan 8.309 wilayah administrasi
kelurahan (Kementrian Dalam Negeri, 2013: online). Ironisnya, 63,25 %
penduduk miskin di Indonesia tinggal di pedesaan. Kondisi ini semakin
menambah beban desa yang sudah demikian berat sehingga semakin sulit
untuk mandiri.
Undang-Undang desa ini merupakan transisi dan memberikan dasar menuju
pemberdayaan komunitas yaitu bahwa desa tidak lagi merupakan level
administrasi, tidak lagi menjadi bawahan daerah, tetapi menjadi komunitas
yang mandiri. Sehingga setiap warga desa dan masyarakat desanya berhak
berbicara atas kepentingan sendiri dan mengatur wilayah desanya sendiri
dan bukan dari petunjuk pemerintah pusat seperti selama ini terjadi.
Keberadaan Undang-Undang desa ini, setidaknya memberikan harapan bagi
perubahan tentang tata cara pembangunan wilayah di Indonesia saat ini.
Kebijakan-kebijakan yang dulu selalu diinisiasi dengan pendekatan top-down
diharapkan dapat diinisasiasi dengan pendekatan bottom-up melalui
pelibatan dan partisipasi masyarakat desa dalam perencanan dan
pengelolaan dan pengawasan pembangunan. Partisipasi ini seharusnya
dibangun dan dikembangkan mulai dari lapisan masyarakat terendah.
Desa dan kelembagaan desa dapat merekonstruksi pembangunan di

wilayahnya melalui penataan ruang desa sesuai dengan daya dukung wilayah
mereka. Keterlibatan masyarakat melalui kelembagaan desa mutlak
diperlukan sebagai motor penggerak pembangunan wilayah desa.
Keterlibatan masyarakat tersebut sangat penting karena masyarakat tersebut
merupakan benteng terakhir bagi kelangsungan dan keberlajutan keberadaan
kawasan perdesaan dari intervensi orang luar yang dapat menyebabkan
kerusakan lingkungan yang masif.
Namun demikian, hal ini tidak mudah untuk dilakukan. Perubahan sikap
masyarakat akibat penurunan modal sosial menjadi tantangan tersendiri bagi
perwujudan upaya tersebut. Kemadirian desa bisa dilakukan jika dan hanya
masyarakat dan kelembagaan desa mau melakukan. Dibutuhkan ikhtiar
komprehensif untuk menegakkan kembali eksistensi desa. Diperlukan upayaupaya pemberdayaan komunitas untuk membantu desa mencapai tujuan
pembangunan desanya.
Pemberdayaan komunitas yang dimaksud adalah proses pendampingan
komunitas menuju keberdayaan. Keberdayaan adalah sebuah kondisi ketika
komunitas memiliki kapasitas dan otoritas yang memadai untuk memilih.
Proses pendampingan komunitas (community organizing) merupakan
kegiatan pemberdayaan (empowerment) dimana pendamping membantu

komunitas untuk memperoleh kapasitas (capacity) dan otoritas (power)

untuk memilih apa yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Pemberdayaan
komunitas ini juga mendorong terciptanya kesadaran kritis untuk sebuah
perubahan.
PUSTAKA
Baehaqie, Ahmad. 2004. Penilaian Pembangunan Secara Partisipatif di Desa
Dan Kelurahan. Tesis pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah Dan Perdesaan , Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor:
Tidak diterbitkan.
Chambers, Robert. 1992. Rural Appraisal: Rapid, Relaxed, and Participatory.
Institute of Development Studies Discussion Paper 311. Sussex: HELP.
Campfens, Hubert (Eds). 1997. Community Development Around The World:
Practice, Theory, Research, Training. University of Toronto Press. Toronto,
Canada.
Frank, Flo and Anne Smith. 1999. The Community Development Handbook: A
Tool To Build Community Capacity. Canada. Minister of Public Works and
Government Services Canada.
Kementrian Dalam Negeri. 2013. Buku Induk Kode Data Dan Wilayah.
[online].
Tersedia:http://www.kemendagri.go.id/media/filemanager/2013/05/28/
b/u/buku_induk_kode_data_dan_wilayah_2013.pdf [13 Maret 2015]

Phillips, Rhonda dan Robert H. Pittman. 2008. An Introduction to Community
Development. Taylor & Francis E-Library. New York.
Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Republik Indonesia. 2014. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no 43
tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 6 tahun
2014 tentang Desa
Republik Indonesia. 2014. Undang-undang No 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
Republik Indonesia. 2015. Undang-undang No 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-undang No 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori dan
Kebijakan. Jakarta. Penerbit Erlangga.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65