MENYOAL BAHASA PIDATO RESMI PEJABAT NEGA

MENYOAL BAHASA PIDATO RESMI PEJABAT NEGARA:
Analisis Berspektif Hukum
Oleh: Pan Mohamad Faiz1
“Quot linguas quis callet, tot homines valet”. Demikian pepatah latin mengatakan
untuk menunjukkan bahwa semakin fasih seseorang berbicara dalam berbagai
bahasa maka dengan sendirinya pergaulannya akan lebih luas. Di era
modernisasi dengan tren globalisasi yang kini hampir tak memiliki ruang dan
batas antarnegara (borderless), bahasa dipercaya menjadi elemen perekat dan
medium komunikasi yang paling efektif antara satu bangsa dengan bangsa
lainnya.
Indonesia yang kembali menggeliat maju dari rahim reformasi senantiasa
berupaya untuk bersaing dengan negara-negara lain baik di pentas regional
maupun internasional. Untuk itulah, kemampuan bahasa dari segitiga pemangku
kepentingan yang digambarkan oleh Antonio Gramsci, yaitu negara (state), pasar
(market), dan masyarakat sipil (civil society), menjadi faktor determinan untuk
memperkuat daya saing Indonesia di berbagai bidang.
Selain bahasa Inggris yang telah mendunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah
menetapkan bahasa resmi yang digunakan dalam forum-forum internasional
dengan bahasa Prancis, China, Rusia, Spanyol, dan Arab. Lalu kemana peran
bahasa Indonesia yang penggunanya lebih dari 230 juta umat manusia di muka
bumi?

Kita tak perlu merasa risih karena tak lama lagi bahasa Indonesia setidaknya
akan disahkan menjadi bahasa resmi ASEAN. Alasan utamanya, selain
digunakan oleh ratusan juta bangsa Indonesia sendiri, bahasa Indonesia sedikit
banyak juga digunakan dan dipahami oleh sebagian masyarakat dari negaranegara di Asia Tenggara. Terlebih lagi, beberapa negara maju di luar kawasan
Asia Tenggara, misalnya Australia, juga sudah memiliki pusat bahasa pengajaran
dan kurikulum tentang bahasa Indonesia.


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
1

Staf dan speechwriter Ketua Mahkamah Konstitusi. Sekretaris Dewan Pakar Ikatan
Sarjana Hukum Indonesia (ISHI). Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis.

1

Perkembangan positif dari perspektif fungsionalisasi penggunaan bahasa
tersebut tentu membawa dampak yang baik bagi daya saing Indonesia. Antonio
L. Rappa dan Lionel Wee dalam bukunya Language Policy and Modernity in
Southeast Asia (2006) memaparkan bahwa ideologi tentang bahasa dapat
membawa pengaruh terhadap fomulasi kebijakan yang akan dibuat. Namun
demikian, dalam pergaulan resmi antarnegara, pada umumnya masing-masing
negara mempunyai ketentuan tertentu yang mengatur tentang penggunaan
bahasa nasionalnya di dalam berbagai kegiatan, termasuk Indonesia.
Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan
(selanjutnya disebut UU 24/2009) menentukan bahwa bahasa Indonesia adalah
bahasa negara dan bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah
NKRI. Dalam UU 24/2009, penggunaan bahasa Indonesia berfungsi sebagai jati
diri bangsa, kebanggan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta
sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah.
Oleh karena itu, UU 24/2009 memuat berbagai ketentuan yang mewajibkan
penggunaan bahasa Indonesia, salah satunya sebagaimana dimuat dalam Pasal
28 yang menyatakan, “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi
Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di
dalam atau di luar negeri”. Sementara itu, Pasal 32 UU 24/2009 menyatakan, “(1)
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau
forum yang bersifat internasional di Indonesia; (2) Bahasa Indonesia dapat
digunakan dalam forum yang bersifat internasional di luar negeri”.
Ketentuan inilah yang kemudian memicu polemik di tengah masyarakat akhirakhir ini, tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seringkali menggunakan
bahasa Inggris dalam pidato resminya pada forum-forum internasional, termasuk
forum yang diselenggarakan di dalam negeri. Syahdan, beberapa pakar hukum
tata negara dan hukum internasional, di antaranya Prof. Mahfud MD. dan Prof.
Hikmahanto Juwana, mengkritik kebiasaan Kepala Negara yang menggunakan
bahasa Inggris ketika menyampaikan pidato resminya. Pasalnya, Presiden SBY

telah menandatangani sendiri Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 tentang
Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil
Presiden serta Pejabat Negara lainnya (selanjutnya disebut Perpres 16/2010).

2

Sementara itu, sebagian masyarakat luas tidak terlalu mempermasalahkan
perihal bahasa Inggris yang digunakan oleh Presiden SBY, bahkan Menteri
Hukum dan HAM dan Pimpinan DPR memberikan pembelaannya. Menurut
mereka, penggunaan bahasa Inggris tersebut harus dipermaklumkan agar
komunikasi dengan audiens dapat lebih mudah ditangkap.
Tak

dapat

dipungkiri,

penguasaan

terhadap


bahasa

Inggris

memang

memberikan banyak kelebihan dan manfaat, sebab hampir semua aktivitas dan
komunikasi kini bersinggungan dengan bahasa Inggris. Hal ini setidaknya
didasari dari kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Crystal (1997) yang
menyatakan:
1. Sekitar 85% organisasi internasional di dunia menggunakan bahasa Inggris
sebagai bahasa resmi dan sepertiganya telah menetapkan bahasa Inggris
sebagai satu-satunya bahasa resmi yang digunakan oleh organisasi tersebut;
2. Sepertiga koran dicetak di negara yang memberikan status khusus terhadap
bahasa Inggris dan lebih dari setengah penerima radio dunia berada di
negara-negara tersebut;
3. Bahasa Inggris telah digunakan sebagai bahasa internasional dalam air traffic
control;
4. Sedikitnya tiga perempat jurnal akademik internasional dipublikasikan dalam

bahasa Inggris;
Namun demikian, hal yang perlu diperhatikan adalah kewajiban hukum dalam
penggunaan bahasa Indonesia bukan saja untuk Presiden dan Wakil Presiden,
namun juga bagi para pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Untuk itulah, tulisan ini lebih memberikan
analisa dari prespektif hukum, khususnya kajian terhadap peraturan perundangundangan terkait dengan:
(1) Siapakah yang dimaksud dengan pejabat negara lainnya dalam UU 24/2009
dan Perpres 16/2010?
(2) Sejauhmana Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lainnya diwajibkan
untuk menggunakan bahasa Indonesia?
(3) Adakah pengecualian untuk menggunakan bahasa asing oleh Presiden, Wakil
Presiden, dan pejabat negara? serta beberapa hal lainnya yang terkait.

3

Di akhir tulisan ini akan disampaikan kesimpulan dan saran yang dapat ditempuh
untuk lebih mengefektifkan implementasi dari ketentuan-ketentuan yang terkait
dengan penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana diatur di dalam UU
24/2009 dan Perpres 16/2010.
2. Siapa Termasuk Pejabat Negara?

Kejelasan mengenai siapa yang dimaksud dengan pejabat negara menjadi
sangat penting karena UU 24/2009 dan Perpres 16/2010 secara tegas
menyebutkan bahwa selain Presiden dan Wakil Presiden, pejabat negara juga
wajib menggunakan bahasa Indonesia ketika menyampaikan pidato resminya.
Namun demikian, baik UU 24/2009 maupun Perpres 16/2010, sama sekali tidak
memberikan definisi yang jelas tentang pejabat negara. Di dalam UU tersebut
beberapa kali hanya menuliskan kata ”Pejabat Negara” berdampingan dengan
kata ”pimpinan lembaga negara” seperti MPR, DPR, DPD, MA, MK, dan BPK,
serta kata ”menteri atau pejabat setingkat menteri”, serta ”kepala daerah dan
pimpinan dewan perwakilan”.
Begitu pula dengan Perpres 16/2010 yang menjadi turunan dari amanat Pasal
40 juncto Pasal 28 UU 24/2009, siapa yang dimaksud dengan pejabat negara
tidak ditentukan secara tegas. Oleh karenanya, untuk menemukan definisi dan
lingkup pejabat negara maka perlu merujuk peraturan perundang-undangan
lainnya. Salah satu undang-undang yang cukup banyak memuat ketentuan
tentang pejabat negara terdapat dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010
tentang Keprotokolan (selanjutnya disebut UU 9/2010).
Di dalam Pasal 1 UU 9/2010, Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota
lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 dan Pejabat Negara
yang secara tegas ditentukan dalam undang-undang. Ketentuan ini pun belum

merinci siapa-siapa saja yang dimaksud dengan pejabat negara. Dengan
merujuk pada Pasal 9 UU 9/2010 berkenaan dengan Tata Tempat dalam Acara
Kenegaraan dan Acara Resmi, setidak-tidaknya yang dapat dikatakan sebagai
Pejabat Negara, yaitu:
1.

Presiden;

2.

Wakil Presiden;

3.

Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR);

4

4.


Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);

5.

Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD);

6.

Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);

7.

Ketua dan Wakil Ketua serta Hakim Mahkamah Agung (MA);

8.

Ketua dan Wakil Ketua serta Hakim Mahkamah Konstitusi (MK);

9.

Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota Komisi Yudisial (KY);

10. Menteri dan pejabat setingkat menteri beserta wakilnya;
11. Pemimpin lembaga negara yang ditetapkan sebagai pejabat negara dan
wakilnya;
12. Pemimpin lembaga pemerintah non kementerian dan wakilnya;
13. Gubernur, Bupati, dan Walikota; dan
14. Ketua DPRD provinsi/kabupaten/kota.
Undang-undang lain yang secara tidak langsung juga memuat tentang lingkup
pejabat negara yaitu Undang-Undang Nomor 78 Tahun 2000 tentang Penetapan
Pensiun Pokok Mantan Pejabat Negara dan Janda/Dudanya (selanjutnya disebut
UU 78/2000). Dengan penyebutan sebagai mantan pejabat negara, maka
jabatan-jabatan di bahwa ini dapat dikelompokkan sebagai pejabat negara. Di
dalam Pasal 1 UU 78/2000, mereka yang disebut sebagai Mantan Pejabat
Negara adalah:
1.

Mantan Menteri Negara;

2.

Mantan Ketua, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat/Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, termasuk mantan
Ketua dan Wakil Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
dan Dewan Pengawas Keuangan;

3.

Mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung,
Badan Pemeriksa Keuangan, termasuk mantan Anggota Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat dan Dewan Pengawas Keuangan;

4.

Mantan Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan mantan Hakim Anggota
Mahkamah Agung;

5.

Mantan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;

6.

Mantan Kepala Daerah Propinsi, mantan Wakil Kepala Daerah Propinsi,
mantan Kepala Daerah Kabupaten/Kota dan mantan Wakil Kepala Daerah
Kabupaten/Kota.

7.

Mantan Jaksa Agung, mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia, dan
mantan Pejabat lain yang kedudukannya atau pengangkatannya setingkat

5

atau di setarakan dengan Menteri Negara adalah Jaksa Agung, Panglima
Tentara Nasional Indonesia, dan Pejabat lain yang kedudukannya atau
pengangkatannya setingkat atau di setarakan dengan Menteri Negara yang
diberhentikan

dengan

hormat

dari

jabatannya

yang

hak

keuangan/administratifnya disamakan dengan Menteri Negara serta
Janda/Dudanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Kemudian pengaturan mengenai pejabat negara juga terdapat di dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2001 tentang Penghentian Pemberian
Tunjangan Perbaikan Penghasilan bagi Pegawai Negeri, Hakim, dan Pejabat
Negara (selanjutnya disebut PP 37/2001). Di dalam Peraturan tersebut, selain
Pegawai Negeri dan Hakim, yang dimaksud dengan Pejabat Negara, yaitu:
1.

Presiden dan Wakil Presiden;

2.

Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Anggota Lembaga Tinggi
Negara;

3.

Menteri Negara, Jaksa Agung, dan Pejabat lain yang kedudukan atau
pengangkatannya setingkat atau disetarakan dengan Menteri Negara;

4.

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Selanjutnya, Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Kampanye Pemilihan Umum oleh Pejabat Negara (selanjutnya disebut UU
9/2004) merinci siapa saja yang dimaksud dengan Pejabat Negara, yaitu
Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil
Bupati, Walikota dan Wakil Walikota. Namun demikian, baik UU 78/2000 dan PP
27/2001 memiliki kelemahan karena ketentuan tersebut dibuat sebelum MPR
menyelesaikan tahapan ke-4 amandemen UUD 1945 di tahun 2002, sehingga
banyak lembaga negara baru yang tidak disebutkan ataupun telah dibubarkan
dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut. Sedangkan, UU 9/2004
hanya menyebutkan pejabat negara dalam lingkungan kekuasaan eksekutif yang
terbatas.
Terlepas dari hal tersebut, berdasarkan uraian di atas mengenai siapa yang
dimaksud dengan pejabat negara maka dapat disimpulkan bahwa pejabat
negara tidak saja sebatas pada pimpinan lembaga negara atau kementerian,

6

tetapi juga pada jabatan-jabatan lain yang dari sudut kuantitasnya tidaklah
sedikit.
Dengan demikian, kewajiban untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam
pidato resmi bukan saja berada di tangan Presidan dan Wakil Presiden, tetapi
juga para pejabat negara lainnya. Di sinilah banyak pihak salah mengartikan dan
menafsirkan ketentuan ini. Tidak jarang para pimpinan lembaga negara dan
menteri menghadiri acara-acara forum resmi yang memberikan waktu untuk
penyampaian

pidato

resminya.

Terkadang

mereka

konsisten

dalam

menggunakan bahasa Indonesia, namun konon tak sedikit pula yang
menggunakan bahasa Inggris dengan alasan adanya peserta forum yang berasal
dari berbagai negara asing.
Sejauh mana dan dalam lingkup kegiatan apa saja kewajiban penggunaan
bahasa Indonesia harus dilakukan, penulis akan menguraikannya secara lengkap
di bawah ini, termasuk mengenai kondisi-kondisi di mana penggunaan bahasa
asing menjadi pengecualian.
3. Kewajiban dan Pengecualian
Apeldoorn (1954) menyatakan bahwa susunan kata-kata yang membentuk
kaidah hukum tidak sekedar memberikan pernyataan dan penilaian, tetapi juga
memiliki sifat yang imperatif yang mengandung sifat perintah atau larangan dan
hal-hal yang harus dilakukan atau tidak dilakukan serta kata-kata yang sifatnya
berupa paksaan.
Begitu pula dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan yang disahkan pada tanggal 9 Juli 2009 (UU 24/2009) memuat sifat
imperatif yang memerintahkan atau mewajibkan subyek hukum tertentu untuk
menggunakan bahasa Indonesia ketika menyampaikan pidato resminya.
Pasal 28 UU 24/2009 secara tegas mewajibkan Presiden, Wakil Presiden, dan
pejabat negara lainnya untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam pidato
resminya yang disampaikan baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam
ketentuan penjelasannya, “pidato resmi” yang dimaksud adalah pidato yang
disampaikan dalam forum resmi oleh pejabat negara atau pemerintahan, kecuali

7

forum resmi internasional di luar negeri yang telah menetapkan penggunaan
bahasa tertentu.
Selanjutnya, pada Pasal 32 UU 24/2009 disebutkan bahwa bahasa Indonesia
wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat
internasional di Indonesia. Sementara itu, bahasa Indonesia dapat digunakan
oleh Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lainnya dalam forum yang
bersifat internasional di luar negeri. Lingkup dari forum yang bersifat nasional
adalah berskala antardaerah dan berdampak nasional, sedangkan forum yang
bersifat internasional memiliki pengertian berskala antarbangsa dan berdampak
internasional.
Kewajiban dari penggunaan bahasa Indonesia dipertegas kembali dalam
Peraturan Presiden sebagai turunan dari Pasal 40 UU 24/2009 yang memberikan
amanat untuk mengatur lebih lanjut ketentuan mengenai penggunaan bahasa
Indonesia dalam pidato resmi. Adalah Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010
tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau
Wakil Presiden serta Pejabat Negara lainnya (Perpres 16/2010) yang memuat
ketentuan lebih lanjut dari penggunaan bahasa Indonesia yang diatur dalam UU
24/2009. Perpres 16/2010 ini ditetapkan dan ditandatangani langsung oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 1 Maret 2010. Perpres a
quo memuat ketentuan dengan membagi menjadi dua besaran, yaitu ketentuan
mengenai pidato resmi yang di sampaikan di luar negeri dan pidato resmi yang
disampaikan di dalam negeri.
a.

Pidato Resmi di Luar Negeri
Pasal 1 Perpres 16/2010 menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden serta pejabat negara lainnya menyampaikan pidato resmi dalam
bahasa Indonesia di luar negeri. Dalam pasal-pasal selanjutnya dijelaskan
bahwa pidato resmi yang disampaikan di dalam forum resmi tersebut
diselenggarakan oleh PBB, organisasi internasional, dan negara penerima
sesuai

dengan

tata

cara

protokol

yang

telah

ditetapkan.

Dalam

penyampaian pidato resminya tersebut, mereka dapat disertai dengan atau
didampingi oleh penerjemah.

8

Sesuai dengan Pasal 4 Perpres 16/2010, Presiden dan/atau Wakil Presiden
serta pejabat negara lainnya dapat menyampaikan pidato secara lisan dalam
bahasa tertentu. Namun demikian, penggunaan bahasa tertentu tersebut
hanya untuk memperjelas dan mempertegas makna yang ingin disampaikan
dan diikuti dengan transkrip pidato dalam bahasa Indonesia. Oleh
karenanya, pidato resmi yang sepenuhnya atau sebagian besar isinya
menggunakan bahasa asing dan bukan bermaksud untuk memperjelas
isinya tetapi justru menjadi substansinya itu sendiri, tidaklah diperbolehkan.
Sementara itu, pidato Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat
negara lainnya yang disampaikan dalam forum ilmiah, sosial, budaya,
ekonomi, dan forum sejenis lainnya yang penyelenggaranya adalah lembaga
akademi, ilmu pengetahuan dan teknologi, lembaga swadaya masyarakat,
dan kelompok atau perorangan yang termasuk dalam kategori masyarakat
sipil (civil society) tidak dapat dikategorikan sebagai pidato resmi, sehingga
penggunaan bahasa Indonesia menjadi tidak wajib.
Pengecualian dalam penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi juga
dapat terjadi manakala forum resmi internasional di luar negeri telah
menetapkan penggunaan bahasa tertentu yang meliputi bahasa resmi PBB
yang terdiri atas bahasa Inggris, Prancis, China, Rusia, Spanyol, dan Arab,
serta bahasa lain sesuai dengan hukum dan kebiasaan internasional. Di luar
pengecualian-pengecualian

tersebut

maka

Presiden

dan/atau

Wakil

Presiden serta pejabat negara lainnya diwajibkan menggunakan bahasa
Indonesia dalam pidato resminya.
b. Pidato Resmi di Dalam Negeri
Pada forum internasional yang diselenggarakan di dalam negeri, sesuai
dengan Pasal 8 Perpres 16/2010, Presiden dan/atau Wakil Presiden serta
pejabat negara lainnya harus menyampaikan pidato resmi dalam bahasa
Indonesia. Forum resmi tersebut diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia
atau Pemerintah Indonesia yang bekerjasama dengan pemerintah negara
lain/PBB/organisasi internasional lainnya.
Selanjutnya ditentukan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden serta
pejabat negara lainnya ketika membalas pidato resmi harus menggunakan

9

bahasa

Indonesia

Negara/Kepala

pada

saat

Pemerintahan,

menerima
Wakil

pejabat,

Kepala

seperti

Kepala

Negara/Wakil

Kepala

Pemerintahan, Sekretaris Jenderal PBB/pimpinan tertinggi organisasi
Internasional, yang melakukan kunjungan resmi ke Indonesia. Penyampaian
pidato resmi ini dapat juga disertai dengan atau didampingi oleh
penerjemah.
Pidato yang disampaikan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden serta
pejabat negara lainnya selain dalam
dikategorikan
pendampingan

sebagai
Kepala

pidato

resmi,

Negara/Kepala

kondisi di atas tidak dapat
misalnya

dalam

Pemerintahan,

hal

kegiatan

Wakil

Kepala

Negara/Wakil Kepala Pemerintahan, Sekretaris Jenderal PBB/pimpinan
tertinggi organisasi internasional pada forum ilmiah, sosial, budaya,
ekonomi, dan forum lain sejenis yang penyelenggaranya adalah lembaga
akademi, ilmu pengetahuan dan teknologi, lembaga swadaya masyarakat,
dan kelompok atau perorangan yang termasuk dalam kategori masyarakat
sipil. Ketentuan ini hampir sama dengan pengecualian terhadap pidato resmi
Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara ketika berada di luar
negeri.
Untuk forum nasional yang diselenggarakan di dalam negeri, Presiden
dan/atau

Wakil Presiden

serta

pejabat negara

lainnya

juga

harus

menyampaikan pidato resmi dalam bahasa Indonesia, misalnya dalam
upacara kenegaraan, upacara perayaan 17 Agustus dan hari-hari besar
nasional, upacara resmi dalam sidang lembaga-lembaga negara, rapat-rapat
pemerintah atau lembaga negara, dan forum nasional lainnya yang
menunjang tujuan penggunaan bahasa Indonesia.
Sama halnya dengan pidato resmi di luar negeri, Presiden dan/atau Wakil
Presiden serta pejabat negara lainnya dapat menggunakan bahasa asing,
baik dalam forum nasional maupun internasional di dalam negeri, sepanjang
untuk memperjelas tentang makna pidato tersebut.
4. Kesimpulan dan Saran
Sutan Takdir Alisjahbana (1974) menyatakan bahwa bahasa dan hukum
merupakan penjelmaan kehidupan manusia dalam masyarakat yang merupakan

10

sebagian dari penjelmaan suatu kebudayaan pada suatu tempat dan waktu.
Dengan demikian, kepatuhan terhadap hukum dalam hal penggunaan bahasa
Indonesia bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya
merupakan salah satu wujud dari tingginya nilai kebudaayaan di Indonesia.
Sebaliknya, menyimpangi ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan
akan menjadi bukti dari rendahnya nilai kebudayaan kita.
Dengan semakin jelasnya ketentuan-ketentuan yang mewajibkan penggunaan
bahasa

Indonesia

dalam

pidato

resmi

dan

limitasi

pengecualiannya

sebagaimana diuraikan di atas maka sulit bagi penulis untuk menerima
argumentasi dari berbagai pihak yang bergerak di bidang hukum yang
menyatakan bahwa menggunakan bahasa asing dalam pidato resmi adalah hal
yang harus dimaklumi.
Penggunaan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya memang tidak dilarang,
tetapi dalam hal-hal tertentu yang lingkupnya sangat khusus, para pejabat
negara telah diwajibkan oleh hukum dan peraturan perundang-undangan untuk
menggunakan bahasa Indonesia.
Tentu penulis memahami apabila yang menjadi alasan penolakan tersebut
berangkat dari perspektif komunikasi, di mana penggunaan bahasa Indonesia
akan menjadi terdengar asing di telinga warga negara lain yang tak
memahaminya. Pun dari sudut kepemimpinan, penguasaan bahasa asing tentu
akan terlihat dan terdengar lebih berbobot ketika disampaikan di hadapan
orang-orang yang memiliki latar belakang multibahasa. Penulis pun menyetujui
apabila ada komentar yang menyatakan bahwa banyak hal yang lebih penting
untuk diurus seperti pemberantasan korupsi dan pengentasan kemiskinan,
ketimbang urusan penggunaan bahasa semata.
Namun demikian, terlepas dari alasan-alasan di atas, ketika kita telah
bersepakat di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menetapkan negara
Indonesia sebagai negara hukum, kemudian Presiden dan/atau Wakil Presiden
serta pejabat negara lainnya menyatakan sumpah untuk menjunjung tinggi
konstitusi, hukum, dan peraturan perundang-undangan yang ada, maka tidak
ada kata lain bagi mereka selain mematuhi hukum positif yang telah disahkan
dan berlaku secara resmi di Indonesia.

11

Berbeda dengan pelanggaran hukum terhadap penggunaan bendera, lambang
negara, dan lagu kebangsaan, penyimpangan terhadap penggunaan bahasa
Indonesia tidak memiliki sanksi pidana ataupun denda. Oleh karenanya, tidak
dipatuhinya kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi tidak
memiliki konsekuensi pidana ataupun denda, tetapi hanya sanksi moral dan
sosial. Itupun kalau sebagian masyarakat menilai bahwa penyimpangan
terhadap ketentuan dimaksud adalah suatu hal yang seharusnya tidak dilakukan
dan tidak pula diberikan alasan pemaaf.
Seandainya pun pelanggaran atas ketentuan mengenai penggunaan bahasa
Indonesia dalam pidato resmi ditarik sebagai alasan untuk memakzulkan
Presiden dan/atau Presiden, sebagaimana disampaikan oleh beberapa pihak,
bagi penulis hal ini terlalu jauh dan akan sangat membuang-buang energi
bangsa. Sesuai Pasal 7A UUD 1945, pemakzulan (impeachment) hanya dapat
dilakukan apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Oleh karenanya,
selain tidak memenuhi syarat konstitusional, juga terlalu besar political cost yang
akan ditanggung rakyat untuk menyatakan penyimpangan praktik penggunaan
bahasa Indonesia sebagai alasan pemakzulan.
Dengan demikian, berangkat dari kelebihan dan kelemahan ketentuan yang
mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam pidato resmi bagi Presiden
dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya, penulis memberikan 2
(dua) saran sebagai bentuk alternatif pilihan untuk merespons ketentuan
tersebut, yakni:
Pertama, ketentuan mengenai kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam
pidato resmi harus konsisten untuk dipatuhi dan dijalankan. Adanya kontroversi
publik seperti yang terjadi sekarang ini tentu telah diperkirakan dan
dipertimbangkan sebelumnya pada saat proses pembahasan pembentukan UU
24/2009 dan Perpres 16/2010. Tanpa adanya sanksi yang memaksa maka
pelaksaan atas ketentuan tersebut kembali kepada kesadaran hukum (legal
awareness) dari Presiden dan/atau Wakil Presiden serta pejabat negara lainnya
selaku subyek hukum langsung dari peraturan perundang-undangan tersebut.

12

Kedua, apabila beberapa ketentuan yang terdapat di dalam UU 24/2009 dan
Perpres 16/2010 dirasa menghambat dan justru menjadi kontra produktif maka
sebaiknya dilakukan revisi terbatas sesegera mungkin. Hal ini tentu lebih baik,
daripada secara terus-menerus kita menyaksikan terjadinya pelanggaran
terhadap ketentuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana
terdapat di dalam UU 24/2009 dan Perpres 16/2010 yang sebenarnya juga tidak
memiliki sanksi hukum. Akan tetapi yang perlu diingat, sepanjang belum ada
perubahan atau selama proses menuju perubahan, maka ketentuan yang ada
harus tetap dijalankan dengan konsekuen oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden serta pejabat negara lainnya.
5. Penutup
Berdasarkan uraian di atas maka hendaknya kita semua dapat lebih memberikan
perhatian terhadap kepatuhan atas ketentuan hukum dan peraturan perundangundangan, terlepas dari adanya kelemahan yang mungkin ditimbulkan apabila
dipandang dari aspek di luar hukum. Para pejabat negara juga harus semakin
menunjukan

kesadarannya

dalam

penggunaan

bahasa

Indonesia

ketika

menyampaikan pidato resminya, karena kewajiban demikian tidak saja menjadi
milik Presiden dan Wakil Presiden.
Namun

demikian,

adanya

kewajiban

penggunaan

bahasa

Indonesia

sebagaimana diatur di dalam UU 24/2009 dan Perpres 16/2010, janganlah
diartikan bahwa menguasai bahasa asing menjadi hal yang remeh atau tidak
penting. Banyak forum dan kegiatan, khususnya yang berskala internasional,
yang mengharuskan para pejabat negara untuk menguasai bahasa asing demi
tercapai tujuan dari kehadirannya. Lebih salah lagi apabila UU 24/2009 dan
Perpres 16/2010 dijadikan alasan bagi para pejabat negara untuk mengelak
dalam mempelajari bahasa asing.
Lagipula, penyampaian pidato resmi adalah kegiatan yang tidak setiap hari
harus dilakukan, sementara kegiatan yang melibatkan orang asing atau literatur
dan berita yang dibaca atau didengar sehari-hari tentu memerlukan kemahiran
penguasaan bahasa asing agar para pejabat negara mampu memahaminya.
Oleh karena itu, menggunakan atau tidak menggunakan bahasa Indonesia
haruslah disesuaikan dengan konteks tempat dan waktunya, khususnya dengan
merujuk pada ketentuan peraturan perundangan-undangan yang secara khusus
telah mengaturnya.
13

Bukankah para founding parents Indonesia, seperti misalnya Soekarno, Hatta,
dan Sjahrir, dapat dikenal oleh dunia internasional karena kepiawaiannya dalam
menguasai berbagai bahasa asing? Maka tak salah kiranya jika penulis menutup
tulisan ini dengan mengutip pernyataan penyair terkenal asal Jerman bernama
Johann Wolfang von Goethe yang mengatakan, “Those who know nothing of
foreign languages know nothing of their own”.
***

14

REFERENSI:
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang Nomor 78 Tahun 2000 tentang Penetapan Pensiun Pokok
Mantan Pejabat Negara dan Janda/Dudanya.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2004 tentang Kampanye Pemilihan
Umum.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2001 tentang Penghentian Pemberian
Tunjangan Perbaikan Penghasilan bagi Pegawai Negeri, Hakim, dan
Pejabat Negara.
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa
Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta
Pejabat Negara lainnya.
Ehrenberg, John, Civil Society, NYU Press Reference, New York, 2009.
Hadikusuma, H. Hilman, Bahasa Hukum Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2010.
Rappa, Antonio L. Dan Lionel Wee, Language Policy and Modernity in Southeast
Asia: Malaysia, the Philippines, Singapore, and Thailand, Springer,
Singapore, 2006.
Marwoto, B.J. dan H. Witdarmono, Proverbia Latina: Pepatah-Pepatah Bahasa
Latin,Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2004.
Talbot, Mary, Karen Atkinson dan David Atkinson, Language and Power in the
Modern World, The University of Alabama Press, Tuscaloosa, 2003.

15