INTERFERENSI MORFOLOGI BAHASA OGAN DALAM PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA MURID SEKOLAH DASAR KELAS VI SD NEGERI SRIBANDUNG KABUPATEN LAMPUNG UTARA

(1)

ABSTRACT

THE INTERFERENCE OF MORPHOLOGY IN BAHASA OGAN THROUGH BAHASA INDONESIA AT SIXTH GRADE ELEMENTARY SCHOOL

STUDENT SD NEGERI SRIBANDUNG LAMPUNG UTARA By:

DEWI SRI REZKI

The formulation problem of this study is how morphology interference in Bahasa Ogan through Bahasa Indonesia at sixth grade elementary school student SD Negeri Sribandung Kabupaten Lampung Utara. This study aimed to descibe the form of morphology interference in Bahasa Ogan through Bahasa Indonesia as communication language in school.

The method used in this research is descriptive qualitative method. The data of study is morphology interference Bahasa Ogan through using Bahasa Indonesia. Morphology interference consists of prefix interference, suffix interference, confix interference, and other interference in Bahasa Ogan through using Bahasa Indonesia at sixth grade elementary school student SD Negeri Sribandung Lampung Utara. The data collecting technique used are observation technique, recording and taking note technique, the data analysis is done by interactive analysis, changing and broadening tecnique.

The result shows that there is Bahasa Ogan interference through Bahasa Indonesia. The form of interference consists of morphology interference in Bahasa Ogan that is prefix {bē-}, prefix {tē-}, prefix {ngē-}, prefix {kē-}, prefix {se-}, suffix interference is {-an}, confix interference {kē-/-an}, and other interference is phonem elemination, phonem change, word derivation interference, word relative name interference and phrase interference.


(2)

ABSTRAK

INTERFERENSI MORFOLOGI BAHASA OGAN DALAM PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA MURID SEKOLAH

DASAR KELAS VI SD NEGERI SRIBANDUNG KABUPATEN LAMPUNG UTARA

Oleh:

DEWI SRI REZKI

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana interferensi morfologi bahasa Ogan dalam pemakaian bahasa Indonesia siswa Kelas VI SD Negeri Sribandung Kabupaten Lampung Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk interferensi morfologi bahasa Ogan dalam pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi di sekolah.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Data penelitian berupa interferensi morfologi bahasa Ogan dalam pemakaian bahasa Indonesia. Interferensi morfologi berupa, interferensi prefiks, interferensi sufiks, interferensi konfiks dan interferensi lain dalam bahasa Ogan dalam pemakaian bahasa Indonesia siswa Kelas VI SD Negeri Sribandung Kabupaten Lampung Utara. Teknik pengumpulan data dengan teknik observasi, teknik rekam, dan catatan lapangan. Analisis data dilakukan dengan model analisis interaktif, teknik ganti dan teknik perluas.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya interferensi bahasa Ogan terhadap bahasa Indonesia. Wujud interferensi meliputi interferensi morfologi bahasa Ogan yaitu prefiks {bē-}, prefiks {tē-}, prefiks {ngē-}, prefiks {kē-}, perfiks {se-}, interferensi sufiks {–an}, interferensi konfiks {kē-/-an} dan interferensi lainnya berupa penghilangan fonem, perubahan fonem, interferensi kata dasar, interferensi sapaan kekerabatan dan interferensi frasa.


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kotabumi, pada tanggal 2 September 1976. Anak kedua dari empat bersaudara, buah kasih pasangan Sujasmi Aharisani dan Ratna Wati. Pendidikan yang penulis tempuh, yakni SD Negeri 4 Tanjung Aman, Kotabumi, Lampung Utara lulus tahun 1989, SMP Negeri 5 Kotabumi, Lampung Utara lulus tahun 1992, SMA Negeri 2 Kotabumi, Lampung Utara, lulus tahun 1995, D2 PGSD Universitas Lampung, Bandar Lampung lulus tahun 1997, S-1STKIP Muhammadiyah Kotabumi lulus tahun 2002. Pada tahun 2012 penulis tercatat sebagai mahasiswa S-2 Unila pada program Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Pengalaman mengajar, tahun 1998-2000 mengajar di SD Negeri Penagan Jaya Abung Timur, tahun 2000-2009 mengajar di SD Negeri Banjar Agung Abung Timur, tahun 2009-2012 mengajar di SMP Negeri 12 Kotabumi Lampung utara, tahun 2012 sampai sekarang di SD Negeri Sribandung Kabupaten Lampung Utara.


(8)

MOTO

Barang siapa keluar untuk mencari ilmu maka dia berada di jalan Allah. (HR.Turmudzi)

Allah mencintai orang yang bekerja apabila bekerja maka ia selalu memperbaiki prestasi kerja”


(9)

Tesis ini penulis persembahkan dan hadiahkan kepada:

1. Orang tua dan mertuaku (Sujasmi Aharisani, Ratna Wati, Sahmin, Yang Ani) 2. Suamiku tersayang (Firmansyah, S.E.)

3. Buah hatiku (Saskiya Eda Tami, Dewansyah Dwi Putra)

4. Saudara-saudaraku (Kakakku Andri November, Adik-adikku Mirza Handayani, dan Martian Hidayah)


(10)

SANWACANA

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya tesis ini dapat terselesaikan.

Tesis ini berjudul ” Interferensi Morfologi Bahasa Ogan dalam Pemakaian Bahasa Indonesia Murid Sekolah Dasar Kelas VI SD Negeri Sribandung Kabupaten Lampung Utara” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister pendidikan pada program Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan tesis ini tidak lepas dari bantuan arahan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada

1. Prof. Dr. Sugeng Hariyanto, M.S., selaku rektor Universitas Lampung;

2. Dr. Bujang Rahman, M.Si., selaku dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung;

3. Prof. Dr. Sudjarwo, M.S., selaku direktur pascasarjana Universitas Lampung; 4. Dr. H. Muhammad Fuad, M.Hum., selaku ketua jurusan Pendidikan Bahasa dan


(11)

5. Prof. Dr. Cucu Sutarsyah, M.A., selaku pembimbing utama yang dengan sabar memberikan motivasi, bimbingan, arahan, saran, dan kritik dalam penyelesaian tesis ini;

6. Dr. Nurlaksana Eko Rusminto, M.Pd., selaku pembimbing kedua dan selaku ketua program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam penyelesaian tesis ini;

7. Dr. Wini Tarmini, M.Hum., selaku pembahas pada seminar proposal dan hasil, yang telah memberikan nasihat, saran-saran, dan kritik dalam penyelesaian tesis ini;

8. Dr. Karomani, M.Si., selaku pembimbing akademik, yang selalu memberikan motivasi dan dukungan;

9. Bapak dan Ibu dosen Program Pascasarjana Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung;

10.Bapak Heriyanto, S.E.,M.M., selaku kepala UPTD Pendidikan Abung Tengah; 11.Bapak Amri Harzon, selaku guru kelas 6 SD Negeri Sribandung, yang telah

memberikan izin penelitian;

12.Orang tua dan mertuaku tercinta yang selalu memberikan motivasi dan doa yang tiada putus untuk keberhasilan penulis;

13.Suami dan anakku (Firmansyah, S.E., Saskiya Eda Tami, dan Dewansyah Dwi Putra) yang senantiasa memberikan motivasi dan doa untuk keberhasilan penulis; 14.Seluruh mahasiswa Program Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


(12)

Akhir kata, penulis menyadari tesis ini masih belum sempurna, untuk itu, kritik dan saran dari pembaca yang membangun demi kesempurnaan tesis ini sangat penulis harapkan. Harapan penulis semoga tesis ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandarlampung, Juni 2014 Penulis,

Dewi Sri Rezki NPM 1223041006


(13)

xiii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRACT ... ii

ABSTRAK ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

LEMBAR PERNYATAAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

MOTO ... viii

PERSEMBAHAN ... ix

SANWACANA ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

II. KAJIAN PUSTAKA ... 11

2.1 Peristiwa Kontak Bahasa ... 11

2.2 Kedwibahasaan... 14

2.3 Masyarakat Tutur ... 15

2.4 Interferensi ... 17

2.5 Bentuk-Bentuk Interferensi ... 24

2.5.1 Interferensi Morfologi ... 27

2.6 Morfologi Bahasa Ogan ... 33

2.6.1 Fonem Vokal ... 33

2.6.2 Fonem Konsonan ... 33

2.6.3 Jenis Morfem ... 34

2.6.4 Proses Morfologis ... 37


(14)

xiv

3.1 Desain Penelitian ... 45

3.2 Data dan Sumber Data... 46

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 47

3.3.1 Pengamatan (Observasi) ... 47

3.3.2 Teknik Rekam ... 48

3.3.3 Catatan Lapangan ... 48

3.4 Keabsahan dan Keajegan Penelitian ... 49

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data ... 52

3.6 Metode Penyajian Data ... 53

3.7 Langkah-Langkah Analisis Data ... 53

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 55

4.1 Interferensi Morfologi Bahasa Ogan Berupa Prefiks ... 56

4.1.1 Interferensi Prefiks {bē-} ... 57

4.1.2 Interferensi Prefiks {tē-}... 61

4.1.3 Interferensi Prefiks {ngē-} ... 63

4.1.4 Interferensi Prefiks {kē-} ... 65

4.1.5 Interferensi Perfiks {se-} ... 68

4.2 Interferensi Morfologi Bahasa Ogan Berupa Sufiks ... 69

4.3 Interferensi Morfologi Bahasa Ogan Berupa Konfiks ... 71

4.4 Bentuk Interferensi Bahasa Ogan ... 73

4.4.1 Penghilangan Fonem ... 73

4.4.2 Perubahan Fonem ... 77

4.4.3 Interferensi Kata Dasar ... 80

4.4.4 Interferensi Kata Sapaan Kekerabatan ... 83

4.4.5 Interferensi frasa ... 85

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 86

5.1 Simpulan... 86

5.2 Saran ... 87 DAFTAR PUSTAKA


(15)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Interferensi Prefiks {bē- dan tē-} ... 63

Interferensi Prefiks {ngē-} ... 65

Interferensi Prefiks {kē-} ... 68

Interferensi konfiks {kē-/-an} ... 73

Interferensi Penghilangan Fonem ... 77


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, digunakan baik sebagai bahasa pengantar sehari-hari ataupun bahasa pengantar di lingkungan formal seperti bahasa pengantar sekolah, bahasa untuk keperluan administrasi, bahasa untuk keperluan hukum, dan sebagainya. Secara tradisional bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan. Jadi, fungsi bahasa yang paling mendasar adalah sebagai alat komunikasi, yakni sebagai alat pergaulan antarsesama dan alat untuk menyampaikan pikiran (Chaer dan Agustina, 1995: 19).

Indonesia merupakan negara yang wilayahnya sangat luas, penduduknya terdiri dari berbagai suku bangsa dengan berbagai bahasa daerah serta berbagai latar belakang budaya yang tidak sama. Oleh karena alasan tersebut, Indonesia disebut negara yang kaya akan budaya. Salah satu di antara kekayaan budaya Indonesia adalah adanya bahasa daerah. Berdasarkan peta bahasa yang dibuat oleh pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, ada sekitar 726 bahasa daerah dengan jumlah penutur setiap bahasa berkisar antara 100 orang (ada di Irian Jaya) sampai yang lebih dari 50 juta (penutur bahasa Jawa) (Chaer dan Agustina,1995: 294).


(17)

Kedwibahasaan akan menimbulkan adanya interferensi dan integrasi bahasa. Interferensi bahasa yaitu penyimpangan norma kebahasaan yang terjadi dalam ujaran dwibahasawan karena keakrabannya terhadap lebih dari satu bahasa, yang disebabkan karena adanya kontak bahasa. Selain kontak bahasa, faktor penyebab timbulnya interferensi adalah tidak cukupnya kosakata suatu bahasa dalam menghadapi kemajuan dan pembaharuan. Selain itu, interferensi bisa terjadi karena menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan, meningkatnya kebutuhan akan sinonim, dan prestise bahasa sumber (Weinrich dalam Sukardi, 1999: 4).

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bilingual atau dwibahasa, yaitu masyarakat yang menggunakan dua bahasa dalam berkomunikasi. Ada juga yang dalam proses komunikasi masyarakat Indonesia menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional selain bahasa daerah masing-masing. Kedua bahasa tersebut kadang digunakan dalam kehidupan sehari-hari secara bersamaan, baik secara lisan maupun tulis. Situasi semacam ini memungkinkan terjadinya kontak bahasa yang saling mempengaruhi. Saling pengaruh itu dapat dilihat pada pemakaian bahasa Indonesia yang disisipi oleh kosa kata bahasa daerah atau sebaliknya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah. Keterampilan berbahasa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia.


(18)

Standar kompetensi SD/MI mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia dengan Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) sebesar 60. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global. Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakup komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek, mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis.

Standar kompetensi berbicara kelas VI Semester I adalah siswa dapat memberikan informasi dan tanggapan secara lisan, dengan kompetensi dasar yaitu (1) menyampaikan pesan/informasi yang diperoleh dari berbagai media dengan bahasa yang runtut, baik dan benar (2) menanggapi (mengkritik/memuji) sesuatu hal disertai alasan dengan menggunakan bahasa yang santun. Semester II adalah mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dengan berpidato, melaporkan isi buku, dan baca puisi dengan kompetensi dasar (1) berpidato atau presentasi untuk berbagai keperluan (acara perpisahan, perayaan ulang tahun, dan lain-lain) dengan lafal, intonasi, dan sikap yang tepat (2) melaporkan isi buku yang dibaca (judul, pengarang, jumlah halaman, dan isi) dengan kalimat yang runtut dan (3) membacakan puisi karya sendiri dengan ekspresi yang tepat.

Hasil observasi di lapangan juga menunjukkan fenomena bahwa keterampilan berbicara siswa SD Negeri Sribandung Kabupaten Lampung Utara berada pada tingkat yang rendah pada aspek KKM nilai rata-rata di bawah 60, pada aspek isi


(19)

pembicaraan, aspek penggunaan bahasa, dan aspek per formansi. Ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat keterampilan siswa dalam berbicara, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal, diantaranya pengaruh penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam proses komunikasi sehari-hari, banyak keluarga yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah) khususnya bahasa Ogan sebagai bahasa percakapan di lingkungan keluarga. Demikian juga halnya dengan penggunaan bahasa Indonesia di tengah-tengah masyarakat maupun di sekolah masih tercampur dengan bahasa ibu yang digunakan sebagai sarana komunikasi. Faktor internal, kurangnya minat maupun usaha siswa belajar berbicara dengan lafal, intonasi, dan pelapalan yang tepat dalam keterampilan ber- bicara.

SD Negeri Sribandung Kabupaten Lampung Utara rata-rata memiliki murid berbahasa daerah, yaitu bahasa Ogan. Bahasa Ogan adalah bahasa yang dituturkan sebagian besar masyarakat yang terdapat di Kabupaten Ogan Ilir (Tanjungraja, Inderalaya, Pemulutan, Muara Kuang, Muare Penimbung, Talang Aur), Ogan Komering Ilir (Pampangan, Tulung Selapan), dan Ogan Komering Ulu (Baturaja). Bahasa Ogan yang dituturkan oleh sebagian masyarakat yang tinggal di pesisir atau tepian Sungai Ogan. Sungai Ogan berasal dari beberapa aliran kecil mata air dari Bukit Nanti bersatu menjadi satu aliran besar Sungai Ogan, yang pada akhirnya bermuara di sungai Musi Palembang Provinsi Sumatera Selatan. Bahasa Ogan yang digunakan oleh masyarakat di tepian sungai Ogan dikenal salah satu suku dari rumpun Melayu yaitu suku Ogan.


(20)

Kondisi tersebut berdampak pada komunikasi siswa di sekolah. Siswa lebih banyak menggunakan bahasa Ogan sebagai alat komunikasi atau sebagai bahasa pengantar di sekolah dibandingkan menggunakan bahasa Indonesia, sehingga siswa kesulitan dalam mengucapkan bahasa Indonesia dengan benar.

Sebagai contoh percakapan Rudi dan Doni.

Rudi berkata, “Don ada kawan mau berkenalan dengan kamu”. Doni menjawab, “budak betino apa jantan”.

Kata yang bercetak miring pada tuturan di atas merupakan istilah bahasa daerah Ogan ke dalam bahasa Indonesia. Arti dari kata budak dalam bahasa Ogan adalah seorang, betino adalah perempuan dan jantan adalah laki-laki. Adanya interferensi pada bidang makna di mana penutur menggunakan potongan istilah-istilah bahasa Ogan yang digunakan secara bersamaan dalam sistem tata bahasa Indonesia. Interferensi semacam ini termasuk dalam interferensi pada leksikal. Interferensi ini terjadi karena pemindahan morfem atau kata bahasa pertama ke dalam pemakaian bahasa kedua. Interferensi dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa nusantara berlaku bolak balik, artinya, unsur bahasa daerah bisa memasuki bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia banyak memasuki bahasa daerah (Suwito, 1983: 59).

Ketidakpatuhan pemakaian bahasa Indonesia dapat dijumpai antara lain dalam majalah, buku dan surat kabar maupun dalam berkomunikasi. Adanya penyimpangan bahasa dapat mengakibatkan terjadinya kontak bahasa yang merupakan gejala awal interferensi (Lubis, 1993: 95-96). Adanya penyimpangan-penyimpangan bukan tidak hanya perusakan terhadap bahasa, tetapi juga kontak bahasa yang disebabkan oleh


(21)

peristiwa persentuhan antar bahasa yang mengakibatkan pergantian pemakaian bahasa oleh penutur (Suwito, 1983: 26-27).

Interferensi merupakan fenomena penyimpangan kaidah kebahasaan yang terjadi akibat seseorang menguasai dua bahasa atau lebih. Suwito (1983: 54) berpendapat bahwa Interferensi sebagai penyimpangan karena unsur yang diserap oleh sebuah bahasa sudah ada padanannya dalam bahasa penyerap. Jadi, manifestasi penyebab terjadinya interferensi adalah kemampuan penutur dalam menggunakan bahasa tertentu.

Dari segi kebahasaan, interferensi dapat dibagi menjadi dua, yaitu interferensi bentuk dan interferensi arti. Interferensi bentuk meliputi unsur bahasa dan variasi bahasa, sedangkan interferensi bahasa meliputi interferensi leksikal, morfologi, dan sintaksis (Soepomo, 1982: 27). Pembahasan tentang interferensi sangat luas cakupannya, namun dalam penelitian ini hanya akan dibahas tentang interferensi morfologi bahasa Ogan dalam pemakaian bahasa Indonesia di sekolah.

Menurut Ramlan, (1987: 19) Morfologi adalah cabang linguistik yang mengidentifikasi satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal. Morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik.


(22)

Penelitian tentang interferensi morfologi telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Suindratini (2013) dalam penelitiannya meneliti tentang interferensi bahasa Bali dan Bahasa Asing dalam Cerita Lisan Bahasa Indonesia. Subjek penelitian adalah Siswa Kelas VII SMP Negeri 10 Denpasar. Hasil penelitian adalah interferensi bahasa Bali terdapat jenis interferensi fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, sedangkan dalam interferensi bahasa asing terdapat interferensi sintaksis dan semantik.

Dari deskripsi di atas menunjukkan bahwa penelitian mengenai interferensi morfologi yang diteliti Suindratini (2013) terdapat perbedaan dengan penelitian yang dilakukan saat ini. Hal tersebut nampak pada penelitian yang dilakukan peneliti tentang morfologi bahasa Ogan dalam pemakaian bahasa Indonesia murid Sekolah Dasar Kelas VI SD Negeri Sribandung Kabupaten Lampung Utara, yang di dalamnya mendeskripsikan interferensi morfologi bahasa Ogan saja, sedangkan penelitian Suidratini (2013) meneliti tentang interferensi fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik bahasa Bali dan bahasa Asing.

Penelitian tentang morfologi bahasa Ogan secara mendalam belum pernah dilakukan. Penelitian mengenai bahasa Ogan pernah dilakukan oleh tim peneliti bahasa Ogan, Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Sumatera Selatan yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1978/1979 tentang struktur bahasa Ogan Penelitian tersebut hanya memberikan gambaran mengenai struktur bahasa Ogan secara umum.


(23)

Penelitian yang khusus menyangkut morfologi dan sintaksis secara mendalam pernah dilakukan oleh R.M. Arif, Sutari, Harifin, Abdulah Madjid, Baharuddin Nur dan Gunawan diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1984 tentang Morfologi dan Sintaksis Bahasa Ogan, penelitian ini memberikan gambaran secara jelas morfologi dan sintaksis Bahasa Ogan dengan Subjek masyarakat penutur asli Bahasa Ogan Ilir Kecamatan Tanjungraja, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dengan sampel 24 Orang yang terletak di 24 dusun.

Meskipun penelitian secara mendalam tentang morfologi dan sintaksis bahasa Ogan pernah dilakukan dan hasilnya memberikan gambaran yang jelas tetapi penelitian secara khusus dengan subjek anak-anak sekolah dasar belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian tentang interferensi morfologi bahasa Ogan dalam pemakaian bahasa Indonesia murid Sekolah Dasar perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh dan terencana. Interferensi yang dimaksud adalah bagaimana bentuk interferensi morfologi bahasa Ogan dalam pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi di sekolah.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut.


(24)

1. Bagaimanakah interferensi morfologi bahasa Ogan berupa prefiks, sufiks, dan konfiks dalam pemakaian bahasa Indonesia murid Sekolah Dasar Kelas VI SD Negeri Sribandung Kabupaten Lampung Utara.

2. Bagaimanakah interferensi bahasa Ogan berupa penghilangan fonem, perubahan fonem, interferensi kata dasar, interferensi sapaan kekerabatan dan interferensi frasa dalam pemakaian bahasa Indonesia murid Sekolah Dasar Kelas VI SD Negeri Sribandung Kabupaten Lampung Utara.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan.

1. Bentuk interferensi morfologi bahasa Ogan berupa prefiks, sufiks, dan konfiks dalam pemakaian bahasa Indonesia murid Sekolah Dasar Kelas VI SD Negeri Sribandung Kabupaten Lampung Utara.

2. Bentuk interferensi bahasa Ogan berupa penghilangan fonem, perubahan fonem, interferensi kata dasar, interferensi sapaan kekerabatan dan interferensi frasa dalam pemakaian bahasa Indonesia murid Sekolah Dasar Kelas VI SD Negeri Sribandung Kabupaten Lampung Utara.


(25)

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang peneliti harapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengembangan pengetahuan tentang pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia khususnya sosiolinguistik dan memberikan landasan bagi para peneliti lain untuk mengadakan penelitian sejenis.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi siswa, guru, maupun sekolah.

a. Bagi siswa, penelitian ini dapat meningkatkan minat siswa terhadap pembelajaran berbicara, sehingga pada nantinya siswa dapat berbicara dengan bahasa Indonesia yang benar.

b. Bagi guru, penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan tentang ragam bahasa daerah khususnya sosiolinguistik.

c. Bagi sekolah, penelitian ini diharapkan dapat mendorong pihak sekolah untuk memotivasi semangat para guru dan siswa untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.


(26)

II. KAJIAN PUSTAKA

2.1 Peristiwa Kontak Bahasa

Hubungan antara bahasa dan masyarakat dapat dikaji dengan menggunakan teori sosiolinguistik. Bahasa dalam kajian sosiolinguistik dipandang sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi yang merupakan bagian dari masyarakat berkaitan dengan berbagai faktor, baik faktor kebahasaan itu sendiri maupun faktor non kebahasaan, misalnya faktor sosial budaya yang meliputi status sosial, umur, tingkat pendidikan dan jenis kelamin (Suwito, 1983: 2).

Chaer dan Agustina (1995: 4) mengatakan sosiolinguistik yaitu pengkajian bahasa (linguistik) sebagaimana bahasa itu berada dan berfungsi dalam masyarakat (sosiologis). Dengan demikian, sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu dalam masyarakat.

Appeal (dalam Suwito, 1983: 5) juga mengemukakan bahwa sosiolinguistik merupakan studi tentang tata bahasa dan pemakaian bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat dan kebudayaan. ini berarti Appeal menambahkan unsur kebudayaan pada pengertian sosiolinguistik, sehingga dapat dikatakan sosiolinguistik sebagai fenomena sosial dan budaya. Suwito (1983: 5) berpendapat bahwa


(27)

“sosiolinguistik berarti studi interdisipliner yang menganggap masalah-masalah kebahasaaan dalam hubungannya dengan masalah sosial.

Nababan menambahkan bahwa pemakaian bahasa tidak hanya dipengaruhi oleh linguistik dan nonlinguistik, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor situasional. Adapun yang termasuk dalam faktor situasional adalah siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dalam situasi yang bagaimana, dengan tujuan apa, dengan jalur apa dan ragam bahasa mana, atau disingkat SPEAKING (Dell Hymes dalam Nababan, 1984). Adanya faktor situasional dan sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa maka timbullah variasi bahasa.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masalah-masalah yang dikaji dalam sosiolinguistik meliputi:

a. Hubungan antara pembicara dengan pendengar

b. Macam bahasa beserta variasinya yang berkembang dalam masyarakat

c. Penggunaan bahasa sesuai dengan faktor kebahasaan maupun non kebahasaan termasuk kajian tentang kedwibahasaan.

Dalam membicarakan masalah kedwibahasaan atau bilingualisme, tidak mungkin terpisahkan adanya peristiwa kontak bahasa. Seorang dwibahasawan sangat mungkin sebagai awal terjadinya interferensi dalam bahasa, sehingga antara kontak bahasa dan dwibahasawan sangat erat hubungannya. Interferensi merupakan salah satu peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa.


(28)

Apabila ada dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, maka dapat dikatakan bahasa-bahasa tersebut dalam keadaan saling kontak. Sebagai contoh, adanya kontak bahasa antara bahasa Ogan dan bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penutur bahasa Ogan. Kontak bahasa terjadi dalam diri penutur. Individu tempat terjadinya kontak bahasa disebut dwibahasawan, sedangkan peristiwa pemakaian dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh seseorang disebut kedwibahasaan (Weinreich dalam Suwito, 1983: 39).

Diebold dalam Suwito (1983: 39) menjelaskan bahwa kontak bahasa itu terjadi dalam situasi konteks sosial, yaitu situasi di mana seseorang belajar bahasa kedua dalam masyarakat. Pada situasi seperti itu dapat dibedakan antara situasi belajar bahasa, proses perolehan bahasa dan orang yang belajar bahasa. Dalam situasi belajar bahasa terjadi kontak bahasa, proses pemerolehan bahasa kedua disebut pendwibahasaan (bilingualisasi) serta orang yang belajar bahasa kedua dinamakan dwibahasawan.

Mackey dalam Suwito, (1983: 39) berpendapat kontak bahasa merupakan pengaruh suatu bahasa kepada bahasa lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, sedangkan kedwibahasaan berarti penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseoarang penutur. Kontak bahasa cenderung kepada gejala bahasa (langue), sedangkan kedwibahasaan cenderung sebagai gejala tutur (parole). Namun, karena langue pada hakekatnya sumber dari parole, maka kontak bahasa sudah selayaknya nampak dalam kedwibahasaan atau dengan kata lain kedwibahasaan terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa.


(29)

Berdasar beberapa pendapat seperti di atas, maka jelaslah kiranya bahwa pengertian kontak bahasa meliputi segala peristiwa persentuhan antara beberapa bahasa yang mengakibatkan adanya kemungkinan pergantian pemakaian bahasa oleh penutur yang sama dalam konteks sosialnya, atau kontak bahasa terjadi dalam situasi kemasyarakatan, tempat seseorang mempelajari unsur-unsur sistem bahasa yang bukan merupakan bahasanya sendiri.

2.2Kedwibahasaan

Menurut Suwito (1983: 40), pengertian tentang kedwibahasaan atau bilingual sebagai salah satu dari masalah kebahasaan terus mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh, titik pangkal pengertian kedwibahasaan yang bersifat nisbi (relatif). Kenisbian demikian terjadi karena batasan seseorang untuk bisa disebut sebagai dwibahasawan bersifat arbitrer, sehingga pandangan tentang kedwibahasawan berbeda antara yang satu dengan yang lain.

Awalnya Bloomfield (dalam Chaer dan Agustina, 1995: 115) merumuskan kedwibahasaan sebagai “Native like control of two languages”. Maksudnya, kemampuan menggunakan dua bahasa yaitu bahasa daerah (B1) dan bahasa Indonesia (B2) dengan penguasaan yang sama baiknya oleh seorang penutur. Orang yang menggunakan dua bahasa disebut dwibahasawan, sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut kedwibahasaan. Proses memperoleh kebiasaan menggunakan dua bahasa disebut pendwibahasaan.


(30)

Mackey (melalui Chaer dan Agustina, 1995: 115) mengatakan dengan tegas bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian oleh seorang penutur. Untuk dapat menggunakan dua bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa dengan tingkat yang sama, artinya kemampuan penutur dalam penguasaan bahasa keduanya. Sependapat dengan Mackey, Weinreich (1986: 1) memberi pengertian kedwibahasaaan sebagai pemakaian dua bahasa oleh seorang penutur secara bergantian.

Perluasan pengertian kedwibahasaan nampak pada pendapat Haugen (dalam Suwito, 1983: 41) yang mengemukakan kedwibahasaan sebagai tahu dua bahasa (knowledge of two languages). Maksudnya, dalam hal kedwibahasaan, seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, tetapi cukuplah apabila ia mengetahui secara pasif dua bahasa tersebut. Perluasan itu berkaitan dengan pengertian kedwibahasaan yang tadinya dihubungkan dengan penggunaan bahasa diubah menjadi pengetahuan tentang bahasa.

Oksaar (dalam Suwito, 1985: 42) tidak cukup membatasi kedwibahasaan sebagai milik individu. Kedwibahasaan merupakan masalah bahasa, sedangkan bahasa itu sendiri tidak terbatas sebagai alat penghubung antarindividu melainkan sebagai alat penghubung antar kelompok. Oleh karena itu, masalah kedwibahasaan bukan masalah perseorangan tetapi masalah yang ada dalam suatu kelompok pemakai bahasa.

2.3Masyarakat Tutur

Batasan mengenai masyarakat tutur sangat beragam. Bloomfield (dalam Chaer dan Agustina, 1995: 48) membatasi dengan sekelompok orang yang menggunakan sistem


(31)

isyarat yang sama. Namun batasan itu dianggap terlalu sempit, karena masyarakat modern, banyak yang menguasai lebih dari satu bahasa. Sebaliknya, batasan yang diberikan oleh Labov (dalam Chaer dan Agustina, 1995: 48) mengatakan suatu kelompok orang yang mempunyai norma yang sama mengenai bahasa. Pengertian ini dianggap terlalu luas.

Masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaanya (Fishman dalam Chaer dan Agustina, 1995: 47). Kata masyarakat dalam istilah masyarakat tutur bersifat relatif, dapat menyangkut masyarakat yang luas, dan dapat pula hanya menyangkut sekelompok kecil orang.

Dengan pengertian terhadap kata masyarakat seperti itu, maka setiap kelompok orang yang karena tempat atau daerahnya, profesinya, hobinya, dan sebagainya menggunakan bentuk bahasa yang sama dan mempunyai penilaian yang sama pula terhadap norma-norma pemakaian bahasa itu, maka akan membentuk masyarakat tutur. Begitu pula kelompok-kelompok di dalam ranah-ranah sosial, seperti rumah tangga, pemerintahan, keagamaan atau bahkan kelompok kecil masyarakat terasing yang mungkin anggotanya hanya terdiri dari beberapa orang saja. Jadi, suatu wadah negara, bangsa, atau daerah dapat membentuk masyarakat tutur. Masyarakat tutur adalah sekelompok orang yang menganggap diri mereka memakai bahasa yang sama (Halliday, 1968), pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Chaer (1994: 60), yang menganggap masyarakat tutur adalah sekelompok orang yang merasa dirinya menggunakan bahasa yang sama.


(32)

Bahasa nasional dan bahasa daerah jelas mewakili masyarakat tutur tertentu dalam hubungan dengan variasi kebahasaan. Sebagai contoh adanya masyarakat bahasa di Indonesia.

2.4Interferensi

Hubungan yang terjadi antara kedwibahasaan dan interferensi sangat erat terjadi. Hal ini dapat dilihat pada kenyataan pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Situasi kebahasaan masyarakat tutur bahasa Indonesia sekurang-kurangnya ditandai dengan pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Situasi pemakaian seperti inilah yang dapat memunculkan percampuran antara bahasa nasional dan bahasa Indonesia. Bahasa ibu yang dikuasai pertama, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pemakaian bahasa kedua, dan sebaliknya bahasa kedua juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemakaian bahasa pertama. Kebiasaan untuk memakai kedua bahasa lebih secara bergantian disebut kedwibahasaan. Peristiwa semacam ini dapat menimbulkan interferensi.

Interferensi secara umum dapat diartikan sebagai percampuran dalam bidang bahasa. Percampuran yang dimaksud adalah percampuran dua bahasa atau saling pengaruh antara kedua bahasa. Hal ini dikemukakan oleh Poerwadarminto dalam Pramudya (2006: 27) yang menyatakan bahwa interferensi berasal dari bahasa Inggris interference yang berarti percampuran, pelanggaran, rintangan.


(33)

Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1968: 1) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Penutur yang bilingual adalah penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian, sedangkan penutur multilingual merupakan penutur yang dapat menggunakan banyak bahasa secara bergantian. Peristiwa interferensi terjadi pada tuturan dwibahasawan sebagai kemampuannya dalam berbahasa lain.

Weinreich (1968: 1) juga mengatakan bahwa interferensi adalah bentuk penyimpangan penggunaan bahasa dari norma-norma yang ada sebagai akibat adanya kontak bahasa karena penutur mengenal lebih dari satu bahasa. Interferensi berupa penggunaan bahasa yang satu dalam bahasa yang lain pada saat berbicara atau menulis. Di dalam proses interferensi, kaidah pemakaian bahasa mengalami penyimpangan karena adanya pengaruh dari bahasa lain. Pengambilan unsur yang terkecil pun dari bahasa pertama ke dalam bahasa kedua dapat menimbulkan interferensi.

Lado (1957: 217) mengatakan bahwa interferensi adalah kesulitan yang timbul dalam proses penguasaan bahasa kedua dalam hal bunyi, kata, atau konstruksi sebagai akibat perbedaan kebiasaan dengan bahasa pertama. Menurut Dulay, dkk. dalam Budiarsa (2006: 355), interferensi sosiolinguistik adalah jika masyarakat atau negara yang memiliki bahasa berbeda mengadakan kontak atau interaksi menggunakan bahasa. Pendapat senada didukung oleh Kridalaksana (2001: 84) yang mengatakan


(34)

interferensi adalah penggunaan unsur bahasa lain oleh bahasawan yang bilingual secara individual dalam suatu bahasa ciri-ciri masih kentara.

Poedjosoedarmo (1989: 53) menyatakan bahwa interferensi dapat terjadi pada segala tingkat kebahasaan, seperti cara mengungkapkan kata dan kalimat, cara membentuk kata dan ungkapan, cara memberikan kata-kata tertentu, dengan kata lain inteferensi adalah pengaturan kembali pola-pola yang disebabkan oleh masuknya elemen-elemen asing dalam bahasa yang berstruktur lebih tinggi, seperti dalam fonemis, sebagian besar morfologis dan sintaksis, serta beberapa perbendaharaan kata (leksikal).

Dalam proses interferensi, terdapat tiga unsur yang mengambil peranan, yaitu: Bahasa sumber atau bahasa donor, bahasa penyerap atau bahasa resipien, dan unsur serapan atau importasi. Dalam peristiwa kontak bahasa, mungkin sekali pada suatu peristiwa, suatu bahasa menjadi bahasa donor, sedangkan pada peristiwa yang lain bahasa tersebut menjadi bahasa resipien. Saling serap adalah peristiwa umum dalam kontak bahasa.

Hortman dan Stork melalui Alwasilah (1985: 131) menganggap interferensi sebagai kekeliruan yang disebabkan terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa atau dialek bahasa ibu ke dalam bahasa atau dialek kedua. Maksud interferensi merupakan kekeliruan yng disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain, mencakup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan kosakata.


(35)

Interferensi yang terjadi antara bahasa Ogan dalam pemakaian bahasa Indonesia disebabkan adanya pertemuan atau persentuhan antara dua bahasa tersebut. Interferensi ini bisa terjadi pada lafal, pembentukan kata, pembentukan kalimat, dan kosakata.

Menurut (Suwito, 1983: 59) interferensi bahasa Indonesia dengan bahasa daerah berlaku saling kontak, artinya unsur bahasa daerah bisa memasuki unsur bahasa Indonesia begitu pula sebaliknya. Namun, untuk bahasa asing interferensi cenderung hanya secara sepihak, maksudnya bahasa Indonesia sebagai bahasa resipien dan bahasa asing sebagai bahasa donor. Berikut bagan interferensi antara ketiga bahasa tersebut:

Bahasa Asing Bahasa Daerah

Interferensi menurut Jendra (1991: 106-114) dapat dilihat dari berbagai sudut sehingga akan menimbulkan berbagai macam interferensi antara lain:

1. Interferensi ditinjau dari asal unsur serapan

Kontak bahasa bisa terjadi antara bahasa yang masih dalam satu kerabat maupun bahasa yang tidak satu kerabat. Interferensi antarbahasa sekeluarga disebut dengan penyusupan sekeluarga (internal interference) misalnya interferensi bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa. Sedangkan interferensi antarbahasa yang

D1 D2 D3 Bahasa

Indonesia A1

A2 A3


(36)

tidak sekeluarga disebut penyusupan bukan sekeluarga (external interference) misalnya bahasa interferensi bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia.

2. Interferensi ditinjau dari arah unsur serapan

Komponen interferensi terdiri atas tiga unsur yaitu bahasa sumber, bahasa penyerap, dan bahasa penerima. Setiap bahasa akan sangat mungkin untuk menjadi bahasa sumber maupun bahasa penerima. Interferensi yang timbal balik seperti itu kita sebut dengan interferensi produktif. Di samping itu, ada pula bahasa yang hanya berkedudukan sebagai bahasa sumber terhadap bahasa lain atau interferensi sepihak. Interferensi yang seperti ini disebut interferensi reseptif.

3. Interferensi ditinjau dari segi pelaku

Interferensi ditinjau dari segi pelakunya bersifat perorangan dan dianggap sebagai gejala penyimpangan dalam kehidupan bahasa karena unsur serapan itu sesungguhnya telah ada dalam bahasa penerima. Interferensi produktif atau reseptif pada pelaku bahasa perorangan disebut interferensi perlakuan atau performance interference. Interferensi perlakuan pada awal orang belajar bahasa asing disebut interferensi perkembangan atau interferensi belajar.

4. Interferensi ditinjau dari segi bidang.

Pengaruh interferensi terhadap bahasa penerima bisa merasuk ke dalam secara intensif dan bisa pula hanya di permukaan yang tidak menyebabkan sistem bahasa penerima terpengaruh. Bila interferensi itu sampai menimbulkan perubahan dalam sistem bahasa penerima disebut interferensi sistemik. Interferensi dapat terjadi pada berbagai aspek kebahasaan antara lain, pada sistem tata bunyi (fonologi),


(37)

tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan bisa pula menyusup pada bidang tata makna (semantik).

Ohoiwutun (2007: 72) mengatakan bahwa gejala interferensi dapat dilihat dalam tiga dimensi kejadian. Pertama, dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tengah masyarakat. Kedua, dari dimensi sistem bahasa dari kedua bahasa atau lebih yang berbaur. Ketiga, dimensi pembelajaran bahasa.

Dimensi pertama, menurut Ohuiwutun (2007: 72-73), “Dari dimensi tingkah laku penutur dengan mudah dapat disimak dari berbagai praktik campur kode yang dilakukan penutur yang bersangkutan.” Dimensi pertama ini terjadi karena murni rancangan atau model buatan penutur itu sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mentransfer satu atau lebih komponen dari bahasa yang satu untuk dirakit dan diramu dalam konteks bahasa yang lain.

Dimensi kedua, menurut Ohuiwutun (2007: 73), “Dari dimensi sistem bahasa dikenal sebagai interferensi sistemik, yaitu pungutan bahasa.” Interferensi leksikal sistemik terjadi karena penyesuaian ejaan dari bahasa yang satu dalam konteks bahasa yang lain. Di dalam proses pungutan bahasa ini, interferensi leksikal sistemik dapat terjadi penggunaan leksikal bahasa asing dan yang sudah disistemikkan tetapi masih menggunakan bahasa asing karena ketidaktahuan pengguna bahasa. Bahkan, dapat terjadi proses pungutan bahasa yang mengabaikan interferensi leksikal sistemik dengan cara penggunaan leksikal serapan langsung dan leksikal bahasa asing yang belum diserap ke dalam bahasa Indonesia. Interferensi leksikal, penggunaan leksikal


(38)

yang sudah disistemikkan tetapi masih menggunakan bahasa asing, leksikal serapan langsung, dan leksikal bahasa asing yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia.

Dimensi ketiga dalam gejala interferensi yang dikemukakan oleh Ohoiwutun (2007: 74-75) biasanya dinamai interferensi karena pendidikan. Di dalam hal ini dikenal transfer positif dan transfer negatif. Transfer positif terjadi apabila pembelajaran menyesuaikan unsur-unsur yang mirip dan sama dari bahasa kedua atau asing dengan bahasa pertamanya dan menggunakan sistem bahasa yang baru tersebut untuk mempermudah pembelajaran. Sebaliknya, dikatakan transfer negatif terjadi apabila bahasa pertama dan bahasa asing sangat berlainan sehingga hampir tidak memiliki komponen yang semirip sehingga proses pembelajaran semakin rumit.

Dari beberapa pendapat mengenai batasan interferensi, dapat diketahui bahwa interferensi merupakan akibat dari kontak bahasa yang pada dasarnya merupakan pemakaian dua buah sistem secara serempak kepada suatu unsur bahasa. Pada umumnya interferensi dianggap sebagai gejala tutur (speech parole), dan hanya terjadi pada diri dwibahasawan, sedangkan peristiwanya dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi karena unsur-unsur serapan itu sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa penyerap.


(39)

2.5Bentuk-Bentuk Interferensi

Jendra (1991: 108) membedakan interferensi menjadi lima aspek kebahasaan, antara lain:

1. interferensi pada bidang sistem tata bunyi (fonologi) 2. interferensi pada tata bentukan kata (morfologi) 3. interferensi pada tata kalimat (sintaksis)

4. interferensi pada kosakata (leksikon)

5. interferensi pada bidang tata makna (semantik)

Menurut Jendra (1991: 113) interferensi pada bidang semantik masih dapat dibedakan lagi menjadi tiga bagian, yakni

1. Interferensi semantik perluasan (semantic expansive interference). Istilah ini dipakai apabila terjadi peminjaman konsep budaya dan juga nama unsur bahasa sumber.

2. Interferensi semantik penambahan (semantic aditif interference). Interferensi ini terjadi apabila muncul bentuk baru berdampingan dengan bentuk lama, tetapi bentuk baru bergeser dari makna semula.

3. Interferensi semantik penggantian (replasive semantic interference). Interferensi ini terjadi apabila muncul makna konsep baru sebagai pengganti konsep lama.

Huda (1981: 17) yang mengacu pada pendapat Weinrich mengidentifikasi interferensi atas empat macam, yaitu

1. mentransfer unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain,


(40)

3. penerapan unsur-unsur bahasa kedua yang berbeda dengan bahasa pertama, 4. kurang diperhatikannya struktur bahasa kedua mengingat tidak ada equivalensi

dalam bahasa pertama.

Ardiana (1990: 14) membagi interferensi menjadi lima macam, yaitu

1. Interferensi kultural dapat tercermin melalui bahasa yang digunakan oleh dwibahasawan. Dalam tuturan dwibahasawan tersebut muncul unsur-unsur asing sebagai akibat usaha penutur untuk menyatakan fenomena atau pengalaman baru. 2. Interferensi semantik adalah interferensi yang terjadi dalam penggunaan kata

yang mempunyai variabel dalam suatu bahasa.

3. Interferensi leksikal, harus dibedakan dengan kata pinjaman. Kata pinjaman atau integrasi telah menyatu dengan bahasa kedua, sedangkan interferensi belum dapat diterima sebagai bagian bahasa kedua. Masuknya unsur leksikal bahasa pertama atau bahasa asing ke dalam bahasa kedua itu bersifat mengganggu.

4. Interferensi fonologis mencakup intonasi, irama penjedaan dan artikulasi.

5. Interferensi gramatikal meliputi interferensi morfologis, fraseologis dan sintaksis.

Weinreich (1968: 7) membagi interferensi berdasarkan bentuknya, yaitu: 1. interferensi bidang bunyi

2. interferensi bidang gramatika

3. interferensi bidang leksikal atau kosakata

Interferensi sebagai gejala umum dalam peristiwa bahasa merupakan akibat dari kontak bahasa. Rindjin (dalam Irwan, 1994: 18) membagi interferensi menjadi empat macam yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut. (1) peminjaman unsur suatu


(41)

bahasa ke dalam tuturan bahasa lain dan dalam peminjaman itu ada aspek tertentu yang ditransfer. Hubungan antara bahasa yang dipinjam unsur-unsurnya disebut bahasa sumber, sedangkan bahasa penerima disebut bahasa peminjam. Aspek yang ditransfer dari bahasa sumber ke dalam bahasa penerima disebut aspek importasi, (2) penggantian unsur bahasa dengan padanannya ke dalam suatu tuturan bahasa yang lain, Di dalam penggantian ada yang dinamakan dengan substitusi, yakni aspek dari suatu bahasa yang disalin ke bahasa lain, (3) penerapan hubungan ketatabahasaan bahasa A ke dalam morfem bahasa B juga dalam kaitan tuturan bahasa B, atau pengingkaran hubungan ketatabahasaan bahasa B yang tidak ada modelnya dalam bahasa A, dan (4) perubahan fungsi morfem melalui jati diri antara satu morfem bahasa B tertentu dengan morfem bahasa A tertentu, yang menimbulkan perubahan (perluasan maupun pengurangan) fungsi-fungsi morfem bahasa B berdasarkan tata bahasa A.

Irwan (2006: 18), menyatakan dari segi sifatnya interferensi dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) interferensi aktif, (2) interferensi pasif, dan (3) interferensi varisional. Inteferensi aktif adalah adanya kebiasaan dalam berbahasa daerah dipindahkan ke dalam bahasa Indonesia; yang bersifat pasif adalah penggunaan beberapa bentuk bahasa daerah oleh bahasa Indonesia karena dalam bahasa Indonesia tidak ada; interferensi varisional adalah kebiasaan menggunakan ragam tertentu ke dalam bahasa Indonesia.

Bentuk interferensi lain menurut Irwan, yaitu ada lima macam seperti: (1) interferensi fonologi, (2) interferensi morfologi, (3) interferersi sintaksis, (4) interferensi leksikon,


(42)

dan (5) interferensi semantik. Peristiwa interferensi dapat terjadi dalam bidang-bidang tata bunyi, tata bentuk, tata kalimat, tata kata, dan tata makna. Macam-rnacam interferensi yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah interferensi morfologi dan interferensi sintaksis.

Suwito (1983: 55) mengemukakan bahwa interferensi dapat terjadi dalam semua komponen kebahasaan, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, leksikal (kosakata).

Selain itu, Poedjosoedarmo (1978: 36) membagi interferensi berdasarkan segi sifatnya, menjadi 3 macam yaitu: interferensi aktif, interferensi pasif, dan interferensi variasional. Interferensi aktif adalah kebiasaan dalam berbahasa daerah dipindahkan ke dalam bahasa Indonesia, interferensi pasif adalah penggunaan beberapa bentuk bahasa dan pola bahasa daerah, sedangkan interferensi variasional adalah kebiasaan menggunakan ragam tertentu ke dalam bahasa Indonesia.

2.5.1 Interferensi Morfologi

Morfologi adalah cabang tata bahasa yang menelaah struktur atau bentuk kata, utamanya melalui penggunaan morfem (Crystal dalam Ba’dulu, 2004: 1). Morfem adalah satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna (Chaer, 1994: 146). Contoh kata [berhak], terdiri dari dua morfem [ber] dan [hak].

Menurut Ramlan, (1987: 19) Morfologi adalah cabang linguistik yang mengidentifikasi satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal. Morfologi


(43)

mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik.

Kata Morfologi berasal dari kata morphologie. Kata morphologie berasal dari bahasaYunani morphe yang digabungkan dengan logos. Morphe berarti bentuk dan dan logos berarti ilmu. Bunyi [o] yang terdapat diantara morphe dan logos ialah bunyi yang biasa muncul diantara dua kata yang digabungkan. Jadi, berdasarkan makna unsur-unsur pembentukannya itu, kata morfologi berarti ilmu tentang bentuk.

Dalam kaitannya dengan kebahasaan, yang dipelajari dalam morfologi ialah bentuk kata. Selain itu, perubahan bentuk kata dan makna (arti) yang muncul serta perubahan kelas kata yang disebabkan perubahan bentuk kata itu, juga menjadi objek pembicaraan dalam morfologi. Dengan kata lain, secara struktural objek pembicaraan dalam morfologi adalah morfem pada tingkat terendah dan kata pada tingkat tertinggi. Itulah sebabnya, dikatakan bahwa morfologi adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk kata (struktur kata) serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap makna (arti) dan kelas kata.

Proses morfologi dalam bahasa Indonesia seperti yang dikemukakan oleh Ramlan (1985: 63) yaitu berupa afiksasi, reduplikasi dan pemajemukan. Hal tersebut sama dengan proses morfologi bahasa Ogan, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi interferensi morfologi antara bahasa Ogan dan bahasa Indonesia.


(44)

Menurut Suwito (1983: 55) interferensi morfologi dapat terjadi apabila dalam pembentukan kata suatu bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Afiks suatu bahasa digunakan untuk membentuk kata dalam bahasa lain, Sedangkan afiks adalah morfem imbuhan yang berupa awalan, akhiran, sisipan, serta kombinasi afiks. Dengan kata lain afiks bisa memempati posisi depan, belakang, tengah bahkan di antara morfem dasar (Ramlan, 1985: 63). Dalam bahasa sering terjadi penyerapan afiks ke-, ke-an, misalnya kata ketabrak, kelanggar dsb. Bentukan kata tersebut berasal dari bentuk dasar bahasa Indonesia + afiks bahasa daerah. Bentukan dengan afiks-afiks seperti ini sebenarnya tidak perlu, sebab dalam bahasa sudah ada padanannya berupa afiks ter-. Persentuhan unsur kedua bahasa itu menyebabkan perubahan sistem bahasa, yaitu perubahan pada struktur kata bahasa yang bersangkutan.

Interferensi morfologis terjadi apabila dalam pembentukan kata, suatu bahasa menyerap afiks bahasa lain (Suwito dalam Harijatiwidjaja, 1995: 10). Dalam bahasa Indonesia, misalnya, sering terjadi penyerapan afiks dari bahasa daerah, seperti kebesaran, kemurahan, sungguhan, kepukul, dihabisin, dan dibayangin. Pembentukan kata tersebut berasal dari bentuk dasar bahasa Indonesia + afiks bahasa daerah.

Selain berupa penambahan afiks, gejala-gejala interferensi morfologi dapat pula berupa reduplikasi, dan pemajemukan. Menurut Ramlan (1985: 63) reduplikasi adalah pengulangan suatu satuan gramatika, baik seluruhnya maupun sebagian.


(45)

Chaer (1999: 66) Interferensi morfologi merupakan interferensi yang terjadi dalam pembentukan kata, leksikal, dan frase. Pembentukan kata, contohnya, legalisasi, premanisme, pascasunami, dan ekspress. Pembentukan leksikal yaitu penggunaan kata asing, baik sudah ada padanannya maupun belum ada padanannya. Contohnya internet, florist, mouse, collection, dan fashion. Pembentukan frase sangat sering terjadi dalam penulisan nama badan usaha swasta. Interferensi ini, misalnya, dalam bahasa Indonesia menggunakan struktur DM (Diterangkan Menerangkan) sementara bahasa Inggris menggunakan struktur MD (Menerangkan Diterangkan).

Afiksasi menurut Samsuri (1985: 190), adalah penggabungan akar kata atau pokok dengan afiks. Afiks ada tiga macam, yaitu awalan, sisipan, dan akhiran. Karena letaknya yang selalu di depan bentuk dasar, sebuah afiks disebut awalan atau prefiks. Afiks disebut sisipan (infiks) karena letaknya di dalam kata, sedangkan akhiran (sufiks) terletak di akhir kata. Penjabaran dari afiksasi tersebut sebagai berikut.

1. Prefiks (Awalan) a. Prefiks be(R)-

Prefiks be(R)- memiliki beberapa variasi. Be(R)- bisa berubah menjadi be- dan bel-. be(R)- berubah menjadi be- jika

1) kata yang dilekatinya diawali dengan huruf r dan

2) suku kata pertama diakhiri dengan er yang di depannya konsonan. a) be(R)- + renang berenang .

b) be(R)+ ternak — beternak

c) be(R)+kerja -- bekerja b. Prefiks me (N)-

1) Prefiks me(N)- mempunyai beberapa variasi, yaitu me(N)- yaitu mem-, men-, meny-,meng-, menge-, dan me-. Prefiks me(N)- berubah menjadi mem- jika bergabung dengan kata yang diawali huruf /b/, /f/, /p/, dan /v/, misalnya, me(N)- + baca →membaca,me(N)- + pukul memukul.

2) Prefiks me(N)- berubah menjadi men- jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf /d/, /t/, /j/, dan /c/, misalnya, me(N)- + data


(46)

mendata, me(N)- + tulis menulis, me(N)- + jadi menjadi, dan me(N)- + cuci →mencuci.

3) Prefiks me(N)- berubah menjadi meny- jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf /s/, misalnya, me(N)- + sapu → menyapu.

4) Prefiks me(N)- berubah menjadi meng- jika bergabung dengan kata yang diawali dengan huruf /k/ dan /g/, misalnya, me(N)- + kupas mengupas dan me(N)- + goreng menggoreng.

5) Prefiks me(N)- berubah menjadi menge- jika bergabung dengan kata yang terdiri dari satu suku kata, misalnya, me(N)- + lap → mengelap, me(N)- +

bommengebom, dan me(N)- + bor mengebor.

c. Prefiks pe (R)-

1) Prefiks pe(R)- merupakan nominalisasi dari prefiks be(R). Perhatikan contoh berikut!

a) Berawat→ perawat

b) Bekerja → pekerja.

2) Prefiks pe(R)- mempunyai variasi pe- dan pel-. Prefiks pe(R)- berubah menjadi pe jika bergabung dengan kata yang diawali huruf r dan kata yang suku katanya berakhiran er, misalnya, pe(R)- + rawat perawat dan pe(R)- + kerjapekerja.

3) Prefiks pe(R)- berubah menjadi pel- jika bergabung dengan kata ajar, misalnya, pe(R)- + ajar→ pelajar.

d. Prefiks pe(N)-

1) Prefiks pe(N)- mempunyai beberapa variasi. Prefiks pe-(N)- sejajar dengan prefiks me(N)-. Variasi pe(N)- memiliki variasi pem-, pen-, peny-, peng-, pe-, dan penge-.

2) Prefiks pe(N)- berubah menjadi pem- jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf /t/, /d/, /c/, dan /j/, misalnya, penuduh, pendorong, pencuci, dan penjudi. Prefiks pe(N)- berubah menjadi pem- jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf /b/ dan /p/, misalnya, pebaca dan pemukul. Prefiks pe(N)- berubah menjadi peny- jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf /s/, misalnya, penyaji. Prefiks pe(N)- berubah menjadi peng- jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf /g/ dan /k/, misalnya, penggaris dan pengupas. Prefiks pe(N)- berubah menjadi penge- jika bergabung dengan kata yang terdiri atas satu suku kata, misalnya, pengebom, pengepel, dan pengecor. Prefiks pe(N)- berubah menjadi pe- jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf /m/, /l/, dan /r/, misalnya, pemarah, pelupa, dan perasa.


(47)

e. Prefiks te(R)-

Prefiks te(R)- mempunyai beberapa variasi, yaitu ter- dan tel-, misalnya, terbaca, ternilai, tertinggi, dan telanjur.

2. Infiks (Sisipan)

Infiks termasuk afiks yang penggunaannya kurang produktif. Infiks dalam bahasa Indonesia terdiri dari tiga macam: -el-, -em-, dan –er-.

a. infiks -el-, misalnya, geletar;

b. infiks -er-, misalnya, gerigi, seruling; dan c. infiks -em-, misalnya, gemuruh, gemetar 3. Sufiks (Akhiran)

Sufiks dalam bahasa Indonesia mendapatkan serapan asing seperti wan, wati, man. Adapun akhiran yang asli terdiri dari –an, -kan, dan –i.

a. sufiks -an, misalnya, dalam ayunan, pegangan, makanan; b. sufiks -i, misalnya, dalam memagari memukuli, meninjui;

c. sufiks -kan, misalnya, dalam memerikan, melemparkan; dan d. sufiks -nya, misalnya, dalam susahnya, berdirinya.

4. Konfiks

Konfiks adalah “gabungan afiks yang berupa prefiks (awalan) dan sufiks (akhiran) yang merupakan satu afiks yang tidak terpisah-pisah. Artinya, afiks gabungan itu muncul secara serempak pada morfem dasar dan bersama-sama membentuk satu makna gramatikal pada kata bentukan itu” (Keraf, 1984: 115). Berikut ini konfiks yang terdapat dalam bahasa Indonesia.

a. konfiks pe(R)-an misalnya, dalam perbaikan, perkembangan, b. konfiks pe(N)-an misalnya, dalam penjagaan, pencurian, c. konfiks ke-an misalnya, kedutaan, kesatuan,


(48)

2.6Morfologi Bahasa Ogan

R.M. Arif, Sutari Harifin, Abdul Majid, Baharudin Nur, Gunawan (1984, 12-63) meliputi (1) fonem bahasa Ogan, (2) ejaan yang dipakai, (3) morfem, (4) morf dan alomorf, (5) wujud morfem, (6) jenis morfem, (7) proses morfologis, (8) proses morfofonologis, (9) fungsi dan makna morfem, serta (10) golongan kata. Untuk jelasnya dapat dilihat pada paparan berikut ini.

2.6.1 Fonem Vokal

Fonem vokal bahasa Ogan terdiri dari /i/, /e/, /è/, /ê/, /a/, /u/, /o/, /O/. Fonem-fonem itu tampak dalam distribusi fonem berikut.

Contoh: /i/ ikaq ‘ini’ /e/ encer ‘cair’ /è/ ènam ‘enam’ /ê/ ape ‘apa’ /a/ tana ‘tanah’ /u/ umban ‘jatuh’ /o/ ola ‘pernah’ /O/ Ola ‘kerja’

2.6.2 Fonem Konsonan

Fonem konsonan bahasa Ogan terdiri dari /p/, /b/, /t/, /d/, /k/, /g/, /o/, /h/, /s/, /c/, /j/, /r/, /m/, /n/,/ń/, /ŋ/, /l/, /w/, /y/.

1. Fonem konsonan: /p/, /t/, /k/, /s/, /r/, /m/, /n/, /ŋ/, /l/, /w/, /y/ terdapat pada semua kedudukan.

2. Fonem konsonan; /b/, /d/, /g/, /h/, /c/, /j/, /ń/ hanya terdapat pada kedudukan awal dan tengah, dan


(49)

2.6.3 Jenis Morfem

Jenis morfem bahasa Ogan bermacam-macam sesuai dengan dasar pembagiannya. Berdasarkan banyak alomorfnya, morfem dibagi menjadi morfem beralomorf satu dan morfem beralomorf lebih dari satu.

1. Morfem Beralomorf Satu

Yang dimaksud dengan morfem beralomorf satu ialah morfem yang hanya mempunyai satu alomorf. Dengan kata lain, baik morfem maupun alomorf itu mempunyai wujud fonologis yang sama.

Contoh:

di- ‘di-’ mempunyai alomorf di- tē- ‘ter-‘ mempunyai alomorf tē- ke- ‘-kan’ mempunyai alomorf -kan

2. Morfem Beralomorf Lebih dari Satu

Yang dimaksud dengan morfem beralomorf lebih dari satu ialah morfem yang mempunyai beberpa alomorf.

Contoh:

ngē- ‘mē-‘ mempunyai alomorf n-, ny-, ng-, m-, dan Ø. pē- ‘pe-’ mempunyai alomorf pēn-, pēny-, pēng-, dan pēm.

3. Morfem Bebas

Morfem bebas dalam bahasa ogan ialah morfem yang mempunyai kemampuan dapat berdiri sendiri sebagai kata.

Contoh:

uma ‘rumah’


(50)

umè ‘sawah’

pandak ‘pendek’

4. Morfem Terikat Morfologis

Dalam bahasa Ogan, morfem terikat morfologis terdiri dari morfem imbuhan dan morfem perulangan. Morfem imbuhan terbagi menjadi (1) Awalan, (2) sisipan, (3) Akhiran, dan (4) imbuhan terpisah atau konfiks.

(1) Awalan

Awalan bahasa Ogan ada delapan, yaitu bē-, ngē-, pē-, kē-, tē-, sē-, dan ku- a) bē-, ‘ber-’

Contoh:

bēbala ‘berkelahi’

bēlinjangan ‘berpacaran’ b) ngē-, ‘me-’

Contoh:

ngakor ‘mengukur’

nyapu ‘menyapur’

c) pē-, ‘pe-’ contoh:

pēmanceng ‘pengail’

pēngekes ‘pengikis’

d) kē-, ‘ke-’ contoh:

kētue ‘ketua’

kēndak ‘kehendak’

e) tē-, ‘ter’ Contoh:

tētawe ‘tertawa’

tēlio ‘terlincir’ f) sē-, ‘se-‘

Contoh:

sēuma ‘serumah’

sēsodong ‘sepondok’

g) ku-, ‘ku-‘ Contoh:

kucoba ‘kucoba’


(51)

(2) Akhiran

Akhiran dalam bahasa Ogan ada empat, yaitu –i, -ke, -an, dan –e. a) –i, ‘i’

Contoh:

namèi ‘namai’

tolesi ‘tulisi’

b) -ke, ‘kan’ Contoh:

angkatkè ‘angkatkan’ potekè ‘putihkan’ c) -an, ‘an’

Contoh:

koboran ‘kuburan’

atosan ‘ratusan’

d) –e, ‘nya’ Contoh:

tinggiè ‘puluhan’

manesè ‘manisnya’

(3) Sisipan

Sisipan dalam bahasa Ogan ada tiga, yaitu –ēl-, -ēr, dan –ēm-. a) -ēl-, ‘–ēl-‘

Contoh:

kēlinyar ‘pusing selalu’

tēlenjok ‘telunjuk’

b) -ēr, ‘-ēr’ Contoh:

gērontom ‘bunyi berat’

gērigi ‘gerigi

c) -ēm- ‘-ēm-‘ Contoh:

gēmoro ‘gemuruh’

gēmetar ‘gemetar’

(4) Imbuhan Terpisah

Imbuhan terpisah dalam bahasa Ogan ada dua, yaitu ke….an, dan pe….an.

a) ke….an‘ke….an’

Contoh:


(52)

kēangatan ‘kepanasan’

kēkēcilan ‘kekecilan’

b) pe….an‘pe….an’

Contoh:

pēngabesan ‘penghabisan’

pēmancaan ‘penebasan’

pēnonoan ‘pembakaran’

(5) Perulangan

Morfem terikat morfologis dalam bentuk morfem perulangan dalam bahasa Ogan, misalnya.

wang-wang ‘orang-orang’ abes-abes ‘habis-habis’

kēlimē-limēnyē‘kelima-limanya’

2.6.4 Proses Morfologis

Proses morfologis dalam bahasa Ogan adalah (1) pengimbuhan, (2) perulangan, dan (3) persenyawaan.

1. Pengimbuhan

Pengimbuhan dalam bahasa Ogan ada empat jenis yaitu (1) awalan, (2) sisipan, (3) akhiran, dan (4) imbuhan terpisah (konfiks).

a. Awalan

1) Awalan be- Contoh:

ijok ‘ijuk’  bēijok‘berijuk’

gawè ‘kerja’  bēgawè‘bekerja’

racon ‘racun’  bēracon‘beracun’

2) Awalan nge- Contoh:

eres ‘iris’  ngeres ‘mengiris’

bēli ‘beli’  mēli ‘membeli’


(53)

3) Awalan pe- Contoh:

Ola ‘olah’  pēngOla‘pengolah’

bēsO ‘besar’  pēmēsO‘pembesar’ jagē ‘jaga’  pēnyagē‘penjaga’ 4) Awalan di-

Contoh:

alau ‘halau’  dialau ‘dihalau’

ēnjok ‘beri’  diēnjok‘diberi’

roro ‘urus’  diroro ‘diurus’

5) Awalan ke- Contoh:

tue ‘tua’  kētuè‘ketua’

ēndak ‘hendak’  kèndak ‘kehendak’

6) Awalan se- Contoh:

ikOk ‘ekor’  sikOk ‘seekor’

bapok ‘bapak’  sēbapok ‘sebapak’

sodong ‘pondok’  sēsodong‘sepondok’ 7) Awalan tē-

Contoh:

isap ‘hisap’  tēisap‘terhisap’

enjok ‘beri’  tēēnjok‘terberi’

pokal ‘pukul’  tēpokol‘terpukul’

8) Awalan ku- Contoh:

baso ‘cuci’  kubaso ‘kucuci’

pacol ‘cangkul’  kupacol ‘kucangkul’

bacē ‘baca’  kubacē‘kubaca’

b. Akhiran 1) Akhiran -i

Contoh:

kompol ‘kumpul’  kompoli ‘kumpuli’

jagè ‘jaga’  jagèi ‘jagai’


(54)

2) Akhiran –an Contoh:

bosek ‘main’  bosekan ‘mainan’

cēlop ‘celap’  celopan ‘celapan’

sangkot ‘sangkut’  sangkotan ‘sangkutan’ 3) Akhiran –ke

Contoh:

pote ‘putih’  potekè ‘putihkan’

gunè ‘guna’  gunèkè ‘gunakan’

rèla ‘rela’  relakè ‘relakan’

4) Akhiran -e Contoh:

tinggi ‘tinggi’  tinggiè ‘tingginya’

manes ‘manis’  manesè ‘manisnya’

sēde ‘sedih’  sēdeè ‘tingginya’ c. Sisipan

Sisipan dalam bahasa Ogan ada tiga macam, yaitu -ēl, -ēr, dan -ēm, yang ditulis serangkai di tengah bentuk dasar yang menyertainya.

1) Sisipan -ēl Contoh:

kenyar ‘pening’  kēlinyar‘pening selalu’ tonjok ‘tunjuk’  tēlonjok ‘telunjuk’ tapak ‘tapak’  tēllapan ‘telapak’ 2) Sisipan -ēr

Contoh:

gigi ‘gigi’  gerigi ‘gerigi’

godak ‘goyang’  gerodak ‘bunye benda yang bergerak’

3) Sisipan –ēm Contoh:

goro ‘guruh’  gemoro ‘gemuruh’

getar ‘getar’  gemetar ‘gemetar’

gerenceng ‘suara benda keras bersentuhan’  gemerenceng


(55)

d. Imbuhan Terpisah (konfiks)

Imbuhan terpisah ditulis secara serentak dengan bentuk dasar yang menyertainya. Beberapa imbuhan terpisah dalam bahasa Ogan yaitu ke...an dan pe...an.

1) Imbuhan terpisah ke...an Contoh:

paet ‘pahit’  kepaetan ‘kepahitan’ luat ‘benci’  keluatan ‘kebencian’ pecek ‘ sempit’  kepecekan ‘kesempitan’ 2) Imbuhan terpisah pe...an

Contoh:

kapo ‘kapur’  pengapoan ‘pengapuran’ gawe ‘kerja’  pegawean ‘pekerjaan’ idop ‘kapur’  pengidopan ‘penghidupan’

2. Perulangan

Perulangan dalam bahasa Ogan terdiri dari perulangan seluruhnya, perulangan yang berkombinasi dengan pengimbuhan, perulangan dengan penggantian fonem. a. Perulangan Seluruhnya

Contoh:

uma ‘rumah’  uma-uma ‘rumah-rumah’ wang ‘orang’  wang-wang ‘orang-orang’ tue ‘tua’  tue-tue ‘tua-tua’

b. Perulangan yang Berkombinasi dengan Pengimbuhan Contoh:

takot ‘takut’  nakot-nakoti ‘menakut-nakuti’

totoq ‘pukul’  natoq-natoqke ‘memukul-mukulkan’ c. perulangan dengan penggantian fonem

Contoh:

cugal-cugal ‘cerai-berai’ bulaq-baleq ‘bolak-balik’ belaq-beloq ‘belak-belok’


(56)

3. Persenyawaan

Persenyawaan atau kata majemuk dalam bahasa Ogan dibagi menurut sifat, makna, dan strukturnya, yaitu kata majemuk sederajat, kata majemuk tidak sederajat, kata majemuk konstuksi morfologis, dan kata majemuk unik.

a. Kata Majemuk Sederajat

1) Kata Majemuk Bertentangan (Perlawanan) contoh:

tue mude ‘tua muda’

itam pote ‘hitam putih’

2) Kata Majemuk Kumpulan contoh:

adek kakak ‘adik kakak’

embok bapok ‘ibu bapak’

3) Kata Majemuk Setara

lema lembot ‘lemah lembut’

budi base ‘budi bahasa’

b. Kata Majemuk Tidak Sederajat

1) Kata Majemuk Hubungan Unsurnya Jelas Contoh:

atap daon ‘atap daun’

sodong kayu ‘pondok kayu’

2) Kata Majemuk yang Luluh Arti Katanya; Contoh:

materai ‘matahari’

kaki tangan ‘mata-mata

mate kaki ‘mata kaki’

c. Kata Majemuk Konstuksi Morfologis 1) Kata Majemuk Kata Dasar

Contoh:

bujang tue ‘bujang tua’


(57)

2) Kata Majemuk Pengimbuhan Contoh:

melelet pinggang ‘banyak hutang’

ngOnOt batangaray ‘menganak sungai’

3) Kata Majemuk Perulangan Contoh:

uma-uma soket ‘rumah-rumah tua’

mesem-mesem toles ‘mesin-mesin tulis’ d. Kata Majemuk Unik

Kata majemuk unik adalah kata majemuk yang salah satu unsurnya terjadi dari morfem yang hanya dapat berhubungan dengan morfem tertentu.

Contoh:

erOk babOk ‘hiruk pikuk’

kunya kunye ‘selalu berbohong’

agak agek ‘tidak tetap pendirian’

2.7Struktur Bahasa Ogan

Struktur Bahasa Ogan berdasarkan (http://densi-usman.blogspot.com/2012/05/kamus-bahasa-ogan.html#) diaksess tanggal 4 Januari 2014 pukul 13.00 WIB dapat di jelaskan sebagai berikut.

1. Serapan dari bahasa Melayu/Indonesia

a. Kata-kata melayu/Indonesia yang pada suku terakhir berakhiran vocal ‘a’ diserap kedalam bahasa ogan, sebagian besar berubah dan berbunyi ‘e’, contoh:

cara menjadi care

lama menjadi lame, dst.

b. Kata-kata Melayu/Indonesia konsonan ‘r’ diserap ke dalam bahasa ogan, sebagian berubah dan berbunyi ‘h’ contoh:

akar menjadi akah

garam menjadi gaham

sangkar burung menjadi sangkah buhung, dst


(58)

c. Kata-kata Melayu/Indonesia konsonan ‘h’ setelah diserap ke dalam bahasa ogan, sebagian menjadi hilang, contoh:

hujan menjadi ujan

pahit menjadi pait, dst

2. imbuhan (awalan)

a. imbuhan ‘ber’ dan ‘ter’, maka huruf ‘r’ pada imbuhan tersebut menjadi hilang, contoh:

ber+tenage menjadi betenage

ber+decoh menjadi bedecoh

ter+jehumus menjadi tejehumus

ter+kacai menjadi tekacai, dst

b. imbuhan ‘me’ yang mendapat sisipan ‘m’, ‘n’, ‘ng’, atau ‘ny’, maka imbuhan ‘me’ menjadi hilang, dan dibaca atau berbunyi huruf sisipan saja contoh:

me+m+bancoh menjadi mbancoh

men+n+tanak menjadi nanak

me+ng+anyam menjadi nganyam

me+ny+sembulung menjadi nyembulung, dst.

c. imbuhan ‘ke’ bertemu kata dengan diawali huruf vocal ‘a’, atau ‘u’ maka huruf ‘e’ pada kata depan ke menjadi hilang, contoh:

ke+ayahk menjadi kayahk

ke+ume menjadi kume

ke+(h)utan menjadi ke utan

d. imbuhan ‘se’ yang berarti satu bertemu kata dengan diawali huruf vocal ‘a’, ‘i’, ‘o’ atau ‘u’ maka huruf ‘e’ pada kata depan ‘se’ menjadi hilang, contoh:

se+ijat menjadi sijat

se+ikok menjadi sikok

se+uhang menjadi suhang

se+(h)ahi menjadi sahi

se+(h)elai menjadi selai

3. kata penunjuk arah mata-angin dalam bahasa Ogan tidak menggunakan patokan alam berupa kutub utara dan kutub selatan, namun yang menggunakan arah aliran sungai pada tempat atau lokasi tersebut, sehingga petunjuk arah sangat situasi sekali, sebagai berikut.

a. arah asal datang aliran sungai disebut arah ‘ulu’ =hulu b. arah tujuan aliran sungai disebut arah ‘ileh’ =ilir


(59)

d. arah yang lebih jauh dengan aliran sungai disebut ‘dahat’ =darat.

Berdasarkan uraian tersebut secara garis besar dapat diambil suatu kesimpulan bahwa struktur bahasa Ogan meliputi serapan dari bahasa Melayu/Indonesia, imbuhan ‘ber’ dan ‘ter’, imbuhan ‘me’, imbuhan ‘ke’, imbuhan ‘se’ dan kata petunjuk arah mata angin.


(60)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif digunakan bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk interferensi morfologi bahasa ogan dalam pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi di sekolah. Penelitian ini mengikuti prinsip-prinsip analisis struktural bahasa dalam kerangka teori linguistik struktural. Metode analisis struktural yaitu analisis sinkronis yang berusaha memberikan gambaran objektif tentang morfologi bahasa Ogan sesuai dengan pemakaian otentik oleh penutur bahasa dalam hal ini siswa Kelas VI SD Sribandung. Sesuai dengan tujuan penelitian data yang hendak dianalisis pada dasarnya adalah ujaran-ujaran yang di pakai dalam percakapan di kalangan siswa.

Penelitian tentang interferensi bahasa ini berkaitan dengan hal-hal, khususnya fenomena kebahasaan yang bersifat natural. Artinya, data yang dikumpulkan berasal dari lingkungan yang nyata dan apa adanya, yaitu tentang bentuk dan jenis interferensi bahasa. Di samping itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Hal ini disebabkan data yang terkumpul, dianalisis, serta dipaparkan secara deskriptif.


(61)

Penelitian ini memfokuskan pada interferensi morfologi bahasa Ogan dalam pemakian bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi di sekolah. Bentuk interferensi morfologi berupa prefiks, sufiks dan konfiks. Penelitian ini melibatkan siswa sebagai peserta didik dan guru sebagai pendidik.

3.2 Data dan Sumber Data

Data penelitian ini adalah ujaran dalam suatu kalimat bahasa Indonesia yang terinterferensi oleh bahasa Ogan yang mengandung aspek prefiks, sufiks, konfiks dan bentuk interferensi lain dalam bahasa Ogan. Sumber data penelitian ini adalah bersumber dari percakapan siswa SD kelas VI SD Sribandung Kabupaten Lampung Utara. Di samping itu, sumber data penelitian tentang interferensi bahasa ini berasal dari buku, dan karya ilmiah. Buku-buku tersebut antara lain: (1) Kamus Umum Bahasa Indonesia, (2) Morfologi bahasa Ogan.

Instrumen penelitian merupakan alat pelengkap yang digunakan untuk menunjang proses penelitian dengan menggunakan data sebagai bahannya. Dalam penelitian kualitatif peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data yang utama (Moleong, 1989: 5). Dalam penelitian ini yang dijadikan instrumen adalah peneliti atau penulis sendiri sebagai alat atau instrumennya. Penulis melakukan serangkaian kegiatan dari perencanaan, pengumpulan data, dan analisis data sampai pada tahap hasil penelitian.


(62)

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah tahap mengumpulkan data. Data yang dimaksud adalah fenomena khusus yang berkaitan langsung dengan masalah yang dimaksud. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik pengamatan, teknik rekam, catatan lapangan.

3.3.1 Pengamatan (Observasi)

Penelitian ini dalam pengumpulan data menggunakan teknik pengamatan atau observasi nonpartisipasi. Peneliti hanya menyimak tanpa melibatkan diri selama pembelajaran berlangsung. Observasi nonpartisipasi selama penelitian dilaksanakan waktunya disesuaikan sampai peneliti mendapatkan data yang cukup. Peneliti berada di ruang kelas bersama guru dan siswa ketika pembelajaran berlangsung. Peneliti melaksanakan pengamatan secara intensif agar memperoleh data yang alamiah mengenai kata atau kalimat berbahasa Indonesia yang mengandung interferensi bahasa daerah Ogan.

Pelaksanaan observasi sebagai teknik utama dalam kajian ini, dilakukan oleh penulis untuk menjaring kebenaran data penelitian berkaitan dengan interferensi morfologi bahasa Ogan dalam pemakaian bahasa Indonesia pada murid kelas VI. Penggunaan instrumen manusia (human intrument) di dasari oleh pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: (1) instrumen manusia lebih responsif terhadap data. (2) bersifat lebih adaftif, (3) lebih dapat memahami konteks secara utuh dan menyeluruh, (4) lebih memungkinkan diperolehnya data yang sesuai dengan masalah dan tujuan kajian. (5) memungkinkan pemrosesan data secepat mungkin, segera setelah data dikumpulkan, (6) memungkinkan untuk memberikan


(1)

54 3. Hasil pengamatan terhadap siswa yang melakukan komunikasi, tindakan,

aktivitas, peristiwa, ekspresi, dan gerakan siswa. 4. Hasil wawancara terhadap siswa.

Penarikan kesimpulan/verifikasi data, berdasarkan identifikasi dan klasifikasi data, peneliti melakukan kegiatan penarikan simpulan sementara dengan cara menafsirkan secara utuh dan terpadu seluruh data yang tersedia. Selanjutnya peneliti melakukan kegiatan verifikasi dan triangulasi untuk memeriksa keabsahan data dan kajian. Langkah ini ditempuh untuk memperoleh simpulan akhir yang dapat dipertanggungjawabkan.


(2)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan dari analisis data (pada Bab IV), maka didapat simpulan sebagai berikut.

1. Interferensi morfologi bahasa Ogan pada tuturan bahasa Indonesia murid kelas VI SD Negeri Sribandung Kabupaten Lampung Utara terjadi akibat penyimpangan kaidah kebahasaan yang terjadi akibat seseorang menguasai dua bahasa atau lebih yang dilakukan dengan tidak sengaja. Interferensi morfologi bahasa Ogan berupa prefiks dalam pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi di sekolah yaitu prefiks {bē-}, prefiks {tē-}, prefiks {ngē-}, prefiks {kē-}, prefiks {se-}. Interferensi morfologi berupa sufiks yaitu berupa sufiks {-an}. Interferensi morfologi berupa konfiks dalam pemakaian bahasa Indonesia yaitu konfiks {kē- / -an} merupakan peristiwa interferensi morfologi yang menyatakan makna ‘ketidaksengajaan’

2. Interferensi lain dalam bahasa Ogan murid kelas VI SD Negeri Sribandung Kabupaten Lampung Utara meliputi penghilangan fonem, perubahan fonem, interferensi kata dasar, interferensi kata sapaan kekerabatan, dan interferensi frasa.


(3)

87 B. Saran

1. Meskipun telah diketahui wujud interferensi pada penelitian ini, tetapi hal ini masih perlu diulas lebih rinci lagi sehingga kesalahan ataupun penyimpangan bahasa yang ada bisa diminimalisasi lagi. Penelitian ini agar dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan bahasa Indonesia.

2. Perlu adanya penelitian lanjutan terhadap morfologi bahasa Ogan, khususnya kedudukan dan fungsi bahasa Ogan serta latar belakang budaya Ogan mengingat bahwa daerah bahasa Ogan ini cukup luas dan dialeknya cukup banyak.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.

Ardiana, Leo Idra. 1990. Analisis kesalahan Berbahasa. Surabaya: FPBS IKIP. Arif, Sutari Harifin, Abdul Madjid, Baharuddin Nur, Gunawan. 1984. Morfologi dan

Sintaksis Bahasa Ogan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ba’dulu, A. Muis dan Herman. 2004. Morfosintaksis. Jakarta: Rineka Cipta

Badudu, J. S. 1986. Cakrawala Bahasa Indonesia I. Jakarta: Gramedia Pusataka Umum.

Bogdan. RC dan Biklen. SK, 1992, Qualitative Research for Educational to theory

and methods, Londong; Allyn and Bacon. Inc. Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Balai Pustaka.

Budiarsa, Made. 2006. Penggunaan Bahasa Dalam Ranah Parawisata di Beberapa

Hotel di Kuta Kabupaten Badung Bali. Yogyakarta: Disertasi Universitas

Gadjah Mada.

Chaer, A. dan Agustina, L. 1995. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Halliday, M.A.K. 1968. The Context of Linguistics. Dalam Applied Linguistics

Association of Australia (ALAA) Aims and Perspectives in Linguistics

Occasional Papaers Number 1. Pp. 19031.

Harijatiwidjaja, Nantje dan Tri Iryanti. 1995. Pemakaian Bahasa Indonesia dalam

Majalah Remaja (Kasus Majalah Hai). Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.


(5)

90 Huda, Nuril dkk. 1981. Interferensi Bahasa Madura Terhadap Bahasa Indonesia

Tulis Murid Sekolah Dasar Jawa Timur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa.

Irwan. 2006. Interferensi Bahasa Daerah Terhadap Perkembangan Bahasa Daerah. Medan: Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Jendra. I Wayan. 1991. Dasar-Dasar Sosiolinguistik. Denpasar: Ikayana.

Keraf, Gorys. 1994. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa.

Yogyakarta: Carasvatibooks.

Kridalaksana, Harimurti. 2001. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Lado, R. 1957. Linguistics Across Cultures, Ann Arbor: The university of Michigan Press.

Lubis, Mochtar. 1993. Budaya, Masyarakat dan Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Moleong. J.L. 2011. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyadi, Kusmiarti, Indarwati dan Masri. 2000. Morfologi dan Sintaksis Bahasa

Panesak. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen

Pendidikan Nasional.

Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit Gramedia Ohoiwutun, P. 1997. Sosiolinguistik. Jakarta: Kesaint Blanc.

Poedjosoedarmo, Soepomo. 1989. Alih Kode dan Campur Kode. Yogyakarta : Balai Penelitian Bahasa.

Pramudya, Mahar. 2006. Interferensi Gramatikal Bahasa Melayu Bangka dalam Pemakaian Bahasa Indonesia: dengan Data Rubrik, MAK PER dan AKEK

BUNENG dalam Surat Kabar Bangka Pos. Skripsi. Semarang: Universitas

Diponegoro.

Ramlan, M. 1985. Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV. Karyono. Ramlan. 1987. Sintaksis Ilmu Bahasa Indonesia. Yogyakarta : Karyono


(6)

Rusminto, Nurlaksana Eko. 2010. Memahami Bahasa Anak-Anak: Sebuah Kajian Analisis Wacana Panduan bagi Guru, Orang Tua, dan Mahasiswa Jurusan

Bahasa. Bandarlampung: Universitas Lampung.

Samsuri. 1994. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.

Sudaryanto, dkk. 1991. Metode Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Perss.

Suindratini, Dewa Ayu Nyoman, Gosong, I Made, Rasna, I Wayan. 2013. Interferensi Bahasa Bali dan Bahasa Asing dalam Cerita Lisan Bahasa Indonesia Kelas

VII Siswa SMP Negeri 10 Denpasar. Singaraja: Program Studi Pendidikan

Bahasa, Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Ganesha. Sukardi. 1999. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Sulistiany, R. 1999. Potret Jalanan. Jakarta: P.T. Balai Pustaka. 1999

Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Praktik. Surakarta: Henary Offset.

Verhaar, J.W.M. 2010. Pengantar Liunguistik 1 dan 2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Weinreich, Uriel.1986. Languages In Contact.. Publications of the Linguistic Circle of New york

Yin, Robert K (2003). Studi Kasus Desain dan Metode, Jakarta : Raja Grafindo Persada


Dokumen yang terkait

INTERFERENSI MORFOLOGI BAHASA OGAN DALAM PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA MURID SEKOLAH DASAR KELAS VI SD NEGERI SRIBANDUNG KABUPATEN LAMPUNG UTARA

3 30 76

INTERFERENSI MORFOLOGI DAN SINTAKSIS BAHASA JAWA DIALEK SOLO DALAM PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA TULIS MURID KELAS V SEKOLAH DASAR SURAKARTA

3 42 85

INTERFERENSI MORFOLOGI BAHASA JAWA KE DALAM BAHASA INDONESIA PADA KARANGAN PENGALAMAN PRIBADI SISWA KELAS Interferensi Morfologi Bahasa Jawa Ke Dalam Bahasa Indonesia Pada Karangan Pengalaman Pribadi Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Polanharjo.

0 4 16

INTERFERENSI MORFOLOGI BAHASA JAWA KE DALAM BAHASA INDONESIA PADA KARANGAN PENGALAMAN PRIBADI SISWA KELAS Interferensi Morfologi Bahasa Jawa Ke Dalam Bahasa Indonesia Pada Karangan Pengalaman Pribadi Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Polanharjo.

0 2 14

INTERFERENSI MORFOLOGI DAN SINTAKSIS BAHASA JAWA DALAM BAHASA INDONESIA Interferensi Morfologi Dan Sintaksis Bahasa Jawa Dalam Bahasa Indonesia Pada Rubrik “Kolom” Dalam Solopos.Com.

0 1 12

INTERFERENSI MORFOLOGI DAN SINTAKSIS Interferensi Morfologi Dan Sintaksis Bahasa Jawa Dalam Bahasa Indonesia Pada Rubrik “Kolom” Dalam Solopos.Com.

0 1 11

INTERFERENSI MORFOLOGI DAN SINTAKSIS BAHASA JAWA DALAM BAHASA INDONESIA PADA KOLOM Interferensi Morfologi Dan Sintaksis Bahasa Jawa Dalam Bahasa Indonesia Pada Kolom “Ah... Tenane” Harian Solopos.

0 3 11

INTERFERENSI MORFOLOGI BAHASA INDONESIA p1

0 0 4

Interferensi Gramatikal Bahasa Minangkabau Dalam Bahasa Indonesia Tulis Murid Kelas VI Sekolah Dasar Sumatera Barat - Repositori Institusi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

0 1 95

Interferensi Gramatikal Bahasa Bali dalam Pemakaian Bahasa Indonesia Murid Sekolah Dasar di Bali - Repositori Institusi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

1 2 142