DASAR DASAR PERLINDUNGAN TANAMAN. pdf
Yogyakarta 2010
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Perlunya Perlindungan Tanaman
M anusia membudidayakan tanaman tentunya mempunyai tujuan tertentu, yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan pangan, sandang, maupun papan,
serta kebutuhan lainnya seperti rasa estetika, kesehatan lingkungan, dan sebagainya. Agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi secara memuaskan, manusia berusaha untuk menjaga dan merawat tanaman yang dibudidayakannya itu sehingga terhindar dari segala macam gangguan yang dapat mengakibatkan munculnya kerugian yang tidak diharapkannya.
Walaupun usaha manusia untuk meminimalisasi dampak negatif gangguan pada tanaman telah dilakukan, tidak jarang usaha tersebut tetap tidak memberikan hasil sebagaimana yang menjadi dambaannya. Serangan hama dan penyakit pada tanaman merupakan salah satu jenis gangguan yang hingga saat ini masih terus mendapat perhatian dari berbagai kalangan, baik para ahli maupun warga masyarakat umumnya. Hal ini disebabkan karena kerugian yang diakibatkan oleh serangan hama dan penyakit tanaman ini sering begitu besar.
Menurut badan dunia yang membidangi masalah pangan dunia (FAO – Food and Agricultural Organization ), kerugian yang terjadi akibat serangan hama dan penyakit pada tanaman petani di seluruh dunia rata-rata mencapai 35 persen. Jumlah spesies hama dan penyakit tanaman yang menyerang adalah lebih dari 20.000 spesies (sebagaimana dikutip oleh Endah, J. & Novizan 2002). Dari contoh beberapa jenis tanaman, terlihat tingkat kerugiannya bervariasi. Misalnya, untuk kentang 40 persen, kapas 60 persen, tembakau 62 persen, dan gula bit 24 persen.
Di Amerika Serikat, yang teknologi pengendalian hama dan penyakitnya sudah cukup maju, kerugian akibat serangan hama dan penyakit pada tanaman pertanian meskipun lebih rendah daripada rata-rata dunia, namun belum dapat ditekan hingga nol persen. Contohnya: kerugian pada tanaman alfalfa masih sekitar 15 persen, jagung 12 persen, apel 13 persen, kapas 19 persen, jeruk enam persen, padi empat persen, kedele tiga persen, simpanan jagung 5,5 persen, dan simpanan gandum tiga persen. Di Indonesia, penurunan hasil padi secara kuantitas sebagai akibat serangan hama wereng masih mencapai 17 hingga 24 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan India yang telah mampu menekan menjadi 15 persen (Untung, K. 2001).
Dengan melihat besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh serangan hama dan penyakit tersebut, manusia merasa perlu untuk melindungi pertanamannya dari serangan hama dan penyakit. Karena perkembangan dunia pertanian ini tidak pernah bisa lepas dari problematik serangan hama dan penyakit, maka manusia terus berusaha mengembangkan ilmu mengenai cara mengendalikan serangan hama dan penyakit tersebut. Salah satu istilah yang digunakan untuk ilmu pengendalian serangan hama dan penyakit tanaman ini adalah Ilmu Perlindungan Tanaman.
Keberadaan hama dan penyakit di areal pertanian, sebenarnya dipicu oleh aktivitas manusia sendiri. Dengan kata lain, munculnya hama dan penyakit tanaman merupakan dampak dari melebarnya kegiatan manusia yang dilakukan dalam usahanya memenuhi kebutuhan hidup. Kemerosotan ekosistem hutan sebagai akibat aktivitas eksploitatif oleh Keberadaan hama dan penyakit di areal pertanian, sebenarnya dipicu oleh aktivitas manusia sendiri. Dengan kata lain, munculnya hama dan penyakit tanaman merupakan dampak dari melebarnya kegiatan manusia yang dilakukan dalam usahanya memenuhi kebutuhan hidup. Kemerosotan ekosistem hutan sebagai akibat aktivitas eksploitatif oleh
Gangguan pada tanaman yang disebabkan oleh serangan hama dan penyakit pada umumnya akan menimbulkan kerusakan pada tanaman yang terserang. Namun demikian, kerusakan tanaman tidak hanya disebabkan oleh serangan hama dan penyakit. Ada faktor lain yang juga ikut berpengaruh terhadap munculnya kerusakan tanaman. Hal ini terjadi karena pertumbuhan tanaman selain dipengaruhi faktor genetik, juga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, terutama ketersediaan air dan unsur hara. Gejala kerusakan tanaman akan timbul bila tanaman mengalami kekurangan atau kelebihan air dan unsur hara.
Walaupun manusia telah berusaha untuk mengoptimalkan ketersediaan air dan unsur hara, namun sering terjadi tanaman tetap mengalami gangguan pertumbuhan karena pengaturan ketersediaan air dan unsur hara tersebut masih belum sesuai dengan kebutuhan tanaman. Kerusakan yang timbul akibat kondisi lingkungan yang tidak optimal ini disebut kerusakan fisiologis.
Permasalahannnya, bahwa seringkali terjadi gejala kerusakan fisiologis ini sama dengan gejala yang ditimbulkan oleh adanya serangan hama dan penyakit. Perbedaannya hanyalah bahwa penyakit fisiologis ini tidak dapat ditularkan ke tanaman lain. Penyakit fisiologis ini seringkali timbul akibat tanaman kelebihan atau kekurangan unsur hara dan air, perubahan suhu yang ekstrim (terlalu rendah atau tinggi), adanya bahan kimia seperti herbisida dan pestisida, serta kelebihan atau kekurangan energi surya.
Karena gejala yang timbul pada kerusakan fisiologis dan kerusakan akibat hama dan penyakit ini hampir sama, maka sering orang mengalami kesulitan untuk membedakan kerusakan yang ada pada tanamannya. Untuk itu diperlukan adanya pengalaman yang cukup, sehingga tidak timbul kesalahan penafsiran atas penyebab kerusakan tanaman. Ketepatan penafsiran atas penyebab kerusakan pada tanaman ini penting untuk pengambilan keputusan tentang langkah apa yang harus diambil untuk mengatasinya.
1.2. Sejarah Perlindungan Tanaman dari Gangguan Hama
P ada awal abad ke-20, upaya pengendalian hama tanaman mulai dikembangkan
manusia. Hal ini ditandai dengan terbitnya buku berjudul “Insect Pest of Farm, Garden, and Orchard ” yang ditulis oleh E. Dwigt Sanderson pada tahun 1915 (Triwidodo, H. 2003). Dalam beberapa kurun waktu berikutnya terjadi revolusi pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan adanya penggunaan DDT (Dichloro Diphenil Trichlorethana) yang mencakup hampir seluruh areal pertanian di dunia. Bersamaan dengan itu, bermunculanlah pabrik pestisida terutama di negara maju. Di saat itu, pengendalian hama dan penyakit dengan menggunakan bahan kimia dianggap merupakan cara yang paling manusia. Hal ini ditandai dengan terbitnya buku berjudul “Insect Pest of Farm, Garden, and Orchard ” yang ditulis oleh E. Dwigt Sanderson pada tahun 1915 (Triwidodo, H. 2003). Dalam beberapa kurun waktu berikutnya terjadi revolusi pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan adanya penggunaan DDT (Dichloro Diphenil Trichlorethana) yang mencakup hampir seluruh areal pertanian di dunia. Bersamaan dengan itu, bermunculanlah pabrik pestisida terutama di negara maju. Di saat itu, pengendalian hama dan penyakit dengan menggunakan bahan kimia dianggap merupakan cara yang paling
Pada mulanya, seorang peneliti berkebangsaan Swedia, pada tahun 1946 membuat laporan yang menyimpulkan bahwa dalam waktu 20 tahun terdapat 224 spesies serangga yang menjadi resisten (kebal) terhadap DDT. Kemudian kasus serupa bermunculan, misalnya yang dilaporkan oleh para entomolog dari California. Dari beberapa jurnal penelitian entomologi dan ahli lingkungan juga dilaporkan bahwa DDT dan sejenisnya, dapat menimbulkan beberapa dampak negatif sebagai berikut (lihat Kusnaedi 2003).
(1) meningkatnya resistensi (kekebalan) hama terhadap daya bunuh insektisida oleh beberapa hama penting. (2) timbulnya ledakan hama yang tiba-tiba dengan intensitas serangan lebih besar dibandingkan sebelum disemprot, yang dikenal dengan istilah target pest resurgence. Hal ini dapat dimengerti karena daya bunuh DDT meluas hingga mematikan musuh alami serangga.
(3) timbulnya hama sekunder. Hal ini dapat terjadi bila spesies herbivora yang pada mulanya bukan hama telah berkembang cepat hingga pada tingkat merusak. Ledakan ini diakibatkan oleh terbunuhnya musuh alami hama tersebut.
(4) kontaminasi lingkungan karena DDT dan sejenisnya memiliki efek residu, sehingga lingkungan dipenuhi dengan berbagai spesies yang penuh dengan zat racun. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan di California yang megungkapkan bahwa persistensi insektisida di Danau Clear masih tertinggal
40 persen setelah jangka waktu 14 tahun. Bahkan, untuk DDT masih tersisa 39 persen pada saat 17 tahun setelah penyemprotan. (5) terdapat efek residu pada hasil pertanian dan peternakan. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa makanan yang disemprot dengan DDT dan sejenisnya ternyata mengandung bahan tersebut. Bahkan, ikan yang memakan plankton di Danau Clear yang mengandung 0,02 ppm DDD (Dichloro Diphenil Dichlorethana , yaitu sejenis DDT yang sifat toksiknya lebih rendah), ternyata mengandung 2.000 ppm DDD pada jaringan ikan tersebut. Bahkan, DDD tersebut ditemukan lebih banyak lagi pada burung Grebe (jenis burung pemakan ikan) yang memangsa ikan di danau tersebut.
(6) timbulnya gangguan kesehatan manusia. Bahan insektisida dapat menimbulkan masalah kesehatan bagi manusia, baik secara langsung maupun dalam jangka waktu yang panjang. Dilaporkan bahwa bahan insektisida dapat menimbulkan gangguan pada saraf, kanker, gangguan reproduksi, dan keracunan pada umumnya. Bahan insektisida tersebut dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan hasil pertanian dan peternakan yang terkontaminasi insektisida, air yang terkontaminasi, atau dari udara yang dihembuskan dari daerah pertanian yang melakukan penyemprotan hama (Kusnaedi 2003).
Seperti dikemukakan Kusnaedi (2003), dampak negatif yang timbul dari adanya revolusi di bidang pestisida tersebut mendorong para ahli entomologi untuk memikirkan cara baru dalam pengendalian hama yang aman dan efektif. Sejak saat itu, mulailah dilakukan penelitian tentang penggunaan pestisida yang selektif dan menggunakan metode biologi dalam penerapannya. Namun nampaknya untuk mengubah kebiasaan masyarakat yang sudah terlanjur menyukai DDT mengalami kesulitan. Hingga pada akhirnya, pada Seperti dikemukakan Kusnaedi (2003), dampak negatif yang timbul dari adanya revolusi di bidang pestisida tersebut mendorong para ahli entomologi untuk memikirkan cara baru dalam pengendalian hama yang aman dan efektif. Sejak saat itu, mulailah dilakukan penelitian tentang penggunaan pestisida yang selektif dan menggunakan metode biologi dalam penerapannya. Namun nampaknya untuk mengubah kebiasaan masyarakat yang sudah terlanjur menyukai DDT mengalami kesulitan. Hingga pada akhirnya, pada
Pada tahun 1972, akhirnya Amerika Serikat melarang rakyatnya untuk menggunakan DDT, termasuk Aldrin, Endrin, Heptaklor, DBCP, dan Chlordane. Adapun di Indonesia, saat itu sedang gencar-gencarnya dilaksanakan program Bimas yang salah satunya metodenya adalah penggunaan bahan tersebut. Baru pada tahun 1986, melalui Inpres Nomor 3/1986 diberlakukan larangan penggunaan 57 macam insektisida organofosfat yang menyebabkan meledaknya hama wereng coklat.
Setelah penggunaan DDT dan bahan kimia sejenisnya itu dilarang, para ahli mulai memikirkan suatu konsep pengendalian hama yang efektif, namun aman bagi lingkungan. Lahirlah kemudian konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang dikenal dalam istilah internasional sebagai “Integrated Pest Management”. Di seluruh dunia, program PHT ini
kemudian diperkenalkan dengan harapan agar penggunaan pestisida ditekan serendah mungkin atau kalau bisa dihindari penggunaannya. Di Indonesia, program PHT mulai diberlakukan sebagai program nasional sejak tahun 1979.
1.3. Sejarah Perlindungan Tanaman dari Gangguan Penyakit
D ilihat dari sejarahnya, sudah lama sekali penyakit tumbuhan diketahui oleh manusia. Dilaporkan, bahwa penyakit tumbuhan ini sudah ada sebelum manusia memulai
membudidayakan tumbuhan. Kitab suci maupun filosof besar, seperti Aristoteles, Homer, dan Theophrastus, telah mengemukakan beberapa penyakit tumbuhan seperti hawar, embun bulu, karat, dan gosong (Sinaga, MS. 2003).
Seperti dikutip Sinaga, MS, (2003), Bangsa Yunani dan Yahudi (500 hingga 280 SM), meyakini bahwa adanya penyakit tanaman merupakan hukuman atas dosa yang dilakukan manusia. Pada saat itu, penyakit tumbuhan sudah dikaitkan dengan cuaca atau iklim yang buruk dan kondisi tanaman yang kurang baik. Theophratus (370 hingga 280 SM), seorang filosof Yunani terbesar yang dikenal sebagai “Bapa Botani”, telah
mengemukakan beberapa penyakit pada bijan, pohon, dan sayuran dalam bukunya “Historia Plantarum”. Pliny juga telah merekomendasikan bahwa panen awal pada gandum
dan barley akan meloloskan tanaman dari infeksi karat. Sekitar tahun 875 hingga beberapa tahun kemudian, epidemik ergot pada rye (semacam gandum) dilaporkan telah menyebabkan epidemik penyakit manusia di berbagai negara Eropa. Ergot pada rye disebabkan oleh Claviceps purpurea (cendawan). Cendawan ini menggantikan isi dari butir rye dengan struktur sklerotium patogen tersebut. Sklerotium
C. purpurea mengandung senyawa alkaloid yang dapat menyumbat sirkulasi darah dan menyebabkan gangrene, putusnya tangan, kaki, kuku, jari, dan akhirnya menimbulkan kematian manusia yang memakan rye yang terinfeksi cendawan tersebut. Penyakitnya disebut “api suci” (holy fire), yang pada saat itu diyakini sebagai hukuman bagi orang
berdosa. Sejak tahun 1605, Sir Francis Bacon melakukan berbagai percobaan untuk mempelajari penyakit tumbuhan. Sejak abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19,
Tournefort, Zallinger, Fabricus, dan Franz Unger mulai memberi perhatian pada klasifikasi penyakit tumbuhan. Franz Unger m engemukakan teori “The Autogenetic Theory Disease” yang menyatakan bahwa dalam stadia penuaan tumbuhan, unsur sel dengan energi vital tertentu menimbulkan bentukan baru dari kehidupan. Dalam teori ini sebenarnya telah dipertimbangkan adanya patogen sebagai suatu kehidupan lain dalam inang yang terinfeksi, tetapi belum dikemukakan sebagai suatu bentuk kehidupan atau tubuh yang independent, artinya patogen masih dianggap sebagai akibat dari penyakit, bukan
penyebabnya. Konsep “generasi yang bersifat spontan” (spontaneous generation) diterima untuk waktu yang lama karena mikroorganisme belum dapat dilihat manusia.
Pada tahun 1590, Hans dan Zacharias Jansen menemukan mikroskop compound. Hooke (1655) merupakan orang pertama yang mampu melihat sel tumbuhan dan mengilustrasikan secara rinci suatu cendawan mikroskopik patogenik tumbuhan. Selanjutnya, pada tahun 1683, ditemukan bakteri, protozoa, dan mikroorganisme lain dalam air dan substrat lain. Sejak itu, mulai populer “The Germ Theory of Disease” yang merupakan dasar dari ilmu penyakit tumbuhan.
Ilmu penyakit tumbuhan terus berkembang, tahun 1729 hingga 1800, berbagai ilmuwan mempelajari taksonomi dari cendawan, terutama penyebab karat dan gosong, serta cendawan dari kelas Ascomycetes. Henrich Anto de Bary (1853) membuktikan melalui demonstrasi dan mengemukakan kesimpulan bahwa cendawan adalah penyebab penyakit, bukan akibat atau hasil dari penyakit tumbuhan. Penelitian yang banyak dikerjakannya adalah mengenai Phtophthora infestans, penyebab hawar daun kentang, dan siklus hidup Puccinia graminis triciti, penyebab karat pada gandum. Dari hasil penelitiannya, dilaporkan juga bahwa diperlukan kehadiran inang alternatif (barberry) untuk perkembangan Basidiospora dan tanaman gandum untuk perkembangan Aeciospora. Ber kat hasil penelitiannya, Henrich Anton de Bary dijuluki “Bapak Ilmu Penyakit Tumbuhan”.
Tahun 1858 merupakan tahun diterbitkannya pertama kali buku teks dalam ilmu penyakit tumbuhan. Buku tersebut ditulis oleh Julius Kuhn dengan judul: Die Kranheiten der Kulturewachse ihre Ursachen un ihre Verhutung (Penyakit Tanaman, Penyebabnya dan Pencegahannya). Selanjutnya, Thomas J. Burrial (1878 hingga 1883) membuktikan bahwa fireblight pada apel dan pear disebabkan oleh bakteri. Smith, EF juga mempelajari beberapa bakteri penyebab penyakit penting pada berbagai tanaman. Iwanoski (1892) dan Beijerinck (1898) merupakan peneliti yang paling awal membuktikan bahwa virus (partikel yang sangat kecil) sebagai penyebab penyakit pada tumbuhan. Penemuan ini merupakan awal dari bidang virology. Stanley (1935) adalah orang pertama yang berhasil mengkristalisasi virus (TMV) sebagai protein katalitik yang mampu melakukan multiplikasi dalam sel hidup inang. Partikel virus dilihat pertama kali oleh Kaushe dkk, pada tahun 1939 dengan mikroskop elektron.
Needham (1743) adalah orang pertama yang menemukan nematode sebagai patogen tumbuhan dalam puru pada akar gandum. Selanjutnya, Cobb (1913 hingga 1932) melakukan studi ekstensif dalam morfologi dan taksonomi nematode parasitik tumbuhan. Lafont pada tahun 1909 melaporkan bahwa protozoa flagelata merupakan penyebab penyakit tumbuhan. Mycoplasm like organism (MLO), sekarang disebut phytoplasm like organism , sebagai penginfeksi penyakit aster yellow, dilaporkan oleh Doi et al di Jepang. Selanjutnya, pada tahun 1972, Davis dkk mempelajari spiroplasma (microorganism helical ) sebagai penyebab kerdil pada jagung. Sementara itu, viroid diketahui pertama kali Needham (1743) adalah orang pertama yang menemukan nematode sebagai patogen tumbuhan dalam puru pada akar gandum. Selanjutnya, Cobb (1913 hingga 1932) melakukan studi ekstensif dalam morfologi dan taksonomi nematode parasitik tumbuhan. Lafont pada tahun 1909 melaporkan bahwa protozoa flagelata merupakan penyebab penyakit tumbuhan. Mycoplasm like organism (MLO), sekarang disebut phytoplasm like organism , sebagai penginfeksi penyakit aster yellow, dilaporkan oleh Doi et al di Jepang. Selanjutnya, pada tahun 1972, Davis dkk mempelajari spiroplasma (microorganism helical ) sebagai penyebab kerdil pada jagung. Sementara itu, viroid diketahui pertama kali
Viroid adalah patogen paling kecil berupa molekul asam ribonukleik yang menular dan sersifat obligat. Penyebab penyakit tanaman lain yang ditemukan adalah ricketsia like organism (RLO) oleh Windsor dan Black (1972) sebagai penyebab club leaf disease pada clover .
Studi mengenai ilmu penyakit tumbuhan berawal dari benua Eropa. Menjelang akhir abad ke-19, titik berat studi fitopatologi bergeser ke Amerika Utara. Pada saat itu, Amerika Serikat masih dalam taraf pengembangan diri, namun setelah Perang Dunia II, studi mengenai fitopatologi semakin meluas ke seluruh dunia.
Di Indonesia, penyakit tanaman mulai mendapat perhatian dari Pemerintah Hindia Belanda baru pada tahun 1877, yaitu saat epidemik berat penyakit karat daun kopi (Hemileia vastatrix) di Srilanka. Untuk mencegah penyebaran karat kopi ke Indonesia, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Ordonansi 19 Desember 1877 yang melarang pemasukan tanaman kopi dari Srilanka. Ordonansi tersebut merupakan peraturan pertama dalam bidang penyakit tumbuhan, khususnya dalam bidang karantina tumbuhan. Walaupun demikian, karena dapat disebarkan melalui angin, akhirnya penyebab karat daun (uredospora) masuk juga ke Indonesia dan menghancurkan pertanaman kopi Arabica yang berkualitas tinggi di Pulau Jawa. Pada saat itu, di Jawa sedang berlangsung peraturan
“tanam paksa”. Dengan susah payah pekebun mengganti tanamannya dengan kopi Liberica (Coffea liberica) yang awalnya mempunyai ketahanan tinggi, tetapi kemudian juga musnah karena karat daun. Akhirnya, pada tahun 1900, tanaman kopi yang ada diganti dengan kopi Robusta (Coffea canephora) yang tahan karat daun hingga sekarang, tetapi mutunya tidak sebaik kopi Arabika.
Pada tahun 1887, dimulailah kegiatan penelitian di bidang fitopatologi yang dipelopori oleh Treub, Burch, dan Warburg yang meneliti penyakit sereh pada tebu, karat daun kopi, dan kanker pada kina. Kemudian, van Breda de Haan meneliti berbagai penyakit tembakau (cendawan dan nematode). Pada tahun 1897, didirikan Balai Penelitian Kopi dan tahun 1906, berdirilah Balai Penelitian Tembakau Swasta. Hubungan antara balai penelitian dan perkebunan berlangsung baik sehingga hasil penelitian dapat segera disebarluaskan.
Berbeda dengan hubungan antara balai penelitian dan perkebunan yang berlangsung baik, hubungan antara balai penelitian dan pamong praja agak kaku. Untuk mengadakan penelitian di lapangan, diperlukan ijin dari Gubernur Jenderal. Keadaan ini mulai berubah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Jenderal tertanggal 5 Februari 1897. Pada tahun 1912, berdirilah Afdeeling voor Plantenziekten yang dipimpin oleh van Hall. Pada tanggal 1 Januari 1919, berdiri pula Institut voor Plantenziekten (Balai Penyelidikan Hama dan Penyakit Tumbuhan) di Bogor, sebagai tempat awal penelitian penyakit tumbuhan. Peneliti yang perlu dicatat sebagai pelopor di bidang ini adalah van Breda de Haan, Rutgers, Palm, Schwarz, Muller, Thung, Reitsman, dan Tojib Hadiwidjaja. Sejak tahun 1913 hingga 1936, secara teratur setiap tahun Lembaga Penyakit Tumbuhan di Bogor menerbitkan laporan tahunan mengenai hama dan penyakit pertanian, perkebunan, dan kehutanan di Indonesia.
Ilmu penyakit tumbuhan merupakan ilmu yang mempelajari karakteristik penyakit, penyebab penyakit, interaksi tumbuhan dan patogen, dan lingkungan biotik serta abiotik, faktor yang memengaruhi perkembangan penyakit dalam suatu populasi atau individual Ilmu penyakit tumbuhan merupakan ilmu yang mempelajari karakteristik penyakit, penyebab penyakit, interaksi tumbuhan dan patogen, dan lingkungan biotik serta abiotik, faktor yang memengaruhi perkembangan penyakit dalam suatu populasi atau individual
Jadi tujuan utama dalam mempelajari ilmu penyakit tumbuhan adalah mencegah atau menekan seminimal mungkin terjadinya serangan penyakit tumbuhan, meningkatkan produksi makanan, menjaga kuantitas dan kualitas hasil panen. Dengan demikian, hasil panen aman digunakan, terutama tanaman untuk bahan serat, obat, dan komoditas yang memiliki nilai estetika.
Telah dikemukakan bahwa ketergantungan manusia kepada tanaman sangat tinggi, karena hanya tumbuhan berhijau daun yang dapat mengkonversi energi matahari menjadi energi kimia. Jika penyakit mematikan tumbuhan, maka mahluk hidup yang lain akan sangat menderita dan mati.
BAB II
HAMA TANAMAN
H ama adalah semua binatang yang mengganggu dan merugikan tanaman yang diusahakan manusia. Apabila asalnya bukan dari binatang, gangguan itu disebut penyakit tanaman. Binatang dikelompokkan ke dalam beberapa golongan yang disebut phylum. Di antaranya: phylum Chordata, yaitu binatang yang bertulang belakang, misalnya kera, babi hutan, tikus, dan burung; phylum Arthropoda, yaitu binatang yang badannya beruas, misalnya tungau dan serangga; phylum Annelida, misalnya cacing tanah dan nematoda;
phylum Mollusca, misalnya siput dan bekicot. Jumlah spesies binatang kurang lebih 916.000. Phylum Chordata sebanyak 60.000 spesies, phylum Arthopoda sebanyak 713.000 spesies, phylum Annelida sebanyak 8.000 spesies, dan phylum Mollusca sebanyak 80.000 spesies. Selebihnya adalah spesies lain yang dikelompokkan ke dalam 12 phylum lainnya (Pracaya 2003). .
2.1. Phylum Arthopoda 1
P hylum Arthopoda merupakan salah satu phylum yang sangat penting karena terdiri atas enam kelas, di antaranya kelas serangga (hexapoda) yang terdiri dari 640.000
spesies. Serangga (insecta) merupakan golongan binatang yang spesiesnya terbesar. Kira- kira 75 persen dari jumlah binatang yang ada adalah serangga. Serangga ada yang menguntungkan manusia, misalnya lebah, tetapi lebih banyak yang merugikan karena merusak tanaman dan menyebarkan penyakit pada manusia dan binatang.
Ukuran serangga cukup bervariasi. Serangga terkecil besarnya kurang dari 0,25 mm, sedang yang terbesar mencapai 15 hingga 25 cm. Jumlah serangga dalam tanah seluas satu hektar bisa mencapai 2,5 juta sampai 10 juta individu. Di dalam 45 cm lapisan tanah hutan seluas satu hektar, terdapat sejumlah 150 juta serangga. Pada waktu pagi hari, terdapat serangga beterbangan sejumlah kira-kira 7.000 ekor di udara dalam areal satu ha, sedang pada sore hari, terdapat lebih kurang 27.000 serangga (Pracaya 2003).
Serangga mudah beradaptasi dengan keadaan sekitarnya. Walaupun serangga pada dasarnya menyukai tanaman tertentu, namun bila tanaman yang disukai itu tidak ada, serangga itu masih dapat bertahan hidup dengan memakan jenis tanaman lain.
Tubuh serangga terdiri atas tiga bagian, yaitu: kepala, dada (thorax), dan perut (abdomen). Kepala serangga terdiri atas enam ruas (segmen). Pada kepala terdapat (a) satu pasang mata majemuk yang terletak di kiri dan kanan kepala. Mata majemuk itu terdiri atas beberapa puluh sampai ribuan kesatuan mata faset yang menyerupai lensa yang berbentuk hexagonal , (b) satu pasang antena, sebagai alat perasa. Dengan antena, serangga dapat mengetahui keberadaan makanan, arah perjalanan, pasangan, bahaya, dan dapat mengadakan hubungan komunikasi dengan serangga lain, (c) mulut, yang mempunyai beberapa kegunaan, yaitu: sebagai alat untuk menggigit atau mengunyah; sebagai alat untuk menyerap (absorb); sebagai alat untuk menusuk dan mengisap cairan tanaman, alat ini disebut stylet, dan sebagai alat untuk mengunyah dan menjilat.
Adapun dada (thorax) terdiri atas tiga ruas, yaitu: prothorax, mesothorax, dan netathorax . Dada merupakan tempat melekatnya kaki dan sayap. Pada setiap ruas dada Adapun dada (thorax) terdiri atas tiga ruas, yaitu: prothorax, mesothorax, dan netathorax . Dada merupakan tempat melekatnya kaki dan sayap. Pada setiap ruas dada
Serangga adalah binatang yang tidak bertulang belakang dan mempunyai sayap. Pada umumnya, sayap dimiliki oleh binatang bertulang belakang, misalnya burung atau kelelawar. Serangga dewasa umumnya berkaki enam, tetapi tidak demikian dengan sayapnya. Jumlah sayap serangga ini bervariasi. Serangga yang belum dewasa, sayapnya belum berfungsi, kemudian baru berfungsi setelah dewasa. Ada juga serangga dewasa yang tak pernah mempunyai sayap, misalnya semut. Tidak ada serangga yang mempunyai sayap lebih dari dua pasang (empat sayap). Beberapa serangga hanya mempunyai sepasang sayap, misalnya lalat. Seringkali ada jenis serangga yang berjenis kelamin jantan mempunyai sayap, tetapi serangga yang betina tidak mempunyai sayap, dan sebaliknya.
Karena bentuk sayap setiap golongan berbeda-beda, maka kemudian hal ini digunakan untuk menentukan klasifikasi serangga. Pada umumnya, nama ordo serangga pada akhiran kata ada istilah ptera yang artinya sayap. Misalnya, Diptera (lalat) merupakan serangga bersayap dua; Coleoptera (kumbang) adalah serangga bersayap penutup; Lepidoptera (kupu) adalah serangga yang sayapnya bersisik; Hemiptera (kutu busuk) adalah serangga yang bersayap setengah; Hymenoptera (lebah) adalah serangga yang bersayap selaput (membrane); dan Orthoptera (belalang) adalah serangga yang mempunyai sayap lurus.
Mengenai bagian perut serangga (abdomen), umumnya terdiri atas 11 atau 12 ruas, dan tidak mempunyai kaki seperti pada bagian dada. Pada ruas perut yang terakhir (yang ke-11), terdapat tambahan ruas yang disebut circus. Wujudnya berupa sepasang ruas yang sederhana, menyerupai antenna. Circus yang sangat panjang menyerupai ekor yang jumlahnya dua atau tiga, misalnya pada lalat sehari (Ephemera varia Eaton). Ada pula circus yang berbentuk seperti catut atau paruh burung kakatua, misalnya cocopet (Dermaptera).
Segmen perut yang ke-12 disebut telson atau periproct dan tidak pernah ada tambahan (appendages). Lubang untuk buang kotoran (anus) terletak pada telson. Alat reproduksi betina terletak di antara ruas ketujuh dan kedelapan pada permukaan bawah (ventral), alat reproduksi jantan terdapat pada batas belakang ruas perut yang kesembilan yang terletak pada permukaan bawah (ventral).
2.1.1. Sistem Pernafasan
Sistem pernafasan serangga berbeda dengan binatang lain. Serangga tidak bernafas dengan paru atau insang, melainkan dengan alat pertukaran udara (ventilasi) yang khusus. Serangga tidak bernafas melewati hidung ataupun mulut, melainkan udara masuk melalui lubang samping yang terletak di sisi dada atau perut. Pada kedua sisi badan serangga terdapat lubang berpasangan yang disebut spiracle. Pada bagian kepala tidak ada lubang, bagian dada terdapat dua pasang, dan pada bagian perut terdapat enam sampai delapan pasang. Spiracle berhubungan dengan tabung yang disebut tracheae, yang selanjutnya dari sini dihubungkan masing-masing membentuk saluran yang membujur (longitudinal Sistem pernafasan serangga berbeda dengan binatang lain. Serangga tidak bernafas dengan paru atau insang, melainkan dengan alat pertukaran udara (ventilasi) yang khusus. Serangga tidak bernafas melewati hidung ataupun mulut, melainkan udara masuk melalui lubang samping yang terletak di sisi dada atau perut. Pada kedua sisi badan serangga terdapat lubang berpasangan yang disebut spiracle. Pada bagian kepala tidak ada lubang, bagian dada terdapat dua pasang, dan pada bagian perut terdapat enam sampai delapan pasang. Spiracle berhubungan dengan tabung yang disebut tracheae, yang selanjutnya dari sini dihubungkan masing-masing membentuk saluran yang membujur (longitudinal
Sel hidup serangga, untuk pernafasannya (respirasi) menarik oksigen melalui dinding yang tipis dari tracheoles secara difusi. Demikian sebaliknya, dengan cara yang sama, sisa gas (karbondioksida, dan sebagainya) hasil dari metabolisme dikembalikan ke tracheae dan keluar melalui spiracle. Pada tepi spiracle sering terdapat rambut, bibir atau sumbat yang berguna untuk menghambat benda asing yang akan masuk. Kadang tracheae yang terletak di dalam spiracle pada beberapa serangga mempunyai alat seperti kelep (katup) untuk penutup. Pada tracheae dan tracheoles ada lapisan kutikula yang bersambungan dengan kutikula yang terletak di luar badan. Lapisan kutikula bentuknya seperti benang spiral yang halus, tampak ada alur yang berselang-seling, yang berfungsi untuk menjaga tabung tracheae dari kerusakan.
Apabila serangga disemprot dengan pestisida yang berbentuk asap, uap, atau kabut, dengan bahan aktif nikotin, fosfat organik, azodrin, phosdrin, diazinon, ambush, dan sebagainya, maka zat aktif tersebut akan masuk ke dalam badan serangga melalui sistem pernafasan. Pestisida yang berbentuk tepung atau minyak bisa menyumbat lubang tracheae dan meracuni serangga. Peredaran udara dalam tracheae pada sebagian besar serangga terjadi dengan cara difusi, tetapi banyak pula serangga yang bernafas dengan cara mengembang dan mengempiskan dinding dorsal dan ventral perut, sehingga terjadi gelombang pasang udara sepanjang tracheae. Penarikan nafas serangga demikian bersifat pasif, sedangkan pengeluaran pernafasan bersifat aktif, yaitu dengan menggerakkan otot. Ini berlawanan dengan gerakan pernafasan pada manusia.
2.1. 2. Perlindungan Diri
Untuk melindungi diri dari serangan musuh dan iklim yang tidak baik, serangga memerlukan alat perlindungan atau cara menghindari bahaya, sehingga jenis serangga yang bersangkutan tidak akan punah. Ada beberapa cara perlindungan diri pada serangga, yaitu: (1) struktur perlindungan diri; (2) konstruksi perlindungan diri; (3) besar, bentuk, dan warna sebagai perlindungan diri; (4) tempat kedudukan untuk perlindungan diri; dan (5) reaksi perlindungan diri.
2.1.2.1. Struktur perlindungan diri Serangga mempunyai kerangka luar (exoskeleton) yang fleksibel dan kuat yang disebut kutikula. Kutikula yang paling luar (epicuticula) tebalnya kurang lebih satu hingga dua mikron dan sangat tahan terhadap bahan kimia dan tidak larut dalam pelarut biasa (termasuk asam mineral yang pekat). Di bawah epicuticula terdapat exocuticula yang tebal. Lapisan ini tebalnya lebih kurang 10 mikron, warnanya hitam (gelap), dan berstruktur keras. Di bawah exocuticula terdapat lapisan endocuticula. Bagian utama kutikula adalah chitin dan arthropodin. Keras tidaknya kutikula ditentukan oleh jumlah chitin.
Di bawah endocuticula terdapat lapisan hypodermis dan di bawah lapisan hypodermis ini terdapat selaput dasar (basement membrane) yang selnya dapat merupakan sumber pengeluaran cairan (secretion) yang dapat membentuk lapisan kutikula. Serangga tidak mempunyai tulang seperti pada umumnya binatang. Sebagai pengganti tulang untuk Di bawah endocuticula terdapat lapisan hypodermis dan di bawah lapisan hypodermis ini terdapat selaput dasar (basement membrane) yang selnya dapat merupakan sumber pengeluaran cairan (secretion) yang dapat membentuk lapisan kutikula. Serangga tidak mempunyai tulang seperti pada umumnya binatang. Sebagai pengganti tulang untuk
2.1.2.2. Konstruksi perlindungan diri Pada waktu ulat akan berubah menjadi kupu atau ngengat, dibuatlah kepompong
dari benang sutera yang keluar dari mulutnya untuk melindungi diri. Kadang juga ada jenis ulat yang pada waktu masih tingkatan larva, sudah berada dalam kepompong, misalnya ulat kantung pada pohon jambu. Untuk melindungi diri sering juga serangga menggunakan tanah, daunan, serpihan kayu, pasir, atau kerikil kecil, dan bahan lain untuk menutupi badannya. Cairan atau kotoran yang dikeluarkan dari dinding badan, misalnya berupa zat seperti lilin, tepung, atau bulu pada kutu dan jenis aphis, berfungsi sebagai perlindungan diri. Serangga yang berkelompok, sering mendirikan sarang dari gundukan tanah untuk perlindungan diri, misalnya semut, rayap. Ada juga sarang bola kertas dari tabuhan dan sarang yang dibuat dari daun yang dihubungkan dari semut rangrang, dan lainnya.
Larva kumbang ubi jalar, menumpuk kotorannya pada punggungnya sebagai tempat perlindungan. Banyak lalat yang tidak meninggalkan kulitnya pada waktu masa larva, tetapi kulit tetap melekat pada larva sampai tingkatan pupa, untuk membentuk kantung pelindung yang baik. Ada juga lalat yang melekatkan telur pada ujung benang untuk perlindungan dirinya.
2.1.2.3. Ukuran, bentuk, dan warna sebagai perlindungan diri Besar dan kecilnya serangga juga bisa merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap musuh. Serangga yang sangat kecil, tidak terlihat oleh musuhnya yang lebih besar, sedangkan sebaliknya serangga yang besar akan ditakuti oleh musuhnya yang kecil. Serangga yang bentuknya menyeramkan akan menakutkan musuhnya. Serangga yang bentuknya menyerupai ranting kering, yang disebut tongkat berjalan atau yang mempunyai bentuk dan warna sayap seperti daun, biasanya tidak terlihat oleh musuh, kecuali kalau serangga itu berjalan.
Ada juga serangga yang dapat mengadakan penyamaran warna (mimicry), misalnya kupu atau lalat yang disukai burung dan katak, dapat mempunyai bentuk atau warna yang menyerupai kupu lain yang beracun atau yang rasanya pahit. Bisa juga mereka menyerupai tabuhan yang mempunyai sengat, sehingga musuhnya tidak berani mengganggu. Hal ini disebut penyamaran warna untuk melindungi diri (protective mimicry). Namun demikian, apabila penyamaran warna itu justru untuk menangkap mangsa, disebut penyamaran penyerangan (aggressive mimicry). Serangga yang mempunyai sengat atau rasa tidak enak untuk musuhnya (predator), ada tandanya. Misalnya, pada badan tabuhan ada garis kuning cerah yang disebut pewarna peringatan (warning coloration).
2.1.2.4. Tempat kedudukan untuk perlindungan diri Ada serangga yang membuat terowongan dalam tanah, batang pohon, dalam bahan organik yang sedang membusuk, maksudnya agar tidak terkena temperatur tinggi, penguapan yang berlebihan, atau dimakan oleh predator. Dengan makan di tempat yang tersembunyi, serangga akan merasa lebih aman dari musuh-musuhnya.
2.1.2.5. Reaksi perlindungan diri Serangga yang biasa makan di tempat yang terbuka akan belajar melarikan diri atau menyembunyikan diri dari musuhnya. Misalnya, dengan terbang, meloncat, berenang, menyelam, menjatuhkan diri, dan berpura-pura mati. Ada juga yang lari sambil membawa telur atau larvanya, agar tidak dimakan oleh musuhnya.
2.1.3. Makanan dan Pencernaan Serangga
Makanan serangga terdiri atas bermacam-macam bahan organik yang terdapat di alam. Bahan organik tersebut ada yang masih hidup dan ada yang sudah mati dan kering. Ada serangga yang makan selulosa dari kayu yang telah kering dan keratin dari bulu. Ada pula yang makan tembakau, lada, cabai, ataupun jahe. Mungkin di dalam perut rayap dan lipas terdapat bakteri atau protozoa yang dapat mengadakan simbiosis di dalam usus, sehingga dapat membantu pencernaan. Flora dan fauna dalam usus tersebut mungkin dapat menggunakan nitrogen dari udara, sebab yang dimakan rayap hanya selulose yang tidak ada nitrogennya. Dengan cara demikian, di dalam usus rayap akan tersedia makanan yang mengandung nitrogen, misalnya vitamin dan asam amino yang berguna untuk pertumbuhan badan rayap. untuk pencernaan makanan diperlukan enzym. Jenis enzym tersebut bermacam-macam, tergantung makanan yang dimakan. Serangga yang makan madu tidak perlu bermacam-macam jenis enzym, karena madu tersebut tersusun dari gula yang sederhana, sehingga mudah dicerna. Lipas yang memakan segala jenis makanan, memerlukan bermacam-macam enzym untuk membantu pencernaannya.
Saluran makanan serangga, dimulai dari mulut sampai anus (lubang pembuangan kotoran), di ujung perut. Mulut serangga terletak di antara ruas kepala yang ketiga dan keempat, sedangkan anus terletak pada ruas perut yang ke-12 (telson). Struktur tubuh serangga menyerupai sebuah tabung dalam tabung. Tabung di luar merupakan dinding badan, sedangkan tabung sebelah dalam merupakan saluran makanan. Ruangan antara dua tabung tersebut disebut rongga badan, rongga darah atau hemocoele, rongga tersebut sebagian besar dipenuhi dengan darah. Panjang saluran makanan pada serangga berbeda- beda. Ada yang panjang dan ada yang pendek, tergantung dari jenis makanannya.
Pada umumnya, serangga tidak mempunyai butir darah merah, tetapi agas (nyamuk kecil) yang termasuk keluarga Chironomidae, ordo Diptera, darahnya berwarna merah, karena adanya hemoglobin. Sistem tracheae tidak berkembang sempurna (rudimenter). Nampaknya darah serangga tersebut mempunyai fungsi untuk pernafasan, seperti binatang yang lebih tinggi tingkatannya (ikan, burung). Apabila darah menyelimuti saluran makanan, zat makanan yang telah dicernakan akan terserap secara osmose, dan kemudian akan dibawa ke otot, kelenjar, dan jaringan lain untuk diubah menjadi protoplasma dan zat lain.
2.1.4. Perkembangbiakan Serangga
Kebanyakan jenis serangga hama, baik betina maupun jantan, dapat menimbulkan kerusakan. Namun demikian, ada juga serangga yang hanya betinanya yang merugikan, sebab yang jantan umurnya terlalu pendek dan tidak pernah makan. Hal ini misalnya yang terjadi pada serangga sisik. Serangga sisik betina harus makan banyak agar dapat membentuk telur, sedangkan serangga yang jantan biasanya berukuran lebih kecil. Jenis Kebanyakan jenis serangga hama, baik betina maupun jantan, dapat menimbulkan kerusakan. Namun demikian, ada juga serangga yang hanya betinanya yang merugikan, sebab yang jantan umurnya terlalu pendek dan tidak pernah makan. Hal ini misalnya yang terjadi pada serangga sisik. Serangga sisik betina harus makan banyak agar dapat membentuk telur, sedangkan serangga yang jantan biasanya berukuran lebih kecil. Jenis
Alat kelamin serangga biasanya terdapat pada ujung perut, yaitu pada ruas kedelapan atau kesembilan. Alat kelamin betina dilengkapi dengan ovipositor, yaitu alat untuk memasukkan telur ke dalam tanah atau jaringan tanaman. Alat kelamin jantan dilengkapi dengan clasper atau alat pemeluk yang digunakan untuk memegang betina selama perkawinan. Serangga jantan menghasilkan sperma, sedangkan yang betina menghasilkan telur. Telur yang telah dibuahi akan bersatu menjadi satu sel yang akan berkembang menjadi serangga baru. Ada juga serangga yang tanpa kawin dapat menghasilkan individu baru. Hal ini disebut parthenogenesis. Contoh parthenogenesis adalah lebah madu. Telur yang tidak dibuahi akan menghasilkan lebah jantan, biasanya juga disebut drene, yang perannya hanya membuahi lebah betina, tanpa pernah bekerja. Telur yang telah dibuahi akan menghasilkan lebah pekerja dan betina (ratu). Pada aphis, telur yang tidak dibuahi menjadi betina.
Besarnya telur serangga pada umumnya tidak lebih dari 3,5 mm, sehingga tidak kelihatan jelas dengan mata telanjang. Telur serangga bervariasi jumlah, bentuk, maupun besarnya. Kadang serangga betina hanya menghasilkan satu telur, tetapi dalam keadaan luar biasa (ekstrim), serangga dapat bertelur lebih dari satu juta. Ratu lebah dapat bertelur antara 2.000 sampai 3.000 butir setiap hari, sedangkan ratu rayap (anai-anai) dalam satu menit dapat menghasilkan 60 juta telur. Pada umumnya, serangga dapat bertelur lebih dari 100 butir.
Cara bertelur serangga ada yang sekaligus dalam waktu sehari, ada pula yang berlangsung dalam beberapa hari. Serangga jenis lainnya ada yang bertelur memakai jarak antara dua hingga lima hari, setiap bertelur lebih kurang 125 butir. Pada umumnya telur diletakkan di tempat yang cukup banyak makanan, sehingga pada waktu menetas serangga muda sudah mendapat makanan yang memadai dan tempat yang aman serta sesuai untuk perkembangannya. Induk serangga biasanya tidak memperhatikan telurnya. Biasanya sesudah selesai masa bertelur, serangga betina lalu mati.
Perkembangan serangga begitu cepat, karena beberapa faktor, seperti jumlah telur yang demikian banyak dan daur hidup yang pendek, serta kecepatan tumbuh generasi baru yang pesat. Ada sejenis serangga yang daur hidupnya hanya berlangsung 10 hari. Sepasang lalat rumah, bila tidak ada yang mati dalam jangka waktu lebih kurang empat hingga lima bulan sudah akan menjadi lebih dari satu triliun. Hama sisik yang mula-mula jumlahnya hanya satu pasang, dalam jangka waktu tiga bulan sudah dapat mencapai lebih dari satu juta.
Ada beberapa cara perubahan bentuk dalam perkembangan serangga, sejak menetas hingga dewasa, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks: Pertama, perkembangan tanpa metamorfosa. Bila anak burung menetas, bentuknya hampir menyerupai burung dewasa. Demikian pula ular, bila menetas menyerupai ular dewasa. Juga ada serangga yang ketika menetas, bentuknya sudah menyerupai serangga dewasa, tanpa mengalami perubahan atau metamorfosa. Misalnya, ngengat (silverfish) dan ekor loncat (springtails), yang termasuk dalam ordo Thysanura dan Collembola.
Kedua, perkembangan dengan metamorfosa sederhana atau bertahap. Metamorfosa adalah perubahan yang nyata dalam bentuk dan rupa binatang sesudah menetas (lahir) dan dewasa. Misalnya, berudu (anak katak), berbeda sekali dengan katak dewasa, maka anak katak tersebut disebut mengalami metamorfosa. Adapun burung, kelinci, kucing, harimau, tidak mengalami metamorfosa. Banyak spesies serangga yang bentuk mudanya menyerupai serangga dewasa. Hanya bedanya, serangga muda belum mempunyai sayap. Sayap akan tumbuh secara bertahap, makin lama makin besar dan akhirnya akan menyerupai serangga dewasa. Misalnya, jengkerik dan gangsir. Perkembangan demikian disebut metamorfosa sederhana atau metamorfosa bertahap. Serangga muda yang akan mengalami metamorfosa bertahap disebut nimfa (nymph). Pada umumnya, sifat serangga muda dan dewasa hampir sama. Mereka makan bersama-sama satu jenis makanan. Nimfa belalang dan belalang dewasa, sama-sama makan rumput. Metamorfosa sederhana tersebut disebut juga heterometabola atau perubahan yang berbeda. Termasuk dalam golongan ini adalah ordo Orthoptera, Isoptera, Mallophaga, Thysanoptera, Homoptera, Hemiptera, dan Anoptera.
Ketiga, perkembangan dengan metamorfosa sempurna. Golongan serangga ini mempunyai kebiasaan yang berbeda sewaktu masih muda. Misalnya nyamuk, pada waktu masih muda hidup di air dalam bentuk jentik. Demikian halnya ulat, pada waktu masih muda makan daun, tetapi setelah dewasa menjadi kupu yang memakan madu. Pada jenis serangga ini, bentuk waktu muda berbeda sekali dengan serangga dewasa. Serangga muda biasa disebut larva, yang tidak mempunyai sayap, dan tanda calon sayap juga tidak nampak. Larva atau nimfa mula-mula kecil, kemudian menjadi besar. Tingkatan pertumbuhan ini disebut dengan instar. Larva setelah dewasa mengalami perubahan bentuk, lalu menjadi pupa. Larva ada yang langsung membuat pupa, tetapi ada juga yang sebelum menjadi pupa lebih dahulu membuat pelindung dari daun yang dilipat, tanah (pasir) halus, sayatan kayu halus, rambut dari badan larva atau bahan lainnya, yang dapat untuk melindungi diri. Tempat perlindungan di sekeliling pupa disebut kepompong atau kokon (cocon). Apabila tempat berlindung tersebut dibuat dari kulitnya sendiri yang kering, sehingga membentuk kantung yang tahan air dan kedap udara, disebut puparium.
2.2. Phylum Annelida 2
K elas Nematoda. Nematoda berbentuk seperti cacing kecil. Panjangnya 200 hingga 1.000 milimikron. Ada beberapa perkecualian yang panjangnya melebihi satu cm.
Nematoda dapat hidup di dalam atau di atas tanah, di dalam tanaman (endoparasit) atau di luar tanaman (ectoparasit). Umumnya hidup dalam lapisan atas tanah sampai sedalam 30 cm. Ada nematoda yang makan tanaman yang masih hidup, ada pula yang makan tanaman yang telah mati. Jenis yang saprofit sangat menguntungkan, karena mempercepat proses tanaman yang telah mati menjadi tanah dan biasanya tidak mempunyai stylet, sedangkan nematoda jenis parasit atau predator mempunyai stylet. Nematoda yang di atas tanah sering terdapat dalam jaringan tanaman atau di antara daun yang melipat, di tunas daun, di dalam buah, di batang, atau di bagian tanaman yang lainnya.
Nematoda dapat bergerak, tetapi tidak begitu cepat, kira-kira hanya 30 m setiap tahunnya, tergantung struktur tanah, udara, air tanah, suhu, dan lain-lain. Umumnya, di Nematoda dapat bergerak, tetapi tidak begitu cepat, kira-kira hanya 30 m setiap tahunnya, tergantung struktur tanah, udara, air tanah, suhu, dan lain-lain. Umumnya, di
perkembangannya terhambat. Suhu optimal untuk hidupnya kira-kira 15 hingga 30 o C dan suhu maksimal 43,5 o C.
Badan nematoda berbentuk benang, mempunyai mulut dan saluran makanan yang baik. Mulutnya dilengkapi dengan bintil, bibir, kait, atau duri dalam mulut yang berhubungan dengan kerongkongan yang sempit. Biasanya, mempunyai dinding otot kerongkongan yang tebal dengan lapisan kutikula dan mengembang menjadi satu atau lebih gelembung kerongkongan yang berotot atau pharynx. Dengan klep dan dinding berotot, kerongkongannya akan memompa larutan makanan atau butiran makanan padat dan dengan gerakan peristaltis, cairan makanan akan terus masuk dalam usus. Ususnya biasanya berbentuk tabung lurus yang akan membuka di dekat ujung badan belakang pada permukaan ventral.
Dinding badan tersebut berotot dan menutupi ruangan badan yang berisi cairan darah, saluran makanan, alat pengeluaran kotoran, dan alat reproduksi. Tidak ada sistem sirkulasi dan alat pernafasan yang sempurna. Badan nematoda tidak mempunyai ruas, tetapi kadang ada kutikula yang keras melingkar seperti cincin. Dinding badan yang berotot akan memungkinkan nematoda membengkok dan melengkung dengan gerakan yang mengombak. Serangan nematoda ada yang menimbulkan gejala di bawah permukaan tanah dan ada pula yang menyebabkan gejala di atas permukaan tanah.
2.2.1. Gejala di bawah permukaan tanah