Tindak pidana penyerobotan penguasaan ta

Tindak pidana penyerobotan penguasaan tanah sehubungan dengan
diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
daerah (OTDA)
Dedy Suwandy, Dodo SDW, Bintatar Sinaga
ABSTRACT
Soil functions and economic value of land increases, and the orderly administration is not
optimal, appears to have become the driving factor of land grabbing. Article 385 of the
Criminal Code Offence is terrnyata not only in urban areas, but occurs also in rural
areas is growing. The number of cases involving land grabbing, and even quite a lot of
cases involving land grabbing that eventually resolved on appeal that the author got the
verdict by the Supreme Court of Indonesia's official website there are two cases that the
decision was the decision in 2003 and 2009. Criminal law sanctions against land
grabbing is not explicitly defined in Article 385 of the Criminal Code. But the article is
the only provision governing crimes directly related to the ownership of Local
Government tanah.Kewenangan against land grabbing cases set forth in Article 3 and
Article 4 of Law, but due to Local Government rather than the judiciary, then the actions
to resolve the case annexation of land restricted to administrative actions.
Keywords: Crime of the procurement of land invasions, Relating to Regional Autonomy.

A. PENDAHULUAN
Hakikat

tujuan
pembangunan
nasional adalah mewujudkan masyarakat
adil dan makmur, materiil dan spiritual
berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Tahun 1945. Upaya untuk
mewujudkannya
adalah
melalui
pembangunan nasional. Pembangunan di
bidang hukum dalam negara hukum
Indonesia didasarkan pada sumber tertib
hukum seperti terkandung dalam Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Pembangunan pada dasarnya merupakan
suatu proses yang menyangkut seluruh
aspek-aspek hukum masyarakat sehingga
dapat mengendalikan masyarakat maupun
penguasa dari tindakan-tindakan yang
menghambat pembangunaan dan tujuan
pembangunaan.

Semakin pentingnya peran manusia
selaku subyek pembangunan nasional,
yang diikuti dengan kemajuan tehnologi,
meningkatkan
aktivitas
ekonomi,
bertambahnya jumlah penduduk dan
semakin tingginya kebutuhan hidup
masyarakat secara umum, secara rasional
akan dibarengi dengan peningkatan
kebutuhan akan sarana dan prasarana
penunjang
hidup
lainnya
seperti,

pertanian,
peternakan,
perkantoran,
pabrik-pabrik, jalan dan perumahan, atau

tempat tinggal. Untuk mewujudkan
kebutuhan tersebut diperlukan adanya area
pertanahan yang cukup dan memadai.
Salah satu permasalahan pokok yang
hingga saat ini dirasakan menonjol adalah
pemakaian tanah tanpa izin yang berhak,
atau lebih populer disebut penyerobotan
tanah, masalah tersebut selalu mendapat
perhatian masyarakat yang sangat kritis
akan permasalahan sosial.
Fungsi tanah dan nilai ekonomis tanah
yang semakin meningkat, serta belum
optimalnya tertib administrasi pertanahan,
tampak telah menjadi faktor pendorong
terjadinya penyerobotan tanah. Tindak
pidana Pasal 385 KUHP ini terrnyata tidak
hanya terjadi di kawasan perkotaan, tetapi
terjadi juga di kawasan perdesaan yang
tengah berkembang.
Banyaknya kasus

menyangkut
penyerobotan tanah, bahkan cukup banyak
kasus menyangkut penyerobotan tanah
yang pada akhirnya diselesaikan di tingkat
kasasi yang penulis dapatkan putusannya
melalui situs resmi Mahkamah Agung
Indonesia terdapat dua kasus yaitu putusan
kasasi tahun 2003 dan putusan kasasi tahun

2009, selain itu masih dalam situs yang
sama penulis dapatkan pula putusan
tingkat banding dari bengkulu yaitu
putusan tahun 2011.1
Dalam kasus tanah menurut Guntur
Gara2, Kepala Seksi Konflik, Sengketa,
dan Perkara BPN mengatakan sengketa
antara kedua belah pihak yang sama-sama
mempunyai sertifikat hak milik bisa
dikenai pidana. “Hal tersebut bisa ditilik
dari usia sertifikat para pihak. Sertifikat

dengan usia lebih tua bisa menuntut
dengan dalih penyerobotan tanah,. Kasuskasus penyerobotan tanah yang tersaji di
atas tentu dapat menimbulkan dampak
luas. Dampak penyerobotan tanah itu
ternyata tidak hanya menimbulkan
permasalahan sosial ekonomi pada
perseorangan atau sekelompok warga
masyarakat saja, akan tetapi dapat juga
meluas hingga menimbulkan masalah
keamanan, ketertiban sosial, dan masalah
politik. Bahkan pada beberapa kasus
dampak penyerobotan tanah seperti dapat
dijadikan isu aktual untuk mengkritisi
lemahnya penegakan hukum di bidang
pertanahan, termasuk lemahnya kinerja
instansi pertanahan dalam memberikan
pelayanan administrasi pertanahan kepada
masyarakat.Karena itu, urusan pertanahan
perlu ditonjolkan sebagai salah satu agenda
kerja birokrasi pemerintahan untuk

mengefektifkan pelaksanaan otonomi
daerah, karena kasus-kasus pertanahan
terjadi di daerah.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut
yang menjadi fokus permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana sanksi hukum terhadap
tindak pidana penyerobotan tanah
dalam peraturan hukum positif ?

1

Redaksi, “Direktori Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia”, tersedia di putusan.
Mahkamah agung.go.id, di akses 20 Maret 2012.
2
Guntur Gara, tesedia di borneonews.co.id/.../22437tidak-semua-kasus-sengketa-kepemilikan, di akses
24 Maret 2012.


2. Bagaimana kewenangan Pemerintah
Daerah terhadap kasus penyerobotan
tanah ?
3. Faktor-faktor apa saja masalah yang
mendorong terjadinya tindak pidana
penyerobotan
tanah
dan
penyelesaiannya ?
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah
dikemukakan maka dapat diketahui dari
penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini
adalah:
1. Untuk mengetahui sanksi hukum
terhadap tindak pidana penyerobotan
tanah;
2. Untuk
mengetahui
kewenangan

Pemerintah Daerah terhadap kasus
penyerobotan tanah;
3. Untuk mengetahui faktor apa saja yang
mendorong terjadinya tindak pidana
penyerobotan tanah.
Sedangkan kegunaan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1.Kegunaan Praktis Bagi peneliti, seluruh
rangkaian kegiatan penelitian dan hasil
penelitian dapat lebih memantapkan
penguasaan disiplin Ilmu Hukum dan
dapat dijadikan masukan yang berguna
untuk meningkatkan kinerja pelayanan
administrasi pertanahan dan penegakan
hukum di bidang pertanahan;
2.Kegunaan Akademis di mana diharapkan
hasil penelitian dapat dijadikan dokumen
akademik yang berguna untuk menjadi
rujukan studi bagi para mahasiswa.
Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran yang digunakan
dalam penulisan ini adalah:
1. Kerangka Teoritis
Indonesia sebagai negara yang
sedang membangun sehingga apapun yang
terjadi ukurannya, perubahan adalah ciri
tetap dari pembangunan, proses perubahan
akan berfungsi bagi pembangunan. Proses
pembangunan akan berfungsi bagi
pembangunan apabila perubahan tersebut
berjalan dengan teratur, sehingga dengan
demikian hukum tidak dapat diabaikan
dalam proses pembangunan.
Seperti diketahui bahwa fungsi hukum
adalah mengatur hubungan antara negara
atau masyarakat dengan warganya dan
hubungan antara manusia serta manusia

dengan benda, agar kehidupan di dalam
masyarakat berjalan dengan lancar dan

tertib. Dengan demikian tugas hukum
adalah untuk mencapai kepastian hukum
dan keadilan dalam masyarakat, kepastian
hukum
mengharuskan
diciptakannya
peraturan-peraturan yang umum dan
kaedah-kaedahnya berlaku umum demi
terciptanya suasana aman, tentram dan
teratur dalam masyarakat sehingga
peraturan tersebut ditegakkan serta
dilaksanakan dengan tegas.
Timbulnya kasus-kasus pertanahan
yang terjadi pada akhirnya mendapat
perhatian dari pemerintah sehingga dengan
ketetapan MPR : No. II/MPR/1993,
tanggal 9 Maret 1993 tentang Garis-Garis
Besar Haluan Negara Bab IV bidang
ekonomi Pasal 12 (Pembangunan Daerah)
huruf F, pemerintah menetapkan sebagai

berikut :
Penataan penguasaan tanah oleh negara
diarahkan pemanfaatannya sehingga dapat
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia, sedangkan penataan
penggunaan tanah dilaksanakan secara
berencana guna mewujudkan kemakmuran
rakyat yang sebesar-besarya. Penataan
penggunaan tanah perlu memperhatikan
hak-hak rakyat atas tanah, fungsi sosial hal
atas
tanah,
batas-batas
maksimum
kepemilikan tanah pertanian dan perkotaan
serta
pencegahan penelantaran tanah,
termasuk berbagai upaya urituk Pemusatan
penguasaan tanah, termasuk kepentingan
rakyat.
Kelembagaan
pertanahan
disempurnakan agar makin terwujud
sistern pengelolaan pertanahan yang
terpadu, serasi, efektif dan efisien yang
meliputi tertib administrasi pemeliharaan
tanah dan lingkungan hidup. Kegiatan
pengembangan administrasi pertanahan
perlu ditingkatkan dan ditunjang dengan
perangkat analisis dan perangkat informasi
pertanahan yang baik.3

2. Kerangka Konseptual
Untuk mempermudah penulisan hukum
ini, agar terdapat kesamaan persepsi dan
menghindarkan kesalahpahaman mengenai
hal-hal yang termasuk dalam obyek
penulisan ini, maka dapat dijelaskan
3

Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor
II/MPR/1993 tentang GBHN, (Jakarta : Pustaka
Amani, tahun 1993), halaman 8 6.

batasan-batasan
pengertian
sebagai
berikut:
a. Tindak Pidana adalah perbuatan yang
oleh aturan hukum dilarang dan
diancam dengan pidana, barang siapa
yang melanggar larangan tersebut4;
b. Penyerobotan adalah hal, cara, hasil,
atau proses kerja menyerobot atau
mengambil.5
c. Penguasaan
adalah
orang
yang
menguasai.6
d. Tanah adalah lapisan bumi yang paling
atas.7
e. Pemerintahan
Daerah
adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh pemerintah daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.8
f. Otonomi Daerah adalah hak, wewenang
dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan
dan
kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang
berlaku.9
B. TINJAUAN PUSTAKA
Sejalan dengan perkembangan jaman
dan kemajuan tehnologi, keberadaan tanah
yang jumlahnya terbatas terutama di
daerah perkotaan, terasa semakin langka
dan bernilai ekonomi tinggi sehingga
semakin menarik bagi pihak-pihak tertentu
untuk melakukan investasi dalam bentuk
tanah. Di lain pihak kebutuhan akan
tanah semakin mendesak terutama untuk
keperluan pemukiman, baik yang dibangun
didekat pusat kota maupun yang dibangun
di pinggiran kota yang semula adalah
4

M. Sudrajat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu,
(Bandung : Remadja karya, 1984), hal.2.
5
J.S Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Pustaka Sinar
Harapan, 1994), hal.1301.
6
Ibid., hal. 726.
7
J.S Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Op. Cit.,
hal. 1417.
8
Indonesia, Undang-undang tentang Pemerintahan
Daerah, UU No. 32 Tahun 2004.
9
Ibid., Pasal 1 butir 5.

merupakan lahan pertanian. Demikian
penting dan bernilainya tanah sehingga
tidak jarang menimbulkan konflik-konflik
dan permasalahan di bidang pertanahan.
Untuk mengatasi segala permasalahan
yang menyangkut pertanahan, yang terjadi
di dalam masyarakat, Pemerintah Republik
Indonesia membentuk suatu perundangundangan yang mengatur tentang masalah
pertanahan, yaitu Undang-undang Pokok
Agraria (UUPA), yang bertujuan untuk
meletakkan dasar bagi penyusunan Hukum
Agraria Nasional, yang merupakan alat
untuk mencapai kemakmuran, kebahagiaan
dan keadilan bagi masyarakat, juga untuk
mewujudkan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan, yang akhirnya
akan dapat memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah.
Adapun
perundang-undangan
dan
peraturan-peraturan yang mengatur tanah
antara lain :
1. Undang-undang No.5 tahun 1960
tanggal 24-9-1960 (Lembaran Negara
No. tahun 1960 nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2043) tentang
Pokok Agraria.
2. Undang-undang No.5l/Prp tahun 1960
tanggal 14-12-1960 nomor 198,
(Tambahan Lembaran Negara nomor
2106) tentang Larangan Pemakaian
Tanah Tanpa Ijin.
3. Undang-undang No.20 tahun 1961
tanggal 26-9-1961 Lembaran Negara
nomor 288, Tambahan Lembaran
Negara
nomor
2324)
tentang
Pencabutan hak-hak atas benda-benda
yang ada diatasnya.
4. Undang-undang No.24 tahun 1992
(Lembaran Negara tahun 1992 nomor
115, Tambahan Lembaran Negara
nomor 3501) tentang Penataan ruang.
5. Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1953
(Lembaran Negara tahun 1953 ,
Lembaran Negara tahun 1953 nomor
14, Tambahan Lembaran Negara nomor
362) tentang Penguasaan tanah-tanah
negara.
6. Peraturan Pemerintah No.224 tahun
1961 tanggal 19-9-1961, tentang
Pelaksanaan pembagian tanah dan ganti
rugi.

7. Peraturan Pemerintah No.28 tahun 1977
tanggal 25-7- 1977, tentang Perwakafan
tanah milik.
8. Keputusan Presiden No.33 tahun 1990
tanggal
25-71990,tentang
Penggunaan tanah bagi pembangunan
kawasan industri.
Penguasaan dilandasi hak, yang
dilindungi oleh hukum dan umumnya
memberi kewenangan kepada pemegang
hak untuk menguasai secara fisik tanah
yang di haki. Tetapi adajuga penguasaan
yuridis
yang,
biarpun
memberi
kewenangan untuk menguasai tanah yang
di haki secara fisik, pada kenyataan
penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain.
Misalnya kalau tanah yang dimiliki
disewakan kepada pihak lain dan penyewa
yang menguasainya secara fisik. Atau
tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh
pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik
tanah berdasarkan hak yuridisnya, berhak
untuk menuntut diserahkannya kembai
tanah yang bersangkutan secara fisik
kepadanya.
Dalam hukum tanah dikenal juga
penguasaan yuridis yang tidak memberi
kewenangan untuk menguasai tanah yang
bersangkutan secara fisik. Kreditur
pemegang hak jaminan atas tanah
mempunyai hak penguasaan yuridis atas
tanah yang dijadikan anggunan, tetapi
penguasaannya secara fisik tetap ada pada
yang mempunyai tanah.
C. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian dalam penyusunan tesis
ini
menggunakan jenis penelitian
normatif empiris artinya melakukan
penelusuran data kepustakaan yang
didukung oleh penelitian lapangan.
2. Sifat Penelitian
Penelitian yang digunakan bersifat
deskriptif
analisis
yaitu
menggambarkan mengenai Tindak
Pidana
Penyerobotan
Penguasaan
Tanah
sehubungan
dengan
diberlakukannya
Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (OTDA) secara
sistematis, faktual dan akurat sekaligus

menganalisis peraturan perundangundangan yang berlaku dihubungkan
dengan teori-teori sesuai perumusan
masalah.
3. Metode Pendekatan
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode pendekatan
yuridis empiris yaitu menerapkan
norma-norma atau peraturan-peraturan
terhadap Tindak Pidana Penyerobotan
Penguasaan Tanah sehubungan dengan
diberlakukannya
Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (OTDA) yang
didukung oleh data lapangan (data
primer).
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Penelitian
Kepustakaan
(Library
Research)
Yaitu
penelitian
dengan
cara
menelusuri literatur-literatur (bukubuku), peraturan perundang-undangan
dan bahan-bahan hukum lainnya.
Adapun
bahan
hukum
yang
dipergunakan
dalam
penelitian
kepustakaan adalah:
1). Bahan Hukum Primer, yaitu bahanbahan pustaka berupa perundangundangan.10
2). Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahanbahan pustaka (buku-buku maupun
literatur) yang erat hubungannya
dengan bahan hukum Primer, dan dapat
membantu menganalisis bahan hukum
Primer, yang ada hubungannya dengan
penelitian.11
3) Bahan Hukum Tersier disebut juga
Bahan Hukum Penunjang berupa
kamus, ensiklopedia.12
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian lapangan dilakukan untuk
memperoleh data primer, dengan
melakukan
wawancara
secara
terstruktur dengan pihak-pihak yang
berkompeten. Adapun pihak-pihak yang
berkompeten diantaranya; Staf Kantor
Pertanahan Kabupaten Bogor, Pejabat
Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor,
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian
Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 29.
11
Ibid.
12
Ibid.

maupun pihak lain yang mengetahui
permasalahan yang diteliti. Penentuan
responden
dengan
menggunakan
purposive sampling artinya responden
yang dianggap mengetahui sesuai
dengan tujuan.
5. Analisis Data
Untuk menganalisis data dan menarik
kesimpulan secara kualitatif, yaitu
dengan merumuskan kalimat demi
kalimat yang menjadi satu kesatuan
yang utuh dan bermakna agar mudah
dimengerti.13
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di
wilayah Pasir Angin Kabupaten Bogor
yang nantinya akan dipertajam dengan
putusan kasus penyerobotan tanah yang
ditangani oleh Mahkamah Agung dengan
waktu penelitian mulai bulan Februari
sampai dengan April 2012.
D. PEMBAHASAN
1. Sanksi Hukum terhadap Tindakan
Pidana Penyerobotan Tanah
Perbuatan penyerobotan tanah tidak
secara tegas dirumuskan dalam Pasal 385
KUHP, namun karena pasal tersebut
merupakan satu-satunya pasal yang
mengatur tentang kejahatan yang berkaitan
langsung dengan kepemilikan tanah, tidak
ada pasal lain yang dapat digunakan untuk
mengancam dengan hukuman bagi
seseorang yang menyerobot tanah milik
pihak lain. Disisi ain, posisi hukum
penguasaan atas tanah milik orang atau
pihak lain oleh seseorang atau beberapa
orang dengan tiada izin dari pemiik atau
kuasanya (penguasaan tanpa hak) dengan
melalui proses peradilan pidana terlebih
dahulu terhadap peakunya, tidak dengan
sendirinya penguasaan objek tanahnya
kembali kepada pemilik yang sebenarnya.
Atau dengan kata lain, sekalipun unsurunsur yang dirumuskan daam Pasal 385
KUHP terpenuhi oeh perbuatan “pelaku”,
areal tanah yang ”diserobot” tidak berarti
dengan sukarela dikembalikan kepada
pemilik.
13
Romy Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian
Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 93.

Proses pengosongan tanahnya harus di
tempuh tersendiri. Dengan dasar keputusan
Pengadilan (pidana) yang menyatakan
pelaku penyerobot bersalah, pemilik tanah
harus mengajukan gugatan perdata ke
pengadilan untuk upaya pengosongan,
kecuali dalam putusan pidananya sekaligus
memuat hak keperdataan pemilik yang
harus dikembalikan kepadanya dengan
mengosongkan tanah dari penguasaan
pelaku atau siapa saja yang memperoleh
hak daripadanya. Dengan proses yang
harus ditempuh melalui jenjang pengadilan
perdata (Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi, dan Mahkamah Agung) hingga
penguasaan kembali tanah milik seseorang
yang diserobot pihak lain, lama waktu
yang harus di tempuh jauh lebih panjang
dibandingkan lama waktu yang digunakan
“penyerobot” menguasai tanah dimaksud.
Oleh karena itu pemilik tanah yang
sebenarnya cenderung mencari alternatif
lain yang reatif waktu yang diperukan
lebih cepat untuk upaya pengosongannya.
Sebelum diterbitkan UU No. 5 tahun
1960 tentang “Peraturan dasar Pokokpokok Agraria” telah lebih dulu ditetapkan
ketentuan yang melarang setiap orang
memakai tanah milik pihak lain tanpa
seizin pemilik atau kuasanya yang sah.
Karena tuntutan perdata saja tidak dapat
mengatasi persoalan okupasi oleh rakyat,
maka
Pemerintah
Hindia
Belanda
menerbitkan ordonnatie tahun 1948 yang
dimuat dalam S.1948 No. 110 yaitu
“Ordonantie onrechtmatige occupatie van
gronden”.
Ordonasi
ini
melarang
pemakaian tanah tanpa izin yang tak
berhak dengan memberi ancaman pidana.
Karena hambatan politis, psikologis dan
teknis dalam pemberlakuan ketentuan ini
digunakanlah Undang-Undang Darurat No.
8 tahun 1954 khusus untuk tanah-tanah
perkebunan
dan
untuktanah
non
perkebunan diatur oleh Kepala Staf
Angkatan Darat selaku Penguasa Militer.
Dan diterbitkanlah Peraturan Penguasa
Militer No. Prt/PM/014/1957 yang
didasarkan pada Regeling op de staat van
Oorlog en van Beeg (SOB diatur dalam
S.1939 no. 582) yang kemudian diganti
dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat
No.Prt/Peperpu/011/1958
tentang

“Larangan pemakaian tanah tanpa izin
pemiliknya atau kuasanya” yang masa
berlakunya berakhir tanggal 16 Desember
1960 setelah diterbitkan Undang-undang
No. 51 tahun 1960.
Pada pasal 2 dan 6 Undang-Undang No.
51/Prp tahun 1960 ini (yang kemudian
dikenal sebagai Undang-Undang No. 1
tahun 1961 L.N. 1961 No. 3) ditetapkan
bahwa pemakain tanah tanpa izin yang
berhak atau kuasanya yang sah adalah
perbuatan yang dilarangan dan diancam
hukuman pidana. Jelasnya pasal 6
menyebutkan bahwa tindak pidana
“penguasaan tanpa hak” adalah tindak
pidana
pelanggaran. Ketentuan dalam
Undang-Undang No. 51/Prp tahun 1960 ini
jelas tidak sejalan dengan pasal 385 KUHP
yang memang tidak secara tegas
merumuskan unsur-unsur “penguasaan
tanah tanpa seizin pemilik atau kuasanya”,
karena klasifikasi perbuatan yang diancam
pasal 385 KUHP adalah kejahatan.
Pasal 548 sampai dengan Pasal 551
KUHP memuat tentang “pelanggaran
mengenai
tanah,
tanaman
dan
perkarangan” namun tidak memuat tentang
prilaku “penguasaan tanpa hak” atau
“penyerobotan”. Hal ini berati satu-satunya
pasal dalam KUHP yang mengancam
perbuatan “penguasaan tanpa hak” atau
“penyebotan” atas tanah pihak lain yang
dapat diklasifikasi sebagai perbuatan curng
adalah pasal 385 KUHP yang termuat
dalam Buku Kedua Bab XXV tentang
perbuatan curang (Bedrog).
Berdasarkan deskripsi analisis yang tersaji
di atas, maka diperoleh gambaran normatif
bahwa Sanksi hukum terhadap tindak
pidana penyerobotan tanah tidak secara
tegas dirumuskan dalam pasa 385 KUHP.
Namun pasal tersebut merupakan satusatunya pasal yang mengatur tentang
kejahatan yang berkaitan langsung dengan
kepemilikan tanah, dan pasal tersebut
menyatakan : diancam dengan pidana
penjara paling ama empat tahun terhadap
abrang
siapa
dengan
maksud
p[enguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara
melawan
hukum,
menjual,
menukarkan atau membebani dengan
creaditverband sesuatu hak atas tanah
Indonesia, sesuatu gedung, bangunan,

penanaman atau pembenihan di atas tanah
dengan hak Indonesia, padahal diketahui
bahwa yang mempunyai atau turut
mempunyai hak atasnya adalah orang lain;
barang siapa dengan maksud yang sama
menjual, menukarkan atau membebani
dengan creditverband, hak tanah Indonesia
yang telah dibebani creditverband, atau
sesuatu gedung, bangunan penanaman atau
pembenihan di atas tanah yang juga telah
dibebani demikian, tanpa memberitahukan
tentang adanya beban itu kepada pihak
yang lain ; barang siapa dengan maksud
yang sama, mengadakan creditverband
mengenai sesuatu hak atas tanah Indonesia,
dengan menyembunyikan kepada pihak
lain, bahwa tanah yang berhubungan
dengan hak tadi sudah digadaikan; dan
barang siapa dengan maksud yang sama
menggadaikan atau menyewa tanah dengan
hak Indonesia, padahal diketahui bahwa
orang ain yang mempunyai atau turut
mempunyai hak atas tanah itu.
2. Kewenangan Pemerintah Daerah di
Bidang Pertanahan
Keberadaan Pemerintahan Daerah
adalah untuk memberikan pelayanan
kepada
masyarakat
sesuai
dengan
kebutuhan masyarakat dan keberagaman
daerah. Esensi dasar dari keberadaan
pemerintah, adalah untuk menciptakan
ketentraman dan ketertiban (maintain law
and order) serta sebagai instrumen untuk
mensejahterakan rakyat. Dalam kaitan
dengan Pemerintah Daerah (Pemda),
mengindikasikan bahwa adanya Pemda
adalah
untuk
mensejahterakan
masyarakatnya yang secara universal
diukur
dengan
kemampuan
untuk
meningkatkan
pencapaian
indeks
pembangunan
manusia
(Human
Development Index/HDI). Indikator HDI,
diantaranya dapat diketahui dari keadaan
dan kondisi kesehatan, pendidikan,
pendapatan
masyarakat,
kondisi
lingkungan dan lainnya.
Meningkatnya kebutuhan akan tanah
untuk
perumahan,
perindustrian,
pembangunan dan untuk kebutuhan lain
yang dihadapkan pada keterbatasan luas
tanah, akhirnya menjadikan masalahmasalah pertanahan semakin kompleks.
Timbunya masalah-masalah pertanahan

atnra
lain
disebabkan
minimnya
pemahaman masyarakat akan pentingnya
dan adanya motif-motif tertentu yang
mendorong terjadinya upaya memiliki atau
menguasai tanah secara tidak sah. Karena
itu, tidak sedikit kasus-kasus pertanahan
yang muncul ke permukaan. Sementara itu,
dari sekian banyak kasus-kaus pertanahan
yang terjadi di berbagai daerah, salah satu
kasus yang menarik untuk dibahas adalah
kasus penyerobotan tanah yang terjadi di
Kampung Pasir Angin, Babakan Sirna,
Desa
Cipayung,
Kecamatan
Megamendung, Kabupaten Bogor. Kasus
ini menarik untuk dibahas karena akar
permasalahannya berhubungan dengan
banyak faktor yang mendorong terjadinya
tindak pidana penyerobotan tanah,
terutama kurang tertibnya pengaturan
administrasi pertanahan. Dalam konteks
ini, bagaimana kewenangan Pemerintah
Daerah terhadap kasus-kasus penyerobotan
tanah?
Jawaban
yang
mendasar
terhadap
pertanyaan yang demikian itu tentu
merujuk pada peraturan perundangundangan yang mengatur kewenangan
Pemerintah Daerah di bidang pertanahan.
Kewenangan Pemerintah Daerah di bidang
pertanahan ini sekurang-kurangnya telah
diatur dalam 3 undang-undang, yaitu :
- TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001
tentang
Pembaruan
Agraria
dan
pengelolaan Sumber Daya Alam;
- Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun
1960 Tentang Larangan Pemakaian
Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau
Kuasanya;
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah Pasal 14.
(1) Urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah untuk
kabupaten/kota merupakan urusan yang
berskala kabupaten/kota meliputi:
a.
perencanaan
dan
pengendalian
pembangunan;
b.
perencanaan,
pemanfaatan,
dan
pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan;

g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi,
usaha kecil dan menengah;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan;
Ketiga peraturan perundang-undangan
tersebut di atas merupakan landasan
yuridis untuk membahas kewenangan
Pemerintah Daerah di bidang administrasi
pertanahan.
1. TAP
MPR
RI
Nomor
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
3.Faktor-faktor
yang
Mendorong
Terjadinya
Tindak
Pidana
Penyerobotan Tanah
Berdasarkan hasil penelitian, si pembeli
tanah tidak bertindak langsung begitu saja
mendirikan bangunan (villa), melainkan
dengan jasa petunjuk pihak lain yang
kepadanya diberikan sedikit imbalan.
Dengan demikian selalu ada pelaku utama
yang tidak turut mendirikan bangunan dan
pendiri bangunan adalah pembantu pelaku
tindak pidana atau turut serta malakukan
tindak pidana. Dengan ”penyerobotan
tanah” yang demikian inilah kedudukan
hukum kepemilikan tanah yang dipunyai
seseorang menjadi ‘terganggu”.
Seseorang yang bukan karena alasan
kebutuhan rumah tinggal yang mendesak
mengetahui sebidang tanah belum
dimanfaatkan pemiliknya yang tidak
dikenal, dapat beritindak spekulatif untuk
memperoleh keuntungan dari pemilik
tanah dengan cara memanfaatkannya tanah
tersebut tanpa seizin pemiliknya atau
kuasanya, yang kemudian setelah pemilik
tanah datang menegur dan memberikan
peringatan tidak begitu saja meninggalkan
tanah dimaksud. Pemanfaatan yang
sedemikian tidak mudah dikosongkan
sendiri oleh pemilik tanah tanpa bantuan
aparat instansi yang berwenang, memberi
peluang alternatif penyelesaian secara
musyawarah antara pemilik tanah dengan
“penyerobotan”. Tujuan “musyawarah”
inilah yang disebut sebagai tujuan
spekulatif.
Tanah-tanah yang kosong tidak
dimanfaatkan untuk jangka waktu relatif
lama, pada umumnya adalah milik badan

hukum tertentu yang karena sesuatu hal
mengalami kesulitan dalam pemanfaatan
tanahnya. Tidak jarang pula tanah
demikian adalah asset badan hukum publik
yaitu instansi pemerintahan tertentu yang
tidak langsung memanfaatkan tanahnya
karena alasan-alasan klasik dana yang
terbatas atau tanah milik perorangan yang
karena kepindahan kerja ke daerah lain
dalam waktu relatif lama, menjadi terkesan
“terbengkalai”. Seseorang atau suatu badan
hukum sebagaimana pemilik tanah yang
tanahnya “diserobot” pihak lain, apabila
hendak mengosongkan tanahnya namun
tidak dengan sendirinya “sipenyerobot”
mengosongkannya, maka pemilik tanah
tersebut harus memanfaatkan kewenangan
instansi resmi yang berkaitan. Penyidikan
atas tindak pidana yang diduga terjadi
dapat dihentikan aparat penyidik apabila
pemilik bangunan dianggap bukan sebagai
pelaku tindak pidana melainkan sebagai
pihak yang beritikad baik. Msalahnya
menjadi masalah perdata, sebagai alasan
penghentian penyidikan. Pelaku dalam
“penyerobotan” ini biasanya mempunyai
bukti seadanya tentang lalulintas hukum
penguasaan tanah untuk dijadikan sebagai
pegangan oleh yang menguasai fisik
tanahnya. Misalnya, seseorang dengan
selembar bukti peralihan hak garap
(dibawah tangan) atas sebidang tanah
kemudian secara di bawah tangan pula
mengalihkan kepada beberapa orang
dengan membuat surat peralihan hak yang
si penerima peralihan hak kemudian
mendirikan bangunan.
Pemilik tanah memperhitungkan waktu
yang diperlukan untuk
melakukan
pengosongan melalui perkara perdata di
Pengadilan, relatif dan dengan biaya yang
relatif tinggi, kemudian melakukan
“perdamaian” dengan bermusyawarah
langsung dengan pihak “penyerobot”.
Untuk memperoleh nilai lebih dari hasil
musyawarah inilah yang diharapkan dari
tindakan spekulatif melalui cara-cara
tersebut di atas. Namun hal semacam ini
juga mengandung resiko bahwa spekulan
harus bersedia rugi apabila lawan yang
dihadapi tidak dapat memberi hasil yang
menguntungkan.

E. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan
dalam penelitian ini, dapat ditarik
kesimpulan yang merupakan jawaban atas
rumusan permasalahan, dengan penjabaran
sebagai berikut:
1. Sanksi hukum terhadap tindak pidana
penyerobotan tanah dapat didasarkan
pada ketentuan Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 51 PRP Tahun 1960 tentang
Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin
Yang Berhak Atau Kuasanya (“UU No
51 PRP 1960”) menyatakan bahwa
pemakaian tanah tanpa izin dari yang
berhak maupun kuasanya yang sah
adalah perbuatan yang dilarang, dan
dapat diancam dengan hukuman pidana
kurungan selama-lamanya 3 (tiga)
bulan, atau denda sebanyak-banyaknya
Rp 5.000 (lima ribu Rupiah)
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU
No 51 PRP 1960. Ketentuan Pasal 6
UU No 51 PRP 1960 adalah (i) barang
siapa yang memakai tanah tanpa izin
yang berhak atau kuasanya yang sah,
(ii) barang siapa yang menggangu pihak
yang berhak atau kuasanya yang sah di
dalam menggunakan suatu bidang
tanah, (iii) barang siapa menyuruh,
mengajak,
membujuk
atau
menganjurkan dengan lisan maupun
tulisan untuk memakai tanah tanpa izin
dari yang berhak atau kuasanya yang
sah, atau mengganggu yang berhak atau
kuasanya dalam menggunakan suatu
bidang tanah, dan (iv) barang siapa
memberi bantuan dengan cara apapun
untuk memakai tanah tanpa izin dari
yang berhak atau kuasanya yang sah,
atau mengganggu pihak yang berhak
atau kuasanya dalam menggunakan
suatu bidang tanah. Selain itu dapat
pula diterapkan ketentuan Pasal 385
KUHP, di mana Pasal tersebut
merupakan satu-satunya pasal yang
mengatur tentang kejahatan yang
berkaitan langsung dengan kepemilikan
tanah, dan pasal tersebut menyatakan :
Diancam dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun terhadap barang
siapa dengan maksud menguntungkan
diri sendiri atau orang lain secara

melawan hukum, menjual, menukarkan
atau membebani dengan creditverband
sesuatu hak atas tanah indonesia
sesuatu gedung bangunan, penanaman
atau pembenihan di atas tanah dengan
hak indonesia, padahal diketahui bahwa
yang mempunyai atau turut mempunyai
hak atasnya adalah orang lain : barang
siapa dengan maksud yang sama
menjual, menukarkan atau membebani
dengan creditverband. Hak tanah
indonesia
yang
telah
dibebani
creditverband, atau sesuatu gedung
bangunan, penanaman atau pembenihan
di atas tanah yang juga telah dbebani
demikian, tanpa memberitukan tentang
adanya beban itu kepada pihak yang
lain; barang siapa dengan maksud yang
sama
mengadakan
creditverband
mengenai sesuatu hak atas tanah
indonesia, dengan menyembunyikan
kepada pihak lain, bahwa tanah yang
berhubungan dengan hak tadi sudah
digadaikan : dan barang siapa dengan
maksud yang sama, menggadaikan atau
menyewakan tanah dengan hak
indonesia, padahal diketahui bahwa
orang lain yang mempunyai atau turut
mempunyai hak atas tanah itu.
2. Kewenangan
Pemerintah
Daerah
terhadap kasus penyerobotan tanah
diatur Pasal 3 dan Pasal 4 UndangUndang Nomor 51 PRP Tahun 1960
tentang Larangan Pemakaian Tanah
Tanpa Izin Yang Berhak Atau
Kuasanya (“UU No 51 PRP 1960”), di
mana secara garis besar dinyatakan :
Penguasa Daerah dapat mengambil
tindakan-tindakan untuk menyelesaikan
pemakaian
tanah
yang
bukan
perkebunan dan bukan hutan tanpa ijin
yang berhak atau kuasanya yang sah,
yang ada di daerahnya masing-masing
pada suatu waktu. Penyelesaian tersebut
diadakan
dengan
memperhatikan
rencana peruntukan dan penggunaan
tanah yang bersangkutan. Dalam rangka
menyelesaikan
pemakaian
tanah
sebagai yang dimaksud maka Penguasa
Daerah dapat memerintahkan kepada
yang
memakainya
untuk
mengosongkan
tanah
yang
bersangkutan dengan segala barang dan

orang yang menerima hak daripadanya.
Jika setelah berlakunya tenggang waktu
yang ditentukan di dalam perintah
pengosongan tersebut perintah itu
belum
dipenuhi
oleh
yang
bersangkutan, maka Penguasa Daerah
atau Pejabat yang diberi perintah
olehnya melaksanakan pengosongan itu
atas biaya pemakai tanah itu sendiri.
Namun karena Pemerintah Daerah
bukan lembaga peradilan, maka
tindakantindakan
untuk
menyelesaikan kasus penyerobotan
tanah terbatas hanya pada tindakantindakan administrasi. Dalam konteks
Otonomi
Daerah Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan
Daerah
Pasal
14
menegaskan bahwa : urusan wajib
yang
menjadi
kewenangan
pemerintahan
daerah
untuk
kabupaten/kota merupakan urusan yang
berskala
kabupaten/kota
meliputi:
perencanaan
dan
pengendalian
pembangunan;
perencanaan,
pemanfaatan, dan pengawasan tata
ruang; penyelenggaraan ketertiban
umum dan ketentraman masyarakat;
penyediaan sarana dan prasarana
umum; penanganan bidang kesehatan;
penyelenggaraan
pendidikan;
penanggulangan
masalah
sosial;
pelayanan bidang ketenagakerjaan;
fasilitasi pengembangan koperasi, usaha
kecil dan menengah; pengendalian
lingkungan hidup seta
pelayanan
pertanahan, di sini mestinya seluruh
aspek tindakan adminitrasi pertanahan
di daerah sepenuhnya diselenggarakan
oleh Pemerintah Daerah Namun
realitasnya tidak demikian, karena
urusan pertanahan masih ditangani oleh
unit kerja Pemerintah Pusat yaitu Badan
Pertanahan Nasional serta KantorKantor Pertanahan di seluruh daerah.
3. Faktor-faktor
yang
mendorong
terjadinya tindak pidana penyerobotan
tanah adalah kurangnya kesadaran akan
pentingnya perlindungan hukum atas
hak pemilikan atau penguasaan tanah di
kalangan masyarakat; nilai sosial
ekonomi tanah korelasinya dengan
perkembangan suatu kawasan; adanya

pihak yang mempunyai motif- motif
tertentu terhadap tanah yang dianggap
tidak mempunyai perlindungan hukum,
dan
lemahnya
kinerja
instansi
pertanahan yang menyebabkan muncul
kasus- kasus pemalsuan sertifikat tanah.
Selain hal itu kasus yang terjadi dalam
masalah tanah yaitu adanya pengusaan
fisik oleh orang atau pihak lain terhadap
objek tanah di mana pemilik objek
tanah tersebut sebenarnya merupakan
pihak yang sah menurut hukum sebagai
pemiliknya karena memiliki sertifikat
hak milik atas objek tanah tersebut
namun pemilik yang sah tersebut
menerlatarkan tanah tersebut sehingga
digarap orang dan ini berlangsung lama
sampai terjadi penggarap sudah
mewariskan tanah garapannya kepada
anak cucunya dan inilah yang terjadi
pada kasus penyerobotan tanah di
Bojong Kaso pada tahun 1998.
Penyelesaian terhadap tindak pidana
penyerobotan tanah dapat diselesaikan
dengan menempuh upaya penegakan
hukum oleh pihak yang merasa
dirugikan baik secara pidana, perdata
ataupun secara tata usaha negara
apabila pihak yang merasa dirugikan
telah mempunyai bukti kepemilikan
atas tanah sebagai alat bukti yang kuat,
apabila pemegang hak atas tanah belum
memiliki bukti kepemilikan agar segera
mengurus bukti kepemilikan atas tanah
yang dimiliki dan setelah memiliki
surat bukti kepemilikan agar tidak
menerlantarkan tanahnya dan selalu
melihat objek tanah secara berkala.
Saran
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas,
ada beberapa saran yang terkait dengan
hasil penelitian, sebagai berikut :
1. Kebijakan
nasional
di
bidang
pertanahan sebagaimana yang tertuang
dalam TAP MPR Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam perlu
dilaksanakan secara konsekuen dan
konsisten demi terwujudnya tertib
administrasi
pertanahan
secara
menyeluruh
serta
terwujudnya
kepastian dan perlindung hukum yang
efektif atas hak pemilikan penguasaan,

penggunaan atau pemanfaatan tanah di
indonesia.
2. Secara
Khusus
perlu
diadakan
pengajian ulang terhadap hierarki
peraturan perundang- undang yang
mengatur kewenangan Pemerintah
Daerah di bidang pertanahan, agar
pelaksanaan
sistem
pelayanan
administrasi pertanahan di daerah
menjadi lebih lancar, terarah dan
terpadu secara efketif dan efisien.
3. Bagi pihak-pihak yang terkonsentrasi
pada pengkajian masalah pertanahan
dan kaitannya dengan kewenangan
Pemerintah
Daerah
di
bidang
pertanahan, jangan lagi memggunakan
materi Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang
Pemerintahan
Daerah.
Karena
undang-undang
tersebut telah diubah menjadi undangundang nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Mustafa dan Ruben Achmad,
Intisari Hukum Pidana, (Jakarta:
Ghalian Indonesia, 1983), hal. 25.
Badudu J.S. dan Sutan Mohammad Zain,
Kamus Umum Bahasa Indonesia,
(Jakarta:Pustaka
Sinar
Harapan,
1994), hal.1301.
Bassar, M Sudrajat, Tindak-tindak Pidana
Tertentu, (Bandung : Remadja karya,
1984), hal.2.
Bosu, B. Sendi-Sendi Krimonologi,
(Surabaya : Usaha Nasional, 1982),
hal. 20-21.
Farid, A. Zainal Abidin, Hukum Pidana I,
(Jakarta : Sinar Grafiti,1995), hal.228.
Gara,
Guntur,
tesedia
di
borneonews.co.id/.../22437-tidaksemua-kasus-sengketa-kepemilikan,
di akses 24 Maret 2012.
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia
Himpunan
Peraturan-peraturan
Hukum Tanah, ( Jakarta : Jembatan,
1989), hal. 683.
-------------, Hukum Agraria Indonesia,
Sejarah
Pembentukan
UndangUndang Pokok Agraria.Isi dan
Pelaksanaanya (Jakarta : Djambatan,
2003) hlm. 19.

Indonesia,
Undang-Undang tentang
Pemerintahan Daerah, UU No. 32
Tahun 2004.
________, Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 7.
________,Nomor 5 PRP Tahun 1960
Tentang Larangan Pemakaian Tanah
Tanpa Izin Yang Berhak Atau
Kuasanya., Pasal 3 dan Pasal 4.
Kansil , C. S. T. dan Christine S. T. Kansil,
Latihan Ujian Hukum Pidana,
(Jakarta: Sinar Grafika, 1995),
halaman 107.
Lamintang, P.A.F. Dasar-dasar Hukum
Pidana Indonesia, (Citra Aditya
Bhakti : Bandung, 1997), hal. 185.
…………, Hukum Pidana Indonesia,
(Bandung : Sinar Baru : 1980), hal.
10-11.
Pasaribu,
Ivor
Ignasio”
Masalah
Penyerobotan Tanah Dalam Perspektif
Pidana,
tersedia
di
www.facebook.com/note.php?noteid=
101504089954303 24, diakses pada
25 Maret 2012.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Acara
Pidana di Indonesia, (Bandung :
Sumur, 1962), hal 13.
………….,
Tindak-Tindak
Pidana
Tertentu di Indonesia ,(Jakarta:
Eresco, 1980), hal. 1.
Ruchiyat, Edy, Politik Pertanahan Sebelum
dan Sesudah Berlakunya UUPA,
(Bandung : Alumni, 1984), hal. 49.
Sahetapy,.J.E. Paradoks Kriminologi (Jakarta:
Rajawali; 1982), hal. 108.
Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan
Pertanggungjawaban
Pidana;Dua
Pengertian Dasar
dalam Hukum
Pidana, (Jakarta : Aksara Baru, 1983),
hal 55.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji,
Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003), hal. 29.
…………..,
Faktor-faktor
Yang
Mmepengaruhi Penegakan Hukum,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993,
hal. 14.
Soemitro, Romy Hanitijo, Metodologi
Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985), hal. 93.

Soesilo, R. Kitab Undang-undang Hukum
Pidana,( Bogor : Politea, 1988), hal.
230.
…………, Pokok-pokok Hukum Pidana
Peraturan Umum dan Delik Khusus,
(Bogor : Politea, 1984), hal. 29.
Sudarto, Hukum Pidana Jilid IA-B,
(Alumni: Bandung, 1982), hal. 30.
TAP MPRI RI Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam,
Pasal 2. Ketetapan MPR Republik
Indonesia
Nomor
II/MPR/1993
tentang GBHN, (Jakarta : Pustaka
Amani, tahun 1993), halaman 8 6.
________, Nomor II/MPR/1993 tentang
GBHN, (Jakarta : Pustaka Amani,
tahun 1993), halaman 8 6.
Tom,
Camphell, Tujuh Teori Sosial
(Sketsa, Penelitian, Perbandingan).
Terjemahan “seven Theories of
Human Society”. Oleh : F. Budi
Hardiman, hal. 117.
Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana
Indonesia
dalam
Perspektif
Pembaharuan,
(Universitas
Muhammadiyah : Malang, 2008), hal.
105-112.

Wisnubroto, Al. Teknis Persidangan
Pidana
(Yogyakarta:
Penerbit
Universitas Atmajaya Yogyakarta,
2009), hal.1-2.

Dokumen yang terkait

Analisis Peran Ahli Psikiatri Forensik Dalam Membantu Penyidik Mengungkap Tindak Pidana Pembunuhan

6 101 24

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis Yuridis Pembuktian Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Putusan Nomor 795/Pid.B/2010/Pn.Jr)

0 8 13

Pengaruh model pembelajaran sains teknologi masyarakat terhadap peningkatan penguasaan konsep fisika pada konsep usaha energi; penelitian kuasi eksperimen di SMP Negeri 48 Jakarta Selatan

0 28 162

Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Di Bawah Umur Dalam Pandangan Hukum Pidana Islam : Kajian Atas Putusan PN Depok

0 21 86

Tinjauan hukum islam terhadap tindak pidana kekerasan kolektif yang menyebabkan luka berat

0 64 85

Perlindungan Hukum Oleh Polisi Republik Indonesia (POLRI) Terhadap Sanksi Dan Korban Pada Proses Penyidikan Dalam Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia JUNCTO Und

0 12 105

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Jalanan Atas Eksploitasi Dan Tindak Kekerasan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Jo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

1 15 79

Kriminalisasi Gratifikasi Seks Sebagai Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

2 29 90

Implementasi Asas Pembuktian Terbalik Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

3 29 45