KONSEP KADASTER KELAUTAN UNTUK NEGARA KE

KONSEP KADASTER KELAUTAN UNTUK NEGARA
KEPULAUAN INDONESIA
Oleh:
Yackob Astor

ABSTRAK
Selama 67 tahun bangsa ini merdeka, sektor kelautan ternyata belum dapat
menunjukkan sebagai sektor yang dapat diunggulkan oleh bangsa dan diandalkan oleh
rakyat Indonesia. Fakta ini tentunya sangat bertolak belakang jika dibandingkan dengan
potensi sumber daya laut yang ada di negara Indonesia sebagai negara kepulauan.
Berdasarkan studi pustaka, ternyata masalah utama yang terjadi di laut Indonesia adalah
tidak terkendalinya intervensi manusia dalam mengelola sumber daya laut yang
menyebabkan kacaunya pola pemanfaatan sumber daya laut, yakni pemanfaatan yang
tak terkendali bahkan bersifat destruktif.
Tulisan ini membahas mengenai konsep pengelolaan wilayah pesisir dan laut di
Indonesia, terutama pasca-dicabutnya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3)
berdasarkan keputusan MK No.3/PUU-VII/2010. Konsep Kadaster Kelautan yang
digunakan oleh beberapa negara non-kepulauan (Australia, Kanada dan Amerika),
selanjutnya dijadikan sebagai usulan solusi yang dapat diterapkan untuk pengelolaan
wilayah pesisir dan laut Indonesia.
Kata kunci: Kadaster, Rights, Restrictions dan Responsibilities.


ABSTRACT
During 67 years of the nation's independence, maritime sector has not proved as a sector
that can be seeded by the nation and relied by Indonesian people. This fact is contrary
when compared with marine resources in Indonesian archipelago. Based on the
literature, the main problems in Indonesia ocean are uncontrolled human intervention in
marine management that causes the disruption pattern used by marine resources which
is uncontrollable utilization even destructive.
This paper discusses the concept of coastal and marine management in Indonesia,
especially post-revocation Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) by decision of the
Contitutional Court/Mahkamah Konstitusi No.3/PUU-VII/2010. Marine cadastre
concept in non-island countries (Australia, Canada and USA) proposed as solution can
be applied to manage coastal and marine areas in Indonesia.
Keywords: Cadastre, Rights, Restrictions and Responsibilities

I. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia
secara realitas potensi fisik dan geografis
memiliki sumber daya alam yang jauh lebih
baik daripada negara-negara lain. Sebagai

negara yang beriklim tropis, Indonesia
merupakan negara yang sangat subur,
dipenuhi oleh berbagai spesies unik dan
varietas tumbuhan yang beraneka ragam.
Letak Indonesia yang berada di jalur cincin
api pasifik menyebabkan Indonesia kaya akan
mineral logam, seperti emas, perak, tembaga
dan nikel, batubara, minyak serta energi panas
bumi yang sangat besar.
Sebagai
negara
kepulauan
(the
archipelagic state), Indonesia memiliki
wilayah laut yang lebih luas dari wilayah
darat (1.910.931,32 km2, Kemendagri, 2010)
yakni lebih kurang 6.120.673 km2 (United
Nations Environment Programme, 2003),
sekitar 13.446 pulau (Badan Informasi
Geospasial, 2012) dengan garis pantai

sepanjang 95.181 km (Dewan Kelautan
Indonesia, 2008) menjadikan Indonesia
memiliki sumber daya alam laut yang lebih
banyak dibandingkan dengan sumber daya
alam di darat. Kondisi potensi sumber daya
laut ini dipandang sebagai peluang Indonesia
sebagai
negara
berkembang
untuk
membangun keunggulan dibidang pesisir dan
kelautan.
Wilayah laut Indonesia berbatasan
langsung dengan 10 negara, yaitu India,
Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam,
Filipina, Papua Niugini, Australia, Timor
Timur, dan Palau. Sementara wilayah darat
yang berbatasan langsung dengan negara
tetangga hanya tiga, yakni Malaysia di
Kalimantan, Papua Niugini di Papua dan

Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) di
Nusa Tenggara Timur. Penetapan dan
penegakan batas wilayah merupakan hal yang
sangat krusial karena menyangkut kedaulatan
wilayah Indonesia, aspek perekonomian, dan
aspek hankam.
Pengaturan mengenai penetapan batas
wilayah laut suatu negara dan berbagai
kegiatan di laut telah termuat dalam suatu
perjanjian internasional yang komprehensif
yang dikenal dengan UNCLOS 1982 (United

Nations Convention on the Law of the Sea
1982 atau Hukum Laut PBB 1982). Dalam
UNCLOS 1982 dikenal delapan zona
pengaturan yang berlaku di laut, yaitu (1)
perairan pedalaman (internal waters), (2)
perairan kepulauan (archipelagic waters), (3)
laut teritorial (teritorial waters), (4) zona
tambahan (contiguous zone), (5) Zona

Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic
Zone), (6) landas kontinen (continental shelf),
(7) laut lepas (high seas), dan (8) kawasan
dasar laut internasional (international seabed
area).
Adapun batas-batas wilayah laut
Indonesia dengan negara-negara tetangga
meliputi: batas laut teritorial, batas perairan
ZEE, dan batas landas kontinen. Yang
dimaksud laut teritorial adalah wilayah
kedaulatan suatu negara pantai yang meliputi
ruang udara dan laut serta tanah di bawahnya
sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis
pangkal. ZEE adalah suatu wilayah perairan
laut di luar dan berdampingan dengan laut
teritorial yang lebarnya tidak lebih dari 200
mil laut dari garis pangkal; yang mana suatu
negara pantai (coastal state) memiliki hak
atas kedaulatan untuk eksplorasi, konservasi,
dan pemanfaatan sumber daya alam. Landas

kontinen suatu negara meliputi dasar laut dan
tanah di bawahnya yang menyambung dari
laut teritorial negara pantai melalui kelanjutan
alamiah dari wilayah daratannya sampai
ujung terluar tepian kontinen.
Beberapa permasalahan yang timbul
sebagai negara kepulauan Indonesia tentunya
tidak terlepas dari konflik atau masalah yang
timbul baik dari dalam negeri sendiri maupun
dari luar misalnya dengan negara-negara
tetangga yang terkait dengan batasan wilayah.
Hingga saat ini penetapan batas wilayah laut
Indonesia dengan negara-negara tetangga
masih banyak yang belum tuntas. Dari 10
negara yang wilayah lautnya berbatasan
dengan Indonesia, baru antara Indonesia dan
Australia yang batas-batas wilayah lautnya
telah diselesaikan secara lengkap. Sementara
dengan negara-negara tetangga lainnya baru
dilaksanakan penetapan batas-batas landas

kontinen dan sebagian batas-batas laut
teritorial serta ZEE. Kondisi semacam inilah

ruang laut untuk latihan perang TNI Angkatan
Laut sehingga terganggunya pendapatan
nelayan dalam memperoleh ikan. Dengan
belum adanya kepastian batas-batas kegiatan
di wilayah perairan laut, maka kegiatan
perekonomian kelautan, seperti perikanan
tangkap, perikanan budidaya, industri
bioteknologi, pariwisata bahari, transportasi
laut, eksplorasi dan eksploitasi, konservasi
serta kegiatan lainnya akan terhambat.
Selain itu konflik di laut juga dapat
dipicu karena masalah batas kewenangan laut
daerah yang kurang jelas atau belum
ditetapkan. Dengan dikeluarkannya UndangUndang Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999
(yang kemudian diamandemen dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004)
dimana pemerintah pusat memberikan

kewenangan atau otoritas kepada daerah tidak
hanya sebatas urusan pemerintahan semata
namun juga dalam hal pemanfaatan dan
pengelolaan kekayaan sumberdaya yang
dimilikinya, termasuk sumberdaya kelautan.
Hal ini menegaskan bahwa laut Indonesia
bukan hanya dikelola secara sektoral, tetapi
juga dikelola oleh beberapa pemerintah
daerah yang memiliki batas kewenangan
wilayah laut daerah masing-masing.
Undang-Undang No.27 Tahun 2007
mengatur secara spesifik mengenai proses
pengelolaan wilayah pesisir mulai dari tahap
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan,
hingga pengendalian yang dilaksanakan oleh
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. UU
No.27 Tahun 2007 mengatur secara lebih
jelas Pasal 18 Undang-Undang 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
menyebutkan bahwa setiap daerah diberikan

kewenangan dalam pengelolaan wilayah laut
beserta pesisir dan pulau-pulau kecil dalam
radius 12 mil dari garis pantai untuk wilayah
provinsi dan sepertiganya untuk wilayah
kabupaten/ kota. Penyerahan kewenangan
pengelolaan ini
berpotensi
terjadinya
perusakan dan pencemaran wilayah pesisir
dan
pulau-pulau
kecil
bila
penyelenggaraannya tidak diatur secara lebih
khusus melalui peraturan pemerintah. UU
No.27 Tahun 2007 semakin mempertegas

yang sering menimbulkan konflik wilayah
laut antara Indonesia dan negara-negara
tetangga. Konflik yang terjadi akan

menimbulkan
ketidakstabilan
dan
mengganggu pembangunan perekonomian
pada wilayah tersebut.
Dari dalam negeri sendiri, sumber
daya laut nasional dikelola secara parsial
(berdasarkan sektoral dan daerah), saling
berdiri sendiri (tidak terintegrasi) dan tidak
terarah (dikelola tanpa perencanaan bersama
yang jelas). Masing-masing sektor (perikanan
kelautan,
pertambangan,
perhubungan,
lingkungan, pariwisata, pertahanan keamanan,
energi sumber daya mineral, perdagangan,
perindustrian, dan lain-lain) memiliki sistem,
kebijakan, cara pandang dan juga tujuan
pengelolaan yang berbeda-beda, sehingga
berjalan sendiri sesuai dengan kebijakan dan

tujuannya.
Sesuai ketentuan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 juncto UUPA, UNCLOS juncto
UU No.17 Tahun 1985, laut dapat dipartisi
dalam persil-persil untuk pengusahaan dan
pemanfaatannya, contoh: untuk ruang usaha
ekonomis seperti budidaya ikan, rumput laut,
kerang, penambangan dasar laut; sebagai
ruang laut konservasi laut lindung dan taman
nasional; sebagai ruang laut wisata dan
rekreasi; serta sebagai ruang laut publik
seperti alur pelayaran, pelabuhan dan
sebagainya. (Rais, 2002).
Konflik yang terjadi di laut
dikarenakan belum adanya kepastian batasbatas kegiatan (spatial boundary system) di
wilayah perairan laut. Dalam beberapa hal
batas persil laut dapat ditandai dengan benda
fisik di permukaan maupun di dasar laut
dangkal, sebagian hanya ditetapkan dalam
sistem koordinat geografis (tidak dibangun
tanda-tanda fisik batas di laut), namun dalam
banyak hal batas persil laut belum ditetapkan
sehingga menimbulkan tumpang tindih antar
jenis kegiatan pengusahaan dan pemanfaatan
ruang laut, contoh: persil laut untuk budidaya
ikan tumpang tindih dengan alur pelayaran,
menyebabkan terganggunya hasil pendapatan
budidaya ikan, atau ruang laut untuk
penangkapan ikan tumpang tindih dengan
3

bahwa model pengelolaan wilayah pesisir dan
laut Indonesia berbasis pada sistem otonomi
daerah.
Sebagai
negara
kepulauan,
pengelolaan wilayah pesisir dan laut di
Indonesia yang berbasis pada sistem otonomi
daerah ini akan memiliki tingkat kesulitan
yang tinggi mengingat jumlah kabupaten/
kota yang ada di Indonesia sebanyak 497
kabupaten/ kota, 324 kabupaten/ kota
memiliki wilayah pesisir (Kemendagri, 2010).
Setiap
pesisir
Indonesia
memiliki
karakteristik yang berbeda satu dengan
lainnya sehingga berbeda pula cara untuk
mengelola wilayah pesisir tersebut. Jika
demikian,
kebijakan
dan
instrumen
kelembagaan yang dirumuskan pun juga tidak
sama. Hal ini tentunya akan berpengaruh juga
dalam penyediaan data dan informasi
mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan
laut di masing-masing daerah akan berbedabeda (beragam).
Terkait dengan data dan informasi
pengelolaan wilayah pesisir dan laut, Pasal 15
UU No. 27 Tahun 2007 menyebutkan bahwa:
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
mengelola data dan informasi mengenai
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. (2)
Pemutakhiran data dan informasi dilakukan
oleh pemerintah dan pemerintah daerah secara
periodik
dan
didokumentasikan
serta
dipublikasikan secara resmi, sebagai dokumen
publik, sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(3)
Data
dan
informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dimanfaatkan oleh setiap orang dan/ atau
pemangku kepentingan utama dengan tetap
memperhatikan kepentingan pemerintah dan
pemerintah daerah. (4) Setiap orang yang
memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulaupulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) wajib menyampaikan data dan informasi
kepada pemerintah dan/ atau pemerintah
daerah selambat-lambatnya 60 hari kerja sejak
dimulainya pemanfaatan. (5) Perubahan data
dan informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan seizin
pemerintah dan/ atau pemerintah daerah. (6)
Pedoman pengelolaan data dan informasi

tentang pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil diatur dalam peraturan
menteri.
Kondisi di atas merupakan salah satu
implikasi
Indonesia
sebagai
negara
kepulauan, jika dikaitkan dengan konsep
pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang
tepat di Indonesia, maka konsep pengelolaan
harus ditempatkan dalam perspektif tata
informasi geospasial sebagai kunci utama
untuk menyelesaikan perbedaan sistem terkait
data dan informasi pengelolaan wilayah
pesisir dan laut Indonesia secara sektoral
mapaun kedaerahan.
Tata Informasi Geospasial (IG) yang
diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun
2011 merupakan alat bantu dalam upaya
mewujudkan keterpaduan (Pasal 2 UU IG)
data dan informasi pengelolaan wilayah
pesisir dan laut Indonesia yang digunakan
untuk
mewujudkan:
1)
Keterpaduan
pengelolaan
(perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan) sumber daya laut antar sektor
dan antar daerah. 2) Keterpaduan pengaturan
kegiatan-kegiatan perekayasaan di laut antar
sektor dan antar daerah, sehingga dapat
meminimalkan terjadinya konflik di wilayah
laut Indonesia.
Membahas mengenai pengelolaan
sumber daya alam laut di Indonesia, maka
langkah awal yang digunakan di dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan
pendekatan pengelolaan sumber daya alam di
darat.
2. Persoalan Keagrariaan di Indonesia
Sejarah penyelenggaraan keagragiaan
di Indonesia dimulai sejak jaman penjajahan
Belanda. Pada tahun 1870 pemerintah
Belanda membuat Agrarische Wet (Undang
Undang Pokok Agraria) yang menyebabkan
tanah di Indonesia boleh dimiliki oleh 3 (tiga)
golongan, yakni: Eigendom (kepemilikan oleh
Pemerintah Belanda), Domein (kepemilikan
oleh warga negara Belanda atau asing), dan
Tanah Bumiputra (kepemilikan oleh Rakyat
Indonesia). Arti agraria di dalam Agrarische
Wet identik dengan tanah, terkait hubungan
4

dengan persawahan, perladangan dan
pertanian (Rais, 2003).
Setelah Indonesia merdeka, pada
tahun 1960 diterbitkanlah Undang–Undang
Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960). Arti
agraria di dalam UUPA sangat luas,
yakni:“meliputi bumi, air dan ruang angkasa
serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya.” Walaupun agraria memiliki arti
yang luas, UUPA sebagian besar mengatur
tentang tanah di permukaan saja. Dengan
adanya UUPA, maka negara diberi wewenang
untuk mengatur dan menyediakan peruntukan,
persediaan, penggunaan, pemeliharaan tanah,
serta wewenang untuk mengatur dan
menentukan hubungan hukum serta perbuatan
hukum antara orang-orang yang berhubungan
dengan tanah. Sebagaimana diamanatkan oleh
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran
rakyat.
Pengakuan
konstitusional terhadap negara akan hak
menguasai atas bumi (tanah) ini penting,
mengingat tanah telah diakui sebagai salah
satu sumber daya alam yang memiliki nilai
ekonomis, disamping memiliki nilai sosial
politik dan hankam yang tinggi.
Masalah pertanahan telah berkembang
menjadi masalah yang multi kompleks seiring
dengan laju perkembangan pembangunan.
Banyak ketentuan tertulis di luar UUPA yang
langsung atau tidak langsung sangat erat
kaitannya dengan pertanahan, antara lain:
Undang-Undang Pokok Kehutanan (UU No.
41 Tahun 1999), Undang-Undang Peternakan
(UU No.18 Tahun 2009), Undang-Undang
Pokok Pertambangan (UU No. 4 Tahun
2009), Undang-Undang Ketransmigrasian
(UU No. 29 Tahun 2009), Undang-Undang
tentang Pengairan (UU No.11 Tahun 1974),
Undang-Undang tentang Jalan (UU No. 38
Tahun 2004), Undang-Undang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.
32 Tahun 2009), Undang-Undang tentang
Perindustrian (UU No. 5 Tahun 1984),
Undang-Undang Rumah Susun (UU No. 20
Tahun 2011), Undang-Undang Perumahan

dan Kawasan Permukiman (UU No.1 Tahun
2011), Undang-Undang Sistem Budidaya
Tanaman (UU No. 12 Tahun 1992) serta
Undang-Undang Penataan Ruang (UU No. 26
Tahun 2007).
Berdasarkan latar belakang tersebut di
atas, maka permasalahan tanah merupakan
masalah lintas sektoral yang mempunyai
banyak segi dan dimensi. Ditambah lagi
kondisi pertanahan secara umum akan
semakin kritis karena luas tanah tidak
bertambah, sedangkan kebutuhan tanah
semakin
meningkat.
Di
Indonesia,
pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak
merata dan urbanisasi menjadi salah satu
faktor penyebab meningkatnya kebutuhan
tanah untuk permukiman, khususnya di
perkotaan, sehingga dapat menggeser lahanlahan subur terutama yang ada di Pulau Jawa.
Demikian pula perkembangan industri yang
penataannya
hanya
didasarkan
pada
pertimbangan faktor ekonomis atau kurang
memperhatikan
faktor
keseimbangan
lingkungan,
dapat
pula
menggeser
kepentingan-kepentingan lain yang memicu
timbulnya konflik agraria. (BPN, 2003).
Sepanjang tahun 2011, jumlah konflik
agraria mencapai 163 kasus. Konflik ini
mengakibatkan kurang lebih 69.975 kepala
keluarga yang menjadi korban langsung. Luas
tanah
yang
disengketakan
mencapai
472.048,22 hektar. Dalam konflik ini terdapat
22 orang tewas, 34 orang yang tertembak, 279
orang yang ditahan dan 147 orang yang
mengalami
penganiayaan.
(Sumber:
Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak
Rakyat Indonesia, 12 Januari 2012).
Kasus-kasus tersebut di atas adalah
konflik agraria yang terungkap di permukaan
(manifes) karena salah satunya dipicu dengan
adanya kekerasan, namun sesungguhnya
ribuan konflik konflik agraria yang bersifat
laten dan sangat potensil menjadi konflik
agraria yang bersifat manifes bila tidak segera
diselesaikan. Data BPN menyebutkan bahwa
jumlah konfik agraria yang ditangani oleh
BPN mencapai 2.810 kasus. Tentu saja data
tersebut belum termasuk konflik-konflik
agraria yang terjadi di kawasan hutan. Saat ini
5

kurang lebih 33.000 desa masuk kawasan
hutan yang sangat potensial menjadi konflik
yang terbuka. Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA) mencatat bahwa sejak tahun
1972-2001, jumlah konflik agraria mencapai
1.753 kasus dengan luas tanah yang
disengketakan mencapai 10.892.203 hektar
dan mengakibatkan tidak kurang 1.189.482
kepala keluarga yang menjadi korban.
(Sumber: Sekretariat Bersama Pemulihan
Hak-Hak Rakyat Indonesia, 12 Januari 2012).
Konflik agraria yang sedang berlangsung ini
bukan hanya berdimensi kekerasan, tetapi
lebih
jauh
konflik-konflik
tersebut
mengakibatkan: hilangnya akses masyarakat
terhadap sumber-sumber agraria; kerusakan
struktur sosial masyarakat; dan kerusakan
mutu ekologi yang berkait langsung dengan
turunan mutu manusia yang hidup dalam
ekosistem itu. Karenanya penyelesaian
konflik agraria bukan sekedar untuk
mengakhiri kekerasan supaya tidak berulang,
tetapi lebih jauh adalah untuk mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bahwa
akar
konflik
agraria
sesungguhnya dapat berawal dari proses
perolehan suatu bidang tanah untuk berbagai
keperluan. Oleh karena itu kegiatan
pencatatan data dan informasi pertanahan
merupakan hal yang sangat penting. Beberapa
permasalahan yang sering dihadapi dalam
penyediaan data dan informasi pertanahan:
Pertama, data dan informasi pertanahan
sangat luas jenis dan cakupannya. Misalnya,
untuk satu bidang tanah terdiri banyak atribut
yang meliputi luas tanah, letak tanah (secara
koordinat dan administrasi), status tanah
(tanah negara, tanah hak milik, tanah hak
guna bangunan, tanah hak guna usaha, tanah
hak pakai), pemilik dan identitasnya,
penggunaan tanah, kemampuan tanah, dan
lain-lain. Padahal untuk seluruh Indonesia
terdapat sekitar 85 juta Bidang Tanah.(BPN,
2006).
Kedua, data dan informasi pertanahan
belum tersedia secara lengkap, baik jenis
maupun cakupannya. Ketiga, bagi yang telah
tersedia belum dikelola secara sistematis dan
belum tertata dengan baik. Keempat, masalah

keakuratan data. Kelima, masalah pembaruan
data (up date). Keenam, dalam pengumpulan
data dihadapkan pada banyaknya jumlah dan
jenis data.
Adanya permasalahan tersebut di atas
menyebabkan dari sekitar 85 juta bidang
tanah yang memenuhi syarat untuk didaftar,
hingga kini baru sekitar 27 juta bidang tanah
yang sudah didaftar (BPN, 2006). Padahal
jumlah bidang tanah hak tersebut diperkirakan
akan
berkembang
karena
peralihan,
penggabungan dan pemisahan hak. Selama
tanah tersebut haknya belum terdaftar
(bersertifikat) potensi sengketa hak atas tanah
akan semakin membengkak karena jaminan
kepastian hukum/ hak atas tanahnya akan
semakin sulit dibuktikan. Padahal jaminan
kepastian hukum memiliki beberapa manfaat,
diantaranya
memajukan
perekonomian
nasional,
melestarikan
lingkungan,
meningkatkan penerimaan negara, melindungi
kepentingan masyarakat terutama golongan
ekonomi lemah, mencegah atau mengurangi
sengketa pertanahan, dan mendukung
perencanaan tata ruang untuk pembangunan.
Permasalahan dalam pelaksanaan
pencatatan data dan informasi pertanahan
menjadi sangat kompleks mengingat Tanah
Air Indonesia terdiri dari sekitar 13.446 pulau
(Badan Informasi Geospasial, 2012) dengan
luas daratan seluruhnya 1.910.931,32 km2
(Kemendagri, 2010). Dengan keadaan Tanah
Air Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau
kecil maupun besar akan mempengaruhi
percepatan proses pencatatan data dan
informasi pertanahan yang disebabkan oleh
tingginya biaya transportasi serta lamanya
waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan
pengukuran dan pembuatan sertifikat.
Persoalan pertanahan ditempatkan
dalam perspektif aspek rawan bencana, yakni
sebagai negara beriklim tropis, Indonesia
memiliki tingkat pelapukan yang tinggi
sehingga dapat menyebabkan bencana tanah
longsor. Posisi geografis Indonesia yang
terletak di jalur cincin api menjadikan
Indonesia sebagai negara yang rawan terjadi
bencana letusan gunung berapi dan gempa
bumi, ditambah lagi dengan bencana tsunami
6

dan abrasi. Dampak dari bencana-bencana
yang terjadi adalah hilangnya kepemilikan
seseorang atas tanah dan bangunan. Perlu
dilakukan kegiatan rekonstruksi batas-batas
bidang tanah dan pencatatan ulang data
pertanahan.
Di Indonesia, pencatatan data dan
informasi bidang tanah diselenggarakan
melalui kegiatan pendaftaran tanah. Pasal 19
(1) UUPA: untuk menjamin kepastian hukum
oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah
diseluruh wilayah Republik Indonesia
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur
dengan peraturan pemerintah. Pasal 19 (2)
pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini
meliputi:
a. Pengukuran perpetaan dan pembukuan
tanah.
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan
peralihan hak-hak tersebut.
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak,
yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat.
Pasal 19 (2) sebelum diundangkan UUPA
dikenal dengan istilah Kadaster. Dengan
demikian, Pendaftaran Tanah dapat pula
dirumuskan sebagai Kadaster Pertanahan.
Kegiatan pencatatan data dan informasi
pertanahan, dalam dunia internasional (diluar
Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun
1960) dikenal dengan istilah Kadaster.
Kadaster secara etimologis berasal dari
bahasa yunani yaitu katastikhon bermakna
daftar publik yang memperlihatkan rincian
kepemilikan dan nilai suatu tanah yang dibuat
untuk keperluan perpajakan.
International Federation of Surveyors
(FIG) pada Tahun 1995 menyatakan:
A Cadastre is normally a parcel based, and
up-to-date
land information system
containing a record of interests in land (e.g.
rights, restrictions and responsibilities). It
usually includes a geometric description of
land parcels linked to other records
describing the nature of the interests, the
ownership or control of those interests, and
often the value of the parcel and its
improvements.

Dari definisi kadaster di atas, kata kunci
kadaster adalah, perekaman Right (Hak),
Restriction (Pembatasan) dan Responsibility
(Tanggungjawab). Ketiga unsur utama
kadaster ini saling terkait, jika ditempatkan
dalam urgensi pertanahan maka dapat dibuat
pernyataan bahwa Right akan diberikan
berdasarkan penggunaan tanah sesuai dengan
batas yang dikur dan ditetapkan. Restriction
merupakan batas kewenangan hak atau batas
hubungan kepemilikan antara orang dan
tanah, dapat diartikan bahwa hak tidak
berlaku di luar batas yang dimiliki, sedangkan
Responsibility akan selalu mengikuti Right
dan Restriction.
Tiga unsur utama kadaster untuk
pertanahan dapat didekati dalam wujud
(bentuk fisik) berupa Sertifikat Tanah.
Sertifikat tanah sangat berbeda dengan
kepemilikan benda bergerak. Sertifikat tanah
merupakan arsip hidup, arsip yang tidak akan/
pernah dimusnahkan seperti arsip lainnya,
artinya selalu dipelihara dengan baik
walaupun terjadi perubahan pada subjeknya
(pemilik tanah), perubahan jenis haknya,
maupun perubahan pengenaan kewajiban
penatagunaan tanahnya. Tanah adalah benda
tidak bergerak, jumlahnya terbatas, tidak bisa
mensubstitusi/ menggantikan bidang tanah
yang lain karena baik letak, sifat maupun
daya dukungnya bersifat unik. Oleh karena
itu, sertifikat tanah tidak cukup hanya
dipandang sebagai
produk
pelayanan
masyarakat. Sertifikat tanah sesungguhnya
lebih berfungsi sebagai alat kendali bagi
manajemen
Penguasaan,
Pemilikan,
Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T)
hingga terkondisikan rasa keadilan dalam
pemilikan dan penguasaan tanah dengan
penggunaan
dan
pemanfaatan
tanah
sedemikian rupa agar terwujud kemakmuran
rakyat dan menjaga kelestarian kualitas
lingkungan hidup.
Hakekat tentang agraria bukan hanya
membahas masalah tanah, melainkan masalah
wilayah negara, mencakup bumi, air dan
ruang angkasa. Hal ini bisa diterjemahkan
dari UUPA yang menyebutkan bahwa hukum
agraria nasional harus memberi kemungkinan
7

akan tercapainya, fungsi bumi, air dan ruang
angkasa, dan harus sesuai dengan kepentingan
rakyat. Pasal 1 menyebutkan: (1) Seluruh
wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air
dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu
sebagai bangsa Indonesia. (2) Seluruh bumi,
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dalam
wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan
ruang angkasa bangsa Indonesia dan
merupakan kekayaan nasional. (3) Hubungan
antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta
ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal
ini adalah hubungan yang bersifat abadi. (4)
Dalam pengertian bumi, selain permukaan
bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya
serta yang berada dibawah air. (5) Dalam
pengertian air termasuk baik perairan
pedalaman maupun laut wilayah Indonesia.
(6) Yang dimaksud dengan ruang angkasa
ialah ruang diatas bumi dan air tersebut pada
ayat (4) dan (5) pasal ini.
Persoalan keagrarian di darat tidaklah
sama dengan persoalan di laut. Karakteristik
tanah yang relatif
tidak bergerak,
menyebabkan: (1) sangat memudahkan dalam
hal menentukan batas-batas bidang tanah, (2)
tanah bisa dimiliki atau ditentukan Right,
Restriction dan Responsibility. Meskipun
demikian kondisi yang terjadi adalah bahwa
sekitar 85 juta bidang tanah yang memenuhi
syarat untuk didaftar, hingga kini baru sekitar
27 juta bidang tanah yang sudah
didaftar.(BPN, 2006).
Kondisi di atas adalah persoalan
keagrariaan yang terjadi di daratan Negara
Indonesia dengan luas wilayah 1.910.931,32
km2 (Kemendagri, 2010). Pertanyaannya
adalah
bagaimana
dengan
persoalan
keagrariaan yang terjadi di laut Indonesia?
mengingat Indonesia adalah negara kepulauan
yang memiliki wilayah laut lebih luas dari
wilayah darat, yakni lebih kurang 6.120.673
km2
(United
Nations
Environment
Programme, 2003), sekitar 13.446 pulau
(Badan Informasi Geospasial, 2012) dengan
garis pantai sepanjang 95.181 km (Dewan

Kelautan Indonesia, 2008). Bagaimana
pengelolaan sumber daya laut di Indonesia?
Melihat kembali persoalan keagrariaan
di darat (tanah), persoalan pengelolaan laut
pun sebenarnya terletak pada pencatatan
(recording) kegiatan-kegiatan yang ada di laut
dengan melakukan pengukuran batas-batas
persil laut tersebut. Batas-batas persil laut dan
identitasnya digambarkan dalam peta skala
besar disertai dengan catatan menyangkut
jenis hak, ukuran, penggunaan, nilai,
pertanggungan, dan data lain termasuk
pembatasan penggunaan.
Belajar dari pemecahan persoalan di
darat, sejauh mana solusi pemecahan
persoalan di darat dapat diletakan di laut
untuk mengatasi persoalan yang terjadi di
wilayah laut. Di darat mengenal Kadaster
Pertanahan sebagai metode pencatatan bidang
tanah. Selanjutnya
adalah bagaimana
mentransformasikan kadaster yang ada di
darat (kadaster pertanahan) ke wilayah laut.
Penempatan prinsip kadaster pertanahan di
wilayah laut, dikenal dan seringkali disebut
dengan istilah Kadaster Kelautan (Marine
Cadastre).
Kadaster
kelautan
dalam
pengertian sederhana dapat dikatakan sebagai
penerapan prinsip-prinsip kadaster di wilayah
laut. Secara umum, kadaster kelautan
bertujuan untuk mengadministrasi ruang laut
dan sumberdaya laut, termasuk semua
kepentingan,
hak-hak,
batasan
dan
tanggungjawab yang ada di wilayah laut.
Konsep Kadaster Kelautan sudah banyak
digunakan oleh beberapa negara benua (nonkepulauan) seperti Kanada, Australia dan
Amerika.
3. Definisi-definisi Kadaster Kelautan di
Negara Lain
Di Australia pada tahun 1999
merumuskan definisi Marine Cadastre
sebagai berikut: Marine cadastre is a system
to enable the boundaries of maritime rights
and interests to be recorded, spatially
managed and physically defined in
relationship to the boundaries of other
neighbouring or underlying rights and
interests.(Hoogsteden,
Robertson,
dan
8

Di Kanada pada tahun 2000
menyelenggarakan
kegiatan
Good
Governance of Canada’s Oceans untuk
menyelesaikan masalah batas sebagai langkah
awal mewujudkan pengelolaan laut yang
efektif
dan
adil.
Marine
Cadastre
didefinisikan: A marine cadastre is a marine
information system, encompassing both the
nature and spatial extent of the interests and
property rights, with respect to ownership and
various rights and responsibilities in the
marine jurisdiction. (Nichols, Monahan dan
Sutherland).

Benwell). Kemudian pada tahun 2004
Andrew Binns merumuskan definisi Marine
Cadastre: Marine Cadastre is a spatial
boundary management tool which describes,
visualises and realises legally defined
boundaries and associated rights, restrictions
and
responsibilities
in
the
marine
environment. Kadaster kelautan di Australia
digunakan untuk mewujudkan Australia’s
Marine Management System, yang mengatur
kegiatan: Oil and Gas Sector, Fisheries,
Aquaculture, Shipping, Conservation, Marine
Heritage, Cables and Pipelines, Coastal
Zone. Konsep kadaster kelautan di Australia
sudah diterapkan di beberapa negara bagian,
seperti di Queensland dan Victoria.

Gambar 2. Landasan Konsep Kadaster
Kelautan di Kanada (Sumber: Nichols dan
Monahan, 1999)
Tahun
2002
United
States
Departement of Communication (U.S DOC )National
Oceanic
and
Atmospheric
Administration (NOAA) merumuskan definisi
Marine Cadastre sebagai berikut:“The U.S.
Marine Cadastre is an information system,
encompassing both nature and spatial extent
of interests in property, value and use of
marine areas. Marine or maritime boundaries
share a common element with their landbased counterparts in that, in order to map a
boundary, one must adequately interpret the
relevant law and its spatial context. Marine
boundaries are delimited, not demarcated,
and generally there is no physical evidence of
the boundary”.

Gambar 1. Konsep Marine cadastre di
Australia (Sumber: Binns, 2004)

9

Gambar 3. U.S Marine Cadastre (NOAA,
2010)
4.

Konsep Kadaster Kelautan
Negara Kepulauan Indonesia

Gambar 4. Blok-blok penambangan minyak
dasar laut (blok Ambalat) di wilayah
perbatasan antara Kalimantan Timur dan
Sarawak, Malaysia. (Sumber: Rais, 2002; dan
KOMPAS, 1 November 2004)

untuk

Bagaimana dengan Indonesia? sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia,
bagaimana konsep kadaster kelautan di
Indonesia? Di Indonesia, konsep kadaster
kelautan belum lama dikenal karena memang
masih merupakan konsep baru. Ditambah lagi
bahwa selama ini pembangunan di Indonesia
sebagian besar diprioritaskan di wilayah
darat, padahal wilayah laut lebih luas dari
wilayah darat. Meskipun demikian sudah
banyak penelitian yang mendalami bidang
pengelolaan dan penataan ruang pesisir dan
laut dari berbagai aspek maupun pendekatan,
namun masih sulit sekali didapatkan
penelitian yang mengkaitkan bidang ini
dengan konsep kadaster, yaitu: hak, batasan,
dan tanggungjawab dalam pengusahaan dan
pemanfaatan ruang laut.
Kondisi inilah yang menyebabkan tata
kelola laut di Indonesia seolah-olah berjalan
sendiri tanpa ketentuan yang jelas. Laut di
Indonesia dipartisi menjadi persil-persil laut
yang digunakan untuk kegiatan perekayasaan
seperti kegiatan pertambangan (Gambar 4.
dan 5).

Gambar 5. Persil-persil laut: ijin-ijin
penambangan pasir laut di Riau (Sumber:
Dinas Pertambangan Daerah Kabupaten
Kepulauan Riau, 2005)
Secara garis besar, kadaster kelautan
berkaitan dengan bagaimana suatu negara,
khususnya
Indonesia
sebagai
negara
kepulauan dalam mengelola dan mengatur
administrasi sumber daya laut. Kondisi inilah
yang menyebabkan konsep-konsep kadaster
kelautan dari negara-negara benua (nonkepulauan) seperti Amerika, Kanada, dan
Australia tidak bisa diterapkan seutuhnya di
10

Djunarsjah, E. (2011): Prosedur Teknis
Pengukuran dan Perpetaan Ruang
Perairan (Pilot Project dalam Rangka
Pelayanan Pengukuran dan Perpetaan
Ruang Perairan, Kerjasama BPN RI dan
LPPM ITB.
Falah. (2010): Kajian Aspek Teknik Kadaster
Kelautan Tiga Dimensi (Studi Kasus:
Pesisir Kota Tanjungpinang Provinsi
Kepulauan Riau), Tugas Akhir, Program
Studi Geodesi dan Geomatika, ITB.
Faridha, D. (2010): Identifikasi Objek-Objek
Kadaster Perairan Laut Kurang dari Dua
Belas Mil Laut dari Garis Pangkal
Kepulauan, Tugas Akhir, Program Studi
Geodesi dan Geomatika, ITB.
Fauzi, A. (2005): Kebijakan Perikanan dan
Kelautan, Isu, Sintesis, dan Gagasan.
Fraser, R., Todd, P., dan Collier, P. (2003): Issues
In The Development Of a Marine
Cadastre, Department of Geomatics, The
University of Melbourne, Australia.
Haryono., dan Narni, S. (2006.): Kajian
Kemungkinan Penerapan Kadaster Laut
untuk Pertanian Laut di Indonesia (Studi
Kasus: Pulau Seribu), Jurnal,UGM.
Harbimaharani, H. (2010): Kajian Terhadap
Kebijakan Kadaster Perairan Laut, Tugas
Akhir, Program Studi Geodesi dan
Geomatika, ITB.
Hasymi, F. (2008): Penetapan Batas Laut Daerah
sebagai Pendukung Penerapan Kadaster
Kelautan di Indonesia, Tugas Akhir,
Program Studi Geodesi dan Geomatika,
ITB.
Hendriatiningsih, S., dan Kurniawan, I. (2007):
Kajian Aspek Teknis Kadaster Kelautan,
Pertemuan Ilmiah Tahunan IV Teknik
Geomatika ITS, Surabaya.
Hernandi, A,, Abdulharis, R., Hendriatiningsih,
S., dan Ling, M. (2012): An Institutional
Analysis of Customary Marine Tenure in
Maluku: Towards Implementation Marine
Cadastre in Indonesia, Proceedings FIG
Working Week, Roma, Italia.
Imron. (2010): Identifikasi Objek-Objek Kadaster
Perairan Laut di Luar 12 Mil Laut, Tugas
Akhir, Program Studi Geodesi dan
Geomatika, ITB.
Mårtensson. (2004): The French Ecologic
Protection Zone - Developing Marine
Environmental Protection in International
Law.

wilayah perairan laut Indonesia. Konsep
kadaster kelautan untuk negara Indonesia
harus mengadopsi pada kebutuhan negara
kepulauan, dalam konteks terkait dengan
Hukum Laut Internasional UNCLOS’82,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Otonomi Daerah, perundangan lain
yang mengatur hak pengelolaan yang terdapat
di laut, yakni Undang-Undang No.27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil, serta hukum laut adat
merupakan bagian dari sistem kebudayaan di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulharis, R., Djunarsjah, E., dan Hernandi, A.
(2008):
Stakeholder
Analysis
on
Implementation of Marine Cadastre in
Indonesia, Proceedings FIG Working
Week, Stockholm, Swedia.
Barry, M., Elema, I., dan Molen, P. (2003): Ocean
Governance in the Netherlands North Sea
the Netherlands, Proceedings FIG
Working Week, Paris, Perancis.
Binns, A. (2004): Defining a Marine Cadastre:
Legal and Institutional Aspects. Thesis.
Departemen
of
Geomatics,
The
University of Melbourne, Australia.
Binns, A., Rajabifard, A., Collier, P.A dan
Williamson, I. Developing the Concept of
a Marine Cadastre: An Australia Case
Study, Departemen of Geomatics, The
University of Melbourne, Australia.
Chomariyah. (2004): Pengelolaan Wilayah Laut
Secara Terpadu dalam Perspektif Hukum,
Jurnal, Universitas Hang Tuah.
Dartoyo, A. (2004): Model Pengelolaan Wilayah
Pesisir Kabupaten Berbasis Digital (Studi
Kasus: Kabupaten Cilacap Jawa Tengah),
Bakosurtanal.
Deriyanto, B. (2010): Visualisasi Objek Kadaster
3D Dengan Menggunakan Model Hibrid
Untuk Mendukung Kadaster Kelautan,
Tugas Akhir, Program Studi Geodesi dan
Geomatika, ITB.
Djunarsjah, E. (2008): The Study on the Technical
and Legal Aspect of Marine Cadastre in
Indonesia Toward Natural Resources
Preservation
and
Sustainable
Development, LPPM – ITB, Bandung.

11

Ng'ang'a., Nichols., Sutherland., dan Cockburn.
(2001): Towards A Multidimensional
Marine Cadastre in Support of Good
Ocean Governance, Canada.
Ng'ang'a., dan Nichols. (2002): The Role of
Bathymetry Data in a Marine Cadastre:
Lessons from The Proposed Musquash
Marine Protected Area, University of
New Brunswick Canada.
Puspa, A. (2007): Kajian Peletakan Kabel dan
Pipa Bawah Laut dalam Kaitannya
dengan Penerapan Kadaster Kelautan di
Indonesia, Tugas Akhir, Program Studi
Geodesi dan Geomatika, ITB.
Rais, J. (2009): Pengantar Kadaster Laut di
Indonesia, Jurnal ISI-UNDIP, Semarang.
Rao, S. (1990): Optimization: Theory and
Applications, Wiley Eastern Limited.
Sesli, F., dan Uslu, G. (2010): The importance of
marine cadastre for Turkey, African
Journal of Agricultural Research Vol.
5(14), pp. 1749-1758.
Sook, H., Lee., dan Shin, D. (2010): Issues with
Building a Marine Cadastre System in
South Korea, Proceedings FIG Working
Week, Sydney, Australia.
Steudler, D. (2004): A Framework for the
Evaluation of Land Administration
Systems, Thesis,
Department of Geomatics, The University
of Melbourne, Victoria 3010, Australia.
Steudler, D., Rajbifard, A., dan Williamson, I.P.
(2004):
Evaluation
of
Land
Administration Systems, Journal for Land
Use Policy, Department of Geomatics,
The University of Melbourne, Victoria
3010, Australia.
Srebo, H., Fabrikant, I., dan Marom, O. (2010):
Towards a Marine Cadastre in Israel,
Proceedings FIG Working Week,
Sydney, Australia.
SULASDI, W.N. (2010): Tingkat Realisasi
Pemetaan
Komponen-Komponen
Integralistik dalam Perekayasaan Wilayah
Pesisir dan Lautan di Indonesia, Pidato
Ilmiah Guru Besar Institut Teknologi
Bandung.
SULASDI,
W.N.
(2007):
Optimisasi
Perekayasaan Hidrografi, Wilayah Pesisir
dan Laut, Kelompok Keahlian Sains dan
Rekayasa Hidrografi, ITB.
Sulistiyo, B. (2004): Sebuah Pemikiran Kadaster
Laut sebagai Langkah Menuju Penataan

Wilayah Laut, Jurnal, Badan Riset
Kelautan dan Perikanan.
Sumaryo. (2007): Arti Penting Penetapan dan
Pengasan Batas Daerah di laut Dalam
Rangka Pemberian Hak Pengusahaan
Perairan Pesisir (HP-3), Jurnal, Teknik
Geomatika ITS, Surabaya.
Tamtomo, J.P. (2004): The Needs for Building
Concept and Authorizing Implementation
of Marine Cadastre in Indonesia, Jurnal,
Indonesia.
Tamtomo, J.P. (2006): Analisis Kebijakan
Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut
dalam Kerangka “Marine Cadastre” (Sudi
Kasus di Wilayah Pulau Bintan,
Kabupaten Kepulauan Riau), Disertasi
Program Doktor, IPB.
UN-FIG. (1999): The Bathurst Declaration on
Land Administration for Sustainabl
Development. Report from the UN-FIG
Workshop on "Land Tenure and Cadastral
Infrastructures
for
Sustainable
Development", Bathurst, NSW,Australia.
Vaez., S. (2009): Marine Cadastres and Marine
Administration, Short Course on Modern
Cadastres and Land Administration,
University of Melbourne, Australia.
Wisayantono, D. (2009): Optimisasi Spasial Ratio
Lahan dalam Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir secara Berkelanjutan,
Disertasi Program Doktor, ITB.
Waljiyanto. (1998): Kadaster sebagai Basis
Sistem Informasi Pertanahan,Seminar
Nasional Dies XXVIII KMTG FT-UGM,
28 September 1998, Yogyakarta.
Widodo, S. (2004): Relationship of Marine
Cadastre and Marine Spatial Planning in
Indonesia, Jurnal, Indonesia.
Williamson, I., dan Wallace, J. (2007): New
Roles of Land Administration Systems,
Mongolia.
Williamson, I., Enemark, S., Wallace, J., dan
Rajabifard,
A.
(2010):
Land
Administration
for
Sustainable
Development, Esri.
Yuwono. (2006): Pemanfaatan Survai dan
Pemetaan Laut untuk Menyongsong
Kadaster Laut (Marine Cadastre), Jurnal,
Teknik Geomatika FTSP-ITS.
Zaenudin, D. (2008): Kajian Aspek Legal dalam
Penerapan Kadaster Kelautan di Provinsi
Maluku, Tugas Akhir, Program Studi
Geodesi dan Geomatika, ITB.

12