makalah tentang perlawanan banten by sul

MAKALAH TENTANG PERLAWANAN BANTEN
TERHADAP BELANDA (VOC)

Disususun oleh :
Kelompok 4
Anggota :
- Sulthonin naim(31)
- Lailiyah nur C. (17)
Kelas : XI IPS 1

SMA N 1 LASEM

TAHUN PELAJARAN 2015/2016
Perlawanan banten terhadap Belanda(VOC).
Kedatangan Belanda ke Banten awalnya hanya untuk
melakukan perdagangan. Namun, dengan potensi alam yang
dimiliki oleh Banten dan saat itu Banten merupakan pelabuhan
yang ramai, maka Belanda dengan kongsi dagang VOC hendak
menguasai Banten sehingga menimbulkan perlawanan dari
Kesultanan Banten.
1. Asal Usul VOC (Verenigde Oost Indishe Compagnie)

VOC merupakan singkatan dari Verenigde Oost Indische Compagnie.
Awalnya VOC adalah gabungan umum dariGenerale Verenigde
Geoctroyeerde
Oost
Indische
Compagnie (Persatuan
Umum
Persekutuan Dagang Hindia Belanda). VOC didirikan pada tanggal 20
Maret 1602 di Amsterdam, setelah diadakannya perundingan yang
lama dan sulit antara Staten Generaal (Dewan Perwakilan). Dalam
perundingan tersebut turut dihadiri oleh pengacara Belanda yang
terkenal, yaitu Johan van Oldenbarneveldt, para pengurus perusahaan
dagang Holland dan Zeeland, yang telah dibentuk antara tahun 1596 –
1602 untuk berdagang di Hindia Timur. Sebelum VOC berdiri dengan
rentang tahun antara 1598 – 1602, Belanda telah memiliki 65 kapal dari
jumlah sebelumnya yaitu 22 kapal yang mengangkut hasil bumi dari
Nusantara terutama rempah-rempah, baik milik perseorangan maupun
milik perserikatan dagang.
Dengan banyaknya perserikatan dagang, terjadilah persaingan diantara
para pedagang Belanda yang mengakibatkan harga rempah-rempah di

pasaran Eropa menjadi jatuh. Oleh sebab itu, didirikan VOC dengan

tujuan untuk mewadahi para pedagang, menghindarkan para pedagang
dari persaingan yang tdak sehat, dan melindungi para pedagang dari
intervensi pedagang lain sepert pedagang Portugis, Arab, Cina, dan
Inggris. VOC memiliki hak istmewa yang disebut dengan hak oktroi. Hak
tersebut mengindikasikan bahwa VOC memiliki kewenangan dan
kekuasaan yang sama sepert halnya sebuah negara. Hak istmewa
tersebut antara lain:
1. Hak mengadakan perjanjian dengan negara lain tanpa melalui
persetujuan Raja/Ratu Belanda.
2. Hak membuat dan mengedarkan uang sendiri.
3. Hak menyusun dan memiliki angkatan laut serta angkatan darat
sendiri yang dapat bertndak tanpa harus tunduk kepada kerajaan
Belanda.
4. Hak menyatakan perang dengan negara atau kerajaan lain tanpa
harus meminta persetujuan dengan Raja/Ratu Belanda.
Kepentngan-kepentngan yang menaungi VOC diwakili oleh sistem
majelis untuk masing-masing dari enam wilayah yang memiliki direktur
berjumlah 17 orang yang disebut dengan Heeren XVII. Mereka berasal

dari Amsterdam, Hoorn, Enkhuizen, Roterdam, Delf, dan Middleburg
(Zeeland). Penetapan anggotaHeeren XVII didasari atas ketentuan,
yaitu 8 orang dari Amsterdam, 4 orang dari Middleburg (Zeeland), dan
sisanya berasal dari Hoorn, Enkhuizen, Roterdam, dan Delf dengan
jumlah masing-masing satu orang. Untuk anggota yang ketujuh belas
ditentukan oleh Zeeland. Heeren XVIImengadakan pertemuan dua kali
dalam satu tahun, yaitu pada musim semi dan musim gugur.

2. Kondisi, Posisi, dan Kedudukan Banten
Kondisi geografs Banten pada awal abad ke 16 dilukiskan oleh Couto,
yaitu Banten terletak di pertengahan teluk yang memiliki lebar sekitar 3
mil dan panjang sekitar 850 depa serta dari tepi laut memiliki panjang
sekitar 400 depa. Untuk melindungi kota Banten, terdapat sebuah
benteng yang dinding setebal tujuh telapak tangan laki-laki terbuat dari
bata dan pada bagian pertahanannya terbuat dari kayu setnggi dua
tngkat dengan dilengkapi oleh persenjataan yang baik. Pusat kota
terletak pada lapangan raja (alun-alun) yang disebut pasebandengan
masjid dan pasar disekitarnya. Jalan-jalan dibuat secara simetris,
membentuk palang silang yang sempurna. Banten memiliki luas sekitar
10.000 km2, wilayah yang tdak lebih luas dari sebuah kabupaten yang

besar di Perancis. Wilayah Banten membentang dari Tangerang sampai
Tulang Bawang dan dari Pelabuhan ratu sampai Silebardengan jumlah
penduduk sekitar 80.000 sampai 100.000 orang pada penghujung abad
ke16.
Belanda menggambarkan bahwa Banten memiliki luas hampir sama
dengan Amsterdam kuno. Selain itu, Belanda menggambarkan bahwa
Banten terletak pada dataran kosong di kaki perbukitan. Untuk sampai
ke Banten, diperlukan jarak tempuh sekitar 25 mil antara Jawa dan
Sumatra. Pada kedua sisi kota mengalir sungai, dimana salah satu dari
sungai itu mengalir melewat kota.
Saat itu, Banten sudah berkembang sebagai kota pelabuhan yang
ramai, dimana terdapat para pedagang Cina, Arab, Portugis, dan Inggris
selain dari pedagang Belanda dan pribumi. Komunikasi antara
pedagang pribumi dan pedagang asing dengan menggunakan lingua

frangka. Dapat dikatakan bahwa Banten merupakan salah satu
pelabuhan besar di Nusantara. Dengan ditunjang oleh potensi alam
berupa beras dan komodit unggulan rempah-rempah berupa lada,
Banten sangat maju dalam hal ekonomi sepert pada kota-kota dagang
pada umumnya.

Dalam hal politk, Banten dibawah kekuasaan Sultan Ageng
Tirtayasa mampu menjaga stabilitas politk. Hubungan kerajaan Banten
dengan kerajaan lain di Pulau Jawa, sepert kerajaan Mataram dan
Cirebon terjalin dengan baik. Hubungan antara Banten dengan kerajaan
lain di Pulau Jawa tdak sejalan dengan hubungan antara Banten
dengan Belanda. Berkali-kali Sultan Ageng Tirtayasa menentang
Belanda, terutama VOC. Hubungan antara Banten dengan Mataram
yang pada awalnya sering mengalami ketegangan karena Mataram
hendak menjadikan Banten sebagai daerah bawahannya mulai menjadi
kurang baik lagi ketka Amangkurat II menandatangani perjanjian
dengan VOC. Hal tersebut sama sepert ketka Cirebon bekerjasama
dengan VOC pada 1681. Pada akhirnya hubungan baik antara Banten
dan kerajaan-kerajaan lain terganggu dengan kehadiran VOC.
3. Penyebab Perlawanan Banten Terhadap VOC
Banten sebagai kesultanan memiliki potensi geografs dan
potensi alam yang membuat para pedagang Eropa khususnya hendak
menguasai Banten. Secara geografs, Banten terletak di ujung barat
pulau Jawa, dimana jalur perdagangan Nusantara yang merupakan
bagian dari jalur perdagangan Asia dan Dunia. Selain itu, letaknya yang
dekat dengan selat Sunda menjadikan Banten sebagai pelabuhan

transit sekaligus pintu masuk ke Nusantara setelah Portugis
mengambilalih Malaka pada tahun 1511.

Potensi alam yang dimiliki Banten pun merupakan daya tarik
tersendiri, dimana Banten adalah penghasil lada terbesar di Jawa Barat
dan penghasil beras dengan dibukanya lahan pertanian dan sarana
irigasi oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Selain dari potensi alam dan letak
geografs, VOC memerlukan tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai
pusat pertemuan. Letak Belanda yang jauh dari wilayah Nusantara
menyulitkan Heeren XVII untuk mengatur dan mengawasi kegiatan
perdagangan. Dengan pertmbangan tersebut, Banten dipilih
sebagai Rendez-vous, yaitu pusat pertemuan, dimana pelabuhan,
kantor-kantor dapat dibangun, dan fasilitas-fasilitas pengangkutan laut
dapat disediakan, keamanan terjamin dan berfungsi dengan baik. Hal
inilah yang membuat VOC dibawah pimpinan Gubernur Jendral Joan
Maetsuyker hendak menguasai Banten.
Perlu diketahui, pada saat Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa tahun
1651 sampai dengan 1682, VOC dipimpin oleh Joan Maetsuyker yang
memimpin VOC dari tahun 1653 sampai 1678. Menurut Nicolaus de
Graaf, Joan Maetsuyker merupakan pemimpin VOC terlama dengan

kedudukan selama seperempat abad. Pada masa pemerintahan
Maetsuyker inilah VOC mengalami masa keemasannya.
Untuk dapat menguasai Banten, langkah yang digunakan oleh VOC
adalah dengan memblokade akses menuju ke pelabuhan Banten
dengan tujuan memperlemah sektor perekonomian Bnaten. Kapalkapal asing yang hendak berdagang di Banten dicegat oleh Belanda.
Selain itu, kapal-kapal yang telah berdagang di Banten pun dicegat oleh
Belanda sehingga pelabuhan Banten mengalami penurunan aktvitas
perdagangan dan kegiatan perekonomi terganggu. Menyikapi hal
tersebut, Banten mengadakan perlawanan dengan menyerbu dan
merampas kapal-kapal Belanda yang bernaung dibawah VOC. Akan

tetapi, VOC menggunakan siasat lain, yaitu dengan memberikan hadiah
menarik dan berupaya memperbaharui perjanjian tahun 1645, akan
tetapi hal tersebut ditolak oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
4. Awal Perlawanan dan Kronologis Perlawanan Kesultanan Banten
Terhadap VOC Tahun 1651-1682
Pada tahun 1651 sampai dengan 1682, Banten diperintah oleh
Pangeran Surya dengan gelar Pangeran Ratu Ing Banten dan setelah
kembali dari Mekah mendapat gelar Sultan Abdulfath Abdulfatah atau
lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa setelah sebelumnya

Banten diperintah oleh kakek dari Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Sultan
Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir. Sultan Ageng Tirtayasa merupakan
anak dari Sultan Abul Ma’ali Ahmad.
Sultan Ageng Tirtayasa selama memerintah kesultanan Banten
sangat menentang segala bentuk penjajahan asing atas daerah
kekuasaannya, termasuk kehadiran VOC yang hendak menguasai
Banten sangat ditentang oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Oleh sebab itu,
VOC yang berusaha melakukan blokade terhadap pelabuhan Banten
dengan menyerang kapal-kapal yang hendak berdagang di Banten
mendapatkan perlawanan dari pasukan Banten.
Perlawanan itu awalnya diwujudkan dengan perusakan terhadap
segala instalasi milik VOC di wilayah kekuasaan kesultanan Banten.
Dengan
tndakan
perlawanan
demikian,
Sultan
Ageng
Tirtayasamengharapkan agar VOC segera meninggalkan Banten.
Tangerang dan Angke dijadikan sebagai garis terdepan pertahanan

dalam menghadapi VOC. Pasukan Banten menyerang Batavia pada
1652 juga dimulai dari Tangerang dan Angke.

Untuk meredakan perlawanan tersebut, VOC mengirimkan
utusan sebanyak dua kali pada tahun 1655 dengan menawarkan
pembaharuan perjanjian tahun 1645 disertai hadiah-hadiah yang
menarik, namun keseluruhannya ditolak oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Bahkan Sultan Ageng Tirtayasa menanggapinya dengan memerintahkan
pasukan Banten pada tahun 1656 untuk melakukan gerilya besarbesaran dengan mengadakan pengerusakan terhadap kebun-kebun
tebu, pencegatan serdadu patroli VOC, pembakaran markas patroli, dan
pembunuhan terhadap beberapa orang Belanda yang keseluruhan
dilakukan pada malam hari. Selain itu, pasukan Banten juga merusak
kapal-kapal milik Belanda yang berada di pelabuhan Benten, sehingga
untuk memasuki Banten, diperlukan pasukan yang kuat untuk
mengawal kapal-kapal tersebut.
Saat perlawanan sering terjadi, Sultan Ageng Tirtayasa seringkali
mengadakan hubungan kerjasama dengan kesultanan lain, sepert
kesultanan Cirebon dan Mataram serta dengan Turki, Inggris, Perancis,
dan Denmark. Hal ini dilakukan agar Banten dapat memperkuat
kedudukan dan kekuatannya dalam menghadapi kekuatan VOC. Dari

Turki, Inggris, Perancis, dan Denmark inilah Banten mendapatkan
banyak bantuan berupa senjata api. Sultan Ageng Tirtayasa pun
melakukan penyatuan terhadap daerah yang dikuasai oleh kesultanan
Banten, yaitu Lampung, Bangka, Silebar, Indragiri dalam kesatuan
pasukan Surosowan.
Menghadapi kenyataan tersebut, VOC pun melakukan penyatuan
kekuatan dengan menyewa serdadu-serdadu dari Kalasi, Ternate,
Bandan, Kejawan, Bali, Makasar, dan Bugis karena serdadu Belanda
jumlahnya sedikit. Pada saat terjadi perlawanan, serdadu-serdadu

pribumi inilah yang melawan pasukan Banten, sedangkan serdadu
Belanda lebih banyak berada dibelakang serdadu pribumi tersebut.
Semakin kuatnya pasukan Banten, ditambah dengan kurangnya
persiapan VOC dalam menghadap Banten karena sedang berperang
dengan Makasar membuat VOC pada sekitar bulan November dan
Desember 1657 mengajukan penawaran gencatan senjata.
Pertempuran antara Banten dan VOC ini sangat merugikan kedua belah
pihak. Gencatan senjatapun baru dapat dilakukan setelah utusan VOC
dari Batavia mendatangi Sultan Ageng Tirtayasa pada tanggal 29 April
1658 dengan membawa rancangan perjanjian yang berisi sepuluh pasal.

Diantara pasal tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa mengajukan dua pasal
perubahan. Namun, hal tersebut ditolak oleh VOC sehingga perlawanan
dan peperangan kembali terjadi.
Penolakan dari VOC tersebut semakin menguatkan keyakinan
Sultan Ageng Tirtayasa bahwa tdak akan ada kesesuaian pendapat
antara kesultanan Banten dengan VOC sehingga jalan satu-satunya
adalah dengan kekerasan, yaitu berperang. Oleh sebab itu, Sultan
Ageng Tirtayasa mengumumkan perang sabil dengan terlebih dahulu
mengirimkan surat ke VOC pada tanggal 11 Mei 1658. Menurut
Djajadiningrat
(1983:71)
dan
Tjandrasasmita
(1967:12-16),
pertempuran antara VOC dengan pasukan Banten berlangsung secara
terus menerus mulai dari bulan Mei 1658 sampai dengan tanggal 10 Juli
1659.
Pada dasarnya, perlawanan Banten terhadap VOC setelah
adanya keinginan untuk melakukan gencatan senjata dipicu oleh
terbunuhnya Lurah Astrasusila diatas kapal VOC. Lurah Astrasusila yang
saat itu menyamar sebagai pedagang kelapa membunuh beberapa

orang Belanda di atas kapal bersama kedua temannya. Namun, apa
yang dilakukannya berhasil diketahui oleh orang-orang Belanda lain
diatas kapal tersebut. Akibatnya Lurah Astrasusila bersama kedua
temannya dibunuh diatas kapal tersebut. Berita mengenai terbunuhnya
Lurah Astrasusila diketahui oleh Sultan Ageng Tirtayasa sehingga
memicu aksi balas dendam dan perlawanan dari Banten (Djajadiningrat,
1983:73).
Penyerangan yang dilakukan Benten secara terus menerus
terhadap VOC membuat kedudukan VOC semakin terdesak sampai
medekat batas kota Batavia. Akhirnya VOC mengajukan gencatan
senjata. Menyadari bahwa Banten akan menolak perjanjan gencatan
senjata, maka VOC membujuk sultan Jambi untuk mengakomodasi
perjanjian tersebut. Maka sultan Jambi pun mengirimkan utusannya
yaitu Kiyai Damang Dirade Wangsa dan Kiyai Ingali Marta Sidana. Pada
tanggal 10 Juli 1659, ditandatangani perjanjian gencatan senjata antara
Banten dan VOC.
Gencatan senjata ini dimanfaatkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa
untuk melakukan konsolidasi kekuatan, diantaranya menjalin hubungan
dengan Inggris, Perancis, Turki, dan Denmark, dengan tujuan
memperoleh bantuan senjata. Gencatan senjata ini membuat blokade
yang dilakukan oleh VOC terhadap pelabuhan Banten kembali dibuka.
Berbagai cara yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa membuat
Banten berkembang dengan pesat. Hal tersebut memicu Gubernur
Jendral Ryklop van Goens sebagai penggant Gubernur Jendral Joan
Maetsuyker menulis surat yang ditujukan kepada kerajaan Belanda
tertanggal 31 Januari 1679 tentang usaha untuk menghancurkan dan
melenyapkan Banten(Tjandrasasmita, 1967:35).

5. Munculnya Kembali Perlawanan Banten dan Politk Adu Domba
VOC
Setelah perjanjian gencatan senjata, VOC menggunakan kesempatan
tersebut untukmempersulit kedudukan Banten. Cara yang dilakukan
adalah dengan mengadakan kerjasama dengan kesultanan Cirebon dan
kesultanan Mataram. Puncaknya adalah ketka Amangkurat II
menandatangani perjanjian dengan VOC. Selain itu, Cirebon pun berada
di bawah kekuasaan VOC pada tahun 1681. Dengan Mataram dan
Cirebon dibawah kendali VOC, maka posisi Banten semakin terjepit
karena Mataram dan Cirebon merupakan kesultanan yang memiliki
hubungan baik dengan Banten.
Posisi tersebut makin sulit dengan terjadinya perpecahan di dalam
kesultanan Banten sendiri.Putra Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Pangeran
Gust dan Pangeran Arya Purbaya mendapatkan kekuasaan, masingmasing untuk mengurusi kedaulatan ke dalam kesultanan. Sementara
kedaulatan keluar kesultanan masih dikendalikan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa. Pemisahan kekuasaan ini diketahui oleh wakil Belanda di
Banten, yaitu W. Caef yang kemudian mendekat dan menghasut
Pangeran Gust untuk mencurigai ayahnya dan saudaranya sendiri.
Pada saat itu, Pangeran Gust pergi ke Mekkah dengan
meninggalkan kekuasaannya untuk sementara waktu dan kekuasaan
tersebut diberikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa kepada adiknya yaitu
Pangeran Arya Purbaya. Sekembalinya Pangeran Gust yang bergelar
Sultan Abu Nasr Abdul Kahar atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan
Haji dari Mekah, kekuasaan yang dimiliki oleh Pangeran Purbaya
semakin meluas sehingga membuat Sultan Haji iri. Hal tersebut yang
dimanfaatkan oleh VOC untuk mengadu-domba antara Sultan Haji

dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa dan adiknya, yaitu
Pangeran Arya Purbaya. Konfik ini dimanfaatkan oleh VOC untuk
memadamkan dan memperlemah kekuatan Banten
6. Akhir Perlawanan Banten Terhadap VOC
Rasa iri dan kekhawatran Sultan Haji akan kekuasaannya melahirkan
persekongkolan dengan VOC untuk merebut tahta kesultanan Banten.
VOC bersedia membantu Sultan Haji dengan mengajukan empat syarat,
yaitu menyerahkan Cirebon kepada VOC, monopoli lada dikendalikan
oleh VOC, membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji, dan menarik
pasukan Banten yang berada di daerah pesisir pantai dan pedalaman
Priangan. Syarat tersebut dipenuhi oleh Sultan haji. Pada tanggal 27
Februari 1682, pecahlah perang antara Sultan Haji dengan dibantu VOC
melawan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa. Inilah akhir dari
kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa di kesultanan Banten.
Namun, pasukan yang dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa masih
terlalu kuat sehingga berhasil mengepung VOC bersama dengan Sultan
Haji. VOC segera memberikan perlindungan kepada Sultan Haji dibawah
pimpinan Jacob de Roy. Bersama dengan Kapten Sloot dan W. Caef,
Sultan Haji mepertahankan loji tempatnya berlindung. Kekuatan
pasukan Sultan Ageng Tirtayasa membuat bantuan dari Batavia tdak
dapat mendarat di Banten. Hal tersebut memaksa Sultan Haji untuk
mengadakan perjanjian baru dengan VOC yaitu memberikan hak
monopoli VOC di Banten. Setelah perjanjian tersebut, tanggal 7 April
1682, datanglah bantuan dari Batavia yang dipimpin oleh Francois Tack
dan De Sant Martn, dibantu oleh Jonker, tokoh yang memadamkan
pemberontakan Trunojoyo. Pasukan ini berhasil membebaskan loji dari
kepungan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa.

Setelah itu, pemberontakan terus terjadi meskipun VOC telah beberapa
kali meminta Sultan Ageng Tirtayasa untuk menyerah. Untuk
menyelesaikan perlawanan tersebut, Sultan Haji mengutus 52 orang
keluarganya untuk membujuk Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah berhasil
dibujuk, Sultan Haji dan VOC menerapkan tpu muslihat dengan
mengepung iring-iringan Sultan Ageng Tirtayasa menuju ke istana
Surosowan pada tanggal 14 Maret 1683. Sultan Ageng Tirtayasa
berhasil ditangkap, namun Pangeran Arya Purbaya berhasil lolos.
Kemudian Sultan Ageng Tirtayasa dipenjarakan di Batavia sampai
meninggal pada tahun 1692. Sultan Haji sendiri akhirnya naik tahta
dengan restu VOC, memerintah dari tahun 1682 sampai dengan 1687.
Pada tanggal 17 April 1684, ditandatanganilah perjanjian dalam bahasa
Belanda, Jawa, dan Melayu yang berisi 10 pasal. Perjanjian inilah yang
menandai berakhirnya kekuasaan kesultanan Banten, dan dimulainya
monopoli VOC atas Banten. Dengan demikian berakhirlah perlawanan
Sultan Ageng Tirtayasasetelah dikhianat oleh anaknya sendiri.

Kesimpulan
Banten merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Nusantara dengan
letak yang stategis di ujung barat pulau Jawa dekat dengan selat Sunda
yang merupakan ttk pertemuan jalur perdagangan Asia bahkan dunia
setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511. Hal tersebut
membuat Banten selalu ramai oleh lalu lintas perdagangan. Disamping
itu, Banten memiliki potensi alam yang cukup menguntungkan, dimana
Banten merupakan penghasil lada terbesar di Jawa Barat. Pada rentang
waktu antara 1651 sampai dengan 1682, Banten mampu memenuhi
kebutuhan pangan rakyatnya dengan swasembada beras dibawah
kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Dengan kondisi alam dan letak
geografs inilah yang membuat VOC dibawah pimpinan Gubernur
Jendral Joan Maetsuyker (1653-1678) berkeinginan untuk menguasai
Banten, menjadikannya sebagai pusat pertemuan (Rendez-vous)
sekaligus memonopoli perdagangan rempah-rempah, khususnya lada.
Untuk memenuhi kehendaknya, VOC mulai menggunakan siasat
blokade ekonomi dengan tujuan agar Banten mau tunduk kepada VOC.
Hal tersebut dilakukan dengan menyerang kapal-kapal asing yang
hendak berdagang di Banten. Kondisi ini membuat Banten mengalami
penurunan dalam hal kegiatan perekonomian. Menaggapi hal tersebut,
Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan untuk melakukan perlawanan
terhadap VOC. Pelawanan tersebut terjadi sampai dengan adanya
tawaran perjanjian gencatan senjata pada tanggal 29 April 1658.
Namun, perjanjian tersebut ditolak oleh Banten dan mulailah kembali
perlawanan dari bulan Mei 1658 yang berlangsung terus menerus
sampai diadakannya perjanjian gencatan senjata tanggal 10 Juli 1659.

Gubernur Jendral Ryklop van Goens yang menggantkan Gubernur
Jendral Joan Maetsuyker kemudian memerintahkan untuk
menghancurkan Banten. Kekuasaan Banten mulai melemah ketka
Cirebon pada tahun 1681 dan Mataram yang memiliki hubungan baik
dengan Banten bekerjasama dan tunduk atas VOC. Selain itu, adanya
pembagian kekuasaan di kesultanan Banten, dimana Sultan Haji dan
Pangeran Arya Purbaya yang merupakan anak dari Sultan Ageng
Tirtayasa, mendapat kekuasaan intern kesultanan. Hal tersebut
diketahui oleh W. Caef, wakil VOC di Banten, sehingga VOC
memanfaatkan pembagian kekuasaan tersebut untuk mengadu domba
Sultan Haji dengan Pangeran Arya Purbaya dan Sultan Ageng Tirtayasa,
sampai pada akhirnya terjadi perang saudara yang menyebabkan
berakhirnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1682.

Daftar Pustaka
Boxer, C. R., Jan Kompeni Dalam Perang dan Damai 1602-1799, Sinar
Harapan, Jakarta, 1983.
Djajadiningrat,
Hoesein,Tinjauan
Banten, Djambatan, Jakarta, 1983.

Kritis

Tentang

Sajarah

Guillot, Claude,Banten Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII,
Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2008.
Lubis, Nina H., Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama
Jawara, Pustaka LP3ES, Jakarta, 2003.
Michrob, Halwany, dkk, Catatan Masa Lalu Banten, Saudara, Serang,
1993.
Notosusanto, Nugroho,Sejarah Nasional Indonesia jilid III, Balai
Pustaka, Jakarta, 2010.
Ricklefs, M. C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Serambi Ilmu
Semesta, Jakarta, 2008.
Wibisono, Sonny Chr., dkk, Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dwi Jaya Karya, Jakarta,
1995.
Zuhdi, Susanto, dkk, VOC di Kepulauan Indonesia: Berdagang dan
Menjajah, Kedutaan Besar Republik Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
2002