makalah hukum perlindungan konsumen (1)

MAKALAH HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

PERAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
(BPSK) DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA
KONSUMEN DI LUAR PENGADILAN

DISUSUN OLEH :

SILVIA KUMALASARI
8111412028

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL---------------------------------------------------------------------------------

i

DAFTAR ISI------------------------------------------------------------------------------------------ ii

BAB I. PENDAHULUAN--------------------------------------------------------------------------- 1
A. Latar Belakang-------------------------------------------------------------------------------- 1
B. Rumusan Masalah---------------------------------------------------------------------------- 3
C. Tujuan Penulisan------------------------------------------------------------------------------ 3
BAB II. PEMBAHASAN--------------------------------------------------------------------------- 4
1. Kewenangan MK dalam mengadili PHPU Pilkada------------------------------------ 4
2. Mekanisme pengajuan PHPU Pilkada di MK------------------------------------------ 7
3. Proses peradilan acara MK dalam PHPU Pilkada-------------------------------------- 10
4. Kendala MK dalam menyelesaikan PHPU Pilkada------------------------------------ 16
BAB 1II. PENUTUP--------------------------------------------------------------------------------- 18
A. Kesimpulan------------------------------------------------------------------------------------ 18
B. Saran-------------------------------------------------------------------------------------------- 18
DAFTAR PUSTAKA-------------------------------------------------------------------------------- 19

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kegiatan bisnis terdapat hubungan saling membutuhkan antara pelaku usaha
dengan konsumen, baik berupa pelaku usaha dan konsumen barang maupun jasa. Kepentingan
pelaku usaha adalah memperoleh keuntungan semaksimal mungkin dari transaksi dengan

konsumen, sedangkan di sisi lain, konsumen berkepentingan untuk memperoleh kepuasan
melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap produk tertentu. Dengan kata lain, konsumen
mempunyai hak untuk mendapatkan kualitas yang diinginkan.
Dalam hubungan demikian, seringkali terdapat ketidaksetaraan antara keduanya di mana
secara umum konsumen berada pada posisi tawar menawar yang lemah, akibatnya menjadi
sasaran eksploitasi dari pelaku usaha atau produsen yang secara sosial dan ekonomi memiliki
posisi yang kuat. Untuk melindungi atau memberdayakan konsumen sangat diperlukan adanya
campur tangan pemerintah dan/atau negara melalui penetapan sistem perlindungan hukum
terhadap konsumen.
Dalam hal konsumen dirugikan oleh pelaku usaha, maka konsumen dapat menggunakan
haknya untuk mendapatkan ganti kerugian, apabila keadaan barang atau jasa yang dibelinya
tidak sebagaimana mestinya. Apabila pelaku usaha tidak mau bertanggung jawab memberikan
ganti rugi atas kerusakan dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau
jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan, maka hal ini akan terjadi sengketa konsumen, yaitu
sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau
memanfaatkan jasa. Untuk penyelesaian sengketa konsumen, UUPK sendiri membagi
penyelesaian konsumen manjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak
sendiri dan penyelesaian sengketa melalui lembaga yang berwenang, yaitu sebagaimana diatur

dalam pasal 49, yakni Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau BPSK dengan

menggunakan mekanisme melalui konsiliasi, mediasi atau arbitrase dan penyelesaian sengketa
melalui pengadilan.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan / atau mengenai tindakan tertentu untuk
menjamin tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Pola-pola
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dikehendaki UUPK merupakan pilihan
yang tepat, karena jalan keluar yang dirumuskan berisikan penyelesaian yang memuaskan kedua
belah pihak yang sedang bersengketa.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah merupakan penyelesaian sengketa yang
efektif, hal inilah yang menjadi alasan mengapa konsumen membutuhkan mekanisme
penyelesaian sengketa yang efektif, dikarenakan upaya non litigasi prosesnya sederhana, cepat
dan biaya murah. Penyelesaian sengketa yang efektif diperlukan juga dikarenakan konsumen
umumnya, banyak yang enggan dan tidak mau memperjuangkan hak-hak nya, karena terstigma
oleh pengadilan prosesnya yang lama, biaya mahal serta belum tentu menang, karena hasil dari
pengadilan adalah menang-kalah. Pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan menjadi
efektif karena ditinjau dari kasus yang ada adalah kasus yang sederhana dan berskala kecil.
Sedangkan pilihan penyelesaian sengketa melalui pengadilan dapat menjadi efektif, bila kasus
yang diajukan adalah kasus yang rumit dan berskala besar.

Berkaitan dengan penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaiman diatur dalam
UUPK pasal 45 melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen, di Indonesia
sendiri ada beberapa lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen yaitu Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen atau BPSK, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau
YLKI.
Indonesia memiliki Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang didirikan
tingkat Kabupaten untuk menyelesaikan sengketa konsumen. Dalam Pasal 23 UU No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) mengatur bahwa konsumen dapat mengajukan
gugatan pada pelaku usaha melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau ke badan
peradilan. Jadi sebagai bentuk perlindungan dari negara, konsumen diberi kebebasan sesuai

dengan kemampuan untuk menyelesaikan sengketanya dengan pelaku usaha melalui jalur
pengadilan maupun diluar pengadilan seperti quasi peradilan yang bernama BPSK.
Pemerintah menjamin adanya perlindungan hukum terhadap konsumen, dengan
membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang bertugas untuk
menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen. Eksistensi BPSK
sangat penting bukan saja sebagai bentuk pengakuan hak konsumen untuk mendapatkan
perlindungan dalam penyelesaian sengketa konsumen secara patut, tetapi juga sebagai badan
pengawas terhadap pencatuman klausula baku oleh pelaku usaha. Pasal 42 ayat (1) Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/2001,

menyatakan bahwa

Putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap.
Dibentuknya BPSK sangat membantu konsumen terutama dalam hal prosedur beracara
yang mudah, cepat, tanpa biaya karena segala biaya yang timbul sudah dibebankan kepada
APBD masing-masing Kabupaten/Kota sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Prosedur penyelesaiannya pun tidak rumit harus
menggunakan dalil-dalil hukum yang kaku. Konsumen / pengadu dapat mengajukan gugatan
tertulis maupun tidak tertulis tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.
Jadi, penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK tidak perlu persetujuan kedua belah pihak
untuk memilih BPSK sebagai forum penyelesaian sengketa.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulisan makalah ini di fokuskan untuk
mengkaji proses penyelesaian sengketa konsumen di luar jalur pengadilan melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK ?
2. Bagaimana kekuatan hukum putusan BPSK dalam menjamin perlindungan hukum

bagi konsumen ?
3. Bagaimana upaya hukum terhadap putusan BPSK ?

4. Apakah kendala yang dialami oleh BPSK dalam praktik pelaksanaan penyelesaian
sengketa konsumen ?
5. Apa upaya yang dilakukan BPSK dalam menciptakan konsumen dan pelaku usaha
yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya
C. Tujuan Penulisan
1. Memberikan uraian mengenai mekanisme penyelesaian sengketa konsumen melalui
BPSK.
2. Memberikan penjelasan mengenai kekuatan hukum putusan BPSK dalam menjamin
perlindungan hukum bagi konsumen.
3. Mendiskripsikan upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan BPSK.
4. Memberikan uraian tentang kendala yang dialami oleh BPSK dalam praktik
pelaksanaan penyelesaian sengketa konsumen.
5. Memberikan uraian mengenai upaya BPSK dalam menciptakan konsumen dan pelaku
usaha yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ke arah yang lebih

baik kepada seluruh masyarakat di Indonesia bahwa untuk masalah sengketa konsumen yang
terjadi dapat dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) maka putusan
yang dihasilkan oleh BPSK dapat memberikan kepastian hukum bagi konsumen.
2. Manfaat Praktis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para
praktisi, pemerintah, Departeman Perindustrian dan Perdagangan serta para pelaku usaha dan
seluruh masyarakat Indonesia selaku konsumen dari suatu produk barang dan/ atau jasa sehingga
putusan dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dapat mewujudkan harapan
semua pihak, khususnya bagi para pengguna produk barang/jasa (konsumen).

BAB II
PEMBAHASAN
A. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui BPSK
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan
menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.

BPSK ini dibentuk untuk

menyelesaikan sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat sederhana.
Keberadaan BPSK dapat menjadi bagian dari pemerataan keadilan, terutama bagi

konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha, karena sengketa diantara konsumen dan
pelaku usaha biasanya nominalnya kecil sehingga tidak mungkin mengajukan sengketanya ke
pengadilan karena tidak sebanding antara biaya perkara dengan besarnya kerugian yang akan
dituntut.
Pembentukan BPSK sendiri didasarkan pada adanya kecendrungan masyarakat yang
segan untuk beracara di pengadilan karena posisi konsumen yang secara sosial dan finansial
tidak seimbang dengan pelau usaha. Dengan terbentuknya BPSK, maka penyelesaian konsumen
dapat dilakukan secara cepat, mudah dan murah. Cepat karena penyelesaian sengketa melalui
BPSK harus sudah diputus dalam tenggang waktu 21 hari kerja dan tidak dimungkinkan banding
yang dapat memperlama proses penyelesaian sengketa. Mudah karena prosedur administratif dan
proses pengambilan putusan yang sangat sederhana dan dapat dilakukan sendiri oleh para pihak
tanpa diperlukan kuasa hukum. Murah karena biaya persidangan yang dibebankan sangat ringan
dan dapat terjangkau oleh konsumen. Jika putusan BPSK dapat diterima oleh kedua belah pihak,
maka putusan BPSK bersifat final, mengikat sehingga tidak perlu diajukan ke pengadilan.
Proses penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK Setiap konsumen yang merasa
dirugikan oleh pelaku usaha dapat mengadukan masalahnya kepada BPSK, baik secara langsung
maupun tidask langsung, diwakili kuasanya maupun oleh ahli warisnya. Pengaduan yang
disampaikan oleh kuasanya maupun oleh ahli warisnya hanya dapat dilakukan

apabila


konsumen yang bersangkutan dalam keadaan sakit, meninggal dunia, lanjut usia, belum dewasa
atau warga negara asing. Pengaduan dapat disampaikan secara lisan atau tulisan kepada

secretariat BPSK di kota atau kabupaten tempat domisili konsumen atau di kota / kabupaten
tersekat dengan domisili konsumen.
Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK diselenggarakan semata-mata untuk mencapai
kesepakatan mengenai bantuk dan besarnya ganti keerugian dan atau menganai tindakan
terntentu untuk menjamin tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Ukuran kerugianmateri yang dialami konsumen ini didasarkan pada besarnya dampak dari
penggunaan produk barang/ jasa tersebut terhadap konsumen. Bentuk jaminan yang dimaksud
adalah berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali
perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.
Pada prinsipnya penyelesaian konsumen sedapat mungkin dilakukan secara damai,
sehingga dapat memuaskan para pihak yang bersengketa. Ada faktor penting yang berkaitan
dengan pelaksanaan sengketa di luar pengadilan juga mempunyai kadar yang berbeda-beda :
1. apakah partisipasi penyelesaian sengketa di luar pengadilan wajib dilakukan oleh para
pihak atau hanya bersifat sukarela
2. Apakah putusan dibuat oleh para pihak sendiri atau pihak ketiga
3. Apakah prosedur yang digunakan bersifat formal atau tidak formal

4. Apakah para pihak dapat diwakili oleh pengacaranya atau para pihak sendiri yang tampil
5. Apakah dasar untuk menjatuhkan putusan adalah aturan hukum atau ada criteria lain
6. Apakah putusan dapat dieksekusi secara huum atau tidak
Tatacara penyelesaian sengketa BPSK diatur dalam UUPK jo kepmenperindag no
350/MPP/12/2001 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK. Proses penyelesaiannya pun
diatur sangat sederhana dan sejauh mungkin dihindari suasana yang formal
Tahap Pengajuan Gugatan
Mengajukan gugatan ke BPSK, dapat dilakukan sendiri atau kuasanya atau ahli warsinya,
secara tertulis ke sekretarian BPSK, sekretariat akan memberikan tanda terima, bila permohonan
diajukan secara lisan maka sekretariat akan mencatat permohonan tersebut dalam sebuah
formulis yang disediakan secara khusus dan dibubuhi tanggal dan nomot registrasi. Catatan yang

penting, permohonan harus lengkap, karena kalau tidak ketua BPSK akan menolak permohonan
tersebut.
Pemanggilan pelaku usaha, dibuat surat panggilan yang memuat hari, tanggal, jam dan
tempat persidangan serta kewajibannya untuk memberikan jawaban terhadap penyelesaian
sengketa konsumen untuk diajukan pada persidangan pertama. Jika pada hari pertama pelaku
usaha tidak hadir tidak memnuhi panggilan, pelaku usaha dapat dipanggil sekali lagi, jika tetap
tidak hadir maka BPSK dapat meminta bantuan penyiidik untuk menghadirkan pelaku usaha
tersebut.

Jika pelaku usaha hadir, maka konsumen memilih cara penyelesaian sengketeanya yang
harus disetujui oleh pelaku usaha, yakni yang bisa dipilih adalah konsiliasi, mediasi dan arbitrasi.
Jika yang dipilih para pihak adalah konsiliasi atau mediasi, maka ketua BPSK segera menunjuk
majelis sesuai ketentuan untuk ditetapkan sebagai konsiliator atau mediator. Jika yang dilipilih
adalah arbitrasi, maka prosedurnya adalah para pihak memilih atbiter ketiga dari anggota BPSK
yang berasal dari unsur pemerintah sebagai ketua majelis. Persidangan dilaksanakan selambatlambatnya hari kerja ke-7 terhitung sejak diterimanya permohonan.
Tahap Persidangan
Tahap persidangan ini meliputi tiga hal, yakni persidangan secara konsiliasi, mediasi atau
arbitrasi tergantung dari cara yang dipilih oleh yang bersengketa.
1. persidangan dengan cara konsiliasi
konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa diantara para pihak dengan
melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak, pihak ini disebut konsiliator.
Konsiliator hanya melakukan tindakan seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan
para pihak, mengarahkan subjek pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak ke pihak
lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan langsung oleh para pihak.
Penyelesaian sengketa model ini mengacu pada konsensus antara pihak, dimana pihak
netral dapat berperan secara aktif maupun tidak aktif.
Konsiliator dapat mengusulkan pendapatnya, namun tidak berwenang memutus
perkaranya. Penyelesaian sengketa konsumen melalui konsiliator ini dilakukan sendiri
oleh pihak yang bersengketa dengan didampingi majelis BPSK yang bertidak pasif

sebagai konsiliator. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa
kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun jumlah kerugian.
Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan anta konsumen dan pelaku usaha
yang bersengketa selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani
oleh para pihak yang bersengketa dan diserahkan kepada majelis untuk dituangkan dalam
keputusan majelis BPSK yang menguatkan perjanjian tersebut.
2. persidangan dengan cara mediasi
mediasi ialeh proses negosiasi penyelesaian sengketa atau pemecahan masalah
dimana pihak-pihak ketiga yang tidak memihak bekerjasama dengan para pihak yang
bersengketa membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan, pihak ini
disebut mediator.
Mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa, melainkan
hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang diserahkan
kepadanya. Kesepakatan dapat terjadi dengan mediasi, jika para pihak yang bersengketa
berhasil mencapai saling pengertian dan bersama-sama merumuskan penyelesaian
sengketa dengan arahan konkret dari mediator. Mediator menyerahkan sepenuhnya
proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun besarnya
ganti kerugian atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak terulangnya kembali kerugian
konsumen.
Hasil musyawarah merupakan kesepakatan antara konsumen dengan pelaku
usaha. Selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian, ditandatangani oleh para pihak dan
diserahkan kepada majelis BPSK untuk dikukuhkan dalam keputusan majelis BPSK
untuk menguatkan perjanjian tersebut. Putusan tersebut mengikat kedua belah pihak dana
mediasi tidak memuat sanksi administratif.
3. Persidangan dengan cara arbitrase
Arbitrase menurut UU no.30 tahun 1999 tentang arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar pengadilan, yang didasarkan ppada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase ini adalah bentuk
alternatif paling formal untuk menyelesaikan sengketa sebelum bertlitigasi.
Pada proses ini pihak yang bersengketa mengemukakan masalah mereka kepada pihak
ketiga yang netral dan memberinya wewenang untuk memberi keputusan.

Tahap Putusan
Putusan majelis BPSK dapat dibedakan atas dua jenis putusan, yaitu;
1. Putusan BPSK dengan cara konsiliasi atau mediasi, putusan ini pada dasarnya hanya
mengkukuhkan isi perjanjian perdamaian yang telah disetujui dan ditandatangani oleh
kedua belah pihak yang bersengketa.
2. Putusan BPSK dengan cara arbitrasi, seperti halnya putusan perkara perdata, memaut
duduknya perkara dan pertimbangan hukumunya.
Putusan majelis BPSK sedapat mungkin didasarkan atas musyawarah untuk mencapai
mufakat, namun jika telah diusahakansungguh-sungguh ternyata hasilnya tidak berhasil
mencapai mufakat, maka putusan diambil dengan suara terbanyak. Keputusan mediasi dan
konsiliasi tidak memuat sanksi administratif sedangkan arbitrase dibuat dengan putusan majelis
dan ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis, keputusan majelis dalam arbitrase dapat
memuat sanksi administratif. Putusan BPSK dapat memuat; perdamaian, gugatan ditolak atau
gugatan dikabulkan.
Problematika hukum muncul, dengan mengacu pada ketentuan pasal 54 ayat 3 UUPK
maupun pasal 42 ayat 1 keputusan menteri perindustrian dan perdagangan nomor 350/MPP/Kep/
12/2001 tersebut, putusan BPSK, adalah final dan mengikat dan tidak dimungkinkan lagi untuk
mengajukan banding atau keberata. Sebaliknya, dalam pasal 56 ayat 2 UUPK, masih dibuka
peluang untuk mengajukan keberatan kepada pengadilan negari, dalam tenggang waktu 14 hari
setelah putusan BPSK itu diberitahukan. Adanya kendala-kendala yang dihadapi BPSK dalam
mengimplementasikan UUPK, yakni ; kendala kelembagaan / institusional yaitu eksistensi BPSK
yang hanya ada dan aktif / berjalan dibeberapa kota saja, ada beberapa argumentasi bahwa BPSK
bukanlah badan yang menjalani fungsi yudisial sepenuhnya, ketiga cara penyelesaian sengketa
yang diutarakan di atas pada hakikatnya merupakan pilihan penyelesaian sengketa yang
dilakukan secara nonlitigasi. Secara struktural BPSK dibawah departemen perdagangan sehingga
menjalankan tugasnya masih melekat kewenangan eksekutif sehingga secara tidak langsung
membuka kemungkinan munculnya kendala-kendala dalam melaksanakan tugas-tugas judisial.
Kendala pendanaan, kendala SDM BPSK, kendala peraturan, kendala pembinaan dan
pengawasan serta tidak adanya koordinasi aparat penanggungjawabnya, kurangnya respons dan

pemahaman dari peradilan terhadap kebijakan perlindungan konsumen, kurangnya sosialisasi
dan rendahnya tingkat kesadaran hukum konsumen, kurangnya respons masyarakat terhadap
UUPK dan lembaga BPSK.

B. Kekuatan Hukum Putusan BPSK dalam Menjamin Perlindungan Hukum bagi
Konsumen
Perlindungan konsumen adalah upaya yang terorganisir yang didalamnya terdapat unsurunsur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha yang jujur dan bertanggungjawab untuk
meningkatkan hak-hak konsumen. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
PerlindunganKonsumen, mendefinisikan perlindungan konsumen sebagai berikut :
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada konsumen”
Pemerintah menjamin adanya perlindungan hukum terhadap konsumen,

dengan

membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang bertugas untuk
menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen. Eksistensi BPSK
sangat penting bukan saja sebagai bentuk pengakuan hak konsumen untuk mendapatkan
perlindungan dalam penyelesaian sengketa konsumen secara patut,tetapi juga sebagai badan
pengawas terhadap pencatuman klausula baku oleh pelaku usaha. Pasal 42 ayat (1) Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/2001,
menyatakan bahwa

Putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap.
Putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat belum dapat melindungi konsumen
karena terjadi ketentuan yang bertentangan mengenai arti putusan BPSK yang bersifat final dan
mengikat. Putusan arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial karena tidak memiliki
kepala putusan atau irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Asas-asas
yang relevan sebagai dasar acuan putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat ke depan
adalah Hak Asasi Manusia (HAM), asas kepastian hukum, asas tidak melampaui atau
mencampuradukkan kewenangan, asas keadilan, dan asas efektivitas.
Menurut S. Sothi Rachagan (Regional Director of CI-ROAP) ada beberapa prinsip yang
harus dipenuhi dalam pengelolaan lembaga penyelesaian sengketa konsumen :

1. Aksesibilitas

yakni bagaimana mengupayakan agar lembaga penyelesaian

sengketa konsumen dapat diakses seluas-luasnya oleh masyarakat. Prinsip ini
meliputi elemen-elemen seperti: biaya murah, prosedur yang sederhana dan
mudah, pembuktian yang fleksibel, bersifat komprehensif, mudah diakses
langsung, dan tersosialisasi serta tersedia di berbagai tempat.
2. Fairness

dalam arti keadilan lebih diutamakan daripada kepastian hukum

sehingga sebuah lembaga penyelesaian sengketa konsumen setidaknya harus
bersifat mandiri (independent) dan dapat dipertanggungjawabkan pada
masyarakat (public accountability)
3. Efektif, sehingga lembaga penyelesaian sengketa harus dibatasi cakupan
perkaranya (kompleksitas dan nilai klaim) dan setiap perkara yang masuk harus
diproses secepat mungkin tanpa mengabaikan kualitas penanganan perkara.
Untuk dapat dijalankannya prinsip-prinsip tersebut maka cara penyelesaian sengketa
dengan pendekatan hukum yang legal-positivistik harus diubah dengan pendekatan hukum yang
lebih kritis, responsif atau progresif. Secara singkat paradigma hukum progresif bertumpu pada
filosofi dasarnya yakni hukum untuk manusia, yang dimaknai bahwa sistem manusia (sikap;
perilaku) berada di atas sistem formal (aturan; keputusan administratif; prosedur; birokrasi).
Dengan demikian bila sistem formal tidak bisa mewujudkan cara penyelesaian konsumen yang
utuh, efektif dan adil atau memuaskan para pihak, maka sistem manusia harus mampu
mewujudkan sendiri.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
maka konsumen di Indonesia mendapat jaminan hukum yang pasti akan hak-haknya sebagai
konsumen, khususnya dari tindakan-tindakan yang tidak adil dari pelaku usaha.

C. Upaya Hukum Terhadap Putusan BPSK
Upaya hukum terhadap putusan BPSK tidak terlepas dari aspek filosofisnya sebagaimana
termuat dalam alinea ke-2 dan ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945).
Utilitarianisme merupakan teori kebahagiaan terbesar yang mengajarkan tiap manusia
untuk meraih kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk orang terbanyak, Konsep pemikiran

utilitarianisme ini, nampak melekat dalam alinea ke-2 Pembukaan UUD 1945 terutama pada
makna adil dan makmur, sebagaimana dipahami bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah
memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, sesuai ungkapan Betham “The great happiness for
the greatest number”

(Kebahagiaan sebesar-besarnya untuk masyarakat sebanyak-banyaknya).

Makna adil dan makmur harus dipahami sebagai kebutuhan masyarakat Indonesia baik bersifat
rohani ataupun jasmani. Secara yuridis hal ini tentu saja menunjuk kepada seberapa besar
kemampuan hukum untuk dapat memberikan kemanfaatan kepada masyarakat, dengan kata lain
seberapa besar sebenarnya hukum mampu melaksanakan atau mencapai hasil-hasil yang
diinginkan, karena hukum dibuat dengan penuh kesadaran oleh Negara dan ditujukan kepada
tujuan tertentu.
Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang
atau badan hukum untuk hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai tempat bagi pihakpihak yang tidak puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan, tidak memenuhi rasa keadilan, karena hakim juga seorang manusia yang dapat
melakukan kesalahan/kekhilafan sehingga salah memutuskan atau memihak salah satu pihak.
Lembaga yang menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen diluar pengadilan
dalam hal ini adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Apabila berbicara tentang upaya hukum keberatan terhadap putusan BPSK, kita harus
melihat sejauh mana kekuatan hukum putusan BPSK itu berlaku. Bedasarkan Pasal 42 ayat (1)
Keputusan

Menteri

Perindustrian

dan

Perdagangan

Republik

Indonesia

Nomor

350/MPP/Kep/2001, menyatakan bahwa putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Final berarti penyelesaian sengketa mestinya sudah
berakhir dan selesai. Mengikat berarti memaksa dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan para
pihak. Prinsip res judicata pro vitatate habetur, suatu putusan yang tidak mungkin lagi untuk
dilakukan upaya hukum, dinyatakan sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti.
Berdasarkan prinsip demikian, jelas putusan BPSK mestinya harus dipandang sebagai
putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde), namun pada
Pasal 41 ayat (3) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor
350/MPP/Kep/12/2001, menyatakan bahwa konsumen atau pelaku usaha yang menolak putusan
BPSK, dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya dalam waktu
14 (empat belas) hari ketiga terhitung sejak keputusan BPSK diberitahukan. Para pihak ternyata

masih bisa mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari setelah
pemberitahuan putusan BPSK. Hal ini bertentangan dengan sifat putusan BPSK yang bersifat
final dan mengikat.
Kejadian tersebut disebabkan karena lemahnya kedudukan dan kewenangan yang
diberikan oleh Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/2001
terhadap BPSK terutama menyangkut putusan yang bersifat final dan mengikat namun dapat
dilakukan dua kali upaya hukum keberatan dan upaya hukum kasasi. BPSK adalah sebagai
lembaga Negara independen atau lembaga negara komplementer dengan tugas dan wewenang
yang atributif untuk melakukan penegakan hukum perlindungan konsumen. BPSK merupakan
lembaga penunjang dalam bidang quasi peradilan. Oleh karenanya, kekuatan BPSK bersifat final
dan mengikat. Makna final yang dimaksud dalam putusan BPSK adalah final pada tingkat BPSK
saja sedangkan pada tingkat pengadilan putusan BPSK tidak bersifat final atau masih dapat
dilakukan upaya hukum keberatan ke pengadilan negeri dan kasasi ke mahkamah agung.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Mahkamah Agung sudah menerbitkan Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan
BPSK. Dalam Peraturan Mahkamah Agung ini disebutkan bahwa pada hakikatnya tidak dapat
dibenarkan mengajukan keberatan terhadap putusan BPSK kecuali yang memenuhi persyaratan.
Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung ini menegaskan bahwa yang bisa diajukan keberatan adalah
terhadap putusan arbitrase BPSK.

D. Kendala yang Dialami oleh BPSK dalam Praktik Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa
Konsumen
Kendala Yang Dihadapi Oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam
Menyelesaikan Sengketa Konsumen yang pertama yaitu kendala kelembagaan dapat ditinjau dari
kompleksnya peran yang diberikan untuk badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sehingga
menimbulkan kendala pada tahap pelaksanaannya, dalam hal ini dapat diuraikan mengenai peran
yang diberikan kepada Badan Penyelesaian sengketa konsumen yaitu : peran sebagai penyedia
jasa penyelesaian sengketa sebagai mediator, konsiliator, arbiter, peran sebagai konsultan
masyarakat atau public defender, peran sebagai administrative regulatoratau sebagai pengawas
dan pemberi sanksi, peran ombudsman, ajudicatoratau pemutus. Berdasarkan pasal 52 Undag-

undang Perlindungan Konsumen jo. SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 adalah: (a).
melaksnakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi
dan abitrase. (b). Memberikan konsultasi mengenai perlindungan konsumen (c) melakukan
pengawasan terhadap pencatuman klausula baku (d). Melaporkan kepada penyidik jika terjadi
pelanggaran Undang-undang perlindungan konsumen. (e). Menerima pengaduan tertulis maupun
tidak tertulis dari konsumen terhadap terjadinya pelanggaran perlindungan konsumen. (f).
Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen. (g). Memanggil
pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. (h).
Memanggil saksi-saksi atau saksi ahli atau setiap orang yang diduga mengetahui pelanggaran
mengenai perlindungan konsumen. (i). Meminta bantuan kepada penyidik untuk menghadirkan
saksi, saksi ahli, atau setiap orang pada butir g dan butir h yang tidak bersedia memenuhi
panggilan dari Badan penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). (j). Mendapatkan, meneliti
dan/atau menilai surat dokumen atau bukti lain guna penyelidikandan/atau pemeriksaan. (k).
Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian di pihak konsumen. (l). Memberitahukan
putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen
(m). Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undangundang perlindungan konsumen.
Kedua Kendala Pendanaan, salah satu faktor kurang optimalnya Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen adalah karena kurangnya dukungan dana baikdari Pemerintah Pusat
maupun dari Pemerintah Daerah, Pembagian alokasi anggaran ini adalah untuk honor
anggota/sekretariat badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dibebankan kepada Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) sedangkan biaya operasional dibebankan kepada Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota masing-masing, hanya saja mengenai
besaran alokasi anggaran ini tidak diatur secara rinci. Selain itu menyangkut kesiapan alokasi
dari APBD tidak maksimal dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, partisipasi daerah
selama ini dalam alokasi dana untuk efektivitas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen masih
sangat minim hal ini mempengaruhi kinerja Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Ketiga kendala Sumber Daya Manusia (SDM) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu faktor pendukung terhadap optimalisasi
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, karena sebaik apapun suatu konsep pembentukan

badan/lembaga tetapi tidak didukung oleh sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi
yang baik pula maka suatu badan/lembaga itu pun akan jauh dari keinginan atau cita-cita.
Keempat rendahnya kesadaran hukum perlindungan konsumen. Hal ini juga tidak kalah
penting dalam cita-cita optimalisasi Badan Penyelesaiaan sengketa konsumen, kesadaran hukum
mengenai hak- hak konsumen yang belum diketahui oleh masyarakat luas sehingga hal – hal
yang berkaitan dengan masalah-masalah konsumen seringkali tidak dapat diselesaikan sesuai
dengan hak – hak yang ada pada konsumen yang diaturdalam Undang – Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.

E. Upaya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Menciptakan Konsumen dan
Pelaku Usaha yang Cerdas dan Sadar Akan Hak dan Kewajibannya
Ada kalanya masyarakat konsumen kurang atau belum mengetahui berbagai hal dalam
hal ini walaupun tugas yang berkaitan dengan pemberdayaan perlindungan konsumen itu secara
tegas diatur pada tugas dan wewenang lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
namun hal ini tidak dapat mengesampingkan peran dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
dalam menciptakan konsumen dan pelaku usaha yang cerdas dan sadar akan hak dan
kewajibannya. Bahwa berdasarkan pasal 52 Undang-undang Perlindungan Konsumen jo. SK
Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 huruf (b), dimana salah satu tugas BPSK adalah
memberikan konsultasi mengenai perlindungan konsumen, konsultasi ini dilakukan dalam upaya
menciptakan konsumen dan pelaku usaha yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya.
Selain itu Sosialisasi dari BPSK sangat dibutuhkan dalam rangka upaya meminimalisir
permasalahan tentang perlindungan Konsumen dalam hal masyarakat belum banyak mengetahui
dan mengerti mengenai penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan dengan kerugian
konsumen sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga dirasakan sangat perlu untuk
melakukan sosialisasi tentang Hukum Perlindungan Konsumen.
Namun saat ini BPSK belum fokus kepada penyelenggaraan sosialisasi secara
berkelanjutan sebagai upaya menciptakan konsumen dan pelaku usaha yang cerdas dan sadar
akan hak dan kewajibannya, saat ini Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen masih dalam tahap
pembenahan internal.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam hal konsumen dirugikan oleh pelaku usaha, maka konsumen dapat menggunakan
haknya untuk mendapatkan ganti kerugian, apabila keadaan barang atau jasa yang dibelinya
tidak sebagaimana mestinya. Apabila pelaku usaha tidak mau bertanggung jawab memberikan
ganti rugi atas kerusakan dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau
jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan, maka hal ini akan terjadi sengketa konsumen, yaitu
sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau
memanfaatkan jasa. Untuk penyelesaian sengketa konsumen, UUPK sendiri membagi
penyelesaian konsumen manjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak
sendiri dan penyelesaian sengketa melalui lembaga yang berwenang, yaitu sebagaimana diatur
dalam pasal 49, yakni Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau BPSK dengan
menggunakan mekanisme melalui konsiliasi, mediasi atau arbitrase dan penyelesaian sengketa
melalui pengadilan. Tatacara penyelesaian sengketa BPSK diatur dalam UUPK jo
kepmenperindag no 350/MPP/12/2001 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK.
Bedasarkan Pasal 42 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/2001, menyatakan bahwa putusan BPSK merupakan
putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Namun pada Pasal 41 ayat
(3)

Keputusan

Menteri

Perindustrian

dan

Perdagangan

Republik

Indonesia

Nomor

350/MPP/Kep/12/2001, menyatakan bahwa konsumen atau pelaku usaha yang menolak putusan
BPSK, dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya dalam waktu
14 (empat belas) hari ketiga terhitung sejak keputusan BPSK diberitahukan. Para pihak ternyata
masih bisa mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari setelah
pemberitahuan putusan BPSK.

Kendala Yang Dihadapi Oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam
Menyelesaikan Sengketa Konsumen yaitu kendala kelembagaan, pendanaan, sumber daya
manusia, dan rendahnya kesadaran hukum perlindungan konsumen.
B. Saran
Kesadaran konsumen bahwa mereka memiliki hak dan kewajiban serta perlindungan
hukum atas mereka harus diberdayakan dengan meningkatkan kualitas pendidikan yang layak
atas mereka, mengingat faktor utama perlakuan yang semena-mena oleh produsen kepada
konsumen adalah kurangnya kesadaran serta pengetahuan konsumen akan hak-hak serta
kewajiban mereka.
Pemerintah sebagai perancang, pelaksana serta pengawas atas jalannya hukum dan UU
tentang perlindungan konsumen harus benar-benar memperhatikan fenomena-fenomena yang
terjadi pada kegiatan produksi dan konsumsi dewasa ini agar tujuan para produsen untuk mencari
laba berjalan dengan lancar tanpa ada pihak yang dirugikan, demikian juga dengan konsumen
yang memiliki tujuan untuk memaksimalkan kepuasan jangan sampai mereka dirugikan karena
kesalahan yang diakibatkan dari proses produksi yang tidak sesuai dengan setandar berproduksi
yang sudah tertera dalam hukum dan UU yang telah dibuat oleh pemerintah.
Kesadaran produsen akan hak-hak konsumen juga sangat dibutuhkan agar tercipta
harmonisasi tujuan antara produsen yang ingin memperoleh laba tanpa membahayakan
konsumen yang ingin memiliki kepuasan maksimum. Perlu adanya perubahan-perubahan
terhadap kaedah-kaedah yang mengatur Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK),
sehingga BPSK dapat berperan lebih aktif.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Devisi Buku
Perguruan Tinggi PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Gunawan Wijaya. 2005. Seri Bisnis Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Husni Syawali & Neni Sri Imaniyati. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen.Bandung:CV.
Mandar Maju.
Adi, Nugroho Susanti. 2008. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya. Jakarta : Kencana Group.
Celina, Tri Siwi Kristiyanti. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika.
Wijaya, Gunawan dan Ahmad Yani. 2003. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Cetakan
Ketiga, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniyati. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung:
Mandar Maju.
Sidabolok, Janus.2006. Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Rahmadi, Usman. 2003. Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan. Bandung: Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 301/MPP/Kep./10/2001 Tentang
Pengangkatan, Pemberhentian Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/MPP/Kep./12/2001 tentang Tugas
dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.