KATA PENGANTAR - TUGAS AKHIR

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan limpahan karunia, nikmat
kesehatan dan kesempatan sehingga makalah ini dapat Penulis selesaikan
walaupun dalam penyajiannya masih sangat sederhana.
Selanjutnya izinkanlah Penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas akhir semester pada
mata kuliah Teori Pembangunan, terutama kepada :
1. Bapak Dr. Sulaeman Fatta, M.Si. selaku pengampuh mata kuliah yang telah
memberikan banyak bekal untuk menatap dan mendalami beberapa konsep
pembangunan.
2. Keluarga tercinta, isteri Muflihah,S.Pd.,M.Si. yang senantiasa memberikan
motivasi dan dorongan untuk selalu menyelesaikan studi.
3. Rekan-rekan Mahasiswa S2 Jurusan MSDA dan AKP kelas H, angkatan 2016.
Semoga segala bantuan dan partisipasi dapat bernilai ibadah di sisi-Nya dan
kepada bapak pengampuh mata kuliah untuk memberikan masukan, saran dan
koreksi demi perbaikan tugas-tugas di masa-masa yang akan datang.

Makassar, Desember 2016
Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Pembangunan masyarakat diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat, dimana mereka mampu mengindentifikasikan kebutuhan dan masalah
secara bersama (Raharjo Adisasmita, 2006:116). Ada pula yang mengartikan bahwa
pembangunan masyarakat adalah kegiatan yang terencana untuk menciptakan
kondisi-kondisi bagi kemajuan sosial ekonomi masyarakat dengan meningkatkan
partisipasi masyarakat. Pakar lain memberikan batasan bahwa pembangunan
masyarakat

adalah

perpaduan

antara


pembangunan

sosial

ekonomi

dan

pengorganisasian masyarakat (Raharjo Adisasmita, 2006). Pembangunan sector
sosial ekonomi masyarakat perlu diwujudkan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, yang didukung oleh organisasi dan partisipasi masyarakat yang
memiliki kapasitas, kapabilitas, dan kenerja yang secara terus menerus tumbuh dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat. Program-program masyarakat yang
disusun (disiapkan) harus memenuhi kebutuhan masyarakat. Perencanaan yang
menyusun program-program pembangunan atau industri-industri yang membangun
kegiatan usahanya di suatu daerah harus melakukan analisis kebutuhan
masyarakat. Dalam melakukan analisis kebutuhan harus benar-benar dapat
memenuhi kebutuhan (needs analisis), dan bukan sekedar membuat daftar
keinginan (list of wants) yang bersifat sesaat.


Analisis kebutuhan harus dilakukan secara cermat agar dapat menggali
kebutuhan-kebutuhan yang sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat banyak,
bukan merupakan keinginan beberapa orang saja, apakah tokoh masyarakat, atau
kepala desa yang mempunyai kewenangan menentukan keputusan. Dalam
Community Development (pembangunan masyarakat) mengandung upaya untuk
meningkatkan partisipasi dan rasa memiliki (participating and belongingtogether)
terhadap program yang dilaksanakan, dan harus mengandung unsur pemberdayaan
masyarakat.

1.2.

Paradigma Pembangunan

Paradigma diartikan sebagai suatu kesepakatan beberapa ilmuwan (pakar)
dalam

kurun

waktu


tertentu

tentang

“mengapa”, “apa”,

dan

“bagaimana”

pembangunan itu dilaksanakan Mengapa-apa-bagaimana itu dipengaruhi oleh ciri
atau karakteristik yang menjiwai suatu masa tertentu. Waktu, tempat dan peristiwa
memberi ciri atau warna tertentu terhadap suatu masa dimana para pakar hidup dan
berkarya. Perkembangan paradigma umumnya berlangsung secara evolusioner,
tetapi dapat pula secara revolusioner (drastis). Pembangunan masyarakat
(pedesaan) pada masa yang lalu mendasarkan pada azas pemerataan yang
penerapannya diarahkan secara sektoral dan pada setiap desa.
Meskipun


dana/anggaran/bantuanpembangunan

pedesaan

jumlahnya

relative cukup besar, tetapi jika dibagi secara merata maka masing-masing desa
memperoleh jumlah dana yang relative kecil, sehingga pemanfaatannya kurang
berhasil

(Raharjo

Adisasmita,

2006).

Meskipun

paradigma


pambangunan

berazaskan pemerataan dan penanggulangan kemiskinan, masiht etap penting,

namun terdapat pergeseran menuju paradigma pembangunan partisipasi pelaku
pembangunan ekonomi masyarakat yang menuntut kerangka perencanaan
pembangunan spasial (tata ruang).
Kebijakan pembangunan berwawasan spasial itu harus dapat

pertanyaan

mendasar yang berkaitan dengan peningkatan partisipasi dan produktivitas
penduduk/masyarakat, yakni sebagai berikut: 1. Bagaimana dapat mendorong
partisipasi masyarakat, terutama keluarga-keluargaberpendapatan rendah dalam
prosespembangunan; 2. Bagaimana dapat menciptakan dan meningkatkan kegiatan
perekonomian antar sektor di tingkat pedesaan dan antar pedesaan; 3. Bagaimana
dapat menyusun perencanaan dan program pembangunan yang benar-benar
dibutuhkan masyarakat pedesaan; 4. Bagaimana dapat mengaktualisasikan
peranserta masyarakat yang telah lama melembaga di tengah tradisi masyarakat
seperti gotong-royong,rembung desa, dan lain sebagainya. Sedangkan menurut

Didin S.Damanhuri, beliau menyatakan bahwa paradigma baru pembangunan
tersebut mengandung beberapa elemen strategis yakni: pemberdayaan ekonomi
rakyat

(development asapeople empowerment), pengembangan kualitas sumber

daya manusia dan penguasaan teknologi (human resource development and
technological deepening), penciptaan pemerintah yang bersih dan efesien (good
and clean govermance) ( Didin S Damanhuri, 1997 : 80 ).

1.3.

Prinsip Pembangunan Masyarakat

Meskipun pembangunan masyarakat selalu menjadi fokus perhatian
pemerintah sejak lama, namun azas dan strategi pembangunan masyarakat
(pedesaan) seringkali mengalami perubahan. Dalam rezim Orde Baru paradigma
pembangunan mengacu pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan
pembangunan. Kapitalisasi sektor pertanian untuk meningkatkan produksi dan
produktivitas serta integrasi dengan pemasaran yang lebih luas (ekspor)

dilaksanakan melalui program antara lainya itu Bimbingan Massal (Bimas) yang
pada hakekatnya merupakan pendekatan “top down” yang berorientasi pada
pencapaian target.
Pembangunan pedesaan didasarkan pada teori modernisasi dan dilakukan
melalui penerapan satuan produksi yang padat modal ke dalam sector pertanian
tradisional yang padat karya dengan harapan mendorong distribusi pendapatan
melalui “trickling downeffect” dan pemanfaatan teknologi modern. Pendekatan ini
mengakibatkan ketergantungan masyarakat desa pada pemerintah. Intervensi
pemerintah cenderung bertambah besar, misalnya dalam pembangunan irigasi
tersier, pengelolaan lumbung desa, dan lain sebagainya. Pembangunan yang
didesain oleh pemerintah selama orde baru, pada dasarnya mengingkari konsep
ideal pembangunan itu sendiri. Dalam tatanan ideal pembangunan seharusnya
menjadi tanggung jawab bersama antar pemerintah dan rakyat melalui community
power-nya, sehingga tidak akan terjadi pengklaiman bahwa pemerintah sebagai
penanggung jawab pembangunan.

Sentralistik dan uniformalitas yang dibangun oleh rezim orde baru telah
menyebabkan lumpuhnya partisipasi dan kreatifitas masyarakat bawah. State
formation yang sangat ekspansif telah merusak struktur dan kelembagaan sosial
yang telah lama tergantikan dengan struktur dan kelembagaan birokrasi yang sumir

dan formalitas (Suparjan, 2003:20). Dengan demikian proses pembangunan yang
dilakukan ternyata tidak mampu mewujudkan tujuan idealnya yaitu memperluas
kapabilitas masyarakat dan membuat mereka lebih berdaya.
Community power

adalah roh dari masyarakat itu sendiri, sehingga

seharusnya akan selalu muncul dan tampak dalam setiap satuan masyarakat yang
ada. Berangkat dari kegagalan pendekatan pembangunan yang berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi tersebut, kemudian muncul gagasan untuk melakukan
perubahan paradigma pembangunan kearah yang lebih manusiawi. Namun
demikian perubahan tersebut baru menemukan formatnya secara utuh, sejak
jatuhnya rezim orde baru khusunya ketika lahir Undang-Undang No.2 Tahun 1999
tentang otonomi daerah. Hal ini menjadi landasan hukum bagi setiap daerah untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Masyarakat diberikan peran yang lebih
besar dalam pembangunan daerah dan dituntut berkreativitas dalam mengelola
potensi daerah serta memprakarsai pelaksanaan pembangunan daerah.

1.4.


Pendekatan Dalam Pembangunan

Bintoro dan Moestopadidjaja menyatakan bahwa pembangunan bagi
negara-negara yang baru mencapai kemerdekaannya setelah PD II terarah pada
usaha untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan tradisional dan hambatan-hambatan
transisional menuju tingkat stabilitas dan kemajuan tertentu. Terkait dengan masalah
tersebut, dikemukakannya pula bahwa pendekatan pembangunan yang seyogyanya
ditempuh negara-negara tersebut adalah Pembangunan Bangsa (Sociocultural
Development) dan Pembangunan Ekonomi (EconomicDevelopment).
1. Pendekatan Pembangunan Bangsa (Sociocultural Development Approach)
Pendekatan pembangunan bangsa tidak hanya menekankan pembangunan
fisik saja, melainkan juga mental dan kultur masyarakatnya. Pendekatan ini telah
memberikan wacana baru terhadap studi pembangunan di samping pembangunan
disamping

pendekatan-pendekatan

pembangunan


ekonomi.

Pendekatan

pembangunan bangsa terus mengalami perkembangan yang sangat penting, baik
dari segi pengertian maupun ruang lingkupnya. Dari segi pengertian, terkandung
suatu makna yang sangat dalam dan komprehensif, sehingga banyak dijadikan
sebagai konsep pembangunan di berbagai negara, seperti Inggris, Amerika, Jerman,
bahkan Indonesia. Sedangkan dari segi ruang lingkup, tampak adanya dua
permasalahan yang menurut Bintoro dan Mustopadidjaja meliputi: pertama,
mengenai pembangunan politik (political development); dan kedua, mengenai
pembangunan sosial budaya (socio-cultural development).

1.a. Pembangunan Politik (Political Development)
Pembangunan politik dapat dikatakan sebagi suatu proses pembinaan
bangsa (nation building). Hal ini akan dimengerti dengan mengacu pada pendapat
Esman (1971) yang memberikan pengertian tentang pembinaan bangsa. Dia
menyatakan bahwa “usaha sistematis dan terpadu dalam pembangunan masyarakat
politik, sebenarnya merupakan bagian dari pembangunan politik”. Sementara W.
Pye (1966) menganggap bahwa pembangunan politik adalah pembinaan bangsa.
Dan Esman mengangap bahwa pembinaan bangsa tersebut merupakan bagian dari
pembangunan politik. Ada dua hal yang dapat ditarik dari pembangunan tersebut,
yaitu: pertama, apapun perbedaannya, pembangunan politik dan pembinaan bangsa
tidak dapat dipisahkan. Ini berarti bahwa keduanya harus dijalankan secara
bersama-sama dalam kurun waktu yang sama pula (simultan). Kedua, bahwa
pembangunan politik dan pembinaan bangsa merupakan dua hal penting yang tidak
bisa ditinggalkan dalam konteks pembangunan secara umum.
Pembangunan politik sebagai suatu proses pembinaan bangsa tidak hanya
memilki sasaran-sasaran untuk melakukan perubahan-perubahan institusional
dalam sistem pemerintahan dan politik, tetapi juga dalam sistem kelembagaan sosial
dan ekonomi suatu bangsa, yang menurut Bintoro dan Mustopadidjaja lebih dikenal
sebgai aspek pembangunan sosial budaya .
Dalam pendekatan pembangunan politik ini ada tiga aspek penting yang
perlu diperhatikan, terutama dalam kaitannya dengan masalah pembinaan sistem
kelembagaan yang oleh Esman dikemukakan sebagai berikut:

a.1.

Adanya elit penguasa yang mendorong dan mengarahkan perubahan
(modernisasi);

a.2. Adanya doktrin yang mendasari norma-norma, prioritas, peralatan dan strategi
elit penguasa tersebut;
a.3. Adanya seperangkat peralatan yang menjamin komunikasi dua arah dan yang
mampu menerjemehkan komitmen-komitmen politik kedalam suatu program
operasional.
1.b. Pembangunan Sosial Budaya (Socio Cultural Development)
Bukti empirik yang terjadi di beberapa negara dalam proses pembangunan,
seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, dan sebagainya, menunjukkan bahwa
masalah politik, ekonomi, sosial budaya selalu menjadi faktor yang saling
mempengaruhi.
Pembangunan yang hanya menekankan pada salah satu faktor saja
dipastikan

tidak

akan

dapat

mempertahankan

kontinuitas

dan

stabilitas

pelaksanaannya, bahkan bisa mengalami kegagalan yang lebih parah, karena
kurang memiliki relevansi yang kuat terhadap hakikat pembangunan itu sendiri.
Dibeberapa negara berkembang, pembangunan cenderung memfokuskan
pada salah satu bidang saja (misalnya: ekonomi). Dengan alasan utama
keterbelakangan ekonomi, pembangunan dalam bidang ini diharapkan dapat
mendorong perubahan-perubahan dan pembaharuan-pembaharuan lain dalam
kehidupan masyarakat. Akan tetapi hal itu menjadi sulit tercapai jika bidang-bidang
sosial

lainnya

diabaikan.

Contoh

kasus

yang

terbaru

dalam

pendekatan

pembangunan seperti itu adalah pembangunan di Indonesia di masa Orde Baru.

Mengingat itu semua perlu dilakukan pembangunan sosial dan budaya
dalam arti yang lebih luas, dimana pembangunan diarahkan untuk mewujudkan
perubahan-perubahan

dan

pembaharuan-pembaharuan

dalam

kehidupan

masyarakat secara menyeluruh, meliputi aspek-aspek yang terkait di dalamnya, dan
tidak dilaksanakaan secara parsial, melainkan dilaksanakan secara sinergis dan
simultan dalam suatu proses pembangunan. Konsep itu sejalan dengan pendapat
yang

dikemukakan

oleh

Bintoro,

yang

menyatakan

“…perhatian

terhadap

pembagunan ekonomi saja sudah di akui tidak memberikan jaminan suatu proses
pembangunan nasional yang stabil dan kontinue, apabila diabaikan berbagai segi di
bidang sosial lainnya.
2. Pendekatan Pembangunan Ekonomi (Economic Development Approach)
Pendekatan pembangunan ekonomi dapat dibagi dalam tiga aliran yang
dikenal dengan aliran klasik, Keynesian, dan neo klasik.
2.a.

Aliran Klasik.

Tokoh sentral yang sangat terkenal dalam aliran klasik, adalah Adam Smith,
yang memiliki dasar ajaran individualisme dengan semboyan “laissez faire, laissez
passez, et le monde va de lui me me”, yang secara harfiah dapat diartikan “biarkan
melakukan, biarkan lewat, dan dunia akan berjalan sendiri”. Dalam kaitannya
dengan masalah pembangunan ekonomi, semboyan tersebut dapat diartikan
“biarkanlah masyarakat mengatur urusan perekonomiannya sendiri secara alamiah,
dan pemerintah tidak perlu campur tangan di dalamnya”.

Adam Smith sangat percaya bahwa tanpa campur tangan pemerintah akan
terbentuk keseimbangan dalam sistem perekonomian masyarakat. Harga yang
ditentukan oleh mekanisme pasar menurutnya akan mempengaruhi produksi,
alokasi, pendapatan dan distribusi serta konsumsi. Dengan demikian, harga yang
terbentuk

dipasar

akan

mengatur

rencana

produksi,

pengalokasian,

serta

pendistribusiannya secara ilmiah, sehingga secara ilmiah pula akan berdampak
terhadap pertumbuhan ekonomi.

Dengan keyakinan mengenai adanya faktor

alamiah yang tidak tampak atau invisible hand tersebut, ia berpendapat bahwa akan
terbentuk natural order dan natural price dalam perekonomian.
Ajaran Adam Smith ini dalam prakteknya banyak menimbulkan kepincangan
sosial, yang memunculkan jurang pemisah yang sangat dalam diantara pelaku
ekonomi dan masyarakat secara umum. Semangat individualisme yang kental dalam
ajarannya tersebut telah menyebabkan munculnya golongan-golongan ekonomi
yang sangat “timpang’, dimana yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin
semakin miskin, karena “siapa yang kuat dialah yang menang”.
Ajaran Smith mulai terbantah dan ditinggalkan seiring dengan terjadinya
kelesuan ekonomi dunia sekitar tahun 1929, ketika terjadi Great Depression yang
melanda perekonomian dunia, khususnya di Eropa barat dan dunia. Selanjutnya,
aliran lain yang masih tergolong aliran klasik adalah ajaran ekonomi komunitas atau
yang lebih dikenal dengan Marxisme. Marxisme sangat dipengaruhi oleh sosialisme,
sehingga beberapa kalangan mengidentikkan kedua ajaran tersebut.

Tokoh ekonomi klasik lainnya yang dikenal dalam sejarah pemikiran
pembangunan ekonomi antara lain adalah David Ricardo (1917), Robert Malthus
(1798), dan Jhon Stuart Mill. Bagi Smith, penduduk secara pasti merupakan tenaga
produksi yang akan melahirkan perluasan pasar dan perkembangan ekonomi.
Dengan meluasnya pasar, akan terbuka inovasi-inovasi baru yang pada gilirannya
akan mendorong perluasan pembagian kerja dan mendorong pertumbuhan
ekonomi.
Sejalan dengan Smith adalah pandangan Mill yang menyatakan bahwa
“dengan spesialisasi dan pembagian kerja, keterampilan tenaga kerja dan
produktivitas akan meningkat; dengan demikian ekonomi akan tumbuh” [6] .
Sedangkan Ricardo dan Malthus bahwa dalam jangka panjang perekonomian akan
mengalami stationary state (tidak berkembang), karena perkembangan penduduk
akan melebihi kecepatan pembangunan ekonomi.
2.b.

Aliran Keynesian

Aliran Keynesian membantah ajaran Smith, karena menurutnya campur
tangan pemerintah secara tidak langsung dalam sistem perekonomian masyarakat
sangat diperlukan. Aliran Keynesian ini dapat pula dikatakan sebagai antitesa dari
ajaran Smith dan Marx.
Pandangan Keynes (1936) lebih memfokuskan perhatiannya pada analisis
ekonomi jangka pendek, dimana pada saat itu dunia sedang mengalami depresi dan
pengangguran. Menurut Keynes, dalam General theory-nya, malapetaka yang terjadi
di Amerika dan dunia barat pada umumnya disebabkan oleh kurangnya penanaman
modal dari para pengusaha. Maka untuk mengatasinya “pemerintah harus turun
tangan”.

Dampak yang ditimbulkan dari pandangan Keynes ini antara lain adalah
berkembangnya model pertumbuhan yang dikembangkan oleh Harrod (1948) dan
Domar (1946) yang pada intinya menekankan pada pentingnya aspek permintaan
dalam mendorong pertumbuhan jangka panjang. Menurut mereka, pertumbuhan
ekonomi akan ditentukan oleh dua unsur pokok, yaitu tingkat tabungan atau
investasi dan produktivitas kapital (Capital Output Ratio).
Menurut teori ini, masyarakat dakam suatu sistem perekonomian dituntut
untuk memiliki tabungan sebagai sumber investasi. Hipotesa yang dianutnya adalah
bahwa semakin besar tabungan dan investasi, semakin tinggi pertumbuhan
ekonomi. Sebaliknya, makin rendah produktivitas kapital atau semakin tinggi capital
output ratio, makin rendah pertumbuhan ekonomi.
Bila Harrod-Domar lebih menekankan pada pentingnya modal, Arthur Lewis
(1994) dengan model Surplus of Labor lebih menekankan pentingnya peranan
penduduk sebagai tenaga kerja. Menurutnya, pengusaha dapat meningkatkan
produksinya dengan mempekerjakan tenaga kerja yang banyak tanpa harus
meningkatkan upahnya.
2.c. Aliran Neo-Klasik
Menurut kaum neo-klasik, laju pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh
pertambahan dalam penawaran faktor-faktor produksi dan tingkat kemajuan
teknologi. Dalam teori neo-klasik, teknologi dianggap sebagai faktor eksogen yang
tersedia untuk dimanfaatkan oleh negara didunia.

Dalam perkembangan teori pertumbuhan ekonomi selanjutnya, ada suatu
pemikiran yang menyatakan peran perdagangan sebagai faktor penting di luar
modal dan tenaga kerja. Selain factor-faktor produksi, seperti modal, tenaga kerja,
dan teknologi yang digunakan, perdagangan dipandang sebagai faktor yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan suatu negara. Tokoh yang mengemukakan hal ini
adalah Nurkse (1953) yang menunjukkan bahwa perdagangan merupakan mesin
pertumbuhan selama abad ke-19 bagi negara-negara yang sekarang termasuk
kelompok negara maju, seperti AS, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Gambaran Sosok Gubernur Prof. Dr. A. Amiruddin

Sebelum membahas pendekatan pembangunan di Sulawesi Selatan pada
era kepemimpinan Prof Dr. A. Amiruddin, terlebih dahulu Penulis memaparkan
sekilas profil dari beliau. Beliau adalah Gubernur ke-4 di masa Orde Baru, karena
“dicari” oleh Presiden Soeharto. Dia memimpin tanpa melalui proses politik yang
ribet, seperti pasca-reformasi. Dia adalah sosok pemimpin yang membangun
dengan visi mensejahterakan rakyat, bukan janji untuk mensejahterakan rakyat.
Konsep pembangunannya adalah menjadikan rakyat mandiri tidak tergantung
kepada program dan dana pemerintah. Dia adalah gubernur, yang lain adalah
“pengganti” atau mantan gubernur.
Jenderal

M.

Jusuf

yang

saat

itu

menjabat

Menhankam/Pangab

merekomendasikan Amiruddin untuk menjadi Gubernur Sulsel. Ia menghadap
langsung pada Presiden Soeharto mengusulkan agar Amiruddin diberi kesempatan
memimpin Sulsel. Usulan itu diterima, penunjukan Amiruddin sebagai gubernur
menuai pujian. Pasalnya, di rezim Orde Baru, sangat jarang jabatan kepala daerah
bisa dijabat oleh orang sipil. Kekuasaan Orde Baru lekat dengan hegemoni militer.
Hampir semua kepala daerah saat itu dijabat oleh ABRI.

Ia menjabat selama dua periode dari tahun 1983 hingga 1993, sebagai
gubernur ia pertama kali yang mengenalkan Sulsel dengan konsep ekonomi
kawasan. Program tri konsep pengwilayahaan komoditas, perubahan pola pikir, dan
petik olah jual, dan menjadikan Sulsel sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di
kawasan timur Indonesia. Serta menjadikan Sulsel sebagai lumbung pangan
nasional.
Pemindahan Kantor Gubernur Sulsel dari Jl. Jenderal Ahmad Yani di pusat
kota yang sesak ke Jl. Urip Sumoharjo serta restorasi Benteng Somba Opu juga
dilaksanakan ketika masa pemerintahannya. Prof Amiruddin-lah yang merelokasi
dan memodernisasi kampus Unhas Barayya ke Tamalanrea. Dengan lobi gaya Orde
baru dipindahkannya Unhas dari kota urban di kawasan Bara-barayya, ke
Tamalanrea, sekitar 10 km sebelah timur Makassar. Kelak inilah pusat pendidikan
paling terintegrasi di timur Indonesia.
Di eranyalah modernisasi pemerintahan dan infrastruktur pemerintahan
ditata. Dia “mengubah” lahan pekuburan China menjadi kantor Gubernur Sulsel.
Idenya strategis sekaligus monumental. Prof Dr Taslim Arifin, Ketua tim penilai Kalla
Award 2012, memberikan catatan kenapa Amiruddin laik dapat penghargaan
Maestro Pendidikan. “Guru besar Unhas dan ahli atom ini boleh dibilang paripurna di
dunia pendidikan. Hampir separuh dosen dan pengajar Unhas yang kini berkiprah
atas desakannya untuk menyekolahkan mereka ke jenjang lebih tinggi. Tidak saja itu
dia juga melakukan restorasi besar-besaran untuk kampus Unhas,” kata dosen
Ekonomi Unhas

Dia adalah sosok to macca (intelektual) Bugis yang memulai jenjang
pendidikan kampung bersendi religis, dari desa di Wajo, lalu ke kota Sengkang, ke
Makassar, ke Bandung lalu ke tugas belajar ke Amerika. Dia peraih gelar
doktorandus, saat ini selevel dengan sarjana S1, saat Intsitut Teknologi Bandung
(ITB) bernama Universitas Indonesia Bandung (1952). Dan dia sarjana di Bagian
Kimia, Fakultas Ilmu Pasti dan Alam.
Dia adalah lelaki Bugis pertama yang meraih gelar Doctor of Philosophy
(PhD) dari Universitas Lexington, Kentucky, Amerika 1958-1961. Ia doktor atom, inti
dari segala material di bumi. Dia-lah intelektual Muslim Indonesia yang saat ICMI
mengelelah majalah Ulumul Quran, 1990-an dia membahas soal zarrah, (intoi atom)
sebagaimana ternukil dalam Alquran.
Prof Amiruddin bukan sosok pemimpin yang protokoler, meski di masanya
protokoler adalah segala-galanya bagi pejebat se-level Kepala Daerah Tingkat I.
Suatu saat, di awal dia merintis Kampus Unhas Tamalanrea, di akhir dekade 1970an, saat Menteri Pendidikan Kabinet Pembangunan II Soeharto (1974 -1978) M
Syarif Tayeb berkunjungan ke kampus Unhas Barabaraya. Kala itu Amiruddin, baru
memulai masa jabatan keduanya sebagai Rektor Unhas (1973-1983), Amiruddin rela
menjadi sopir mengantar Pak Menteri keliling kampus Unhas.
Dia cerdik bak kancil. Ia teknorat yang tahu kekuatan diplomasi anggaran.
Prof Amir tak membawa si menteri melewati jalan mulus beraspal, namun Prof
Amiruddin

justru

sengaja

mencari

jalan

berlubang

dan

berkubang.

Dari

“kecerdikannya” itu dia meyakinkan atasannya di bapak menteri kelahiran
Peureulak, Aceh itu, bahwa “sudah saatnya Unhas direlokasi ke wilayah yang laik
menjadikannya kampus modern dan nomor satu di Indonesia.

Tak banyak petinggi Unhas orang mengetahui rencana dadakan tersebut.
Memang kala itu, rencana prof Amir juga masih kontroversi. Banyak dosen senior
yang tinggal di Perumahan Dosen Barayya dan Jalan Sunu, juga enggan direlokasi.
Dia teguh pada visi dan rencananya. Dia bukan sosok yang bekerja berdasarkan
opini publik, seperti kebanyakan pemimpin masa kini. Kala itu, senat Unhas banyak
yang protes karena dianggap kampus Tamalanrea terletak di Jalan Maros (kini Jl
Perintis Kemerdekaan, Km 10).
Dan dia sukses. Dua tahun kemudian, tepatnya di acara Dies Natalis ke – 25
Unhas, tanggal 17 September 1981, Presiden RI Soeharto datang menandatangani
prasasti peresmian kampus merah berarsitek Ayam Jantan dari timur yang
menghadap ke barat.Dia ingin Unhas berlayar laiknya perahu phinisi. Setelah
kampus Unhas berdiri megah, cuma tiga bulan Prof Amiruddin menikmatinya. Suatu
hari, saat rektor dijabat pelanjutnya Prof Basri Hasanuddin, Prof Amiruddin bahkan
harus diceburkan ke danau yang dibuatnya di kampus Unhas. Saat itu, Menristek
BJ Habibie mendorong Prof Amiruddin hingga tercebur ke danau. Tapi itu memang
nazar Prof Amiruddin, setelah dia berhasil membangun kampus Unhas Tamalanrea.
Pak Amir adalah sosok yang visioner. Visi pembangunan menuju arah yang
lebih baik di masa depan, selalu dipikirkan dan dipertimbangkan dengan matang.
Proyek pembangunan pun, tidak hanya berpusat di kota ibu kota Sulsel, Makassar,
melainkan merata hampir ke seluruh pelosok wilayah di Sulawesi Selatan. Maka, tak
heran jika kemudian Pak Amir dinobatkan sebagai Gubernur teladan dan terbaik
yang pernah ada di Sulawesi Selatan.Citra ini pulalah yang senantiasa melekat pada
diri beliau dikemudian hari, setelah pensiun dari jabatan Gubernur. Tentu, banyak
generasi muda saat ini yang tak tahu sejarah dan sepak terjang Pak Amir ketika
masih menjabat sebagai Gubernur. Bahkan, sebagian besar generasi tua juga

kurang akrab dengan karakter kepemimpinan dan kepribadian Pak Amir. Tapi, bagi
mereka yang tinggal dan bermukim di Makassar, tentu tak akan pernah lupa bahwa
Sulsel pernah memiliki seorang pemimpin yang arif, pekerja keras dan ramah
terhadap sesama. Memori kenangan yang indah bersama Pak Amir, senantiasa
mencuat ke publik. Bahkan, terkadang keberhasilan kinerja dan karakter beliau
sering dijadikan sebagai bahan perbandingan dengan beberapa Gubernur
setelahnya. Memang, kerja keras Pak Amir dapat dinikmati oleh semua kalangan
masyarakat di Sulsel. Hal itu karena Pak Amir merupakanGubernur yang senantiasa
bersentuhan langsung dengan problematika yang dihadapi masyarakat.
Kunjungan dadakan ke berbagai kabupaten di Sulawesi Selatan seringkali
dilakukan Pak Amir ketika masih menjabat sebagai Gubernur. Baginya, kunjungan
dadakan merupakan evaluasi yang paling efektif untuk mengetahui kondisi real di
lapangan. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali Pak Amir mendapati fakta dari
bawahannya yang tidak sesuai dengan hasil laporan yang dia baca di atas meja
ataupun laporan langsung dari bawahannya. Bahkan beberapa kali pejabat di
bawahnya,seperti Bupati dan Camat dipermalukan dan ditegur karena keteledoran
mereka mengurus rakyat. Kita bisa menyimak cerita fajar edisi mengenang pak
Amir, dikisahkan bahwa pernah suatu ketika, Pak Amir melakukan sidak ke salah
satu kabupaten di Sulsel, untuk meninjau realisasi kebun bibit bantuan pemerintah
Provinsi. Bupati yang bersangkutan membuat laporan dengan sangat rapi, lengkap
dengan peta dan sebagainya. Setelah terjung langsung ke lapangan, Pak Amir
melihat adanya kejanggalan dalam laporan tersebut. Banyak data yang dipalsukan
dan tidak sesuai dengan realita sebenarnya. Teguran dan peringatan pun tak segansegan beliau lontarkan di hadapan publik untuk mempermalukan salah satu
bawahannya itu. Ini seringkali dilakukan oleh Pak Amir semasa menjabat sebagai

Gubernur Sulsel. Sebagian dari kita juga masih ingat prestasi Pak Amir yang
berinistaif membangun jalan poros Mamuju-Palu, selama tiga tahun. Jalan ini
menjadi jalur alternatif dan penghubung antara dua provinsi, Sulsel dan Sulteng.
Pembangunan ini menjadikan perekonomian masyarakat antar kota dan provinsi
berjalan dengan lancar. Beliau juga pernah membangun Pelabuhan Belang-Belang,
yang memudahkan para transmigran menyeberang ke pulau Kalimantan. Masih
banyak lagi keberhasilan beliau selama menjadi Gubernur. Maka, tak ada keberatan
jika gelar “Bapak Pembangunan Sulawesi Selatan” melekat pada diri beliau.
Semoga Gubernur mendatang bisa menjadikan beliau sebagai inspirasi dalam
membangun dan mengembangkan Sulawesi Selatan.

2. Analisis Pendekatan Pembangunan di Era Gubernur Prof.Dr. A .Amiruddin
Dalam pemahaman sederhana, pembangunan diartikan sebagai proses
perubahan kearah yang lebih baik, melalui upaya yang dilakukan secara terencana.
Pembangunan dalam sebuah negara sering dikaitkan dengan pembangunan
ekonomi (economic development). Pembangunan ekonomi adalah suatu proses
kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan
adanya peningkatan jumlah dan produktifitas sumber daya, termasuk pertambahan
penduduk, disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu
negara serta pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara. Hal ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh Sumitro dalam Deliarnov (2006:89), bahwa
proses pembangunan ekonomi harus merupakan proses pembebasan, yaitu
pembebasan rakyat banyak dari belenggu kekuatan-kekuatan ekonomi, dan
pembebasan negara-negara berkembang dari belenggu tata kekuatan ekonomi
dunia.

Secara terminologis, di Indonesia pembangunan identik dengan istilah
development,

modernization,

westernization,

empowering,

industrialization,

economic growth, europanization, bahkan istilah tersebut juga sering disamakan
dengan term political change. Identifikasi pembangunan dengan beberapa term
tersebut lahir karena pembangunan memiliki makna yang multi-interpretable,
sehingga kerap kali istilah tersebut disamakan dengan beberapa term lain yang
berlainan arti (Moeljarto Tjokrowinoto, 2004). Makna dasar dari development adalah
pembangunan. Artinya, serangkaian upaya atau langkah untuk memajukan kondisi
masyarakat sebuah kawasan atau negara dengan konsep pembangunan tertentu.
Berbicara tentang pembangunan di era kepemimpinan Prof. Dr. A.
Amiruddin, selain dikenal sebagai pionir dalam bidang kimia, Amiruddinlah pada
masa kepimimpinannya sebagai gubernur Sulsel memperkenalkan konsep ekonomi
modern dengan program tri konsep yakni pengwilayahan komoditas, perubahan pola
pikir, dan petik olah jual.
Dengan konsep tersebut, putra Sulsel kelahiran tanah Wajo ini menanamkan
visi ekonominya dan menjadikan Sulsel sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di KTI
dan sebagai daerah penyangah pangan nasional.

Sosok yang mengubah wajah

Sulawesi Selatan dengan pemikirannya yang sangat brilian. Pemikirannya mengenai
perubahan pola pikir dianggap sebagai sebuah revolusi berpikir orang Sulawesi
Selatan. Dia mencoba mengubah perilaku orang Sulawesi Selatan dalam
berpertanian dengan jalan ‘’petik, olah, jual’’. Komoditas yang dihasilkan Sulawesi
Selatan tidak diboleh petik lalu langsung dijual, tetapi harus melalui pengolaharan
dulu untuk meningkatkan nilai tambahnya.
Saat memimpin Sulawesi Selatan, Amiruddin pulalah yang memindahkan
Kantor Gubernur Sulawesi Selatan dari Jl.Jenderal A.Yani di pusat kota yang sesak

ke Jl.Urip Sumoharjo, di atas bekas pekuburan Tionghoa Makassar. Benteng Somba
Opu yang terkubur hamper 300 tahun kembali direstorasi dengan komandan proyek
Dr.Mukhlis Paeni. Amiruddin menghajatkan kawasan benteng itu dijadikan sebagai
Taman Mini Sulawesi, namun yang terwujud barulah sebagai Taman Mini Sulawesi
Selatan. Sejumlah rumah adat dari seluruh kabupaten dan kota dibangun di
kawasan benteng tersebut. Namun sayang, seiring dengan perkembangan otonomi
dan demokrasi di Indonesia, rumah-rumah yang pernah digagas Amiruddin itu
kurang terpelihara.
Pembangunan

masyarakat

harusnya

menerapakan

prinsip-prinsip:

1. Transparansi (keterbukaan); 2. Partisipasi; 3. Dapat dinikmati masyarakat;
4. Dapat dipertanggungjawabkan (akuntanbilitas); 5. Berkelanjutan (sustainable)
(Soelaiman M.Munandar, 1998 : 132) dan itulah yang telah dilakukan oleh Prof.
Amir.
Perubahan paradigma pembangunan dari pembangunan yang berorientasi
pada pertumbuhan ekonomi ke arah model pembangunan alternative yang lebih
menekankan pada paratisipasi dan pemberdayaan terhadap masyarakat. Kegiatan
pembangunan yang dilaksanakan dapat dilanjutkan dan dikembangkan ke seluruh
pelosok daerah untuk seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan masyarkat ini
pada dasarnya adalah dari, oleh, dan untuk seluruh masyarakat, oleh karena itu
pelibatan masyarakat seharusnya diajak untuk menentukan visi (wawasan)
pembangunan masa depan yang akan diwujudkan. Karena masa depan merupakan
impian atau cita-cita tentang keadaan masa depan yang lebih baik dan lebih indah
dalam arti tercapainya tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.

Pembangunan masyarakat dilakukan dengan pendekatan multisektor
(holistik), partisipatif, berdasarkan pada semangat kemandirian, berwawasan
lingkungan dan berkelanjutan serta melaksanakan pemanfaatan sumber daya
pembangunan secara serasi,selaras dan sinergis sehingga tercapai secara optimal.
Dalam melaksanakan kegiatan pembangunan diperlukan kinerja yang erat antara
desa dan satu daerah/wilayah dan antar daerah/wilayah. Dalam hubungan ini perlu
selalu diperhatikan kesesuaian hubungan antar kota dengan daerah pedesaan
disekitarnya.
Pada umumnya lokasi initer konsentrasi yang mempunyai dampak
keterkaitandengan daerah-daerah sekitarnya, dengan kerja sama antar daerah/desa
maka daerah-daerah/desa-desa yang dimaksud diharapkan dapat tumbuh dan
berkembang secara serasi saling menunjang.
3. Strategi Pembangunan Masyarakat
Dalam mewujudkan tujuanpembangunan masyarakat terdapatpalingsedikit
empat jenis srategi: 1. Strategi pembangunan (growth strategy); 2. Strategi
kesejahteraan (welfare strategi); 3. Strategi yang tanggap terhadap kebutuhan
masyarakat (responsive strategy); 4. Strategi terpadu atau strategi yang menyeluruh
(integrated or holisticstrategy) (Raharjo Adisasmita, 2006)
Pada dasarnya strategi pembangunan masyarakat adalah mirip dengan
strategi pembangunan pedesaan. Azas atau karakteristik masyarakat adalah
memiliki sifat semangat masyarakat bergotong royong dan saling tolong menolong,
tidak bersifat individualitas, membangun secara bersama-sama, pelibatan anggota
masyarakat atau peran serta masyarakat adalah besar. Demikian pula dengan
masyarakat pedesaan, oleh karena itu strategi pembangunanmasyarakat atau
community development strategi mempunyai azas yang serupa dengan strategi

pembangunan pedesaan. Apa bila dikaji lebih dalam dan lebih luas konsep
communitydevelopment dapat dikembangkan sebagai mekanisme perencanaan
pembangunan yang bersifat bottom-up yang melibatkan peran serta masyarakat
dalam berbagai kegiatan perencanaan dan pembangunan perkotaan.
Dalam sistem pemerintahan yang desentralistik seperti sekarang,dimana
otonomi daerah telah dilaksanakan secara luas ternyata masih menghadapi banyak
kendala,di antaranya dana pembangunan relatif terbatas di samping kendala
operasional dan fungsional lainya, maka untuk mengatasi berbagai hambatan dalam
pelaksanaan otoda tersebut. Salah satu strategi adalah mengembangkan dan
menerapakan model community development atau model pembangunan masyarakat
yang dapat diterima masyarakat luas (acceptable) dan dapat dilaksanakan dengan
baik (implementable).
Strategi adalah cara yang dilakukan untuk mencapai sasaran atau tujuan
yang telah ditetapkan. Sebagai langkah-langkahpelaksanaandiperlukan perumusan
serangkaikebijakan (policy formulation method and technique). Strategi untuk
seluruh pembangunan adalah mewujudkan keadilan dan kemakmuran , sedangkan
kebijakan untuk membangun sektor adalah mengatasi berbagai hambatan dan
kendala yang dihadapi.
Adapun tujuan dalam pembangunan dapat dirumuskan, sebagai berikut:
1.Terciptanya kondisi umum yang mendorong pembangunan. 2.Termanfaatkannya
potensi sumber daya sehingga memberikan manfaat bagi pembangunan oleh
pemerintah setempat (yang bersangkutan), dunia usaha dan masyarakat umum.
3.Terlaksananya sejumlah investigasi dalam berbagai sektor. 4.Terlaksananya
langkah-langkah dalam melaksanakan kemudi dan dorongan bagi kegiatan dan
investasi swasta.

Secara teknis perbedaan antara strategi dan kebijakan hanya terletak dalam
ruang lingkup. Strategi merupakan siasat memenangkan suatu peperangan (the
war). Sedangkan kebijakan merupakan siasat untuk memenangkan suatu
pertempuran (the battle), sering keduanya dipersatukan menjadi “strategi kebijakan”.
Strategi

kebijaksanaan

kelembagaan

yang

pembangunan

dapat

diarahkan

mempercepat

proses

kepada:

1.Pengembangan

modernisasi

perekonomian

masyarakat melalui pengembangan agribisnis, jaringan kerja produksi dan jaminan
pemasaran. 2.Peningkatan investigasi dalam pengembangan sumber daya manusia
yang dapat mendorong produktivitas, kewiraswastaan dan ketahanan sosial
masyarakat. 3.Peningkatan ketersediaan pelayanan prasarana dan sarana untuk
mendukung proses produksi, pengolahan, pemasaran dan pelayanan sosial
masyarakat.

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan dibab sebelumnya, dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa :
a. Pembangunan di provinsi Sulawesi Selatan, mengalami perubahan dan
peningkatan yang signifikan di bawah kepemimpinan Prof. Dr. A. Amiruddin
dengan pemikirannya yang sangat brilian. Pemikirannya mengenai perubahan
pola pikir dianggap sebagai sebuah revolusi berpikir orang Sulawesi Selatan, Dia
mencoba mengubah perilaku orang Sulawesi Selatan dalam berpertanian
dengan jalan ‘’petik, olah, jual’’. Komoditas yang dihasilkan Sulawesi Selatan
tidak diboleh petik lalu langsung dijual, tetapi harus melalui pengolaharan dulu
untuk meningkatkan nilai tambahnya.
b. Pendekatan

yang

dilakukannya

adalah

pendekatan

khusus

dengan

mengedepankan semangat dan budaya yang telah mengakar di tengah-tengah
masyarakat Sulawesi Selatan sehingga Beliau tak mengalami kendala berarti
untuk menerapkan kebijakan pemerintah.
c. Beberapa terobosan dan ide-idenya adalah merupakan kebijakan yang tidak
populer dari sisi pemerintahan yang saat itu sentralistik tetapi azas manfaatnya
sangat dirasakan oleh masyarakat Sulawesi selatan.

2. Saran
Dengan model dan sistem pemerintahan yang desentralisasi, dapat lebih
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara memilih pemimpin yang
visioner.

DAFTAR PUSTAKA

Didin S. Damanhuri, 1997, PerekonomianIndonesia dalam Konteks Paradigma Baru
Pembangunan Pada Abad 21 dalam Ekonomi Politik Indonesia, Orientasi
Pendalaman Tugas DPRD Tk.I dan DPRD Tk. II.
Hettne, Bjorn, 1982, Development Theory and TheThird World Schmidts,
Helsinberg :Broktryckeri AB.Korten, David C., 1987, Community Managemen,
Connectitut : Kumarian Press,Westaharford.
Prijono

Anny
S,
A.M.W.
Pranaka,
1996,
Pemberdayaan:
Konsep
KebijakandanImplementasi, Jakarta: Centre for Strategic and International
Studies.

Raharjo

Adisasmita,
2006,
Yokyakarta:Graha Ilmu.

Pembangunan

Pedesaan

dan

Perkotaan

Soelaiman, M. Munandar, 1998, Dinamika Masyarakat Transisi, Mencari Alternatif
Teori Sosiologi dan Arah, Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Suparjan, Hempri Suyatno, 2003, Pengembangan Masyarakat dariPembangunan
sampai Pemberdayaan,Yogyakarta:
Aditya Media. Susetiawan, 2001, Desa di Era Reformasi: Masihkan disebut
Komunitas Tak Berdaya, Makalah disampaikan pada Civitas Akademika
Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa,Yogyakarta.