49867686 PEMBELA JARAN PARTISIPATIF docx
PEMBELAJARAN PARTISIPATIF
PEMBELAJARAN PARTISIPATIF
PENDAHULUAN
Dengan diberlakukannya Kurikulum 2006, yang juga dikenal dengan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (baca: kurikulum sekolah), guru
diberi kebebasan mendesain pembelajaran sendiri sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi sekolah. Oleh karena itu, sudah bukan saatnya lagi
guru memaksakan pengetahuan kepada siswa. Model pembelajaran
seperti itu menempatkan siswa hanya sebagai obyek. Siswa tidak dihargai
sebagai individu yang sedang belajar dan membutuhkan bimbingan untuk
mengembangkan potensinya, baik potensi intelektual maupun
kepribadiannya.
Sudah saatnya guru meninggalkan model pembelajaran yang
menggunakan cara-cara instan. Model pembelajaran dengan sistem dril,
yang mengharapkan hasil bagus dengan cepat tanpa mengindahkan
prosedur pembelajaran yang semestinya, sesungguhnya bersifat
intimidatif. Bagaimana tidak meng-’intimidasi’ bila siswa senantiasa
dihadapkan pada keharusan meraih minimal ’nilai tertentu’ yang menjadi
standar kelulusan atau kenaikan kelas? Akibatnya, siswa mengikuti
pembelajaran di bawah bayang-bayang ancaman dan ketakutan ’tidak
naik kelas atau tidak lulus ujian’ jika tidak dapat menyerap atau
menguasai materi pelajaran (lebih tepatnya: menghafal), yang akan
dibuktikan dengan ulangan/tes/ujian.
Apabila dengan pembelajaran intimidatif tadi siswa merasa terpaksa
mengikuti kegiatan pembelajaran, sudah saatnya guru memikirkan dan
menerapkan model pembelajaran lain yang lebih memahami kondisi
siswa. Salah satu alternatifnya adalah model pembelajaran yang bersifat
partisipatif. Di sini siswa dilibatkan dan diikutsertakan dalam menentukan
dan mencari bahan/materi (dari berbagai sumber) yang akan dipelajari.
PEMBAHASAN
A. Konsep Pembelajaran Partisipatif
Pembelajaran partisipatif pada intinya dapat diartikan sebagai upaya
pendidik untuk mengikut sertakan peserta didik dalam kegiatan
pembelajaran yaitu dalam tahap perencanaan program, pelaksanaan
program dan penilaian program. Partisipasi pada tahap perencanaan
adalah keterlibatan peserta didik dalam kegiatan mengidentifikasi
kebutuhan belajar, permasalahan, sumber-sumber atau potensi yang
tersedia dan kemungkinan hambatan dalam pembelajaran. Partisipasi
dalam tahap pelaksanaan program kegiatan pembelajaran adalah
keterlibatan peserta didik dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk
belajar. Dimana salah satu iklim yang kondusif untuk kegiatan belajar
adalah pembinaan hubungan antara peserta didik, dan antara peserta
didik dengan pendidik sehingga tercipta hubungan kemanusiaan yang
terbuka, akrab, terarah, saling menghargai, saling membantu dan saling
belajar. Partisipasi dalam tahap penilaian program pembelajaran adalah
keterlibatan peserta didik dalam penilaian pelaksanaan pembelajaran
maupun untuk penilaian program pembelajaran. Penilaian pelaksanaan
pembelajaran mencakup penilaian terhadap proses, hasil dan dampak
pembelajaran.
Prinsip-prisip utama kegiatan pembelajaran partisipatif meliputi: 1)
berdasarkan kebutuhan belajar 2) berorientasi pada tujuan kegiatan
belajar, 3) berpusat pada warga belajar, 4) belajar berdasarkan
pengalaman, 5) kegiatan belajar dilakukan bersama oleh warga belajar
dengan sumber belajar dalam kelompok yang terorganisasi, 6) kegiatan
pembelajaran merupakan proses kegiatan saling membelajarkan, 7)
kegiatan pembelajaran diarahkan pada tujuan belajar yang hasilnya dapat
langsung dimanfaatkan oleh warga belajar, 8) kegiatan pembelajaran
menitik beratkan pada sumber-sumber pembelajaran yang tersedia dalam
masyarakat dan 9) kegiatan pembelajaran amat memperhatikan potensipotensi manusiawi warga belajar.
Selain itu, pembelajaran partisipatif sebagai kegiatan pembelajaran juga
memperhatikan prinsip proses stimulus dan respons yang di dalamnya
mengandung unsur-unsur kesiapan belajar, latihan, dan munculnya
pengaruh pada terjadinya perubahan tingkah laku. Pembelajaran
partisipatif sebagai kegiatan belajar lebih memperhatikan kegiatankegiatan individual dan mengutamakan kemampuan pendidik,
menekankan pentingnya pengalaman dan pemecahan masalah, dan
memfokuskan pada manfaat belajar bagi peserta didik
Dengan meminjam pemikiran Knowles, (E.Mulyasa,2003) menyebutkan
indikator pembelajaran partisipatif, yaitu : (1) adanya keterlibatan
emosional dan mental peserta didik; (2) adanya kesediaan peserta didik
untuk memberikan kontribusi dalam pencapaian tujuan; (3) dalam
kegiatan belajar terdapat hal yang menguntungkan peserta didik.
B. Ciri-ciri kegiatan pembelajaran partisipatif
Kegiatan pembelajaran partisipatif memilikii ciri-ciri pokok yang meliputi:
1. Sumber belajar menenpatkann diri pada posisi yang tidak serba
mengetahui terhadap semua bahan belajar. Memandang warga belajar
sebagai sumber yang mempunyai nilai dan manfaat dalam kegiatan
belajar.
2. Sumber belajar memainkan peranan membantu warga belajar dalam
melakukan kegiatan belajar. Kegiatan belajar ini didasarkan atas
kebutuhan belajar warga belajar.
3. Sumber belajar memotovasi warga belajar agar berpartisipasi dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan dalam mengevaluasi program
pembelajaran yang dijalaninya.
4. Sumber belajar bersama warga belajar melakukan kegiatan saling
membelajarkan dalam bentuk bertukar fikiran mengenai isi,proses, dan
hasil belajar serta pengembangannya.
5. Sumber belajar berperan membantu warga belajar dalam menciptakan
situasi pembelajaran yang kondusif, sehingga warga belajar dapat
melibatkan diri secara aktif dan bertanggungjawab dalam proses kegiatan
pembelajaran.
6. Sumber belajar mengembangkan kegiatan belajar kelompok.
7. Sumber belajar mendorong warga be;lajar untuk meningkatkan
semangat berprestasi, semangat berkompetisi menghadapi tantangan
yang berorientasi pada perbaikan kehidupan yang lebih baik.
8. Sumber belajar mendorong dan membantu warga belajar untuk
mengembangkan kemampuan memecahkan masalah di dalam dan
terhadap kehidupan yang dihadapinya sehari-hari.
9. Sumber belajar dan warga belajar secara bersama-sama
mengembangkan kemampuan antisipasi dan partisipasi.
10. Pembelajaran mencapai otonomi dan integrasi dalam kegiatan
individual dan kehidupan sosialnya.
C. Teori pendukung pembelajaran partisipasi
Menurut Sudjana, kegiatan belajar partisipasif didukung oleh beberapa
teori pembelajaran, di antaranya adalah teori connectionism Thorndike,
teori aliran tingkah laku yang dikembangkan oleh Guthrie, Skinner,
Crowder dan Hull, teori Gestal dan teori medan. Dalam Kaitan ini,
Trisnamansyah mengatakan bahwa kegiatan pembelajaran dalam
pendidikandi luar sekolah termasuk di da;lamnya kegiatan pembelajaran
partisipasi mendapat dukungan dari teori-teori perubahan sosial dan
psikologi sosial yang dapat diaplikasikan dalam kegiatan pembelajaran
seperti teori perubahan sikap sosial, teori dinamika kelompok, teori
komunikasi inovasi dan teori manajemen perubahan dalam pendidikan.
Teori yang relevan dibahas dalam hubungannya dengan kebutuhan
pengkajian ini adalah teori Asosiasi dan teori medan. Teori asosiasi
dikembangkan oleh Thorndike dan dilanjutkan Witson dan William James.
Toeri asosiasi berpandangan bahwa mutu kegiatan belajar akan efektif
apabila interaksi antara sumber belajar dan warga belajar dilakukan
melalui stimulus dan respon (S-R). Oleh karena itu makin giat dan makin
tinggi kemampuan warga belajar dalam mengembangkan stimulus dan
respon, maka makin efektif kegiatan belajarnya. Teori asosiasi
mengandung prinsip-prinsip dalam kegiatan belajar-membelajarkan, yaitu
prinsip kesiapan (readness), latihan (exercise), dan pengaruh (effect).
Prinsip kegiatan menekankan perlunya motovasi yang tinggi pada diri
warga belajar atau peserta didik untuk menghubungkan stimulus dan
respon. Prinsip latihan menekankan pentingya kegiatan latihan secara
berulang oleh warga belajar atau peserta didik dalam melakukan kegiatan
belajar. Prinsip pengaruh menekankan pada pentingnya hasil dan manfaat
langsung dari kegiatan belajar yang dijalani oleh warga belajar atau
peserta didik. Dalam hubungannya dengan kegiatan pembelajaran
partisipasi, teori asosiasi semakin mempertegas pentingnya peserta didik
untuk melakukan respon terhadap setiap stimullus oleh warga belajar atau
peserta didik itu sendiri serta menekankan pentingnya kegiatan belajar
perorangan.
Sementara itu teori medan yang dikembangkan oleh Kurt Lewin,
menekankan pentingnya pengalaman warga belajar yang berorientasi
pada pemecahan masalah serta didasari oleh motivasi belajar yang kuat.
Teori medan beranggapan bahwa setiap kegiatan akan efektif apabila
warga belajar merasakan kebutuhan untuk belajar serta memiliki
kesadaran diri bahwa belajar adalah sesuatu yang penting dalam
meningkatkan kualitas dan martabat kehuidupannya. Oleh karena itu,
kegiatan belajar bersama dalam kelompok belajar menjadi penting dan
utama bagi warga belajar.
D. Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif
Pendidikan partisipatif, atau teknik partisipatif, dilandasi oleh suatu
pandangan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki pengalaman yang
cukup kaya – untuk bisa diolah menjadi bahan pembelajaran. Pendidikan
partisipatif, tentu bukan sekedar teknik, melainkan statu pendekatan atau
bahkan paradigma baru yang meninggalkan paradigma lama yang
bersifat sistem bank.
Metode pembelajaran atau dalam istilah Knowels, “format pembelajaran”
diartikan sebagai patokan umum oleh karena itu bisa dikatakan bahwa
metode pembelajaran partisipatif adalah suatu patokan umum
pembelajaran partisipatif. Ahli lain seperti Vemer mengklasifikasikan
metode pembelajaran ke dalam tiga kategori, yaitu: metode pembelajaran
perorangan (Individual Methods), metode pembelajaran kelompok (Group
Methods) dan metode pembelajaran pembangunan masyarakat
(Community Methods).
Selanjutnya teknik pembelajaran diartikan sebagai penggunaan patokanpatokan khusus dalam melaksanakan suatu methode pembelajaran
tertentu yang meliputi langkah-langakah, sarana dan alat bantu dalam
ruang lingkup metode pembelajaran yang digunakan. Knowleds
menggolongkan teknik-teknik pembelajaran ke dalam jenis-jenis teknik
pembelajaran berikut: 1) teknik penyajian, meliputi ceramah, siaran,
televisi dan video tape, dialog, tanya jawab dan lain-lain, 2) teknik
partisipasi dalam kelompok besar mencakup tanya jawab, forum,
kelompok guru dan panel berangkai, 3) teknik diskusi berupa diskusi
terbimbing, pemecahan masalah dan diskusi kasus, 4) teknik simulasi
terdiri dari beermain peran, pemecahan masalah dan studi kasus, 5)
teknik latihan kelompok, 6) teknik latihan tanpa bicara, dan 7) teknik
latihan keterampilan dan latihan.
E. Peran Pendidik Dalam Pembelajaran
Peran pendidik dalam pembelajaran partisipatif lebih banyak berperan
sebagai pembimbing dan pendorong bagi peserta didik untuk melakukan
kegiatan pembelajaran sehingga mempengaruhi terhadap intensitas
peranan pendidik dalam pembelajaran. Menurut Knowles dan Cronne,
peranan sumber belajar mencakup: 1) menciptakan dan mengembangkan
situasi kegiatan belajar partisipatif, 2) menekankan peranan warga belajar
yang melaksanakan kegiatan belajar, dan 3) sumber belajar dituntut agar
mampu menyusun dan mengembangkan strategi pembelajaran
partisipatif.
Pada awal pembelajaran, intensitas peran pendidik sangat tinggi yaitu
untuk menyajikan berbagai informasi bahan belajar, memberikan motivasi
serta memberikan bimbingan kepada peserta dalam melakukan
pembelajaran, tetapi makin lama makin menurun intensitas perannya
digantikan oleh peran yang sangat tinggi dari peserta didik untuk
berpartisipasi dalam pembelajaran secara maksimal.
Langkah-langkah yang harus ditempuh pendidik dalam membantu peserta
didik untuk mengembangkan kegiatan pembelajaran adalah:
1. Menciptakan suasana yang mendorong peserta didik siap belajar.
2. Membantu peserta didik menyusun kelompok, agar siap belajar dan
membelajarkan
3. Membantu peserta didik untuk mendiagnosis dan menemukan
kebutuhan belajarnya.
4. Membantu peserta didik menyusun tujuan belajar.
5. Membantu peserta didik merancang pola-pola pengalaman belajar.
6. Membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar.
7. Membantu peserta didik melakukan evaluasi diri terhadap proses dan
hasil belajar
F. Proses Pembelajaran Partisipatif
Proses pembelajaran partisipatif dibentuk oleh unsur-unsur atau faktor
pembentuk proses pembelajaran. Unsur pembentuk proses pembelajaran
tersebut adalah: 1) tujuan, 2) materi, 3) metode, 4) warga belajar, 5)
fasilitator, 6) iklim dan 7) evaluasi. Kegiatan proses pembelajaran
partisipatif mencakup enam tahapan kegiatan yang berorientasi. Keenam
langkah kegiatan tersebut adalah: pembinaan keakraban, identifikasi
keutuhan, sumber dan kemungkinan hambatan, perumusan tujuan
belajar, penyusunan program kegiatan belajar, pelaksanaan kegiatan
belajar dan penilaian terhadap proses, hasil, dan dampak kegiatan
pembelajarn yang dilaksanakan.
Pembelajaran partisipatif menghargai pengetahuan dan pengalaman para
pendidik untuk terampil dalam menggunakan semua metode yang
berbeda. Suatu situasi pembelajaran yang berhubungan dengan
pengalaman seharusnya selalu diikuti oleh suatu sesi tanya jawab. Sesi
tanya jawab membantu melakukan kontekstualisasi pengelaman individu
dan kelompok ke dalam suatu kerangka verja yang lebih luas.
Kerangka kerja tanya jawab mengikuti siklus pembelajaran sebagai
berikut:
1. Publikasi Data: Berbagi pengalaman dan pengamatan.
Pertanyaan-pertanyaan spesifik seharusnya dituliskan di papan/bagan.
Guru sebagai fasilitator harus bekerja mengenai bagaimana data akan
dituliskan pada bagan. Pertanyaan seharusnya diajukan atas masingmasing peserta dan respon dicatat pada bagan. Perasaan yang
seharusnya diungkapkan hanya yang berhubungan dengan isu-isu kunci
untuk analisis.
2. Pemrosesan Data: Membahas pola dan dinamika.
Respon-respon ini seharusnya dicatat dan saling hubungan perasaan,
interaksi, dan peristiwa dibangun di dalam proses. Sementara para
peserta berbagi pengalaman mereka, fasilitator harus mendengarkan
dengan penuh perhatian dan tidak mempertanyakan atau membalas
perasaan yang diungkapkan. Sebaliknya ia harus menuliskannya pada
bagan
3. Penyamarataan dan Penerapan Data: Mengemukakan prinsip-prinsip.
Respon-respon ini harus juga dicatat dan dikonsolidasikan di dalam
proses. Prinsip-prinsip kunci harus diturunkan atas dasar data dan
analisisnya. Prinsip-prinsip ini harus dihubungkan dengan konsep-konsep
teoritis yang ada.
4. Penutup pengalaman.
Suatu penutupan formal atas latihan harus dilakukan ádalah
meninggalkan pada para peserta dengan rasa puas dan berani melakukan
eksplorasi ke depan.
PENUTUP
Pendidikan partisipatif, atau teknik partisipatif, ádalah sebuah upaya
pendidik untuk mengikut sertakan peserta didik dalam kegiatan
pembelajaran yaitu dalam tahap perencanaan program, pelaksanaan
program dan penilaian program. Pembelajaran partisipatif dilandasi oleh
suatu pandangan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki
pengalaman yang cukup kaya – untuk bisa diolah menjadi bahan
pembelajaran. Pendidikan partisipatif, tentu bukan sekedar teknik,
melainkan statu pendekatan atau bahkan paradigma baru yang
meninggalkan paradigma lama yang bersifat sistem bank.
Mengubah paradigma tentu bukan sebuah pekerjaan yang mudah.
Masalah ini tentu tidak bisa diselesaikan dalam waktu yang singkat. Kita
membutuhkan suatu langkah yang sistematis, massal dan terus menerus.
Pendidikan partisipatif memiliki maksud dasar untuk mengubah pola
hubungan yang ada antara peserta didik dengan pendidik (sumber
relajar). Para guru harus bersedia mengakui bahwa pihaknya juga
memerlukan belajar dari muridnya (warga relajar) dan demikian pula
sebaliknya.
Kebutuhan ini, sudah tentu sangat sulit bisa diharapkan berkembang
dalam waktu dekat. Guru sebagai fasilitator dituntut untuk mengubah diri,
demikian juga peserta didik. Inilah yang dikatakan bahwa perubahan
paradigma tidak bisa dilakukan dalam jangka dekat. Salah satu proses
penting yang layak dilalui ádalah adanya pembaharuan model-model
pendidikan. Pembaharuan dalam model ini tidak hanya hendak
mengoreksi cara mengajar, tetapi juga mengoreksi keseluruhan proses
pembelajaran. Kesemuanya ini menuntut adanya kesediaan semua pihak
untuk bersedia mengubah atau mentrasformasi pandangannya mengenai
pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
D. Sudjana. 1993. Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif Dalam
Pendidikan Luar Sekolah, Bandung: Nusantara Press.
E.A Locke & Associates. 2002. Essensi Kepemimpinan : Empat Kunci Untk
Memimpin Dengan Penuh Keberhasilan, Jakarta: Spektrum.
Knowles, M. 1975. Self Directed Learning. Chicago : Follet Publishing
Company.
M. Knowles, Informal Adult Education, New York: Association Publishing
Company.
Mulyasa.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan
Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Robert K. Cooper dan Sawaf. 2002. Kecerdasan Emosional Dalam
Kepemimpinan dan Organisasi, Jakarta: Gramedia, 2002.
S. Trisnamansyah. 1993. Perkembangan Pendidikan luar Sekolah dan
Upaya Mempersiapkan Pelaksanaan Wajib Belajar Dasar Sembilan Tahun,
Bandung: IKIP.
Sudjana. 2000. Manajemen Program Pendidikan untuk Pendidikan Luar
Sekolah dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Penerbit
Falah Production.
http://anakciremai.blogspot.com/2008/09/makalah-ilmu-pendidikantentang-model.html
http://www.sampoernafoundation.org/content/view/567/48/1/1/lang,id/
http://blog.uny.ac.id/yoyonsuryono/makalah/
Pembelajaran Berbasis Proyek: Model Potensial untuk Peningkatan
Mutu Pembelajaran
{ September 23, 2007 @ 2:50 pm } · { Blogroll }
Pembelajaran Berbasis Proyek:
Model Potensial untuk Peningkatan Mutu Pembelajaran
Waras Khamdi
Abstract: The aim of this paper is to highlight some of attempts at
integrating Project-Based Learning approach into the practice of teaching
and learning in engineering and vocational education. There are at least
five criteria to capture the uniqueness of Project-Based Learning, in
attempting to describe the difference between Project-Based Learning and
prior models that involved projects. The five criteria are centrality, driving
question or problem, constructive investigations, autonomy, and realism.
Benefits attributed to Project-Based Learning include: increased
motivation, problem-solving ability, decision-making skills, collaboration,
and resource-management skills.
Kata kunci: belajar berbasis proyek, otentik, konstruktivistik, kontekstual,
kolaboratif
Dalam konteks peradaban makro, sekarang umat manusia sedang
memasuki Abad Pengetahuan dan perlahan meninggalkan Abad Industrial.
Atas dasar analisisnya terhadap empat program pendidikan yang berhasil
mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan pada Abad Pengetahuan,
Trilling dan Hood (1999) membuat daftar perbandingan karakteristik
umum model pembelajaran Abad Pengetahuan yang dijelang umat
manusia dan Abad Industrial yang telah ditinggalkan umat manusia (Tabel
1). Perbandingan ini merefleksikan pandangan filosofis tentang teknologi
(pendidikan), terutama antara pandangan moderen dan pandangan
transformatif.
Tabel 1. Pembelajaran Abad Pengetahuan versus Abad Industrial
ABAD INDUSTRIAL ABAD PENGETAHUAN
Teacher-as-Director Teacher-as-Facilitator, Guide, Consultant
Teacher-as-Knowledge Source Teacher-as-Co-learner
Curriculum-directed Learning Student-directed Learning
Time-slotted, Rigidly Scheduled Learning Open, Flexible, On-demand
Learning
Primarily Fact-based Primarily Project-& Problem-based
Theoretical, Abstract Real-world, concrete
Principles & Survey Actions & Reflections
Drill & Practice Inquiry & Design
Rules & Procedures Discovery & Invention
Competitive Collaborative
Classroom-focused Community-focused
Prescribed Results Open-ended Results
Conform to Norm Creative Diversity
Computers-as-Subject of Study Computers-as-Tool for all Learning
Static Media Presentations Dynamic Multimedia Interactions
Classroom-bounded Communication Worldwide-unbounded
Communication
Test-assessed by Norms Performance-assessed by Expert, Mentors, Peers
& Self
Berdasarkan Tabel 1 tersebut setidak-tidaknya dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut. Pertama, terlihat jelas bahwa pergeseran paradigma
pembelajaran telah terjadi dalam praktik kependidikan. Banyak praktik
pendidikan yang dianggap mengutungkan pada abad industrial, seperti
belajar fakta, tubian (drill) dan praktik, hukum dan prosedur digantikan
belajar dalam konteks dunia nyata, otentik melalui problem dan proyek,
inkuiri, penemuan, dan invensi dalam praktik abad pengetahuan. Kedua,
kita akan membayangkan betapa sulitnya mencapai perubahan yang
sistematik ketika di lingkungan pendidikan kita masih teramat kental
dengan kebiasaan praktik pendidikan di abad industrial, seperti belajar
masih dikonsepsikan sebagai penyerapan fakta, belajar efektif dilakukan
dengan drill, dst. Ketiga, semakin jelas bahwa teknologi komunikasi dan
informasi adalah katalis penting untuk gerakan kita menuju metode
belajar di Abad Pengetahuan. Keempat, paradigma baru dalam belajar ini
menggelar tantangan yang luar biasa besar dan peluang untuk
pengembangan professional, baik preservice maupun inservice, bagi guruguru kita. Dalam banyak hal, redifinisi profesi pengajaran/pembelajaran
dan peranan guru memainkan peranan penting dalam proses belajar.
Kini, para peneliti pembelajaran berargumen tentang lingkungan belajar
dalam konteks yang kaya (rich environment). Pengetahuan dan
keterampilan yang kokoh dan bermakna-guna (meaningful-use) dapat
dikonstruk melalui tugas-tugas dan pekerjaan yang otentik (CORD, 2001,
Hung & Wong, 2000; Myers & Botti, 2000, ED, 1995; Marzano, 1992).
Keotentikan kegiatan kurikuler terdukung oleh proses kegiatan
perencanaan (designing) atau investigasi yang open-ended, dengan hasil
atau jawaban yang tidak ditetapkan sebelumnya oleh perspektif tertentu.
Pebelajar dapat didorong dalam proses membangun pengetahuan melalui
pengalaman dunia nyata dan negosiasi kognitif antarpersonal yang
berlangsung di dalam suasana kerja kolaboratif.
Kerja proyek dapat dilihat sebagai bentuk open-ended contextual activitybased learning, dan merupakan bagian dari proses pembelajaran yang
memberikan penekanan kuat pada pemecahan masalah sebagai suatu
usaha kolaboratif (Richmond & Striley, 1996), yang dilakukan dalam
proses pembelajaran dalam periode tertentu (Hung & Wong, 2000).
Blumenfeld et.al. (1991) mendiskripsikan model belajar berbasis proyek
(project-based learning) berpusat pada proses relatif berjangka waktu,
berfokus pada masalah, unit pembelajaran bermakna dengan
mengitegrasikan konsep-konsep dari sejumlah komponen pengetahuan,
atau disiplin, atau lapangan studi.
Ketika siswa bekerja di dalam tim, mereka menemukan keterampilan
merencanakan, mengorganisasi, negosiasi, dan membuat konsensus
tentang isu-isu tugas yang akan dikerjakan, siapa yang bertanggungjawab
untuk setiap tugas, dan bagaimana informasi akan dikumpulkan dan
disajikan. Keterampilan-keterampilan yang telah diidentifikasi oleh siswa
ini merupakan keterampilan yang amat penting untuk keberhasilan
hidupnya, dan sebagai tenaga kerja merupakan keterampilan yang amat
penting di tempat kerja kelak. Karena hakikat kerja proyek adalah
kolaboratif, maka pengembangan keterampilan tersebut berlangsung di
antara siswa. Di dalam kerja kelompok suatu proyek, kekuatan individu
dan cara belajar yang diacu memperkuat kerja tim sebagai suatu
keseluruhan.
MENGAPA PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK?
Herchbach (1999) menegaskan, sekurang-kurangnya terdapat tiga
tantangan yang harus dihadapi agar pendidikan teknologi terus
memainkan peran pendidikan yang signifikan di abad akan datang.
Pertama, dan paling penting, pendidikan teknologi harus berfokus pada
bagaimana yang terbaik dapat melayani pebelajar. Sedikit waktu harus
disisihkan untuk memikirkan tentang teknologi itu sendiri, dan lebih
memperhatikan harapan atau kebutuhan orangtua dan pebelajar dari
lapangan dan bagaimana kita dapat menerjemahkan harapan ini ke dalam
program pendidikan teknologi yang konkret dan dekat dengan kehidupan
mereka.
Kedua, lingkungan juga harus memberi peluang pendidikan yang terbaik.
Pendidikan teknologi yang terbaik dapat disusun secara interdisipliner,
lingkungan belajar berbasis aktivitas yang memberi peluang pebelajar
menerapkan pengetahuan untuk memecahkan masalah-masalah praktis
dan teknologis. Kata-kata interdisipliner dan aktivitas perlu ditekankan.
Barangkali di dalam lapangan atau subject matter yang lain tidak menjadi
tekanan, akan tetapi dalam pendidikan teknologi, interdisipliner dan
berbasis aktivitas itu memberi peluang bagi pebelajar untuk
mengintegrasikan pengetahuan dari lapangan studi lain yang
berhubungan. Hal ini juga berarti menempatkan kegiatan belajar
pebelajar di dalam konteks dunia nyata.
Ketiga, penting membangun dukungan di dalam komunitas kependidikan
yang lebih besar tentang pentingnya pendidikan teknologi sebagai bagian
bangunan kependidikan. Pendidikan teknologi adalah komponen integral
yang penting di dalam dunia kependidikan secara menyeluruh.
Oleh karena itu, Householder (1999) menegaskan pendidikan teknologi
harus: (1) memperluas landasan intelektual yang melatarbelakangi
desain, manufaktur, konstruksi, komunikasi, transportasi, engineering,
dan arsitektur yang memenuhi ruang teknik-teknik pengendalian alam
dan dunia buatan manusia; (2) menjelaskan secara detail praktik dan
body of technological knowledge agar mudah dikenali dan sebagai basis
sumber perencanaan pembelajaran; (3) menyusun strategi
pengembangan kurikulum yang komprehensif dan unik mengintegrasikan
praktik dan pengetahuan dengan pemahaman kontemporer cara-cara
pebelajar memperoleh pengetahuan dan keterampilan; (4) mengekplorasi
perbedaan individual dan kelompok, sehingga program yang tepat
mungkin didesain secara integral dengan kerangka kultural dan individual
mereka; dan (5) mengkaji kontribusi studi di bidang teknologi di dalam
dan di atas masyarakat kontemporer dengan visi yang jelas dan kritis
untuk mencapai kualitas hidup generasi masadepan.
Berdasarkan penekanan-penekanan Herchbach, dan Householder di atas,
maka prospek masa depan pendidikan teknologi ini memunculkan
orientasi yang makin kuat pada banyaknya tujuan pendidikan berfokus
pada pengembangan untuk hidup orang dewasa khususnya penyiapan
salah satu aktivitas universisal orang dewasa, yaitu kerja. Kerja, baik
digaji maupun tidak digaji, terjadi di tempat kerja, rumah, dan masyarakat
umum. Banyak kurikulum sekolah didesain untuk menyiapkan orangorang muda untuk bekerja, dan seringkali dengan justifikasi subject
matter ekonomi.
Di sisi lain, sekarang mulai banyak tempat kerja yang memberlakukan
pekerja temporer atau pekerja kontrak, dan akan lebih banyak
pengalaman berhenti dari pekerjaan yang satu dan ganti pekerjaan lain
sebagai bagian dari karier pekerja. Majikan tidak lagi diikat dengan
tuntutan peningkatan karier pekerja, dan tidak akan menanggung jaminan
hari tua, pensiun, dan tunjangan kesehatan (Bjorkquist, 1999). Hal ini
menggambarkan mobilitas pasar kerja yang makin tinggi. Kemampuan
diskoveri, eksplorasi, dan pengembangan kecerdasan menjadi realistis di
dalam kelas di mana teknologi berbasis mesin dan peralatan diajarkan.
Banyak pelajaran teknologi akan penting secara ekonomik dan
memperluas kepiawaian individu dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran Berbasis Proyek dipandang tepat sebagai satu model untuk
pendidikan teknologi untuk merespon isu-isu peningkatan kualitas
pendidikan teknologi dan perubahan-perubahan besar yang terjadi di
dunia kerja. Project-Based Learning adalah model pembelajaran yang
berfokus pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip utama (central) dari
suatu disiplin, melibatkan siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dan
tugas-tugas bermakna lainya, memberi peluang siswa bekerja secara
otonom mengkonstruk belajar mereka sendiri, dan puncaknya
menghasilkan produk karya siswa bernilai, dan realistik (BIE, 2001).
Berbeda dengan model-model pembelajaran tradisional yang umumnya
bercirikan praktik kelas yang berdurasi pendek, terisolasi/lepas-lepas, dan
aktivitas pembelajaran berpusat pada guru; model Project-Based Learning
menekankan kegiatan belajar yang relatif berdurasi panjang, holistikinterdisipliner, perpusat pada siswa, dan terintegrasi dengan praktik dan
isu-isu dunia nyata.
ADAPTASI MODEL PROBLEM-BASED LEARNING DALAM PENDIDIKAN MEDIS
Pendekatan Pembelajaran Berbasis Proyek (project-based learning) ini
merupakan adaptasi dari pendekatan pembelajaran berbasis masalah
(problem-based learning) yang awalnya berakar pada pendidikan medis
(kedokteran). Pendidikan medis menaruh perhatian besar terhadap
fenomena praktisi medis muda yang memiliki pengetahuan faktual cukup
tetapi gagal menggunakan pengetahuannya saat menangani pasien
sungguhan (Maxwell, Bellisimo, & Mergendoller, 1999). Setelah melakukan
pengkajian bagaimana tenaga medis dididik, pendidikan medis
mengembangkan program pembelajaran yang men-cemplung-kan siswa
ke dalam skenario penanganan pasien baik simulatif ataupun sungguhan.
Proses ini kemudian dikenal sebagai pendekatan problem-based learning.
Kini, problem-based learning diterapkan secara luas pada pendidikan
medis di negara-negara maju.
Karakteristik permasalahan pada pendidikan medis tersebut mirip dengan
permasalahan pada pendidikan teknologi dan kejuruan. Tamatan
pendidikan teknologi (dan kejuruan) belum siap memasuki lapangan kerja
atau bahkan gagal di tempat kerja, meskipun pengetahuan faktual telah
cukup diperoleh di sekolah. Berdasarkan pengalaman pada pendidikan
medis, pendekatan problem-based learning diadaptasi menjadi model
project-based learning untuk pendidikan teknologi dan kejuruan, terutama
program kompetensi produktif. Keduanya menekankan lingkungan belajar
siswa aktif, kerja kelompok (kolaboratif), dan teknik evaluasi otentik
(authentic assessment). Perbedaannya terletak pada perbedaan objek.
Kalau dalam problem-based learning pebelajar lebih didorong dalam
kegiatan yang memerlukan perumusan masalah, pengumpulan data, dan
analisis data (berhubungan dengan proses diagnosis pasien); maka dalam
project-based learning pebelajar lebih didorong pada kegiatan desain:
merumuskan job, merancang (designing), mengkalkulasi, melaksanakan
pekerjaan, dan mengevaluasi hasil. Seperti didefinisikan oleh Buck
Institute fo Education (1999), bahwa belajar berbasis proyek memiliki
karakteristik: (a) pebelajar membuat keputusan, dan membuat kerangka
kerja, (b) terdapat masalah yang pemecahannya tidak ditentukan
sebelumnya, (c) pebelajar merancang proses untuk mencapai hasil, (d)
pebelajar bertanggungjawab untuk mendapatkan dan mengelola informasi
yang dikumpulkan, (e) melakukan evaluasi secara kontinu, (f) pebelajar
secara teratur melihat kembali apa yang mereka kerjakan, (g) hasil akhir
berupa produk dan dievaluasi kualitasnya, dan (i) kelas memiliki atmosfer
yang memberi toleransi kesalahan dan perubahan.
Kebalikan dari pendekatan tradisional yang umumnya bercirikan
apprenticeship, ciri khas strategi Pembelajaran Berbasis Proyek bersifat
kolaboratif (Hung & Chen, 2000; Hung & Wong, 2000). Kegiatan
pembelajaran seperti tersebut mendukung proses konstruksi pengetahuan
dan pengembangan kompetensi produktif pebelajar yang secara aktual
muncul dalam bentuk-bentuk keterampilan okupasional/teknikal (technical
skills), dan keterampilan emploiabiliti sebagai pekerja yang baik
(employability skills). Kegiatan ini berbasis pada konteks kehidupan
sehari-hari pebelajar, baik fisik maupun sosial.
DUKUNGAN TEORETIS PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK
Secara teoretik dan konseptual, pendekatan belajar berbasis proyek ini
juga didukung oleh teori aktivitas (Hung dan Wong, 2000; Activity Theory,
[Online]) yang menyatakan bahwa struktur dasar suatu kegiatan terdiri
atas: (a) tujuan yang ingin dicapai dengan (b) subjek yang berada di
dalam konteks (c) suatu masyarakat di mana pekerjaan itu dilakukan
dengan perantaraan (d) alat-alat, (e) peraturan kerja, dan (f) pembagian
tugas (periksa, Gambar 1). Dalam penerapannya di kelas bertumpu pada
kegiatan belajar yang lebih menekankan pada kegiatan aktif dalam
bentuk melakukan sesuatu (doing) daripada kegiatan pasif “menerima”
transfer pengetahuan dari pengajar.
Alat
Subjek Objek Hasil
Aturan Masyarakat Pembagian Tugas
Gambar 1. Proses dalam Teori Aktivitas
Pendekatan pembelajaran berbasis proyek juga didukung teori belajar
konstruktivistik. Konstruktivisme adalah teori belajar yang mendapat
dukungan luas yang bersandar pada ide bahwa siswa membangun
pengetahuannya sendiri di dalam konteks pengalamannya sendiri
(Murphy, 1997, [Online]). Pendekatan Pembelajaran Berbasis Proyek dapat
dipandang sebagai salah satu pendekatan penciptaan lingkungan belajar
yang dapat mendorong siswa mengkonstruk pengetahuan dan
keterampilan secara personal. Tatkala pendekatan proyek ini dilakukan
dalam modus belajar kolaboratif dalam kelompok kecil siswa, pendekatan
ini juga mendapat dukungan teoretik yang bersumber dari
konstruktivisme sosial Vygotsky yang memberikan landasan
pengembangan kognitif melalui peningkatan intensitas interaksi
antarpersonal (Vygotsky, 1978; Davydov, 1995, Moore, 1999). Adanya
peluang untuk menyampaikan ide, mendengarkan ide-ide orang lain, dan
merefleksikan ide sendiri pada ide-ide orang lain, adalah suatu bentuk
pengalaman pemberdayaan individu. Proses interaktif dengan kawan
sejawat itu membantu proses konstruksi pengetahuan (meaning-making
process). Dalam pandangan ini transaksi sosial memainkan peranan
sangat penting dalam pembentukan kognisi (Richmond & Striley, 1996).
Proses negosiasi kognitif interpersonal sebagai bentuk dari pengajuan
gagasan, debat, dan menerima atau menolak selama proses interaksi
dengan kawan sejawat memungkinkan perluasan dan penghalusan
pengetahuan dan keterampilan. Dari perspektif teoretik ini, pendekatan
belajar berbasis proyek ini memberikan alternatif lingkungan belajar
otentik di mana pembelajar dapat membantu memudahkan siswa
meningkatkan keterampilan mereka di dalam bekerja dan pemecahan
masalah secara kolaboratif. Sebagai pendekatan pembelajaran baru,
Pembelajaran Berbasis Proyek potensial berhasil memperbaiki praktik
pembelajaran pada pendidikan teknologi (dan kejuruan).
Pendekatan belajar berbasis proyek (project-based learning) memiliki
potensi yang besar untuk membuat pengalaman belajar yang menarik
dan bermakna bagi pebelajar dewasa untuk memasuki lapangan kerja.
Menurut pengalaman Gaer (1998), di dalam project-based learning yang
diterapkan untuk mengembangkan kompetensi para pekerja perusahaan,
peserta pelatihan menjadi lebih aktif di dalam belajar mereka, dan banyak
keterampilan tempatkerja yang berhasil dibangun dari proyek di dalam
kelasnya, seperti keterampilan membangun tim, membuat keputusan
kooperatif, pemecahan masalah kelompok, dan pengelolaan tim.
Keterampilan-keterampilan tersebut besar nilainya di tempat kerja dan
merupakan keterampilan yang sukar diajarkan melalui pembelajaran
tradisional. Hasil penelitian Departemen Pendidikan Amerika Serikat (ED)
menunjukkan hal yang sama. Hasil kajian lintas daerah yang dilakukannya
menunjukkan bahwa tugas-tugas yang dijalankan dalam bentuk kegiatan
yang menantang dan mengesankan pada diri pebelajar memiliki pengaruh
positif terhadap motivasi, pemahaman, dan unjuk kerja pebelajar (ED,
1995). Potensi keefektifan belajar berbasis proyek ini juga didukung oleh
temuan-temuan penelitian belajar kolaboratif yang terbukti dapat
meningkatkan pencapaian prestasi akademik, berpikir tingkat tinggi dan
keterampilan berpikir kritis yang lebih baik, kemampuan memandang
situasi dari perspektif lain yang lebih baik, pemahaman yang mendalam
terhadap bahan belajar, lebih bersikap positif terhadap bidang studi,
hubungan yang lebih positif dan suportif dengan kawan sejawat, dan
meningkatkan motivasi belajar (Thomas, 2000; Johnson, Johnson, &
Stanne, 2000; Kaufman, Felder & Fuller, 2000; Haller, Gallagher, Weldon,
& Felder, 2000; Shia, Howard & McGee, 1998; Felder & Brent, 1996).
KONSEP DAN KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK
Pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) adalah sebuah
model atau pendekatan pembelajaran yang inovatif, yang menekankan
belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks (CORD,
2001; Thomas, Mergendoller, & Michaelson, 1999; Moss, Van-Duzer, Carol,
1998). Fokus pembelajaran terletak pada konsep-konsep dan prinsipprinsip inti dari suatu disiplin studi, melibatkan pebelajar dalam
investigasi pemecahan masalah dan kegiatan tugas-tugas bermakna yang
lain, memberi kesempatan pebelajar bekerja secara otonom
mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri, dan mencapai puncaknya
menghasilkan produk nyata (Thomas, 2000).
Biasanya memerlukan beberapa tahapan dan beberapa durasi — tidak
sekedar merupakan rangkaian pertemuan kelas— serta belajar kelompok
kolaboratif. Proyek memfokuskan pada pengembangan produk atau unjuk
kerja (performance), yang secara umum pebelajar melakukan kegiatan:
mengorganisasi kegiatan belajar kelompok mereka, melakukan pengkajian
atau penelitian, memecahkan masalah, dan mensintesis informasi. Proyek
seringkali bersifat interdisipliner. Misalnya, suatu proyek merancang draft
untuk bangunan struktur (konstruksi bangunan tertentu) melibatkan
pebelajar dalam kegiatan investigasi pengaruh lingkungan, pembuatan
dokumen proses pembangunan, dan mengembangkan lembar kerja, yang
akan meliputi penggunaan konsep dan keterampilan yang digambarkan
dari matakuliah matematika, drafting dan/atau desain, lingkungan dan
kesehatan kerja, dan mungkin perdagangan bahan dan bangunan.
Menurut Alamaki (1999, Online), proyek selain dilakukan secara
kolaboratif juga harus bersifat inovatif, unik, dan berfokus pada
pemecahan masalah yang berhubungan dengan kehidupan pebelajar atau
kebutuhan masyarakat atau industri lokal.
Pembelajaran Berbasis Proyek memiliki potensi yang amat besar untuk
membuat pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermakna untuk
pebelajar usia dewasa, seperti siswa, apakah mereka sedang belajar di
perguruan tinggi maupun pelatihan transisional untuk memasuki lapangan
kerja (Gaer, 1998). Di dalam Pembelajaran Berbasis Proyek, pebelajar
menjadi terdorong lebih aktif di dalam belajar mereka, instruktur berposisi
di belakang dan pebelajar berinisiatif, instruktur memberi kemudahan dan
mengevaluasi proyek baik kebermaknaannya maupun penerapannya
untuk kehidupan mereka sehari-hari. Produk yang dibuat pebelajar selama
proyek memberikan hasil yang secara otentik dapat diukur oleh guru atau
instruktur di dalam pembelajarannya. Oleh karena itu, di dalam
Pembelajaran Berbasis Proyek, guru atau instruktur tidak lebih aktif dan
melatih secara langsung, akan tetapi instruktur menjadi pendamping,
fasilitator, dan memahami pikiran pebelajar.
Proyek pebelajar dapat disiapkan dalam kolaborasi dengan instruktur
tunggal atau instruktur ganda, sedangkan pebelajar belajar di dalam
kelompok kolaboratif antara 4—5 orang. Ketika pebelajar bekerja di dalam
tim, mereka menemukan keterampilan merencanakan, mengorganisasi,
negosiasi, dan membuat konsensus tentang isu-isu tugas yang akan
dikerjakan, siapa yang bertanggungjawab untuk setiap tugas, dan
bagaimana informasi akan dikumpulkan dan disajikan. Keterampilanketerampilan yang telah diidentifikasi oleh pebelajar ini merupakan
keterampilan yang amat penting untuk keberhasilan hidupnya, dan
sebagai tenaga kerja merupakan keterampilan yang amat penting di
tempat kerja. Karena hakikat kerja proyek adalah kolaboratif, maka
pengembangan keterampilan tersebut berlangsung di antara pebelajar. Di
dalam kerja kelompok suatu proyek, kekuatan individu dan cara belajar
yang diacu memperkuat kerja tim sebagai suatu keseluruhan.
Oakey (1998) mempertegas konsep dan karakteristik project-based
learning dengan membedakannya dengan problem based learning yang
seringkali saling dipertukarkan dalam penggunaan istilah ini. Istilah
project-based learning dan problem-based larning masing-masing
digunakan untuk menyatakan strategi pembelajaran. Kemiripan konsep
kedua pendekatan pembelajaran itu, dan penggunaan singkatan yang
sama, PBL, menghasilkan kerancuan di dalam leteratur dan penelitian
(lihat juga Thomas, 2000), meskipun sebenarnya di antara keduanya
berbeda.
Project-based learning dan problem-based learning memiliki beberapa
kesamaan karakteristik. Keduanya adalah strategi pembelajaran yang
dimaksudkan untuk melibatkan pebelajar di dalam tugas-tugas otentik
dan dunia nyata agar dapat memperluas belajar mereka. Pebelajar diberi
tugas proyek atau problem yang open-ended dengan lebih dari satu
pendekatan atau jawaban, yang mensimulasikan situasi profesional.
Kedua pendekatan ini juga didefinisikan sebagai student-centered, dan
menempatkan peranan guru sebagai fasilitator. Pebelajar dilibatkan dalam
project- atau problem- based learning yang secara umum bekerja di dalam
kelompok secara kolaboratif, dan didorong mencari berbagai sumber
informasi yang berhubungan dengan proyek atau problem yang
dikerjakan. Pendekatan ini menekankan pengukuran hasil belajar otentik
dan dengan basis unjuk kerja (performance-based assessment).
Meskipun banyak kemiripan, project- dan problem-based learning bukan
pendekatan yang identik. Project-based learning secara khusus dimulai
dengan produk akhir atau “artifact”di dalam pikiran, produksi tentang
sesuatu yang memerlukan keterampilan atau pengetahuan isi tertentu
yang secara khusus mengajukan satu atau lebih problem yang harus
dipecahkan oleh pebelajar. Pendekatan pembelajaran berbasis proyek
menggunakan model produksi: Pertama, pebelajar menetapkan tujuan
untuk pembuatan produk akhir dan mengidentifikasi audien mereka.
Mereka mengkaji topik mereka, mendesain produk, dan membuat
perencanaan manajemen proyek. Pebelajar kemudian memulai proyek,
memecahkan masalah dan isu-isu yang timbul dalam produksi, dan
menyelesaikan produk mereka. Pebelajar mungkin menggunakan atau
menyajikan produk yang mereka buat, dan idealnya mereka diberi waktu
untuk mengevaluasi hasil kerja mereka (Moursund, Bielefeldt, &
Underwood, 1997; Oakey, 1998). Proses belajarnya berlangsung otentik,
mencerminkan kegiatan produksi dunia nyata, dan konstruktivistik,
menggunakan pendekatan dan ide-ide pebelajar untuk menyelesaikan
tugas yang mereka tangani.
Tidak semua kegiatan belajar aktif dan melibatkan proyek dapat disebut
Pembelajaran Berbasis Proyek. Berangkat dari pertanyaan “apa yang
harus dimiliki proyek agar dapat digolongkan sebagai Pembelajaran
Berbasis Proyek,” dan keunikan Pembelajaran Berbasis Proyek yang
ditemukan dari sejumlah leteratur dan hasil penelitian, Thomas (2000)
menetapkan lima kriteria apakah suatu pembelajaran berproyek termasuk
sebagai Pembelajaran Berbasis Proyek. Lima kriteria itu adalah
keterpusatan (centrality), berfokus pada pertanyaan atau masalah,
investigasi konstruktif atau desain, otonomi pebelajar, dan realisme.
Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek adalah pusat atau inti
kurikulum, bukan pelengkap kurikulum. Di dalam Pembelajaran Berbasis
Proyek, proyek adalah strategi pembelajaran; pebelajar mengalami dan
belajar konsep-konsep inti suatu disiplin ilmu melalui proyek. Ada kerja
proyek yang mengikuti pembelajaran tradisional dengan cara proyek
tersebut memberi ilustrasi, contoh, praktik tambahan, atau aplikasi
praktik yang diajarkan sebelumnya dengan maksud lain. Akan tetapi,
menurut kriteria di atas, aplikasi proyek tersebut tidak dapat
dikategorikan sebagai Pembelajaran Berbasis Proyek. Kegiatan proyek
yang dimaksudkan untuk pengayaan di luar kurikulum juga tidak
termasuk Pembelajaran Berbasis Proyek.
Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek adalah terfokus pada
pertanyaan atau masalah, yang mendorong pebelajar menjalani (dengan
kerja keras) konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti atau pokok dari disiplin.
Kriteria ini sangat halus dan agak susah diraba. Difinisi proyek (bagi
pebelajar) harus dibuat sedemikian rupa agar terjalin hubungan antara
aktivitas dan pengetahuan konseptual yang melatarinya yang diharapkan
dapat berkembang menjadi lebih luas dan mendalam (Baron, Schwartz,
Vye, Moore, Petrosino, Zech, Bransford, & The Cognition and Technology
Group at Vanderbilt, 1998). Biasanya dilakukan dengan pengajuan
pertanyaan-pertanyaan atau ill-defined problem (Thomas, 2000). Proyek
dalam Pembelajaran Berbasis Proyek mungkin dibangun di sekitar unit
tematik, atau gabungan (intersection) topik-topik dari dua atau lebih
disiplin, tetapi itu belum sepenuhnya dapat dikatakan sebuah proyek.
Pertanyaan-pertanyaan yang mengejar pebelajar, sepadan dengan
aktivitas, produk, dan unjuk kerja yang mengisi waktu mereka, harus
digubah (orchestrated) dalam tugas yang bertujuan intelektual
(Blumenfeld, et al., 1991).
Proyek melibatkan pebelajar dalam investigasi konstruktif. Investigasi
mungkin berupa proses desain, pengambilan keputusan, penemuan
masalah, pemecahan masalah, diskoveri, atau proses pembangunan
model. Akan tetapi, agar dapat disebut proyek memenuhi kriteria
Pembelajaran Berbasis Proyek, aktivitas inti dari proyek itu harus meliputi
transformasi dan konstruksi pengetahuan (dengan pengertian:
pemahaman baru, atau keterampilan baru) pada pihak pebelajar (Bereiter
& Scardamalia, 1999). Jika pusat atau inti kegiatan proyek tidak
menyajikan “tingkat kesulitan” bagi anak, atau dapat dilakukan dengan
penerapan informasi atau keterampilan yang siap dipelajari, proyek yang
dimaksud adalah tak lebih dari sebuah latihan, dan bukan proyek
Pembelajaran Berbasis Proyek yang dimaksud. Membersihkan peralatan
laboratorium mungkin sebuah proyek, akan tetapi mungkin bukan proyek
dalam Pembelajaran Berbasis Proyek.
Proyek mendorong pebelajar sampai pada tingkat yang signifikan. Proyek
dalam Pembelajaran Berbasis Proyek bukanlah ciptaan guru, tertuliskan
dalam naskah, atau terpaketkan. Latihan laboratorium bukanlah contoh
Pembelajaran Berbasis Proyek, kecuali jika berfokus pada masalah dan
merupakan inti pada kurikulum. Proyek dalam Pembelajaran Berbasis
Proyek tidak berakhir pada hasil yang telah ditetapkan sebelumnya atau
mengambil jalur (prosedur) yang telah ditetapkan sebelumnya. Proyek
Pembelajaran Berbasis Proyek lebih mengutamakan otonomi, pilihan,
waktu kerja yang tidak bersifat rigid, dan tanggung jawab pebelajar
daripada proyek trandisional dan pembelajaran tradisoonal.
Proyek adalah realistik. Karakteristik proyek memberikan keontentikan
pada pebelajar. Karakteristik ini boleh jadi meliputi topik, tugas, peranan
yang dimainkan pebelajar, konteks dimana kerja proyek dilakukan,
kolaborator yang bekerja dengan pebelajar dalam proyek, produk yang
dihasilkan, audien bagi produk-produk proyek, atau kriteria di mana
produk-produk atau unjuk kerja dinilai. Pembelajaran Berbasis Proyek
melibatkan tantangan-tantangan kehidupan nyata, berfokus pada
pertanyaan atau masalah otentik (bukan simulatif), dan pemecahannya
berpotensi untuk diterapkan di lapangan yang sesungguhnya.
Pembelajaran berbasis proyek bisa menjadi bersifat revolusioner di dalam
isu pembaruan pembelajaran. Proyek dapat mengubah hakikat hubungan
antara guru dan pebelajar. Proyek dapat mereduksi kompetisi di dalam
kelas dan mengarahkan pebelajar lebih kolaboratif daripada kerja sendirisendiri. Proyek juga dapat menggeser fokus pembelajaran dari mengingat
fakta ke eksplorasi ide. Beberapa aspek yang membedakan pembelajaran
Berbasis Proyek dengan pembelajaran tradisional dideskripsikan oleh
Thomas, Mergendoller, & Michaelson (1999) sebagaimana dalam Tabel 2
berikut.
Tabel 2 Perbedaan Pembelajaran Berbasis Proyek dan Pembelajaran
Tradisional
ASPEK PENDIDIKAN PENEKANAN TRADISIONAL PENEKANAN BERBASIS
PROYEK
Fokus kurikulum Cakupan isi Kedalaan pemahaman
Pengetahuan tentang fakta-fakta Penguasaan konsep-konsep dan prinsipprinsip
Belajar keterampilan “building-block” dalam isolasi Pengembangan
keterampilan pemecahan masalah kompleks
Lingkup dan Urutan Mengikuti urutan kurikulum secara ketat Mengikuti
minat pebelajar
Berjalan dari blok ke blok atau unit ke unit Unit-unit besar terbentuk dari
problem Dan isu yang kompleks
Memusat, fokus berbasis disiplin Meluas, fokus interdisipliner
Peranan guru Penceramah dan direktur pembelajaran Penyedia sumber
belajar dan partisipan di dalam kegiatan belajar
Ahli Pembimbing/partner
Fokus pengukuran Produk Proses dan produk
Skor tes Pencapaian yang nyata
Membandingkan dengan yang lain Unjuk kerja standard dan kemajuan
dari waktu ke waktu
Reproduksi informasi Demonstrasi pemahaman
Bahan-bahan Pembelajaran Teks, ceramah, Dan presentasi Langsung
sumber-sumber asli: bahan-bahan tersectak, interviu, dokumen, dll.
Kegiatan dan lembar latihan dikembangkan guru Data dan bahan
dikembangkan oleh pebelajar
Penggunaan teknologi Penyokong, periferal Utama, integral
Dijalankan guru Diarahkan pebelajar
Kegunaan untuk perluasan presentasi guru Kegunaan untuk memperluas
presentasi pebelajar atau penguatan kemampuan pebelajar
Konteks kelas Pebelajar bekerja sendiri Pebelajar bekerja dalam kelompok
Pebelajar kompetisi satu dengan lainnya Pebelajar kolaboratif satu dengan
lainnya
Pebelajar menerima informasi dari guru Pebelajar mengkonstruksi,
berkontribusi, dan melakukan sintesis informasi
Peranan pebelajar Menjalankan perintah guru Melakukan kegiatan belajar
yang diarahkan oleh diri sendiri
Pengingat dan pengulang fakta Pengkaji, integrator, dan penyaji ide
Pembelajar menerima dan menyelesaikan tugas-tugas laporan pendek
Pebelajar menentukan tugas mereka sendiri Dan bekerja secara
independen dalam waktu yang besar
Tujuan jangka pendek Pengetahuan tentang fakta, istilah, dan isi
Pemahaman dan aplikasi ide dan proses yang kompleks
Tujuan jangka panjang Luas pengetahuan Dalam pengetahuan
Lulusan yang memiliki pengetahuan yang berhasil pada tes standard
pencapaian belajar Lulusan yang berwatak dan terampil mengembangkan
diri, mandiri, dan belajar sepanjang hanyat.
KEUNTUNGAN PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK
Moursund, Bielefeldt, & Underwood (1997) meneliti sejumlah artikel
tentang proyek di kelas yang dapat dipertimbangkan sebagai bahan
testimonial terhadap guru, terutama bagaimana guru menggunakan
proyek dan persepsi mereka tentang bagaimana keberhasilannya. Atribut
keuntungan dari Belajar Berbasis Proyek adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan motivasi. Laporan-lapo
PEMBELAJARAN PARTISIPATIF
PENDAHULUAN
Dengan diberlakukannya Kurikulum 2006, yang juga dikenal dengan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (baca: kurikulum sekolah), guru
diberi kebebasan mendesain pembelajaran sendiri sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi sekolah. Oleh karena itu, sudah bukan saatnya lagi
guru memaksakan pengetahuan kepada siswa. Model pembelajaran
seperti itu menempatkan siswa hanya sebagai obyek. Siswa tidak dihargai
sebagai individu yang sedang belajar dan membutuhkan bimbingan untuk
mengembangkan potensinya, baik potensi intelektual maupun
kepribadiannya.
Sudah saatnya guru meninggalkan model pembelajaran yang
menggunakan cara-cara instan. Model pembelajaran dengan sistem dril,
yang mengharapkan hasil bagus dengan cepat tanpa mengindahkan
prosedur pembelajaran yang semestinya, sesungguhnya bersifat
intimidatif. Bagaimana tidak meng-’intimidasi’ bila siswa senantiasa
dihadapkan pada keharusan meraih minimal ’nilai tertentu’ yang menjadi
standar kelulusan atau kenaikan kelas? Akibatnya, siswa mengikuti
pembelajaran di bawah bayang-bayang ancaman dan ketakutan ’tidak
naik kelas atau tidak lulus ujian’ jika tidak dapat menyerap atau
menguasai materi pelajaran (lebih tepatnya: menghafal), yang akan
dibuktikan dengan ulangan/tes/ujian.
Apabila dengan pembelajaran intimidatif tadi siswa merasa terpaksa
mengikuti kegiatan pembelajaran, sudah saatnya guru memikirkan dan
menerapkan model pembelajaran lain yang lebih memahami kondisi
siswa. Salah satu alternatifnya adalah model pembelajaran yang bersifat
partisipatif. Di sini siswa dilibatkan dan diikutsertakan dalam menentukan
dan mencari bahan/materi (dari berbagai sumber) yang akan dipelajari.
PEMBAHASAN
A. Konsep Pembelajaran Partisipatif
Pembelajaran partisipatif pada intinya dapat diartikan sebagai upaya
pendidik untuk mengikut sertakan peserta didik dalam kegiatan
pembelajaran yaitu dalam tahap perencanaan program, pelaksanaan
program dan penilaian program. Partisipasi pada tahap perencanaan
adalah keterlibatan peserta didik dalam kegiatan mengidentifikasi
kebutuhan belajar, permasalahan, sumber-sumber atau potensi yang
tersedia dan kemungkinan hambatan dalam pembelajaran. Partisipasi
dalam tahap pelaksanaan program kegiatan pembelajaran adalah
keterlibatan peserta didik dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk
belajar. Dimana salah satu iklim yang kondusif untuk kegiatan belajar
adalah pembinaan hubungan antara peserta didik, dan antara peserta
didik dengan pendidik sehingga tercipta hubungan kemanusiaan yang
terbuka, akrab, terarah, saling menghargai, saling membantu dan saling
belajar. Partisipasi dalam tahap penilaian program pembelajaran adalah
keterlibatan peserta didik dalam penilaian pelaksanaan pembelajaran
maupun untuk penilaian program pembelajaran. Penilaian pelaksanaan
pembelajaran mencakup penilaian terhadap proses, hasil dan dampak
pembelajaran.
Prinsip-prisip utama kegiatan pembelajaran partisipatif meliputi: 1)
berdasarkan kebutuhan belajar 2) berorientasi pada tujuan kegiatan
belajar, 3) berpusat pada warga belajar, 4) belajar berdasarkan
pengalaman, 5) kegiatan belajar dilakukan bersama oleh warga belajar
dengan sumber belajar dalam kelompok yang terorganisasi, 6) kegiatan
pembelajaran merupakan proses kegiatan saling membelajarkan, 7)
kegiatan pembelajaran diarahkan pada tujuan belajar yang hasilnya dapat
langsung dimanfaatkan oleh warga belajar, 8) kegiatan pembelajaran
menitik beratkan pada sumber-sumber pembelajaran yang tersedia dalam
masyarakat dan 9) kegiatan pembelajaran amat memperhatikan potensipotensi manusiawi warga belajar.
Selain itu, pembelajaran partisipatif sebagai kegiatan pembelajaran juga
memperhatikan prinsip proses stimulus dan respons yang di dalamnya
mengandung unsur-unsur kesiapan belajar, latihan, dan munculnya
pengaruh pada terjadinya perubahan tingkah laku. Pembelajaran
partisipatif sebagai kegiatan belajar lebih memperhatikan kegiatankegiatan individual dan mengutamakan kemampuan pendidik,
menekankan pentingnya pengalaman dan pemecahan masalah, dan
memfokuskan pada manfaat belajar bagi peserta didik
Dengan meminjam pemikiran Knowles, (E.Mulyasa,2003) menyebutkan
indikator pembelajaran partisipatif, yaitu : (1) adanya keterlibatan
emosional dan mental peserta didik; (2) adanya kesediaan peserta didik
untuk memberikan kontribusi dalam pencapaian tujuan; (3) dalam
kegiatan belajar terdapat hal yang menguntungkan peserta didik.
B. Ciri-ciri kegiatan pembelajaran partisipatif
Kegiatan pembelajaran partisipatif memilikii ciri-ciri pokok yang meliputi:
1. Sumber belajar menenpatkann diri pada posisi yang tidak serba
mengetahui terhadap semua bahan belajar. Memandang warga belajar
sebagai sumber yang mempunyai nilai dan manfaat dalam kegiatan
belajar.
2. Sumber belajar memainkan peranan membantu warga belajar dalam
melakukan kegiatan belajar. Kegiatan belajar ini didasarkan atas
kebutuhan belajar warga belajar.
3. Sumber belajar memotovasi warga belajar agar berpartisipasi dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan dalam mengevaluasi program
pembelajaran yang dijalaninya.
4. Sumber belajar bersama warga belajar melakukan kegiatan saling
membelajarkan dalam bentuk bertukar fikiran mengenai isi,proses, dan
hasil belajar serta pengembangannya.
5. Sumber belajar berperan membantu warga belajar dalam menciptakan
situasi pembelajaran yang kondusif, sehingga warga belajar dapat
melibatkan diri secara aktif dan bertanggungjawab dalam proses kegiatan
pembelajaran.
6. Sumber belajar mengembangkan kegiatan belajar kelompok.
7. Sumber belajar mendorong warga be;lajar untuk meningkatkan
semangat berprestasi, semangat berkompetisi menghadapi tantangan
yang berorientasi pada perbaikan kehidupan yang lebih baik.
8. Sumber belajar mendorong dan membantu warga belajar untuk
mengembangkan kemampuan memecahkan masalah di dalam dan
terhadap kehidupan yang dihadapinya sehari-hari.
9. Sumber belajar dan warga belajar secara bersama-sama
mengembangkan kemampuan antisipasi dan partisipasi.
10. Pembelajaran mencapai otonomi dan integrasi dalam kegiatan
individual dan kehidupan sosialnya.
C. Teori pendukung pembelajaran partisipasi
Menurut Sudjana, kegiatan belajar partisipasif didukung oleh beberapa
teori pembelajaran, di antaranya adalah teori connectionism Thorndike,
teori aliran tingkah laku yang dikembangkan oleh Guthrie, Skinner,
Crowder dan Hull, teori Gestal dan teori medan. Dalam Kaitan ini,
Trisnamansyah mengatakan bahwa kegiatan pembelajaran dalam
pendidikandi luar sekolah termasuk di da;lamnya kegiatan pembelajaran
partisipasi mendapat dukungan dari teori-teori perubahan sosial dan
psikologi sosial yang dapat diaplikasikan dalam kegiatan pembelajaran
seperti teori perubahan sikap sosial, teori dinamika kelompok, teori
komunikasi inovasi dan teori manajemen perubahan dalam pendidikan.
Teori yang relevan dibahas dalam hubungannya dengan kebutuhan
pengkajian ini adalah teori Asosiasi dan teori medan. Teori asosiasi
dikembangkan oleh Thorndike dan dilanjutkan Witson dan William James.
Toeri asosiasi berpandangan bahwa mutu kegiatan belajar akan efektif
apabila interaksi antara sumber belajar dan warga belajar dilakukan
melalui stimulus dan respon (S-R). Oleh karena itu makin giat dan makin
tinggi kemampuan warga belajar dalam mengembangkan stimulus dan
respon, maka makin efektif kegiatan belajarnya. Teori asosiasi
mengandung prinsip-prinsip dalam kegiatan belajar-membelajarkan, yaitu
prinsip kesiapan (readness), latihan (exercise), dan pengaruh (effect).
Prinsip kegiatan menekankan perlunya motovasi yang tinggi pada diri
warga belajar atau peserta didik untuk menghubungkan stimulus dan
respon. Prinsip latihan menekankan pentingya kegiatan latihan secara
berulang oleh warga belajar atau peserta didik dalam melakukan kegiatan
belajar. Prinsip pengaruh menekankan pada pentingnya hasil dan manfaat
langsung dari kegiatan belajar yang dijalani oleh warga belajar atau
peserta didik. Dalam hubungannya dengan kegiatan pembelajaran
partisipasi, teori asosiasi semakin mempertegas pentingnya peserta didik
untuk melakukan respon terhadap setiap stimullus oleh warga belajar atau
peserta didik itu sendiri serta menekankan pentingnya kegiatan belajar
perorangan.
Sementara itu teori medan yang dikembangkan oleh Kurt Lewin,
menekankan pentingnya pengalaman warga belajar yang berorientasi
pada pemecahan masalah serta didasari oleh motivasi belajar yang kuat.
Teori medan beranggapan bahwa setiap kegiatan akan efektif apabila
warga belajar merasakan kebutuhan untuk belajar serta memiliki
kesadaran diri bahwa belajar adalah sesuatu yang penting dalam
meningkatkan kualitas dan martabat kehuidupannya. Oleh karena itu,
kegiatan belajar bersama dalam kelompok belajar menjadi penting dan
utama bagi warga belajar.
D. Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif
Pendidikan partisipatif, atau teknik partisipatif, dilandasi oleh suatu
pandangan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki pengalaman yang
cukup kaya – untuk bisa diolah menjadi bahan pembelajaran. Pendidikan
partisipatif, tentu bukan sekedar teknik, melainkan statu pendekatan atau
bahkan paradigma baru yang meninggalkan paradigma lama yang
bersifat sistem bank.
Metode pembelajaran atau dalam istilah Knowels, “format pembelajaran”
diartikan sebagai patokan umum oleh karena itu bisa dikatakan bahwa
metode pembelajaran partisipatif adalah suatu patokan umum
pembelajaran partisipatif. Ahli lain seperti Vemer mengklasifikasikan
metode pembelajaran ke dalam tiga kategori, yaitu: metode pembelajaran
perorangan (Individual Methods), metode pembelajaran kelompok (Group
Methods) dan metode pembelajaran pembangunan masyarakat
(Community Methods).
Selanjutnya teknik pembelajaran diartikan sebagai penggunaan patokanpatokan khusus dalam melaksanakan suatu methode pembelajaran
tertentu yang meliputi langkah-langakah, sarana dan alat bantu dalam
ruang lingkup metode pembelajaran yang digunakan. Knowleds
menggolongkan teknik-teknik pembelajaran ke dalam jenis-jenis teknik
pembelajaran berikut: 1) teknik penyajian, meliputi ceramah, siaran,
televisi dan video tape, dialog, tanya jawab dan lain-lain, 2) teknik
partisipasi dalam kelompok besar mencakup tanya jawab, forum,
kelompok guru dan panel berangkai, 3) teknik diskusi berupa diskusi
terbimbing, pemecahan masalah dan diskusi kasus, 4) teknik simulasi
terdiri dari beermain peran, pemecahan masalah dan studi kasus, 5)
teknik latihan kelompok, 6) teknik latihan tanpa bicara, dan 7) teknik
latihan keterampilan dan latihan.
E. Peran Pendidik Dalam Pembelajaran
Peran pendidik dalam pembelajaran partisipatif lebih banyak berperan
sebagai pembimbing dan pendorong bagi peserta didik untuk melakukan
kegiatan pembelajaran sehingga mempengaruhi terhadap intensitas
peranan pendidik dalam pembelajaran. Menurut Knowles dan Cronne,
peranan sumber belajar mencakup: 1) menciptakan dan mengembangkan
situasi kegiatan belajar partisipatif, 2) menekankan peranan warga belajar
yang melaksanakan kegiatan belajar, dan 3) sumber belajar dituntut agar
mampu menyusun dan mengembangkan strategi pembelajaran
partisipatif.
Pada awal pembelajaran, intensitas peran pendidik sangat tinggi yaitu
untuk menyajikan berbagai informasi bahan belajar, memberikan motivasi
serta memberikan bimbingan kepada peserta dalam melakukan
pembelajaran, tetapi makin lama makin menurun intensitas perannya
digantikan oleh peran yang sangat tinggi dari peserta didik untuk
berpartisipasi dalam pembelajaran secara maksimal.
Langkah-langkah yang harus ditempuh pendidik dalam membantu peserta
didik untuk mengembangkan kegiatan pembelajaran adalah:
1. Menciptakan suasana yang mendorong peserta didik siap belajar.
2. Membantu peserta didik menyusun kelompok, agar siap belajar dan
membelajarkan
3. Membantu peserta didik untuk mendiagnosis dan menemukan
kebutuhan belajarnya.
4. Membantu peserta didik menyusun tujuan belajar.
5. Membantu peserta didik merancang pola-pola pengalaman belajar.
6. Membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar.
7. Membantu peserta didik melakukan evaluasi diri terhadap proses dan
hasil belajar
F. Proses Pembelajaran Partisipatif
Proses pembelajaran partisipatif dibentuk oleh unsur-unsur atau faktor
pembentuk proses pembelajaran. Unsur pembentuk proses pembelajaran
tersebut adalah: 1) tujuan, 2) materi, 3) metode, 4) warga belajar, 5)
fasilitator, 6) iklim dan 7) evaluasi. Kegiatan proses pembelajaran
partisipatif mencakup enam tahapan kegiatan yang berorientasi. Keenam
langkah kegiatan tersebut adalah: pembinaan keakraban, identifikasi
keutuhan, sumber dan kemungkinan hambatan, perumusan tujuan
belajar, penyusunan program kegiatan belajar, pelaksanaan kegiatan
belajar dan penilaian terhadap proses, hasil, dan dampak kegiatan
pembelajarn yang dilaksanakan.
Pembelajaran partisipatif menghargai pengetahuan dan pengalaman para
pendidik untuk terampil dalam menggunakan semua metode yang
berbeda. Suatu situasi pembelajaran yang berhubungan dengan
pengalaman seharusnya selalu diikuti oleh suatu sesi tanya jawab. Sesi
tanya jawab membantu melakukan kontekstualisasi pengelaman individu
dan kelompok ke dalam suatu kerangka verja yang lebih luas.
Kerangka kerja tanya jawab mengikuti siklus pembelajaran sebagai
berikut:
1. Publikasi Data: Berbagi pengalaman dan pengamatan.
Pertanyaan-pertanyaan spesifik seharusnya dituliskan di papan/bagan.
Guru sebagai fasilitator harus bekerja mengenai bagaimana data akan
dituliskan pada bagan. Pertanyaan seharusnya diajukan atas masingmasing peserta dan respon dicatat pada bagan. Perasaan yang
seharusnya diungkapkan hanya yang berhubungan dengan isu-isu kunci
untuk analisis.
2. Pemrosesan Data: Membahas pola dan dinamika.
Respon-respon ini seharusnya dicatat dan saling hubungan perasaan,
interaksi, dan peristiwa dibangun di dalam proses. Sementara para
peserta berbagi pengalaman mereka, fasilitator harus mendengarkan
dengan penuh perhatian dan tidak mempertanyakan atau membalas
perasaan yang diungkapkan. Sebaliknya ia harus menuliskannya pada
bagan
3. Penyamarataan dan Penerapan Data: Mengemukakan prinsip-prinsip.
Respon-respon ini harus juga dicatat dan dikonsolidasikan di dalam
proses. Prinsip-prinsip kunci harus diturunkan atas dasar data dan
analisisnya. Prinsip-prinsip ini harus dihubungkan dengan konsep-konsep
teoritis yang ada.
4. Penutup pengalaman.
Suatu penutupan formal atas latihan harus dilakukan ádalah
meninggalkan pada para peserta dengan rasa puas dan berani melakukan
eksplorasi ke depan.
PENUTUP
Pendidikan partisipatif, atau teknik partisipatif, ádalah sebuah upaya
pendidik untuk mengikut sertakan peserta didik dalam kegiatan
pembelajaran yaitu dalam tahap perencanaan program, pelaksanaan
program dan penilaian program. Pembelajaran partisipatif dilandasi oleh
suatu pandangan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki
pengalaman yang cukup kaya – untuk bisa diolah menjadi bahan
pembelajaran. Pendidikan partisipatif, tentu bukan sekedar teknik,
melainkan statu pendekatan atau bahkan paradigma baru yang
meninggalkan paradigma lama yang bersifat sistem bank.
Mengubah paradigma tentu bukan sebuah pekerjaan yang mudah.
Masalah ini tentu tidak bisa diselesaikan dalam waktu yang singkat. Kita
membutuhkan suatu langkah yang sistematis, massal dan terus menerus.
Pendidikan partisipatif memiliki maksud dasar untuk mengubah pola
hubungan yang ada antara peserta didik dengan pendidik (sumber
relajar). Para guru harus bersedia mengakui bahwa pihaknya juga
memerlukan belajar dari muridnya (warga relajar) dan demikian pula
sebaliknya.
Kebutuhan ini, sudah tentu sangat sulit bisa diharapkan berkembang
dalam waktu dekat. Guru sebagai fasilitator dituntut untuk mengubah diri,
demikian juga peserta didik. Inilah yang dikatakan bahwa perubahan
paradigma tidak bisa dilakukan dalam jangka dekat. Salah satu proses
penting yang layak dilalui ádalah adanya pembaharuan model-model
pendidikan. Pembaharuan dalam model ini tidak hanya hendak
mengoreksi cara mengajar, tetapi juga mengoreksi keseluruhan proses
pembelajaran. Kesemuanya ini menuntut adanya kesediaan semua pihak
untuk bersedia mengubah atau mentrasformasi pandangannya mengenai
pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
D. Sudjana. 1993. Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif Dalam
Pendidikan Luar Sekolah, Bandung: Nusantara Press.
E.A Locke & Associates. 2002. Essensi Kepemimpinan : Empat Kunci Untk
Memimpin Dengan Penuh Keberhasilan, Jakarta: Spektrum.
Knowles, M. 1975. Self Directed Learning. Chicago : Follet Publishing
Company.
M. Knowles, Informal Adult Education, New York: Association Publishing
Company.
Mulyasa.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan
Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Robert K. Cooper dan Sawaf. 2002. Kecerdasan Emosional Dalam
Kepemimpinan dan Organisasi, Jakarta: Gramedia, 2002.
S. Trisnamansyah. 1993. Perkembangan Pendidikan luar Sekolah dan
Upaya Mempersiapkan Pelaksanaan Wajib Belajar Dasar Sembilan Tahun,
Bandung: IKIP.
Sudjana. 2000. Manajemen Program Pendidikan untuk Pendidikan Luar
Sekolah dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Penerbit
Falah Production.
http://anakciremai.blogspot.com/2008/09/makalah-ilmu-pendidikantentang-model.html
http://www.sampoernafoundation.org/content/view/567/48/1/1/lang,id/
http://blog.uny.ac.id/yoyonsuryono/makalah/
Pembelajaran Berbasis Proyek: Model Potensial untuk Peningkatan
Mutu Pembelajaran
{ September 23, 2007 @ 2:50 pm } · { Blogroll }
Pembelajaran Berbasis Proyek:
Model Potensial untuk Peningkatan Mutu Pembelajaran
Waras Khamdi
Abstract: The aim of this paper is to highlight some of attempts at
integrating Project-Based Learning approach into the practice of teaching
and learning in engineering and vocational education. There are at least
five criteria to capture the uniqueness of Project-Based Learning, in
attempting to describe the difference between Project-Based Learning and
prior models that involved projects. The five criteria are centrality, driving
question or problem, constructive investigations, autonomy, and realism.
Benefits attributed to Project-Based Learning include: increased
motivation, problem-solving ability, decision-making skills, collaboration,
and resource-management skills.
Kata kunci: belajar berbasis proyek, otentik, konstruktivistik, kontekstual,
kolaboratif
Dalam konteks peradaban makro, sekarang umat manusia sedang
memasuki Abad Pengetahuan dan perlahan meninggalkan Abad Industrial.
Atas dasar analisisnya terhadap empat program pendidikan yang berhasil
mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan pada Abad Pengetahuan,
Trilling dan Hood (1999) membuat daftar perbandingan karakteristik
umum model pembelajaran Abad Pengetahuan yang dijelang umat
manusia dan Abad Industrial yang telah ditinggalkan umat manusia (Tabel
1). Perbandingan ini merefleksikan pandangan filosofis tentang teknologi
(pendidikan), terutama antara pandangan moderen dan pandangan
transformatif.
Tabel 1. Pembelajaran Abad Pengetahuan versus Abad Industrial
ABAD INDUSTRIAL ABAD PENGETAHUAN
Teacher-as-Director Teacher-as-Facilitator, Guide, Consultant
Teacher-as-Knowledge Source Teacher-as-Co-learner
Curriculum-directed Learning Student-directed Learning
Time-slotted, Rigidly Scheduled Learning Open, Flexible, On-demand
Learning
Primarily Fact-based Primarily Project-& Problem-based
Theoretical, Abstract Real-world, concrete
Principles & Survey Actions & Reflections
Drill & Practice Inquiry & Design
Rules & Procedures Discovery & Invention
Competitive Collaborative
Classroom-focused Community-focused
Prescribed Results Open-ended Results
Conform to Norm Creative Diversity
Computers-as-Subject of Study Computers-as-Tool for all Learning
Static Media Presentations Dynamic Multimedia Interactions
Classroom-bounded Communication Worldwide-unbounded
Communication
Test-assessed by Norms Performance-assessed by Expert, Mentors, Peers
& Self
Berdasarkan Tabel 1 tersebut setidak-tidaknya dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut. Pertama, terlihat jelas bahwa pergeseran paradigma
pembelajaran telah terjadi dalam praktik kependidikan. Banyak praktik
pendidikan yang dianggap mengutungkan pada abad industrial, seperti
belajar fakta, tubian (drill) dan praktik, hukum dan prosedur digantikan
belajar dalam konteks dunia nyata, otentik melalui problem dan proyek,
inkuiri, penemuan, dan invensi dalam praktik abad pengetahuan. Kedua,
kita akan membayangkan betapa sulitnya mencapai perubahan yang
sistematik ketika di lingkungan pendidikan kita masih teramat kental
dengan kebiasaan praktik pendidikan di abad industrial, seperti belajar
masih dikonsepsikan sebagai penyerapan fakta, belajar efektif dilakukan
dengan drill, dst. Ketiga, semakin jelas bahwa teknologi komunikasi dan
informasi adalah katalis penting untuk gerakan kita menuju metode
belajar di Abad Pengetahuan. Keempat, paradigma baru dalam belajar ini
menggelar tantangan yang luar biasa besar dan peluang untuk
pengembangan professional, baik preservice maupun inservice, bagi guruguru kita. Dalam banyak hal, redifinisi profesi pengajaran/pembelajaran
dan peranan guru memainkan peranan penting dalam proses belajar.
Kini, para peneliti pembelajaran berargumen tentang lingkungan belajar
dalam konteks yang kaya (rich environment). Pengetahuan dan
keterampilan yang kokoh dan bermakna-guna (meaningful-use) dapat
dikonstruk melalui tugas-tugas dan pekerjaan yang otentik (CORD, 2001,
Hung & Wong, 2000; Myers & Botti, 2000, ED, 1995; Marzano, 1992).
Keotentikan kegiatan kurikuler terdukung oleh proses kegiatan
perencanaan (designing) atau investigasi yang open-ended, dengan hasil
atau jawaban yang tidak ditetapkan sebelumnya oleh perspektif tertentu.
Pebelajar dapat didorong dalam proses membangun pengetahuan melalui
pengalaman dunia nyata dan negosiasi kognitif antarpersonal yang
berlangsung di dalam suasana kerja kolaboratif.
Kerja proyek dapat dilihat sebagai bentuk open-ended contextual activitybased learning, dan merupakan bagian dari proses pembelajaran yang
memberikan penekanan kuat pada pemecahan masalah sebagai suatu
usaha kolaboratif (Richmond & Striley, 1996), yang dilakukan dalam
proses pembelajaran dalam periode tertentu (Hung & Wong, 2000).
Blumenfeld et.al. (1991) mendiskripsikan model belajar berbasis proyek
(project-based learning) berpusat pada proses relatif berjangka waktu,
berfokus pada masalah, unit pembelajaran bermakna dengan
mengitegrasikan konsep-konsep dari sejumlah komponen pengetahuan,
atau disiplin, atau lapangan studi.
Ketika siswa bekerja di dalam tim, mereka menemukan keterampilan
merencanakan, mengorganisasi, negosiasi, dan membuat konsensus
tentang isu-isu tugas yang akan dikerjakan, siapa yang bertanggungjawab
untuk setiap tugas, dan bagaimana informasi akan dikumpulkan dan
disajikan. Keterampilan-keterampilan yang telah diidentifikasi oleh siswa
ini merupakan keterampilan yang amat penting untuk keberhasilan
hidupnya, dan sebagai tenaga kerja merupakan keterampilan yang amat
penting di tempat kerja kelak. Karena hakikat kerja proyek adalah
kolaboratif, maka pengembangan keterampilan tersebut berlangsung di
antara siswa. Di dalam kerja kelompok suatu proyek, kekuatan individu
dan cara belajar yang diacu memperkuat kerja tim sebagai suatu
keseluruhan.
MENGAPA PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK?
Herchbach (1999) menegaskan, sekurang-kurangnya terdapat tiga
tantangan yang harus dihadapi agar pendidikan teknologi terus
memainkan peran pendidikan yang signifikan di abad akan datang.
Pertama, dan paling penting, pendidikan teknologi harus berfokus pada
bagaimana yang terbaik dapat melayani pebelajar. Sedikit waktu harus
disisihkan untuk memikirkan tentang teknologi itu sendiri, dan lebih
memperhatikan harapan atau kebutuhan orangtua dan pebelajar dari
lapangan dan bagaimana kita dapat menerjemahkan harapan ini ke dalam
program pendidikan teknologi yang konkret dan dekat dengan kehidupan
mereka.
Kedua, lingkungan juga harus memberi peluang pendidikan yang terbaik.
Pendidikan teknologi yang terbaik dapat disusun secara interdisipliner,
lingkungan belajar berbasis aktivitas yang memberi peluang pebelajar
menerapkan pengetahuan untuk memecahkan masalah-masalah praktis
dan teknologis. Kata-kata interdisipliner dan aktivitas perlu ditekankan.
Barangkali di dalam lapangan atau subject matter yang lain tidak menjadi
tekanan, akan tetapi dalam pendidikan teknologi, interdisipliner dan
berbasis aktivitas itu memberi peluang bagi pebelajar untuk
mengintegrasikan pengetahuan dari lapangan studi lain yang
berhubungan. Hal ini juga berarti menempatkan kegiatan belajar
pebelajar di dalam konteks dunia nyata.
Ketiga, penting membangun dukungan di dalam komunitas kependidikan
yang lebih besar tentang pentingnya pendidikan teknologi sebagai bagian
bangunan kependidikan. Pendidikan teknologi adalah komponen integral
yang penting di dalam dunia kependidikan secara menyeluruh.
Oleh karena itu, Householder (1999) menegaskan pendidikan teknologi
harus: (1) memperluas landasan intelektual yang melatarbelakangi
desain, manufaktur, konstruksi, komunikasi, transportasi, engineering,
dan arsitektur yang memenuhi ruang teknik-teknik pengendalian alam
dan dunia buatan manusia; (2) menjelaskan secara detail praktik dan
body of technological knowledge agar mudah dikenali dan sebagai basis
sumber perencanaan pembelajaran; (3) menyusun strategi
pengembangan kurikulum yang komprehensif dan unik mengintegrasikan
praktik dan pengetahuan dengan pemahaman kontemporer cara-cara
pebelajar memperoleh pengetahuan dan keterampilan; (4) mengekplorasi
perbedaan individual dan kelompok, sehingga program yang tepat
mungkin didesain secara integral dengan kerangka kultural dan individual
mereka; dan (5) mengkaji kontribusi studi di bidang teknologi di dalam
dan di atas masyarakat kontemporer dengan visi yang jelas dan kritis
untuk mencapai kualitas hidup generasi masadepan.
Berdasarkan penekanan-penekanan Herchbach, dan Householder di atas,
maka prospek masa depan pendidikan teknologi ini memunculkan
orientasi yang makin kuat pada banyaknya tujuan pendidikan berfokus
pada pengembangan untuk hidup orang dewasa khususnya penyiapan
salah satu aktivitas universisal orang dewasa, yaitu kerja. Kerja, baik
digaji maupun tidak digaji, terjadi di tempat kerja, rumah, dan masyarakat
umum. Banyak kurikulum sekolah didesain untuk menyiapkan orangorang muda untuk bekerja, dan seringkali dengan justifikasi subject
matter ekonomi.
Di sisi lain, sekarang mulai banyak tempat kerja yang memberlakukan
pekerja temporer atau pekerja kontrak, dan akan lebih banyak
pengalaman berhenti dari pekerjaan yang satu dan ganti pekerjaan lain
sebagai bagian dari karier pekerja. Majikan tidak lagi diikat dengan
tuntutan peningkatan karier pekerja, dan tidak akan menanggung jaminan
hari tua, pensiun, dan tunjangan kesehatan (Bjorkquist, 1999). Hal ini
menggambarkan mobilitas pasar kerja yang makin tinggi. Kemampuan
diskoveri, eksplorasi, dan pengembangan kecerdasan menjadi realistis di
dalam kelas di mana teknologi berbasis mesin dan peralatan diajarkan.
Banyak pelajaran teknologi akan penting secara ekonomik dan
memperluas kepiawaian individu dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran Berbasis Proyek dipandang tepat sebagai satu model untuk
pendidikan teknologi untuk merespon isu-isu peningkatan kualitas
pendidikan teknologi dan perubahan-perubahan besar yang terjadi di
dunia kerja. Project-Based Learning adalah model pembelajaran yang
berfokus pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip utama (central) dari
suatu disiplin, melibatkan siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dan
tugas-tugas bermakna lainya, memberi peluang siswa bekerja secara
otonom mengkonstruk belajar mereka sendiri, dan puncaknya
menghasilkan produk karya siswa bernilai, dan realistik (BIE, 2001).
Berbeda dengan model-model pembelajaran tradisional yang umumnya
bercirikan praktik kelas yang berdurasi pendek, terisolasi/lepas-lepas, dan
aktivitas pembelajaran berpusat pada guru; model Project-Based Learning
menekankan kegiatan belajar yang relatif berdurasi panjang, holistikinterdisipliner, perpusat pada siswa, dan terintegrasi dengan praktik dan
isu-isu dunia nyata.
ADAPTASI MODEL PROBLEM-BASED LEARNING DALAM PENDIDIKAN MEDIS
Pendekatan Pembelajaran Berbasis Proyek (project-based learning) ini
merupakan adaptasi dari pendekatan pembelajaran berbasis masalah
(problem-based learning) yang awalnya berakar pada pendidikan medis
(kedokteran). Pendidikan medis menaruh perhatian besar terhadap
fenomena praktisi medis muda yang memiliki pengetahuan faktual cukup
tetapi gagal menggunakan pengetahuannya saat menangani pasien
sungguhan (Maxwell, Bellisimo, & Mergendoller, 1999). Setelah melakukan
pengkajian bagaimana tenaga medis dididik, pendidikan medis
mengembangkan program pembelajaran yang men-cemplung-kan siswa
ke dalam skenario penanganan pasien baik simulatif ataupun sungguhan.
Proses ini kemudian dikenal sebagai pendekatan problem-based learning.
Kini, problem-based learning diterapkan secara luas pada pendidikan
medis di negara-negara maju.
Karakteristik permasalahan pada pendidikan medis tersebut mirip dengan
permasalahan pada pendidikan teknologi dan kejuruan. Tamatan
pendidikan teknologi (dan kejuruan) belum siap memasuki lapangan kerja
atau bahkan gagal di tempat kerja, meskipun pengetahuan faktual telah
cukup diperoleh di sekolah. Berdasarkan pengalaman pada pendidikan
medis, pendekatan problem-based learning diadaptasi menjadi model
project-based learning untuk pendidikan teknologi dan kejuruan, terutama
program kompetensi produktif. Keduanya menekankan lingkungan belajar
siswa aktif, kerja kelompok (kolaboratif), dan teknik evaluasi otentik
(authentic assessment). Perbedaannya terletak pada perbedaan objek.
Kalau dalam problem-based learning pebelajar lebih didorong dalam
kegiatan yang memerlukan perumusan masalah, pengumpulan data, dan
analisis data (berhubungan dengan proses diagnosis pasien); maka dalam
project-based learning pebelajar lebih didorong pada kegiatan desain:
merumuskan job, merancang (designing), mengkalkulasi, melaksanakan
pekerjaan, dan mengevaluasi hasil. Seperti didefinisikan oleh Buck
Institute fo Education (1999), bahwa belajar berbasis proyek memiliki
karakteristik: (a) pebelajar membuat keputusan, dan membuat kerangka
kerja, (b) terdapat masalah yang pemecahannya tidak ditentukan
sebelumnya, (c) pebelajar merancang proses untuk mencapai hasil, (d)
pebelajar bertanggungjawab untuk mendapatkan dan mengelola informasi
yang dikumpulkan, (e) melakukan evaluasi secara kontinu, (f) pebelajar
secara teratur melihat kembali apa yang mereka kerjakan, (g) hasil akhir
berupa produk dan dievaluasi kualitasnya, dan (i) kelas memiliki atmosfer
yang memberi toleransi kesalahan dan perubahan.
Kebalikan dari pendekatan tradisional yang umumnya bercirikan
apprenticeship, ciri khas strategi Pembelajaran Berbasis Proyek bersifat
kolaboratif (Hung & Chen, 2000; Hung & Wong, 2000). Kegiatan
pembelajaran seperti tersebut mendukung proses konstruksi pengetahuan
dan pengembangan kompetensi produktif pebelajar yang secara aktual
muncul dalam bentuk-bentuk keterampilan okupasional/teknikal (technical
skills), dan keterampilan emploiabiliti sebagai pekerja yang baik
(employability skills). Kegiatan ini berbasis pada konteks kehidupan
sehari-hari pebelajar, baik fisik maupun sosial.
DUKUNGAN TEORETIS PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK
Secara teoretik dan konseptual, pendekatan belajar berbasis proyek ini
juga didukung oleh teori aktivitas (Hung dan Wong, 2000; Activity Theory,
[Online]) yang menyatakan bahwa struktur dasar suatu kegiatan terdiri
atas: (a) tujuan yang ingin dicapai dengan (b) subjek yang berada di
dalam konteks (c) suatu masyarakat di mana pekerjaan itu dilakukan
dengan perantaraan (d) alat-alat, (e) peraturan kerja, dan (f) pembagian
tugas (periksa, Gambar 1). Dalam penerapannya di kelas bertumpu pada
kegiatan belajar yang lebih menekankan pada kegiatan aktif dalam
bentuk melakukan sesuatu (doing) daripada kegiatan pasif “menerima”
transfer pengetahuan dari pengajar.
Alat
Subjek Objek Hasil
Aturan Masyarakat Pembagian Tugas
Gambar 1. Proses dalam Teori Aktivitas
Pendekatan pembelajaran berbasis proyek juga didukung teori belajar
konstruktivistik. Konstruktivisme adalah teori belajar yang mendapat
dukungan luas yang bersandar pada ide bahwa siswa membangun
pengetahuannya sendiri di dalam konteks pengalamannya sendiri
(Murphy, 1997, [Online]). Pendekatan Pembelajaran Berbasis Proyek dapat
dipandang sebagai salah satu pendekatan penciptaan lingkungan belajar
yang dapat mendorong siswa mengkonstruk pengetahuan dan
keterampilan secara personal. Tatkala pendekatan proyek ini dilakukan
dalam modus belajar kolaboratif dalam kelompok kecil siswa, pendekatan
ini juga mendapat dukungan teoretik yang bersumber dari
konstruktivisme sosial Vygotsky yang memberikan landasan
pengembangan kognitif melalui peningkatan intensitas interaksi
antarpersonal (Vygotsky, 1978; Davydov, 1995, Moore, 1999). Adanya
peluang untuk menyampaikan ide, mendengarkan ide-ide orang lain, dan
merefleksikan ide sendiri pada ide-ide orang lain, adalah suatu bentuk
pengalaman pemberdayaan individu. Proses interaktif dengan kawan
sejawat itu membantu proses konstruksi pengetahuan (meaning-making
process). Dalam pandangan ini transaksi sosial memainkan peranan
sangat penting dalam pembentukan kognisi (Richmond & Striley, 1996).
Proses negosiasi kognitif interpersonal sebagai bentuk dari pengajuan
gagasan, debat, dan menerima atau menolak selama proses interaksi
dengan kawan sejawat memungkinkan perluasan dan penghalusan
pengetahuan dan keterampilan. Dari perspektif teoretik ini, pendekatan
belajar berbasis proyek ini memberikan alternatif lingkungan belajar
otentik di mana pembelajar dapat membantu memudahkan siswa
meningkatkan keterampilan mereka di dalam bekerja dan pemecahan
masalah secara kolaboratif. Sebagai pendekatan pembelajaran baru,
Pembelajaran Berbasis Proyek potensial berhasil memperbaiki praktik
pembelajaran pada pendidikan teknologi (dan kejuruan).
Pendekatan belajar berbasis proyek (project-based learning) memiliki
potensi yang besar untuk membuat pengalaman belajar yang menarik
dan bermakna bagi pebelajar dewasa untuk memasuki lapangan kerja.
Menurut pengalaman Gaer (1998), di dalam project-based learning yang
diterapkan untuk mengembangkan kompetensi para pekerja perusahaan,
peserta pelatihan menjadi lebih aktif di dalam belajar mereka, dan banyak
keterampilan tempatkerja yang berhasil dibangun dari proyek di dalam
kelasnya, seperti keterampilan membangun tim, membuat keputusan
kooperatif, pemecahan masalah kelompok, dan pengelolaan tim.
Keterampilan-keterampilan tersebut besar nilainya di tempat kerja dan
merupakan keterampilan yang sukar diajarkan melalui pembelajaran
tradisional. Hasil penelitian Departemen Pendidikan Amerika Serikat (ED)
menunjukkan hal yang sama. Hasil kajian lintas daerah yang dilakukannya
menunjukkan bahwa tugas-tugas yang dijalankan dalam bentuk kegiatan
yang menantang dan mengesankan pada diri pebelajar memiliki pengaruh
positif terhadap motivasi, pemahaman, dan unjuk kerja pebelajar (ED,
1995). Potensi keefektifan belajar berbasis proyek ini juga didukung oleh
temuan-temuan penelitian belajar kolaboratif yang terbukti dapat
meningkatkan pencapaian prestasi akademik, berpikir tingkat tinggi dan
keterampilan berpikir kritis yang lebih baik, kemampuan memandang
situasi dari perspektif lain yang lebih baik, pemahaman yang mendalam
terhadap bahan belajar, lebih bersikap positif terhadap bidang studi,
hubungan yang lebih positif dan suportif dengan kawan sejawat, dan
meningkatkan motivasi belajar (Thomas, 2000; Johnson, Johnson, &
Stanne, 2000; Kaufman, Felder & Fuller, 2000; Haller, Gallagher, Weldon,
& Felder, 2000; Shia, Howard & McGee, 1998; Felder & Brent, 1996).
KONSEP DAN KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK
Pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) adalah sebuah
model atau pendekatan pembelajaran yang inovatif, yang menekankan
belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks (CORD,
2001; Thomas, Mergendoller, & Michaelson, 1999; Moss, Van-Duzer, Carol,
1998). Fokus pembelajaran terletak pada konsep-konsep dan prinsipprinsip inti dari suatu disiplin studi, melibatkan pebelajar dalam
investigasi pemecahan masalah dan kegiatan tugas-tugas bermakna yang
lain, memberi kesempatan pebelajar bekerja secara otonom
mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri, dan mencapai puncaknya
menghasilkan produk nyata (Thomas, 2000).
Biasanya memerlukan beberapa tahapan dan beberapa durasi — tidak
sekedar merupakan rangkaian pertemuan kelas— serta belajar kelompok
kolaboratif. Proyek memfokuskan pada pengembangan produk atau unjuk
kerja (performance), yang secara umum pebelajar melakukan kegiatan:
mengorganisasi kegiatan belajar kelompok mereka, melakukan pengkajian
atau penelitian, memecahkan masalah, dan mensintesis informasi. Proyek
seringkali bersifat interdisipliner. Misalnya, suatu proyek merancang draft
untuk bangunan struktur (konstruksi bangunan tertentu) melibatkan
pebelajar dalam kegiatan investigasi pengaruh lingkungan, pembuatan
dokumen proses pembangunan, dan mengembangkan lembar kerja, yang
akan meliputi penggunaan konsep dan keterampilan yang digambarkan
dari matakuliah matematika, drafting dan/atau desain, lingkungan dan
kesehatan kerja, dan mungkin perdagangan bahan dan bangunan.
Menurut Alamaki (1999, Online), proyek selain dilakukan secara
kolaboratif juga harus bersifat inovatif, unik, dan berfokus pada
pemecahan masalah yang berhubungan dengan kehidupan pebelajar atau
kebutuhan masyarakat atau industri lokal.
Pembelajaran Berbasis Proyek memiliki potensi yang amat besar untuk
membuat pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermakna untuk
pebelajar usia dewasa, seperti siswa, apakah mereka sedang belajar di
perguruan tinggi maupun pelatihan transisional untuk memasuki lapangan
kerja (Gaer, 1998). Di dalam Pembelajaran Berbasis Proyek, pebelajar
menjadi terdorong lebih aktif di dalam belajar mereka, instruktur berposisi
di belakang dan pebelajar berinisiatif, instruktur memberi kemudahan dan
mengevaluasi proyek baik kebermaknaannya maupun penerapannya
untuk kehidupan mereka sehari-hari. Produk yang dibuat pebelajar selama
proyek memberikan hasil yang secara otentik dapat diukur oleh guru atau
instruktur di dalam pembelajarannya. Oleh karena itu, di dalam
Pembelajaran Berbasis Proyek, guru atau instruktur tidak lebih aktif dan
melatih secara langsung, akan tetapi instruktur menjadi pendamping,
fasilitator, dan memahami pikiran pebelajar.
Proyek pebelajar dapat disiapkan dalam kolaborasi dengan instruktur
tunggal atau instruktur ganda, sedangkan pebelajar belajar di dalam
kelompok kolaboratif antara 4—5 orang. Ketika pebelajar bekerja di dalam
tim, mereka menemukan keterampilan merencanakan, mengorganisasi,
negosiasi, dan membuat konsensus tentang isu-isu tugas yang akan
dikerjakan, siapa yang bertanggungjawab untuk setiap tugas, dan
bagaimana informasi akan dikumpulkan dan disajikan. Keterampilanketerampilan yang telah diidentifikasi oleh pebelajar ini merupakan
keterampilan yang amat penting untuk keberhasilan hidupnya, dan
sebagai tenaga kerja merupakan keterampilan yang amat penting di
tempat kerja. Karena hakikat kerja proyek adalah kolaboratif, maka
pengembangan keterampilan tersebut berlangsung di antara pebelajar. Di
dalam kerja kelompok suatu proyek, kekuatan individu dan cara belajar
yang diacu memperkuat kerja tim sebagai suatu keseluruhan.
Oakey (1998) mempertegas konsep dan karakteristik project-based
learning dengan membedakannya dengan problem based learning yang
seringkali saling dipertukarkan dalam penggunaan istilah ini. Istilah
project-based learning dan problem-based larning masing-masing
digunakan untuk menyatakan strategi pembelajaran. Kemiripan konsep
kedua pendekatan pembelajaran itu, dan penggunaan singkatan yang
sama, PBL, menghasilkan kerancuan di dalam leteratur dan penelitian
(lihat juga Thomas, 2000), meskipun sebenarnya di antara keduanya
berbeda.
Project-based learning dan problem-based learning memiliki beberapa
kesamaan karakteristik. Keduanya adalah strategi pembelajaran yang
dimaksudkan untuk melibatkan pebelajar di dalam tugas-tugas otentik
dan dunia nyata agar dapat memperluas belajar mereka. Pebelajar diberi
tugas proyek atau problem yang open-ended dengan lebih dari satu
pendekatan atau jawaban, yang mensimulasikan situasi profesional.
Kedua pendekatan ini juga didefinisikan sebagai student-centered, dan
menempatkan peranan guru sebagai fasilitator. Pebelajar dilibatkan dalam
project- atau problem- based learning yang secara umum bekerja di dalam
kelompok secara kolaboratif, dan didorong mencari berbagai sumber
informasi yang berhubungan dengan proyek atau problem yang
dikerjakan. Pendekatan ini menekankan pengukuran hasil belajar otentik
dan dengan basis unjuk kerja (performance-based assessment).
Meskipun banyak kemiripan, project- dan problem-based learning bukan
pendekatan yang identik. Project-based learning secara khusus dimulai
dengan produk akhir atau “artifact”di dalam pikiran, produksi tentang
sesuatu yang memerlukan keterampilan atau pengetahuan isi tertentu
yang secara khusus mengajukan satu atau lebih problem yang harus
dipecahkan oleh pebelajar. Pendekatan pembelajaran berbasis proyek
menggunakan model produksi: Pertama, pebelajar menetapkan tujuan
untuk pembuatan produk akhir dan mengidentifikasi audien mereka.
Mereka mengkaji topik mereka, mendesain produk, dan membuat
perencanaan manajemen proyek. Pebelajar kemudian memulai proyek,
memecahkan masalah dan isu-isu yang timbul dalam produksi, dan
menyelesaikan produk mereka. Pebelajar mungkin menggunakan atau
menyajikan produk yang mereka buat, dan idealnya mereka diberi waktu
untuk mengevaluasi hasil kerja mereka (Moursund, Bielefeldt, &
Underwood, 1997; Oakey, 1998). Proses belajarnya berlangsung otentik,
mencerminkan kegiatan produksi dunia nyata, dan konstruktivistik,
menggunakan pendekatan dan ide-ide pebelajar untuk menyelesaikan
tugas yang mereka tangani.
Tidak semua kegiatan belajar aktif dan melibatkan proyek dapat disebut
Pembelajaran Berbasis Proyek. Berangkat dari pertanyaan “apa yang
harus dimiliki proyek agar dapat digolongkan sebagai Pembelajaran
Berbasis Proyek,” dan keunikan Pembelajaran Berbasis Proyek yang
ditemukan dari sejumlah leteratur dan hasil penelitian, Thomas (2000)
menetapkan lima kriteria apakah suatu pembelajaran berproyek termasuk
sebagai Pembelajaran Berbasis Proyek. Lima kriteria itu adalah
keterpusatan (centrality), berfokus pada pertanyaan atau masalah,
investigasi konstruktif atau desain, otonomi pebelajar, dan realisme.
Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek adalah pusat atau inti
kurikulum, bukan pelengkap kurikulum. Di dalam Pembelajaran Berbasis
Proyek, proyek adalah strategi pembelajaran; pebelajar mengalami dan
belajar konsep-konsep inti suatu disiplin ilmu melalui proyek. Ada kerja
proyek yang mengikuti pembelajaran tradisional dengan cara proyek
tersebut memberi ilustrasi, contoh, praktik tambahan, atau aplikasi
praktik yang diajarkan sebelumnya dengan maksud lain. Akan tetapi,
menurut kriteria di atas, aplikasi proyek tersebut tidak dapat
dikategorikan sebagai Pembelajaran Berbasis Proyek. Kegiatan proyek
yang dimaksudkan untuk pengayaan di luar kurikulum juga tidak
termasuk Pembelajaran Berbasis Proyek.
Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek adalah terfokus pada
pertanyaan atau masalah, yang mendorong pebelajar menjalani (dengan
kerja keras) konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti atau pokok dari disiplin.
Kriteria ini sangat halus dan agak susah diraba. Difinisi proyek (bagi
pebelajar) harus dibuat sedemikian rupa agar terjalin hubungan antara
aktivitas dan pengetahuan konseptual yang melatarinya yang diharapkan
dapat berkembang menjadi lebih luas dan mendalam (Baron, Schwartz,
Vye, Moore, Petrosino, Zech, Bransford, & The Cognition and Technology
Group at Vanderbilt, 1998). Biasanya dilakukan dengan pengajuan
pertanyaan-pertanyaan atau ill-defined problem (Thomas, 2000). Proyek
dalam Pembelajaran Berbasis Proyek mungkin dibangun di sekitar unit
tematik, atau gabungan (intersection) topik-topik dari dua atau lebih
disiplin, tetapi itu belum sepenuhnya dapat dikatakan sebuah proyek.
Pertanyaan-pertanyaan yang mengejar pebelajar, sepadan dengan
aktivitas, produk, dan unjuk kerja yang mengisi waktu mereka, harus
digubah (orchestrated) dalam tugas yang bertujuan intelektual
(Blumenfeld, et al., 1991).
Proyek melibatkan pebelajar dalam investigasi konstruktif. Investigasi
mungkin berupa proses desain, pengambilan keputusan, penemuan
masalah, pemecahan masalah, diskoveri, atau proses pembangunan
model. Akan tetapi, agar dapat disebut proyek memenuhi kriteria
Pembelajaran Berbasis Proyek, aktivitas inti dari proyek itu harus meliputi
transformasi dan konstruksi pengetahuan (dengan pengertian:
pemahaman baru, atau keterampilan baru) pada pihak pebelajar (Bereiter
& Scardamalia, 1999). Jika pusat atau inti kegiatan proyek tidak
menyajikan “tingkat kesulitan” bagi anak, atau dapat dilakukan dengan
penerapan informasi atau keterampilan yang siap dipelajari, proyek yang
dimaksud adalah tak lebih dari sebuah latihan, dan bukan proyek
Pembelajaran Berbasis Proyek yang dimaksud. Membersihkan peralatan
laboratorium mungkin sebuah proyek, akan tetapi mungkin bukan proyek
dalam Pembelajaran Berbasis Proyek.
Proyek mendorong pebelajar sampai pada tingkat yang signifikan. Proyek
dalam Pembelajaran Berbasis Proyek bukanlah ciptaan guru, tertuliskan
dalam naskah, atau terpaketkan. Latihan laboratorium bukanlah contoh
Pembelajaran Berbasis Proyek, kecuali jika berfokus pada masalah dan
merupakan inti pada kurikulum. Proyek dalam Pembelajaran Berbasis
Proyek tidak berakhir pada hasil yang telah ditetapkan sebelumnya atau
mengambil jalur (prosedur) yang telah ditetapkan sebelumnya. Proyek
Pembelajaran Berbasis Proyek lebih mengutamakan otonomi, pilihan,
waktu kerja yang tidak bersifat rigid, dan tanggung jawab pebelajar
daripada proyek trandisional dan pembelajaran tradisoonal.
Proyek adalah realistik. Karakteristik proyek memberikan keontentikan
pada pebelajar. Karakteristik ini boleh jadi meliputi topik, tugas, peranan
yang dimainkan pebelajar, konteks dimana kerja proyek dilakukan,
kolaborator yang bekerja dengan pebelajar dalam proyek, produk yang
dihasilkan, audien bagi produk-produk proyek, atau kriteria di mana
produk-produk atau unjuk kerja dinilai. Pembelajaran Berbasis Proyek
melibatkan tantangan-tantangan kehidupan nyata, berfokus pada
pertanyaan atau masalah otentik (bukan simulatif), dan pemecahannya
berpotensi untuk diterapkan di lapangan yang sesungguhnya.
Pembelajaran berbasis proyek bisa menjadi bersifat revolusioner di dalam
isu pembaruan pembelajaran. Proyek dapat mengubah hakikat hubungan
antara guru dan pebelajar. Proyek dapat mereduksi kompetisi di dalam
kelas dan mengarahkan pebelajar lebih kolaboratif daripada kerja sendirisendiri. Proyek juga dapat menggeser fokus pembelajaran dari mengingat
fakta ke eksplorasi ide. Beberapa aspek yang membedakan pembelajaran
Berbasis Proyek dengan pembelajaran tradisional dideskripsikan oleh
Thomas, Mergendoller, & Michaelson (1999) sebagaimana dalam Tabel 2
berikut.
Tabel 2 Perbedaan Pembelajaran Berbasis Proyek dan Pembelajaran
Tradisional
ASPEK PENDIDIKAN PENEKANAN TRADISIONAL PENEKANAN BERBASIS
PROYEK
Fokus kurikulum Cakupan isi Kedalaan pemahaman
Pengetahuan tentang fakta-fakta Penguasaan konsep-konsep dan prinsipprinsip
Belajar keterampilan “building-block” dalam isolasi Pengembangan
keterampilan pemecahan masalah kompleks
Lingkup dan Urutan Mengikuti urutan kurikulum secara ketat Mengikuti
minat pebelajar
Berjalan dari blok ke blok atau unit ke unit Unit-unit besar terbentuk dari
problem Dan isu yang kompleks
Memusat, fokus berbasis disiplin Meluas, fokus interdisipliner
Peranan guru Penceramah dan direktur pembelajaran Penyedia sumber
belajar dan partisipan di dalam kegiatan belajar
Ahli Pembimbing/partner
Fokus pengukuran Produk Proses dan produk
Skor tes Pencapaian yang nyata
Membandingkan dengan yang lain Unjuk kerja standard dan kemajuan
dari waktu ke waktu
Reproduksi informasi Demonstrasi pemahaman
Bahan-bahan Pembelajaran Teks, ceramah, Dan presentasi Langsung
sumber-sumber asli: bahan-bahan tersectak, interviu, dokumen, dll.
Kegiatan dan lembar latihan dikembangkan guru Data dan bahan
dikembangkan oleh pebelajar
Penggunaan teknologi Penyokong, periferal Utama, integral
Dijalankan guru Diarahkan pebelajar
Kegunaan untuk perluasan presentasi guru Kegunaan untuk memperluas
presentasi pebelajar atau penguatan kemampuan pebelajar
Konteks kelas Pebelajar bekerja sendiri Pebelajar bekerja dalam kelompok
Pebelajar kompetisi satu dengan lainnya Pebelajar kolaboratif satu dengan
lainnya
Pebelajar menerima informasi dari guru Pebelajar mengkonstruksi,
berkontribusi, dan melakukan sintesis informasi
Peranan pebelajar Menjalankan perintah guru Melakukan kegiatan belajar
yang diarahkan oleh diri sendiri
Pengingat dan pengulang fakta Pengkaji, integrator, dan penyaji ide
Pembelajar menerima dan menyelesaikan tugas-tugas laporan pendek
Pebelajar menentukan tugas mereka sendiri Dan bekerja secara
independen dalam waktu yang besar
Tujuan jangka pendek Pengetahuan tentang fakta, istilah, dan isi
Pemahaman dan aplikasi ide dan proses yang kompleks
Tujuan jangka panjang Luas pengetahuan Dalam pengetahuan
Lulusan yang memiliki pengetahuan yang berhasil pada tes standard
pencapaian belajar Lulusan yang berwatak dan terampil mengembangkan
diri, mandiri, dan belajar sepanjang hanyat.
KEUNTUNGAN PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK
Moursund, Bielefeldt, & Underwood (1997) meneliti sejumlah artikel
tentang proyek di kelas yang dapat dipertimbangkan sebagai bahan
testimonial terhadap guru, terutama bagaimana guru menggunakan
proyek dan persepsi mereka tentang bagaimana keberhasilannya. Atribut
keuntungan dari Belajar Berbasis Proyek adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan motivasi. Laporan-lapo