IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DAERAH (STUDI DI KECAMATAN TANJUNGRAYA KABUPATEN MESUJI)

(1)

ABSTRACT

IMPLEMENTATION BY LAW OF NUMBER 09 YEAR 2011 ABOUT SYSTEM MANAGEMENT OF DEVELOPMENT PARTISIPATIVE of AREA

( Study At District Of Tanjungraya Sub-Province of Mesuji ) By

Indra Saputra

The objective of this research was to find implementation By Law Of Number 09 year 2011 about System Management Of Partisipative Development. There are several things becoming parameter in measuring implementation, namely integrity of used sumberdaya, quality of execution of step of planning, relation pattern between stakeholder and also constraints faced in course of implementation. This is study very useful to evaluate execution of Perda Number 09 year 2011. In this research of researcher use method qualitative with descriptive analysis that is with planning process from Deliberation Planning Of Development Of Orchard (Musrenbangdus), Special Deliberation of Woman (MKP), Deliberation Planning of Development of Countryside (Musrenbangdes) and Deliberation Planning of Development of District (Musrenbangcam) The conclusion of this research is that Deliberation of Development Planning in Orchard still be carried out and less be maximal. If document RPJM- Des, Musrebangdus needn't is again executed. In this deliberation is dominant of its role is KPMD. Special Deliberation of woman (MKP) have been executed by according to Perda Number 09 year 2011. Dominant stakeholder is Fasilitator PNPM-MPD, because concept MKP of result of adoption from PNPM-MPD. Just only which still become the constraint is not yet its his maximal is sterelisasi of forum MKP from men circle. Deliberation of Development Planning in Countryside have been executed by according to Perda Number 09 year 2011. In Musrenbangdes, have been done/conducted by compilation of priority scale from entire/all


(2)

defrayal element. Dominant stakeholder is countryside head of because as organizer and knowing a lot of information. about defrayal source. Deliberation of Development Planning in Subdistrict have been executed by according to Perda Number 09 year 2011. In Musrenbang subdistrict, have been conducted by compilation of priority scale from entire defrayal element. Dominant stakeholder is countryside head, elite figure and woman group of because those who majority as courier. Courier giving assessment to all proposal, so that priority scale shall no longger be intervenced by the Sub-Regency chief and member DPRD, but have more partisipative


(3)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM PENGELOLAAN PEMBANGUNAN

PARTISIPATIF DAERAH

(Studi Pada Kecamatan Tanjungraya Kabupaten Mesuji) Oleh

Indra Saputra

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi Peraturan Daerah Nomor 09 tahun 2011 tentang Sistem Pengelolaan Pembangunan Partisipatif.Terdapat beberapa hal yang menjadi parameter dalam mengukur implementasi, yakni keterpaduan sumberdaya yang digunakan, kualitas pelaksanaan tahapan perenanaan, pola hubungan antar stakeholder serta kendala-kendala yang dihadapi dalam proses implementasi. Kajian ini sangat bermanfaat untuk mengevaluasi pelaksanaan Perda Nomor 09 tahun 2011 tersebut. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode kualitatif dengan analisis deskriptif yaitu dengan mendeskripsikan tahapa perencanaan yang dimulai dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan Dusun (Musrenbangdus), Musyawarah Khusus Perempuan (MKP), Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan (Musrenbangcam). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Musyawarah Perencanaan Pembangunan di Dusun masih diselenggarakan dan kurang maksimal. Jika dokumen RPJM- Des, Musrebangdus tidak perlu lagi dilaksanakan. Dalam musyawarah ini yang dominan perannya adalah KPMD.Musyawarah khusus perempuan (MKP) sudah dilaksanakan sesuai Perda


(4)

Nomor 09 tahun 2011. Pihak yang dominan adalah Fasilitator PNPM-Mpd, karena konsep MKP hasil adopsi dari PNPM-MPd. Hanya saja yang masih menjadi kendala adalah belum maksimalnya sterelisasi forum MKP dari kalangan laki-laki. Musyawarah Perencanaan Pembangunan di Desa sudah dilaksanakan sesuai Perda Nomor 09 tahun 2011. Dalam Musrenbangdes, sudah dilakukan penyusunan skala prioritas dari seluruh unsur pembiayaan. Pihak yang dominan adalah kepala desa karena sebagai penyelenggara dan yang mengetahui banyak informasi tentang sumber pembiayaan. Musyawarah Perencanaan Pembangunan di Kecamatan sudah dilaksanakan sesuai Perda Nomor 09 tahun 2011. Dalam Musrenbang kecamatan, sudah dilakukan penyusunan skala prioritas dari seluruh unsur pembiayaan. Pihak yang dominan adalah kepala desa, tokoh masyarakat dan kelompok perempuan karena mereka yang mayoritas sebagai utusan. Utusan yang memberikan penilaian terhadap semua usulan, sehingga skala prioritas tidak lagi diintervensi Camat dan anggota DPRD, tapi sudah lebih partisipatif.


(5)

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM PENGELOLAAN PEMBANGUNAN

PARTISIPATIF DAERAH

(Studi Pada Kecamatan Tanjungraya Kabupaten Mesuji) ( Tesis )

Oleh

Indra Saputra

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(6)

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM PENGELOLAAN PEMBANGUNAN

PARTISIPATIF DAERAH

(Studi Pada Kecamatan Tanjungraya Kabupaten Mesuji)

Oleh

Indra Saputra

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister Ilmu Pemerintahan

Pada

Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Lampung

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(7)

(8)

(9)

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis ( Indra Saputra), dilahirkan di Kota Pangkal Pinang Provinsi

Bangka Belitung, pada tanggal 31 Juli 1983, sebagai putra pertama dari tiga bersaudara pasangan Ayahanda Sudirman Nagararaja dan Ibunda Syarifah.

Penulis mulai merintis dunia pendidikan formal di SD I Negararatu Lampung Utara tahun 1989. Selanjutnya penulis meneruskan sekolah ke jenjang SLTP Negeri 3 Sungkai Utara Kabuptaen Lampung Utara tahun 1995. Tahun 1998, penulis melanjutkan ke jenjang SMU Negeri 2 Kota Bumi Kabupaten Lampung Utara dan Insya Allah penulis akan menyelesaikan studi di Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Lampung

Di Kampus, penulis aktif di organisasi. Organisasi yang pertama penulis ikuti adalah HMJ Ilmu Pemerintahan dab BEM FISIP Unila. Sedangkan Organisasi eksternal yang penulis arungi adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sedangkan pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti penulis adalah sebagai berikut LKTM-TD, LKTM-PMBasic Training (LK I) di HMI, Intermediate Training (LK II) di HMI,

Pasca mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, penulis bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara di Pemerintah Kabupaten Mesuji


(11)

Kupersembahkan Karya Ilmiah ini Kepada :

Mamak yang saya muliakan “Syarifah” dan

Bapakku “Sudirman Nagaraja”, yang telah membesarkan penulis

dengan ketulusan dan doanya yang tak pernah putus

“Tasha Adiza”, yang tak kenal lelah memberikan motivasi dalam

menyelesaikan tesis


(12)

MOTTO

Saya bisa mengatakan secara terus terang bahwa seorang muslim tidak akan

sempurna Islamnya kecuali jika ia seorang politisi, mempunyai jangkauan

pandangan yang jauh, dan mempunyai kepedulian yang besar

terhadap ummatnya…”

(Imam Syahid Hasan Al-Banna)

“Jika Anda Ingin Membuat Sesuatu, Anda akan Mencari Jalan Jika Anda Tidak Mau Membuat Sesuatu, Anda Akan Mencari Alasan”


(13)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI ... i

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1 B. Rumusan Masalah ... 9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perencanaan Partisipatif (Perencanaan Pembangunann

Berorientasi Masyarakat... 11 B. Partisipasi Masyarakat: Masyarakat menjadi Subjek Pembangunan . 14 C. Pengembangan Sistem Pembangunan Yang Terpadu: PNPM

Integrasi sebagai Solusi ... 19 D. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan ... 22 E. Penerapan Keadilan Gender dengan Memposisikan Perempuan

Sebagai Subjek Pembangunan ... 27 F. Peraturan Daerah Nomor 09 Tahun 2011 Tentang Sistem

Pengelolaan Pembangunan Partisipatif Daerah ... 34

G. Kerangka Pikir... 36

III. METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian ... 39 B. Fokus Penelitian ... 41


(14)

C. Penentuan Informan... 41

D. Jenis dan Sumber Data ... 42

E. Teknik Pengumpulan Data ... 42

F. Teknik Analisis dan Interprestasi Data ... 44

IV. GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Penduduk ... 46

B. Gambaran Umum Pendidikan ... 48

C. Gambaran Umum Kesehatan ... 49

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Musyawarah dusun sebagai wujud partisipasi di level Akar rumput ... 51

B. Implementasi Musyawarah Khusus Perempuan Dalam Implementasi Perda Nomor 09 tahun 2011 ... 64

C. Implementasi Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa sebagai Wujud Implementasi Perda Nomor 09 tahun 2011 ... 75

D. Implementasi Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan sebagai Wujud Implementasi Perda Nomor 09 tahun 2011 ... 87

E. Analisis Implementasi Perda Nomor 09 tahun 2011 ... 97

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 109

B. Saran ... 110


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel

Halaman

1. Jumlah Penduduk per Desa di Kecamatan Tanjungraya tahun 2012 ... 46

2. Mata Pencaharian Penduduk di di Kecamatan Tanjungraya tahun 2012 ... 47

3. Jumlah Sekolah, Murid dan Guru di Kecamatan Tanjungraya tahun 2012 . 48 4. Jumlah Sarana Kesehatan di Kecamatan Tanjungraya tahun 2012 ... 49

5. Partisipasi Masyarakat Kecamatan Tanjung Raya Pada Pelaksanaan Kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Dusun (Musrenbangdus) PNPM Mandiri... 53

6. Contoh Daftar Masalah dan Potensi Kalender Musi... 58

7. Pelaksanaan PKD di Desa-Desa Kecamatan Tanjungraya pada saat penyusunan RPJM-Des tahun 2010... 60

8. Peran Stakholder dalam Musrenbangdus... 62

9. Tingkat partisipasi perempuan dalam MKP tahun 2012 ... 67

10. Peran Stakholder dalam Tahapan Musyawarah Khusus Perempuan ... 71

11. Tingkat partisipasi dalam Musrenbangdes tahun 2012 ... 79

12. Dinamika Stakholder dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa ... 84

13. Tingkat Partisipasi dalam Musrenbang Kecamatan tahun 2012 ... 91

14. Tingkat Partisipasi dalam Musrenbang Kecamatan tahun 2011 ... 92

15. Dinamika Stakholder dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan... 95


(16)

iv

16. Pelaksanaan Musrenbangdus dalam Perda Nomor 09 tahun 2011

Model Brian dan Lewis... 99 17. Pelaksanaan MKP dalam Perda Nomor 09 tahun 2011

Model Brian dan Lewis... 101 18. Pelaksanaan Musrenbangdes dalam Perda Nomor 09 tahun 2011

Model Brian dan Lewis... 103 19. Pelaksanaan Musrenbang Kecamatan dalam Perda Nomor 09 tahun 2011 Model Brian dan Lewis... 106


(17)

SANWACANA

Tiada Tuhan yang patut disembah melainkan Tuhan Raja di Raja Alam Semesta Ilahi Rabbi Allah SWT yang Maha berkuasa terhadap apa yang Dia kehendaki. Adanya penulis di muka bumi ini merupakan bukti kekuasaan-Nya dan hanya dengan proses berpikir, maka penulis tahu dan sadar bahwa penulis adalah ada dan sekarang sedang berikhtiar bagaimana membuktikan bahwa penulis adalah ada. Penulis yakin bahwa terselesainya penulisan tesis ini tak lepas dari intervensi sang Khalik, khususnya dalam menuntun proses berpikir yang rediks, holistik, jernih dan penuh pertimbangan Ilahiyah hingga menemui kebenaran yang penulis cari dalam proses penelitian ini.

Penulis bersaksi bahwa Muhammad itu adalah Rasul Allah SWT. Sang ummi yang mampu menabur pencerahan ilmu dan peradaban di muka bumi, sang mustadafin yang sangat dermawan dengan kekayaan pribadinya, sang penyayang yang sangat keras melawan musuh Allah di medan perang, sang lemah lembut yang membuat gentar lawan bicaranya, sang pemalu yang sangat lantang terhadap raja-raja kafir. Beliau adalah sang idola yang hati ini tak terbendung rindu tuk bertemu.


(18)

xi

1. Drs. Agus Hadiawan, M.Si., Selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung;

2. DR. Ari Darmastuti, M.A, Selaku Ketua Program Studi Pasca Sarjana Magister Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung;

3. Drs. Yana Ekana, M.S.i, Selaku Sekretaris Program Studi Pasca Sarjana Magister Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Pembantu yang telah memberikan banyak arahan, bimbingan dan masukan serta kesempatan waktunya dengan penuh perhatian dan kesabaran kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini;

4. Dr. Feni Rosalia, selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan banyak arahan, bimbingan dan masukan serta kesempatan waktunya dengan penuh perhatian dan kesabaran kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini;

5. Dr. Dedy Hermawan, M.S.i. selaku Penguji tesis penulis yang telah memberikan banyak arahan, bimbingan dan masukan serta kesempatan waktunya dengan penuh perhatian dan kesabaran kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini;

6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Magister Ilmu Pemerintahan dan Para Pegawai dan Petugas FISIP Unila, sumbangsih pengabdianmu tercatat dalam lembaran pembangunan FISIP Unila dan amal ibadah untuk kehidupan yang lebih abadi.


(19)

xii

7. Seluruh rekan-rekan seangkatan dan kawan-kawan MIP yang selalu menjadi sahabat dalam menjalani proses akademik, kawan diskusi hingga berbagi informasi untuk mengkaji pengalaman baru yang lebih prosfektif.


(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

1. Integrasi Horizontal ... 20

2. Titik Temu Integrasi ... 21

3. Model proses implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horm ... 25

4. Model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (a frame work for implementation anlysis) ... 26

6. Bagan Kerangka Pikir ... 37

7. Sketsa desa ... 57

8. Diagram Kelembagaan ... 59

9. Alur pelaksanaan Musrenbangdus sebelum Perda Nomor 09 tahun 2011 ... 63

10. Alur pelaksanaan Musrenbangdus sesuai Perda Nomor 09 tahun 2011 .... 64

11. Alur pelaksanaan MKP sesuai Perda Nomor 09 tahun 2011 ... 73

12. Bagan substansi proses Musrenbangdes sebelum pelaksanaan Perda Nomor 09 tahun 2011 ... 85

13. Bagan substansi proses Musrenbangdes pasca pelaksanaan Perda Nomor 09 tahun 2011 ... 85

14. Bagan substansi proses Musrenbang Kecamatan sebelum pelaksanaan Perda Nomor 09 tahun 2011 ... 96

15. Bagan substansi proses Musrenbang Kecamatan pasca pelaksanaan Perda Nomor 09 tahun 2011 ... 97


(21)

DAFTAR SINGKATAN

1. APBN : Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2. APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah 3. BKAD : Badan Kerjasama Antar Desa

4. BLM : Bantuan Langsung Masyarakat

5. BPD : Badan Permusyawaratan Desa

6. FK-P/ T : Fasilitator Kecamatan Bagian Pemberdayaan/ Teknik 7. KPMD : Kader Pemberdayaan Masyarakat

8. MAD : Musyawarah Antar Desa

9. MKP : Musyawarah Khusus Perempuan 10. MDP : Musyawarah Desa Perencanaan 11. PAGAS : Penggalian Gagasan

12. PNPM-MPd : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan 13. TPK : Tim Pelaksana Kegiatan

14. POKMAS : Kelompok Masyarakat

15. RPJM-Des : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa 16. SDM : Sumberdaya Manusia

17. SPP : Simpang Pinjam Khusus Kelompok Perempuan 18. UPK : Unit Pengelola Kegiatan


(22)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan merupakan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Pada hakekatnya, pembangunan itu harus mencerminkan terjadinya perubahan secara total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok sosial untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik, secara material maupun spiritual.

Partisipasi publik dalam kebijakan pembangunan di negara-negara yang menerapkan demokrasi termasuk di Indonesia bukanlah hal yang baru. Sebagai suatu konsep dan praktek pembangunan, konsep partisipasi baru dibicarakan pada tahun 60-an ketika berbagai lembaga internasional mempromosikan partisipasi dalam praktek perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan. Di Indonesia, landasan hukum pelaksanaan partisipasi masyarakat adalah UUD 1945 yang menyebutkan bahwa partisipasi adalah hak dasar warga negara, dan partisipasi politik sebagai prinsip dasar demokrasi.


(23)

2

Presiden Suharto sejak tahun 1966 menerapkan konsep partisipasi masyarakat dalam program pembangunan dan sesuai dengan paradigma pemerintahan orde

baru yang sentralistik, seluruh kebijakan pembangunan dilakukan secara “ top-down”. Inisiatif dalam menetapkan kebijakan pembangunan berasal dari atas (pejabat berwenang) tanpa melibatkan masyarakat dan stakeholder lainnya. Masyarakat dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan terutama dalam membantu dana maupun tenaga. Pada saat itu partisipasi dipandang sebagai proses mobilisasi yaitu penggerakkan masyarakat dalam kegiatan pembangunan. Meskipun model ini memiliki keunggulan karena pelaksanaan pembangunan dapat dilakukan secara cepat, namun kelemahan yang dijumpai adalah masyarakat sering merasa tidak memiliki dan tidak merasakan manfaat dari kegiatan pembangunan itu.

Sistem pemerintahan yang sentralistik di masa orde baru menyebabkan terabaikannya aspirasi dan kreatifitas masyarakat lokal dan daerah, karena terjadi pembatasan terhadap kemampuan atau keberdayaan dari masyarakat daerah-daerah serta masyarakat lokal. Pembatasan ini dilakukan secara sistematis oleh pemerintah pusat dan selanjutnyaberimplikasi pada pembangunan yang tidak sesuai (incompatible) dengan kebutuhan masyarakat di daerah.

Orde Reformasi melahirkan konsep otonomi daerah dan konsep pembangunan yang terdesentralisasi dalam bentuk pola pembangunan bottom-up. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah salah satu landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di Indonesia. Dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa pengembangan otonomi pada daerah kabupaten dan kota diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip


(24)

3

demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keaneka ragaman daerah. Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten/kota dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Artinya pelimpahan tanggung jawab akan diikuti oleh pengaturan dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta pertimbangan keuangan pusat dan daerah. Sehingga diharapkan penerapan konsep desentralisasi dapat mengatasi kesenjangan pembangunan daerah, pemerataan pembangunan serta dalam bentuk yang lebih opersional adalah maksimalisasi program-program penanggulangan kemiskinan

Permasalahan kemiskinan yang cukup kompleks membutuhkan intervensi semua pihak secara bersama dan terkoordinasi. Namun penanganannya selama ini cenderung parsial dan tidak berkelanjutan. Peran dunia usaha dan masyarakat pada umumnya juga belum optimal. Kerelawanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang dapat menjadi sumber penting pemberdayaan dan pemecahan akar permasalahan kemiskinan juga mulai luntur. Untuk itu diperlukan perubahan yang bersifat sistemik dan menyeluruh dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, pemerintah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri mulai tahun 2007. PNPM Mandiri Perdesaan dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Kabupaten Mesuji sebagai salah satu daerah otonom baru di Provinsi Lampung.


(25)

4

Melalui PNPM Mandiri dirumuskan kembali mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Melalui proses pembangunan partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, terutama masyarakat miskin, dapat ditumbuhkembangkan sehingga mereka bukan sebagai obyek melainkan subyek upaya penanggulangan kemiskinan.

Selain undang-undang nomor 32 tahun 2004, peraturan yang secara sektoral memberikan ruang bagi partisipasi publik diantaranya undang-undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Peraturan tersebut pada intinya memberikan ruang yang sangat luas pada partisipasi masyarakat dalam menentukan kebijakan publik dan implementasinya.

Perlunya keterlibatan masyarakat ini dianggap sangat penting, karena pembangunan yang terlalu menekankan peranan pemerintah birokrasi (bercirikan top down) mendapat kritikan tajam, karena kurang peka terhadap kebutuhan lokal. Pelaksanaan pembangunan yang mengutamakan masyarakat dalam pelaksanaan program-program pembangunan, berarti memberikan peluang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengarahkan sumber daya, potensi, merencanakan serta membuat keputusan dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan pembangunan.

Perencanaan pembangunan di daerah, khususnya di level desa dan kecamatan masih mengalami banyak kendala dan kelemahan. Sebagai contoh, ketika pelaksanaan perencanaan pada program PNPM-Mpd, banyak tahapan musyawarah-musyawarah yang harus dilaksanakan dalam satu tahun anggaran, walaupun output yang dihasilkan relatif sama antara tahun berjalan dengan tahun


(26)

5

berikutnya, sehingga kondisi ini berdampak terhadap kejenuhan masyarakat untuk hadir dan berpartisipasi dalam kegiatan musyawarah. Masyarakat berpikir percuma hadir dalam musyawarah, yang dibahas atau diusulkan “itu-itu saja”, selagi yang diusulkan belum terpenuhi, maka usulan masyarakat akan tetap terus disampaikan.

Selain musyawarah perencanaan di PNPM-Mpd, masyarakat juga sering diundang dalam musyawarah perencanaan reguler (musyawarah perencanaan pembangunan desa/ Musrenbangdes dan musyawarah perencanaan pembangunan kecamatan/ Musrencam). Kemudian pada program lain, baik program skala nasional maupun daerah, masyarakat kembali diundang untuk melakukan musyawarah perencanaan pembangunan. Tingginya intensitas musyawarah-musyawarah perencanaan mencerminkan bahwa pola perencanaan yang ada di daerah, khususnya di desa belum efektif bahkan kadangkala sering tumpang tindih.

Masalah lain adalah tidak terpadunya usulan kegiatan antara usulan yang didanai APBD dengan usulan kegiatan yang bersumber dari biaya-biaya lainnya, sehingga sering ditemui kasus, usulan yang sama, diusulkan pada dua sumber pembiayaan. Misalkan, desa A mengusulkan kegiatan pembangunan jalan, diusulkan ke PNPM-MPd dan diusulkan juga pada sumber pembiayaan APBD. Seandainya usulan desa A tersebut disetujui baik di PNPM maupun APBD, maka kondisi ini dianggap melanggar ketentuan karena double anggaran. Konsekuensinya adalah, salah satunya harus membatalkan kegiatan tersebut.

Respon terhadap berbagai kelemahan tersebut memunculkan kebutuhan untuk mengintegrasikan sistem pembangunan yang lebih terpadu dan partisipatif,yaitu


(27)

6

dengan mengintegrasikan seluruh tahapan perencanaan program-program yang ada di desa dan kecamatan kedalam sistem pembangunan Reguler. Hal ini mendorong Pemerintah meluncurkan Pilot Project Program Pengembangan Sistem Pembangunan Partisipatif (P2SPP ).

Tujuan Umum P2SPP adalah untuk mengintegrasikan model sistem pembangunan partisipatif ke dalam sistem pembangunan daerah. Sedangkan tujuan khususnya adalah meningkatkan keterpaduan antar program/kegiatan penanggulangan kemiskinan di daerah, kemudian meningkatkan keterpaduan pembangunan dalam aspek perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pelestarian oleh masyarakat, pemerintah daerah dan pemerintah. Kemudian tujuan yang lain adalah meningkatkan keterlibatan serta penguatan kapasitas masyarakat, terutama kelompok miskin dalam pengelolaan pembangunan daerah, meningkatkan kapasitas lembaga kemasyarakatan dan pemerintahan desa dalam pengelolaan pembangunan berkelanjutan, mengintegrasikan model pembiayaan bantuan langsung masyarakat ke dalam sistem penganggaran pemerintah daerah dan desa, meningkatkan pendampingan masyarakat oleh pemerintah daerah melalui pendayagunaan setrawan.

Keterlibatan kalangan perempuan dalam partisipasi perencanaan pembangunan juga menjadi isu yang penting dalam pelaksanaan pembangunan partisipatif. Selama ini kalangan perempuan hanya dianggap sebagai objek pembangunan. Sekarang, kalangan perempuan harus difasilitasi, sehingga tidak lagi menjadi objek pembangunan, namun mampu menjadi subjek pembangunan, artinya adalah kalangan perempuan juga harus tampil dan mempengaruhi proses pengambilan


(28)

7

keputusan, terlibat dalam pelaksanaan pembangunan dan juga ikutserta dalam evaluasi dan pelestarian hasil pembangunan. Sehingga pembangunan yang partisipatif tidak hanya terintegrasi secara kelembagaan, namun juga terintegrasi dari seluruh lapisan masyarakat.

Berdasarkan program P2SPP tersebut, Pemerintah Kabupaten Mesuji, DPRD Kabupaten Mesuji dan Fasilitator Kabupaten PNPM Mandiri Perdesaan mengimplementasikan konsep perencanaan partisipatif dan integrasi proses perencanaan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) Nomor 09 tahun 2011 Tentang Sistem Pengelolaan Pembangunan Partisipatif Daerah.

Perda tersebut merupakan regulasi yang diharapkan dapat memberi arah atau pedoman bagi pemerintah dan masyarakat untuk dapat mensukseskan pembangunan daerah melalui pendekatan partisipatif dengan mengoptimalkan hasil perencanaan masyarakat desa dalam dokumen RPJM desa serta melibatkan masyarakat dalam proses pelaksanaan, pengawasan dan pelestarian hasil pembangunan.

Peraturan Daerah Nomor 09 tahun 2011 Tentang Sistem Pengelolaan Pembangunan Partisipatif Daerah memuat tentang partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan bahwa setiap orang baik individu maupun kelompok berkewajiban berpartisipasi dalam proses perencanaan pembangunan daerah yang teknis pengaturannya diatur dalam petunjuk teknis operasional.

Proses yang dilakukan dalam partisipasi yaitu menyampaikan masalah-masalah prioritas yang dihadapi dan dialami masyarakat untuk dikaji menjadi agenda


(29)

8

prioritas pembangunan daerah, menyampaikan usul, saran atau aspirasi untuk menjadi agenda prioritas pembangunan daerah, kemudian terlibat secara aktif dalam proses pengambilan keputusan tentang rencana pembangunan daerah. Penyampaian masalah-masalah, usul dan saran harus disertai dengan alasan-alasan yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkansesuai dengan mekanisme penyaluran aspirasi publik melalui proses musrenbang secara berjenjang.

Perda ini mulai diimplementasikan pada tahun 2011. Dalam pelaksanaanya tentu masih mengalami berbagai kendala, karena konsep ini memang sesuatu hal yang baru dalam pola perencanaan pembangunan, sehingga membutuhkan proses sosialisasiyang massif serta kerjasama yang terpadu antar banyak pelaku atau stakeholder.

Peneliti tertarik untuk meneliti implementasi Perda Nomor 09 tahun 2011 ini, khususnya dalam hal pengelolaan sistem perencaaan yang partisipatif, karena sangat dimungkinkan ketika Perda ini diterapkan atau diimplementasikan akan terjadi persoalan-persoalan. Sebagai contoh, sejauhmana sosialisasi Perda No 09 tahun 2011 ke seluruh stakeholder. Jika ada ketimpangan pemahaman antara stakholder tentu berdampak terhadap ketidaksinergisan di lapangan. Contoh yang lain, dalam implementasi Perda, dapat terjadi gesekan atau benturan kepentingan antara pihak satu dengan pihak lainnya, karena dengan adanya pembangunan

partisipatif, bisa jadi akan ada kepentingan pihak tertentu yang “terganggu”

Kemudian persoalan sumber pembiayaan, jika kegiatan perencanaan dilakukan secara terpadu, maka pembiayaan akan dilaksanakan secara kolektif, kondisi ini


(30)

9

dapat berdampak terhadap kerawanan, karena pengelolaan dana dengan setiap stakholder berbeda-beda.

Penelitian dilakukan di kecamatan Tanjungraya Kabupaten Mesuji. Alasan kecamatan Tanjungraya yang dijadikan sebagai objek penelitian karena kecamatan ini relatif dekat dengan pusat pemerintahan di kabupaten Mesuji. Penelitian mengenai implementasi Perda ini dibatasi pada implementasi pembangunan partisipatif dalam tahapan perencanaan, yakni pada perencanaan ditingkat dusun/suku, perencanaan ditingkat desa atau yang dalam hal ini di disebut kampung, kemudian perencanaan dalam forum musyawarah kelompok perempuan dan terakhir perencanaan dalam musyawarah tingkat kecamatan.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka yang menjadi rumusan masalah Adalah bagaimana implementasi Perda Nomor 09 Tahun 2011 Tentang Sistem Pengelolaan Pembangunan Partisipatif Daerah serta kendala-kendala yang dihadapi?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis implementasi Perda Nomor 09 Tahun 2011 Tentang Sistem Pengelolaan Pembangunan Partisipatif Daerah dengan pendekatan teori implementadi kebijakan serta kendala-kendala yang dihadapi.


(31)

10

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis, hasil penelitian dapat menambah pengetahuan dan kajian ilmu pemerintahan khususnya dalam hal kebijakan perencanaan partisipatif yang dewasa ini menjadi model pembangunan di berbagai daerah.

b. Manfaat praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi Pemerindah Daerah Kabupaten Mesuji dan program pembangunan di daerah dalam mengevaluasi pelaksanaan Perda Nomor 09 tahun 2011 yang sudah berjalan.


(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perencanaan Partisipatif (Perencanaan Pembangunan Berorientasi Masyarakat)

Pembangunan berorientasi pada masyarakat berarti hasil pembangunan yang akan dicapai akan bermanfaat dan berguna bagi masyarakat setempat, selain itu juga resiko atau cost yang akan ditimbulkan oleh upaya pembangunan ini akan ditanggung juga oleh masyarakat setempat. Dengan demikian tidak hanya benefit yang harus diketahui semenjak program pembangunan ini direncanakan tetapi juga cost-nya.

Berbagai bentuk partisipasi masyarakat di dalam perencanaan program pembangunan dapat dibentuk atau diciptakan. Hal ini sangat tergantung pada kondisi masyarakat setempat, baik kondisi sosial, budaya, ekonomi maupun tingkat pendidikannya. Di beberapa daerah bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan telah terjadi, di mana wadah serta mekanisme partisipasinya telah terbentuk dengan baik.

Riyadi Supriyadi Bratakusumah (2004: 321) dalam bukunya mengatakan terdapat beberapa langkah dalam mengajak peran serta masyarakat secara penuh di dalam pembangunan dapat dilakukan dengan jalan :

1. Merumuskan dan menampung keinginan masyarakat yang diwujudkan melalui upaya pembangunan.


(33)

12

2. Dengan dibantu oleh pendamping atau nara sumber atau lembaga advokasi masyarakat, dibuatkan alternatif perumusan dari berbagai keinginan tersebut.

3. Merancang pertemuan seluruh masyarakat yang berminat dan berkepentingan, yang membicarakan cost dan benefit dari pelaksanaan pembangunan ini.

4. Memilih tokoh masyarakat atau perwakilan masyarakat untuk turut serta dalam proses selanjutnya.

5. Proses pelaksanaan pembangunan dan pembiayaan pembangunan serta rencana pelaksanaan pembangunan dilangsungkan beberapa kali dan melibatkan seluruh instansi maupun pelaku pembangunan yang terkait, di samping tokoh atau wakil masyarakat dan DPRD.

6. Mendapatkan sejumlah usulan program pembangunan yang sudah disepakati.

7. Melaksanakan program pembangunan, disertai dengan pemantauan dan pengawasan pelaksanaan pembangunan. ( Riyadi supriyadi Bratakusumah, 2004 : 323-324 )

Selanjutnya bila diperlukan perubahan atau perbaikan atas kesepakatan yang telah diambil, rangkaian proses ini harus diulangi lagi sehingga seluruh masyarakat merasa hasratnya telah ditampung dan pada akhirnya mereka merasa memiliki pembangunan tersebut. Dengan melakukan berbagai langkah di atas, diharapkan peran serta masyarakat sebagai subjek pembangunan akan semakin meningkat, masyarakat tidak lagi menjadi objek pembangunan.


(34)

13

Sistem pembangunan di Indonesia, secara umum dapat ditelaah melalui empat tahap perencanaan pembangunan, di mana satu sama lain saling berkaitan. Yakni :

1. Tahap perencanaan kebijakan pembangunan, pada tahap ini perencanaan yang disusun lebih bersifat politis dengan mengemukakan berbagai kebijakan umum pembangunan sebagai suatu produk kebijakan nasional.

2. Tahap perencanaan program pembangunan, pada tahapan ini perencanaan pembangunan sudah lebih khusus mencerminkan langkah-langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk program-program pemerintah (eksekutif).

3. Tahap perencanaan strategis pembangunan, dalam tahapan ini perencanaan pembangunan mulai terfokus pada sektor-sektor pembangunan yang akan diimplementasikan oleh instansi-instansi teknis.

4. Tahap perencanaan operasional pembangunan, di sini perencanaan pembangunan sudah lebih teknis dan operasional sampai pada tahapan detail pelaksanaannya. Tahapan ini biasanya sudah dibuat pola dalam bentuk tahunan.

Berdasarkan gambaran di atas, terlihat bahwa pada dasarnya konsep perencanaan yang disusun baik di tingkat pusat maupun di daerah, mulai dari rencana pembangunan (renbang) sampai dengan rencana strategis (renstra) bahkan hingga APBN/APBD akan memiliki alur yang konsisten bila keseluruhan proses tersebut dilakukan secara benar. Pada tahap pertama proses analisis yang bersifat general


(35)

14

dan makro (luas) dipertajam dan dispesifikasikan pada tahap-tahap berikutnya sampai akhirnya akan menemukan tahapan praktis operasional/teknis yang lebih bersifat spesifik dan implementatif serta aplikatif.

B. Partisipasi Masyarakat: Masyarakat menjadi Subjek Pembangunan Pretty dalam Daniel (Girsang, 2011:8) menyatakan bahwa partisipasi adalah proses pemberdayaan masyarakat sehingga mampu menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapinya. Pengertian partisipasi adalah pengambilan bagian atau pengikutsertaan. Dengan demikian, pengertian partisipatif adalah pengambilan bagian/pengikutsertaan atau masyarakat terlibat langsung dalam setiap tahapan proses pembangunan mulai dari perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) sampai pada monitoring dan evaluasi (controlling).

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan diartikan sebagai ikut sertanya masyarakat dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, ikut serta memanfaatkan, dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Mubyarto (dalam Suhendra, 2010:22) mengemukakan bahwa arti partisipasi adalah kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan kepentingan diri sendiri. Masyarakat dapat berpartisipasi secara baik apabila terdapat tiga syarat, yaitu: (1) adanya kesempatan untuk ikut dalam pembangunan; (2) adanya kemauan dari masyarakat untuk memanfaatkan kesempatan yang ada; dan (3) adanya kemauan anggota untuk berpartisipasi.

Partisipasi seseorang dipengaruhi oleh kebutuhan, motivasi, struktur, dan starifikasi sosial dalam masyarakat. Seseorang akan berpartisipasi apabila dapat


(36)

15

memenuhi kebutuhan akan kepuasan, mendapatkan keuntungan, dan meningkatkan statusnya. Pendidikan merupakan salah satu faktor penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan seseorang dapat memperoleh berbagai ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi diri dan kehidupannya maupun bagi pelaksanaan tugas sehari-hari. Pendidikan dapat mempengaruhi cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak seseorang.

Pengertian partisipasi masyarakat dalam pembangunan secara sederhana adalah keikutsertaan masyarakat baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keikutsertaan tersebut terbentuk sebagai akibat terjadinya interaksi sosial antara individu atau kelompok masyarakat dalam pembangunan, yang mencakup partisipasi dalam pembuatan keputusan, perencanaan kegiatan, pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi kegiatan, serta pemanfaatan hasil pembangunan.

Partisipasi juga diartikan sebagai dana yang dapat disediakan atau dapat dihemat sebagai sumbangan atau kontribusi masyarakat pada proyek-proyek pemerintah. Selain itu, partisipasi juga dapat diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam penentuan arah, strategi dan kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, serta keterlibatan masyarakat dalam memikul dan memetik hasil atau manfaat pembangunan.

Pemberdayaan merupakan jalan atau sarana menuju partisipasi. Sebelum mencapai tahap tersebut, tentu saja dibutuhkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan memiliki dua elemen pokok, yakni kemandirian dan partisipasi.


(37)

16

Partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dan dibimbing oleh cara berpikir mereka sendiri dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) di mana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Titik tolak dari partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subyek yang sadar. Nasdian juga memaparkan bahwa partisipasi dalam pengembangan komunitas harus menciptakan peran serta yang maksimal dengan tujuan agar semua orang dalam masyarakat tersebut dapat dilibatkan secara aktif pada proses dan kegiatan masyarakat.

Partisipasi diidentifikasikan sebagai: (1) partisipasi dalam pengambilan keputusan; (2) partisipasi dalam pelaksanaan program dan proyek-proyek pembangunan; (3) partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi program dan proyek-proyek pembangunan; serta (4) partisipasi dalam berbagai manfaat pembangunan.

Dengan demikian partisipasi dapat dibagi kedalam beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut (dalam Suhendra, 2010:32):

1. Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan melalui keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat. Tahap pengambilan keputusan yang dimaksud adalah pada perencanaan suatu kegiatan.

2. Tahap pelaksanaan, yang merupakan tahap terpenting dalam pembangunan, karena inti dari pembangunan adalah pelaksanaannya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk tindakan sebagai anggota program.


(38)

17

3. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan program. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subyek pembangunan, maka semakin besar manfaat program dirasakan, berarti program tersebut berhasil mengenai sasaran.

4. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini merupakan umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan pelaksanaan program selanjutnya.

Partisipasi masyarakat menggambarkan terjadinya pembagian ulang kekuasaan yang adil (redistribution of power) antara penyedia kegiatan dan kelompok penerima kegiatan. Partisipasi masyarakat tersebut bertingkat, sesuai dengan gradasi, derajat wewenang, dan tanggung jawab yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat antara lain, sebagai berikut (dalam Cahyani, 2011:7):

1. Faktor internal, yaitu yang mencakup karakteristik individu yang dapat mempengaruhi individu tersebut untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Karakteristik individu mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah beban keluarga, jumlah pendapatan, dan pengalaman berkelompok.

2. Faktor eksternal, yaitu hubungan yang terjalin antara pihak pengelola proyek dengan sasaran yang dapat mempengaruhi partisipasi. Sasaran akan dengan sukarela terlibat dalam suatu proyek jika sambutan pihak pengelola positif dan menguntungkan mereka. Selain itu, bila didukung dengan pelayanan pengelolaan kegitan yang positif dan tepat dibutuhkan oleh


(39)

18

sasaran, maka sasaran tidak akan ragu-ragu untuk berpartisipasi dalam proyek tersebut.

Menurut penelitian Kurniantara dan Pratikno (dalam Cahyani, 2011:8), efektivitas partisipasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Basis informasi yang kuat. Sumber informasi dan fasilitas komunikasi yang memadai pada suatu daerah akan menunjang masyarakat dalam memperoleh informasi tentang pembangunan yang dilaksanakan di desanya. Sumber informasi dan fasilitas komunikasi telah ada sejak jaman pemerintahan sentralisasi, tetapi perkembangan tajam terjadi pasca krisis atau di masa otonomi desa. Penguasaan informasi memungkinkan masyarakat bersikap kritis, mampu berinisiatif, berkreasi, dan dinamis serta mampu mengikuti proses perubahan yang terjadi.

2. Kepemimpinan Kepala Desa. Kepemimpinan Kepala Desa memberikan pengaruh yang besar terhadap ketersediaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan desa. Kepala Desa akan menentukan tipe dan pola kepemimpinan yang digunakan untuk menjalankan pemerintahan.

3. Peranan organisasi lokal. Peranan organisasi lokal juga berpengaruh dalam pembangunan desa.

4. Peranan Pemerintah Desa. Peranan pemerintah desa mengalami perubahan pada masa sentralistik dan masa desentralistik. Pada masa otonomi desa, pemerintah lebih mengembangkan pola hubungan yang fasilitatif dengan memberikan ruang publik bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Kesediaan Pemerintah Desa untuk melakukan mediasi, menyampaikan aspirasi


(40)

19

masyarakat kepada pemerintah supra desa, serta menyerap dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.

Faktor-faktor lain yang juga turut mempengaruhi tingkat kemauan masyarakat untuk berpartisipasi adalah motif, harapan, needs, rewards, dan penguasaan informasi. Faktor yang memberikan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi adalah pengaturan dan pelayanan, kelembagaan, struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal, kepemimpinan, sarana, dan prasarana. Sedangkan faktor yang mendorong adalah pendidikan, modal, dan pengalaman yang dimiliki.

Namun demikian, menurut Penulis, bahwa terdapat pula faktor-faktor eksternal yang juga mempengaruhi partisipasi perempuan, yakni penafsiran agama, dan kultur patriarkhi dalam masyarakat. Sebagaimana yang diutarakan Fakih (2004:134), bahwa tafsir agama erat kaitannya dengan aspek ekonomi, politik, kultural, dan juga ideologi. Sementara ekonomi, politik, kultural, dan ideologi berkait dan bergantung pada hegemoni kultural serta dominasi kekuasaan yang ditopang kebijakan politik pemerintah. (Fakih, 2004:64)

C. Pengembangan Sistem Pembangunan Yang Terpadu: PNPM Integrasi Sebagai Solusi

Titik temu antara PNPM Mandiri Perdesaan dengan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) disebut dengan istilah teknis Integrasi Program. Intisari pemikiran Integrasi Program adalah ikatan sistemik yang berhubungan secara timbal balik sebagai praktek teratur berdasarkan kondisi otonomi relatif dan ketergantungan relatif antara sistem perencanaan partisipatif dalam PNPM Mandiri Perdesaan dengan sistem perencanaan partisipatif dalam Musyawarah perencanaan pembangunan. Tujuan P2SPP adalah sebagai berikut:


(41)

20

1. Meningkatkan efektivitas perencanaan pembangunan desa melalui integrasi.

2. Meningkatkan kualitas proses dan hasil perencanaan.

3. Menyelaraskan perencanaan teknokratis, politis dengan partisipatif.

4. Mendorong terwujudnya pembagian wewenang dan penyerahan urusan pemkab kepada pemerintah desa.


(42)

21

Bagan 2. Titik temu integrasi

Manfaat Integrasi Horizontal adalah sebagai berikut:

1. Good practices perencanaan partisipatif dalam PNPM Mandiri Perdesaan memperkuat Musrenbangdes & Musrenbang Kecamatan.

2. Perencanaan partisipatif dalam PNPM Mandiri Perdesaan mendapatkan kekuatan legal untuk diterapkan ke dalam pelbagai program/proyek pembangunan desa dikarenakan masuk dalam sistem Musrenbangdes. 3. Terjadi penataan ulang prosedur kerja perencanaan partisipatif di dalam


(43)

22

D. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan 1. Pengertian Implementasi Kebijakan

Menurut Kamus Webster dalam Solichin Abdul Wahab (2004:64) merumuskan

secara pendek bahwa: “To implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out; (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu)”.

Implementasi Kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Menurut Udoji dalam Solichin Abdul Wahab (2004:59), mengatakan bahwa:

“The execution of policies is as important if not more important than policy -making. Policies will remain dream or blue prints file jackets unless they are implemented”. (pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan. Kebijaksanaan-kebijaksanaan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan)

Dalam buku yang sama, Van Meter dan Van Hom dalam Wahab (2004:65), merumuskan proses implementasi ini sebagai:

“Those actions by public or private individuals (or group) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions”. (tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan.

Selanjutnya Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier dalam Wahab (2004:65), menjelaskan makna implementasi ini dengan mengatakan bahwa:


(44)

23

Implementation is the carrying out of a basic policy decision, usually incorporated in a statute but which can also take the form of important executive orders or court decisions. Ideally, that decision identifies the problem(s) to be addressed, stipulates the objective(s) to be pursued, and, in a variety of ways, stuctures the implementation process…”.

(Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan…. 2. Model-Model Implementsi Kebijakan

Solichin Abdul Wahab (2004:70-78) mengemukakan model yang dapat digunakan untuk keperluan penelitian atau implementasi kebijakan.

a. Model yang di kembangkan oleh Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn Untuk dapat mengimplementasikan Kebijakan Pemerintah secara sempurna diperlukan syarat-syarat antara lain:

1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan atau instansi pelaksanaan tidak akan menimbulkan gangguan atau kendala yang serius.

2. Untuk melaksanakan program tersedia waktu dan sumber yang cukup memadai.

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia. 4. Kebijakan yang diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan

kausalitas yang handal.

5. Hubungan kausalitas yang bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubung.

6. Hubungan saling ketergantungan harus kecil

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. 8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.


(45)

24

9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

10.Pihak-pihak yang mewakili wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan.

b. Model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn (a model of the policy implementation process)

Kedua ahli ini menawarkan suatu model untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan prestasi kerja (performent). Mereka menegaskan bahwa:

Perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur implementasi. Permasalahanan yang perlu dikaji dalam hubungan ini adalah hambatan-hambatan apakah yang terjadi dalam mengenalkan perubahan dan organisasi? Seberapa jauhkah tingkat efektivitas mekanisme kontrol pada setiap jenjang-jenjang struktur? Seberapa pentingkah rasa keterikatan masing-masing orang dalam organisasi? Sedangkan jalan untuk menghubungkan variabel-variabel bebas yang saling berkaitan:

1) Ukuran untuk tujuan kebijakan 2) Sumber-sumber kebijakan

3) Ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksana

4) Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

5) Sikap para pelaksana dan


(46)

25

Gambar 3. Model proses implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horm

c. Model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (a frame work for implementation anlysis)

Variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi ada tiga katagori besar, yaitu:

1) Mudah tidaknya masalah yang akan digarap/dikendalikan.

2) Kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasi dan

3) Pengaruh langsung pelbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan tersebut.

Komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksana

Ukuran dan tujuan kebijakan

Prestasi kerja

Ciri Badan Pelaksana

Sumber-sumber kebijakan

Lingkungan ekonomi, sosila dan politik

Pelaksana sikap


(47)

26

Gambar 4. Model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (a frame work for implementation anlysis)

A. Mudah/tidaknya masalah dikendaliakan

 Kesukaran-kesukaran teknis

 Keragaman perilaku kelompok sasaran

 Prosentase kelompok sasaran dibandingkan jumlah penduduk

 Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan

C. Variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi

 Kondisi sosial ekonomi dan teknologi

 Dukungan publik

 Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok

 Dukungan pejabat dan atasan

 Komitmen dan kemampuan

kepemimpinan pejabat-pejabat pelaksana

B. Kemampuan kebijakan untuk menstrukturisasi secara tepat

 Kejelasan dan konsistensi tujuan

 Digunakan teori kausal yang memadai

 Ketepatan alokasi sumber dana

 Keterpaduan hirarki dlm dan diantara lembaga pelaksana

 Aturan-aturan keputusan dari badan pelaksana

 Rekruitmen pejabat pelaksana

 Akses formal pihak luar

D. Tahap-tahap dalam proses implementasi (variabel tergantung) Output kebijakan kesediaan dampak dampak output perbaikan Badan-badan klp sasaran nyata kebijakan mendasar


(48)

27

Dalam penelitian ini, model implementasi kebijakan yang digunakan adalah model yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn. Model ini relevan untuk digunakan sebagai metode analisis implementasi kebijakan dalam Perda Nomor 09 tahun 2011 tentang Sistem Pengelolaan Pembangunan Partisipatif Daerah.

Model ini mengharuskan adanya sebuah sinergisasi antar lembaga untuk melaksanakan sebuah program, sehingga sumber daya yang harus dipergunakan untuk melaksanakan sebuah program dapat didayagunakan dari banyak stakeholder.

E. Penerapan keadilan Gender dengan memposisikan perempuan sebagai subjek pembanguan

1. Pengertian Peran Gender(Gender Role)

Sebelum membahas mengenai peran gender, ada baiknya bila diutarakan secara ringkas apa yang dimaksud dengan maskulinitas dan feminitas. Karena keduanya berkaitan dengan stereotip peran gender. Peran gender ini dihasilkan dari pengkategorisasian antara perempuan dan laki-laki, yang merupakan suatu representasi sosial yang ada dalam struktur kognisi kita.

Nauly (2002) menerangkan bahwa yang dimaksud dengan maskulin adalah sifat-sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ciri-ciri yang ideal bagi laki-laki. Sedangkan feminin adalah ciri-ciri atau sifat-sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai sifat ideal bagi perempuan.


(49)

28

Dengan demikian, Ward (Hurlock,1992) merumuskan peran gender dengan pernyataan bahwa peran jenis kelamin yang ditentukan secara budaya mencerminkan perilaku dan sikap yang umumnya disetujui sebagai maskulin atau feminin dalam suatu budaya. Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Berk (1980) dan Ruble & Ruble, yang menerangkan bahwa peran gender saling berkaitan dengan stereotip jenis kelamin yang membedakan secara jelas bahwa peran perempuan berlawanan dengan peran laki-laki yang mengacu pada kepercayaan yang dianut masyarakat luas tentang karakteristik masing-masing jenis kelamin (Supriyantini.2002.http://library.usu.ac.id/download/fk/ psiko-sri.pdf. diakses tanggal 14 November 2014).

Sedangkan menurut Myers (1996), peran gender merupakan suatu set perilaku-perilaku yang diharapkan (norma-norma) untuk laki-laki dan perempuan. Bervariasinya peran gender diantara berbagai budaya serta jangka waktu menunjukkan bahwa budaya memang membentuk peran gender (Nauly.2002.Konflik Peran Gender pada Pria.http://library.usu.ac.id/ download/fk/psikologi-meutia.pdf. Diakses tanggal 14 November 2014).

Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan peran gender(gender role) adalah peran laki-laki dan perempuan yang dirumuskan oleh masyarakat berdasarkan polarisasi stereotype seksual maskulinitas-feminitas atau sekumpulan pola-pola tingkah laku atu sikap-sikap yang dituntut oleh lingkungan dan budaya tempat individu itu berada untuk ditampilkan secara berbeda sesuai jenis kelamin masing-masing.


(50)

29

2. Perempuan dan Politik

Dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Ilmu Politik, Miriam Budiarjo (2009 : 13) mengatakan bahwa:

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistim politik (atau Negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sitim politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternative dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.

Lebih lanjut menurut Dewayanti (2004), politik dalam cakupan yang luas adalah pola hubungan dan jaringan kekuasaan (power relation) yang melibatkan tawar menawar dari kedua pihak yang berkuasa dan dikuasai. Pola hubungan kekuasaan tersebut dapat diterapkan dalam berbagai konteks budaya, sosial, ekonomi dan politik dalam arti yang lebih sempit tentang bagaimana kenegaraan dipraktekan. Dalam konteks yang beragam ini, pola hubungan dan jaringan tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat kesadaran yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Secara umum pola hubungan tersebut didasarkan pada dua kelompok yaitu yang berkuasa dan dikuasai, Negara (state) dan masyarakat sipil (civil society) serta dalam kadar tertentu mencakup laki-laki dan perempuan. Kesadaran yang melandasi pola hubungan tersebut dipasok ideologi tertentu yang menetapkan suatu standar kehormatan bagi kedua pihak.

Konvensi tentang hak sipil dan politik tanggal 16 Desember 1966 yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB pada butir 25, menyatakan bahwa setiap warga Negara mempunyai hal dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun, untuk ikut serta dalam menjalankan kepentingan umum baik secara langsung maupun


(51)

30

melalui wakil-wakil yang mereka pilih secara bebas. Ia pun berhak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan-pemilihan berkala umum.

Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dalam pasal 7 memuat bahwa Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan kemasyarakatan negaranya, khususnya menjamin bagi perempuan atas dasar persamaan dengan pria, hak:

1. untuk memilih dan dipilih;

2. untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanan pemerintah dan implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan disemua tingkat;

3. untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik Negara.

Perkembangan tuntutan politik kaum perempuan telah terjadi dalam empat tahap: pertama, isu tentang perempuan dibawa karena politik yang akan menyebabkan partai dipaksa untuk memberi respon; kedua, untuk menghindari tuduhan bahwa gerakan perempuan adalah gerakan yang seksionalis, maka perempuan mencoba merubah isu tuntutan perempuan kedalam dimensi yang lebih luas, yaitu masalah hak asasi manusia, dan dalam hal ini partai dapat merespon lebih lanjut dalam tiga bentuk tindakan, yaitu rethoric, affirmative action, atau positive discrimination; ketiga, gerakan perempuan mengambil strategi ganda, yaitu bekerja dengan jaringan perempuan dan bekerja dalam dunia politik partai yang didominasi


(52)

laki-31

laki; dan keempat, perempuan memberi perhatian lebih dekat terhadap aturan main politik yang berarti merubah hubungan gender dari dalam partai yaitu merubah struktur dan program partai. Secara singkat selalu akan terjadi hubungan yang dinamis antara tuntutan perwakilan politik perempuan dengan tanggapan dari partai-partai.

Kemudian Murniati (2004 :79) menyatakan ada empat faktor yang menjadi kendala partisipasi perempuan dalam urusan public, yaitu:

1) Perempuan menjalankan dua peran sekaligus, yaitu peran reproduktif serta peran produktif, didalam maupun diluar rumah. Adanya beban ganda ini, serta terbatasnya kontrol perempuan terhadap kehidupan reproduktifnya, membatasi waktu dan pilihan-pilihan perempuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas lain, yang bisa mengganggu beban ganda mereka. 2) Perempuan memiliki pendidikan relatife lebih rendah daripada laki-laki.

Akibatnya jumlah perempuan yang tidak dapat mengakses informasi tentang peluang-peluang bisnis, kesempatan kerja dan partisipasi dalam kehidupan politikpun menjadi tinggi.

3) Adanya hambatan budaya yang terkait dengan pembagian kerja secara seksual dan pola interaksi perempuan dengan laki-laki yang membatasi gerak perempuan. Selain itu, pembatasan terhadap mobilitas perempuan yang didasarkan pada pertimbangan keamanan, juga merupakan hambatan yang sering muncul.

4) Adanya hambatan legal bagi perempuan, seperti larangan kepemilikan tanah, atau larangan berpartisipasi dalam pendidikan atau program keluarga berencana, tanpa persetujuan dari suami atau ayahnya.

3. Partisipasi Politik Perempuan

Dalam analisa politik modern partisipasi politik merupakan suatu masalah yang penting, yang banyak dipelajari terutama dalam hubungannya dengan Negara-negara yang sedang berkembang (Miriam Budiardjo, 1980: 1). Dalam bukunya

yang berjudul “Partisipasi dan Partai Politik Sebuah Bunga Rampai”, Miriam


(53)

32

Kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy)”. Kegiatan ini mencakup tindakan yang memberikan suara dalam pemilihan umum, mengahadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting)

dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya”.

Hal yang diteropong terutama adalah “tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah” sekalipun fokus sebenarnya lebih luas tetapi abstrak, yaitu usaha-usaha untuk mempengaruhi “alokasi nilai secara otoritatif untuk masyarakat” (the authoritative allocation of values for a society).

Di negara-negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, yang melaksanakannya melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan untuk masa berikutnya. Jadi partisipasi politik adalah merupakan suatu pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat.

Dalam kehidupan setiap manusia maka tidak akan terlepas dari budaya-budaya yang mengikat manusia itu sendiri, salah satu yang menjadi penyebab minimnya partisipasi politik perempuan adalah akibat budaya yang dianut oleh sebagian masyarakat yaitu budaya patriarkhi, dimana budaya tersebut yaitu budaya kelelakian yang cenderung menguntungkan bagi kebanyakan laki-laki, karena dalam budaya ini laki-laki mempunyai peran utama dibandingkan dengan perempuan (Mansour Fakih, 2002 :151).


(54)

33

Budaya inilah yang dijadikan alat untuk mengekang partisipasi perempuan dalam politik, yang menganggap bahwa perempuan tidak cocok untuk ikutserta dalam politik, dimana keikutsertaan perempuan tersebut dianggap sebagai hal yang negative. Kostruksi sosial budaya tentang politik akhirnya berimplikasi pada terciptanya dominasi laki-laki atas perempuan dalam politik. Dominasi ini menyebabkan segala tatanan kehidupan didefinisikan berdasarkan standar yang dipakai oleh laki-laki. Tidak gampang bagi perempuan untuk turun dalam dunia politik, tidak hanya karena politik dianggap sebagai wilayah laki-laki, namun lebih dari itu, lingkungan sosial tidak sepenuhnya memperbolehkan perempuan untuk ikut serta.

Hal tersebutlah yang kemudian mempengaruhi partisipasi perempuan dalam politik, bahkan bisa dikatakan berpengaruh secara personal, sebab timbul keengganan dari perempuan untuk aktif dalam aktivitas-aktivitas politik. Karena telah terbiasa dengan budaya yang ada, sehingga sulit untuk merubahnya. Bisa juga dikatakan bahwa budaya politik yang ada pada perempuan saat ini adalah, parokial partisipan, sebagian masyarakatnya turut serta aktif dalam pemerintahan/politik negaranya, sedangkan sebagian lainnya tidak peduli. Sebagian yang tidak perduli itu, mungkin dikarenakan sudah jenuh, sebab hasil yang mereka inginkan ternyata tidak sesuai harapan, bahkan merasa tidak didukung sepenuhnya oleh stakeholder-stakeholder yang ada.


(55)

34

F. Peraturan Daerah No 09 Tahun 2011 Tentang Sistem Pengelolaan Pembangunan Partisipatif Daerah

Bab III Pengelolaan Pembangunan Partisipatif

Bagian Kesatu Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Pembangunan Pasal 3

1. Setiap orang baik individu maupun kelompok berkewajiban berpartisipasi dalam proses perencanaan pembangunan daerah yang teknis pengaturannya diatur dalam petunjuk teknis operasional.

2. Partisipasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dalam hal :

a. menyampaikan masalah-masalah prioritas yang dihadapi dan dialami masyarakat untuk dikaji menjadi agenda prioritas pembangunan daerah; b. menyampaikan usui, saran atau aspirasi untuk menjadi agenda prioritas pembangunan daerah:

c. terlibat,secara aktif dalam proses pengambilan keputusan tentang rencana pembangunan daerah;

3. Petunjuk teknik operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan penjelasan lebih lanjut tentang pelaksanaan SP3D yang diberi nama Program Sai Bumi Serasan Segawe yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. 4 . Penyampaian masalah-masalah, usul dan saran sebagaimana dimaksud ayat (2)

harus disertai dengan alasan-alasan yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan mekanisme penyaluran aspirasi publik melalui proses musrenbangsecara berjenjang.

5. Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui: a. forum sosialisasi tingkat daerah;


(56)

35

b. forum sosialisasi tingkat Kecamatan;

c. forum sosialisasi tingkat Kampung/Kelurahan; d. forum penggalian gagasan tingkat Suku/Lingkungan;

e. forum musyawarah khusus perempuan tingkat KampungiKelurahan; f. forum musrenbang tingkat Kampung/Kelurahan;

g. forum musrenbang tingkat Kecamatan h. forum SKPD tingkat Kabupaten;

i. forum diskusi SKPD-DPRD/ Semiloka DPRD; dan j. forum musrenbang Kabupaten.

Pasal 4

1. Pemerintah daerah melalui SKPD, berkewajiban memberikan kesempatan Kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap tahapan perencanaan pembangunan.

2. Pemberian kesempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui cara:

a. merespon, menilai dan mengevaluasi agenda pembangunan yang diusulkan masyarakat melalui forum musyawarah tingkat Kampung/Kelurahan, Kecamatan dan Kabupaten sesuai dengan dokumen RPJM Kampung/Renstra kelurahan dan RKP Kampung/Kelurahan tahun berjalan;

b. mengakomodir kebutuhan prioritas masyarakat hasil musrenbang kecamatan untuk menjadr usulan program prioritas masing-masing SKPD pada forum musrenbang kabupaten sesuai dengan persyaratan teknis dan fungsi SKPD;


(57)

36

c. menetapkan usulan program prioritas masyarakat untuk menjadi agenda prioritas pembangunan daerah pada forum musrenbang kabupaten. 3. Penetapan usulan program prioritas masyarakat sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) huruf c harus diikuti dengan pengalokasian dana melalui SKPD. 4. Ketentuan tentang tata cara pelaksanaan musrenbang diatur lebih lanjut dengan

Keputusan Bupati.

G. Kerangka Pikir

Perencanaan pembangunan di daerah, khususnya di level desa dan kecamatan masih mengalami banyak kendala dan kelemahan. Sebagai contoh, ketika pelaksanaan perencanaan pada program PNPM-Mpd, banyak tahapan musyawarah-musyawarah yang harus dilaksanakan dalam satu tahun anggaran, walaupun output yang dihasilkan relatif sama antara tahun berjalan dengan tahun berikutnya, sehingga kondisi ini berdampak terhadap kejenuhan masyarakat untuk hadir dan berpartisipasi dalam kegiatan musyawarah.

Masyarakat juga sering diundang dalam musyawarah perencanaan reguler (musyawarah perencanaan pembangunan desa/ Musrenbangdes dan musyawarah perencanaan pembangunan kecamatan/ Musrencam). Kemudian pada program lain, baik program skala nasional maupun daerah, masyarakat kembali diundang untuk melakukan musyawarah perencanaan pembangunan. Tingginya intensitas musyawarah-musyawarah perencanaan mencerminkan bahwa pola perencanaan yang ada di daerah, khususnya di desa belum efektif bahkan kadangkala sering tumpang tindih. Kondisi juga menyebabkan tidak terpadunya usulan kegiatan antara usulan yang didanai APBD dengan usulan kegiatan yang bersumber dari


(58)

37

biaya-biaya lainnya. Respon terhadap berbagai kelemahan tersebut memunculkan kebutuhan untuk mengintegrasikan sistem pembangunan yang lebih terpadu dan partisipatif, yaitu dengan mengintegrasikan seluruh tahapan perencanaan program-program yang ada di desa dan kecamatan kedalam sistem pembangunan Reguler. Hal ini mendorong Pemerintah meluncurkan Pilot Project Program Pengembangan Sistem Pembangunan Partisipatif (P2SPP ).

Berdasarkan program P2SPP tersebut, Pemerintah Kabupaten Mesuji, DPRD Kabupaten Mesuji dan Fasilitator Kabupaten PNPM Mandiri Perdesaan mengimplementasikan konsep perencanaan partisipatif dan integrasi proses perencanaan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) Nomor 09 tahun 2011 Tentang Sistem Pengelolaan Pembangunan Partisipatif Daerah.

Perda Daerah No 09 tahun 2011 Tentang Sistem Pengelolaan Pembangunan Partisipatif Daerah memuat tentang partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan bahwa setiap orang baik individu maupun kelompok berkewajiban berpartisipasi dalam proses perencanaan pembangunan daerah yang teknis pengaturannya diatur dalam petunjuk teknis operasional. Perda ini mulai diimplementasikan pada tahun 2012. Dalam pelaksanaanya tentu masih mengalami berbagai kendala, karena konsep ini memang sesuatu hal yang baru dalam pola perencanaan pembangunan, sehingga membutuhkan proses sosialisasi yang massif serta kerjasama yang terpadu antar banyak pelaku atau stakholder.

Dalam menganalisa implementasi Perda Nomor 09 tahun 2011 tersebut, peneliti menggunakan pendekatan teori implementasi model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gun dalam bukunya Solichin Abdul Wahab (2004:70-78). Model ini,


(59)

38

cukup relevan karena dari syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam implementasi kebijakan model ini, dapat menghubungkan dengan indikator tahapan dan sumberdaya manusia yang ada. Selain itu, peneliti juga menggunakan teori gender dalam menganalisa kualitas partisipasi, karena dalam Perda tersebut, juga disebutkan tentang pentingnya partisipasi perempuan dalam proses perencanaan. Berikut ini gambaran mengenai bagan kerangka pikir penelitian ini

Perda Nomor 09 tahun 2011 tentang Sistem Pengelolaan Pembangunan Partisipatif

Alur Perencanaan (Perda Nomor 09 tahun 2011, pasal 3 dan pasal 4)

1. Musrebangdus

2. Musyawarah Khusus Perempuan 3. Musrebangdes

4. Musrebang kecamatan

Teori yang digunakan sebagai alat analisa

C. Teori Implementasi kebijakan model Brian W Hogwod dan Lewis

1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan atau instansi pelaksanaan tidak akan menimbulkan gangguan atau kendala yang serius.

2. Untuk melaksanakan program tersedia waktu dan sumber yang cukup memadai.

3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.

4. Kebijakan yang diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang handal.

5. Hubungan kausalitas yang bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubung.

6. Hubungan saling ketergantungan harus kecil

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.

8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.

9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

10.Pihak-pihak yang mewakili wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan

kepatuhan.

D. Teori Gender (Partisipasi Politik Perempuan)

Output

1. Tahapan perencanaan sudah diimplementasikan atau belum

2. Pedoman pelaksanaan perencanaan partisipatif sudah diimplementasikan atau belum

3. Kualitas partisipasi 4. Kendala-kendala 5.


(60)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini akan digunakan metode penelitian kualitatif, yaitu untuk mendapatkan pemahaman tentang tindakan sosial individu dan mengumpulkan data untuk menggambarkan bagaimana dinamika yang terjadi antar stakholder dalam implementasi Peraturan Daerah Nomor 09 tahun 2011 tentang Sistem Pengelolaan Pembangunan Partisipatif Daerah. Penelitian ini diarahkan pada jenis penelitian deskriptif-analitik. Sugiyono (2007 : 9) menerangkan bahwa metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah,dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci serta hasil penelitiannya lebih menekankan makna dari pada generalisasi.

Dengan bahasa yang sedikit berbeda Moleong (2006 :6) mensintesiskan bahwa

“penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan sebagainya secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah serta memanfaatkan berbagai metode ilmiah”.


(61)

40

Metode kualitatif disini lebih berdasarkan pada landasan teoritis fenomenologis yang mengutamakan penghayatan (verstehen). Karena dalam tindakan individu selalu berdasarkan dua faktor, yakni faktor internal individu (interpretasi yang dilakukan dalam memilih tindakan) dan faktor eksternal individu (institusi atau struktur sosial dimana ia tinggal). Sehingga metode ini berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu, dan penggunaan fenomenologi sesuai dengan metode yang dipakai yaitu metode kualitatif.

Sedangkan Witney menjelaskan jenis penelitian deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu termasuk tentang hubungan kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses yang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena (dalam Nazir, 1983: 63). Selanjutnya penelitian deskriptif bermaksud membuat penyandaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi tertentu.

Berdasarkan definisi di atas, maka penggunaan jenis penelitian deskriptif dengan metode kualitatif yang berdasarkan pada landasan teoritis fenomenologi dinilai sesuai untuk menggambarkan dan mendapatkan pemahaman mengenai implementasi Peraturan Daerah Nomor 09 tahun 2011 tentang Sistem Pengelolaan Pembangunan Partisipatif Daerah


(62)

41

B. Fokus Penelitian

Batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut dengan fokus, yang berisi pokok masalah yang masih bersifat umum. Penetapan fokus dalam penelitian kualitatif sangat penting karena untuk membatasi studi dan untuk mengarahkan pelaksanaan suatu penelitian atau pengamatan. Fokus dalam penelitian ini bersifat tentatif yang artinya dapat berubah sesuai dengan situasi dengan latar penelitian. Dalam penelitian ini implementasi Perda Nomor 09 Tahun 2011 hanya difokuskan pada tahapan perencanaan, dari sepuluh tahapan perencanaan, peneliti memfokuskan pada empat tahapa perencanaan yaitu:

1. implementasi perencanaan partisipatif pada tingkat dusun atau lingkungan; 2. implementasi perencanaan partisipatif pada tingkat Musyawarah Perencanaan

Pembangunan Kampung;

3. implementasi perencanaan partisipatif pada tingkat Musyawarah Khusus Perempuan;

4. implementasi perencanaan partisipatif pada tingkat Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan;

C. Penentuan Informan

Penelitian kualitatif sangat tergantung pada ketepatan dalam melakukan pemilihan informan karena informan merupakan sumber data. Dalam peneltian ini informan dipilih secara purposif, yang mendasarkan pemilihan informan pada subyek yang menguasai permasalahan, memiliki pengalaman dan mengerti tentang Peraturan Daerah


(63)

42

Nomor 09 tahun 2011. Adapun informan yang menjadi sumber data primer adalah sebagai berikut :

1. Kasie Pemberdayaan Masyarakat Kampung kecamatan Tanjungraya; 2. Kepala Kampung;

3. Kepengurusan Unit Pengelola Kegiatan (UPK) PNPM-MPd Kecamatan Tanjungraya;

4. Kader Pemberdayaan Masyarakat Kampung. 5. Kelompok Perempuan

D. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan adalah: 1. Primer

Merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan atau informan di tempat penelitian berlangsung. Jenis datanya disebut sebagai data primer

2. Sekunder

Yakni data yang diperoleh dari arsip-arsip, dokumentasi, literatur-literatur lain yang berkenaan implementasi kebijakan Perda Nomor 09 tahun 2011 tentang Sistem Pengelolaan Pembangunan Partisipatif Daerah.

E. Tekhnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data merupakan langkah yanga sangat strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Untuk mendapatkan


(64)

43

standar data yang diperlukan dan data yang valid, maka dalam peneliti harus mengetahui tekhnik pengumpulan data yang baik.

Dalam proses penelitian ini, peneliti menggunakan tekhnik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Wawancara Mendalam

Esterberg (2002) mendefinisikan wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Selanjutnya Susan Stainback (1988) mengemukakan bahwa :

Jadi dengan wawancara, maka peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi (dalam Sugiyono, 2007: 231-232).

Pola wawancara mendalam yang dilakukan menggunakan pendekatan dialogis. Sehingga, penggalian informasi bersifat komprehensif. Dengan demikian, tujuan dilakukannya wawancara mendalam ini adalah untuk melengkapi informasi yang telah diperoleh dari observasi.

2. Dokumentasi

Pengumpulan data dengan dokumentasi adalah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokmen. Dokumen merupakan catatan

peristiwa yang sudah berlalu, bisa dalam bentuk tulisan, gambar, dan karya-karya seni dan tulis lainnya. Data-data yang diperoleh dari teknik dokumentasi cenderung merupakan data sekunder.


(1)

110

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulakan bahwa:

1. Musyawarah Perencanaan Pembangunan di Dusun masih diselenggarakan dan tidak maksimal. Hal ini terjadi karena sudah ada dokumen RPJM- Des, sehingga Musrebangdus tidak efektif lagi. Dalam musyawarah ini yang dominan perannya adalah KPMD, karena KPMDlah yang menyusun jadwal, mengundang, dan memfasilitasi forum, sedangkan pihak-pihak yanag lain yang sekedar menghadiri saja.

2. Musyawarah khusus perempuan (MKP) sudah dilaksanakan sesuai Perda Nomor 09 tahun 2011. Pihak yang dominan adalah Fasilitator PNPM-Mpd, karena konsep MKP hasil adopsi dari PNPM-MPd, sehingga kehadiran Fasilitator menjadi narasumber utama dalam setiap diskusi atau pembahasan. Selain Fasilitator, tokoh perempuan dan KPMD juga berperan dominan dalam memandu dan mengarahkan diskusi dan perdebatan peserta kelompok perempuan. Hanya saja yang masih menjadi kendala adalah belum maksimalnya sterilisasi dari kalangan laki-laki. 3. Musyawarah Perencanaan Pembangunan di Desa sudah dilaksanakan

sesuai Perda Nomor 09 tahun 2011. Dalam Musrenbangdes, sudah dilakukan penyusunan skala prioritas dari seluruh unsur pembiayaan.


(2)

Pihak yang dominan adalah kepala desa karena sebagai penyelenggara dan yang mengetahui banyak informasi tentang sumber pembiayaan. Peran dari pelaku-pelaku PNPM-MPd masih kurang.

4. Musyawarah Perencanaan Pembangunan di Kecamatan sudah dilaksanakan sesuai Perda Nomor 09 tahun 2011. Dalam Musrenbang kecamatan, sudah dilakukan penyusunan skala prioritas dari seluruh unsur pembiayaan. Pihak yang dominan adalah kepala desa, tokoh masyarakat dan kelompok perempuan karena mereka yang mayoritas sebagai utusan. Utusan yang memberikan penilaian terhadap semua usulan, sehingga skala prioritas tidak lagi diintervensi Camat dan anggota DPRD, tapi sudah lebih partisipatif.

B. Saran

Memperhatikan hasil kesimpulan di atas maka beberapa saran yang dapat diberikan dalam rangka peningkatan kualitas pelaksanaan Perda Nomor 09 tahun 2011 adalah sebagai berikut:

1. Dokumen RPJM Des harus sudah disosialisasikan ke semua stakeholder, karena prinsipnya semua usulan sudah ada dalam dokumen tersebut, sebagai bentuk transparansi, maka harus dilakukan sosialisasi yang maksimal.

2. Penyelenggara musyawarah baik di level desa maupun di kecamatan harus lebih meningkatkan kualitas diskusi dan pembahasan, sehingga tidak terkesan musyawarah hanya diperuntukkan untuk memberikan angka-angka penilaian dari usulan.


(3)

112

3. Penyelenggara dan fasilitator harus meningkatkan kualitas partisipasi dan dan keterlibatan dari kalangan perempuan sebagai upaya peningkatan kapasitas dan daya kritis kelompok perempuan. Hal ini sangat penting untuk membangun budaya pembangunan yang baru, dimana kelompok perempuan juga dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan dan pelestarian.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Solichin. 2004. Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara. Jakarta

Budiardjo, Miriam. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Cahyani, Tri Ripna. 2011. Partisipasi Perempuan Dalam Kegiatan Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP); (Kasus PNPM Mandiri Perdesaan di Salah Satu Desa di Kabupaten Banyumas). Skripsi. Departemen Sains Komunikasi Dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Dewayanti, Ratih & E. Ermawati Chotim.2004.Marjinalisasi & Eksploitasi Perempuan Usaha Mikro di Perdesaan Jawa.Akatiga.Bandung.162 hlm. Fakih, Mansour. 2004. Analisis Gender. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Girsang, Lisbet Juwita. 2011. Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat

Dalam Kegiatan Perbaikan Prasarana Jalan; (Kasus: Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan di Desa

Megamendung, Bogor). Skripsi. Departemen Sains Komunikasi Dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Islamy, Irfan. 1988. Kebijaksanaan Publik. Karunia Universitas Terbuka. Jakarta Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan

Dan Pemerataan. PT Pustaka Cidesindo. Jakarta.

Moloeng, Lexy J. 2006. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Miller, Mathew. dan Hubberman A. Michels. 1992. Analisis Data Kualitatif. UI. Perss. Jakarta


(5)

Murniati, A. Nunuk. 2004. Getar Gender (Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga).Indonesia Tera.Magelang.

Nazir, Muhammad. 1983. Metode Penelitian Bidang Sosial. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Riyadi SB. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah : Strategi Menggali

Potensi dalam mewujudkan Otonomi Daerah. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta,

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuntitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta, Bandung.

Siagian, Sondang. 1983. Filsafat Administrasi. PT. Gunung Agung. Jakarta. Suhendra, M. Adi. 2010. Pengaruh Kepemimpinan Kepala Desa Fajar Baru

Terhadap Peningkatkan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Fisik Desa. Skripsi. Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung. Bandar Lampung

Peraturan Perundang-Undangan:

1. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah 2. Peraturan Daerah Nomor 09 Tahun 2011 tentang Sistem Pengelolaan

Pembangunan Partisipatif Daerah 3. Buku Panduan PNPM Mandiri.

4. Petunjuk teknis operasional Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM – Mandiri Perdesaan)

Browsing Internet

1. Nauly, Meutia. 2002. Konflik Gender pada

Pria.http://library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-meutia.pdf. Diakses tanggal 14 Desember 2014

2. Supriyantini, Sri. 2002. Hubungan Antara Pandangan Peran Gender dan Keterlibatan Suami dalam Kegiatan Rumah

Tangga.http://library.usu.ac.id/download/fk/psiko-sri.pdf. Diakses tanggal 14 November 2014


(6)

Lain-lain

Agung Wihandoko. 2014. Persepsi Dan Tingkat Partisipasi Masyarakat Pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (Pnpm Mandiri) Di Kabupaten Mesuji. Tesis.Universitas Lampung