Diversity Program untuk Tenaga Kerja Pen
Diversity Program untuk Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas (Studi Eksploratif terhadap Perusahaan BCS Indonesia)
Meylisa Badriyani , Riani Rachmawati
1. Magister Management, Faculty of Economics, Universitas Indonesia, Indonesia 2. Magister Management, Faculty of Economics, Universitas Indonesia, Indonesia
Email: [email protected]; [email protected]
Abstrak
Penelitian ini membahas tentang implementasi Diversity Program untuk tenaga kerja penyandang disabilitas di Perusahaan BCS Indonesia. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi eksploratif. Data diperoleh melalui wawancara dengan 8 (delapan) orang karyawan penyandang disabilitas dan 8 (delapan) orang karyawan non disabled, baik pada level manajerial maupun non manajerial. Analisis dibangun dengan melihat pemahaman karyawan dan perusahaan terhadap disabilitas dan nilai-nilai perusahaan. Penelitian menunjukkan bahwa belum ada penerapan Diversity Program secara formal dan terstruktur di Perusahaan BCS Indonesia. Selama ini, Perusahaan BCS Indonesia baru menerapkan affirmative action dalam bentuk perekrutan penyandang disabilitas sesuai instruksi dari grup. Namun, Perusahaan BCS dianggap telah memiliki modal yang cukup untuk mengembangkan Diversity Program yang terstruktur di kemudian hari.
Kata kunci: Diversity Program, Penyandang Disabilitas, Nilai-Nilai Perusahaan
Abstract
This research discusses the implementation of Diversity Programs for workers with disabilities at BCS Company Indonesia. The study used a qualitative approach to the design of exploratory studies. The data obtained through interviews with eight (8) disabled employees and eight (8) non-disabled employees, both at the level of managerial and non- managerial. The analysis is built with the understanding of employees and the company about disability and company values. Research shows that there has been no formal and structured adoption of Diversity Programs in BCS Company Indonesia. During this time, BCS Company Indonesia implement affirmative action in the form of hiring persons with disabilities according to the instructions of the group. However, BCS Company considered to have sufficient capital to develop the more structured Diversity Programs in the future.
Keywords: Diversity Program, Disabled, Organization Values
Pendahuluan
Disabilitas, atau yang lebih banyak diartikan sebagai kecacatan, seringkali dikaitkan dengan masalah keterbatasan, ketidakmampuan, ketidakberdayaan, penyakit, dan anggapan lain yang membuat penyandangnya cenderung memperoleh persepsi negatif dan mengarah pada diskriminasi (Masduqi dalam Jurnal Perempuan, 2010). Keadaan tersebut ikut menggerus hak-hak penyandang disabilitas, salah satunya dalam memperoleh pekerjaan (Daming dalam Jurnal Perempuan, 2011). International Labour Organization (ILO) melalui Konvensi 159, meyepakati bahwa penyandang disabilitas mengalami kesulitan dalam meningkatkan kondisi kerja mereka secara substansial karena adanya keterbatasan fisik dan mental yang terlihat oleh masyarakat. Mereka pun sulit memperoleh pekerjaan dibandingkan penduduk usia produktif yang tidak mengalami disabilitas (ILO, 2001).
Keadaan tersebut terlihat jelas pada laporan ILO dalam World Report on Disability (2011) . Berdasarkan data dari beberapa negara di dunia di tahun 2003, angka employement rates penyandang disabilitas berada jauh di bawah employment rates penduduk non disabled . Di Amerika Serikat misalnya, dari seluruh jumlah penduduk non disabled usia kerja, 73,2% terserap dalam lapangan pekerjaan. Sementara, hanya 38,1% penyandang disabilitas yang terserap dari seluruh penduduk penyandang disabilitas usia kerja di negara tersebut. Keadaan serupa juga terjadi di Inggris dengan perbandingan 68,6% dan 38,9% dan India dengan perbandingan 62,5% dan 37,6%. Sementara itu, data OECD menunjukkan dari 27 negara yang masuk dalam pendataannya, hanya 44% penyandang disabilitas usia produktif yang dapat terserap sebagai tenaga kerja, tidak sampai separuh bila dibandingkan penyerapan tenaga kerja usia produktif non disabled yang mencapai 75%.
Minimnya angka employment rates atas tenaga kerja penyandang disabilitas, membuat 80% penyandangnya hidup di bawah garis kemiskinan (PBB dalam ILO Reader Kit, 2001). Sementara Bank Dunia memproyeksikan 20% dari penduduk miskin dunia merupakan penyandang disabilitas (ILO, 2001).
Di Indonesia sendiri, jumlah penyandang disabilitas mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan sejak tahun 2006. Menurut data The Asia-Pacific Development Centre on Disability , di tahun 2006, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 1,38% dari keseluruhan populasi penduduk. Angka tersebut, menurut data World Health Organization (WHO), meningkat hingga mencapai 10-15% di tahun 2010, sejalan dengan data ILO yang menunjukkan persentase 10% atau sekitar 24 juta orang dari seluruh penduduk Indonesia, dimana 11 juta orang di antaranya merupakan tenaga kerja.
Fuller (2010) dalam penelitian Dewi (2012) menyebutkan, terdapat tiga kendala utama yang dihadapi penyandang disabilitas saat berinteraksi dengan lingkungan sekitar, termasuk dengan pekerjaan, yaitu prasangka komunitas, persepsi negatif, dan keterbatasan dana perusahaan. Soal prasangka komunitas dan persepsi negatif, Looden dan Roesner (1991) dalam Macy (1996) menyatakan, masyarakat cenderung memunculkan stereotip bahwa keterbatasan fisik penyandang disabilitas berbanding lurus dengan tingkat intelektualitas mereka. Masyarakat pun seringkali memperlakukan rata-rata penyandang disabilitas layaknya seorang abnormal yang kemudian menimbulkan persepsi bahwa penyandang disabilitas tidak mampu mengatasi beban hidup mereka sendiri (Macy, 1996)
Pemerintah Indonesia, melalui UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, semakin memperburuk anggapan tersebut. Selain menyebut penyandang disabilitas sebagai penyandang cacat, pemerintah pun mengartikan penyandang disabilitas sebagai “seseorang yang memiliki kelainan secara fisik dan mental yang dapat mengganggu dan menghambat aktivitas selayaknya orang normal.” Definisi tersebut justru semakin mempertegas adanya
keterbatasan bagi penyandang disabilitas dalam menjalani kehidupan mereka di tengah masyarakat, termasuk dalam pekerjaan mereka.
Sebenarnya, pemerintah Indonesia telah mengupayakan beberapa kebijakan untuk mengatasi permasalahan ketenagakerjaan penyandang disabilitas ini. Salah satunya yang disebutkan dalam pasal 14 UU No. 4 Tahun 1997 dimana pemerintah mewajibkan setiap perusahaan publik dan swasta untuk memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama bagi penyandang disabilitas dengan mempekerjakan penyandang disabilitas sesuai dengan derajat dan jenis kedisabilitasan, pendidikan dan kemampuan yang dimiliki. Selain itu, secara spesifik, pada pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. KEP-205/MEN/1999, disebutkan, pengusaha wajib mempekerjakan penyandang disabilitas sejumlah minimal 1% dari total seluruh karyawan yang dimilikinya. Meski demikian, pihak perusahaan seperti tetap enggan mempekerjakan tenaga kerja penyandang disabilitas. Selain adanya asumsi bahwa penyandang disabilitas tidak memiliki kecakapan bekerja, bagi sebagian perusahaan, penyediaan akomodasi bagi penyandang disabilitas dianggap sebagai pengeluaran tambahan yang menambah beban baru bagi perusahaan (Barlow, 1995).
Padahal, menurut beberapa penelitian mengenai penyandang disabilitas, dalam praktiknya, tenaga kerja penyandang disabilitas cenderung memiliki beragam keterampilan, loyalitas tinggi terhadap pekerjaannya, serta memiliki angka absensi yang rendah. Bagi sebagian perusahaan yang menyadari hal tersebut, keberadaan tenaga kerja penyandang disabilitas justru dianggap menambah efisiensi dan keuntungan perusahaan (ILO dalam World
Report on Disability, 2011). Berbagai kelebihan dan keterampilan disabled tersebut didukung dengan semangat tinggi dan penghargaan disabled terhadap kesempatan kerja yang mereka peroleh (Yudistia, wawancara, 2014).
Hill dan Wehman (1983) serta Freedman dan Keller (1981) di dalam Macy (1996) juga menemukan bahwa tenaga kerja penyandang disabilitas dapat dibina menjadi karyawan handal dengan tingkat kesulitan yang relatif rendah dibanding apa yang disangka sebagian besar orang. Penyandang disabilitas juga memiliki kemampuan kerja yang sama baiknya dengan karyawan non disabled apabila ditempatkan di posisi pekerjaan yang tepat dengan akomodasi penunjang yang memadai . Salah satu penyandang paralyzed down di Indonesia bahkan berhasil menjadi CEO keturunan Indonesia pertama di General Electric (Satriago, wawancara, 2014).
Kembali pada persepsi negatif tentang disabled, selain pengaruh faktor eksternal, menurut Yudistia (Wawancara, 2014), terjadinya diskriminasi juga tidak terlepas dari sikap para disabled sendiri dalam memandang diri mereka. Sebagian disabled masih kurang percaya diri dan cenderung mengkotak-kotakan diri. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman
perusahaan soal potensi disabled serta sikap rendah diri dari disabled sebenarnya dapat diatasi bila telah ada pemahaman yang tepat dari perusahaan dan karyawan tentang disabilitas. Seluruh pihak harus dapat menyadari bahwa disabilitas merupakan bagian dari kemajemukan ( diversity) manusia, sama halnya dengan perbedaan jenis kelamin, warna kulit, suku, bangsa, ras, dan agama. Dengan demikian perusahaan akan dapat memandang pemenuhan kebutuhan penyandang disabilitas sebagai bagian dari penghargaan terhadap keunikan individu di dalam perusahaan yang harus dikelola demi memunculkan potensi maksimal individu bersangkutan sekaligus peluang perusahaan memperoleh talenta-talenta berkualitas (Kreitner & Kinicki, 2011).
Penerimaan dan pengelolaan disabled melalui manejemen kemajemukan dalam sebuah perusahaan diakui mampu memberikan pengaruh besar bagi kemajuan perusahaan, baik melalui peningkatan loyalitas karyawan ( employee retention ), peningkatan citra perusahaan, perluasan pasar, serta penurunan tingkat absensi dan turnover karyawan (Roberge, Lewicki, Hietapelto, dan Abdyldaeva, 2011). Seperti yang juga disampaikan Hunsaker (2010), pengelolaan kemajemukan tenaga kerja dapat membantu memperkaya kreativitas, inovasi, dan kemampuan memecahkan masalah karena semakin beragam pula sudut pandang yang dimiliki.
Kreitner, Kinicki (2011) dan Hunsaker (2001) berpendapat bahwa cara yang dapat dilakukan perusahaan untuk dapat membangun adaptabilitas terhadap kemajemukan, Kreitner, Kinicki (2011) dan Hunsaker (2001) berpendapat bahwa cara yang dapat dilakukan perusahaan untuk dapat membangun adaptabilitas terhadap kemajemukan,
Di Indonesia sendiri, keberagaman banyak terlihat pada perusahaan multinasional yang notabene memiliki karyawan dari berbagai negara dan latar belakang yang berbeda. Salah satu perusahaan multinasional yang cukup berperan penting dalam kompetisi bisnis di Indonesia adalah Perusahaan BCS. Perusahaan perbankan internasional yang berbasis di London, Inggris ini, berdiri sejak 1861 dan mulai membuka cabangnya di Indonesia sejak 1863. Hingga saat ini, PERUSAHAAN BCS mempekerjakan lebih dari 89.000 (delapan puluh sembilan ribu) orang karyawan yang tersebar di 1.700 (seribu tujuh ratus) kantor cabang pada 68 negara. Besarnya jumlah karyawan serta lusanya jangkauan Perusahaan BCS, membuat perusahaan ini akrab dengan berbagai keberagaman karyawan. Meski demikian, Perusahaan BCS memandang keberagaman karyawan sebagai pendorong produktivitas,
kreatifitas, dan inovasi perusahaan yang harus dikelola sebaik mungkin, termasuk dengan keberadaan karyawan penyandang disabilitas. Pada Perusahaan BCS Indonesia sendiri, hingga saat ini telah ada 8 (delapan) orang penyandang disabilitas yang dipekerjakan, dimana 2 (dua) orang diantaranya merupakan karyawan tetap dan 6 (enam) orang lainnya merupakan karyawan outsourcing. Meski telah memberikan kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas, namun, hingga saat ini
Perusahaan BCS Indonesia belum memiliki sistem rekrutmen, seleksi, dan analisis jabatan yang sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas tersebut. Keadaan ini menjadi perhatian peneliti, mengingat sejak tahun 1997 pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kewajiban bagi seluruh perusahaan publik dan swasta di Indonesia mempekerjakan penyandang disabilitas minimal 1% dari jumlah seluruh karyawan perusahaan.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai pemahaman Perusahaan BCS terhadap disabilitas dan kaitannya terhadap nilai-nilai perusahaan. Dari sana diharapkan penelitian ini mampu melihat sejauh mana penerapan diversity program terhadap tenaga kerja penyandang disabilitas yang telah dilaksanakan di Perusahaan BCS, sebagai salah satu perusahaan multinasional di Indonesia.
Tinjauan Teoritis Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas
Di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor KEP-205/MEN/1999, tenaga kerja penyandang disabilitas didefinisikan sebagai “tenaga kerja yang mempunyai kelainan
fisik dan atau mental namun mampu melakukan kegiatan secara selayaknya, serta mempunyai bakat, minat dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat.” Sementara, American with Disabilities Act (ADA) mendefinisikan tenaga kerja penyandang disabilitas sebagai setiap individu disabled yang dapat melaksanakan tugas
pokok pekerjaannya, baik dengan bantuan akomodasi maupun tidak. Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI, tenaga kerja penyandang disabilitas memiliki hak-hak yang meliputi hak untuk bekerja, diberikan pekerjaan dan ditempatkan pada suatu jabatan atau posisi pekerjaan tertentu. Mereka dapat bekerja dimana pun dan pada bidang apapun baik di dalam perusahaan swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) (pasal 2, pasal 3, pasal 4 dan pasal 13); hak untuk mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, swasta atau perusahaan tertentu (pasal 5); serta hak untuk memperoleh rehabilitasi vokasional, berupa penyuluhan jabatan, pelatihan kerja dan penempatan secara selektif, setelah mendapatkan rehabilitasi medis, sosial dan atau edukasional (pasal 8).
Sejak diberlakukannya Keputusan Menteri Tenaga Kerja tersebut, setiap perusahaan, baik swasta maupun negeri, wajib mempekerjakan minimal 1 (satu) orang penyandang disabilitas untuk setiap 100 (seratus) orang pekerja yang dimiliki. Perusahaan dengan teknologi tinggi yang memiliki pekerja kurang dari 100 (seratus) orang pun, wajib mempekerjakan minimal 1 (satu) orang penyandang disabilitas. Dengan kata lain, minimal 1% dari seluruh pekerja di dalam perusahaan haruslah penyandang disabilitas.
Berbagai penelitian dan laporan menunjukkan bahwa penyandang disabilitas mampu menunjukkan performa kerja yang baik, lebih loyal terhadap perusahaan, dan fokus terhadap tugas yang diberikan apabila kebutuhannya sebagai penyandang disabilitas juga dapat Berbagai penelitian dan laporan menunjukkan bahwa penyandang disabilitas mampu menunjukkan performa kerja yang baik, lebih loyal terhadap perusahaan, dan fokus terhadap tugas yang diberikan apabila kebutuhannya sebagai penyandang disabilitas juga dapat
Reasonable accommodation ditunjukkan dengan melakukan penyesuain ( adjustment ) terhadap akomodasi atau fasilitas yang dimiliki perusahaan agar dapat membantu dan
memenuhi kebutuhan utama bagi pekerja penyandang disabilitas. Pemberian akomodasi ini juga memperlihatkan adanya usaha dan perhatian dari perusahaan untuk meningkatkan produktivitas, jabatan, serta kepuasan karyawan penyandang disabilitas, sebagai bagian dari motor penggerak perusahaan (Kreitner dan Kinicki, 2011).
Nilai Perusahaan
Nilai perusahaan dapat diartikan sebagai konsep abstrak mengenai hal-hal yang sangat penting dan menjadi dasar dari kebudayaan di dalam sebuah perusahaan (Kreitner dan Kinicki, 2011). Melalui nilai perusahaan, karyawan memiliki standar dan prinsip tertentu yang membedakannya dengan karyawan di perusahaan lain. Sehingga nilai-nilai perusahaan mampu menggambarkan kepentingan perusahaan dan perilaku karyawan di dalamnya, sekaligus memperkuat ciri dan identitas karyawan yang berdampak pada kebanggan dan rasa memiliki karyawan terhadap perusahaan tempat mereka bekerja (Apriyanto dan Jacob, 2013).
Nilai dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu nilai-nilai yang disertakan atau disebutkan secara eksplisit ( espoused values ) dan nilai-nilai yang dilaksanakan ( enacted values ) (Kreitner dan Kinicki, 2011). Espoused values biasanya dibangun oleh pendiri perusahaan. Nilai-nilai ini disebutkan atau diperlihatkan melalui tulisan di dinding, buku pegangan karyawan, atau disampaikan secara verbal. Sedangkan, enacted values lebih dapat dirasakan melalui sikap dan perilaku anggota perusahaan atau karyawan. Nilai-nilai ini cenderung baru dapat disadari oleh orang lain dari hasil observasi atau interaksi mereka dengan karyawan di dalam perusahaan. Agar dapat diterapkan dengan baik, nilai-nilai perusahaan juga harus dapat sejalan dengan nilai-nilai individu di dalam perusahaan tersebut untuk menghindari benturan kepentingan. Hal ini dapat diantisipasi sejak seleksi penerimaan calon karyawan (Kim, 1995; Gregory, 1983; Louis, 1985 dan Wiener, 1998; Kreitner dan Kinicki, 2011).
Nilai Perusahaan Behaviorism-Humanism dan Meritocracy-Egalitarianism Dalam penelitiannya, Macy (1996), merumuskan dua tipe nilai perusahaan yang dianggap mampu menggambarkan seberapa jauh penerapan diversity program di dalam perusahaan tersebut. Nilai-nilai itu adalah behaviorism-humanism serta meritocracy- egalitarianism. Perumusan tersebut, berangkat dari dua nilai perusahaan yang dicetuskan oleh Wiener (1998), yakni nilai fungsionalis dan nilai elitis, dimana nilai fungsionalis tercermin dalam behaviorism-humanism dan nilai elitis dalam meritocracy-egalitarianism.
Behaviorism lebih menekankan kepada efisiensi dan pengaturan yang baku, dimana setiap bagian atau struktur dari pekerjaan akan diusahakan agar memiliki indikator dan standar yang sama. Humanism lebih menekankan kepada kualitas hidup anggota atau karyawan di dalam perusahaan tersebut. Manajer akan lebih perhatian terhadap work life balance karyawannya, ekspresi setiap individu dan kepuasan kerja setiap individu. Dengan perpaduan kedua nilai tersebut, dapat dimungkinkan terbentuknya apresiasi dan dukungan terhadap perbedaan yang ada di dalam perusahaan, termasuk terhadap tenaga kerja disabilitas
Perusahaan yang menerapkan prinsip meritocracy cenderung menilai baik tidaknya seorang individu dari kontribusi dan performa yang ia berikan dan tunjukkan di dalam pekerjaannya. Sehingga dalam nilai ini, segala perbedaan latar belakang, budaya, ras, gender, fisik, dan sebagainya tetap dinilai sama. Individu dinilai berdasarkan kualitas masing-masing. Sedangkan, egalitarianism lebih terfokus pada usaha menciptakan kohesivitas atau kesatuan kerja tim di dalam sebuah perusahaan. Keragaman individu yang ada tidak dijadikan persoalan bagi nilai ini, sejauh setiap individu mampu bekerja di dalam tim dengan solid. Oleh karenanya, perusahaan dengan nilai ini cenderung memiliki turnover dan tingkat absen yang lebih rendah, serta komitmen kerja yang lebih tinggi dan koperatif.
Managing Diversity
Diversity atau keberagaman merupakan representasi dari perbedaan dan persamaan individu yang ada di tengah masyarakat (Kreitner dan Kinicki, 2010). Keberagaman yang ada dapat meliputi suku, ras, agama, jenis kelamin, bahasa, budaya, hingga bentuk fisik dan
kemampuan fisik dan mental. Di dalam lingkungan kerja, munculnya keberagaman menunjukkan adanya perkembangan perusahaan menuju tahap yang lebih global. Dengan adanya keberagaman tersebut, para manajer dan pemimpin perusahaan lainnya dituntut untuk dapat memahami bagaimana efek dari keberagaman yang ada terhadap ekspektasi dan tingkah laku dari setiap anggota perusahaannya. Dari sana, perlu dibuat sebuat tatanan manajerial kemampuan fisik dan mental. Di dalam lingkungan kerja, munculnya keberagaman menunjukkan adanya perkembangan perusahaan menuju tahap yang lebih global. Dengan adanya keberagaman tersebut, para manajer dan pemimpin perusahaan lainnya dituntut untuk dapat memahami bagaimana efek dari keberagaman yang ada terhadap ekspektasi dan tingkah laku dari setiap anggota perusahaannya. Dari sana, perlu dibuat sebuat tatanan manajerial
Menurut Gardenswartz dan Rowe (1994), diversity dapat dibedakan dalam beberapa level, yaitu personality atau kepribadian; internal dimension seperti usia, jenis kelamin, orientasi seksual, ras dan etnik; external dimension seperti perbedaan lokasi geografis, pendapatan dan kebiasaan hidup , serta organizational dimension, seperti senioritas, perbedaan jabatan dan divisi kerja . Thomas dan Ely (1996) dalam penelitian mereka terhadap beberapa perusahaan di Amerika Serikat, menemukan bahwa beberapa perusahaan menyadari bahwa efektivitas perusahaan mereka berbanding lurus dengan keberagaman individu di dalamnya. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk dapat mengelola keberagaman yang ada di dalam perusahaan mereka.
Mengelola keberagaman dapat dilakukan dengan dua pendekatan dasar, yaitu aksi nyata ( affirmative action) dan program manajemen keberagaman atau diversity program (Hunsaker, 2001). Aksi nyata atau affirmative action merupakan bentuk intervensi artifisial yang bertujuan untuk memberi kesempatan kepada manajemen untuk memperbaiki keadaan yang dianggap tidak seimbang, tidak adil, atau segala tindakan diskriminatif di masa lalu, salah satunya dengan merekrut atau mempekerjakan orang-orang yang dianggap minoritas atau tidak masuk dalam kualifikasi keseragaman.
Sementara , diversity program merupakan suatu upaya perusahaan untuk dapat menanamkan atmosfer baru di tengah perusahaan agar kaum minoritas dapat merasa lebih nyaman bekerja tanpa adanya perasaan dibeda-bedakan. Setiap anggota perusahaan dilihat dan diperlakukan sebagai individu yang memiliki keunikan tersendiri, sehingga tidak dapat disamaratakan. Oleh karenanya, di dalam program ini, perusahaan harus memiliki komitmen untuk dapat menyediakan akomodasi yang sesuai ( reasonable accommodation) bagi individu yang berbeda dengan tujuan untuk meningkatkan kenyamanan kerja yang berujung pada peningkatan performa dan produktivitas individu tersebut. Dalam kaitannya dengan penyandang disabilitas, diversity program dapat dilaksanakan mulai dari proses rekrutmen dan seleksi, pelatihan, analisis jabatan dan kompensasi, hingga penyediaan sarana-prasarana kerja sehari-hari (Macy, 1996; Kreitner dan Kinicki, 2010; Hunsaker, 2001).
Diversity program untuk Penyandang Disabilitas Thomas dan Ely (1996) menemukan bahwa dalam setiap penerapan diversity program, dibutuhkan dua hal penting yang menjadi kekuatan konsistensi program ini, yaitu dukungan dari kepemimpinan, ikatan yang kuat antara pemimpin dan karyawan serta adanya kesediaan Diversity program untuk Penyandang Disabilitas Thomas dan Ely (1996) menemukan bahwa dalam setiap penerapan diversity program, dibutuhkan dua hal penting yang menjadi kekuatan konsistensi program ini, yaitu dukungan dari kepemimpinan, ikatan yang kuat antara pemimpin dan karyawan serta adanya kesediaan
Pertama, membangun komitmen dan dukungan dari pemimpin. Komitmen yang kuat dari pemimpin akan mempengaruhi kekuatan komitmen dari anggota perusahaan lainnya. Pemimpin yang berkomitmen pada penerapan program keberagaman untuk tenaga kerja ini harus bisa melihat dari sisi kemampuan yang mereka miliki. Kedua , membangun pemahaman terhadap makna keberagaman. Perusahaan dan seluruh karyawan di dalamnya harus dapat menentukan dengan spesifik dan jelas apa sebenarnya keberagaman itu dan sejauh apa ruang lingkup dari keberagaman (Nilson (1997). Hyter (2003), menyatakan bahwa perusahaan harus dapat membedakan antara kesadaran akan keberagaman dengan kesadaran akan inklusifitas. Perusahaan yang terfokus pada keberagaman, hanya akan memprioritaskan diri pada peningkatan jumlah penerimaan karyawan dari latar belakang, budaya, suku, ras, agama dan kemampuan fisik yang beragam. Sedangkan, perusahaan yang juga fokus kepada inklusifitas, akan berusaha mengakomodir segala kebutuhan karyawan yang beragam tersebut secara adil dengan tujuan meningkatkan produktivitas kerja mereka.
Ketiga, yakni menghubungkan antara tujuan pembuatan program dengan tujuan besar perusahaan. Hal ini erat kaitannya dengan pemahaman anggota perusahaan terhadap lingkungan internal dan eksternal perusahaan. Dengan pemahaman tersebut, perusahaan diharapkan dapat memetakan keadaan perusahaan secara komprehensif, meliputi nilai, kebudayaan, tujuan, serta visi misi perusahaan, sehingga dapat ikut memberi pengaruh pada penyusunan kerangka, gaya komunikasi dan dimensi-dimensi kunci yang dibutuhkan dalam perencanaan diversity program ( Dreachslin, 1997).
Seluruh anggota perusahaan, terutama karyawan non-disabled , dapat diberikan pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan dalam berbagai bentuk, seperti pembuatan seminar yang bekerja sama dengan yayasan penyandang disabilitas serta mentoring dan coaching tentang disabilitas dan cara berinteraksi dengan mereka. (Hyter, 2003). Beberapa perusahaan ada yang memilih beberapa karyawan mereka sebagai agen perubahan yang dapat membantu perusahaan menyalurkan ide, cara pandang, serta praktik keberagaman kepada karyawan lainnya (Nilson, 1997).
Berikutnya, adalah pemberlakuan inisiatif atau aksi nyata di berbagai bidang. Aksi nyata di sini meliputi pembuatan analisisis kerja, deskripsi kerja, rekrutmen, seleksi, mentoring , perencananaan jenjang karir dan promosi, serta program pengembangan potensi individu. Dibutuhkan evaluasi yang berkesinambungan untuk dapat menjamin keberlangsungan diversity program, mengingat karakteristiknya yang berupa proses yang dapat selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan perusahaan dan pasar di setiap masanya. Khusus untuk diversity program untuk karyawan penyandang disabilitas, evaluasi dapat dilakukan melalui pemberlakuan assessment bagi seluruh karyawan di semua level jabatan, terkait dengan sistem rekrutmen dan pekerjaan yang dijalankan ( employment ), meliputi penilaian performa, promosi, pelatihan, akomodasi yang disediakan untuk mendukung pekerjaan mereka, serta interaksi dengan karyawan lainnya (USBLN, 2014)
Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan seperangkat prosedur dan teknik yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan dan menganalisis data. Metode merupakan bentuk realisasi dari metodologi, yaitu cara pandang seorang peneliti dalam melihat dan mempelajari fenomena sosial (Strauss dan Corbin, 1998). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Dengan metode ini, penelitian berangkat dari pengumpulan data secara sistematis yang kemudian dianalisis melalui serangkaian proses, dimana kedua tahap tersebut (pengumpulan dan analisis data) tidak terlepas dari teori yang bersinggungan dengan fenomena yang hendak diteliti. Berbeda dengan metode kuantitatif yang berangkat dari teori, metode penelitian kualitatif cenderung memetakan teori berdasarkan data-data yang terkumpul dan hasil dari analisis data-data tersebut (Strauss dan Corbin, 1998).
Diversity program merupakan suatu rangkaian proses inklusifitas terhadap berbagai keragaman yang ada di dunia kerja, khususnya di dalam perusahaan. Keragaman ini bukan hanya berkenaan dengan latar belakang budaya, namun di dalamnya juga terdapat keragaman dari segi ras, suku bangsa, agama, jenis kelamin, fisik, hingga orientasi seksual. Khusus pada penelitian ini, diversity program terbangun dari fenomena sosial yang melibatkan penyandang disabilitas di masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dengan lebih baik melalui penelitian yang lebih mendalam di dalam perusahaan, baik melalui wawancara, observasi, maupun analisis data-data penunjang dari perusahaan bersangkutan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, peneliti menggunakan metode kualitatif sebagai acuan untuk menjawab permasalahan yang ada. Dengan metode kualitatif, peneliti mampu melihat berbagai faktor dari berbagai sudut pandang untuk menemukan fakta yang tersembunyi di balik kompleksitas sebuah perusahaan
(Cassel dan Symon, 1994). Metode ini juga memungkinkan tergalinya data-data dari suatu fenomena tertentu dengan lebih komprehensif. Sehingga dianggap mampu mendukung analisis peneliti dalam menjawab permasalahan penelitian yang ada.
Kerangka Pemikiran
Analisis dalam penelitian ini berangkat dari kerangka pemikiran Macy (1996) yang disusun berdasarkan hasil penelitiannya tentang disabilitas dan diversity program. Adapun kerangka pemikiran tersebut, dapat dilihat pada gambar berikut.
Pemahaman ( Understanding)
1. Sikap dan kepercayaan ( Attitudes and Beliefs)
2. Dasar hukum ( Requirements of Law) 3. Keuntungan potensial ( Potential Benefits)
Nilai-nilai Perusahaan ( Organizational
Values
1. Bihavioralis-Humanis ( Behaviorism-Humanism) Program Kemajemukan
2. Meritokrasi-Egalitarian ( Diversity program) ( Meritocracy-Egalitarianism
Praktik ( Practices)
1. Pelatihan ( Training) 2. Analisis dan Deskripsi Pekerjaan ( Job Analysis
and Description)
3. Rekrutmen dan Seleksi ( Recruiting and Selection)
4. Kebijakan ( Policies)
Gambar 1 Attitude Based Model to Accommodate Disabilities
(Sumber: Macy, Granger. (1996). Accommodating Employee with Disabilities: A Matter of Attitude.
Journal of Managerial Issues Vol. 8 No. 1. Pittsburg State University, p. 79)
Gambar 1 memperlihatkan bahwa pembuatan diversity program tidak terlepas dari dukungan pemahaman akan disabilitas dan nilai-nilai yang terdapat di dalam perusahaan. Pemahaman di sini meliputi sikap dan kepercayaan perusahaan terhadap penyandang Gambar 1 memperlihatkan bahwa pembuatan diversity program tidak terlepas dari dukungan pemahaman akan disabilitas dan nilai-nilai yang terdapat di dalam perusahaan. Pemahaman di sini meliputi sikap dan kepercayaan perusahaan terhadap penyandang
Berdasarkan kerangka tersebut, proses analisis dan pembahasan pada penelitian ini akan diawali dengan analisis pandangan dan pemahaman informan mengenai disabilitas. Kemudian, dilanjutkan dengan analisis pandangan dan pemahaman informan terhadap nilai- nilai perusahaan yang dikaitkan dengan keberadaan dan inklusifitas untuk karyawan penyandang disabilitas. Berikutnya, peneliti akan menganalisis penerapan diversity program di dalam Perusahaan BCS, meliputi rekrutmen, seleksi, pelatihan, analisis jabatan dan deskripsi kerja, serta kebijakan terkait kepegawaian untuk penyandang disabilitas. Terakhir, peneliti akan menganalisis ada tidaknya keterkaitan antara pemahaman informan tentang disabilitas dan nilai-nilai perusahaan terhadap penerapan diversity program untuk karyawan penyandang disabilitas di Perusahaan BCS. Dari seluruh analisis tersebut, akan terlihat sejauh mana implementasi diversity program untuk tenaga kerja penyandang disabilitas di perusahaan Perusahaan BCS.
Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dibedakan menjadi pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara semi-structure terhadap para informan. Wawancara dilaksanakan dalam waktu yang berbeda- beda dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar pemahaman informan tentang disabilitas yang meliputi a) Sikap dan kepercayaan, b) Daar hukum, dan c) Keuntungan potensial; pemahaman informan tentang nilai-nilai perusahaan dan kaitannya dengan keberadaan dan inklusifitas terhadap penyandang disabilitas; serta implementasi diversity program di Perusahaan BCS Indonesia, khususnya meliputi a) Pelatihan, b) analisis jabatasn dan deskripsi pekerjaan, c) Rekrutmen dan seleksi, serta d) Kebijakan. Sedangkan, data sekunder dikumpulkan melalui dokumen-dokumen atau data pendukung lainnya yang diperoleh langsung dari informan, baik berupa profil perusahaan, penjelasan mengenai diversity program yang diterapkan di perusahaan informan serta dokumentasi-dokumentasi Pengumpulan data dalam penelitian ini dibedakan menjadi pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara semi-structure terhadap para informan. Wawancara dilaksanakan dalam waktu yang berbeda- beda dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar pemahaman informan tentang disabilitas yang meliputi a) Sikap dan kepercayaan, b) Daar hukum, dan c) Keuntungan potensial; pemahaman informan tentang nilai-nilai perusahaan dan kaitannya dengan keberadaan dan inklusifitas terhadap penyandang disabilitas; serta implementasi diversity program di Perusahaan BCS Indonesia, khususnya meliputi a) Pelatihan, b) analisis jabatasn dan deskripsi pekerjaan, c) Rekrutmen dan seleksi, serta d) Kebijakan. Sedangkan, data sekunder dikumpulkan melalui dokumen-dokumen atau data pendukung lainnya yang diperoleh langsung dari informan, baik berupa profil perusahaan, penjelasan mengenai diversity program yang diterapkan di perusahaan informan serta dokumentasi-dokumentasi
Informan
Informan dalam penelitian ini dipilih dengan metode purposeful sampling. Kriteria yang utama adalah informan merupakan orang-orang yang terlibat langsung dan terkena dampak dari pelaksanaan diversity program di Perusahaan BCS, meliputi pembuat kebijakan dan subjek dari kebijakan bersangkutan. Adapun informan terdiri dari 8 (delapan) orang karyawan disabled dan 8 (delapan) orang karyawan non disabled. Dari 8 (delapan) orang disabled, 2 (dua) orang merupakan karyawan tetap di bagian CRES dan Call Center, seorang merupakan tunanetra dan seorang tunadaksa ( paralyzed down), dan 6 (enam) orang lainnya merupakan tunanetra dan bekerja sebagai karyawan outsourcing di bagian Telemarketing. Wawancara dilaksanakan secara bergiliran selama 10 hari, yakni sejak tanggal 14 April 2014 hingga 24 April 2014. Sebagian besar wawancara dilaksanakan di kantor Perusahaan BCS, Menara Standard Chartered dan Menara WTC 2, dan sebagian lagi dilaksanakan di rumah informan. Waktu wawancara berkisar antara 30 menit sampai 1 jam.
Sementara karyawan non disabled terdiri dari 2 (dua) orang dari level non manajerial), yang bekerja di bagian Telemarketing dan 6 (enam) orang dari level manajerial, yang terdiri dari CEO Perusahaan BCS Indonesia, Country Head of Human Resources Perusahaan BCS
Indonesia, Country Head of Current Affair Perusahaan BCS Indonesia, Regional Sales Manager Accessing Tele Banking (RSM-ATB) Perusahaan BCS Indonesia, Diversity and Inclusion (DNI) Champion Perusahaan BCS Indonesia dan Seeing is Believing Champion Perusahaan BCS Indonesia. Wawancara dilaksanakan dalam rentang waktu 17 April hingga
23 Mei 2014. Waktu wawancara berkisar antara 30 menit sampai 1 jam.
Prosedur Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode Open Coding. Di dalam proses open coding, data dipecah dan dijabarkan dalam beberapa bagian yang kemudian dikelompokkan sesuai dengan konsep, dimensi dan kategori (Strauss dan Corbin, 1998). Langkah-langkah analisis dalam open coding meliputi Konseptualisasi, Pendefinisian, Pemberian kategori, Menganalisis persamaan dan perbedaan dari setiap jawaban informan yang telah dikelompokkan berdasarkan konsep, dimensi dan kategori untuk melihat keterkaitan antara satu konsep dengan konsep lainnya.
Pembahasan
Pemahaman tentang Disabilitas
a) Definisi Disabilitas Secara definisi, sebagian besar informan dapat dikatakan mengetahui dan cukup
memahami arti dari disabilitas. Disabilitas tidak hanya diartikan sebagai keterbatasan atau kekurangan pada fungsi tubuh seseorang, namun juga berkaitan dengan faktor-faktor lingkungan di luar diri penyandang disabilitas tersebut. Namun, saat melangkah kepada ruang lingkup disabilitas, masih banyak informan yang mencampuradukkan antara disabilitas dengan jenis penyakit. Padahal, berbeda dengan penyakit, disabilitas bersifat permanen dan tidak berhubungan dengan tingkat kesehatan tubuh atau jiwa penyandangnya. Sebagian juga menyamakan disabilitas dengan tindakan asusila dan korupsi. Meski disabilitas memiliki hubungan yang erat dengan faktor lingkungan sekitar, tindakan asusila dan korupsi tidak serta-merta dapat dikatakan sebagai jenis disabilitas.
Korupsi, yang juga dianggap sebagai contoh disabilitas oleh sebagian informan, merupakan tindakan yang telah masuk ke dalam kategori kriminalitas dan merugikan bagi masyarakat. Keduanya bukanlah tindakan yang dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat karena berbagai dampak buruk yang ditimbulkan. Oleh karena itu, pengaitan kedua tindakan tersebut ke dalam cakupan disabilitas, berpotensi menimbulkan pemahaman bahwa disabilitas juga erat kaitannya dengan tindakan amoral dan kriminalitas. Tidak dapat dipungkiri bahwa media massa turut andil mengaitkan isu-isu moral tersebut ke dalam kategori disabilitas yang akhirnya memunculkan cakupan baru terhadap jenis disabilitas di mata masyarakat.
Perluasan makna disabilitas kepada jenis penyakit, tindakan asusila dan kriminalitas, dapat membentuk persepsi yang berbeda bahkan cenderung menjadi negatif di mata masyarakat. Pada akhirnya, hal ini juga dapat mempengaruhi pandangan dan persepsi perusahaan dalam penyediaan lapangan pekerjaan serta lingkungan yang inklusif bagi penyandang disabilitas tersebut.
Keberagaman definisi terhadap disabilitas yang disampaikan informan ini membuktikan bahwa hingga saat ini pemahaman masyarakat tentang konsep tersebut masih berdasar pada persepsi masing-masing orang semata, dimana persepsi tersebut juga dipengaruhi oleh latar belakang sosial dan cara pandang yang berbeda-beda. Hal ini tak terlepas dari belum adanya definisi baku soal disabilitas yang berlaku secara global dan dapat dijadikan acuan. Sehingga, masyarakat pun belum memiliki pandangan yang sama tentang konsep ini.
b) Persepsi dan Pandangan terhadap Penyandang Disabilitas Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan, terdapat beberapa persamaan dan
perbedaan cara pandang terhadap penyandang disabilitas dari disabled dan non disabled. Secara umum, baik disabled maupun non disabled sama-sama memandang bahwa sebagian besar penyandang disabilitas identik dengan kemiskinan, kesulitan mencari pekerjaan, tidak mau membuka diri, rendah diri dan mudah tersinggung. Namun, mereka pun mengakui, bahwa tidak sedikit pula disabled yang telah mandiri dan mau membuka diri mereka di tengah masyarakat. Bagi non disabled, di lingkungan kerja, disabled bekerja dengan gigih dan penuh semangat. Pandangan tersebut muncul setelah adanya interaksi secara langsung dan intens dengan para penyandang disabilitas di lingkungan kerja mereka.
Walau demikian, bila dikaitkan dengan penyerapan tenaga kerja, terdapat perbedaan pandangan antara disabled dan non disabled. Bagi non disabled, khususnya pihak manajerial, disabled masih dianggap rendah diri dan tidak mau menantang diri atau membuktikan diri mereka di dunia kerja. Di sisi lain, disabled berpandangan bahwa rasa rendah diri tersebut, dipacu karena kecilnya kesempatan kerja yang diberikan perusahaan. Bahkan tidak jarang disabled ditolak bekerja setelah perusahaan mengetahui kebutuhan yang diperlukan oleh disabled tersebut.
Sejalan dengan pernyataan beberapa informan, menurut Colbran (2010), terdapat beberapa stigma yang melekat tentang disabled di tengah masyarakat Indonesia. Stigma- stigma ini melekat sebagian besar karena pandangan sekelompok orang yang kemudian digeneralisir dan menjadi persepsi umum di mata masyarakat. Pertama, disabilitas identik dengan sakit dan lemah. Disabled dianggap tidak akan bisa beraktivitas tanpa bantuan orang lain, sehingga cenderung menyusahkan. Tidak dapat dipungkiri, berdasarkan pembahasan sebelumnya, hingga saat ini stigma tersebut masih melekat dalam pendefinisian disabled, bahkan oleh penyandangnya sendiri.
Selain dipandang sebagai penyakit, disabilitas juga seringkali dikaitkan dengan kutukan atau karma. Hal ini diperparah dengan kebiasaan keluarga atau penyandang disabilitas sendiri yang cenderung menyembunyikan kekurangan anggota keluarga atau dirinya dari masyarakat. Kembali, media massa pun semakin melekatkan pandangan tersebut dengan menampilkan tayangan yang hampir selalu menonjolkan kesan bahwa disabled adalah orang-orang yang harus dikasihani. Seperti yang disampaikan oleh salah seorang informan sebelumnya, penyandang disabilitas adalah orang-orang yang minder dan selalu dikucilkan sejak kecil oleh masyarakat sekitarnya. Mereka pun cenderung disentralisasi di dalam panti- panti sosial.
Hal itulah yang banyak membuat disabled memilih untuk berpasrah diri dan tak mau terbuka terhadap kesempatan di luar mereka. Terlebih, selama ini, pemerintah pun seolah membenarkan hal tersebut dengan selalu mengaitkan disabilitas dengan dinas sosial dan kesejahteraan sosial. Disabilitas seperti objek yang harus diurus oleh kaum profesional, dan tidak memiliki hak untuk menentukan nasib mereka sendiri (Colbran, 2010).
c) Peraturan tentang Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas Dari hasil wawancara di atas, terlihat bahwa aturan pemerintah soal penyandang
disabilitas hanya diketahui oleh karyawan disabled sebagai bagian utama dalam peraturan tersebut. Sementara, pihak perusahaan tidak mengetahui dengan pasti mengenai aturan itu. Hanya sebagian kecil dari tataran manajerial, sebagai pemegang kebijakan, yang mengetahui aturan pemerintah terkait tenaga kerja penyandang disabilitas, salah satunya bagian Employee Relations. Keadaan ini terutama disebabkan oleh kurangnya pengetahuan perusahaan akibat tidak adanya sosialisasi dan pengawasan dari pemerintah sebagai regulator.
d) Keuntungan Potensial terhadap Perusahaan
Dari sisi keuntungan potensial, bagi penyandang disabilitas, para disabled memiliki kedisiplinan dan fokus kerja yang lebih baik. Dengan dukungan teknologi, mereka bisa memberikan keterampilan yang lebih beragam bagi perusahaan. Sementara, bagi perusahaan, penyandang disabilitas belum dapat memberikan keuntungan dari segi bisnis karena kurangnya efisiensi kerja mereka. Namun, keberadaan penyandang disabilitas dapat mendorong reputasi yang baik bagi perusahaan di mata publik.
Pemahaman tentang Nilai-Nilai Perusahaan BCS dan Kaitannya dengan Keberadaan dan Inklusifitas bagi Karyawan Penyandang Disabilitas
Berdasarkan hasil analisis di atas dapat dilihat beberapa temuan mengenai pemahaman karyawan terhadap nilai-nilai perusahaan Perusahaan BCS. Pertama, espoused values hanya diketahui dan dipahami oleh karyawan level manajerial. Sementara, karyawan non manajerial lebih dapat merasakan enacted values yang dirasakan melalui interaksi antar karyawan dan praktik langsung dari atasan. Menurut Kreitner dan Kinicki (2011), espoused values adalah nilai-nilai yang dibangun oleh para pendiri perusahaan. Biasanya nilai-nilai ini disampaikan secara verbal, ditempel di dinding, atau dimasukkan ke dalam buku pegangangan karyawan.
Di dalam Perusahaan BCS, espoused values terdiri dari 5 (lima) nilai dasar, yakni courageous, trustworthy, international, responsive, dan creative. Sementara, dalam praktik Di dalam Perusahaan BCS, espoused values terdiri dari 5 (lima) nilai dasar, yakni courageous, trustworthy, international, responsive, dan creative. Sementara, dalam praktik
Kedua, dalam bentuk kebijakan dan program kegiatan, nilai-nilai yang diusung Perusahaan BCS memberi pengaruh terhadap penciptaan lingkungan yang inklusif terhadap penyandang disabilitas. Misalnya, melalui diversity and inclusion, Perusahaan BCS membuka kesempatan kerja untuk disabled, dimana setiap karyawan dinilai sama dan hanya dibedakan berdasarkan skill dan kinerja mereka. Perusahaan BCS pun menyediakan berbagai akomodasi untuk disabled yang membantu mereka di dalam pekerjaan.
Namun, pemahaman terhadap nilai-nilai Perusahaan BCS tersebut ternyata tidak otomatis mempengaruhi interaksi para karyawan non disabled dan disabled dalam tataran individu. Keinginan untuk berinteraksi atau membantu para penyandang disabilitas lebih dikarenakan dorongan hati nurani karyawan lain sebagai sesama manusia. Oleh karena itu, masih ada sebagian karyawan yang tidak peduli dengan disabled. Dari sisi penyandang disabilitas sendiri, keterbukaan mereka untuk berinteraksi, lebih dikarenakan konsep diri dan kemampuan adaptasi mereka di lingkungan non disabled.
Ketiga, bila merujuk kepada pengelompokkan nilai oleh Macy (1996), yakni behaviorism-humanism dan meritocracy-egalitarianism, dapat dilihat bahwa nilai-nilai Perusahaan BCS, baik espoused maupun enacted values, telah masuk dalam unsur-unsur pokok keempat nilai tersebut. Pada nilai behaviorism, perusahaan lebih menekankan kepada efisiensi dan pengaturan struktur kerja yang baku, standar indikator pengontrolan dan evaluasi yang sama. Hal ini terlihat pada Perusahaan BCS yang salah satunya diimplementasikan melalui penilaian karyawan yang didasarkan pada pencapaian kinerja, target dan penerapan nilai-nilai perusahaan. Hal ini berlaku sama bagi seluruh karyawan, termasuk untuk penyandang disabilitas. Pada humanism, perusahaan lebih menekankan pada kualitas hidup karyawannya. Manajer akan lebih memperhatikan work life balance dan kepuasan kerja dari setiap karyawan. Di Perusahaan BCS, hal ini dibuktikan dengan pemberian sarana bagi karyawan wanita yang berada pada masa menyusui, pemberian cuti di luar cuti tahunan, dan kewajiban mengikuti CSR agar dapat bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.
Selanjutnya, meritocracy. Hampir serupa dengan behaviorism, baik tidaknya seorang karyawan dinilai berdasarkan kontribusi dan performa yang mereka berikan kepada perusahaan, bukan dari perbedaan fisik, mental, suku, agama dan sebagainya. Selain melalui penilaian karyawan yang telah disebutkan sebelumnya, Perusahaan BCS juga menerapkan Selanjutnya, meritocracy. Hampir serupa dengan behaviorism, baik tidaknya seorang karyawan dinilai berdasarkan kontribusi dan performa yang mereka berikan kepada perusahaan, bukan dari perbedaan fisik, mental, suku, agama dan sebagainya. Selain melalui penilaian karyawan yang telah disebutkan sebelumnya, Perusahaan BCS juga menerapkan
Implementasi Diversity program untuk Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas di Perusahaan BCS Indonesia
Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan yang dikaitkan dengan tahapan proses diversity program oleh Nilson (1997), Dreachslin (1997) dan Hyter (2003), diketahui bahwa Perusahaan BCS Indonesia belum memiliki diversity program khusus karyawan disabled yang tersusun secara formal dan sistematis. Selama ini, penerapan Diversity and Inclusion untuk karyawan penyandang disabilitas hanya berbentuk affrimative action atau pelaksanaan aksi nyata dengan melakukan rekrutmen dan seleksi, pelatihan dan pengembangan, penyediaan akomodasi, promosi serta pemberian penghargaan dan hukuman .