Dari Depresi Ekonomi hingga Dekolonisasi

Dari Depresi Ekonomi hingga Dekolonisasi:
Pengusaha Tionghoa dan Industri Batik Cirebon, tahun 1930an-1950an1
Oleh:
Abdul Wahid2

PENDAHULUAN
Periode 1930an hingga 1950an merupakan periode krusial dalam sejarah Indonesia.
Dalam tiga dekade tersebut, masyarakat Indonesia mengalami berbagai peristiwa yang
memiliki dampak penting dan mendasar bagi periode sejarah berikutnya. Diawali dengan
meledaknya resesi ekonomi yang kemudian diikuti oleh bangkrut dan runtuhnya negara
Hindia Belanda, hadirnya kekuatan militer Jepang, proklamasi kemerdekaan dan akhirnya
sebuah revolusi sosial menutup periode-periode tersebut. Bagi masyarakat Tionghoa
Indonesia, periode tersebut merupakan masa-masa sulit yang suram, saat mana mereka
mengalami banyak tekanan, ancaman dan aksi kekerasan, baik dari penguasa maupun dari
kelompok masyarakat lainnya. Selama periode tersebut, posisi sosial politik orang Tionghoa
yang mengambang menjadi nyata terlihat.
Adalah runtuhnya kekuasaan kolonial Belanda di tangan Jepang pada tahun 1942
dan kegagalan mereka untuk membangun kembali kekuasaanya sesudah tahun 1945
menjadi titik balik yang menentukan dalam sejarah Indonesia. Peristiwa tersebut telah
menghantarkan Indonesia ke dalam periode kekacauan sosial dan ekonomi yang hebat dan
panjang, yang dalam historiografi Indonesia disebut sebagai periode revolusi. Pada waktu

itu, walaupun Indonesia secara politik berhasil memproklamasikan kemerdekaannya dan
memperoleh pengakuan dunia internasional, namun secara ekonomi belum mampu
melepaskan diri seutuhnya dari kungkungan ekonomi kolonial. Oleh karena itu, dengan
dilandasi semangat nasionalisme yang kuat, para pemimpin nasional Indonesia segera
mengeluarkan kebijakan untuk segera keluar dari kungkungan tersebut dan berusaha
membangun struktur perekonomian baru.
Pada tingkat negara, untuk memantapkan fondasi bangunan ekonomi nasional,
pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan untuk mengambil alih berbagai instansi,
fasilitas infrastruktur publik, dan perusahaan besar dan strategis milik Pemerintah Hindia
Belanda menjadi milik negara. Selain itu, untuk mendorong lahirnya pengusaha-pengusaha
pribumi pemerintah Indonesia memberikan hak-hak istimewa dan proteksi kepada mereka
untuk berkompetisi dengan pengusaha dan modal asing dalam bisnis dan perdagangan.
Berbagai kebijakan tersebut, kemudian dikenal secara popular dengan sebutan
Indonesianisasi.3 Sementara itu, pada tingkat masyarakat proses nasionalisasi aset ekonomi
lokal, atau sering disebut pribumisasi, lebih banyak dilakukan terhadap usaha, badan usaha,
atau hak milik kelompok sosial non-pribumi terutama Tionghoa, meskipun dalam beberapa
kasus juga terhadap sesama kelompok pribumi, yang seringkali diwarnai aksi kekerasan
terhadap mereka dengan didasari oleh semangat dekolonisasi dan tidak jarang sentimen
primordial.4
1 Makalah untuk workshop Dekolonisasi dan Posisi Etnis Tiongho Indonesia 1930an – 1960an,

NIOD-Univ. Negeri Padang, Padang, 19-21 Juni 2006.
2 Peneliti di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM dan staf Jurusan Sejarah FIB UGM.
3 John Overal Sutter, Indonesianisasi;A Historical Surveys of the Role of Politics in the Institution
of a Changing Economy from the Second World War to the Eve of the General Election (1940-1955), (Ph.D
Thesis Cornel University, 1959)
4 Willliam H. Frederick, “Shadow of an unseen hand: some pattern of violence in the
Indonesian revolution, 1945-1949”, dalam Freek Colombijn & J. Thomas Lindblad (eds), Roots of
Violence in Indonesia (Leiden: KITLV Press, 2002), hlm.143-146.

1

Dari perspektif sejarah ekonomi Indonesia, periode antara tahun 1940an-1960an itu
memang selalu digambarkan sebagai periode yang penuh dengan kekacauan di bidang
sosial dan politik, serta kemunduran di bidang ekonomi secara drastis. Mackie, menyebut
periode tersebut sebagai periode kemandekan atau kemerosotan ekonomi nasional yang
juga dapat ditafsirkan sebagai penghancur dan pemisah utama dengan perkembangan
ekonomi sebelumnya.5 Kondisi tersebut ditandai dengan runtuhnya ekonomi kolonial yang
akarnya berawal sejak tahun 1930an ketika Depresi Ekonomi menghantam Indonesia,
kemudian dilanjukan dengan pendudukan Jepang, perang kemerdekaan, revolusi dan
perang sipil. Berbagai peristiwa tersebut, telah menimbulkan kehancuran struktural yang

berdampak langsung pada kinerja ekonomi nasional. Menurut Mackie, peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada periode tersebut telah menimbulkan trauma yang sangat mendalam dan
akibat-akibat sesudahnya terus dirasakan selama 20 tahun pertama kemerdekaan, baik di
tingkat negara maupun masyarakat.6
Dalam keseluruhan proses historis tersebut, masyarakat Tionghoa di berbagai
wilayah Nusantara harus mengalami berbagai penderitaan yang luar biasa berat. Selain
karena mundurnya aktivitas ekonomi di berbagai sektor, banyak di antara mereka yang
menjadi korban kekerasan politik, peperangan dan konflik sosial sejak kedatangan Jepang
sampai dengan meletusnya perang kemerdekaan dan revolusi. Dalam kajiannya tentang
kekerasan pada masa revolusi, Frederik menemukan bahwa kekerasan terhadap masyarakat
minoritas dan utamanya masyarakat Tionghoa merupakan fenomena yang cukup signifikan
dan banyak ditemukan di beberapa daerah di Jawa.7 Kondisi tersebut juga terjadi di
Cirebon, sebuah penelitian mengungkapkan bahwa pada periode 1940an dan 1950an
kekacauan dan peperangan telah menghancurkan sektor ekonomi non-farm termasuk
ekonomi batik yang sebelumnya berkembang cukup pesat di mana pengusaha Tionghoa
menjadi bagian penting di dalamnya.8
Tulisan ini akan mencoba melihat bagaimana kondisi kehidupan masyarakat
Tionghoa di Cirebon, terutama mereka yang terlibat dalam aktivitas produksi batik, pada
masa transisi sosial politik tahun 1940an hingga tahun 19950an. Pembahasan akan
difokuskan pada bagaimana transisi kekuasaan politik itu mempengaruhi kehidupan

masyarakat Tionghoa, dan bagaimana situasi waktu itu yang diwarnai oleh peperangan,
kekerasan dan agresivitas massa mengancam dan menimbulkan penderitaan bagi
kehidupan mereka. Uraian akan diawali dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat
Tionghoa di Cirebon, kemudian dilanjutkan dengan diskusi tentang peran mereka dalam
aktivitas ekonomi batik di Cirebon dan bagaimana suasana revolusi mempengaruhi
kehidupan mereka. Beberapa catatan simpul selanjutnya akan dikemukakan untuk
menutup seluruh uraian makalah ini.

J.A.C. Mackie, “Periode 1941-1965 sebagai Selingan dalam Pembentukan Ekonomi
Nasional: Bagaimana Sebaiknya Kita Menafsirkan?”, dalam J. Thomas Lindblad (ed.), Fondasi Historis
Ekonomi Indonesia (Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM – Pustaka Pelajar, 2002), hlm.
394-415.
6 J.A.C. Mackie, “Periode 1941-1965 sebagai Selingan…, hlm. 396.
7 Willliam H. Frederick, “Shadow of an unseen hand…158-66.
8 Tommy Svensson, “Contraction and Expansions: Agrarian Change in Java since 1830”,
dalam Morner, M. & Svensson, Th. (eds.), Classes, Strata, and Elites: Essays on Social Stratification in
History (Gothenburg: Monoghrahs of the Departement of History, Gothenburg University, no.34), hlm
191-231. H.J. Hardon, ‘Industrial recovery in Indonesia’, dalam Economic Review of Indonesia, 2, 10,
1948, hlm. 161-170; yang juga dikutip Anne Booth dalam ‘Pertumbuhan dan Kemandekan dalam Era
Pembangunan Bangsa: Penampilan Ekonomi Indonesia dari 1950-1965’, dalam J. Thomas Lindblad

(ed.), Fondasi Historis Ekonomi…, hlm. 490.
5

2

Dalam Bayang-bayang Revolusi dan Pribumisasi: Industri Batik dan Pengusaha
Tionghoa Cirebon, tahun 40an-50an
Kekalahan tentara Jepang dan kemudian diikuti dengan proklamasi kemerdekaan
pada 17 Agustus 1945, telah menimbulkan antusiasme dan kegembiraan yang besar akan
segera hilangnya kesulitan hidup di bawah kontrol tentara Jepang yang kejam. Selain itu,
peristiwa tersebut juga menimbulkan kebingungan sehingga disikapi secara berbeda oleh
berbagai kelompok masyarakat di berbagai wilayah yang berbeda di Indonesia.
Kehadirannya yang mendadak bagi masyarakat Cirebon selain menimbulkan kegembiraan
juga menimbulkan kebingungan, terutama di kalangan birokrasi desa. Hal ini dapat
disaksikan misalnya dari reaksi yang mereka tunjukan, sebagian mereka yang menyambut
gembira segera mengibarkan bendera merah putih, namun sebagian lainnya tetap
mengibarkan bendera Jepang, bahkan ada pula yang tidak percaya bahwa kemerdekaan
benar-benar telah di proklamasikan. Nampaknya masalah komunikasi lebih menjadi
penyebab terhambatnya penyebaran informasi tentang proklamasi kemerdekaan ini secara
merata di tengah masyarakat. Terlebih dua hari sebelumnya, 15 Agustus 1945 terjadi

kerusuhan di Desa Pesindangan yang disulut oleh ditangkapnya sekelompok pemuda
aktivis Cirebon oleh tentara Jepang karena tercium tengah menyiapkan upacara
penyambutan proklamasi kemerdekaan di Cirebon.9 Dalam kerusuhan itu, meski tidak
menimbulkan korban jiwa tapi sudah cukup untuk meningkatkan ketegangan dalam
kehidupan masyarakat pedesaan.
Namun hal lain yang tak kalah penting adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi
sesudah proklamasi kemerdekaan di berbagai daerah, di mana rakyat untuk pertama
kalinya secara total mengalami politisasi dengan kadar yang tinggi dalam suasana
radikalisasi yang cenderung mengarah pada anarki. Menurut Kahin,10 kebobrokan ekonomi
dan penderitaan yang luas dalam bulan-bulan terakhir pendudukan Jepang, telah
mendorong banyak kelompok masyarakat, terutama di pedalaman Jawa mendukung suatu
revolusi yang tidak hanya ditujukan untuk menentang kembalinya Belanda, melainkan juga
untuk menentang seluruh tatanan sosial Indonesia yang dipakai Belanda untuk memerintah
dahulu. Di kota maupun di pedalaman muncul tuntutan agar semua bekas kaki tangan
Belanda atau Jepang diganti. Dan sasarannya bukan hanya para pejabat Indonesia dan para
pemimpin tradisional yang pernah mengabdi kepada penguasa kolonial, melainkan juga
orang-orang Tionghoa dan Indo, yang secara ekonomis sering dianggap menikmati
keuntungan dari penguasa kolonial. Hal itu diperkuat oleh adanya kecurigaan bahwa
mereka tetap setia kepada Belanda dan sanggup bekerja demi kembalinya kekuasaan
kolonial Belanda.

Kondisi tersebut dalm skala kecil dan lokal juga terjadi di desa Trusmi. Segera
setelah proklamasi kemerdekaan, sekelompok masyarakat desa Trusmi menuntut agar
Kuwu (kepala desa) dan para pejabat pembantunya segera diganti. Kuwu yang menjabat
saat itu adalah Ki Samita yang mulai menjabat sebagai kuwu sejak tahun 1928. Ia
merupakan figur yang disegani karena selain berasal dari keluarga besar keturunan Ki
Buyut Trusmi sehingga secara adat ia dinilai memiliki posisi yang sangat kuat, tetapi juga

9 Sebuah laporan mengungkapkan bahwa pada waktu itu, pemuda Cirebon terkonsentrasi
pada dua kelompok, yaitu kelompok pimpinan Dr. Sudarsono yang berakar pada organisasi Koperasi
Rakjat Indonesia dan kelompok pimpinan Sastrosuwirjo yang didukung organisasi Barisan Pelopor.
Kedua kelompok pemuda itu kemudian bekerjasama mempersiapkan rapat umum menyambut
proklamasi kemerdekaan di Cirebon. Anonimous, ‘Simpang Siur dalam Revolusi’, dalam Buku
Peringatan 50 tahun Kota Besar Tjirebon, 1906-1956 (tanpa penerbit dan tahun terbitan), hlm. 99-100.
10 Audrey R. Kahin, ‘Pendahuluan’, dalam Audrey R. Kahin (ed), Pergolakan Daerah Pada
Awal Kemerdekaan (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1989), hlm. 16-17.

3

karena kepemimpinannya yang dianggap berhasil mengayomi masyarakat.11 Kelompok
masyarakat yang menuntut turun Ki Samita dipimpin oleh Majana, seorang yang tergolong

kaya di Trusmi. Tidak jelas apa yang melatarbelakangi Majana mengajukan tuntutan itu,
namun menurut informasi yang diperoleh hal itu didorong oleh kepentingan politik
pribadinya, karena ia berambisi menjadi kuwu. Alasan utama yang diajukannya adalah
bahwa kuwu Masita dan perangkatnya merupakan pejabat lama yang turut menikmati
sistem pemerintahan kolonial dan menjadi bagian dari kelompok yang mendapatkan
keuntungan darinya sehingga harus disingkirkan.12 Akan tetapi upaya Majana akhirnya
mengalami kegagalan karena tidak didukung oleh masyarakat luas dan pengurus adat
Trusmi.
Peristiwa itu cukup menggemparkan dan mendorong meningkatnya ketegangan
politik di desa Trusmi. Beberapa bulan kemudian ketegangan politik tersebut semakin
meningkat ketika kuwu Samita memberhentikan Kyai Kumir, sep (juru kunci) makam
kramat Trusmi secara tiba-tiba. Hal ini tentu saja merupakan sesuatu yang di luar kebiasaan,
mengingat posisi sep yang tinggi dalam adat dan tidak bisa diintervensi oleh pihak
manapun termasuk kuwu. Namun mengingat posisi kuwu Samita yang kuat secara adat
dan kondisi sosial politik waktu itu, maka hal itu bisa terjadi dengan mudah. Menurut
informasi yang diperoleh dari beberapa sumber lisan, sebab utama pemberhentian Kyai
Kumir sebagai sep adalah perselisihannya dengan keluarga kuwu Samita, meskipun tidak
jelas apa substansi masalahnya. Sebagai gantinya kuwu Samita mengangkat Kyai Mahmud,
seorang mursyid tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah, bapak dari Kyai Ahmad Abdurrohim,
sep kramat Trusmi sekarang. Dalam peristiwa itu, yang menarik adalah bahwa Kyai Kumir

sebenarnya oleh penduduk Trusmi dianggap sebagai sep ideal karena ia masih keturunan
keluarga Buyut Trusmi, dia bukanlah penganut tarekat karenanya selama dia menjabat
sebagai sep, posisi dan hubungan kelompok penganut tarekat dengan adat agak sedikit
berjarak. Dan dengan diangkatnya Kyai Mahmud sebagai sep kramat Trusmi maka tarekat
bisa berdampingan kembali dengan adat secara lebih dekat.13
Suasana semakin tegang dan tidak menentu, penduduk Trusmi semakin dicekam
ketakutan ketika muncul gerombolan Karimuda di desa mereka.14 Di mata penduduk Trusmi
kelompok ini pada awalnya dihormati dan tidaklah menakutkan karena mereka dianggap
Pendapat ini terutama berasal dari kalangan pendukung dan kerabatnya. Menurut Bpk
Badawi, mantan tangan kanannya di desa, Ki Samita menjabat sebagai kuwu Trusmi selama 33 tahun
sampai dengan tahun 1961, ketika ia meninggal dunia. Dia bisa menjabat sebagai kuwu dalam waktu
yang demikian lama, selain karena posisinya dalam adat yang kuat, juga dikarenakan pada waktu itu
belum ada aturan yang membatasi jabatan seorang kepala desa. Wawancara dengan Bpk Badawi, 13
Nopember 2003.
12 Fenomena seperti ini banyak terjadi di berbagai daerah di Jawa, alasan yang digunakan
pun tidak jauh berbeda. Contoh paling ekstrem adalah apa yang terjadi di Jawa Tengah yang dikenal
sebagai ‘peristiwa tiga daerah’. Lihat dalam Anton Lucas, ‘Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi Sosial
atau Pemberontakan?’ dalam Audrey R. Kahin (ed), Pergolakan Daerah…, 1989.
13 Disarikan dari wawancara dengan Ki Lebe Jali dan Ki Turjani seorang anggota juru kunci
kramat Trusmi tanggal 13 dan 15 November 2003. Keterangan menarik diberikan oleh Ki Lebe Jali

bahwa menurutnya aliran tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah sebenarnya tidak terlalu mengakar
di kalangan masyarakat Trusmi bahkan dewasa ini tarekat pimpinan Kyai Ahmad Abdurrahim ini
hampir tidak lagi memiliki pengikut aktif, mereka yang bertahan hanyalah keluarga Kyai Ahmad,
kebanyakan pengikut tarekat ini malah berasal dari luar Trusmi. Wawancara tgl 13 November 2003.
14 Menurut Ong Hok Ham, kelompok-kelompok seperti ini banyak bermunculan di banyak
daerah di Jawa, baik daerah perkotaan maupun pedesaan. Menurutnya kelompok inilah yang
mempelopori tindakan-tindakan anarkhis. Biasanya kelompok seperti ini dipimpin oleh seorang
pemimpin informal, yang sering disebut jago. Ong Hok Ham, ‘Peran jago dalam sejarah’, Kompas, 27
April 1983; ‘Revolusi Indonesia: Mitos dan Realitas’, Prisma, 14, 8, 1985, hlm 3-11. lihat pula Riyadi
Gunawan, ‘Jagoan dalam revolusi kita’ Prisma, 10, 1981, hlm. 41-50. Diskusi teoretik tentang masalah
ini lihat William H. Frederick, ‘Shadow of an Unseen hand…, hlm. 158-162.
11

4

sebagai penjaga keamanan dan pejuang melawan Belanda. Selain itu, karena beberapa orang
warga setempat bergabung di dalamnya yang diantaranya adalah Majani, rival kuwu
Samita. Gerombolan Karimuda ini dipimpin oleh seorang pria bernama Dali dan sebagian
besar anggotanya berasal dari desa Megu, Sumber. Namun demikian, lama kelamaan
kelompok ini kemudian sering meminta bayaran dalam bentuk apa saja, baik uang maupun

harta benda sebagai jaminan keamanan dan dengan alasan demi perjuangan. Kelompok
pertama yang dimintai adalah orang-orang Tionghoa di Trusmi dan pengusaha-pengusaha
batik, tapi selanjutnya kepada semua penduduk Trusmi. Seiring situasi keamanan yang
semakin memburuk, maka tindakan gerombolan inipun semakin meningkat. Mereka kini
melakukan perampasan harta penduduk dan bahkan tak segan melakukan pembunuhan.
Pada akhir tahun 1945, misalnya, gerombolan ini merampok, membunuh dan sekaligus
membakar rumah seorang Tionghoa dan keluarganya di Trusmi wetan.15
Pada saat yang sama di tingkat nasional politik diplomasi terus dilakukan oleh
pemerintah RI dan pada 10 November 1946 di Linggarjati, selatan Cirebon diselenggarakan
perundingan Linggarjati antara pemerintah RI dengan Belanda, yang menghasilkan
kesepakatan Linggarjati yang ditandatangi kedua delegasi pada 15 November 1946.
Kesepakatan itu, berisikan tiga butir kesepakatan yang merugikan Indonesia, yaitu; (1)
Belanda mengakui wilayah kekuasaan RI di Sumatra, Jawa dan Madura dan mereka harus
meninggalkan daerah ini paling lambat tanggal 1 Januari 1949, (2) RI dan Belanda akan
bekerjasama membentuk RIS, (3) RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda
dengan Ratu Wilhelmina sebagai ketuanya. Sebagai tindak lanjut dari perundingan ini,
maka di wilayah Jawa Barat didirikan negara Pasundan dan Cirebon menjadi bagian di
dalamnya. Namun Belanda kemudian melanggar kesepakatan itu, karena pada 21 Juli 1947
Belanda melancarkan aksi militer ke wilayah RI tidak terkecuali kota Cirebon. Serangan
Belanda dilancarkan dari udara, laut dan darat dan segera mendapatkan perlawanan dari
TNI, namun karena kekuatan yang tidak berimbang, tentara Belanda berhasil menduduki
kota Cirebon. Sebagian anggota TNI mundur ke lereng Gunung Ciremai wilayah Kuningan
dan sebagian lagi tetap bersembunyi di kota dan sekitarnya. Sejak saat itulah TNI
melancarkan perang gerilya di wilayah Kota Cirebon dan sekitarnya, yang berlangsung
hingga tahun 1949 ketika Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia.16
Sementara itu, situasi tidak menentu dan keamanan yang buruk terus mewarnai
Trusmi selama masa perang gerilya, akibatnya banyak diantara penduduk desa yang pergi
mengungsi ke tempat saudaranya di daerah lain. Pencurian dan kriminalitas merajalela dan
semua sektor kehidupan, terutama bidang perekonomian hampir tidak bisa berjalan.17
Demikian pula halnya dengan para pengusaha batik mereka tidak bisa lagi menjalankan
usahanya, karena kesulitan mendapatkan bahan-bahan produksi.18 Semua ketegangan itu
Wawancara dengan Pak Manan, bekas Heiho, yang pada saat itu diangkat oleh desa
sebagai petugas keamanan desa. Menurutnya, pengurus desa sendiri waktu itu relatif tidak berdaya
karena tidak adanya kekuatan yang membantu mereka untuk menghadapi situasi seperti itu. Nyawa
mereka sendiri terancam. Beberapa kali tentara TNI dan Laskar, memang datang mengunjungi
Trusmi, namun kehadiran mereka tidak berlangsung lama.
16 Marhayono, Semuanya untuk Cirebon: Kisah heroik pasukan Kancil Merah dan Palagan
Mandala (Jakarta: PT Grasindo, 2003), hlm.6-16; Soesilo, ‘Perdjoangan masa Pendudukan’, dalam
Buku Peringatan 50 tahun Kota Besar Tjirebon, 1906-1956 (tanpa penerbit dan tahun terbitan), hlm. 64-66.
17 Sebuah sumber mengatakan bahwa tingkat kejahatan dan kriminalitas di daerah
karesidenan Cirebon pada tahun-tahun itu jauh lebih banyak daripada daerah kearesidenan Priangan
dan lainnya di Jawa Barat. Pada tahun 1952, tercatat kerugian sebesar Rp. 5.707.646 akibat kejahatan
dan kriminalitas di Cirebon. Lihat Republik Indonesia. Propinsi Djawa Barat, Kementrian Penerangan,
1952, hlm. 238-39.
18
Dengan mengutip sebuah laporan Booth menyebutkan bahwa pada tahun 1948 itu,
industri batik di Cirebon, sebagaimana di daerah Jawa Barat lainnya, telah mati. Lihat Anne Booth,
‘Pertumbuhan dan Kemandekan…’, hlm. 490.
15

5

akhirnya mencapai puncaknya pada pertengahan Desember 1948, ketika sekelompok
masyarakat melakukan penyerangan terhadap orang-orang Tionghoa yang tinggal di
Trusmi dan Karang Tengah. Penyerangan itu dipicu dengan berkembangnya isyu bahwa
salah seorang anggota komunitas Tionghoa dianggap sebagai mata-mata Belanda. Para
penyerang itu kemudian menjarah harta benda orang Tionghoa, membakar rumah-rumah
dan toko-tokonya, dan sebagian dari mereka bahkan dibunuh. Orang-orang Tionghoa yang
selamat segera meninggalkan Trusmi, sebagian besar diantaranya pergi ke kota Cirebon dan
beberapa lainnya tersebar di sekitar wilayah Cirebon.
Namun demikian tentang siapa sebenarnya kelompok masyarakat yang melakukan
penyerangan, terdapat dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama mengatakan bahwa
pelaku penyerangan, pembakaran, dan pembunuhan itu adalah gerombolan Karimuda
bersama-sama dengan sebagian penduduk Trusmi.19 Sementara pendapat kedua
mengatakan bahwa peristiwa itu dilakukan oleh penduduk Trusmi yang dipelopori oleh
kalangan pemuda pejuang.20 Meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang pelaku
penyerangan tersebut, sumber-sumber lisan dari kedua pendapat yang berbeda itu memiliki
kesamaan pendapat tentang sebab dan alasan yang melatarbelakangi dilakukannya
penyerangan itu. Pertama, bahwa orang-orang Tionghoa itu adalah penghianat revolusi,
mereka adalah mata-mata Belanda dan mendukung kembalinya kekuasaan Belanda di
Indonesia. Kedua, bahwa orang-orang Tionghoa itu adalah penjajah ekonomi. Selama masa
kolonial mereka banyak memperoleh keuntungan ekonomis melalui hak-hak istimewa yang
diberikan oleh penguasa Belanda. Mereka memonopoli usaha batik melalui praktek-praktek
kerjasama yang curang dan merugikan perajin batik pribumi. Ketiga, mereka adalah orang
asing, pendatang, yang tidak memahami adat Trusmi karenanya bukan bagian dari
masyarakat Trusmi.21
Terlepas dari siapa sebenarnya pelaku penyerangan, pembakaran dan
pembunuhan itu, peristiwa itu telah memberikan dampak penting bagi kehidupan
masyarakat setempat dan dapat dimaknai secara beragam. Pada satu sisi, peristiwa tersebut
selain merupakan bagian dari ekspresi ekstrem upaya dekolonisasi pada tingkat masyarakat
yang juga banyak terjadi di daerah lain pada masa itu. Pada sisi yang lain juga dapat
dimaknai sebagai manifetasi dari konflik sosial ekonomi yang lama terpendam antara
berbagai kelompok di daerah itu. Selain itu, peristiwa itu juga merupakan puncak
ketegangan kultural antara kelompok pendatang dan kelompok pribumi yang secara laten
telah dirasakan sejak periode akhir kolonial, di mana faktor etnik dan agama memainkan
peran dalam mendorong masyarakat setempat untuk melakukan aksi kekerasan tersebut.22
Namun demikian, pada akhirnya dari sudut pandang ekonomis peristiwa tersebut,
meskipun tidak digerakan oleh motivasi ekonomis, telah menjadi blessing in disguisse bagi
19

Informan yang berpendapat seperti ini diantaranya Ki Lebe Jali, Ki Turjani, dan Pak

Badawi.
Pendapat ini terutama dikemukakan oleh Bpk Manan dan Bpk Sulaihan. Pak Manan
bahkan mengakui secara jujur bahwa dia ikut serta dalam penyerangan tersebut.
21 Disarikan dari semua hasil wawancara. Dibandingkan dua alasan lainnya, alasan ketiga
ini adalah yang paling lemah validitasnya karena hanya dikemukakan oleh Ki Lebe Jali dan Ki
Turjani, keduanya adalah pengurus kramat Trusmi. Namun bisa jadi paling menarik, karena
menjadikan isu primordialisme (agarna dan ras) dan adat sebagai pembenar untuk melakukan aksi
kekerasan tersebut.
22 Di wilayah Cirebon sendiri, kerusuhan dan aksi kekerasan terhadap orang Tionghoa
bukanlah hal yang baru, pada masa akhir kolonial saja setidaknya tercatat tiga kali aksi kekerasan
seperti itu yaitu pada 23 dan 28 Oktober 1912, 28 Desember 1924, dan 23 September 1926. Lihat
Matthew Issaac Cohen, ‘Multiculturalism and Performance…’, hlm. 35; lihat pula dalam Abdul
Wahid, ‘Religion and Social Boundaries in a changing social orders: the social life of a village in
Cirebon – West Java, 1925-1950s’, makalah dalam konferensi Decolonizing Societies: The Reorientation of
Asian and African Livelihoods under Changing Regimes, NIOD, Amsterdam, 10-13 Desember 2003.
20

6

kehidupan ekonomi masyarakat setempat. Kondisi ini terutama berlaku bagi para
pengusaha batik, karena dengan terusirnya orang-orang Tionghoa dari Trusmi dan Karang
Tengah maka mereka bisa dengan mudah mengambil alih dan menjalankan usaha batik
tanpa harus bersaing lagi dengan orang-orang Tionghoa.
Peristiwa kerusuhan tersebut, seakan menjadi episode penutup dari lembaran
sejarah revolusi di Cirebon, karena satu tahun kemudian tepatnya 27 Desember 1949 Ratu
Juliana secara resmi menandatangani piagam penyerahan kedaulatan Indonesia secara
resmi di hadapan Mohammad Hatta. Sejak itu, satu persatu negara federasi, termasuk
negara Pasundan, menyataan diri bergabung dengan Republik Indonesia yang berpusat di
Yogyakarta. Dengan demikian, tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia telah kembali menjadi
Republik kesatuan yang merdeka seperti yang diproklamirkan lima tahun sebelumnya.23
Kehidupan masyarakat Trusmi pun perlahan-lahan kembali berjalan normal, meskipun
kriminalitas masih kadang terjadi, namun pemerintahan desa berjalan kembali dan roda
ekonomi mulai bergerak.
Pasca pembakaran terhadap rumah dan usaha batik milik orang-orang Tionghoa
pada akhir tahun 1948 itu, otomatis produksi batik terhenti total. Kondisi ini berlangsung
kurang lebih 3 – 4 tahun, para pengrajin batik setempat merasa kesulitan untuk memperoleh
bahan baku kain dan lainnya. Baru pada tahun 1952 kegiatan membatik mulai berjalan
kembali, yang diawali dengan membatik ulang kain-kain batik yang masih tersisa. Kegiatan
ini oleh masyarakat setempat disebut dengan istilah nyadon.24 Hasil kegiatan nyadon ini
masih dijual di pasaran lokal dengan harga yang rendah, sehingga hasil yang diperoleh para
pengrajinpun tidak seberapa. Meskipun hasil dan keuntungan yang diperoleh dari kegiatan
ini tidak terlalu signifikan, namun kegiatan ini berhasil membangkitkan kembali gairah
masyarakat Trusmi untuk memproduksi kain batik.
Sementara itu, para pengusaha Tionghoa yang terusir setelah kerusuhan pada
tahun 1948, sebagian dari mereka datang kembali ke Trusmi untuk mengurus rumahnya,
namun sebagian besar lainnya tidak pernah kembali. Mereka yang datang kembali ke desa
itu, kemudian menjual tanah dan rumah mereka kepada penduduk setempat dengan harga
yang murah. Sedangkan rumah-rumah lainnya yang tidak diurus pemiliknya, dikuasai oleh
desa untuk kemudian dijual kepada mereka yang berminat.25 Setelah tahun 1950an, semua
orang Tionghoa di Trusmi telah benar-benar meninggalkan desa tersebut dan semua hal
yang berkaitan dengan mereka telah diselesaikan secara tuntas.26
Seiring meningkatnya aktivitas nyadon, aktivitas produksi dan pemasaran batik di
Trusmi secara perlahan kembali berjalan ke titik normal, namun kondisi itu tidak diimbangi
dengan tersedianya bahan baku kain dan alat pewarna, akibatnya seringkali para pengrajin
harus bekerja ekstra keras untuk mendapatkan bahan baku batik tersebut. Ironisnya adalah
para penyuplai bahan baku dan mata rantai pemasaran produk batik pada waktu itu masih
dikuasai oleh para pedagang Tionghoa di kota Cirebon, yang sebagian dari mereka pernah
terusir dari Trusmi. Oleh karena itu, para pengrajin batik tidak punya pilihan selain kembali
bekerjasama dengan mereka dan kerjasama alapan yang banyak berkembang pada masa
sebelumnya kembali dihidupkan. Kondisi tersebut dalam beberapa hal tidak membuat

23 Anthony Reid, ‘Fase Kedua: Kemenangan Terakhir Juli 1947 sampai 1950’, dalam Colin
Wild dan Peter Carey (ed), Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah (Jakarta: PT Gramedia, 1985),
hlm. 181-86.
24 Wawancara dengan H. Bahrudin dan Bpk Katura di Trusmi, tanggal 25 Juli 2004.
25 Wawancara dengan Ki Lebe Jali, Ki Turjani, dan Pak Badawi.
26 Sejumlah kecil rumah di Trusmi, dewasa ini masih mempertahankan arsitektur khas
perumahan Tionghoa, namun sebagian besar telah berubah dan hampir semua unsur kebudayaan
Tionghoa di Trusmi telah menghilang.

7

nyaman para pengrajin batik Trusmi sehingga mereka berusaha untuk mencari jalan
alternatif guna memperoleh bahan baku usahanya.27
Salah satu upaya yang dilakukan para pengrajin batik untuk mengatasi kesulitan
memperoleh bahan baku produksinya adalah dengan membentuk kembali sebuah koperasi.
Pada tahun 1955 dibentuklah sebuah koperasi yang mewadahi hampir seluruh pengrajin
batik di Trusmi dan Karang Tengah.28 Koperasi itu diberi nama koperasi Budi Tresna dan
Masina terpilih sebagai ketuanya yang pertama. Pada dasarnya koperasi ini merupakan
penggabungan dari dua koperasi yang pernah berkembang sebelumnya, yaitu koperasi
batik Trusmi yang berdiri tahun 1936 dan koperasi batik Karang Tengah yang berdiri tahun
1937. Setelah berdirinya koperasi itu, lambat laun kesulitan penyediaan bahan baku batik
terutama kain mori dapat teratasi. Selain itu, koperasi juga mulai bisa membantu
memasarkan produksi anggotanya. Menurut seorang informan, pada waktu itu penjualan
batik terfokus ke Jakarta, sekitar 75% tepatnya di jual ke Tanah Abang dan sisanya ke
daerah sekitar Cirebon.29
Kondisi tersebut dalam tingkat tertentu didukung oleh kebijakan pemerintah
nasional melalui ‘Program Benteng’. Program itu telah mempengaruhi tata niaga industri
batik nasional, terutama dalam hal penyediaan kain mori dan bahan baku batik lainnya.
Pada tahun 1949-1952 Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) memperoleh lisensi
untuk memonopoli impor kain mori, yang dilaksanakan oleh N.V. BTC (Batik Trading
Company) dan GKBI berfungsi sebagai distributor. GKBI selanjutnya mendistribusikan kain
mori itu kepada seluruh cabangnya, termasuk di Cirebon. Setiap pengusaha batik yang
menjadi anggota koperasi batik akan memperoleh pembagian mori yang lebih murah
dibandingkan dengan harga pasar. Hal ini jelas menguntungkan para pengusaha batik,
namun bahan baku itu terbatas jumlahnya sehingga pembagian mori disesuaikan dengan
kemampuan produksi masing-masing.30
Dengan adanya kebijakan tersebut, produksi batik di Trusmi pada tahun tahun
tersebut dapat berkembang dengan pesat. Seorang informan, bahkan menegaskan bahwa
pada paruh kedua tahun 1950an itu produksi batik Trusmi mencapai titik tertinggi dalam
sejarah perkembangannya. Pada waktu itu, Batik produksi Trusmi tidak hanya dipasarkan
di tingkat lokal, tetapi juga ke tingkat nasional. Batik Trusmi banyak diperdagangkan ke
Palembang, Deli, dan daerah Sulawesi Selatan. Namun sampai tahap inipun, para pedagang
Tionghoa tetap merupakan mitra utama dalam memasarkan produksi batiknya ke berbagai
wilayah di Indonesia. Jenis batik yang banyak dipesan oleh konsumen dari Sumatera adalah
jenis batik kasar, yang biasanya diperuntukan bagi buruh-buruh perkebunan terutama pada
masa lebaran, sedangkan batik tulis halus sebagian besar dikonsumsi oleh konsumen lokal
di daerah Cirebon dan sekitarnya.31
Pada periode 1952-1956, para pengusaha batik di Trusmi banyak memproduksi
batik bangpus dan sandang. Kedua jenis batik ini termasuk batik kasar - dan yang terakhir
menggunakan metode cap – yang harganya jauh lebih murah dibandingkan batik tulis yang
halus. Namun, proses produksi keduanya jauh lebih cepat dan lebih banyak sehingga
mampu memenuhi permintaan pasar yang dinamis. Batik sandang sendiri mulai banyak
diproduksi pada awal tahun 1955, ketika pemerintah mencanangkan program sandang
murah. Batik jenis bangpus dan sandang tersebut, banyak diminati konsumen dan
Sebagaimana dituturkan H. Bahrudin, 25 Juli 2004.
Menurut Farihah, pembentukan koperasi batik ini dilakukan pada tahun 1956. lihat
Noviatun Farihah, ‘Pasang Surut Industri Batik…’, hlm. 77-78.
29 Wawancara dengan H. Bahrudin, 25 Juli 2004.
30 Gabungan Koperasi Batik Indonesia, 20 Tahun GKBI 1948-18 September 1968 (Jakarta:
Koperasi Pusat GKBI, 1968), hlm. 27-28.
31 Wawancara dengan Bpk. H. Badawi, tgl. 23 Nopember 2003; wawancara dengan Bpk H.
Bahrudin, tgl. 25 Juli 2004.
27

28

8

penjualannya dapat dilakukan dengan lebih cepat. Sementara batik tulis halus relatif lebih
sedikit peminatnya dan terbatas pemasarannya, karena harganya yang lebih mahal.32 Dalam
hal pemasaran, demikian lanjut Farihah, biasanya para konsumen datang sendiri menemui
para pengusaha untuk memesan batik yang diinginkannya, sedangkan sisanya mereka jual
kepada para pedagang Tionghoa di pasar balong. Dari para pedagang Tionghoa itu juga
mereka mendapat bahan baku seperti jenis biru, blacu, dan kaci, yaitu mori-mori untuk jenis
batik kasar. Sedangkan untuk batik tulis halus harus menggunakan jenis mori primisima
dan prima yang diperoleh melalui koperasi batik GKBI, walaupun dalam jumlah terbatas
dan harga lebih tinggi bisa juga diperoleh di pasaran bebas.
Perkembangan industri batik Trusmi yang pesat pada waktu itu, mampu
mendongkrak kesejahteraan para pengusahanya. Salah satu indikatornya adalah
kemampuan sebagian besar pengusaha batik untuk memiliki sepeda, yang waktu itu
termasuk barang yang cukup mewah. Selain itu, pada waktu itu koperasi Budi Tresna juga
mampu memberikan berbagai fasilitas yang bisa dimanfaatkan para pengusaha batik untuk
mengembangkan usaha dan kesejahteraan hidupnya. Sebagai contoh, untuk pengembangan
usaha, koperasi itu bisa membantu memberikan permodalan, penyediaan bahan, dan
pemasaran. Selain itu, koperasi juga membantu menyediakan fasilitas pendidikan,
kesehatan, dan dana jaminan sosial bagi para anggotanya.33
Namun demikian, kondisi tersebut tidak bisa bertahan lama. Pada 5 Juli 1959,
Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang mengakhiri sistem demokrasi parlementer
dan menggantikannya dengan apa yang disebutnya sebagai sistem demokrasi terpimpin.
Sistem pemerintahan baru beserta semua programnya itu ternyata membawa konsekuensi
ekonomi yang berat sehingga ekonomi nasional mengalami kemerosotan hebat. Kondisi
tersebut secara langsung telah menimbulkan kelesuan dunia usaha, termasuk industri batik
di Cirebon. Periode antara tahun 1959 hingga berakhirnya periode demokrasi terpimpin
merupakan masa-masa yang sulit bagi industri batik Trusmi, Cirebon. Produksi batik
menjadi merosot drastis karena daya beli masyarakat dan permintaan pasar menurun
sampai di atas 50 persen, akibatnya banyak perusahaan batik di Cirebon, yang sebagian
besar merupakan perusahaan keluarga, harus mengurangi produksinya dan beberapa
diantaranya bahkan gulung tikar. Bukan itu saja, koperasi-koperasi batik pun banyak yang
dibubarkan karena dituduh sebagai alat kapitalis yang kontra revolusioner.34
Memasuki tahun-tahun awal pemerintahan Orde Baru, industri batik Trusmi tidak
mengalami perubahan berarti. Tahun 1968, teknologi baru dalam produksi batik yaitu batik
printing mulai diperkenalkan dan dua tahun kemudian sudah mulai banyak diproduksi oleh
pengusaha batik Trusmi yang mempunyai modal besar. Hal ini tentu saja mengancam
pengusaha batik dengan modal kecil karena mereka tidak mampu untuk membeli teknologi
baru tersebut.35 Dengan demikian, dalam periode baru ini pengusaha batik Trusmi
memasuki era persaingan bebas di mana faktor modal memainkan perang yang sangat
besar. Mereka yang bermodal besar mulai melakukan ekspansi usaha melalui penerapan
teknologi baru, sedangkan mereka yang bermodal kecil akhirnya satu per satu gulung tikar
karena kalah bersaing dengan mereka yang bermodal besar.
Catatan Penutup
Dalam konteks wacana nasionalisasi atau pribumisasi ekonomi nasional, dinamika
industri batik di desa Trusmi dan Karang Tengah, Cirebon pada tahun-tahun kritis tersebut
Noviatun Parihah, ‘Pasang Surut Industri Batik…’, hlm. 90.
Wawancara dengan Bpk Turjani dan Bpk Katura, 25 juli 2004.
34 Noviatun Parihah, ‘Pasang Surut Industri Batik…’, hlm. 49-50; Gabungan Koperasi Batik
Indonesia, 20 Tahun GKBI…’, hlm. 30-35.
35 Prisma, ‘Can traditional Batik Survive?’, no. 27, Maret 1983, hlm. 82-92.
32

33

9

menunjukan beberapa perkembangan yang menarik. Pertama, proses tersebut terjadi dan
berlangsung tidak hanya pada tingkatan formal-negara terutama terhadap berbagai institusi
ekonomi modern, melainkan juga terjadi pada tingkat masyarakat terhadap institusiinstitusi ekonomi tradisional non-formal. Dalam pada itu, proses itu berjalan secara tidak
beraturan dan bahkan anarkis, bukan semata-mata mengikuti skenario besar yang
dicanangkan pemerintah, melainkan spontanitas masyarakat setempat, di mana sasarannya
adalah mereka yang merepresentasikan institusi atau kelompok yang paling dekat dengan
para pelaku yang selama ini mereka anggap sebagai pesaing utama di bidang ekonomi dan
diuntungkan oleh negara kolonial.
Kedua, bahwa apa yang terjadi dalam industri batik di Trusmi pada waktu itu lebih
merupakan pribumisasi asset ekonomi lokal. Dalam pada itu, motivasi utama yang
mendorong dilakukannya pribumisasi itu bukanlah semata-mata murni ideologis,
bersumber pada semangat dan kesadaran nasionalisme yang dominan waktu itu, melainkan
juga karena adanya faktor-faktor kondisional yang bersifat lokal. Aksi kekerasan terhadap
para pengusaha Tionghoa yang mengawali perampasan asset ekonomi mereka waktu itu,
merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor terutama sejarah kompetisi ekonomi lokal,
situasi sosial politik desa waktu itu, dan bermainnya semangat primordial dan rasisme di
kalangan masyarakat lokal.
Ketiga, peristiwa kekerasan yang menimpa orang-orang Tionghoa pada masa itu,
menjadi bukti nyata betapa rentannya posisi sosial mereka di tengah masyarakat pribumi.
Dalam situasi politik yang kacau, ketika terjadi pergantian penguasa atau pergeseran sistem
politik, terlebih dalam suasana revolusioner saat mana penguasa waktu tidak memiliki
kekuatan dan keinginan untuk melindunginya, posisi orang-orang Tionghoa menjadi
terancam bahaya. Mereka selalu menjadi korban aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh
massa penduduk lokal, sebagai ekspresi sesaat dari dendam mereka karena kalah bersaing
dalam kompetisi ekonomi. Tahun 1940an merupakan tahun-tahun sulit dan berat bagi
masyarakat Tionghoa di Cirebon dan juga didaerah lainnya di Indonesia.
Keempat, semua proses dekolonisasi atau pribumisasi aset-aset orang Tionghoa
tersebut pada akhirnya tidak membawa perubahan apapun terhadap industri batik di
Trusmi secara substansial. Nampaknya karakter industri batik, sebagaimana dikatakan oleh
Brenner dan Keppy, yang bergantung pada tiga kaki: negara, pengusaha pribumi, dan
pengusaha Tionghoa tetap bertahan pasca revolusi. Pada satu sisi dengan terusirnya orangorang pendatang dari ekonomi batik merupakan kesempatan ekonomi bagi para pengusaha
lokal untuk mengembangkan usahanya. Namun di sisi lain, mereka ternyata belum benarbenar siap untuk mengambil alih usaha tersebut secara independen dari hulu hingga hilir
proses produksinya. Selain itu, kondisi tersebut diperparah oleh ketidakmampuan negara
dalam menyediakan berbagai fasilitas pendukung yang dibutuhkan oleh para pengusaha
pribumi untuk mengembangkan dirinya. Program-program yang dikembangkan yang
berkaitan langsung dengan tata niaga batik ternyata menjadi arena persaingan untuk
memperoleh kekuasaan di antara elit politik di tingkat pusat maupun lokal.
Akhirnya, industri batik di Trusmi juga membuktikan bahwa penguasaan aset
ekonomi di tangan pengusaha lokal bukanlah satu-satunya hal penting untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat pedesaan. Kekuatan-kekuatan di atas desa serta campur tangan
kepentingan-kepentingan non-ekonomis seringkali justru menyebabkan kemandekan dalam
aktivitas ekonomi. Akibatnya, ekonomi masyarakat tidak beranjak ke mana-mana dan
mereka hanya menjadi mata rantai terakhir dari kekuatan-kekuatan ekonomi besar di
atasnya.

10

Daftar Pustaka
Abdul Wahid, ‘Religion and Social Boundaries in a changing social orders: the social life of a
village in Cirebon – West Java, 1925-1950s’, makalah dalam konferensi Decolonizing
Societies: The Reorientation of Asian and African Livelihoods under Changing Regimes,
NIOD, Amsterdam, 10-13 Desember 2003.
__________, ‘Pribumisasi dan Ironi Ekonomi Non-Pertanian di Pedesaan: Industri Batik Cirebon
Tahun 1940-an dan 1950-an, makalah dalam workshop The Economic Side of
Decolonization,PSSAT-NIOD, Yogyakarta, 18-19 Agustus 2004.
Anthony J.S. Reid, Revolusi Nasional Indonesia. Jakarta: PT Sinar Harapan, 1996.
Anonimous, ‘Simpang Siur dalam Revolusi’, dalam Buku Peringatan 50 tahun Kota Besar
Tjirebon, 1906-1956. Tanpa penerbit dan tahun terbitan.
Anonimous, Republik Indonesia. Propinsi Djawa Barat, Kementrian Penerangan, 1952, hlm.
238-39.
Anonimous, “Pabrik saroeng “Shamshoeddin” di Tjirebon’, Volksalmanak Soenda 1937 (1936:
225).
Boomgaard, Peter & Gooszen, A.J. Changing Economy in Indonesia, Vol. 11 Population Trends
1795 – 1942.Amsterdam: Royal Tropical Institute – The Netherlands, 1991.
Boomgaard, Peter. ‘The non-agricultural side of an agricultural economy Java, 1500-1900’,
dalam Benyamin White, et.al (eds.), In the Shadow of Agriculture Singapore: ISEAS,
2001.
Brenner, Suzane April. The Domestication of Desire: Women, Wealth, and Modernity in Java.
Princeton: Princeton University Press, 1998.
Booth, Anne. ‘Pertumbuhan dan Kemandekan dalam Era Pembangunan Bangsa:
Penampilan Ekonomi Indonesia dari 1950-1965’, dalam J. Thomas Lindblad (ed.),
Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara
UGM – Pustaka Pelajar, 2002.
Cohen, Matthew Isaac. “Multiculturalism and Performance in Colonial Cirebon”, dalam
Peter J.M. Nas (ed), The Indonesia Town Revisited. Singapore: ISEAS – LIT Verlag,
1998.
Cheribon Revue, 10 Oktober 1936.
Dahlan, ‘Tjirebon dari Gelap menudju Terang’, dalam Buku Peringatan 50 tahun Kota Besar
Tjirebon, 1906-1956. Tanpa penerbit dan tahun terbitan.

11

de Graaf, H. J & Pigeaud, Tionghoa Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historisitas dan
Mitos, terjemahan Al-fajri. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1997.
Fernando, M.R. Peasant and Plantation Economy: The Social Impact of the European Plantation
Economy in Cirebon Residency From the Cultivation System to the End of First Decade of
the Twentieth Century, Unpublished Ph.D Thesis Monash University, 1982.
Fernando, M.R. & O’ Malley, W.J. ‘Petani dan Pembudidayaan Kopi di Karesidenan
Cirebon, 1800-1900’, dalam Anne Booth et.al (eds), Sejarah Ekonomi Indonesia.
Jakarta: LP3ES, 1988.
Frederick, Willliam H. “Shadow of an unseen hand: some pattern of violence in the
Indonesian revolution, 1945-1949”, dalam Freek Colombijn & J. Thomas Lindblad
(eds), Roots of Violence in Indonesia. Leiden: KITLV Press, 2002.
Ezerman, J.L.J.F. Peri Hal Kelenting Koan Iem “Tiao-Kak-Sie” di Tjirebon, disalin oleh S. M.
Latif. Weltevreden: Bureau van de Volkslectuur – Balai Pustaka, 1922.
Furnivall, J.S. Netherlands India: A Study of Plural Economy. London: Cambridge University
Press, 1944.
Gabungan Koperasi Batik Indonesia, 20 Tahun GKBI 1948-18 September 1968. Jakarta:
Koperasi Pusat GKBI, 1968.
Hardon, H.J. ‘Industrial recovery in Indonesia’, dalam Economic Review of Indonesia, 2, 10,
1948.
H. Tirtoamidjojo, Batik Traditional of Indonesia. Jakarta: Yayasan Mitra Budaya Indonesia,
1982.
Hoadley, Mason C. “Javanese, Peranakan, and Chinese Elites: Changing Ethnic Boundaries”,
The Journal of Asian Studies 47, No.3 (August 1988).
Kahin, Audrey R. ‘Pendahuluan’, dalam Audrey R. Kahin (ed), Pergolakan Daerah Pada Awal
Kemerdekaan.Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1989.
Keppy, Peter. Hidden Business: Indigenous and Ethnic Chinese Entrepreneurs in the Majalaya
Textile Industry, West java, 1928-1974. Ph.D thesis, Vrije Universiteit Ámsterdam,
2001.
Kitley, Philip Thomas. ‘Batik dan Kebudayaan Populer’, Prisma, no.5, Mei 1987.
Kurasawa, Aiko. Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa.
Jakarta: Gramedia, 1993.

12

Lucas, Anton. ‘Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi Sosial atau Pemberontakan?’ dalam Audrey
R. Kahin (ed), Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan.Jakarta: PT. Pustaka Utama
Grafiti, 1989.
Mackie, J.A.C. “Periode 1941-1965 sebagai Selingan dalam Pembentukan Ekonomi Nasional:
Bagaimana Sebaiknya Kita Menafsirkan?”, dalam J. Thomas Lindblad (ed.), Fondasi
Historis Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM –
Pustaka Pelajar, 2002.
Marhayono, Semuanya untuk Cirebon: Kisah heroik pasukan Kancil Merah dan Palagan Mandala.
Jakarta: PT Grasindo, 2003.
M.S. Mintardjo, ‘Meninjau Industri Batik di Plered, Cheribon’ Doenia Dagang, no.8 Agustus
1940.
Muhaimin A.G., Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebo. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2001.
____________, ‘The Morphology of Adat: The Celebration of Islamic Holiday in North Coast
Java’, Studia Islamica, vol.6, no.3, 1999.
Noviatun Farihah, ‘Pasang Surut Industri Batik di Cirebon tahun 1930-1970’, skripsi S-1
Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1999.
Ong Hok Ham, ‘Peran jago dalam sejarah’, Kompas, 27 April 1983.
Ong Hok Ham, ‘Revolusi Indonesia: Mitos dan Realitas’, Prisma, no. 14, 8, 1985.
P. de Kat Angelino, Rapport betreffende eene gehouden enquete naar de arbeidstoestanden in de
batikkerijen op Java en Madoera door den inspecteur bij het kantoor van arbeid P. Kat de
Angelino. Publicatie no.6 van het Kantoor van Arbeid. 1930.
Palmier, L.H., “Batik manufacture in a Chinese community in Java”, dalam Benjamin
Higgins (ed.), Entrepreneurship and labour skills in Indonesian economic development: a
symposium. Yale University Monograph Series 1, Southeast Asian Studies, 75-140.
Paramita R. Abdurachman, Cerbon. Jakarta: Sinar Harapan, 1995.
Pijper, G.F. Fragmenta Islamica. Jakarta: UI Press.
Prisma, ‘Can traditional Batik Survive?’, no. 27, Maret 1983.
Riyadi Gunawan, ‘Jagoan dalam revolusi kita’ Prisma, 10, 1981.

13

Reid, Anthony. ‘Fase Kedua: Kemenangan Terakhir Juli 1947 sampai 1950’, dalam Colin
Wild dan Peter Carey (ed), Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah. Jakarta: PT
Gramedia, 1985.
Singgih Tri Sulistiyono, “Perkembangan Pelabuhan Cirebon dan Pengaruhnya Terhadap
Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Cirebon”, Tesis S-2 Program Studi Sejarah
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1994.
Singgih

Tri Sulistiyono, “Dari Lemahwungkuk Hingga Cheribon: Pasang Surut
Perkembangan kota Cirebon Sampai Awal Abad XX”, dalam Susanto Zuhdi
(Penyunting), Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra: kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997.

Soegijanto Padmo, “Perkembangan Kesempatan Kerja Non-pertanian di Karesidenan
Cirebon, 1830-1930”, dalam J. Thomas Lindblad (ed), Sejarah Ekonomi Modern
Indonesia: Berbagai Tantangan Baru. Jakarta: LP3ES, 2000.
Soesilo, ‘Perdjoangan masa Pendudukan’, dalam Buku Peringatan 50 tahun Kota Besar
Tjirebon, 1906-1956. Tanpa penerbit dan tahun terbitan.
Soetardjo Kartohadikoesoemo, Desa. Jogjakarta: Penerbitan Sumur Bandung, cetakan 2, 1953.
Sutter, John Overal. Indonesianisasi;A Historical Surveys of the Role of Politics in the Institution of
a Changing Economy from the Second World War to the Eve of the General Election (19401955), Ph.D Thesis Cornel University, 1959.
Svensson, Tommy. “Contraction and Expansions: Agrarian Change in Java since 1830”,
dalam Morner, M. & Svensson, Th. (eds.), Classes, Strata, and Elites: Essays on Social
Stratification in History. Gothenburg: Monoghrahs of the Departement of History,
Gothenburg University, no.34, 1982.
Svensson, Thomas. ‘The Making of the Local Colonial State in Historical Perspective: Urang
Belanda, Menak and Bumi in Priangan since 1870’, Publication of the HistoricalAnthropological Project, Gothenburg University, Juni 1985.
Vleming Jr. J.L., Kongsi & Spekulasi: Jaringan kerja Bisnis Tionghoa, disadur oleh Bob
Widyahartono. Jakarta: PT. Grafiti, 1988.
Daftar Informan
1. H. Bahrudin (78 tahun)
2. Bapak Katura (68 tahun)
3. Ki Lebe Jali (79 tahun)
4. Ki Turjani (71 tahun)
5. Bapak Badawi (82 tahun)

14

6. Bapak Manan (76 tahun).
7. Bapak Sulaihan (77 tahun).

15