MENGKAJI MASA DEPAN TRADISI Copy.docx

MENGKAJI MASA DEPAN TRADISI
(Pudentia MPSS)
Ada dua peristiwa penting yang dapat menarik perhatian kita
bersama pada tahun 2017 ini. Keduanya membawa pengaruh pada
peristiwa kebudayaan di Indonesia. Pertama, ditetapkannya UU Pemajuan
Kebudayaan No 5 pada bulan Juni 2017 yang lalu setelah menunggu
selama puluhan tahun. Tidak kurang dari 25 draft rancangan undangundang kebudayaan yang selalu saja gagal ditetapkan1. Sehingga
pengesahan undang –undang ini pantas disyukuri. Peristiwa berikutnya
yang menarik adalah terpilihnya Indonesia dalam Sidang Umum di Paris
sebagai anggota “Executive Board” UNESCO dengan mendapatkan
dukungan 160 suara, nomer 3 setelah Jepang (166 suara) dan India (161
suara). untuk masa 4 tahun mendatang. Penetapan ini memungkinkan
Indonesia untuk berkontribusi secara signifkan dalam menentukan
standard rancangan dan keputusan-keputusan UNESCO mengenai
Warisan Budaya baik yang tak benda / WBTB (Intangible Cultural
Heritage/ICH) sesuai Convention 2003 maupun warisan budaya bendawi
(Cultural Heritage).
Menariknya kedua peristiwa tersebut ditandai dengan kesunyian
berita yang dihasilkan dari keputusan penting dalam bidang kebudayaan
tersebut. Berbeda dengan UU Pronograf atau UU Sistem Pendidikan
Nasional pada tahun 2003 yang lalu ramai dan heboh dengan berbagai

respon termasuk respon yang saling bertentangan. Kedua peristiwa di
atas saat ini tampaknya ditanggapi dengan “bicara seperlunya saja”.
Hampir sama “dingin”nya juga setiap kali diumumkan bahwa warisan
budaya kita ditetapkan UNESCO menjadi warisan dunia.
Ada 2 macam penghargaan yang secara intens saya ikuti
perkembangannya, yaitu Memory of the World (MOW) dan Intangible
Cultural Heritage (ICH). Indonesia sudah mendapatkan 6 penghargaan
1

Sekedar contoh saja , saya sudah masuk di 3 masa dirjen yang berbeda untuk
membicarakan rancangan undang-undang sejak tahun 2003 yang lalu.

MOW sampai dengan tahun ini. Uniknya pada tahun ini kita mendapatkan
3 penghargaan sekaligus dalam tahun yang sama, dokumen Non Blok,
Arsip Borobudur, dan Naskah Panji. Biasanya hanya satu saja setiap
penetapan di tahun yang sama2. Untuk penghargaan ICH Indonesia telah
memperoleh 7 penghargaan untuk Keris (2008), Wayang (2008), Batik
(2009), Angklung (2010), Saman (2011) , Noken (2012) , 3 Genre Tari
Tradisional Bali (2015) , dan semoga Phinisi yang hari ini mulai
disidangkan dapat ditetapkan juga. Tahun yang akan datang semoga

Pantun menyusul ditetapkan juga sebagai warisan dunia. Kita bersama
mengetahui bahwa “cultural heritage is not belong to one country but it
belongs to civilization (whole word)3.” Warisan budaya , baik yang
tangible maupun yang intangible bukan menjadi hanya milik Indonesia
saja, tetapi juga milik bersama warga dunia.
Meskipun tampak bergengsi dan mengangkat marwah bangsa,
tetapi peristiwa tersebut kurang bergema. Sedikit catatan untuk dampak
penetapan Saman dan Batik yang memperlihatkan perbedaan. Saman
menjadi komoditi tradisi di banyak sekolah dan sajian pentas pertunjukan
di berbagai kesempatan. Tampaknya saman yang semula merupakan
tradisi komunitas Gayo Luwes dalam berkomunikasi sudah “diproduksi”
menjadi seni pertunjukan. Batik juga demikian. Yang semula hanya
dipakai di kalangan terbatas dan ebih untuk pakaian “seragam” akhirnya
dipakai oleh berbagai kalangan termasuk anak muda dan menjadi
industri kreatif yang meningkatkan pemasukan dana yang cukup berarti.
Penetapan berbagai warisan budaya menjadi warisan dunia, penetapan
Indonesia sebagai Anggota Executive Board di UNESCO, dan pengesahan
UU Pemajuan Kebudayaan sepi dari tepuk tangan yang gemuruh 4.
Sebetulnya tidaklah mengherankan bila segala hal ihwal yang
meliputi warisan budaya dan semacamnya kurang mendapatkan

2

Setiap tahun hanya satu yang ditetapkan, tetapi bisa lebih dari satu pengusulan setiap
tahunnya bila kita mengusulkan sebagai nominasi bersama negara lain. Dokumen
lainnya yang sudah ditetapkan adalah Arsip VOC, Naskah Negarakertagama, Babad
Diponogoro, dan Dokumen Asia Arika.
3
Pernyataan para ahli yang mengikuti Seminar mengenai Dokumentasi Tradisi Lisan di
Khong Khaen, tahun 1998.
4
Meminjam pernyataan “tepuk tangan yang gemuruh” yang diutarakan Kak Ros, salah
seorang komentator Singapura dalam Dangdut Akademi no 3 di TV Indosiar.

sambutan. Apakah memang Indonesia sudah sampai pada situasi
“cultural blind spot” atau kebudayaan memang dianggap penting sebatas
wacana. Visi dan arah Pembangunan Jangka Panjang menegaskan hal ini.
Visi Nasional yang tercantum dalam dokumen resmi Pemerintah Republik
Indonesia” Visi dan Arah Pembangunan Jangka Panjang (PJP) Tahun 20052025”5 dinyatakan sebagai berikut.
“..terciptanya manusia yang sehat, cerdas, produktif, dan berakhlak mulia dan
masyarakat yang makin sejahtera dalam pembangunan yang berkelanjutan didorong

oleh perekonomian yang makin maju, mandiri, dan merata di seluruh wilayah didukung
oleh penyediaan infrastruktur yang memadai serta makin kokohnya kesatuan dan
persatuan bangsa yang dijiwai oleh karakter yang tangguh dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesa yang diselenggarakan dengan demokrasi {yang didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila} sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara serta menjunjung tegaknya supremasi hukum.

Dengan visi nasional seperti tersebut di atas, visi pembangunan sosial
budaya adalah
“...terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, dan bermoralitas tinggi
melalui pembangunan kebudayaan nasional yang dicirikan dengan watak dan perilaku
manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman dan taqwa kepada Tuhan yang Maha
Esa, cerdas, inovatif, etos kerja tinggi, berbudi luhur, toleran, bergotong royong,
patriotik, dinamis, dan berorientasi kepada ilmu pengetahuan dan teknologi.”

Visi yang kemudian diuraikan lebih lanjut dalam dokumen tersebut
memperlihatkan kebudayaan dalam artian yang terbatas dan cenderung
hanya diwakili oleh “kesenian”. Tidaklah mengherankan bila program
kebudayaan di berbagai lembaga pemerintah maupun umum diartikan
sebagai kegiatan pentas seni6. Bila dibandingkan dengan Deklarasi7 yang

dicanangkan oleh PBB (UN) dan masuk sebagai inti Sustainable
Development Goals (SDGs) pasca 2015 bahwa “The Future We Want
Includes Culture”, tampak adanya kesenjangan target Millenium
Development Goals (MDGs) Indonesia dengan dunia. Dalam pertimbangan
penetapan target dikemukakan berbagai hal yang masih menjadi masalah
kita, yaitu kemiskinan (pendapatan 2$ per hari) masih mendekati 50%;
pengetahuan menyeluruh mengenai HIV/AIDS dan pemakain kondom
5

Dikeluarkan oleh Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional.
6
Uniknya muncul konsep IPTEKS di DIKTI yang dimaksudkan untuk menampung aspirasi
dan berbagai kepentingan dari berbagai lembaga tinggi kesenian.
7
Deklarasi ini disosialisasikan ke berbagai pihak. UNESCO menghimpun lembagalembaga untuk menandatangan deklarasi ini dan bila mau dapat menerjemahkan
deklarasi ini dalam bahasa masing-masing anggota. ATL atas nama Indonesia sudah
menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.

masih tinggi prosentasenya (66%). Akan tetapi, ada memang yang sudah

mencapai target yaitu “Education or All” (EFA), pendidikan untuk semua
kalangan di tingkat dasar hingga pendidikan menengah atas dan
kesetaraaan gender serta pemberdayaan perempuan.
Dengan keberadaan UU No 5 tahun 2017 mengenai Pemajuan
Kebudayaan yang uraian dalam pasal-pasalnya melampaui uraian kedua
Konvensi UNESCO (Konvensi 2003 dan Konvensi 2005) diharapkan peran
kebudayaan sebagai .UU Pemajuan Kebudayaan memperlihatkan
pentingnya pengelolaan yang dikatakan sebagai proses pemajuan
kebudayaan dengan melakukan pelindungan, pengembangan,
pemanfaatan, dan pembinaan warisan budaya. Warisan budaya yang
dimaksudkan dalam UU Pemajuan Kebudayaan terdiri dari 10 bidang,
yaitu: tradisi lisan, naskah, adat-istiadat, ritus, pengetahuan tradisional,
teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olah raga
tradisional8. Dalam pengertian luas sesuai dengan batasan yang
ditetapkan dalam Konsorsium Kajian Tradisi Lisan, selain naskah, ke-9
bidang yang disebutkan di atas dimasukkan sebagai Tradisi Lisan9.
Seperti halnya di berbagai negara lain, di Indonesia pun warisan
budaya tak benda makin lama makin menghilang dan beberapa di
antaranya mendekati kepunahan. Beberapa warisan budaya
memperlihatkan perubahan sesuai dengan kondisi masyarakat

pendukungnya, baik secara perlahan-lahan, maupun yang terjadi
demikian cepat. Proses perubahan tersebut dan peristiwa punahnya karya
budaya yang seringkali juga bersamaan dengan tidak adanya pendukung
berarti juga menghilangnya seperangkat sistem pengetahuan tradisional,
keari an lokal, dan nilai-nilai yang menjadi sumber berharga semacam
ensiklopedi sebuah komunitas. Dengan demikian berarti pula identitas
lokal yang dalam arti luas berarti juga identitas dan karakter bangsa ikut
menghilang secara berangsur-angsur10. Tulisan Hobsbawn sejak 25 tahun
8

Menurut Konvensi 2003, warisan budaya takbenda terdiri atas tradisi lisan dan
ekspresinya (termasuk bahasa), seni pertunjukan, ritual dan perayaan, pengetahuan
mengenai semesta, dan kemahiran tradisional.
9
Buku Pedoman Kajian Tradisi Lisan, Dirtektorat Jendral Pendidikan Tinggi, 2009.
10
Penjelasan mengenai peranan tradisi sebagai sumber identitas lihat lebih lanjut
Richard Bauman, 1982, “Contextualization, Tradition, and the Dialogue of
Genres:Icelandic Legends o the Krataskald,” dalam Rethingking Context : Language


yang lalu yang memperlihatkan proses kehadiran tradisi11 perlu dilengkapi
dengan tulisan Olivier Morin12 mengenai tradisi-tradisi yang dapat
bertahan dan tradisi yang tidak dapat bertahan seperti pada masa
awalnya atau yang kemudian punah karena berbagai alasan .
Menariknya, peristiwa hilang atau berubahnya tradisi tidak serta
merta menghilangkan peranan tradisi dalam kehidupan komunitasnya.
Pada suatu masa tradisi dapat kembali lagi dengan berbagai kemasan
baru. Masyarakat pemilik tradisi memiliki hak dan sekaligus kewajiban
mengelola tradisi untuk pemanfaatannya. Pada kenyataan fsik sumbersumber tradisi memang berasal dan berada dalam pengelolaan komunitas
pemilik atau pendukung budaya yang bersangkutan. Potensi tradisi dalam
ranah ekonomi kreati atau ekonomi berbasis budaya bukan hanya karena
menyimpan berbagai hal yang berkaitan dengan seni, bahasa, cerita,
sejarah, candi dan semacamnya, tetapi juga merupakan ungkapan
terdalam mengenai pikiran, harapan, cita-cita, kreasi, teknologi. Kearifan
lokal, dan sistem kognisi dari sebuah komunitas, baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui simbol-simbol dalam media tertentu.
Penting untuk melihat potensi terpendam yang dimiliki masyarakat
tradisi di tengah pertarungan “medsos” dalam era milenium ini, karena
nilai-nilai tradisi yang dikembangkan untuk membangun ekonomi
kerakyatan diharapkan dapat menciptakan kemakmuran yang adil dan

merata, khususnya untuk meningkatkan daya saing lokal, misalnya
seperti Best Practices Batik di Pekalongan, Sistem Sabulungan
masyarakat Mentawai dan Sistem Tunjuk Ajar masyarakat Petalangan
dalam mengelola hutan dan hasil alamnya, pembuatan kain tenun oleh
wanita Sumba, pengolahan Legen menjadi gula merah yang tahan
berbulan-bulan tanpa bahan pengawet di daerah Pacitan, orang Toraja
penganut Aluk Todolo melaksanakan Rambu Solo’, dan orang Bali yang
merawat desa Pakraman (desa adat) untuk memelihara adat istiadat /
budaya Bali serta mampu menerapkan flosof Tri Hita Karana (3
as an Interactive Phenomenon, ed. Alessandro Duranti and Charles Goodwim,
Cambridge University Press (125-45) .
11
Hobsbawn, Eric dan Terence Ranger (eds.) The Invention o Tradition, Cambridge
University Press, 1992.
12
Olivier Morin, How Traditions Live and Die, Oxford University Press, 2016.

Penyebab Kesejahteraan) yang mengatur hubungan harmonis antara
individu dengan Tuhan, individu dengan alam, dan individu dengan
manusia lain secara indah. Kesemuanya itu hanyalah sedikit dari sekian

banyak contoh bagaimana tradisi dapat dioptimalkan dan dijadikan
potensi ekonomi kreati yang akan menunjang perekonomian nasional.
Pandangan mengelirukan yang masih terjadi bahwa membiayai
sektor pariwisata dan industri kreati lebih menguntungkan karena dengan
segera mendapatkan imbalan uang masuk asalkan tata kelolanya bagus
sedang membiayai sektor kebudayaan meskipun dikelola berdasar pada
berbagai konsep dan teori hanyalah menghabiskan dana dan tidak
signifkan mendapatkan uang masuk. Pandangan lain yang mengelirukan
adalah tradisi dianggap sebagai karya masa lalu yang biasanya
membosankan. Kenyataannya, karena justru masih dapat dikenali dan
menjadi bagian dari masa kini, maka kita menyebutnya tradisi. Berbeda
dengan peristiwa sejarah yang hanya satu kali saja terjadi, peristiwa
pementasan/pertunjukan tradisi dapat terjadi berulang kali yang setiap
pengulangannya bisa merupakan sesuatu yang baru dikenal. Hal tersebut
dimungkinkan terjadi sejalan dengan perubahan yang terjadi pada
masyarakat pemiliknya dan perkembangan teknologi informasi yang
membuat fungsi dan peran tradisi mengalami transformasi .
Peluang untuk mewacanakan tradisi sebagai warisan budaya tak
benda agar dikelola dengan tepat dan baik sejalan dengan pernyataan
bahwa kebudayaan adalah poros penggerak pembangunan

(dideklarasikan oleh PBB dan UNESCO untuk MDGs Pasca 2015) sudah
mulai dengan serius dimulai oleh Direktorat Jendral Kebudayaan,
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dengan melakukan pencatatan
atas warisan budaya Indonesia yang hingga kini sudah mencapai sekitar
7000 karya dan sejak 5 tahun yang lalu sudah ditetapkan sebanyak 594
karya budaya sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda
Indonesia.
Paradigma yang melihat tradisi sebagai kekuatan atau mesin
penggerak dan yang memungkinkan berjalannya pembangunan perlu
dipadukan dengan paradigma yang melihat tradisi sebagai sumber ilmu

pengetahuan yang memperlihatkan keunikan-keunikan dan atau kearifan
lokal yang sangat luar biasa. Sangat beralasan pernyataan Direktur
Jendral (ADG) UNESCO, rancesco Bandarin pada tanggal 7 November
2017 yang lalu dalam acara sidelines General Assembly di Paris dan
dikutip oleh Kantor Berita Antara yang mengakui Indonesia sebagai
negara “super power” dalam bidang kebudayaan dengan memperlihatkan
berbagai warisan budaya Indonesia yang telah diakui UNESCO sebagai
warisan dunia.
Menjaga warisan untuk masa depan diselenggarakan dengan
berbagai program yang dilakukan berbagai pihak terkait, baik pemerintah
maupun non pemerintah dan perorangan, khususnya para pewaris tradisi.
Mereka dan komunitas pendukungnya semakin berkurang dan biasanya
tidak memiliki akses yang baik untuk mendapatkan bantuan. Seringkali
ketika muncul bantuan yang lebih sering bersiat praktis pragmatis yang
secara instan dapat menyelesaikan masalah mereka pada saat itu (misal
untuk berobat dan makan), tradisi kemudian bergeser menjadi komoditas
industri atau menjadi sajian pertunjukan untuk para turis13.
Untuk membuat tradisi menjadi “living tradition” dan bukan
hanya “memory tradition” diperlukan pewarisan dan pengembangan
kajian tradisi sesuai dengan hakekat tradisi lisan yang dibatasi paling
tidak dari pemahaman tradisi sebagai peristiwa sosial budaya dan tradisi
sebagai bagian dari warisan budaya bangsa sesuai dengan isi Konvensi
UNESCO 2003, Konvensi UNESCO 2005 , dan UU Pemajuan Kebudayaan
no 5, tahun 2017.
Peranan tradisi, khususnya tradisi lisan sebagai informasi ,
ingatan, dan pengetahuan masyarakat pemiliknya yang telah melewati
beberapa generasi tidak sama dengan peranan sejarah lisan (yang
merekam ingatan-ingatan seseorang atau sekelompok orang yang pernah
mengalami atau yang masih mengingat peristiwa tertentu dalam sejarah)
dan juga bukan merupakan dokumen umum semacam testimoni. Tradisi
lisan juga berbeda dengan kelisanan yang dibatasi sebagai tuturan /
13

Saya tidak bermaksud mengatakan ini tidak boleh dilakukan, tetapi bila titik beratnya
hanya untuk memenuhi keingginan orang di luar kominitasnya, saya agak ragu bahwa
tradisi bersangkutan akan tetap memiliki repertoir asli atau bisa tetap menjadi tradisi.

ungkapan verbal dalam sebuah masyarakat yang tidak/kurang mengenal
atau yang tidak berkaitan dengan teknologi tulis dan cetak.
Sebagai sebuah kajian akademis, diperlukan upaya untuk mengubah
berbagai pengetahuan yang bersumber dari tradisi menjadi ilmu
pengetahuan. Akan tetapi, masih ada tantangan melakukan hal ini karena
belum banyak yang siap untuk memperlihatkan kajian tradisi yang
bersumber dari “lisan” sebagai kajian ilmu pengetahuan. Monica Dorothy
King14 memaparkan bagaimana para sejarawan pernah menyatakan
bahwa Afrika tidak memiliki sejarah sebelum masa kolonial. Mereka
menulis sejarah tanpa memaparkan masa lalu Afrika karena para
sejarawan tersebut tidak dapat mempercayai tuturan atau kisah yang
disampaikan nara sumbernya yang dinilai tidak akurat, meragukan dan
tidak ada bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan. Monica
memperlihatkan dan membuktikan bagaimana tradisi lisan yang berupa
nyanyian, puisi kesejarahan, cerita-cerita Afrika dengan menggunakan
penafsiran kritis dan analisis data yang terukur ternyata mempunyai
keterkaitan dengan berbagai peristiwa, termasuk dinamika sosial politik
masa lalu di Africa.
Sejalan dengan ini, Margaret Field dan Jon Meza Cuero memberikan
contoh yang sangat menarik dari salah satu genre cerita anak berjudul
“Rabbit and Frog” (“Kelinci dan Kodok”)15 . Cerita tersebut sebetulnya
bukan untuk anak yang mengisahkan bagaimana kelinci yang memiliki
rumah dapat diperdaya kodok yang “tidak memiliki rumah” tetapi berhasil
mengambil rumah kelinci dan mengusir kelinci dari rumahnya sendiri.
Cuero mengatakan inti cerita sama tetapi penyajian berbeda-beda
tergantung di bagian wilayah mana ia bercerita: Mexico, Hawai, atau
tempat lainnya. Kelinci dan Kodok menggambarkan komunitas Kumeyaay
yang sudah terancam keberadaannya di Baja (Utara Caliornia, Mexico).
Bahasa Kumeyaay pada saat artikel ini dibuat (2012) hanya dituturkan
secara aktif oleh 50 orang saja. Revitalisasi yang dilakukan untuk
komunitas ini dan tradisi yang dimilikinya dimaksudkan bukan hanya akan
14

Monica Dorothy King, “The Role o Oral Traditions in Africa History”, The Dyke Vol 2.2,
p: 42-52, 2006.
15
Margaret ield (bio) and Jon Meza Cuero, “Kumeyaay Oral Tradition, Cultural Identity,
and Language Revitalization”, Oral Tradition, Vol. 27, number 2. October 2012.

menyelamatkan berbagai nilai berharga dan wawasan flosofnya, tetapi
juga dimaksudkan untuk menginspirasi pendengarnya mengenai peristiwa
tersebut.
Berbagai contoh kajian tradisi dari Indonesia dapat ditelisik dari
khasanah yang terhimpun dalam Konsorsium Kajian Tradisi Lisan yang
jumlahnya tidak kurang dari 200 karya penelitian, tesis dan disertasi.
Tradisi lisan memperkenalkan berbagai hal yang berkait dengan laut dan
kemaritiman sebagai mana pengetahuan mengenai pinisi di atas, atau
berbagai contoh berikut.16Misalnya tentang tradisi Laot di Aceh. Lembaga
Panglima Laot berkedudukan di wilayah laut dan berfungsi mengatur
pengelolaan sumber daya alam di wilayah pesisir pantai hingga ke laut
lepas. Ia berfungsi untuk 1) mempertahankan keamanan di laut; 2)
mengatur pengelolaan sumber daya alam di laut, dan 3) mengatur
pengelolaan lingkungan laut. Ruang fsik pesisir pantai yang dikuasai
Panglima Laot adalah bineh pasie (tepi pantai), ln leun pukat (kawasan
untuk tarik pukat darat), kuala dan teupien (tepian pendaratan perahu),
dan laot luah (laut lepas). Ruang fsik yang berkaitan dengan ekosistem
pantai meliputi uteun Bangka (hutan bakau), uteun pasie (hutan pantai),
uteun aron (hutan cemara), neuheun (tambak), dan lancang sira (ladang
garam). Untuk menangkap ikan di laut, hukum adat Laot mencantumkan
beberapa teknik seperti Palong, Pukat Lengger, Pukat Aceh, Perahoe , Jalo,
Jeue, jareng, Kawe Go, Kawe Tek, Geunengom, Bubee, Sawok/Sareng,
Jang, Jeuremai, dan Nyap. Teknik yang akan dipilih bergantung pada jenis
ikan yang akan ditangkap (teri, cumi-cumi, tongkol, dan lain sebagainya).
Selain berbagai hal tersebut, Hukum Adat Laot juga mengenal Hari
Pantang Laot , yaitu “ dilarang melaut pada hari Jumat, pada hari Iedul
Fitri (selama 2 hari); pada hari Raya Iedul Adha (selama 3 hari) dan pada
Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus. Sekarang pantangan itu ditambah
dengan tanggal 26 Desember untuk mengenang tragedi tsunami pada

16

Beberapa contoh sudah saya kemukakan dalam makalah saya berjudul “Budaya
Maritim dalam Keragaman Tradisi Lisan” yang dimuat dalam Buku Persembahan untuk
Pro. Dr. Muhadjir.

tahun 2004. Mereka juga setiap 3 tahun sekali membuat Kenduri Laot
selama 3 hari dan mereka semua dilarang pergi melaut17.
Tradisi menangkap ikan di Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara
yang dinamakan Mane’e menarik untuk diperlihatkan juga sebagai
perbandingan18. Corrie Buata dalam disertasinya menjelaskan tradisi
Mane’e. Upacara Mane’e ini masuk rekor Muri karena diikuti oleh 1.159
orang peserta dengan bentangan tali janur sepanjang 3.300meter.
Mane’e dimulai setelah terjadi gempa bumi dan badai tsunami pada abad
ke-16 dan diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Sampai kini setiap tahun umumnya pada bulan Mei dan Juni,
ketika pasang tertinggi dan surut terendah atau pada saat bulan purnama
atau bulan awal bulan mati Upacara Mane’e dilaksanakan. Upacara ini
diselenggarakan oleh masyarakat Talaud dan juga oleh Pemerintah
sebagai kegiatan pariwisata. Doa yang dibawakan pimpinan adat dalam
Tradisi Mane ‘e juga khas.
Ete pasi
To en to ene
terapung
Nabisisi auntungan
keuntungan
Nito engka amattu mawu
berkat Tuhan
Nilumatto auntungan su mawu
keuntungan dari Tuhan
Su laode
Maa appa kumang sambibi
berguna untuk umum
Aruan I paatta anambone
dijadikan seluruhnya
Auntungan sara wanua
bagi negeri
Lembong ite ana asisi lai wawine
yatim piatu dan
Wa’u
17

Di mana laut
Timbul,
berkeriapan
itu semua
terapung
di laut
akan sangat
dapat
keuntungan
terutama anak
janda

Lihat lebih lanjut rinciannya dalam penelitian tentang berbagai hal kelautan yang
tercantum dalam Hukum Adat Laot pada masyarakat Aceh dan paparan Rusjdi Ali
Muhammad, “Kearifan Lokal Aceh dalam Penyelesaian Konfik Antar-Nelayan,” dalam
acara Focus Group Discussion Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, 28 April 2011. .
18
Uraian terperinci dilakukan oleh Corri Buata dalam disertasinya yang berjudul “ Tradisi
Upacara Mane’e pada Masyarakat Pesisir Pulau Kakorotan di Kepulauan Talaud, Sulawesi
Utara”, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 2013 dan lihat juga edaran dari Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Manado tentang Mane’e.

Mawu punnene … ruata banggile
Tuhan
pohonnya …. Tuhan pangkal
Punnu wia
pohon
hidup
Upacara Mane’e menandai kearifan yang dimiliki masyarakat Talaud
dalam melakukan pengelolaan laut dan hasilnya serta melakukan
pembagian yang adil secara adat kepada komunitas pemilik tradisi.
Suku Maori di New Zealand mempercayai kekuatan tradisi lisan
dalam memelihara tradisi maritim yang diungkapkan melalui
whakatauki (ungkapan-ungkapan lama), whakapapa (hubungan
genealogis), nyanyian, dan cerita.19 Mereka memiliki kalender bulan
baik untuk menangkap ikan yang catatannya tersimpan atau berasala
dari tradisi lisan mereka.
Kajian mengenai tradisi kemaritiman secara khusus
Pengetahuan mengenai pembuatan “pinisi” yang siap disidangkan di
UNESCO tanggal 4—9 Desember 2017 ini dimulai dari berbagai cerita dan
pengamatan fsik pinisi yang ada di kampung Bira, Bulukumba, Sulawesi
Selatan. Para panritalopi (ahli pembuat kapal tradisional di Bira) berkisah
tentang pembuatan pinisi yang dikatakannya tidak memakai gambar
arsitektur sebagai dasar ragangan pembuatan kapal. Dikatakannya
setelah mendapat “wangsit” dia baru bisa memulai pembuatan kapal.
Dengan merangkaikan cerita yang didapat dari seorang panritalopi yang
representatif mewakili lainnya dan berdiskusi dengan berbagai pakar,
khususnya dengan Horst Liebner, ahli kapal dan maritim dari Jerman
dapatlah dijelaskan rumusan pembuatan kapal pinisi sebagai ilmu
pengetahuan. Arsitekturnya terletak pada apa yang disebut panatta,
sebatang bambu dengan tanda-tanda untuk menghitung ukuran dan letak
lunas tengah (kalebiseang) dan papan standard untuk lambung
(papangappag). Rumus ini yang kemudian dikembangkan dan dapat
dipakai oleh kapal-kapal lain seperti padewakang, palari, dan lambok.
Arsitektur tradisional yang sudah berkembang paling tidak sejak 1500
tahun yang lalu berdasarkan teknologi membangun perahu lesung
19

Penjelasan lebih lanjut dalam makalah “Marine Resources in Maori Oral Tradition: He
Kai Moana, He Kai ma te hinengaro” dalam Journal of Marine and Island Cultures Volume
2, Issue 2, December 2013: 59—68.

menjadi perahu bercadik yang khas Austronesia dan tidak terdapat di
manapun di dunia ini.
Dengan pinisi, kita mewarisi tradisi besar yang menyumbang pada
teknologi masa kini. Dengan demikian kemaritiman tidak hanya dikenal
melalui industri lagu –lagu tentang pelaut seperti “Nenek Moyangku orang
Pelaut” atau “Seemann”. Bukan pula hanya dikenal melalui lirik-lirik
berikut,
Siapa bilang pelaut mata keranjang ; Kapal bastom lepas tali lepas cinta.
So berlayar sampai so ka ujung dunia; Banyak doi baroyal habis parcuma
Dorang bilang pelaut obral cinta ; Dompet so kosong baru inga rumah

(Balada Pelaut)
Kemaritiman dan sistem pelayaran dapat kita lihat juga dari
Pembagian hasil secara adil menurut adat yang berlaku dalam sebuah
komunitas yangdilakukan oleh orang Bugis dalam tradisi Pasompe 20.
Tradisi ini berisi kearifan lokal Bugis dalam melakukan kegiatan
berlayar dan berdagang. Pemilik perahu yang disebut Ponggawa
mendapatkan 50% dari hasil pendapatan keseluruhan; sisanya dibagi
antara Nakhoda dan para Sawi/karyawan kapal (terdiri atas sawi tetap,
sawi bebas, dan sawi penumpang). Yang menarik untuk dicermati
adalah ungkapan mereka mengenai laut,
SamerenngE uala paddaga-raga
kujadikan sebagai hiburan
Tasik-E uala linopottang
kujadikan sebagai alam daratan
Lelangeng ri casa gena-E
yang penuh kebebasan

Pelayaran
Lautanlah
Pengembaraan

Nalawa mua salareng riwu
Biar aku dihadang
oleh angin topan
Naku gun cirik gulikku
Aku akan putar
kemudiku
Kaola mui telling-E notowali E
Aku memilih
tenggelam daripada
kembali
Dalam melakukan pengelolaan tradisi untuk pemajuan kebudayaan
diperlukan ahli tradisi yang memiliki kemampuan akademis. Perguruan
Tinggi memiliki peran untuk melakukan mediasi dalam
“penciptaan”/pengadaan para pengelola atau pelestari tradisi yang akan
20

Lihat “Pasompe” dan Teknologi Perahu dalam Perspektif Antropologi Maritim.

menjadi lokomotif transfomasi pewarisan nilai dan melakukan kajian atas
pengetahuan mereka mengenai tradisi yang ditelitinya menjadi ilmu
pengetahuan. Perguruan Tinggi merupakan lembaga strategis yang dapat
menyiapkan sumber daya ahli-ahli tradisi yang akan mewarisi dan
mewariskan berbagai pengetahuan yang berasal dari berbagai tradisi
menjadi ilmu pengetahuan mengenai tradisi. Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia boleh berbangga hati karena sudah merintis
keberadaan kajian tradisi sejak tahun 2009. Dalam lima tahun terakhir ini
ada 26 orang mahasiswa peserta S3 KTL ( 21 orang di antaranya
mendapatkan beasiswa KTL DIKTI) dan 42 orang peserta S2 KTL (29 orang
mendapatkan beasiswa). Semoga di masa mendatang penyelenggaraan
kajian tradisi lisan dengan dukungan universitas, dikti, lembaga lain yang
berkaitan, dan bapak serta ibu sekalian di sini dapat lebih berjaya dan
berguna.
Terima kasih.
Rahayu
Jakarta, 5 Desember 2017
Dirgahayu FIB UI

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN RASIO LIKUIDITAS, PROFITABILITAS, AKTIVITAS DAN LEVERAGE TERHADAP PERUBAHAN LABA DI MASA DATANG PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA

18 254 20

PERENCANAAN PEMBUATAN POROS RODA DEPAN SEPEDA MOTOR JENIS VESPA DENGAN MESIN CNC TU-2A

2 58 1

KONSTRUKSI MEDIA ONLINE TENTANG CALON PRESIDEN JOKO WIDODO PADA MASA KAMPANYE PILPRES 2014 Analisis Framing Pada Media Online Detik.com dan Inilah.com Edisi 3-5 Juli 2014

0 22 64

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

CERITA DEWI RENGGANIS DALAM TRADISI LISAN MASYARAKAT PROBOLINGGO

0 26 6

DINAMIKA TRADISI ”GITEK” MASYARAKAT NELAYAN DESA KILENSARI KECAMATAN PANARUKAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN 1965 – 2009

0 7 35

KEDUDUKAN NAFKAH SELAMA MASA TUNGGU (IDDAH) BAGI ISTERI YANG SEDANG HAMIL SETELAH DI TALAK BA’IN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM

0 35 17

ANALISIS KEMAMPUAN LABA OPERASI DALAM MEMPREDIKSI LABA OPERASI, ARUS KAS OPERASI DAN DIVIDEN KAS MASA DEPAN ( Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur di BEI 2009-2011)

10 68 54

TINJAUAN HISTORIS GERAKAN SERIKAT BURUH DI SEMARANG PADA MASA KOLONIAL BELANDA TAHUN 1917-1923

0 26 47

METODE PEMBELAJARAN DALAM TRADISI PENDIDIKAN ISLAM Oleh: Herdianto Wahyu Pratomo Abstrak - METODE PEMBELAJARAN DALAM TRADISI PENDIDIKAN ISLAM

0 0 16