Roro Jonggrang cerita dongeng durhaka

Roro Jonggrang
( Asal usul Candi Prambanan)
Alkisah pada zaman dahulu kala, berdiri sebuah kerajaan yang sangat besar yang
bernama Prambanan. Rakyat Prambanan sangat damai dan makmur di bawah
kepemimpinan raja yang bernama Prabu Baka. Kerajaan-kerajaan kecil di wilayah
sekitar Prambanan juga sangat tunduk dan menghormati kepemimpinan Prabu
Baka.
Sementara itu di lain tempat, ada satu kerajaan yang tak kalah besarnya dengan
kerajaan Prambanan, yakni kerajaan Pengging. Kerajaan tersebut terkenal sangat
arogan dan ingin selalu memperluas wilayah kekuasaanya. Kerajaan Pengging
mempunyai seorang ksatria sakti yang bernama Bondowoso. Dia mempunyai
senjata sakti yang bernama Bandung, sehingga Bondowoso terkenal dengan
sebutan Bandung Bondowoso. Selain mempunyai senjata yang sakti, Bandung
Bondowoso juga mempunyai bala tentara berupa Jin. Bala tentara tersebut yang
digunakan Bandung Bondowoso untuk membantunya untuk menyerang kerajaan
lain dan memenuhi segala keinginannya.
Hingga Suatu ketika, Raja Pengging yang arogan memanggil Bandung Bondowoso.
Raja Pengging itu kemudian memerintahkan Bandung Bondowoso untuk menyerang
Kerajaan Prambanan. Keesokan harinya Bandung Bondowoso memanggil
balatentaranya yang berupa Jin untuk berkumpul, dan langsung berangkat ke
Kerajaan Prambanan.

Setibanya di Prambanan, mereka langsung menyerbu masuk ke dalam istana
Prambanan. Prabu Baka dan pasukannya kalang kabut, karena mereka kurang
persiapan. Akhirnya Bandung Bondowoso berhasil menduduki Kerajaan Prambanan,
dan Prabu Baka tewas karena terkena senjata Bandung Bondowoso.
Kemenangan Bandung Bondowoso dan pasukannya disambut gembira oleh Raja
Pengging. Kemudian Raja Pengging pun mengamanatkan Bandung Bondowoso
untuk menempati Istana Prambanan dan mengurus segala isinya,termasuk keluarga
Prabu Baka.
Pada saat Bandung Bondowoso tinggal di Istana Kerajaan Prambanan, dia melihat
seorang wanita yang sangat cantik jelita. Wanita tersebut adalah Roro Jonggrang,
putri dari Prabu Baka. Saat melihat Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso mulai
jatuh hati. Dengan tanpa berpikir panjang lagi, Bandung Bondowoso langsung
memanggil dan melamar Roro Jonggrang.
“Wahai Roro Jonggrang, bersediakah seandainya dikau menjadi permaisuriku?”,
Tanya Bandung Bondowoso pada Roro Jonggrang.
Mendengar pertanyaan dari Bandung Bondowoso tersebut, Roro Jonggrang hanya
terdiam dan kelihatan bingung. Sebenarnya dia sangat membenci Bandung
Bondowoso, karena telah membunuh ayahnya yang sangat dicintainya. Tetapi di sisi
lain, Roro Jonggrang merasa takut menolak lamaran Bandung Bondowoso. Akhirnya
setelah berfikir sejenak, Roro Jonggrang pun menemukan satu cara supaya Bandung

Bondowoso tidak jadi menikahinya.

“Baiklah,aku menerima lamaranmu. Tetapi setelah kamu memenuhi satu syarat
dariku”,jawab Roro Jonggrang.
“Apakah syaratmu itu Roro Jonggrang?”,Tanya Bandung Bandawasa.
“Buatkan aku seribu candi dan dua buah sumur dalam waktu satu malam”, Jawab
Roro Jonggrang.
Mendengar syarat yang diajukan Roro Jonggrang tersebut, Bandung Bondowoso pun
langsung menyetujuinya. Dia merasa bahwa itu adalah syarat yang sangat mudah
baginya, karena Bandung Bondowoso mempunyai balatentara Jin yang sangat
banyak.
Pada malam harinya, Bandung Bandawasa mulai mengumpulkan balatentaranya.
Dalam waktu sekejap, balatentara yang berupa Jin tersebut datang. Setelah
mendengar perintah dari Bandung Bondowoso, para balatentara itu langsung
membangun candi dan sumur dengan sangat cepat.
Roro Jonggrang yang menyaksikan pembangunan candi mulai gelisah dan
ketakutan, karena dalam dua per tiga malam, tinggal tiga buah candi dan sebuah
sumur saja yang belum mereka selesaikan. Roro Jonggrang kemudian berpikir
keras, mencari cara supaya Bandung Bondowoso tidak dapat memenuhi
persyaratannya.

Setelah berpikir keras, Roro Jonggrang akhirnya menemukan jalan keluar. Dia akan
membuat suasana menjadi seperti pagi,sehingga para Jin tersebut menghentikan
pembuatan candi.
Roro Jonggrang segera memanggil semua dayang-dayang yang ada di istana.
Dayang-dayang tersebut diberi tugas Roro Jonggrang untuk membakar jerami,
membunyikan lesung, serta menaburkan bunga yang berbau semerbak mewangi.
Mendengar perintah dari Roro Jonggrang, dayang-dayang segera membakar jerami.
Tak lama kemudian langit tampak kemerah merahan, dan lesung pun mulai
dibunyikan. Bau harum bunga yang disebar mulai tercium, dan ayam pun mulai
berkokok.
Melihat langit memerah, bunyi lesung, dan bau harumnya bunga tersebut, maka
balatentara Bandung Bondowoso mulai pergi meninggalkan pekerjaannya. Mereka
pikir hari sudah mulai pagi, dan mereka pun harus pergi.
Melihat Balatentaranya pergi, Bandung Bondowoso berteriak: “Hai balatentaraku,
hari belum pagi. Kembalilah untuk menyelesaikan pembangunan candi ini !!!”
Para Jin tersebut tetap pergi, dan tidak menghiraukan teriakan Bandung
Bondowoso. Bandung Bondowoso pun merasa sangat kesal, dan akhirnya
menyelesaikan pembangunan candi yang tersisa. Namun sungguh sial, belum
selesai pembangunan candi tersebut, pagi sudah datang. Bandung Bondowoso pun
gagal memenuhi syarat dari Roro Jonggrang.


Mengetahui kegagalan Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang lalu menghampiri
Bandung Bondowoso. “Kamu gagal memenuhi syarat dariku, Bandung Bondowoso”,
kata Roro Jonggrang.
Mendengar kata Roro Jonggrang tersebut, Bandung Bondowoso sangat marah.
Dengan nada sangat keras, Bandung Bondowoso berkata: “Kau curang Roro
Jonggrang. Sebenarnya engkaulah yang menggagalkan pembangunan seribu candi
ini. Oleh karena itu, Engkau aku kutuk menjadi arca yang ada di dalam candi yang
keseribu !”
Berkat kesaktian Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang berubah menjadi
arca/patung. Wujud arca tersebut hingga kini dapat disaksikan di dalam kompleks
candi Prambanan, dan nama candi tersebut dikenal dengan nama candi Roro
Jonggrang. Sementara candi-candi yang berada di sekitarnya disebut dengan Candi
Sewu atau Candi Seribu.

Si Malin Kundang
Dahulu kala di Padang Sumatera Barat tepatnya di Perkampungan Pantai Air Manis
ada seorang janda bernama Mande Rubayah. Ia mempunyai seorang anak laki-laki
bernama Malin Kundang. Malin sangat disayang oleh ibunya, karena sejak kecil
Malin Kundang sudah ditinggal mati oleh ayahnya.


Malin dan ibunya tinggal di perkampungan nalayan. Ibunya suah tua ia hanya
bekerja sebagai penjual kue. Pada suatu hari Malin jatuh sakit. Tubuhnya mendadak
panas sekali. Mande Rubayah tentu saja sangat bingung. Tidak pernah Malin jatuh
sakit seperti ini. Mande Rubayah berusaha sekuatnya unuk mengabobati Malin
dengan mendatangkan tabib.
Nyawa Malin yang hampir melayang itu akhirnya dapat diselamatkan berkat usaha
keras ibunya. Setelah sembuh dari sakitnya ia makin disayang. Demikianlah Mande
Rubayah sangat menyayangi anaknya. Sebaliknya Malin juga amat sayang kepada
ibunya.
Ketika sudah dewasa, Malin berpamitan kepada ibunya untuk pergi merantau. Pada
saat itu memang ada kapal besar yang merapat di Pantai Air Manis.
“Bu, ini kesempatan yang baik bagi saya,” kata Malin. “Belum tentu setahun sekali
ada kapal besar merapat di pantai ini. Saya berjanji akan merubah nasib kita
sehingga kita akan menjadi kaya raya.”
Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengijinkan anaknya pergi. Malin
dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus.
Hari-hari berlalu terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande
Rubayah memandang ke laut. Ia bertanya-tanya dalam hati, sampai di manakah
anaknya kini? Jika ada ombak dan badai besar menghempas ke pantai, dadanya

berdebar-debar. Ia mengadahkan kedua tangannya ke aas sembari berdo’a agar
anaknya selamat dalam pelayaran. Jika ada kapal yang datang merapat ia selalu
menanyakan kabar tentang anaknya. Tetapi semua awak kapal atau nahkoda tidak
pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Malin tidak pernah menitipkan
barang atau pesan apapun kepada ibunya.
Itulah yang dilakukan Mande Rubayah setiap hari selama bertahun-tahun. Tubuhnya
semakin tua dimakan usia. Jika berjalan ia mulai terbungkuk-bungkuk.
Pada suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari nakhoda yang dulu membawa
Malin bahwa sekarang malin telah menikah dengan seorang gadis cantik putri

seorang bangsawan kaya raya. Ia turut gembira mendengar kabar itu. Ia selalu
berdo’a agar anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya.
“Ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang...” rintih MANDE RUBAYAH tiap malam.
Namun hingga berbulan – bulan semenjak ia menerima kabar malin belum juga
datang menengoknya. Namun ia yakin bahwa pada suatu saat Malin pasti akan
kembali.
Harapannya terkabul. Pada suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah
kapal yang indah berlayar menuju pantai. Kapal itu megah dan bertingkat – tingkat.
Orang kampung mengira kapal itu milik seorang sultan atau seorang pangeran.
Mereka menyambutnya dengan gembira.

Ketika kapal itu mulai merapat, tampak sepasang muda mudi berdiri di anjungan.
Pakaian mereka berkilauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi
senyum. Mereka nampak bahagia karena disambut dengan meriah.
Mande Rubayah ikut berdesakan melihat dan mendekati kapal. Jantungnya berdebar
keras. Dia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah anak kesayangannya si
Malin Kundang.
Belum lagi tetua desa sempat menyambut, Ibu Malin terlebih dahulu menghampiri
Malin. Ia langsung memeluk malin erat – erat. Seolah takut kehilangan anaknya lagi.
“Malin, anakku,” katanya menahan isak tangis karena gembira.
“Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?”
Malin terpana karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang – camping
itu. Ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya. Seingat Malin, ibunya adalah
seorang wanita berbadan tegar yang kuat menggendongnya kemana saja. Sebelum
dia sempat berpikir dengan tenang, istrinya yang cantik itu meludah sambil
berkata, “Cuih! Wanita buruk inikah ibumu? Mengapa kau membohongi aku?”
lalu dia meludah lagi. “Bukankah dulu kau katakan ibumu adalah seorang
bangsawan sederajad dengan kami?”
Mendengar kata – kata istrinya, Malin Kundang mendorong wanita itu hingga
terguling ke pasir. Mande Rubayah hampir tidak percaya pada perikau anaknya, ia
jatuh terduduk sambil berkata, “Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, nak!”

Malin Kundang tidak menghiraukan perkataan ibunya. Pikirannya kacau karena
ucapan istrinya. Seandainya wanita itu benar ibunya, dia tidak akan mengakuinya.

Ia malu kepada istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya,
Malin menendangnya sambil berkata, “Hai, perempuan tua! Ibuku tidak seperti
engkau! Melarat dan dekil!”
Wanita tua itu terkapar di pasir. Orang banyak terpana dan kemudian pulang ke
rumah masing-masing. Tak disangka Malin yang dulu disayangi tega berbuat
demikian. Mande Rubayah pingsan dan terbaring sendiri. Ketika ia sadar, Pantai Air
Manis sudah sepi. Dilaut dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Hatinya perih
seperti ditusuk-tusuk. Tangannya ditadahkannya ke langit. Ia kemudian berseru
dengan hatinya yang pilu, “Ya, Allah Yang Maha Kuasa, kalau dia bukan anakku, aku
maafkan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang dia benar anakku, Malin Kundang,
aku mohon keadilan-Mu, Ya Tuhan ...!”
Tidak lama kemudian cuaca di tengah laut yang tadinya cerah, mendadak berubah
menjadi gelap. Hujan tiba-tiba turun dengan teramat lebatnya. Entah bagaimana
awalnya tiba-tiba datanglah badai besar. Menghantam kapal malin kundang. Disusul
sambaran petir yang menggelegar. Seketika kapal itu hancur berkeping-keping.
Kemudian terhempas ombak hingga ke pantai.
Ketika mathari pagi memancarkan sinarnya, badai telah reda. Di kaki bukit terlihat

kepingan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang. Tak jauh dari
tempat itu nampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia. Konon itulah
tubuh Malin Kundang anak durhaka yang kena kutuk ibunya menjadi batu. Diselasela batu itu berenang-renang ikan teri, ikan belanak dan ikan tengiri. Konon, ikan
itu berasal dari serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.
Demikianlah sampai sekarang jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang
mirip kapal dan manusia itu, terdengar bunyi seperti lolongan jeritan manusia.
Sungguh memilukan kedengarannya. Kadang-kadang bunyinya seperti orang
meratap menyesali diri. “Ampuuuun, Bu ... ! Ampuuuun... Buuuuu ... !” konon itulah
suara si Malin Kundang.
Orang yang durhaka kepada orang tuanya terutama kepada ibunya, orang tersebut
tidak akan bisa masuk surga kecuali setelah mendapat pengampunan dari ibunya.

Asal Usul Danau Toba
Di Sumatera Utara terdapat danau yang sangat besar dan ditengah-tengah danau tersebut terdapat
sebuah pulau. Danau itu bernama Danau Toba sedangkan pulau ditengahnya dinamakan Pulau
Samosir. Konon danau tersebut berasal dari kutukan dewa.
Di sebuah desa di wilayah Sumatera, hidup seorang petani. Ia seorang petani yang rajin bekerja
walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa mencukupi kebutuhannya dari hasil kerjanya
yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya sudah cukup untuk menikah, tetapi ia tetap memilih
hidup sendirian. Di suatu pagi hari yang cerah, petani itu memancing ikan di sungai. “Mudahmudahan hari ini aku mendapat ikan yang besar,” gumam petani tersebut dalam hati. Beberapa

saat setelah kailnya dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya.
Petani itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan cukup besar.
Ia takjub melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna kuning emas kemerahmerahan. Kedua matanya bulat dan menonjol memancarkan kilatan yang menakjubkan.
“Tunggu, aku jangan dimakan! Aku akan bersedia menemanimu jika kau tidak jadi
memakanku.” Petani tersebut terkejut mendengar suara dari ikan itu. Karena keterkejutannya,
ikan yang ditangkapnya terjatuh ke tanah. Kemudian tidak berapa lama, ikan itu berubah wujud
menjadi seorang gadis yang cantik jelita. “Bermimpikah aku?,” gumam petani.
“Jangan takut pak, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat berhutang budi padamu karena
telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata,” kata gadis itu. “Namaku Puteri, aku tidak
keberatan untuk menjadi iastrimu,” kata gadis itu seolah mendesak. Petani itupun mengangguk.
Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu
mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar
maka akan terjadi petaka dahsyat.
Setelah sampai di desanya, gemparlah penduduk desa melihat gadis cantik jelita bersama petani
tersebut. “Dia mungkin bidadari yang turun dari langit,” gumam mereka. Petani merasa sangat
bahagia dan tenteram. Sebagai suami yang baik, ia terus bekerja untuk mencari nafkah dengan
mengolah sawah dan ladangnya dengan tekun dan ulet. Karena ketekunan dan keuletannya,
petani itu hidup tanpa kekurangan dalam hidupnya. Banyak orang iri, dan mereka menyebarkan
sangkaan buruk yang dapat menjatuhkan keberhasilan usaha petani. “Aku tahu Petani itu pasti
memelihara makhluk halus! ” kata seseorang kepada temannya. Hal itu sampai ke telinga Petani

dan Puteri. Namun mereka tidak merasa tersinggung, bahkan semakin rajin bekerja.

Setahun kemudian, kebahagiaan Petani dan istri bertambah, karena istri Petani melahirkan
seorang bayi laki-laki. Ia diberi nama Putera. Kebahagiaan mereka tidak membuat mereka lupa
diri. Putera tumbuh menjadi seorang anak yang sehat dan kuat. Ia menjadi anak manis tetapi
agak nakal. Ia mempunyai satu kebiasaan yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu selalu
merasa lapar. Makanan yang seharusnya dimakan bertiga dapat dimakannya sendiri.
Lama kelamaan, Putera selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh membantu pekerjaan
orang tua, ia selalu menolak. Istri Petani selalu mengingatkan Petani agar bersabar atas ulah anak
mereka. “Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun dia itu anak kita!” kata Petani kepada
istrinya. “Syukurlah, kanda berpikiran seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah yang
baik,” puji Puteri kepada suaminya.
Memang kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh Petani itu. Pada suatu hari,
Putera mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang
bekerja. Tetapi Putera tidak memenuhi tugasnya. Petani menunggu kedatangan anaknya, sambil
menahan haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah. Di lihatnya Putera sedang bermain bola.
Petani menjadi marah sambil menjewer kuping anaknya. “Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri
! Dasar anak ikan !,” umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.
Setelah petani mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap.
Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras
dan semakin deras. Desa Petani dan desa sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi
dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu
akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil di tengahnya dikenal dengan
nama Pulau Samosir.

Asal Usul Kota Banyuwangi
Pada zaman dahulu di kawasan ujung timur Propinsi Jawa Timur terdapat
sebuah kerajaan besar yang diperintah oleh seorang Raja yang adil dan
bijaksana. Raja tersebut mempunyai seorang putra yang gagah bernama
Raden Banterang. Kegemaran Raden Banterang adalah berburu. “Pagi hari
ini aku akan berburu ke hutan. Siapkan alat berburu,” kata Raden Banterang
kepada para abdinya. Setelah peralatan berburu siap, Raden Banterang
disertai beberapa pengiringnya berangkat ke hutan. Ketika Raden Banterang
berjalan sendirian, ia melihat seekor kijang melintas di depannya. Ia segera
mengejar kijang itu hingga masuk jauh ke hutan. Ia terpisah dengan para
pengiringnya.
“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang, ketika kehilangan jejak
buruannya. “Akan ku cari terus sampai dapat,” tekadnya. Raden Banterang
menerobos semak belukar dan pepohonan hutan. Namun, binatang buruan
itu tidak ditemukan. Ia tiba di sebuah sungai yang sangat bening airnya.
“Hem, segar nian air sungai ini,” Raden Banterang minum air sungai itu,
sampai merasa hilang dahaganya. Setelah itu, ia meninggalkan sungai.
Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba dikejutkan kedatangan
seorang gadis cantik jelita.
“Ha? Seorang gadis cantik jelita? Benarkah ia seorang manusia? Janganjangan setan penunggu hutan,” gumam Raden Banterang bertanya-tanya.
Raden Banterang memberanikan diri mendekati gadis cantik itu. “Kau
manusia atau penunggu hutan?” sapa Raden Banterang. “Saya manusia,”
jawab gadis itu sambil tersenyum. Raden Banterang pun memperkenalkan
dirinya. Gadis cantik itu menyambutnya. “Nama saya Surati berasal dari
kerajaan Klungkung”. “Saya berada di tempat ini karena menyelamatkan diri
dari serangan musuh. Ayah saya telah gugur dalam mempertahankan
mahkota kerajaan,” Jelasnya. Mendengar ucapan gadis itu, Raden Banterang
terkejut bukan kepalang. Melihat penderitaan puteri Raja Klungkung itu,
Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya pulang ke istana. Tak
lama kemudian mereka menikah membangun keluarga bahagia.
Pada suatu hari, puteri Raja Klungkung berjalan-jalan sendirian ke luar
istana. “Surati! Surati!”, panggil seorang laki-laki yang berpakaian compangcamping. Setelah mengamati wajah lelaki itu, ia baru sadar bahwa yang

berada di depannya adalah kakak kandungnya bernama Rupaksa. Maksud
kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya untuk membalas
dendam, karena Raden Banterang telah membunuh ayahandanya. Surati
menceritakan bahwa ia mau diperistri Raden Banterang karena telah
berhutang budi. Dengan begitu, Surati tidak mau membantu ajakan kakak
kandungnya. Rupaksa marah mendengar jawaban adiknya. Namun, ia
sempat memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada Surati.
“Ikat kepala ini harus kau simpan di bawah tempat tidurmu,” pesan Rupaksa.
Pertemuan Surati dengan kakak kandungnya tidak diketahui oleh Raden
Banterang, dikarenakan Raden Banterang sedang berburu di hutan. Tatkala
Raden Banterang berada di tengah hutan, tiba-tiba pandangan matanya
dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki berpakaian compang-camping.
“Tuangku, Raden Banterang. Keselamatan Tuan terancam bahaya yang
direncanakan oleh istri tuan sendiri,” kata lelaki itu. “Tuan bisa melihat
buktinya, dengan melihat sebuah ikat kepala yang diletakkan di bawah
tempat peraduannya. Ikat kepala itu milik lelaki yang dimintai tolong untuk
membunuh Tuan,” jelasnya. Setelah mengucapkan kata-kata itu, lelaki
berpakaian compang-camping itu hilang secara misterius. Terkejutlah Raden
Banterang mendengar laporan lelaki misterius itu. Ia pun segera pulang ke
istana. Setelah tiba di istana, Raden Banterang langsung menuju ke
peraaduan istrinya. Dicarinya ikat kepala yang telah diceritakan oleh lelaki
berpakaian compang-camping yang telah menemui di hutan. “Ha! Benar
kata lelaki itu! Ikat kepala ini sebagai bukti! Kau merencanakan mau
membunuhku dengan minta tolong kepada pemilik ikat kepala ini!” tuduh
Raden Banterang kepada istrinya. “ Begitukah balasanmu padaku?” tandas
Raden Banterang.”Jangan asal tuduh. Adinda sama sekali tidak bermaksud
membunuh Kakanda, apalagi minta tolong kepada seorang lelaki!” jawab
Surati. Namun Raden Banterang tetap pada pendiriannya, bahwa istrinya
yang pernah ditolong itu akan membahayakan hidupnya. Nah, sebelum
nyawanya terancam, Raden Banterang lebih dahulu ingin mencelakakan
istrinya.
Raden Banterang berniat menenggelamkan istrinya di sebuah sungai.
Setelah tiba di sungai, Raden Banterang menceritakan tentang pertemuan
dengan seorang lelaki compang-camping ketika berburu di hutan. Sang istri
pun menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki berpakaian
compang-camping seperti yang dijelaskan suaminya. “Lelaki itu adalah

kakak kandung Adinda. Dialah yang memberi sebuah ikat kepala kepada
Adinda,” Surati menjelaskan kembali, agar Raden Banterang luluh hatinya.
Namun, Raden Banterang tetap percaya bahwa istrinya akan mencelakakan
dirinya. “Kakanda suamiku! Bukalah hati dan perasaan Kakanda! Adinda rela
mati demi keselamatan Kakanda. Tetapi berilah kesempatan kepada Adinda
untuk menceritakan perihal pertemuan Adinda dengan kakak kandung
Adinda bernama Rupaksa,” ucap Surati mengingatkan.
“Kakak Adindalah yang akan membunuh kakanda! Adinda diminati bantuan,
tetapi Adinda tolah!”. Mendengar hal tersebut , hati Raden Banterang tidak
cair bahkan menganggap istrinya berbohong.. “Kakanda ! Jika air sungai ini
menjadi bening dan harum baunya, berarti Adinda tidak bersalah! Tetapi, jika
tetap keruh dan bau busuk, berarti Adinda bersalah!” seru Surati. Raden
Banterang menganggap ucapan istrinya itu mengada-ada. Maka, Raden
Banterang

segera

menghunus

keris

yang

terselip

di

pinggangnya.

Bersamaan itu pula, Surati melompat ke tengah sungai lalu menghilang.
Tidak berapa lama, terjadi sebuah keajaiban. Bau nan harum merebak di
sekitar sungai. Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru dengan suara
gemetar. “Istriku tidak berdosa! Air kali ini harum baunya!” Betapa
menyesalnya

Raden

Banterang.

Ia

meratapi

kematian

istrinya,

dan

menyesali kebodohannya. Namun sudah terlambat.
Sejak itu, sungai menjadi harum baunya. Dalam bahasa Jawa disebut
Banyuwangi. Banyu artinya air dan wangi artinya harum. Nama Banyuwangi
kemudian menjadi nama kota Banyuwangi.

Batu Menangis (Legenda dari
Kalimantan)
Darmi memandangi wajahnya lewat cermin yang tergantung di dinding kamarnya.
“Ah aku memang jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di
gubuk reot seperti ini.”
Matanya memandang ke sekeliling ruangan.
Hanya selembar kasur yang tidak empuk tempat dia tidur yang mengisi ruangan itu. Tidak ada
meja hias yang sangat dia dambakan. Bahkan lemari untuk pakaian pun hanya sebuah peti bekas.
Darmi mengeluh dalam hati.
Darmi memang bukan anak orang kaya. Ibunya hanya seorang janda miskin. Untuk menghidupi
mereka berdua, ibunya bekerja membanting tulang dari pagi hingga malam. Pekerjaan apapun
dia lakukan. Mencari kayu bakar di hutan, menyabit rumput untuk pakan kambing tetangga,
mencucikan baju orang lain, apapun dia kerjakan untuk bisa memperoleh upah. Sebaliknya
Darmi adalah anak yang manja. Sedikit pun dia tidak iba melihat ibunya bekerja keras sepanjang
hari. Bahkan dengan teganya dia memaksa ibunya untuk memberinya uang jika ada sesuatu yang
ingin dibelinya.
“Ibu, ayo berikan uang padaku! Besok akan ada pesta di desa sebelah, aku harus pergi dengan
memakai baju baru. Bajuku sudah usang semua,” katanya.
“Nak, kemarin kan kau baru beli baju baru. Pakailah yang itu saja. Lagipula uang ibu hanya
cukup untuk makan kita dua hari. Nanti kalau kau pakai untuk membeli baju, kita tidak bisa
makan nak!” kata ibunya mengiba.
“Alah itu kan urusan ibu buat cari uang lagi. Baju yang kemarin itu kan sudah aku pakai, malu
dong pakai baju yang itu-itu lagi. Nanti apa kata orang! Sudahlah ayo berikan uangnya
sekarang!” kata Darmi dengan kasar.
Terpaksa sang ibu memberikan uang yang diminta anaknya itu. Dia memang sangat sayang pada
anak semata wayangnya itu.
Begitulah, hari demi hari sang ibu semakin tua dan menderita. Sementara Darmi yang dikaruniai
wajah yang cantik semakin boros. Kerjaannya hanya menghabiskan uang untuk membeli bajubaju bagus, alat-alat kosmetik yang mahal dan pergi ke pesta-pesta untuk memamerkan
kecantikannya.
Suatu hari Darmi meminta ibunya untuk membelikannya bedak di pasar. Tapi ibunya tidak tahu
bedak apa yang dimaksud.
“Sebaiknya kau ikut saja ibu ke pasar, jadi kau bisa memilih sendiri,” kata ibunya.
“Ih, aku malu berjalan bersama ibu. Apa kata orang nanti. Darmi yang jelita berjalan dengan
seorang nenek yang kumuh,” katanya sambil mencibir.

“Ya sudah kalau kau malu berjalan bersamaku. Ibu akan berjalan di belakangmu,” ujar ibunya
dengan sedih.
“Baiklah, ibu janji ya! Selama perjalanan ibu tidak boleh berjalan di sampingku dan tidak boleh
berbicara padaku!” katanya.
Ibunya hanya memandang anaknya dengan sedih lalu mengiyakan.
Akhirnya mereka pun berjalan beriringan. Sangat ganjil kelihatannya. Darmi terlihat sangat
cantik dengan baju merah mudanya yang terlihat mahal dan dibelakangnya ibunya yang sudah
bungkuk memakai baju lusuh yang penuh tambalan. Di tengah jalan Darmi bertemu dengan
teman-temannya dari desa tetangga yang menyapanya.
“Hai Darmi, mau pergi kemana kau?” sapa mereka.
“Aku mau ke pasar,” jawab Darmi.
“Oh, siapa nenek yang di belakangmu itu? Ibumu?” tanya mereka.
“Oh bukan! Bukan!. Mana mungkin ibuku sejelek itu. Dia itu cuma pembantuku,” sahut Darmi
cepat-cepat.
Betapa hancur hati ibunya mendengar anak kesayangannya tidak mau mengakuinya sebagai
ibunya sendiri. Namun ditahannya rasa dukanya di dalam hati.
Kejadian itu berulang terus menerus sepanjang perjalanan mereka. Semakin lama hati si ibu
semakin hancur. Akhirnya dia tidak tahan lagi menahan kesedihannya. Sambil bercucuran air
mata dia menegur anaknya.
“Wahai anakku sebegitu malunyakah kau mengakui aku sebagai ibumu? Aku yang
melahirkanmu ke dunia ini. Apakah ini balasanmu pada ibumu yang menyayangimu?”
Darmi menoleh dan berkata, “Hah aku tidak minta dilahirkan oleh ibu yang miskin sepertimu.
Aku tidak pantas menjadi anak ibu. Lihatlah wajah ibu! Jelek, keriput dan lusuh! Ibu lebih pantas
jadi pembantuku daripada jadi ibuku!”
Usai mengucapkan kata-kata kasar tersebut Darmi dengan angkuh kembali meneruskan
langkahnya.
Ibunya Darmi sambil bercucuran air mata mengadukan dukanya kepada Tuhan. Wajahnya
menengadah ke langit dan dari mulutnya keluarlah kutukan, “Oh Tuhanku! Hamba tidak sanggup
lagi menahan rasa sedih di hatiku. Tolong hukumlah anak hamba yang durhaka. Berilah dia
hukuman yang setimpal!”
Tiba-tiba langit berubah mendung dan kilat menyambar-nyambar diiringi guntur yang
menggelegar. Darmi ketakutan dan hendak berlari ke arah ibunya. Namun dia merasa kakinya
begitu berat. Ketika dia memandang ke bawah dilihatnya kakinya telah menjadi batu, lalu kini
betisnya, pahanya dan terus naik ke atas. Darmi ketakutan, dia berteriak meminta pertolongan
pada ibunya. Tapi ibunya hanya memandangnya dengan berderai air mata.
“Ibu, tolong Darmi bu! Maafkan Darmi. Aku menyesal telah melukai hati ibu. Maafkan aku bu!
Tolong aku…” teriaknya. Ibu Darmi tidak tega melihat anaknya menjadi batu, tapi tidak ada
yang bisa dilakukannya. Nasi sudah menjadi bubur. Kutukan yang terucap tidak bisa ditarik

kembali. Akhirnya dia hanya bisa memeluk anaknya yang masih memohon ampun dan menangis
hingga akhirnya suaranya hilang dan seluruh tubuhnya menjadi batu.

Batu Gantung: Kisah Cinta yang Tak
Sampai
Kencan Sondang dan Togar kali ini sangat berbeda dan lebih istimewa dari biasanya. Bagaimana
tidak? Togar melamar dia saat mereka sedang berjalan-jalan ke Danau Toba. Kapal yang mereka
naiki mendekat pada batu gantung. Memang begitulah biasanya agar para wisatawan bisa
mengabadikan Batu Gantung yang melegenda itu di dalam kamera mereka.
Suasana kapal berisik karena para wisatawan di dalam kapal berlomba mengabadikan Batu
Gantung tersebut. Tiba-tiba Togar menarik tangan Sondang menuju moncong kapal seolah-olah
mereka ingin melakukan adegan titanic. Muka Sondang memerah saat Togar menggenggam erat
jemari Sondang dan menatapnya serius.
“Aku ngomongnya di sini saja yach?” Kata Togar.
“Apa?”
“Aku mau melamar kamu…” Kata Togar tanpa tedeng aling-aling. Sesaat waktu seperti berhenti,
kedua mata saling beradu. Angin di Danau Toba yang kencang menyerakkan rambut panjang
Sondang.
“Serius” Kata Togar meyakinkan Sondang. “Batu gantung ini akan menjadi saksi cinta kita.”
Sondang terharu dan menatap kearah batu gantung yang melegenda itu. Togar menunggu
jawaban dari Sondang tetapi Sondang masih tetap diam membisu tak tahu harus menjawab apa.
“Ayolah…” Togar memohon. Tiba-tiba Sondang mengangguk pelan dan disambut tawa bahagia
Togar sambil memeluk Sondang.
“Ini perjanjian kita!” Kata Togar sambil menggoyang-goyangkan telunjuknya kearah wajah
Sondang seperti takut dikhianati Sondang suatu saat. Tangannya merogoh isi kantungnya dan
mengeluarkan sebuah cincin sebagai tanda cintanya membuat Sondang tak mampu menahan
senyum. Togar menyarungkan cincin itu ke jemari Sondang sambil berkata. “Barangsiapa
melanggar perjanjian kita. Nasibnya akan sama seperti batu gantung itu.” Kata Togar horor
membuat Sondang takut.
Tiba-tiba kapal bergerak membuat Sondang dan Togar goyah. Kapal akan menuju pinggiran
Danau Toba. Togar menarik tangan Sondang kembali ke dalam kapal. Hari itu mereka kembali
ke Medan.
Beberapa minggu kemudian Sondang sudah melakukan aktifitas seperti biasa di perkotaan
Medan. Hari-harinya yang sibuk pun semakin sibuk karena mempersiapka pernikahannya yang
bisa dihitung hari. Sondang dan keluarganya sangat bahagia atas lamaran Togar yang memang
Togar adalah orang yang diidam-idamkan Mamaknya untuk jadi menantu.
Terik mentari membakar kulitnya saat dia harus melangkah pulang ke rumah sehabis dari kantor.
Di rumah dia disambut Mamaknya yang duduk termenung.
“Kenapa, Mak?” Tanya Sondang sambil mengerutkan keningnya.
“Kok perasaan Mamak tidak enak yah?” Wajah Mamaknya seperti menyimpan se-ton beban.

“Ah, sudahlah Mak. Jangan fikir macam-macam.” Sondang menepuk pundak Mamaknya sambil
masuk ke kamar untuk ganti baju.
Malam harinya, Sondang dan Mamaknya baru saja pulang berjalan-jalan. Itu dilakukan Sondang
untuk menyenangkan hati Mamaknya yang sedang galau. Mereka sudah disambut Togar yang
berdiri di teras rumahnya.
“Masuk ke rumah, yuk!” Kata Sondang. Tetapi Togar menggeleng dan mengisyaratkan untuk
tetap di teras saja. Mamaknya masuk duluan.
“Ada apa?” Tanya Sondang karena melihat seperti ada hal yang serius ingin disampaikan.
“Maaf…” Kata Togar pelan.
“Maaf kenapa?” Wajah Sondang seperti ketakutan dan berusaha mengikuti gerakan wajah Togar
yang menunduk. Sondang menunggu jawaban tetapi Togar dia membisu. “Hei!” Sondang
mengguncang-guncang tubuh Togar. Habis usaha Sondang memaksa Togar bicara sampai
Sondang bersimpuh di bawah kaki Togar. Sondang menutupi wajahnya yang menangis.
“Kumohon bicaralah! Aku takut sekali.” Tangis Sondang pelan agar tidak kedengaran
Mamaknya di rumah.
Akhirnya Togar kasihan juga lalu membulatkan tekad untuk berbicara serius pada Sondang
walau itu akan menyakitkan hati Sondang dan dia. Togar membantu Sondang berdiri dan
mengusap airmata di pipi Sondang.
“Maaf telah membuatmu ketakutan.” Akhirnya Togar berbicara. “Per…pernikahan kita
batal…”
BLAAARRRR!!! Bagai petir menyambar membuat hati Sondang hancur berkeping-keping dan
tak terselamatkan lagi. Spontan Sondang yang emosi mendaratkan tangannya ke pipi Togar.
PLAK!!!
“Kenapa? Kenapa kau langgar janji kita!!!” Isak Sondang.
“Maaf… Aku sudah… punya calon yang lain.” Togar terbata. Sekejap kemudian Sondang
mencampakkan cincin pemberiannya ke wajah Togar. Sondang berlari masuk ke rumahnya
menahan tangisan apalagi saat dia berpapasan dengan Mamaknya. Hati Sondang seperti
dihempaskan dengan kerasnya dari ketinggian kebahagiaannya yang terlebih dahulu muncul.
Keesokan harinya mata Sondang nanar memandangi batu gantung yang ada di depannya.
Wisatawan yang lain sibuk untuk foto-foto tetapi Sondang terpana seorang diri. Hari itu dia tidak
bekerja setelah kepatahan hatinya yang diperbuat seseorang yang sangat dia cintai.
Tiba-tiba bergema kembali dalam ingatannya suara Togar yang lantang menyatakan.
“Barangsiapa melanggar perjanjian kita. Nasibnya akan sama seperti batu gantung itu.”
Sondang tak tahan membendung airmata. Ternyata yang menghianati perjanjian itu adalah Togar
sendiri. Dia makin sedih bila pulang ke Medan dan tanggal pernikahan sudah dekat. Pada hari H
pasti para undangan akan datang dan melihat tak ada pernikahan sama sekali. “Aku harus jawab
apa?” Gumamnya lirih.
Matanya melirik air danau toba yang kelam. Menandakan sangat dalam. Sondang berjalan gontai
mendekati pinggir kapal. Dan memandangi bayangannya di air itu walau tidak jelas karena
ombak.
“Aku ga sanggup… Pun aku ga sanggup menanggung malu…” Mata Sondang terpejam
membiarkan tubuhnya terjatuh tetapi tangannya ditahan seseorang yang ternyata sedari tadi telah

memperhatikannya. Sondang terkejut melihat sosok di depannya adalah seorang nenek tua
penjual kacang.
“Jangan, Nak. Kau masih muda dan cantik pula.” Kata Nenek itu sambil memeluk Sondang
yang galau. Beberapa saat kemudian Sondang dan Nenek penjual kacang sudah ada di daratan
tepatnya di terminal menunggu bus ke kota Medan. Sondang hanya bisa tersenyum malu
mengingat kebodohannya.
“Kalau dia pergi kabur. Berarti dia bukan temanmu, sama seperti aku dulu saat harus
keguguran. Aku galau dan hampir bunuh diri. Oppung dolimu bilang bahwa bayi itu tidak mau
berteman dengan kita makanya dia kabur.” Nenek yang tak memiliki anak itu mengingat masa
lalunya.
“Iya, Pung.” Kata Sondang pelan.
“Kalau kau malu menjawab para undangan nanti. Oppung harap kau kuat yah? Berdoa pada
yang di atas.” Nenek itu mengelus rambutnya lembut. Sebentar kemudian Sondang
melangkahkan kakinya ke dalam bus dan melambaikan tangan pada si nenek baik tadi.
Getir memang kehidupannya apalagi saat para undangan menunggu di sopo tak ada pesta,
bahkan ada yang mengirimi bunga papan yang mengucapkan “Selamat Bahagia” padahal
kenyataanya pernikahan itu tak ada. Bahkan di lain tempat Togar sedang bersanding dengan
perempuan lain. Kasih tak sampai ini membuat Sondang terpukul. Janji yang gampang
terlontarkan membuat seseorang tak malu untuk mengingkarinya di kemudian hari. Namun hidup
tetap berjalan, sudah dipasrahkan Sondang lelaku itu untuk wanita lain. Pun dia sudah
menghapus segala dendam yang ada.

TANGKUBAN PERAHU
Pada jaman dahulu, tersebutlah kisah seorang puteri raja di Jawa Barat bernama
Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama
Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar berburu. Ia berburu dengan ditemani
oleh Tumang, anjing kesayangan istana. Sangkuriang tidak tahu, bahwa anjing itu
adalah titisan dewa dan juga bapaknya.
Pada suatu hari Tumang tidak mau mengikuti perintahnya untuk mengejar hewan
buruan. Maka anjing tersebut diusirnya ke dalam hutan. Ketika kembali ke istana,
Sangkuriang menceritakan kejadian itu pada ibunya. Bukan main marahnya Dayang
Sumbi begitu mendengar cerita itu. Tanpa sengaja ia memukul kepala Sangkuriang
dengan sendok nasi yang dipegangnya. Sangkuriang terluka. Ia sangat kecewa dan
pergi mengembara.
Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali dirinya. Ia selalu berdoa dan
sangat tekun bertapa. Pada suatu ketika, para dewa memberinya sebuah hadiah. Ia
akan selamanya muda dan memiliki kecantikan abadi. Setelah bertahun-tahun
mengembara, Sangkuriang akhirnya berniat untuk kembali ke tanah airnya.
Sesampainya di sana, kerajaan itu sudah berubah total. Disana dijumpainya
seorang gadis jelita, yang tak lain adalah Dayang Sumbi. Karena terpesona oleh
kecantikan wanita tersebut, Sangkuriang melamarnya. Oleh karena pemuda itu
sangat tampan, Dayang Sumbi pun sangat terpesona padanya.
Pada suatu hari Sangkuriang minta pamit untuk berburu. Ia minta tolong Dayang
Sumbi untuk merapikan ikat kepalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi ketika
melihat bekas luka di kepala calon suaminya. Luka itu persis seperti luka anaknya
yang telah pergi merantau. Setelah lama diperhatikannya, ternyata wajah pemuda
itu sangat mirip dengan wajah anaknya. Ia menjadi sangat ketakutan. Maka
kemudian ia mencari daya upaya untuk menggagalkan proses peminangan itu. Ia
mengajukan dua buah syarat. Pertama, ia meminta pemuda itu untuk membendung
sungai Citarum. Dan kedua, ia minta Sangkuriang untuk membuat sebuah sampan
besar untuk menyeberang sungai itu. Kedua syarat itu harus sudah dipenuhi
sebelum fajar menyingsing.
Malam itu Sangkuriang melakukan tapa. Dengan kesaktiannya ia mengerahkan
makhluk-makhluk gaib untuk membantu menyelesaikan pekerjaan itu. Dayang
Sumbi pun diam-diam mengintip pekerjaan tersebut. Begitu pekerjaan itu hampir
selesai, Dayang Sumbi memerintahkan pasukannya untuk menggelar kain sutra
merah di sebelah timur kota. Ketika menyaksikan warna memerah di timur kota,

Sangkuriang mengira hari sudah menjelang pagi. Ia pun menghentikan
pekerjaannya. Ia sangat marah oleh karena itu berarti ia tidak dapat memenuhi
syarat yang diminta Dayang Sumbi.Dengan kekuatannya, ia menjebol bendungan
yang dibuatnya. Terjadilah banjir besar melanda seluruh kota. Ia pun kemudian
menendang sampan besar yang dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh
menjadi sebuah gunung yang bernama "Tangkuban Perahu."