NUKLIR SEBAGAI BASIS KEENERGIAN MARKAS

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Energi Nuklir 2015
Denpasar, 15-16 Oktober 2015

ISSN: 2355-7524

NUKLIR SEBAGAI BASIS KEENERGIAN MARKAS KOMANDO UTAMA
ARMADA ANGKATAN LAUT SORONG
I Wayan Ngarayana
Pusat Standardisasi & Mutu Nuklir, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Serpong, 15314
Email: ngarayana@batan.go.id

ABSTRAK
NUKLIR SEBAGAI BASIS KEENERGIAN MARKAS KOMANDO UTAMA ARMADA
ANGKATAN LAUT SORONG. Kajian ini bertujuan melihat efektivitas penggunaan nuklir jika
digunakan untuk mendukung pembangunan fasilitas komando armada angkatan laut baru
yang direncanakan terletak di Sorong, Papua Barat. Dalam hal ini nuklir dapat digunakan
sebagai energi final untuk sistem propulsi kapal perang, dan sebagai energi primer guna
membangkitkan listrik dan/atau hidrogen. Analisis dalam penelitian ini dilakukan secara
teknoekonomi dengan basis data yang dikumpulkan dengan metode secondary analysis dan
official statistics. Perhitungan keekonomian selanjutnya dilakukan dengan mengikuti asumsiasumsi tertentu guna membandingkan antara keekonomian penggunaan sistem keenergian
berbasis nuklir terhadap sistem keenergian berbasis fosil. Hasil kajian ini menunjukkan

bahwa energi nuklir layak diterapkan untuk mendukung operasional komando armada
angkatan laut yang akan dibangun di Sorong.
Kata kunci: Angkatan Laut, Pusat Komando, Keekonomian, Energi Nuklir, Hidrogen.
ABSTRACT
NUCLEAR AS ENERGY BASIS OF THE NAVY MAIN HEADQUARTERS COMMAND IN
SORONG. This research examines the effectiveness of the use of nuclear energy to support
the new Indonesian navy central command facilities that planned to be located in Sorong,
West Papua. In this case nuclear can be used as final energy for warship propulsion system,
and as a primary energy to generate electricity and/or hydrogen. The analysis in this
research is conducted by cost-effectiveness method research design, which based on data
obtained from secondary analysis and official statistics. Calculation of cost-effectiveness is
done by following certain assumption for comparing between the economical use of nuclearbased energy system to fossil-based energy system. The results of this research indicate
that nuclear energy is reasonable to support the operation of that new navy central
command facilities.
Key words: Navy, Central Command, Cost-effectiveness, Nuclear Energy, Hydrogen.

PENDAHULUAN
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) menjadi salah satu institusi
pengaman laut hanya dapat melakukan tugasnya secara optimal jika didukung oleh berbagai
fasilitas yang memadai. Saat ini Markas Komando Utama Angkatan Laut (Koarmabal) hanya

terpusat di Jakarta (Markas Komando Utama Wilayah Barat) dan Surabaya (Markas
Komando Utama Wilayah Timur). Kementrian Pertahanan sedang melakukan kajian dalam
upaya desentralisasi kekuatan dengan melakukan restrukturisasi Koarmabal menjadi tiga,
yaitu Markas Komando Utama Bagian Barat (Koarmabar), Bagian Tengah (Koarmateng) dan
Bagian Timur (Koarmatim)[1] . Khusus untuk Koarmatim direncanakan akan ditempatkan di
wilayah Sorong, Papua Barat [1] .
Secara demografi, pertumbuhan penduduk Kabupaten Sorong, Kota Sorong dan
Kabupaten Sorong Selatan tercatat cukup tinggi yaitu sebesar 4,75%. Laju pertumbuhan
penduduk di Sorong tercatat lebih tinggi dari pada pertumbuhan penduduk secara
keseluruhan di Papua Barat yang mencapai 3,69% [2] .
Peningkatan jumlah penduduk di Sorong belum diiringi dengan pertumbuhan
penyediaan energi yang optimal. Sampai dengan tahun 2012, Sorong dan kabupaten
lainnya di Papua Barat yang memiliki populasi penduduk 789.013 orang baru dipasok energi
listrik sebesar 64 MW [3] . Artinya konsumsi listrik per kapita di Papua Barat baru mencapai
292 kWh per kapita. Konsumsi listrik di Papua Barat dan juga di Sorong khususnya masih
sangat rendah jika dibandingkan dengan konsumsi listrik per kapita Indonesia yang ada di
angka 876 kWh[4] . Padahal konsumsi listrik Indonesia tergolong sangat rendah dibandingkan

1


Prosiding Seminar Nasional Teknologi Energi Nuklir 2015
Denpasar, 15-16 Oktober 2015

ISSN: 2355-7524

dengan Malaysia yang mencapai 4.246 kWh per kapita dan Singapura yang mencapai 8.404
kWh per kapita[5] .
Menurut data yang dipublikasikan oleh Dinas Pertambangan dan Lingkungan Hidup
Kabupaten Sorong, untuk tahun 2014 Papua Barat mampu memproduksi minyak bumi
sebesar 3,32 Milyar Barel dan gas bumi sekitar 1.249 MMSCFD yang dihasilkan dari 3
perusahaan, yaitu Pertamina, Petrochina dan British Petroleum [6] . Sorong juga menyimpan
potensi batubara yang cukup besar dengan total perkiraan potensi mencapai 13 juta ton[7] .
Papua Barat sendiri memiliki potensi batubara sebanyak 218 juta ton [7] . Sorong, dan
Manokwari terindikasi sumber energi baru dan terbarukan berupa 3 titik panas bumi dengan
potensi sebesar 75 MW, potensi biomassa sebesar 150 MW, potensi gelombang laut
sebesar 12 MW dan potensi energi air 22.350 MW [8] . Sorong juga tercatat memiliki potensi
energi surya, namun relatif kecil akibat lingkungan yang sering kali berawan, sedangkan
untuk energi angin kurang menjanjikan[8] . Meski demikian, upaya pemenuhan kebutuhan
energi yang sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk dan laju pertumbuhan ekonominya
tidaklah mudah. Topologi wilayah merupakan salah satu penghambat utama dalam usaha

eksploitasi sumber energi tersebut. Kontur wilayah Papua yang berbukit mengakibatkan
beban biaya pembangunan infrastruktur menjadi sangat besar.
Pembangunan Koarmatim akan memerlukan pasokan energi yang besar. Pasokan
energi dibutuhkan untuk operasional administratif, kebutuhan personal para prajurit , staf
pendukung, dan operasional alutsista. Pembangunan Koarmatim harus mempertimbangkan
logistik penyediaan energi dengan baik sehingga dapat menjamin keberlangsungan pasokan
energinya. Kondisi geografis Indonesia bagian timur yang didominasi oleh perairan laut
dalam, jumlah infrastruktur penunjang yang terbatas dan berbagai parameter-parameter unik
lainnya juga harus dijadikan pertimbangan dalam pembangunan basis keenergian. Oleh
karena itu, kajian ini dilakukan untuk menganalisis sistem keenergian yang mungkin
diterapkan dalam usaha mewujudkan suplay chain energi optimal bagi usaha pembangunan
dan operasi Koarmatim di Sorong dengan memasukkan opsi energi nuklir di dalamnya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan secara teknoekonomi dengan menekankan pada aspek
ketahanan energi (energy security). Kajian teknoekonomi melibatkan data yang dikumpulkan
dari pihak ketiga dengan metode secondary analysis dan official statistics. Perhitungan
teknoekonomi hanya dibatasi pada perbandingan dua sistem keenergian yaitu sistem
keenergian berbasis nuklir dan sistem keenergian berbasis fosil. Sistem keenergian
operasional armada angkatan laut yang paling vital terletak pada supply chain bahan bakar
sistem alustsista (alat utama sistem pertahanan) yang meliputi kapal perang, kapal patrol i,

sistem persenjataan, sistem komunikasi dan radar. Sistem keenergian untuk seluruh
komponen ini tidak boleh terganggu untuk meningkatkan daya tangkal baik dalam bidang
pertahanan maupun pengamanan laut.
Pada saat ini, sistem keenergian untuk operasional komponen utama menggunakan
energi primer dalam bentuk bahan bakar minyak. Dengan cadangan minyak bumi Indonesia
yang menipis maka kebutuhannya harus dipenuhi dengan impor. Di sisi lain juga terjadi
pergeseran teknologi alutsista yang mengarah pada kebutuhan energi yang semakin besar
yang di beberapa negara maju mengarah pada teknologi hidrogen fuel cell. Oleh karena itu
perhitungan perbandingan teknoekonomi dilakukan dengan membandingkan siklus hidup
(life cycle) sistem keenergian yang menggunakan nuklir terhadap yang berbasis fosil, yaitu
minyak bumi.
ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA
Kebutuhan Energi Markas Komando Armada
Dalam hal ini, kebutuhan energi dapat dibedakan dalam beberapa bagian yaitu
kebutuhan energi listrik untuk mendukung kegiatan administratif pada gedung administrasi
dan perumahan dinas, kebutuhan bahan bakar kendaraan dinas, kebutuhan listrik sistem
radar dan komunikasi, serta kebutuhan bahan bakar operasional kapal perang dan patroli.
Sedangkan dilihat dari jenisnya, energi final yang dibutuhkan yaitu listrik, Marine Fuel Oil
(MFO), High Speed Diesel (HSD) dan bensin, tergantung dari jenis alutsista-nya. Tantangan
utama dalam penyediaan energi instalasi militer adalah menjaga supply chain berjalan tetap

dan lancar, baik pada masa damai, kondisi perang maupun bencana alam. Beban tugas
kegiatan logistik energi semakin berat jika jarak supply chain semakin jauh.

2

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Energi Nuklir 2015
Denpasar, 15-16 Oktober 2015

ISSN: 2355-7524

Estimasi kebutuhan listrik dalam mendukung kegiatan administratif dan operasi
pada Koarmatim di Sorong dapat diperkirakan dari tren energi listrik yang dibutuhkan pada
Koarmabal yang sudah ada saat ini. Menurut Kuathan Departemen Pertahanan,
pembangunan armada baru harus didukung oleh pasokan listrik ≥ 1000 kVA untuk setiap
gedungnya[1] . Sehingga jika terdapat 10 gedung dan instalasi, maka diperlukan daya sekitar
10 MW.
Untuk kebutuhan MFO, HSD dan bensin yang harus dialokasikan sangat
bergantung dari jumlah kendaraan dan alutsista yang akan dioperasikan. MFO diperlukan
untuk bahan bakar kapal perang yang umumnya berukuran besar. HSD atau solar,
digunakan untuk kapal patroli berukuran kecil dan juga kendaraan tempur yang berbasis

mesin diesel. Sedangkan bensin hanya diperlukan untuk kendaraan transportasi pendukung
seperti mobil dinas, dan sepeda motor para personel. TNI AL saat ini mengoperasikan 147
buah KRI, 70 buah KAL, 2 unit kapal selam dan 293 kapal patroli keamanan laut [1] .
Sedangkan menurut Buku Putih Pertahanan, Indonesia harus mencapai standar kekuatan
pokok minimum dengan dukungan minimal 274 KRI[9] . Hanya saja dengan kondisi
perekonomian Negara, Kemhan hanya menargetkan tercapainya Minimum Essentials Force
(MEF) yang terdiri dari 190 KRI pada 2024[10] . Dengan asumsi markas komando armada di
Sorong akan beroperasi setelah tahun 2024, dan dengan semua kapal perang ini
terdistribusi merata pada tiga armada serta logistik bahan bakarnya terpusat pada markas
komando armada masing-masing, maka satu armada akan dibebani dengan tanggung
jawab penyediaan bahan bakar untuk sekitar 63 KRI, 30 KAL, 1 Kapal Selam dan 125 kapal
patroli. Data Kemenhan menyatakan bahwa satu buah KRI berukuran > 100 gross ton
menghabiskan 300 kilo liter dan 93 kilo liter (kapal kecil) selama 7 hari operasi [1] . Dengan
asumsi semua kapal perang serta kapal patroli mengkonsumsi bahan bakar dengan
sejumlah tersebut di atas dan setiap kapal dioperasikan efektif selama 6 bulan dalam 1
tahun, maka 1 armada akan memerlukan pasokan bahan bakar sekitar 676, 8 juta liter
bahan bakar untuk KRI, KAL dan kapal selam, serta 280 juta liter bahan bakar untuk kapal
patroli. Jika diasumsikan dalam operasionalnya diperlukan 300 buah kendaraan dinas
dengan bahan bakar yang dibatasi hanya 10 liter bensin per hari, maka dalam setahun juga
akan diperlukan sekitar 1 juta liter.

Keterbatasan Energi Fosil
Permasalahan yang dihadapi Indonesia adalah tata kelola perminyakan yang tidak
efisien sehingga menyebabkan semakin menipisnya produksi migas dalam negeri dan pada
akhirnya memicu peningkatan impor. Peningkatan impor minyak bumi secara langsung
berpengaruh terhadap kondisi anggaran keuangan Negara. Dengan anggaran dan pasokan
bahan bakar terbatas, Purnomo Yusgiantoro menyatakan bahwa hanya 40% alutsista TNI
yang dapat dioperasikan, padahal pada tahun 2013 TNI juga tercatat menanggung beban
hutang bahan bakar pada Pertamina sebesar Rp. 8 T[11] .
Usaha jangka pendek memecahkan masalah kekurangan bahan bakar alutsista
tentu saja dengan meningkatkan anggaran bahan bakar. Hanya saja anggaran bukan satusatunya parameter yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. BPPT
memperkirakan cadangan produksi minyak Indonesia tinggal 12 tahun lagi sehingga akan
meningkatkan impor bahan bakar[12] . Ketergantungan pada impor berbahaya dari segi
logistik militer, dan juga membebani devisa negara.
Posisi Sorong cukup jauh dari kilang minyak yang ada. Posisinya tersebut membuat
logistik penyediaan bahan bakar menjadi panjang sehingga kurang ekonomis. Kondisi
tersebut juga memiliki potensi gangguan yang lebih besar jika terjadi perang. Karena itu
perlu digagas terobosan baru dalam menyelesaikan masalah keenergian untuk
pembangunan armada baru tersebut.
Nuklir Sebagai Opsi Sumber Energi
Pemanfaatan nuklir sebagai senjata dalam bentuk bom atom adalah yang paling

dikenal luas oleh masyarakat dunia. Namun, faktanya energi nuklir untuk militer tidak hanya
dimanfaatkan sebagai senjata. Terdapat banyak aplikasi teknologi nuklir yang diterapkan
untuk mendukung operasi militer guna mewujudkan pertahanan negara yang handal. Salah
satu pemanfaatan energi nuklir untuk pertahanan sebagaimana selaras dengan topik
penelitian ini adalah pemanfaatan energi nuklir untuk sistem keenergian dalam kapal perang
dan juga pada fasilitas militer[13] .

3

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Energi Nuklir 2015
Denpasar, 15-16 Oktober 2015

ISSN: 2355-7524

Penggunaan nuklir sebagai sumber energi dalam militer pertama kali diterapkan
oleh Amerika Serikat dalam bentuk sistem propulsi untuk kapal selam nuklir Nautilus [14] .
Dalam perkembangannya, penggunaan nuklir tidak hanya sebatas kapal selam, tetapi juga
kapal permukaan seperti untuk kapal induk dan kapal penjelajah. Dari 470 kapal perang
nuklir yang pernah diproduksi di dunia, Amerika Serikat merupakan negara yang memiliki
kapal perang nuklir terbanyak, yang kemudian diikuti Rusia, Inggris, Prancis, China dan juga

India[14] .
Selain untuk sistem propulsi, energi nuklir juga telah dikembangkan untuk aspek lain
dalam dunia militer, seperti misalnya untuk menghasilkan listrik, uji material, pengembangan
aerospace, dan juga untuk memproduksi hidrogen. Hidrogen merupakan energy carrier
masa depan yang sedang marak dikembangkan oleh negara-negara maju untuk
kepentingan sipil dan militernya. Hidrogen dan teknologi fuel cell dianggap sebagai pilihan
paling menarik pasca era energi fosil [15] . Nuklir dan hidrogen menjadi pilihan yang paling
menjanjikan karena alutsista masa depan seperti sistem radar, senjata laser dan
electromagnetic rail gun menuntut kebutuhan daya yang diprediksi mencapai 20-30 MW
pada tahun 2020 ke atas [16] . Oleh karena itu, secara garis besar sistem keenergian nuklir
untuk militer dapat diarahkan untuk sumber daya propulsi atau memproduksi listrik dan/atau
hidrogen. Energi sisa dari propulsi nuklir pada saat kapal perang nuklir tidak dioperasikan
atau pada saat beban dayanya tidak digunakan secara optimal juga dapat di-bypass untuk
menghasilkan listrik dan/atau hidrogen[17] .
Perencanaan pembangunan Koarmatim di sorong dapat mengoptimalkan setiap
opsi pilihan sistem keenergian nuklir yang ada. Reaktor nuklir dapat dibangun secara khusus
untuk menghasilkan listrik dan/atau hidrogen guna mencukupi kebutuhan listrik pusat
komando dan juga penyiapan infrastruktur untuk mendukung alutsista masa depan. Selain
itu, pengadaan kapal perang nuklir baik berupa kapal selam dan/atau kapal permukaan juga
cukup memungkinkan. Kelebihan daya dari kapal perang nuklir tersebut selanjutnya juga

dapat di-baypas untuk memasok kebutuhan listrik markas komando dan/atau memproduksi
hidrogen.
Keekonomian Kapal Perang Nuklir
Pembangunan kapal perang nuklir memerlukan investasi teknologi dan industri
pendukung yang jauh lebih besar dari pada untuk kapal perang konvensional. Biaya kapital
suatu kapal perang akan menjadi semakin membengkak jika suatu tipe atau kelas kapal
hanya diproduksi dalam unit terbatas, bukan produk massal.
Biaya tetap pengoperasian dan pemeliharaan adalah biaya yang harus dikeluarkan
secara berkala dalam kurun waktu operasional kapal. Biaya ini antara lain mencakup biaya
pemeliharaan rutin, biaya pegawai atau operatornya dan juga biaya administrasi. Biaya
operasi dan pemeliharaan antara kapal perang konvensional dan kapal perang nuklir
memiliki sedikit perbedaan. Pengoperasian kapal perang nuklir memerlukan personel yang
harus tersertifikasi khusus. Sehingga umumnya biaya operasional dan pemeliharaan kapal
perang nuklir juga cenderung lebih tinggi.
Kapal perang nuklir yang didesain dengan bahan bakar Uranium yang diperkaya
mencapai 80% dapat beroperasi tanpa proses refueling sampai dengan 30 tahun.
Sedangkan jika digunakan bahan bakar berpengayaan sekitar 20%, maka kapal perang
tersebut dapat beroperasi tanpa refueling sekitar 5 tahun[17] . Terlepas dari pengayaan tinggi
atau rendah yang menyebabkan lamanya waktu refueling kapal perang nuklir, pada
kenyataannya biaya bahan bakar nuklir tidak berpengaruh signifikan terhadap total biaya
operasional kapal, sehingga dalam banyak asumsi perhitungan biaya bahan bakar biasanya
dimasukkan ke dalam biaya kapital.
Hal yang berbeda terjadi pada kapal perang konvensional. Komponen biaya
terbesar pengoperasiannya biasanya terletak pada biaya bahan bakar. Konsumsi bahan
bakar akan berfluktuasi sesuai dengan lama operasi, pengaturan kecepatan kapal, umur
mesin dan juga harga minyak dunia. Semakin lama kapal tersebut dioperasikan maka bahan
bakar yang diperlukan juga semakin banyak. Kondisi pengoperasian seperti proses
akselerasi serta tingkat kecepatan operasi kapal juga sangat berpengaruh. Kapal tua
dengan kondisi mesin yang sudah tidak optimal juga cenderung lebih boros bahan bakar.
Fluktuasi minyak dunia merupakan komponen yang paling berpengaruh pada biaya
operasional. Harga minyak dunia dari waktu ke waktu cenderung naik. Meski dalam siklus
harian dapat mengalami naik dan turun yang sangat berfluktuasi, namun secara makro
dalam rentang waktu panjang, harga minyak cenderung naik lebih dari 1% per tahun[18] .

4

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Energi Nuklir 2015
Denpasar, 15-16 Oktober 2015

ISSN: 2355-7524

Biaya lain yang perlu diperhitungkan adalah biaya variabel non bahan bakar, seperti
misalnya biaya untuk pelumas, bahan kimia, komponen fast move yang diperlukan secara
variabel yang biasanya mengikuti beban operasional.
Untuk menjamin sisa bahan bakar dan komponen reaktor kapal perang nuklir tidak
mencemari lingkungan, maka diperlukan proses dekomisioning khusus. Proses
dekomisioning kapal perang nuklir selalu lebih mahal dari pada proses dekomisioning kapal
perang konvensional. Biaya dekomisioning kapal perang nuklir bahkan dapat mencapai
puluhan kali lipat biaya kapal perang konvensional.
Dengan menggunakan asumsi seperti di atas serta dengan dukungan data dari
Jane’s Fighting Ship, US Congressional Budget Office, dan Kuathan Departemen
Pertahanan, selanjutnya dilakukan perhitungan perbandingan keekonomian kapal perang
nuklir terhadap kapal perang konvensional sehingga diperoleh hasil sebagaimana dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel - Perbandingan keekonomian kapal perang perang nuklir dan konvensional
Jenis

Tipe

Kapal
Selam

Type 209/1300 (Diesel)

Kapal
Induk
Destroyer

Amphibi
WASP
Amphibi
Whidbey
Island

Type
Los
Angeles
(nuklir)
USS John F. Kennedy
(Diesel-gas)
USS Nimitz (nuklir
DDG 51 Arleigh Burke
(Diesel)
DDG 51 Arleigh Burke
(nuklir)
Diesel
Nuklir
Diesel
Nuklir

Capital
Cost

Bahan
Bakar

Personel

360

228,93

400

-

150

1.138,93

1.100



508

10.

150

1.768

2.916

738

4.797

53

5.590

14.094

6.441
938,46

266,67



8.358
502,56

899
-

6.523
141,03

22.222
1.848,72

617,95

10,26

141,03

2.210,27

840
920
400
508,33

20
16,66

320
320
158,33
158,33

2.820
2900
1.241,66
1.649,99



1.441,03
1.240
1.640
525
966,67

420



158,33



Dekom

Lainnya

Total

CATATAN:
- ( ✪) biaya bahan bakar nuklir sudah tercakup dalam biaya kapital

- semua biaya dalam juta US$
- asumsi umur operasi efektif 40 tahun, kecuali kapal induk 50 tahun
- asumsi harga bahan bakar minyak US$ 1 per liter dan mengalami kenaikan 1% per tahun

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa secara keekonomian semua kapal perang
nuklir akan memakan biaya total yang jauh lebih besar dari kapal perang diesel
konvensional. Kapal selam tipe Los Angeles yang bertenaga nuklir hanya mampu menyaingi
keekonomian tipe 209/1300 jika harga minyak mengalami kenaikan sebesar 6,7% per tahun,
atau dengan skenario lain jika harga minyak dihitung flat pada harga US$ 4,56 per liter.
Sedangkan untuk kapal induk tipe Nimitz hanya akan dapat menyaingi tipe John F. Kennedy
yang konvensional jika harga minyak bumi naik mencapai 7,6% per tahun atau pada saat
harga minyak menjadi hampir 2 kali lipat setiap 10 tahun sekali. Untuk kapal jenis destroyer
bertenaga nuklir akan mencapai keekonomiannya jika terjadi kenaikan bahan bakar minyak
sebesar 3,4% per tahun. Sedangkan untuk tipe Amphibi kelas WASP dan Whidbey Island
nuklir sudah mampu menyaingi keekonomian tipe konvensionalnya jika terjadi kenaikan
harga minyak masing-masing 1,7% dan 4,7% per tahun.
Meski keekonomian kapal perang nuklir lebih mahal dari kapal perang konvensional,
namun Angkatan Laut Amerika Serikat lebih menyukai pengoperasian kapal perang nuklir
karena secara kualitatif memiliki keunggulan yang tidak dapat disaingi oleh kapal perang
berbahan bakar fosil [18] .
Kapal selam nuklir sangat disukai untuk operasi laut dalam dan area “blue ocean”
karena mampu beroperasi tanpa khawatir proses refueling. Kapal selam nuklir juga dapat
beroperasi dengan kecepatan yang mencapai 2 kali lipat kapal selam konvensional. Di
samping itu, kapal selam nuklir sama sekali tidak perlu muncul ke permukaan untuk
mengambil oksigen guna kebutuhan pembakaran mesin sebagaimana halnya kapal selam
konvensional. Kapal selam nuklir hanya perlu ke permukaan untuk tujuan pemenuhan
persediaan makanan para krunya.
Amerika Serikat juga secara perlahan meninggalkan teknologi kapal perang
permukaan konvensional dan menggantikannya dengan nuklir karena berbagai

5

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Energi Nuklir 2015
Denpasar, 15-16 Oktober 2015

ISSN: 2355-7524

keunggulannya[18] . Keunggulan-keunggulan yang tidak mampu ditandingi oleh kapal perang
permukaan konvensional antara lain kemampuan akselerasi, mempertahankan kecepatan
tinggi, menyediakan seluruh pasokan daya tanpa kendala untuk alutsista baru yang
memerlukan daya besar, dapat beroperasi secara instan, mampu mempertahankan posisi
dengan lebih baik saat lepas landas dan landing pesawat meski dalam cuaca buruk, dapat
menampung logistik lebih banyak, dan masih banyak kelebihan lain yang tidak dapat
ditandingi kapal perang konvensional.
Reaktor Nuklir Untuk Listrik dan Hidrogen
Salah satu reaktor nuklir yang bisa dikembangkan untuk menghasilkan listrik dan
juga hidrogen adalah Very High Thermal Reactor (VHTR). Menurut Financial Times
Deutschland, VHTR berdaya 2400 MWth mampu memproduksi listrik sekitar 216 MWe atau
memproduksi hidrogen dan oksigen dari proses hibrida sebesar masing-masing 580 ton dan
2320 ton per hari[19] . Pembangunan VHTR berdaya 2400 MWth memerlukan biaya
konstruksi dan dekomisioning sebesar US$ 3,34 milyar, biaya run test US$ 400 juta, biaya
operasi tetap US$ 32 juta, biaya operasional variabel sebesar US$ 95 juta dan biaya bahan
bakar sebesar US$ 129 juta selama 30 tahun masa operasi [19] .
Selanjutnya keekonomian produksi hidrogen/listrik dihitung berlandaskan pada
parameter di atas dan dengan asumsi dana pembangunan pabrik dianggap 100%
bersumber dari pinjaman bank; bank memberikan bunga flat sebesar 7,5% per tahun;
pembangunan memerlukan waktu 5 tahun dan pada saat konstruksi perus ahaan hanya
membayar bunga; dan pokok hutang dibayar secara bertahap secara flat selama 25 kali .
Harga hidrogen dicari dengan menyamakan Internal Rate of Return (IRR) terhadap
besarnya bunga bank. Kajian teknoekonomi dengan parameter tersebut memperlihatkan
bahwa proyek pembangunan pabrik hidrogen dengan VHTR layak dilakukan dengan harga
keekonomian hidrogen US$ 2,55/kg atau harga jual listrik US$ 0,093/kWh. Nilai jual listrik
dan hidrogen dari VHTR flat karena tidak mengalami fluktuasi harga bahan bakar dan juga
harga air sebagai feed stock -nya. Menurut data Departemen Energi Amerika Serikat, harga
hidrogen yang diproduksi dari proses steam reforming gas alam berbanding lurus dengan
harga gas [20] . Dengan memadukan data produksi hidrogen dari steam reforming tersebut
terhadap hasil perhitungan yang dilakukan, keekonomian hidrogen dari VHTR akan sudah
tercapai jika harga gas alam di atas US$ 9/MMBTU. Saat ini gas alam Indonesia yang
diekspor ke beberapa negara tujuan seperti China dan Jepang dihargai di atas US$
10/MMBTU, sehingga hal tersebut berarti produksi hidrogen dengan menggunakan nuklir
sebagai energi primernya sudah mencapai nilai keekonomian. Dilihat dari perbandingan
harga listriknya dengan harga listrik PLN (Mei 2015) yang berada di kisaran Rp. 1100 – Rp
1500 per kWh, VHTR juga menghasilkan listrik dengan harga yang kompetitif.
Alutsista serta Infrastruktur Pendukung Berbasis Hidrogen dan Listrik
Dengan harga listrik dari nuklir yang sangat kompetitif terhadap harga listrik PLN,
maka dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan nuklir sebagai energi primer guna memasok
kebutuhan listrik instalasi, alutsista dan juga infrastruktur pendukung Koarmatim sangat
memungkinkan dari sisi keekonomian.
Hanya saja, keekonomian untuk sistem keenergian yang melibatkan hidrogen
sebagai energy carrier-nya masih memerlukan proses perhitungan lebih lanjut.
Keekonomian sistem keenergian alutsista berbasis hidrogen tidak dapat disimpulkan hanya
dari harga hidrogen yang diproduksi, tetapi juga harus melihat komponen harga produksi,
operasional dan pemeliharaan alutsista berbasis hidrogen, serta keberadaan infrastruktur
pendukungnya. Secara umum keekonomian teknologi hydrogen fuel cell (H2FC) masih
terkendala pada beberapa hal, seperti permasalahan teknologi penyimpanan hidrogen, umur
membran fuel cell yang relatif singkat dan juga biaya produksi yang lebih mahal dari
teknologi konvensional [21] . Namun demikian, teknologi dan keekonomian H2FC mengalami
perkembangan yang sangat pesat dari tahun ke tahun. Keekonomian H2FC sudah
mencapai US$47/kW pada tahun 2012 dan ditargetkan akan melampaui angka US$ 30/kW
pada tahun 2017 untuk dapat lebih bersaing dengan teknologi mesin bakar [21] .
Dengan mengambil data keekonomian secara secondary analysis dan official
statistic, serta memadukannya dengan hasil perhitungan di atas, selanjutnya dapat dihitung
keekonomian keseluruhan sistem hidrogen fuel cell berbasis energi nuklir terhadap mesin
konvensional. Dalam hal ini digunakan tiga skenario, yaitu; yang pertama reaktor nuklir
VHTR digunakan untuk membangkitkan listrik dan selanjutnya listrik tersebut digunakan

6

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Energi Nuklir 2015
Denpasar, 15-16 Oktober 2015

ISSN: 2355-7524

dalam proses elektrolisis guna menghasilkan hidrogen; yang kedua, memanfaatkan listrik
yang dihasilkan dari suatu kapal perang nuklir saat kapal tersebut bersandar di dermaga
atau pada saat beroperasi dengan daya minimal; dan ketiga hidrogen dihasilkan dengan
proses hibrida dari reaktor VHTR sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya.
Dalam melakukan perhitungan keekonomian ini digunakan rumusan �� . %���� =
. . �, dengan Wt adalah daya total mesin, (%load) adalah persentase beban daya rerata
operasional,
adalah efisiensi mesin, δ adalah densitas bahan bakar dan f adalah jumlah
bahan bakar yang diperlukan. Menurut data dari Adamson, pada tahun 2005 mesin diesel
memiliki parameter volume unit 1,1 ft3/kW, massa unit 27,2 lb/kW, efisiensi pada beban daya
50% sebesar 16%, dan harga per satuan daya sebesar US$ 1600/ Kwa[22] . Sedangkan nilai
parameter mesin berteknologi fuel cell pada tahun yang sama tercatat memiliki volume unit 2
ft3/kW, massa unit 40 lb/kW, efisiensi pada beban daya 50% sebesar 40%, dan harga
keekonomian US$ 1500/Kwa[22] . Perhitungan keekonomian selanjutnya dapat dilakukan
dengan menggunakan parameter nilai tersebut dan juga dengan asumsi bahwa mesin
dioperasikan 12 jam sehari, 365 hari dalam setahun, densitas energi bahan bakar minyak
sebesar 8,60 kWh/kg dengan massa jenis 0,84 kg/liter, harga minyak US$ 1/liter, serta
densitas energi hidrogen sebesar 33,9 kWh/kg dan dengan harga hidrogen mengikuti harga
hidrogen dari masing-masing hasil skenario. Perhitungan ini mengasumsikan bahwa tidak
akan ada kendala pada permasalahan densitas volumemetrik hidrogen.
Pada skenario pertama dan kedua, parameter harga proses elektrolisis mengikuti
data-data berikut. Harga peralatan elektrolisis berkapasitas 20 Nm 3/jam atau sekitar 1,7
kg/jam dengan efisiensi 25% sebesar US$ 99.000, reciprocating compressor berkapasitas
4,2 kg/jam seharga US$ 52.000, storage vessel berkapasitas 135 kg seharga US$ 200.000
dan tube trailer berkapasitas 300 kg seharga US$ 170.000 [15] . Sedangkan pada skenario
ketiga mengikuti parameter biaya dan hasil perhitungan produksi hidrogen dari VHTR
sebagaimana yang sudah disajikan di atas.
Perhitungan untuk skenario pertama dilakukan dengan asumsi perbandingan
alutsista bermesin bakar konvensional terhadap alutsista H2FC berdaya 169,2 kW dan
dioperasikan selama 30 tahun. Dengan asumsi tersebut diperoleh hasil bahwa alutsista
H2FC sama sekali belum ekonomis. Selisih biaya total antara keduanya bahkan mencapai
US$ 983.000.
Perhitungan skenario kedua dilakukan dengan mengkombinasikan parameter biaya
sebagaimana perbandingan biaya kapal perang nuklir dan konvensional di atas. Sedangkan
kapasitas mesin konvensional yang dibandingkan mengikuti jumlah hidrogen yang dapat
dihasilkan oleh masing-masing jenis kapal perang nuklir. Hasil perhitungan menunjukkan
bahwa sistem keenergian kapal perang nuklir yang dikombinasikan dengan alutsista
berbasis H2FC secara keseluruhan masih belum bisa bersaing dengan sistem konvensional.
Hanya saja penerapan sistem ini berpotensi meningkatkan keekonomian kapal perang nuklir
secara keseluruhan. Bahkan untuk kapal perang amphibi kelas WASP , penerapan skenario
ini berpotensi membuatnya jauh lebih ekonomis dari versi konvensionalnya, yaitu dengan
potensi keuntungan mencapai lebih dari US$ 100 juta selama umur operasinya.
Skenario ketiga memperlihatkan bahwa penggunaan sistem keenergian hidrogen
berbasis nuklir sangat menguntungkan. Reaktor VHTR yang mampu memproduksi 580 ton
hidrogen per hari dapat memasok alutsista berbasis H2FC dengan daya total mencapai 20
MW untuk 12 jam operasinya setiap hari sepanjang tahun. Dengan tetap mengasumsikan
terjadi kenaikan harga minyak yang mencapai 1% per tahun, sistem keenergian alutsista
berbasis nuklir dan H2FC berpotensi menekan biaya yang mencapai sepersepuluh dari
biaya yang harus dikeluarkan jika menggunakan alutsista konvensional. Perhitungan juga
memperlihatkan bahwa sistem H2FC berbasis nuklir hanya akan tidak mampu bersaing
dengan sistem konvensional jika harga minyak berada di bawah US$ 0,13/liter.
KESIMPULAN
Berdasarkan pada uraian dan analisis yang telah dilakukan di atas, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara keekonomian, nuklir layak digunakan sebagai basis keenergian dalam
mendukung operasional Koarmatim yang direncanakan akan dibangun di Sorong.
2. Terdapat dua opsi skenario menguntungkan dalam penggunaan energi nuklir sebagai
basis keenergian, yaitu dengan memanfaatkan reaktor nuklir untuk memproduksi
hidrogen dan/atau listrik dan dengan pengoperasian kapal perang nuklir.

7

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Energi Nuklir 2015
Denpasar, 15-16 Oktober 2015
3.

ISSN: 2355-7524

Penggunaan reaktor nuklir yang khusus digunakan untuk memproduksi hidrogen
sebagai basis keenergian lebih ekonomis dari pada pengoperasian kapal perang nuklir.

UCAPAN TERIMAKASIH
Data-data penelitian ini dapat dikumpulkan atas informan dari orang dalam Mabes
TNI dan TNI AL yang namanya tidak ingin disebutkan. Dan kepada mereka kami
menyampaikan banyak terima kasih. Semoga jasa mereka dapat mendapatkan balasan
setimpal dari Tuhan Yang maha Esa. Ucapan terima kasih juga disampaikan pada Naval
Post Graduated School yang dipromotori oleh Mr. Alan R. Howard, Mr. Daniel A. Nussbaum
dan lain-lain yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu at as dukungan datadatanya.
DAFTAR PUSTAKA
1. KUATHAN KEMENTRIAN PERTAHANAN. 11 Desember 2014. Wawancara Pribadi.
2. BAPENAS,
“Profil
Pembangunan
Papua
Barat”,
Jakarta
2013.
http://simreg.bappenas.go.id/. Diakses tanggal 22 April 2015.
3. LP2M, “Road Map Pengembangan Listrik Desa 2013-2017”, Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Cendrawasih, Jayapura (2012).
4. PLN, “Infrastruktur Ketenagalistrikan Sebagai Pendukung Pertumbuhan Ekonomi
Nasional”, www.pln.co.id. Diakses pada tanggal 28 April 2015.
5. JPNN, “Konsumsi Listrik Per Kapita Indonesia Kalah dengan Malaysia-Singapura”, Juni
2014. http://www.jpnn.com/. Diakses tanggal 28 Februari 2015.
6. PEMKAB SORONG, “Sektor Pertambangan”. Sorong, n.d., http://www.sorongkab.go.id/.
Diakses tanggal 1 Januari 2015.
7. SUSENO, TRIWAN, “Kontribusi Investasi Pertambangan Batubara Terhadap Produk
Domestik Regional Bruto Propinsi Papua Barat”, Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara
Volume 9, Nomor 3, September 2013 : 118 – 134, Jakarta (2013).
8. ESDM, “Sektor Pasokan Energi Pembangkit dari Energi Baru dan Terbarukan”,
www.esdm.go.id, Jakarta, n.d. Diakses tanggal 17 Maret 2015.
9. TIM PENYUSUN, “Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008” Departemen Pertahanan
Republik Indonesia, Jakarta (2008).
10. MABESAL, Peraturan Kepala Staf Angkatan Laut Nomor: Perkasal/39/V/2009 tentang
Kebijakan Dasar Pembangunan TNI Angkatan Laut Menuju Kekuatan Pokok Minimum
(Minimum Essentials Force)
11. BAIQUNI, AHMAD, “Tiap tahun TNI utang BBM Rp 8 triliun ke Pertamina”, Harian
Merdeka Online, http://www.merdeka.com/, Jakarta, 2014. Diakses tanggal 23
Desember 2014.
12. BPPT, “Outlook Energi Indonesia 2014 – Pengembangan Energi Untuk Mendukung
Program Substitusi BBM”, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta (2014).
13. ROYAL ACADEMY OF ENGINEERING, “Future Ship Powering Option: Exploring
Alternative Methods of Ship Propultion”, United Kingdom (2013).
14. IHS Janes, “Jane’s Fighting Ships 2009 – 2010”, IHS (Global) Limited, London (2010).
15. WEINERT. JONATHAN X., LIU SAHOJUN, OGDEN. JOAN M., MA JIANXIN, “Hydrogen
refueling station costs in Shanghai”, International Journal of Hydrogen Energy 32 (2007)
4089–4100. ScienceDirect, Shanghai (2007).
16. MCCOY, TIMOTHY, “Ships at Sea: The Original Microgrids?”, Eighth Annual Carnegie
Mellon Conference on the Electricity Industry, Electric Ship Officer, USA (2013).
17. CARLIN, RICHARD, “Naval Power & Energy S&T: Hydrogen & Fuel Cells”, Office of
Naval Research, California (2012).
18. CONGRESSIONAL BUDGET OFFICE OF UNITED STATE. “The Cost-Effectiveness of
Nuclear Power for Navy Surface Ships”, Washington (2011).
http://www.ft.com/.
19. FINANCIAL TIMES DEUTSCHLAND, “Hydrogen Production”,
Diakses tanggal 1 Mei 2014.
20. SALIMY, DJATI H, “Aplikasi Reaktor Nuklir Temperatur Tinggi Pada Produksi Hidrogen
Dari Air Proses Hibrida Siklus Belerang”, Prosiding Seminar Nasional Pengembangan
Energi Nuklir IV, Jakarta (2010).
21. DEPARTEMENT OF ENERGY OF UNITED STATE, “DOE Fuel Cell Technologies Office
Record”, Washington (2013).
22. ADAMSON, KERRY-ANN, “Opening doors to fuel cell commercialisation: Fuel Cells and
Marine Applications”, Fuel Cell Today, Washington (2005).

8

Dokumen yang terkait

ANALISIS KARAKTERISTIK MARSHALL CAMPURAN AC-BC MENGGUNAKAN BUTON GRANULAR ASPHALT (BGA) 15/20 SEBAGAI BAHAN KOMPOSISI CAMPURAN AGREGAT HALUS

14 283 23

TEPUNG LIDAH BUAYA (Aloe vera) SEBAGAI IMMUNOSTIMULANT DALAM PAKAN TERHADAP LEVEL HEMATOKRIT DAN LEUKOKRIT IKAN MAS (Cyprinus carpio)

27 208 2

PENGARUH KONSENTRASI TETES TEBU SEBAGAI PENYUSUN BOKASHI TERHADAP KEBERHASILAN PERTUMBUHAN SEMAI JATI (Tectona grandis Linn f) BERASAL DARI APB DAN JPP

6 162 1

OPTIMASI FORMULASI dan UJI EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN SEDIAAN KRIM EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum L) dalam BASIS VANISHING CREAM (Emulgator Asam Stearat, TEA, Tween 80, dan Span 20)

97 464 23

OPTIMASI SEDIAAN KRIM SERBUK DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam.) SEBAGAI ANTIOKSIDAN DENGAN BASIS VANISHING CREAM

57 260 22

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) SEBAGAI ADJUVAN TERAPI CAPTOPRIL TERHADAP KADAR RENIN PADA MENCIT JANTAN (Mus musculus) YANG DIINDUKSI HIPERTENSI

37 251 30

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

INTENSIFIKASI PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH ( DI KABUPATEN BANYUWANGI

16 118 18

PERAN PT. FREEPORT INDONESIA SEBAGAI FOREIGN DIRECT INVESTMENT (FDI) DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA

12 85 1