SASTRA TEMBAKAU IRSYAD AL sosiologi sosiologi

IRSYAD AL-IKHWAN
Retakan Teoritis dan Sosiologis dalam Sastra Tembakau
I.

Pendahuluan

Irsyad al-Ikhwan li Bayani Syurbi al-Qahwati wa al-Dukhan adalah
karya Kyai Ihsan Jampes. Kitab ini mengupas berbagai hal mengenai kopi
dan tembakau. Mulai dari sejarah perjalanan tembakau dan kopi dari negeri
asalnya hingga ke Nusantara. Juga mengenai manfaat dan mudharat
mengkonsumsinya, hingga tinjauan ulama fiqih tentang hukum keduanya.
Kitab ini ditulis dalam bentuk nadham yang diberi komentar langsung oleh
penulisnya sendiri. Diperkirakan nadham ini digubah oleh Kyai Ihsan pada
tahun 1930-an.
Ada dua hal ‘retakan’ yang menyebabkan karya ini patut untuk di
bicarakan. Pertama tentang bentuk nadham yang digunakan Kyai Ihsan
Jampes dalam menulis Irsyad al-Ikhwan. Apakah posisi nadham dalam ranah
sastra Arab. Apakah nadham yang telah terbukti membantu pemahaman
dan penghafalan materi pengetahuan (seperti berbagai referensi di
pesantren) dapat dikategorikan sebagai sastra, ataukah hanya sebagai
karya tulis biasa yang bukan sastra? Apakah nadham yang telah lama

bergelut dengan tradisi Islam Nusantara dengan begitu saja dapat
dieliminasi dari dunia sastra, hanya lantaran tidak memenuhi standar dalam
traidisi sastra Arab? Apakah Nusantara yang telah memiliki bentangan
sejarah kebudayaan sangat luas, tidak mempunyai karakter sastrawi yang
lokal, sehingga harus tunduk kepada standar sastra Arab?
Meskipun ini merupakan permasalahan klasik dan nampak sederhana,
namun berimplikasi cukup panjang. Karena hal ini berhubungan dengan
konsep sastra pada satu sisi serta politik (kepentingan) sastra pada sisi lain.
Apakah batasan sebuah karya dianggap sebagai sastra, serta siapa yang
berhak menentukan batasan tersebut? Siapa yang berhak menempel
‘sastra’ atau siapa yang berhak mengelupas lebel yang tertempel itu?
Apakah pengarang, ataukah pembaca ataukah orang ketiga, yang sama

sekali tidak berhubungan bahkan tidak dapat memahami apalagi menikmati
karya itu?
Hal ‘retakan’ kedua yang patut menjadi alasan pembahasan teks ini
adalah unsur sosiologis sastra yang terbentang dari masail fiqhiyyah hingga
kolonialisme. Dari masalah hukum kopi dan rokok, hingga agenda
kolonialisme melemahkan ikatan masyarakat melalui isu pengharaman
rokok dan kopi. Karena bagi mereka tradisi ‘ngopi’ yang ada di Kediri

menjadi wahana tukar pikir dan diskusi yang membahayakan bagi penajajah
saat itu. Inilah arti retakan sosiologis, bahwa teks ini adalah sebuah
‘retakan’

dari

berbagai

kepentingan

penguasa

pada

masanya.

Baik

penguasa kolonial, petani tembakau dan ulama sebagai pmegang otoritas
hukum. Untuk itu tulisan ini hendak menggunakan pendekatan sosiologi

sastra Robert S.Carpit dan konsep ‘menggerakkan’ tradisi ala Jabid al-jabiri,
dengan harapan mampu memotret keadaan social yang berada di balik teks
Irsyad al-Ikhwan.
Namun terlebih dahulu tulisan ini akan diawali dengan pembahasan
teoritis mengenai nadham Irsyad al-Ikhwan dalam ranah sastra sebagai
retakan teoritis, dan berlanjut dengan pendekatan sosiologi sastra.
II.

Syi’ir dan Nadham; Sebuah Retakan dalam Sastra

Sastra dalam bahasa Arab ditunjukkan dengan kata adab. Akan tetapi
penunjukkan ini tidak bersifat ajeg. Sepanjang sejarah, kata adab sendiri
berkembang dan berubah sehingga maknanyapun selalu berganti sesuai
pergantian zaman dan kondisi sosial masyarakatnya.
Pada masa Jahliyyah sebelum Islam, kata adab digunakan untuk
menunjuk pada sebuah tatanan sosial dan aturan moral. Sebagaimana
kebiasaan perempuan Arab ketika menggunjing seorang lelaki “…huwa
karim al-kasabi wa kamil al adabi” artinya lelaki itu memiliki pekerjaan
yang terhormat (mapan) dan tatakrama yang sempurna.1 Praktis pada masa
1 Abdul Aziz Atiq, Fi al-Naqd al-Adabi. Bairut: Dar al-Nahdhah. 1972. Hal.26.


konsep adab masa jahiliyah inilah yang diserap oleh bahasa Indonesia dengan
istilah beradab.

ini, masyarakat Jahiliyah memahami kata adab sebagai konsep moral.
Sedangkan sastra sebagai konsep keindahan diwakili oleh kata syi’ir
sebagai cara mengungkapkan perasaan.
Setelah datangnya Islam, kata adab mengalami perluasan makna.
Kata adab tidak hanya merujuk pada konsep moralitas, namun juga
berbagai wacana pendidikan dan pengajaran. Seperti yang terdapat dalam
hadits Nabi Muhammad saw yang berbunyi “addabani rabbi fa ahsana
ta’dibi”. Perluasan makna pada kalimat di atas terdapat dalam kata adab
pertama yang digaris bawah, yang berarti mendidik. Sedangkan kata adab
kedua yang ditulis tebal bermkna tatakarma. Sehingga hadits tersebut bisa
diartikan “Allah telah mendidikku (secara langsung) maka tatakramaku
menjadi bagus”
Baru

pada


zaman

dinasti

Umayyah,

kata

adab

memiliki

hak

menggunakan makna sastra. Itupun setelah perjalanan panjang, ketika alqur’an telah memperkenalkan kata akhlaq sebagai penunjuk wacana
moralitas dalam Islam. Maka kata adab mengalami penyempitan makna
yaitu mengenai wacana pendidikan dan pengajaran dan segala sesuatu yang
menjadikan kehidupan manusia lebih baik. Termasuk di dalamnya adalah
syi’ir dan khitobah sebagai salah satu media pembelajaran.2
Hal ini tidak berarti bahwa sastra baru dikenal masyarakat Arab

semenjak Dinasti Umayyah. Karena jauh sebelum itu, ketika masa Jahiliyah
bangsa Arab mempunyai tradisi bersyi’ir yang kuat. Karena syi’ir itu sendiri
merupakan sebuah kelebihan individual yang dimiliki masyarakat Arab
semenjak dilahirkan. Syi’ir sebagai salah satu produk sastra telah menjadi
konsumsi harian bagi kehidupan mereka. Sehingga yang mereka kenal
bukanlah seorang sastrawan (al-adiib) tetapi seorang penyair (al-Sya’ir).
Begitu kuatnya tradisi bersyi’ir dalam kehidupan Arab Jahiliyah sehingga alQur’an pun turut mengabadikannya dalam sebuah ayat …wa al-syu’aro’u
2 Abdul Aziz Atiq, Fi al-Naqd al-Adabi. Hal. 29-30

yattabiuhum al-ghowun (artinya …dan para penyair yang selalu mengikuti
hawa nafsunya). Meskipun dalam konteks mengkritik, hal ini turut
menunjukkan bahwa syi’ir pada masa Jahiliyah menempati posisi yang
penting..3
Demikianlah perubahan makna adab sepanjang sejarah kesusastraan
Arab. Ini sekaligus mengatakan bahwa syi’ir merupakan bentuk karya
sastra Arab tertua. Bahkan syi’ir menjadi kata yang sangat identik dengan
sastra sebelum makna itu digunakan oleh kata adab. Oleh karena itu Karel
Broclman dalam bukunya Tarikh al-Adab al-‘Arabi menjalaskan bahwa yang
dianggap sebagai sastra Arab dan yang digunakan dalam pedoman
penulisan sejarah sastra Arab adalah syi’ir itu sendiri bukan yang lain. 4

Syi’ir merupakan artefak dari erkeologi pengetahuan masyarakat Arab pada
umumnya dan Islam pada khususnya. Hal ini terlihat sekali ketika membaca
berbagai karya klasik baik dalam fiqih maupun nahwu. Beberapa disiplin
ilmu itu selalu memberikan otoritas penuh kepada syi’ir sebagai penunjuk
makna tertentu.5
Dari keterangan tersebut, syi’ir menempati posisi penting dalam
wacana keilmuan Arab-Islam, khususnya pada sastra Arab. Syi’ir tidak
hanya sebagai genre sastra Arab tertua, tetapi juga sebagai penyandang
sastra itu sendiri, lantas apakah syi’ir itu? Dalam wacana sastra Arab, syi’ir
biasa dipertentangkan dengan natsar. Jika syi’ir biasa diterjemahkan
sebagai puisi, maka natsar adalah prosa. Syi’ir dan natsar mendapatkan
legitimasi dari para pakar sastra Arab sebagai dua hal yang paling sahih
disebut sebagai genre sastra Arab. Dan tulisan ini akan lebih focus
membahas syi’ir, bukan natsar.

3 Syauqi Dhaif, Tarikh al-Adab al-Arabi, al-Asyr aQAl-Islami. Cairo: dar al-Ma’arif.

2005. Hal. 43-44
4 Karel Broclman, Tarikh al-Adab al-Arabi, al-juz al-Awwal. Cairo: Dar al-Ma’arif.
1997. Hal. 3

5 Lihat misalnya Alfiyah Ibnu Malik yang sering menggunakan contoh grmatikal
arab dari syi’ir.

Dalam kamus Lisan al-Arab karya Ibnu Mandhur menerangkan bahwa
kata syi’ir memiliki dua arti. Arti pertama adalah tahu, mengerti dan
merasakan. Arti kedua adalah perkataan yang teratur. Teratur dalam wazan
dan qafiyah. Bentuk jamak syi’ir adalah asy’ar dan yang menyanyikannya
adalah sya’ir. Demikianlah syi’ir hanya dapat dirasakan oleh sya’ir (penyair)
bukan yang lain.6
Definisi ini menyiratkan dua bentuk pemahaman. Pertama, bahwa
sesuatu dapat dikatakan sebagai syi’ir apabila ia tunduk dengan aturan
wazan dan qafiyah. Kedua sesuatu itu juga bisa dinamakan syi’ir ketika ia
mampu merepresntasikan perasaan seseorang. Sebagaimana arti syi’ir itu
sendiri. Keterangan ini terlahir dari perdebatan panjang para kritikus sastra
Arab mengenai definisi syi’ir. seperti yang tergambarkan dalam diskusi
berikut.
Tentang syi’ir al-Rafi’i dalam bukunya Tarikh al-Adab al-Arabi, jilid III
berkomentar sangat sosiologis. Pandangannya ini lebih didasarkan pada
cerita al-Jahith mengenai karakteristik bangsa Arab. Yakni sebuah bangsa
yang tumbuh berkembang di tengah gurun pasir. Di waktu siang, panas

amatlah terik. Dan jikalau malam, dingin menusuk tulang. Keadaan
geografis ini menjadikan karakter mereka sebagai bangsa yang keras. Gaya
kehidupan nomaden memaksa mereka harus saling berebut kekuasaan,
tempat dan sumber air. Kehidupan semacam ini membentuk kepribadian
yang kokoh dan tidak mudah mengalah kepada siapa pun. Mereka sangat
bersikokoh pada suatu pendirian. Di tengah situasi bangsa seperti itulah
syi’ir dilahirkan sebagai sebuah gaya bicara yang disertai dendang nada,
sekedar untuk mencairkan situasi dan suasana. Sehingga pada situasi
seperti ini menurut al-Jahith yang diperlukan bukanlah wazan dan qafiyah,
karena keduanya bisa dipelajari siapa saja, tetapi lebih pada isi dan bahasa
yang digunakan. Karena fungsi syi’ir bagi masyarakat gurun pasir, bagaikan
6 Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, al-Juz al-Rabi’. Cairo: Dar al-Ma’arif. Tanpa tahun.

Hal. 2273-2274

setetes air yang akan menyejukkan. Oleh karena itu bagi al-Jahith
sebagaimana dikutip oleh al-Rafi’i bahwa syi’ir harus mengutamakan sisi
keindahan kata bukan sekedar masalah wazan dan qafiyah.7
Begitupula pendapat Ibn Khaldun yang menganggap bahwa menilai
sebuah syi’ir dari sisi wazan dan qfiyah saja sebagai sebuah cacat. Karena

hal itu sama saja menilai sesuatu dari sisi fisik saja. Ibnu Khaldun
menyaratkan bahwa syi’ir harus menyertakan kalam baligh (kalimat yang
indah dan benar) dengan menggunakan istiarah (majas) sebagaimana
tradisi masyarkat Arab.8
Fuad

al-Bustani

dalam

al-Syi’ru

al-Jahili

merangkum

berbagai

pendapat, ia mencoba mengakomodasi berbagai pertentangn dengan
menyaratkan tiga hal dalam syi’ir. Pertama hakikat sy’ir seperti arti

katanya, harus memberikan pegaruh yang mendalam pada hati seseorang.
Baik itu gembira, sedih ataupun kecewa ketika mendengar atau membaca
syi’ir tersebut. Kedua seorang penyair adalah anak dari hayalannya. Jadi
syi’ir harus mengandung unsur khayali. Kreatifitas hayal disampaikan
dengan pilihan kata indah mempunyai efek yang luar biasa dalam diri
seorang

penyair

dan

pendengarnya.

Sehingga

tidak

terasa

telah

membacakan beratus-ratus bait. Ketiga penggunaan rasio. Mungkin syarat
ketiga ini berfungsi untuk menyelaraskan alur sebuah syi’ir. akal berfungsi
mengawal subtansi syi’ir itu agar mudah difaham. Adapun wazan dan
qafiyah

menurut

al-Bustani

adalah

hal

praktis

yang

keberadaannya

menyesuaikan subtansi syi’ir itu sendiri.9
Hampir senada dengan Fuad al-Bustani adalah apa yang dijabarkan
oleh Ahmad Amin. Ia menggaris bawahi beberapa karakter yang harus
melekat dalam sebuah syiir. Pertama syi’ir harus tunduk pada aturan harus
7 al-Rafi’i, Tarikh al-Adab al-Arabi, al-Juz al-Tsalist, Bairut: Dar al-kutub al-Ilmiyah.

2000. Hal. 11, alas Safud, Nadhratun fi Diwani al-A’qqad. tanpa penerbit, 2000.
Hal.22
8 Abdul Aziz Atiq, Fi al-Naqd al-Adabi. Hal. 166 m
9 Fuad Afram al-Bustani, al-Syi’ru al-Jahili. Bairut: al-Kasuwaikah. 1927. Hal. 3-4

ada wazan dan qafiyah. Ini adalah syarat mutlaq. Kedua syi’ir biasanya
mengandung limpahan kreatifitas imajenasi (al-ibda’ al-khayaliyyah). Ketiga
syi’ir akan selalu mengundang egoisme sastrawi. Keempat syi’ir berbicara
secara emosional..10
Dari keterangan mengenai syi’ir tersebut, maka secara otomatis posisi
nadham menjadi sangat dilema. Di satu sisi nadham sangatlah patuh pada
aturan wazan dan qafiyah, namun pada sisi lain, ia dianggap tidak
mencerminkan keindahan dan jauh dari permainan perasaan. Nadham
menjadi perkara teknis yang sangat akrab dengan para ahli arudh, bukan
para sastrawan. Oleh karena itu ketika nadham tersingkir dari kategori
syi’ir secara otomatis ia pun terlempar dari ranah sastra Arab. Seperti yang
dijelaskan Ahmad Amin bahwa nadham berbagai jenis nadham semisal
Alfiyah Ibnu Malik tidak bisa digolongkan dalam syi’ir, persis yang
diungkapkan oleh Ibnu Khaldun.11
Jika demikian halnya, maka nadham tidaklah termasuk dalam kategori
sastra Arab. Karena dalam sastra Arab hanya mengenal dua genre yaitu
syi’ir (puisi) dan natsar (prosa). Ketika nadham tidak diakui dalam kelompok
syi’ir, maka secara otomatis nadham terdepak dari alam sastra Arab.
Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimanakah dengan ‘nasib’
nadham yang dikarang oleh ulama Nusantara tetapi menggunakan bahasa
Arab? Seperti Irsyad al-Ikhwan, apakah bijaksana jika nadham semacam itu
dilihat melalui kaca mata orang Arab yang memiliki standard perasaan dan
keindahan yang berbeda, karena perbedaan factor sosiologis? Dengan kata
lain, apakah dianggap sahih jika teks berbahasa Arab yang lahir dari tangan
ulama Indonesia, dengan latar belakang sosiologis masyarakat Indonesia
dibaca menggunakian perspektif sastra Arab, hanya lantaran teks itu
berbahasa Arab? Jawaban yang bijaksana adalah tidak.
10 Ahmad Amin, Al-Naqdu al-Adabi, Mesir: Maktabah al-nahdhah al-

Mishriyyah.1972. Hal. 64-69.
11 Ahmad Amin, Al-Naqdu al-Adabi, Hal. 64. Lihat juga Abdul Aziz Atiq, Fi al-Naqd
al-Adabi. Hal 166

Membandingkan nadham karya ulama Nusantra dengan syi’ir dengan
standar yang berlaku dalam sastra Arab sangatlah tidak bijaksana. Itu
seperti membandingkan kopi Arab dengan kopi Luwak. Meskipun samasama kopi keduanya sangatlah berbeda. Lidah orang Indonesia akan
berpendepat bahwa rasa kopi Arab jauh di bawah kelezatan kopi Luwak.
Begitu juga sebaliknya.
Sastra bagaikan makanan. Ia berhubungan dengan keindahan dan
kenikmatan yang berpegaruh pada si pembaca. Kaindahan dan kenikmatan
adalah

urusan

lingkungan

selera.

social

Sedangkan

sekitar.

Selera

selera

seseorang

seseorang

dibangun

dibangun
oleh

oleh

habitus

masyarakat di mana ia hidup dan berkembang. Habitus bukanlah sekedar
lingkungan social tetapi termasuk di dalamnya pola pikir dan karakter yang
terbangun dalam sebuah masyarakat sehingga membentuk sebuah tatanan
nilai tertentu yang menjadi patokan bagi terselenggaranya harmonisasi
sebuah masyarakat.
Dengan demikian selera sastra bagi orang Arab yang selanjutnya
menelurkan wacana sastra Arab sangat berbeda dengan selesa sastra
masyarakat Nusantara. Karena keduanya memiliki habitus yang berbeda.
Mengenai hal ini Abid Jabiri dalam bunyan al-Aql al-Arabi, bahwa
karakterisitik

nalar

Arab

lebih

mementingkan

keindahan

kata-kata

(mujamalah) dibanding dari subtansi kata itu sendiri. Sehingga masalah
sepele akan mendapatkan perhatian yang besar jika diungkapkan dengan
kata-kata indah. Bahkan barang busuk bisa diterima dan dianggap wangi
jika disampaikan dengan kata yang indah. Oleh karena itulah al-Qur’an
memiliki keindahan tingkat tinggi, sehingga masyarakat Arab terpikat dan
bertekuk lutut di hadapan Nabi-Nya.
Sedangkan masyarakat Nusantara tidak seperti itu. Mujamalah dan
basa-basi memang diperlukan tetapi bukanlah sesuatu yang utama.
Masyarakat Nusantara tidak terlalu silau dengan berbagai basa-basi,

karena demikian itu sekedar formalitas belaka. Masyarakat Nusantara
cukup jeli membandingkan antara isi dan bungkus dan menentukan mana
yang lebih berharga dari keduanya. Perbedaan konsisi social yang melatar
belakangi kedua kebudayaan inilah yang perlu dipertimbangkan dalam
melihat nadham dan posisinya dalam wacana sastra Indonesia.
Usaha seperti itu telah dilakukan oleh Hamzah Fansuri, ia tidak hanya
membandingkan nadham dan syi’ir dalam wacana sastra Nusantara saat itu,
tetapi malahan berusaha memasukkan syi’ir ke dalam sastra Nusantara.
Hamzah Fansuri berhasil merubah standarisasi syi’ir arab yang rumit itu
dengan karakter sastra lokal Melayu, sehingga syi’ir itu berubah menjadi
sya’ir. Hamzah Fansyuri seorang sufi Melayu yang hidup pada abad 16
terbukti mampu mengadaptasi syi’ir menjadi syai’ir, 12 dengan tanpa
menjadikan keindahan sebagai syarat tersendiri.
Dengan demikian menganggap nadham karya ulama Nusantara
seperti halnya Irsyad al-Ikhwan sebagai teks yang bukan sastra karena
‘keringnya’ nadham dari kata-kata indah dan kratifitas imajenasi Ibtikar
khayali, tanpa melihat sisi penerimaan masyarakat penikmatnya adalah
sikap yang kurang bijaksana.

III.

Retakan Sosiologis dalam Irsyad al-Ikhwan

Tidak ada sebuah teks yang tiba-tiba mewujud begitu saja. Selalu ada
faktor lain yang ikut campur dalam pembentukannya, karena teks tidak bisa
membangun dirinya sendiri. Faktor lain itu bisa saja berupa pengarang,
lingkungan dan juga bentuk teks itu sendiri. Inilah yang dinamakan
konteks. Begitu pula teks Irsyad al-Ikhwan li Bayani Syurbi al-Qahwati wa
al-Dukhan. Karya ini tidak bisa difaham tanpa membaca berbagai konteks
yang mengelilinginya. Konteks itu berada pada Syekh Ihsan sebagai
12 Braginsky, tasawuf dan Sastra Melayu, Kajian dan Teks-Teks. Jakarta: RUL.

1993. Hal. 63.

pengarang, nadham sebagai medianya, serta tema yang terdapat dalam teks
yang mencerminkan dialog sosial mengenai kopi, tembakau dan berbagai
hukum mengkonsumsinya.
Dengan kata lain Karya sastra merupakan karya anak lingkungannya.
Karya sastra ditulis oleh seorang penulis yang hidup dalam dunianya. Dalam
ruang

dan

waktu

menggunakan
masyarakat

yang

bahasa
tertentu

mencerminkan

realita.

melingkupinya.

Begitu

sebagai

mediumnya.

sebagai

wahana

Sedangkan

juga

Bahasa

sastra

diciptakan

menyampaikan

pembaca

bisa

yang

pesan

menikmatinya

oleh
dan
dan

mengambil berbagai faedah darinya. Sastra dan realita adalah dua hal yang
tak

terpisahkan.

Terkadang

sastra

mempegaruhi

realita

atau

juga

sebaliknya. Artinya, hubungan antara sastra dan realita masyarakat bersifat
paten. Pembacaan semacam nilah yang disebut dengan sosiologi sastra. 13
Sosiologi sastra adalah sebuah wacana yang mencoba menyandingkan
dua disiplin keilmuan menjadi satu yaitu sosiologi dan sastra. Jika dalam
sosiologi terdapat tiga macam paradigma yaitu fakta sosial, definsi sosial
dan pelaku sosial. Maka dalam sastra terdapat tiga hal yang tak dapat
dipisahkan yaitu pengarang dan konteks sosialnya, karya sastra sebagai
cermin masyarakatnya dan fungsi sosial sastra.14
Oleh karena itu membaca satu karya sastra secara sosiologis, sama
artinya membaca pengarang, membaca pembaca dan juga membaca
lingkungannya. Dengan demikian ketika penulis hendak membaca Irsyad alIkhwan li Bayani Syurbi al-Qahwati wa al-Dukhan karya Kyai Ihsan Jampes
secara sosiologis, maka sama artinya penulis harus mengungkapkan
berbagai gamabaran sosiologis yang melingkupi tema, pengarang dan juga
pembacanya.
13 Mengenai hubungan sastra dengan masyarakat baca Sapardi Joko Damono,

Sosiologi Sastra, Pengantar Ringkas, Edisi Baru. Ciputat: Editum. 2010. Hal.1
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post- 14
.modernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010

Dengan demikian untuk memahami Irsyad al-Ikhwan li Bayani Syurbi
al-Qahwati wa al-Dukhan seorang pembaca yang baik harus mengenal sosok
Syekh Ihsan sebagai pengarang. Juga harus mengetahui wacana tembakau
yang berkembang pada masa penciptaan karya ini, serta kopi yang juga di
bahas

di

dalamnya.

Di

samping

itu

pembaca

dianjurkan

memiliki

pengetahuan mengenai nadham, arudh dan beberapa teori bahasa arab –
seperti yang telah diterangkan di muka-, hal ini penting karena Syekh Ihsan
sendiri menuliskan karyanya dalam bentuk nadham.
Lalu untuk siapakah sebenarnya karya ini dituliskan. Untuk kalangan
santri, untuk umum ataukah khusus para kyai perokok saja?. Lantas
bagaimanakah karya ini bisa sampai ke pembaca? Bukankah memerlukan
alat untuk menggandakannya? Percetakan siapa yang mau memproduksi
sebuah tulisan berbahasa Arab saat itu? Meskipun pada tahun 1930an
sudah banyak alat percetakan di Nusanatara ini. Milik kolonial, pribumi
atau

professional? Bukankah tema yang diusung Kyai Ihsan cukup

mendukung para pemilik modal dan petani tembakau sekaligus?. Dan
setelah itu bagaimana cara menyebarkannya? Lewat toko-toko buku umum,
atau buku-buku berbahasa Arab atukah hanya melalui satu tangan ke
tangan yang lain? Semuanya harus dijawab dan dijabarkan. Di sinilah fungsi
sosiologi sastra.
Akan tetapi, tujuan penelitian ini tidak hanya menjawab berbagai
masalah tersebut saja, karena hal itu terkesan seperti tugas kesejarahan.
Yang tidak kalah penting adalah me-kontekskan karya Kyai Ihsan tersebut
dengan wacana kekinian. Oleh karena itulah pendekatan Abid al-Jabiri
dalam proyek peembacaan tradisi menjadi relefan diterapkan disini.
Pendekatan ini pada awalnya digunakan Aljabiri membaca tradisi
dalam dunia arab kontemporer. Karena masyarakat Arab modern merasa
kebingungan memposisikan tradisi Islam. Di sini karya Kyai Ihsan ini oleh
penulis dianggap sebagai sebuah tradisi. Karena ia termasuk masa lalu,

seperti yang didefinisikan oleh Jabiri dalam bukunya bahwa tradisi adalah
sesutu yang tersisa ketika segalanya telah terlupakan. Sebenarnya al-Jabiri
mempunyai tiga macam metodologi yang saling bersambung. Pertama
pendekatan strukturalisme, kedua analisi sejarah (historisisme) dan ketiga,
kontinuitas.
Pendekatan pertama yaitu strukturalisme (mu’ajah bunyawiyyah)
berfungsi menganalisa teks. Al-Jabiri mengatakan bahwa dalam tahap ini,
peneliti harus membaca teks bukan membaca makna. Artinya al-Jabiri
mengingatkan bahwa teks harus didekati secara obyektif. Harus ada jarak
yang memisahkan antara pembaca dan teks itu sendiri. Pada tahap inilah
terjadi al-fashlu yaitu memotong teks dari dunia sosial
Pendekatan kedua yaitu analisis sejarah(tahlil tarikhi). Dalam tahap
ini, teks harus didekati secara utuh, artinya membaca teks adalah membaca
makna yang terkandung di dalamnya lengkap dengan sisi historsitas yang
dikandung oleh teks itu sendiri. Hal ini menyaratkan pembacaan terhadap
pengarang dan juga konteks social kelahiran teks. Di dalam tahap ini terjadi
kritik idologi (al-Tharhu al-Idiyuluji), kritik atas agenda tersembunyi
seorang pengarang.
Ketiga adalah kontinuitas (al-istitsmar), yaitu usaha menghubungkan
teks masa lalu yang telah menjadi tradisi dengan kekinian. Upaya ini
berfungsi untuk merelevansikan apa yang ada pada masa lalu dan
membumikannya untuk masa kini.15
Dari ketiga metode ini, pendekatan sosiologi sastra telah mengerjakan
tahap kedua, yaitu analisis sejarah. Meskipun secara konsep tidak sama,
karena perbedaan istiah, akan tetapi subtansi itu bisa didapatkan.
Dalam bukunya Sosiologi Satra, Escarpit menerangkan bahwa semua
fakta sastra menyiratkan adanya penulis, buku dan pembaca. Atau juga bisa
15 Abid al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam. Yogyakarta: LKiS. 2000. Hal. 18-23

dikatakan pencipta, karya dan publik. 16 Dari ketiga hal tersebut Escarpit
mengembangkan pembahasannya dengan perspektif industrialisasi menjadi,
produksi, konsumsi dan distribusi. Ketika ia memilih tiga kata tersebut
sebenarnya ia menginginkan kesadaran pembaca bahwa pemahaman akan
teks sastra tidak hanya sebatas sebuah seni semata, tetapi juga masalah
ekonomi dan industri. Di dalamnya ada pemilik modal, tenaga dan juga
distribusi. Ini bukanlah sesuatu yang baru, ini juga berlaku bagi semua teks
sastra. Begitu juga dengan karya Kyai Ihsan Irsyad al-Ikhwan li Bayani
Syurbi al-Qahwati wa al-Dukhan.
a. Produksi
Produksi adalah kata yang dipilih Escarpit untuk menujuk satu proses
laten dalam sebuah teks sastra. Kata produksi dalam kontek ini menunjuk
pada

wacana

pengarang,

kepengarangan.

angkatan,

Di

geografi

dalamnya

dan

mencakup

profesi.

isu

Meskipun

populasi

kandungan

subtansinya sama, tetapi para ahli sosiologi sastra yang lain lebih
cenderung menggunakan kata ‘pengarang’ bukan produksi. 17 Dengan
memilih kata produksi nampaknya Escarpit secara perlahan ingin mengajak
pembaca merasakan pengaruh industri dalam karya sastra. Terlepas dari
pemilahan kata tersebut, harus diakui bahwa kata produksi memiliki aroma
industrialisasi dibandingkan dengan kata pengarang. Dan bila dihubungkan
dengan

kata

pengarang,

maka

seolah-olah

Escarpit

memposisikan

pengarang sebagai layaknya kuli tinta dalam makna yang sebenarnya. Yang
selalu tunduk pada pemilik alat produksi. Hal ini akan ditemukan dalam
tema profesi pengarang dan biaya penghidupannya.
Kembali kepada teks Irsyad al-Ikhwan li Bayani Syurbi al-Qahwati wa
al-Dukhan, Kyi Ihsan selaku pengarang hendaknya harus difahami sebagai
sosok manusia biasa yang makan dan minum seperti layaknya manusia,
16 Robert Escarpit, Sosiologi Sastra. Jakarta: YOI. 2008. Hal.3
17 Seperti Wellek dan Warren dalam Theory of Literature. New York: Harcourt,

Brace & Wolrd, Inc. Third ed. 1958. Dan juga Sapardi Djoko Damono dalam
Sosiologi Sastra, Pengantar Ringkas, Edisi Baru. Ciputat: Editum. 2010.

meskipun ia adalah seorang kyai. Ia tidak bisa lepas dari lingkungan yang
telah membesarkannya. Untuk itu perlu adanya keterangan yang lengkap
mengenai asal-usul geografis dan asal-asul sosio professional.18
Tentang asal-usul geografisnya, tiga sumber yang berbeda bersepakat
bahwa Kyai Ihsan dilahirkan di Kediri. Pada tahun 1901 dan meninggal pada
tahun 1952. Semuaya tidak ada yang bisa menentukan tanggal dan bulan
kelahirannya.

Kyai

Ihsan

lahir

dengan

nama

Bakri.

Nama

Ihsan

diperolehnya setelah menunaikan Ibadah Haji. Sebuah tradisi di kalangan
santri sepulang haji selalu berganti nama, dengan harapan merubah hidup
menjadi lebih baik seperti nama baru tersebut. Bakri hidup di tengah kota
santri.

Meskipun

sebutan

kota

santri

untuk

Kediri

terlalu

muda,

dibandingkan dengan Termas, sarang, Jombang atupun Kajen.
Begitu cepatnya perkembangan Kediri sehingga tidak terasa banyak
pesantren yang menjamur di Kediri hingga kini. Anehhnya dari sekian
pesantren yang ada kesemuanya didirikan oleh ulama pendatang. Sebut
saja pesantren Lirboyo didirikan oleh Kyai Karim asal Magelang yang
diteruskan oleh Kyai Mahrus Asal Cirebon. Pesantren Pethuk didirikan oleh
Kyai dari Kelaten, Kyai nawawi Pendiri Pesantren Ringin berasal dari
Jepara, sementara itu Pesantren Jampes didirikan oleh Kyai Dahlan bapak
Kyai Ihsan berasal dari Bogor.19
Kediri adalah kota menarik yang berhasil memanggil para ulama
untuk mewedar ilmunya dengan penuh kekhusukan. Begitu banyaknya
pesantren, sehingga agak susah membedakan antara penduduk dan para
santri. Karena banyak juga penduduk setempat yang menjadi santri pada
salah satu kyai di pesantren. Mereka mengaji dan berbusana layaknya para
santri, hanya saja mereka makan dan tidur di rumah masing-masing. Begitu
juga sulit membedakan sebuah kebiasaan dan tradisi yang ada di Kediri
apakah itu tradisi santri ataukah tradisi penduduk kota Kediri.
18 Robert Escarpit, Sosiologi Sastra. Jakarta: YOI. 2008. Hal. 46
19 Departemen Agama, Direktori Pesantren, Jakarta: Dijten PAIS

Masyarakat Kediri adalah masyarakat yang terbuka. Ia

selalu

membuka lapang tangan kepada para pendatang. Meskipun pendatang itu
membawa berbagai macam moral dan nilai kehidupan. Hal inilah yang
terjaga hingga kini. Tidak hanya santri yang berpikir secara tradisional
yang diterima, tetapi juga berbagai Islam sempalan tumbuh disana. Baik
sempalan yang berbau kebatinan Jawa maupun sempalan yang beraroma
fundamentalis-modernis. Kediri juga terbuka oleh siapa saja, tidak hanya
Islam tetapi juga Cliffort Geertz yang berhasil memabangun agama baru
melalui Abangan, Santri dan Priyayi.20
Satu hal yang sangat susah untuk diterangkan adalah bagaimana
masyarakat Kediri memilikki kemampuan untuk menertawakan diri sendiri
yang dalam bahasa mereka disebut ngentahi. Dialog dengan menggunakan
tamsil, bermajas menjadi kebiasaan sehari-hari. Mulai di warung kopi,
tukang becak hingga di pasar. Bahkan juga tradisi saling merendahkan
dengan penuh gurau yang disebut moyoi juga tumbuh subur di sana.
Semuanya dilakukan dengan penuh sadar dan jauh dari nada emosi.
Sehingga dengan cara begini konsep Abangan, Santri dan Priyayi menjadi
kehilangan subtansi. Apalagi feodalisme, tak berani menunjukkan batang
hidungnya, karena hanya menjadi objek gurauan saja.21
Selain itu Murtadho mencatat bahwa di Pulau Jawa tidak ada tradisi
‘ngopi’ sekuat di Kediri, Nganjuk dan Tulung Agung. Meskipun ini perlu
penelitian lebih lanjut, tidak ada salahnya bila di singgung di sini. Warung
kopi di kota Kediri selalu ramai. Mulai dari pagi, siang, sore, hingga malam
hari. Warung-warung itu begitu menyebar seperti warkop di Jakarta. Hanya
saja pelanggan yang datang ke sana lebih familier, bisa saja untuk
menghabiskan satu cangkir kopi perlu duduk berjam-jam karena obrolan.
Bagaimana layaknya karakter kehidupan desa yang masih mempunyai
waktu

longgar.

Hal

ini

menjadikan

kota

Kediri

lebih

lama

20 Lihat Murtadho Hadi, Jejak spiritual Kiai Jampes. Hal 17
21 Dialami sendiri oleh penulis ketika berada di Kediri selama lima belas hari

menjadi peserta kursus Bahasa Inggris di Pare.

hidup

dibandingkan kota-kota lain. Ketika Kediri mulai ditinggalkan oleh siswa
sekolah dan universitas di malam hari, Kediri akan ditemani para santri
yang memulai kehidupan malamnya dengan bermusyawaroh, muthola’ah,
mengaji sambil ngopi. Pesantren Kediri di malam hari seperti universitas
luar negeri yang perpustakaannya buka hingga larut malam.22
Mengenai kehidupan petani temabakau, tidak ada satupun keteragan
mengenai hal ini. Kecuali sedikit informasi bahwa Gudang Garam yang
berdiri di awal tahu 1950an berdomisili di Kediri.
Di tengah masyarakat seperti inilah Kyai Ihsan dibesarkan. Di
lingkungan pesantren hidup dengan sederhana. Hanya bertani kecil-kecilan.
Belum ada data tentang jenis pertanian yang digeluti keluarga Kyai Ihsan.
Apakah petani tebu, pada atauah tembakau. Masih memerlukan penelitian
lebih lanjut. Yang jelas gambaran tentang kehidupan kyai di lingkungan
pesantren sangatlah bersahaja. Hidup sederhana tetapi kaya hati dan di
hormati para santri. Bakri, sebagai anak kyai, biasa di Kediri di sapa
sebagai ‘gus’. Namun dalam berbagai kesempatan ia lebih suka hidup
khumul. Yaitu hidup dengan menderita lahir. Ia selalu menghindar untuk
dihormati. Bahkan untuk menutupi kehormatan itu di lingkungannya, Bakri
sengaja berjudi dan menonton wayang. Sedangkan ketika keluar menuntut
ilmu diberbagai pesantren, ia tidak pernah memperkenalkan diri sebagai
anak Kyai Dahlan.23
Hampir sepuluh tahun Bakri menjadi santri lelana. Berpindah dari
satu pesantren ke pesantren lainnya. Dari Pesantren Gondang Legi ia
belajar Arudh. Dari pesantren Kyai Kholil Bangkalan ia belajar nahwu. Dan
di pesantren Kyai Soleh Darat semarang, ia belajar ilmu falak.

Pada umur

29 tahun Kyai Ihsan mencoba mengasah kepiawaiannya menulis dalam
sebuah kitab falak Tashrihul Ibarat. Dan dalam umur 31 tahun ia menulis
22 Murtadho Hadi, Jejak spiritual Kiai Jampes. Hal 14
23 Busyro Mughni, , Syekh Ihsan Muhammad Dahlanal-Jampesi al-Kediri. tanpa

penerbit, tanpa tahun

Sirajut Tholibin. Sedangkan mengenai umur Kyai Ihsan saat menulis
Irsyadul Ihwan belum ada keterangan jelas.
Dalam hal berkeluarga, berulang kai Kyai Ihsan menduda. Hampir
empat kali ia gagal membina rumah tangga dalam kurun waktu yang sangat
singkat. Alas an terdekat dari kegagalan itu adalah kesibukan Kyai Ihsan
dengan berbagai tulisannya. Konsep hidup legan (membujang) itu produktif,
sangat berarti pada Kyai Ihsan. Terbukti selama delapan bulan ia menduda,
ketika berumur 31 tahun, ia selesaikan masterpiece sirajut Tholibin.24
Lantas bagaimanakah Kyai Ihsan membiayai kehidupannya. Dalam
dunia

pesantren

masalah

rizki

adalah

sesuatu

yang

tabu

untuk

dipertanyakan. Mereka yang mepertanyakan kehidupan rizkinya sama saja
meragukan kekuasan Tuhan sebagai Zat Yang Maha Kaya. Karena semua
yang kita lakukan selama dalam jalan Allah –fi sabilillah- termasuk juga
mencari ilmu dan menyebarkannya akan mendapat berkah dari-Nya. Inilah
keyakinan dipesantren. Keyakinan itu merupakan usaha rasionalisasi
kehidupan. Begitu juga dengan Kyai Ihsan, sebagai seorang Kyai ia hidup
sangat kecukupan, meskipun tidak bisa dipastikan, rizki itu mengalir dari
berbagai jalan ketika ia ikhlas mengabdi di jalan Allah. Entah rizqi itu
datang melalui wali santri, para santri ataupun masyarakat sekitar yang
membutuhkan jasa seorang kyai. Begitulah lazimnya kehidupan para kyai.
Apalagi semenjak tahun 1932 Kyai Ihsan telah resmi menjadi pengasuh
Pesantren Jampes, dan pada tahun 1942, jumlah santri mencapai kisaran
1000 orang. Bahkan ketika itu Kyai Ihsan telah mendirikan madrasah yang
diberi nama Miftahul Huda.25
Mengenai hasil penjualan kitab terutama Sirajuth Tholibin, belum bisa
dipastikan. Karena data yang ada berdasarkan penelitian Martin V.
Bruinessen, percetakan Kitab Kuning di Nusantara baru dimulai tahun
24 Murtadho Hadi, Jejak spiritual Kiai Jampes. Hal 25
25 Syaikh Ihsan Jampes, Kitab Kopi dan Rokok. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

2009. Hal.xx

1948. Adapun sebelum tahun itu, kebutuhan kitab kuning di Nusantara
masih mengandalkan kiriman dari mesir, Singapura dan Arab Saudi. 26
Sedangakan pesantren Jampes sendiri saat itu belum memiliki percetakan.
Apakah Lalu bagaimanakah model pembiayaan hidup Kyai Ihsan, jikalau
kitabnya masih di cetak atau disalin secara manual oleh para santri? Inilah
yang memerlukan penelitian lebih lanjut.
Demikianlah gambaran tentang Kyai Ihsan selaku pengarang Irsaydul
Ikhwan. Dari gambaran tersebut dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa
model pembiayaan hidup kyai Ihsan dapat digolongkan dalam autofinancement. Auto-financement menurut escarpit adalah model pembiayaan
dari luar yang tidak ada hubungannya dengan karya sastra tersebut. Para
sastrawan yang termasuk dalam Auto-financement biasanya mempunyai
sumber pendanaan yang lain. Bisa sebagai dosen, buruh, militer ataupun
kekayaan warisan.27
Akan tetapi, dunia kepengarangan dalam wacana pesantren tidak
sesederhana itu. Karena pesantren merupakan lemabaga keagamaan
tradisonal. Pesantren mempunyai akar panjang dalam sejarah kebudayaan
Nusantara yang terjaga. Ia memiliki karakteristik yang berbeda dari
lembaga pendidikan modern. Sehingga alat baca berbagai fenomena
diselingkung pesantren, berbeda dengan alat baca lembaga yang lain.
Berbagai perbedaan fenomena sosiologis harus diselami dengan detail.
Begitu juga membaca karya Kyai Ihsan.
Apa yang dilakukan Kyai Ihsan dengan berbagai karyanya, dapat
dianggap sebagai ‘investasi kultural’. Artinya, investasi itu tidak semata
bernilai ekonomis. Namun lebih bernilai simbolik. Yaitu simbol keulamaan,
dan simbol intelektualitas. Suatu saat investasi kultural ini dapat berubah
menjadi investasi capital. Misalnya, Ketika Kyai Ihsan terbukti mampu
26 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan.

1995. Hal. 137-139
27 Robert Escarpit, Sosiologi Sastra. Hal.52-54.

menulis komentar al-Ghazali dalam Sirajuth Tholibin, maka secara perlahan
jumlah santri Kyai Ihsan semakin bertambah. Hal ini tentunya turut
merubah kehidupan Kyai Ihsan. Jika tahun 1932 jumlah santri pesantren
Jampes Cuma 150 orang, maka tahun 1942 ketika Kyai Ihsan telah kesohor
sebagai penulis, jumlah santri itu menjadi 1000 santri.28
Investasi semacam ini jelas membutuhkan waktu yang panjang. Hasil
investasi cultural Kyai Ihsan baru dapat dinikmati oleh anak cucu dan santri
Jampes ketika beliau telah tiada. Dan semua ini tidak pernah diangankan
oleh Kyai Ihsan sendiri, apalagi menjadi tujuaannya. Oleh karena itu,
sementara ini apa yang dikonsepkan oleh Escarpit tentang profesi sastra
dan pembiayaan hidup pengarang sulit diterapka pada kasus Kyai Ihsan
dengan Irsyadul Ikhwan nya.29
b. Konsumsi
Istilah

konsumsi

digunakan

oleh

Escarpit

untuk

menunjukkan

khalayak pembaca. Sebelum membahas tentang pembaca, terlebih dahulu
Escarpit mengurai ati public. Ketika menulis, semua pengarang memiliki
publik yang hadir dalam pikirannya. Paling tidak pikirannya sendiri. Dalam
khayalan maupun maupun kenyataan, sebenarnya pengarang melakukan
dialog dengan public lawan bicaraya. Baik dialog itu bermaksud menghibur,
memberi informasi, meyakinkan dan lain sebagainya.30
Irsaydul Ikhwan, mempunyai publiknya sendiri. Public bentukan Kyai
Ihsan dalam bahasa Escarpit dalam bentuk satu blok yaitu siapa saja yang
kemampuan memahami berhasa Arab yang baik, sebagai medianya. Dari
blok ini lahirlah sub blok yang lebih spesifik lagi. Diantaranya para santri
atau khalayak intelektual umum yang ingin tahu akan subtansi Irsaydul
Ikhwan. Diantara sub bab itu juga ada para penikamti rokok dan kopi. Dari
sub blok inilah yang kemudian melahikan public theorique. Yaitu ikatan
28 Ihsan Jampes, Kitab Kopi dan Rokok.Hal.xx
29 Robert Escarpit, Sosiologi Sastra. Hal.58-62
30 Robert Escarpit, Sosiologi Sastra. Hal.115-116

sangat kuat yang mengikat pengarang karena kesamaan budaya, kenyataan
dan bahasa.31
Bagi Kyai Ihsan, masyarakat pesantren bukanlah publik dalam
hayalan, tetapi public nyata. Begitu juga bagi masyarakat pesantren, Kyai
Ihsan dengan Irsaydul Ikhwan adalah pengarang yang telah dikenal dan
familier. Perkenalan ini tidak harus dengan membaca karya sebelumnya.
Cukup dengan rekomendasi para kyai yang lain atau cerita sosok Kyai
Ihsan, maka public pesantren secara otomatis telah membuka tangan lebarlebar. Inilah manfaat kesamaan budaya antara pengarang dan publiknya.
Namun Hal ini tidak menutup kemungkinan adanya blok lain yang
turut menjadi pembaca Irsaydul Ikhwan. Bisa saja dari kelompok yang
mempunyai kepentingan dengan wacana temabakau dan kopi. Misalnya
para petani tembakau atau pengusaha kopi. Inilah yang disebut dengan
public popular. Namun demikian public popular dapat saja bergeser menjadi
blok sastra ketika mereka memiliki kepentingan yang sangat tinggi. Atau
malah sebaliknya, public popular dapat juga menjadi ‘sastra pelarian’ ketika
kepentingan itu tidak ada. Nampaknya hal ini tidak diperhatikan oleh
Escarpit.32
Berhubungan dengan nadham sebagai genre yang ditampilkan oleh
Kyai Ihsan dalam Irsaydul Ikhwan. Sangatlah menarik untuk dikaji.
Mengingat keberadaan nadham yang telah memiliki tradisi kuat di
Indonesia. Sebagaimana peneltian Martin Van Bruinessen hampi 75% kitab
acuan yang dikaji dipesantren semenjak abad ke 18 berbentuk nadham.
Dengan sendirinya para pembaca yang telah terbiasa membaca nadham
akan sangat terbuka menerima bacaan senada yang ditawarkan Kyai Ihsan
dalam Irsyadul Ikhawan.

31 Robert Escarpit, Sosiologi Sastra. Hal.117-118
32 Tentang sastra pelarian baca Robert Escarpit, Sosiologi Sastra. Hal.141

Demikianlah berbagai hal yang menyiratkan fenomena konsumsi
dalam Irsyadul Ikhwan, dalam perpektif sosiologi sastra Escarpit. Untuk
konsep konsumsi ini banyak sekali ide yang dapat diterapkan dengan
sesuai.
c. Distribusi
Jika pembicaraan mengenai produksi yang fokus pada pengarang
merupakan pembicaraan bersifat historis. Maka pembicaraan tentang
konsumsi dan distribusi harus bersifat kekinian. Karena Irsyadul Ikhawan
terus dibaca hingga kini. Meskipun beberapa dekakde yang lalu sempat raib
dari peredaran. Dalam distribusi ini masuk berbagai pembahasan mengenai
penerbitan.
Untuk memahami penerbitan baik disampaikan analogi Escarpit
mengenai penerbitan sebagai seorang bidan. Meskipun ia bukanlah sumber
kehidupan, bukan pula ia yang subur, tetapi tanpa penerbitan karya yang
telah ‘dibuahi’ dan disempurnakan tidak akan eksis.33
Irsyadul Ikhawan dalam bentuknya sebagai sebuah buku dapat
dikategorikan sebagai kitab kuning. Entah telah melalui berapa kali
penerbitan, yang jelas edisi terkini merupakan hasil dari penerbit pesantren
al-Ihsan Jampes. Yaitu penerbit mandiri yang dikelola langsung oleh
pesantren milik penerus Kyai Ihsan.

34

Namun demikian perlu diungkapkan

sedikit hasil peneltian Martin Van Bruinessen mengenai sejarah percetakan
kitab kuning di Nusantara .
Dalam penelitiannya, Martin tidak secara gamblang menifinisikan apa
itu kitab kuning. Ia hanya memberikan keterangan bahwa kitab kuning
adalah beberapa kitab klasik yang dipelajari di pesantren dan telah
33 Robert Escarpit, Sosiologi Sastra. Hal.68
34 Perlu adanya penelitian yang pasti, bagaimanakah bentuk penerbitan Irsyadul

Ikhawan pertama kalinya. Karena hal ini akan menentukan arah karya itu dan juga
peta pembacanya.

dianggap sebagai ortodoks (al-kutub al-mu’tabarah).35 Dalam keempatan
lain ia menambahkan bahwa kitab kuning, demikian disebut karena kertas
buku yang berwarna kuning dibawa dari Timur Tengah pada awal abad ke
dua puluh.36
Pada abad ke Sembilan belas, proses penerbitan di pesantren masih
dilakukan secara manual melalui penyalinan tulisan. Namun bersamaan
dengan itu masuk pula berbagai kitab berbahasa arab dari Timur Tengah
dalam jumlah cukup besar sebagai efek samping dari orang yang datang
dari beribaah haji. Kebetulan pada tahun 1884 pemerintah Makkah
mendirikan penerbitan. Di sana juga dicetak beberapa kitab berbahasa
melayu di bawah pengawasan langsung Ahmad b. Muhammad Zain alPatani. Hingga pertengahan abad kesembilan belas, dinamika penerbitan
kitab-kitab kuning masih berpusat di Timur tengah. Baru pada tahun 1854
Kemas Haji Muhammad Azhari dari Palembang adalah orang Nusantra
pertama yang memiliki penerbitan. Meskipun saat itu masih terbatas
menerbitkan al-qur’an. Baru pada tahun 1881Sayyid Usman dari Batavia
memulai percetakan kitab kuning dengan judul al-qawanin al-syar’iyyah.37
Pada masa-masa ini di Nusantara baru ada beberapa toko buku
sebagai distributor, yaitu Sulaiman Mar’i di Singapura, Abdullah Afif di
Cirebon dan Salim nabhan di Surabaya. Pada awal abad dua puluh ini daya
beli masyarakat terhadap kitab cetakan masih rendah, hanya al-qur’an saja
yang memberikan untung besar bagi penerbitan. Dan ini mulai dirintis oleh
Abdullah bin afif tahun 1939-an. Hal ini ditiru oleh penerbit al-Ma’arif
Bandung yang mulai mencetak berbagai macam kitab kuning. Dan
selanjutnya pada tahun 1960 Toha Putra mulai ikut mengadu nasib dalam
usaha yang sama, kemudian diikuti oleh Menara kudus pada tahun

35 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Hal. 17
36 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Hal. 132
37 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Hal. 137-138

selanjutnya.

Dan

pada

tahun

1978

mantan

kompanyon

al-Ma’arif

mendirikan penerbitan di Singapura.38
Inilah realita penerbitan kitab kuning di Nusantara pada mulanya.
Jika melihat keadaan seperti ini, maka Irsyadul Ikhwan yang ditulis tahun
1930an kemungkinannya sangat kecil sekali untuk sampai ke tangan
penerbit. Kemungkinan besarnya hanyalah satu yaitu penerbitan secara
manual dengan disalin secara tertulis.
Maka langkah penyebaran penerbitan secara manual ini tidaklah
secepat langkah penyebaran percetakan. Maka tiga fungsi penerbitan
memilih, membuat dan membagikanpun tidak bisa meluas. Secara filosofis
penerbitan berarti mengantar suatu karya individu ke dalam kehidupan
kolektif. Ketika seorang telah memilih Irsyadul Ikhwan untuk disalin secara
manual dengan cara menulisnye, berarti orang itu telah menghubungkan
hidupnya dengan keadaan social disekitarnya. Entah itu karena subtansi
tema, atau karena pengarang atau sekedar disiapkan sebagai barang
warisan. Apapun alas an itu para penyalin ini sudah memasuki sebuah
sirkuit sastra.
I.

39

Kontinuitas Al-Jabiri

Inilah beberapa pendekatan sosiologi sastra menurut Escarpit yang
diterapkan dalam Irsyadul Ikhwan. Tanpa adanya penelitian terlebih dahulu,
sulit menggambarkan secara kongkrit citra masyarakat yang tercermin
dalam Irsyadul Ikhawan, serta fungsinya bagi pembaca.
Akan tetapi model pembacaan semacam ini hanya bersifat pasif,
seperti layaknya membaca sejarah. Oleh karena itu penulis mencoba
menggunakan

metode

kontinuitas

Abid

al-Jabiri,

seperti

yang

38 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Hal. 139
39 Robert Escarpit, Sosiologi Sastra. Hal.88

telah

dibicarakan di depan hal ini bertujuan memanggil spirit masa lalu itu hidup
kembali di masa kini.
Upaya memanggil kembali spirit masa lalu dari Irsyadul Ikhwan
terdapat dalam beberapa hal pertama perdebatan seputar hukum merokok
yang kembali dimunculkan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah, Majlis Ulama
Indonesia dan Nahdltul Ulama. Kedua-duanya baik yang mengharamkan
maupun yang menghalalkan telah disampaikan oleh Kyai Ihsan. Tentang
hukum pernah terjadi perselisihan pada awal abad kesepuluh. Sebagian
ulama

mengharamkannya

menghalalkannya.

Seperti

meskipun
yang

mayoritas

diterangkan

oleh

Kyai

dari
Ihsan

mereka
dalam

kitabnya;

‫والكأثرون صرحوا معتمدا * من أنها مباحة وانعقدا‬
‫اجمعهم بعد عليه اعتمدا * فلتاكن من العلوم قاعدا‬
‫وبه قد جزم ابن حجر * والرملى مع نقلهما المحرر‬
‫عن صاحب العباب قال أنها * لتازيل العقل وكأن‬
‫منتبها‬
‫وتاحصل النشاط طيب الخاطر * مع عدم النشاء‬
‫للضرر‬
‫بل ربما كأان معونة على * زيادة العمل خذ محصل‬
Mayoritas ulama berpendapat bahwa kopi termasuk minal mubahat (boleh
dikonsumsi)
Kesepakatan ulama ini terus menjadi pedoman, maka janganlah engkau
berpaling dari pengetahuan

Pendapat ini dukuatkan oleh Ibnu Hajar dan al-Ramli
Mereka berdua mengutip pendapat dari pengarang kitab al-Ubab bahwa
kopi tak membuat hilang akal.
Justru ia membakar semangat jiwa, tanpa menimbulkan bahaya
Bahkan terkadang membantu sesiapa untuk giat bekerja, demikian
kesimpulannya.
Dalam bait selanjutnya Kyai Ihsan menerangkan bahwa hukum minum
kopi tergantung pada motivasinya. Jika seseorang minum kopi dengan niat
agar kuat beribadah, maka minum kopi tersebut termasuk unsure taqarrub
pada Allah swt

.

40

Adapun tentang kontinuitas dari karya Kyai Ihsan ini dalam hal kopi,
baiknya dilihat dalam komentar atas nadham ini. Pada halaman 15 Kyai
Ihsan menerangkan manfaat kopi, pertama membangkitkan kekuatan otak
dan kerja pikiran. Kedua, kopi dapat mengurangi tidur. Ketiga, kopi
berpengaruh terhadap otot-otot urat saraf sehingga mampu memperlancar
aliran darah. Ketiga macam faedah inilah yang hendaknya perlu penelitian
lebih lanjut. Kopi macam apakah yang memiliki kasiat seperti keterangan
Kyai Ihsan, apa semua kopi termasuk juga kopi instan? Atau kopi-kopi
tertentu. Nampaknya masalah ini dapat menjadi benang merah yang
menghubungkan kekinian dan tradisi.
Sedangkan

mengenai

hukum

rokok,

Kyai

Ihsan

mendahulukan

keterangan tentang keharamannya ia mengatakan :

‫وحرم جمع على الدخان * فمنهم القليوبى‬
‫واللقانى‬
Sebagian ulama mengharamkan rokok, seperti al-Qalyubi dan al-Laqni.
40 Irsayd al-Ikhwan, Syekh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi. Hal. 12 – 15. Atau
terjemahan oleh LKiS dengan judul Kitab Kopi dan Rokok. Hal. 20-23.

Dalam komentarnya, Kyai Ihsan menerangkan beberapa alasan yang
digunakan oleh al-Qalyubi dan al-Laqani dalam mengharamkan rokok. AlQalyubi menerangkan tentang rokok dalam bab najis. Bahwa setiap benda
cair yang memabukkan –seperti arak- adalah barang najis yang diharamkan.
Berbeda dari barang yang cair adalah benda padat yang membahayakan
pikiran seperti candu. Meskipun tidak najis tetap saja haram hukum
mengkonsumsinya, termasuk di dalamnya adalah rokok.41

‫وذهب الى ذلك القول * أعنى الحرام مضاد‬
‫الحلل‬
‫طائفة من علماء الصوفية * وشددوا القول‬
‫بلخفية‬
Begitu juga berpendapat haram adalah sebagian kelompok sufi,
bahkan mereka dengan sungguh-sungguh mengharamkannya.
Meskipun para sufi ini tidak mempunyai alasan yang kuat dalam
mengharamkan rokok, kecuali menyamakannya dengan hukum hasyis.
Tetapi mereka berani menerangkan bahwa barang siapa yang tidak
bertobat dari dalam waktu 40 hari sebelum matinya, dikhawatirkan ia akan
mati dalam keadaan su’ul khotimah.42 Begitu pula pendapat Ibenu hajar
yang menghukumi keharaman rokok karena tembakau dianggap barang
kotor dan mengandung penyakit.
Dengan demikian ada beberapa alasan keharaman rokok dalam
perpektif

ulama

membahayakan
kategori

yang

mengharamkannya.

kesehatan.

barang

yang

Kedua,

merokok

memabukkan.

Pertama

rokok

dianggap

Ketiga,

bau

dianggap

masuk

rokok

dalam

dianggap

mengganggu orang lain. Dan keempat, rokok menjadikan hidup lebih boros.
41 Irsayd al-Ikhwan, Syekh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi Hal. 14
42 Irsayd al-Ikhwan, Syekh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi Hal. 19

Begitulah Kyai Ihsan menerangkan kepada pembaca beberapa alasan para
ulama mengharamkan rokok.
Adapun mereka yang menghalalkannya mempunyai beberapa alasan
yang berbeda. Seperti Abdul Ghani al-Nabulsi, bahkan ia telah mengarang
sebuah kitab yang menjabarkan kehalalan merokok dengan judul al-Shulhu
bain al-Ilkhwan fi Hukmi Ibahati syurb al-Dukhan (Mendamaikan antar
kawan tentang hukum merokok). Begitu juga al-barmawi yang mengatakan
bahwa keharaman rokok tidak terdapat pada subtansi tembakaunya, tetapi
karena unsure luar yang memengaruhinya. Artinya hukum merokok bisa
menjadi haram ketika perokok adalah peyandang penyakit paru-paru yang
akut43

‫والبرملوي يقول قال البابلى * وشربه يحكم‬
‫بالحلل‬
‫اماحرامه فل لذاتاه * بل هو للمر الطارئ فانتبه‬
Pendapat al-barmawi seperti yang dikutip oleh al-babili
Bahwa hukum menghisap rokok adalah halal
Adapun keharaman rokok buanlah karena subtansinya,
Melainkan disebabkan factor luar yang datang belakangan44
Begitulah sekilas tentang beberap