INTERTEKSTUAL CERPEN “ROBOHNYA SURAU KAMI” KARYA A.A. NAVIS DENGAN “BURUNG KECIL BERSARANG DI POHON” KARYA KUNTOWIJOYO DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH

(1)

SEKOLAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh

Suci Bella Dwi Kurnia 109013000111

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2013


(2)

NAVIS DENGAN BURUNG KECIL BERSARANG DI POHON KARYA

KUNTOWIJOYO DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN

SASTRA DI SEKOLAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh

Suci Bella Dwi Kurnia NIM: 109013000111

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2013


(3)

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah lulus dalam ujian munaqasah pada tanggal 27 September 2013 di hadapan dewan penguji. Karena itu penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S.Pd.) bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Jakarta, 30 September 2013 Panitia Ujian Munaqasah


(4)

NIM : 109013000111

Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Alamat : Klapanunggal Rt 02/ RW 01 No. 123 Cileungsi-Bogor 16820

MENYATAKAN DENGAN SESUNGGUHNYA

Bahwa skripsi yang berjudul Intertekstual Cerpen “Robohnya Surau

Kami” Karya A.A. Navis dengan “Burung Kecil Bersarang di Pohon” Karya

Kuntowijoyo dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah adalah benar hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen:

Nama Pembimbing : Ahmad Bahtiar, M.Hum.

NIP : 197601182009121002

Jurusan/Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap menerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya sendiri.

Jakarta, 19 September 2013

Suci Bella Dwi Kurnia NIM. 109013000111


(5)

i

Jakarta: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 2013.

Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mendeskripsikan bentuk intertekstual yang terdapat dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”karya AA. Navis dan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon karya Kuntowijoyo, 2) Mendeskripsikan implikasi bentuk intertekstualitas cerpen Robohnya Surau Kami karya AA. Navis dengan cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis dan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon” karya Kuntowijoyo terhadap pembelajaran sastra di sekolah. Kedua cerpen tersebut dipilih dengan alasan sebagai berikut. 1) Peneliti menemukan persamaan dan perbedaan antara kedua cerpen tersebut sehingga tertarik untuk mengkajinya secara intertekstual, dan 2) Persamaan dan perbedaan yang ditemukan dalam penelitian menimbulkan banyak pertanyaan sehingga menarik untuk dikaji. Metode yang digunakan dalam penelitian karya ilmiah ini adalah metode kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui intertekstualitas yang terdapat dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” dengan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon” selain itu penulisan karya ilmiah ini juga menggunakan pendekatan intertekstual.

Berdasarkan temuan dan hasil analisis terhadap kedua cerpen ini, diketahui bahwa kedua cerpen ini mempunyai hubungan intertekstualitas berupa: 1) Kedua cerpen bertemakan mengenai konflik jiwa keagamaan yang dialami oleh tokoh utama yang sama yaitu kakek. 2) Persamaan tokoh utama yaitu seorang kakek dengan latar belakang berbeda namun memiliki sifat sama dalam masalah ibadah sosial. 3) Terdapat pesamaan latar tempat yaitu daerah Minang. 4) Cerpen “Robohnya Surau Kami” merupakan hipogram sedangkan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon merupakan transformasi.

Kata kunci: Intertekstualitas, cerpen “Robohnya Surau Kami”, cerpen “Burung


(6)

ii

Jakarta: Indonesia Language and Literature Education. 2013.

This research aimed to know, 1) To describe an intertextual in “The

Collapsed of Our Surau” Short Story A.A. Navis and “Small Birds Nesting in a Tree” of Kuntowijoyo, 2) To describe the implications “The Collapsed of Our Surau” Short Story A. A. Navis and “Small Birds Nesting in a Tree” of Kuntowijoyo to the Learning Literature at School. Both of short stories were selected by the following reasons. 1) The researcher found the similarities and differences between the two short stories, and so interested to review them in intertextual, and 2) The similarities and differences which found in this research make many questions and so interesting to review. The methods which used in the writing of scientific papers is a qualitative method which aims to find out the intertextualitas contained in a “The Collapsed of Our Surau” short story with “Small Birds Nesting in a Tree” short story, beside that, writing of this scientific papers is also using the intertextual approach.

Based on the findings an analysis of these two short stories, nothing these two stories had intertextual connection, which are, 1) Both short stories is had theme about religious life conflict that experienced by the same main character, the Grandfather. 2) The equation of the main character is an old man with different background but have the same problem. About social worship. 3) Had

the same setting, on Minang. 4) “The Collapsed of Our Surauis the Hypogram

and “Small Birds Nesting in a Treeis transformation short story.

Keywords: Intertextual, “The Collapsed of Our Surau” short story, “Small Birds


(7)

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah Swt yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, serta kesehatan rohani dan jasmani kepada penulis sehingga diberikan kemudahan untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Intertekstual Cerpen ‗Robohnya Surau Kami‘ Karya A.A. Navis dan ‗Burung

Kecil Bersarang di Pohon‘ Karya Kuntowijoyo dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Salawat dan salam semoga terdurahkan kepada utusan Allah Swt, yaitu Nabi Muhammad Saw.

Penulis menyusun skripsi ini untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, karya ilmiah ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Nurlena Rifa‘i, M.A., Ph.D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah

mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini;

2. Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA, M. Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, dosen yang telah memberikan ilmu dan bimbingan yang sangat berharga bagi penulis selama ini.

3. Ahmad Bahtiar, M. Hum., selaku dosen pembimbing yang sangat berpengaruh dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih untuk semangat, arahan, bimbingan, dan kesabaran Bapak selama membimbing penulis. 4. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Program Studi Pendidikan Bahasa dan


(8)

Hidayatullah Jakarta, yang selama ini telah membekali penulis untuk terus maju.

5. Keluarga penulis tercinta terutama Papa, Mama, dan kedua adik. Viny Marzella dan Rico Nurillahi yang selalu memberikan dukungan kepada penulis unuk terus maju dan selalu memberikan kasih sayangnya hingga detik ini.

6. Arif Rachman yang setia menemani saat PPKT dan saat menyusun skripsi, terima kasih untuk doa, motivasi, saran, dan bantuannya.

7. Agnis Afriani, Aeni Nur Syamsiyah, Reny Rachmawati, Adinda Putri, sahabat-sahabatku sejak awal masuk perkuliahan hingga saat ini.

8. Teman-teman kosan Intan, Bundo Dian, Elsa, Anit, Yeyen, Wardah, Nisa, Eka, Dewi, Nia, yang selalu menemani. Terima kasih atas doa dan dukungan kalian.

9. Seluruh sahabat mahasiswa PBSI angkatan 2009 khususnya kelas C yang tidak dapat disebutkan satu persatu;

10.Fotokopi Maju Jaya, Bang Tyo, Uda Is, Uda Ade, Rizky yang telah membantu penulis dan untuk berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan kepada penulis senantiasa mendapat pahala yang berliat ganda dari Allah Swt serta diberikan balasan setimpal dari Allah Swt. Amin.

Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini bermanfaat bagi kemajuan pendidikan dan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

Jakarta, 19 September 2013


(9)

v

KATA PENGANTAR ……… iii

DAFTAR ISI ……… v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………. 1

B. Identifikasi Masalah …..….………. 3

C. Batasan Masalah ……….. 4

D. Rumusan Masalah ……… 4

E. Tujuan Penelitian ………. 5

F. Manfaat Penelitian ……… 5

G. Metode dan Teknik Penelitian ………. 6

H. Penelitian yang Relevan ……….. 10

BAB II LANDASAN TEORI A. Hakikat Cerpen ……… 12

1. Pengertian Cerpen ……….. 12

2. Ciri-ciri Cerpen ………... 14

3. Perbedaan Cerpen dengan Novel ……….. 16

4. Unsur Intrinsik Cerpen ……… 17

5. Unsur Ekstrinsik Cerpen ………. 22

B. Pendekatan Intertekstual ……….. 23

1. Teori Intertekstual …….………. 23

2. Hipogramatik ……….……….… 25

3. Transformasi Teks ……….. 28

C. Pembelajaran Sastra di Sekolah ……….... 29

1. Pengertian Pembelajaran Sastra ………. 29


(10)

a. Ruang Lingkup Bahan Ajar Cerpen di SMA …. 33 b. Strategi dan Teknik Mengajar Cerpen di SMA… 34 c. Tujuan Pembelajaran Analisis Cerpen di SMA..… 34 BAB III PEMBAHASAN

A. Biografi A.A. Navis ………..…… 36

B. Biografi A.A. Kuntowijoyo ……….. 38

C. Sinopsis Cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis .. 40 D. Sinopsis tentang Cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon”

karya Kuntowijoyo……… 41

E. Unsur Intrinsik Cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A.

Navis ………. 43

F. Unsur Intrinsik Cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon”

Karya Kuntowijoyo……… 56

G. Analisis Intertekstual Cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis dengan Cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon”

karya Kuntowijoyo……….…... 67

H. Implikasi terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah………. 80 BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ………. 89

B. Saran ……… 90

DAFTAR PUSTAKA

LEMBAR UJI REFERENSI BIOGRAFI PENULIS


(11)

1

A.

Latar Belakang Masalah

Sebagai karya seni, karya sastra memiliki orisinalitas. Salah satu pembangun orisinalitas tersebut terbentuk dari pemahaman pengarang terhadap kenyataan yang dihadapinya. Setiap kenyataan dunia akan berbeda makna bagi setiap pengarang atau penyair. Akibatnya, sebuah kenyataan dunia akan tampil berbeda pada karya sastra yang dihasilkan oleh penyair yang berbeda. Begitu pula dengan bahasa sebagai media yang digunakannya pun akan berbeda pada setiap pengarang. Oleh karena itu, terdapat pendekatan objektif dalam mendekati karya sastra.

Selain pandangan yang lebih menitikberatkan pada karya sastra tersebut, terdapat pula pandangan yang menyatakan bahwa karya sastra pun mendapatkan juga maknanya dari pembacanya. Dalam hal ini, karya sastra tidak hanya mutlak milik pengarang atau penyair, tetapi juga milik pembaca. Pengarang atau penyair tentu menciptakan karya sastra untuk menyampaikan setiap gagasannya yang lahir dari perekaman dan pemahaman kenyataan dunia yang dialaminya.

Dalam kaitan tersebut terdapat pandangan bahwa karya sastra tidak diciptakan dari kekosongan budaya. Pengarang dalam menciptakan karangan tentu dipengaruhi oleh alam sekitar (masyarakat, kebudayaan, dan bahasa). Pada hakikatnya, sang pengarang dalam menciptakan karya sastra melalui daya imajinasinya tentu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan. Namun, pengaruh situasi dan kondisi lingkungan tidak mutlak tertuang dalam sastra sehingga dalam karyanya pengarang juga memasukkan imajinasinya.

Pengarang dalam menciptakan suatu karya sastra pasti berbeda-beda, hal ini terlihat dari hasil karyanya bisa berupa cerpen, novel, atau puisi. Selain itu, metode, teknik, atau gaya bahasa yang digunakan pun pasti berbeda. Namun,


(12)

selain perbedaan antara pengarang satu dengan pengarang yang lain banyak juga pengarang yang menciptakan karya sastra dilandasi atau didasari oleh karya sastra pengarang lain. Hal ini dinamakan interteks yaitu menciptakan kemiripan cerita yang terkandung antara karya sastra yang satu dengan karya sastra yang lain. Tetapi kemiripan yang terdapat dalam karya sastra yang dihasilkan bukan merupakan suatu penjiplakan.

Sebuah karya sastra yang mengandung intertekstualitas adalah bentuk respons seorang pembaca terhadap karya yang telah dibacanya. Boleh dikatakan sebuah karya sastra adalah kumpulan karya sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa interteks memiliki hubungan dengan resepsi dan respons. Kreativitas pengarang sangat berperan dalam prinsip ini.

Selain itu, prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksi sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya-karya yang lain. Masalah intertekstualitas lebih dari pengaruh, pengambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya lain yang menjadi hipogramnya.

Menurut Pradopo, karya sastra diciptakan mengikuti konvensi-konvensi karya-karya sastra yang ditulis sebelumnya, di samping juga menyimpangi konvensi sastra yang sudah ada, atau menentang karya sastra sebelumnya, baik mengenai pikiran yang dikedepankan maupun konvensi estetikanya1.

Cerpen merupakan bentuk karya fiksi yang menceritakan sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun dengan unsur intrinsik, seperti tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa. Secara garis besar unsur inrinsik yang terdapat dalam sebuah karya sastra hampir sama, yang pasti sebuah karya setidaknya harus mengandung tiga aspek utama yaitu, decore (memberikan sesuatu kepada pembaca), declarate (memberikan kenikmatan melalui unsur estetik), dan movere (mampu menggerakkan kreativitas pembaca).

1

Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 55


(13)

Atas dasar inilah penulis akan mengkaji dua buah karya sastra tulis berupa cerita pendek (cerpen). Cerpen yang akan dikaji yaitu cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis dengan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon” karya Kuntowijoyo. Cerpen tersebut dipilih dalam penelitian ini karena kedua novel tersebut mengandung banyak kesamaan. Ide cerita atau tema yang terdapat di dalam kedua cerpen tersebut sama, yaitu mengenai konflik jiwa keagamaan yang dialami tokoh utama. Selain itu, juga terdapat tokoh utama yang sama. Persamaan lain dari kedua cerpen ini terletak pada ceritanya yang menggambarkan tokoh kakek yang cenderung melupakan kondisi lingkungan dan lebih memilih terus beribadah, padahal ibadah sosial sama pentingnya dengan ibadah ritual kepada Tuhan. Peristiwa yang dialami tokoh kakek pada kedua cerpen tersebut membuka pandangan kita bahwa tidaklah baik pula bila kita selalu beribadah kepada Tuhan tanpa mengingat kehidupan sosial yang ada di sekeliling kita.

Kedua cerpen ini dinilai memiliki banyak kesamaan yang nantinya bisa dijadikan sebagai materi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah, dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, khususnya tentang sastra diajarkan berbagai hal yang membahas mengenai sastra. Dalam prosa rekaan, seperti novel dan cerpen maka yang dipelajari adalah unsur instrinsik dari prosa tersebut, selain itu dengan pendekatan intertekstualitas ini dalam pembelajaran sastra indonesia di sekolah dapat diketahui mana teks awal atau teks pertama yang dibuat dan menjadi latar belakang penulisan teks selanjutnya (hipogram) dengan teks kedua yang lahir setelah teks pertama itu (transformasi).

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka penulis menyusun

judul dalam penelitian ini yaitu “Intertekstualitas Cerpen “Robohnya Surau Kami”

karya A.A. Navis dengan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon”Karya Kuntowijoyo dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah.”


(14)

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut:

1. Sastra tidak diciptakan dari kekosongan budaya.

2. Interteks akan menciptakan kemiripan cerita yang terkandung antara karya sastra yang satu dengan karya sastra yang lain.

3. Bentuk intertekstual yang terdapat dalam cerpen Robonhya Surau Kami karya AA. Navis dan cerpen Burung Kecil Bersarang di Pohon karya Kuntowijoyo

4. Implikasi bentuk intertekstualitas cerpen Robonhya Surau Kami karya AA. Navis dengan cerpen Burung Kecil Bersarang di Pohon karya Kuntowijoyo dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah.

C.

Batasan Masalah

Dalam suatu penelitian diperlukan pembatasan masalah agar pembahasan dalam penelitian tersebut tidak meluas. Adapun pembatasan dalam penelitian ini adalah penelitian membahas hubungan intertekstual antara dua cerpen yaitu “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis dengan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon” Karya Kuntowijoyo”. Hubungan intertekstual difokuskan pada pembahasan mengenai bentuk intertekstual dari segi struktur tema, tokoh, latar tempat, dan hipogram.

D.

Rumusan Masalah

Dari pembatasan masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk intertekstual yang terdapat dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis dengan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon”karya Kuntowijoyo?

2. Bagaimana implikasi bentuk intertekstualitas cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis dengan cerpen “Burung Kecil Bersarang di


(15)

Pohon” karya AA. Navis dan cerpen Burung Kecil Bersarang di Pohon karya Kuntowijoyo terhadap pembelajaran sastra di sekolah?

E.

Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini ada dua tujuan yang ingin dicapai, yaitu:

1. Mendeskripsikan bentuk intertekstual yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya AA. Navis dan cerpen Burung Kecil Bersarang di Pohon karya Kuntowijoyo.

2. Mendeskripsikan implikasi bentuk intertekstualitas cerpen Robohnya Surau Kami karya AA. Navis dengan cerpen Robohnya Surau Kami karya AA. Navis dan cerpen Burung Kecil Bersarang di Pohon karya Kuntowijoyo terhadap pembelajaran sastra di sekolah.

F.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat kepada pembaca. Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Manfaat Teoretis

Membantu pembaca agar dapat memperluas pengetahuan terutama dalam bidang bahasa dan sastra Indonesia, khususnya bagi pecinta sastra.

2. Manfaat Praktis

a) Bagi Pembaca dan Pecinta Sastra

Dapat digunakan pembaca dan pecinta sastra sebagai bahan perbandingan dengan penelitian lain dalam menganalisis studi interteks.

b) Bagi Mahasiswa

Membantu mahasiswa untuk menemukan gagasan atau ide yang kreatif di masa mendatang.

c) Bagi Dunia Pendidikan

Dapat digunakan guru bahasa dan sastra di sekolah sebagai bahan ajar. d) Bagi Peneliti


(16)

Membantu peneliti memperkaya pengetahuan dan wawasan mengenai dunia bahasa dan sastra Indonesia.

G.

Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Dalam mengkaji intertekstual cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis dengan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon”karya Kuntowijoyo digunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif mempertahankan hakikat nilai-nilai2. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data ilmiah. Data berhubungan dengan konteks keberadaan melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relevan.

Penelitian kualitatif deskriptif merupakan penelitian yang menyajikan temuannya dalam bentuk deskripsi kalimat yang rinci, lengkap dan mendalam mengenai proses mengapa dan bagaimana sesuatu terjadi. Pengkajian deskriptif menyarankan pada pengkajian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta atau fenomena yang secara empiris hidup pada penuturnya (sastrawan). Artinya yang dicatat dan dianalisis adalah unsur-unsur dalam karya sastra seperti apa adanya.

Jenis penelitian pada penelitian ini adalah penelitian dasar yang memfokuskan pada deskripsi tentang hubungan interteks pada cerpen. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif.

2. Objek Penelitian

Objek penelitian adalah unsur-unsur yang bersama-sama dengan sasaran penelitian membentuk data dan konteks data. Objek penelitian itu penting bahkan merupakan jiwa penelitian, apabila objek penelitian tidak ada, maka tentu saja penelitan tidak akan pernah ada. Objek dalam penelitian ini adalah hubungan intertekstual dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis dengan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon”karya Kuntowijoyo.

2

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 47


(17)

3. Data dan Sumber Data a) Data

Data penelitian sastra adalah kata-kata, kalimat, dan wacana. Adapun data penelitian ini adalah data yang berupa kata, kalimat, dan wacana yang terdapat dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis dengan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon” yang diklasifikasikan sesuai dengan analisis yang dikaji yaitu hubungan intertekstual dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis dengan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon”karya Kuntowijoyo.

b) Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini menggunakan sumber data primer dan data sekunder, adapun data yang diperoleh dari sumber data tersebut adalah sebagai berikut:

1) Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data utama, sumber asli. Sumber data primer yaitu data yang langsung dan segera diperoleh dari sumber data oleh penyelidik untuk tujuan khusus. Sumber primer dari penelitian ini yaitu cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam kumpulan cerpen berjudul Robohnya Surau Kami karya AA. Navis terbitan Gramedia Pustaka Utama, tahun 2010, v+142 halaman dan cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon” dalam kumpulan cerpen berjudul Dilarang Mencintai Bunga-bunga karya Kuntowijoyo terbitan Pustaka Firdaus, tahun 1996, xvii+202 halaman.

2) Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder merupakan data kedua. Selain itu data sekunder merupakan data yang berhubungan dengan penelitian yang telah dilakukan. Data sekunder membantu peneliti dalam menganalisis data primer dalam sebuah penelitian berupa artikel-artikel di situs internet (on line) ataupun dalam artikel koran yang berhubungan


(18)

dengan objek penelitian yang difokuskan pada A.A. Navis dan Kuntowijoyo.

3) Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka dan catat. Teknik pustaka yaitu studi tentang sumber-sumber yang digunakan dalam penelitian sejenis, dokumen yang digunakan untuk mencari data-data mengenai hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, majalah, gambar, dan data-data yang bukan angka. Teknik simak adalah suatu metode pemerolehan data yang dilakukan dengan cara menyimak suatu penggunaan bahasa. Pengumpulan data dilakukan dengan pembacaan dan penyimakan cerpen “Robohnya Surau Kami dan “Burung Kecil Bersarang di Pohon” secara cermat, terarah, dan teliti. Pada saat melakukan pembacaan tersebut peneliti mencatat data-data yang berhubungan dengan intertekstual yang ditemukan dalam kedua novel tersebut.

Setelah itu barulah peneliti mencocokan dengan materi pembelajaran dan kurikulum di sekolah. Dalam pembelajaran di sekolah baik SMP/SMA terdapat materi pelajaran mengenai unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik.

4) Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilaksanakan secara terus menerus, sejak pengumpulan data di lapangan sampai waktu penulisan laporan penelian. Hal ini dikarenakan pengumpulan data sebagai jalan menuju terciptanya penulisan laporan penelitian yang dilakukan. Analisis data merupakan kegiatan yang berjalan dari awal hingga akhir penulisan penelitian yang berlangsung terus menerus.

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pembacaan heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik merupakan


(19)

cara kerja yang dilakukan oleh pembaca dengan menginterpretasikan teks sastra secara referensial lewat tanda-tanda linguistik. Pembacaan heuristik dapat juga dilakukan secara struktural. Pembacaan ini berasumsi bahwa bahasa bersifat referensial artinya bahasa harus dihubungkan dengan hal-hal nyata.

Pembacaan hermeneutik atau retroaktif merupakan kelanjutan dari pembacaan heuristik untuk menyampaikan makna. Metode ini merupakan cara kerja yang dilakukan oleh pembaca dengan bekerja secara terus-menerus lewat pembacaan teks sastra secara bolak-balik dari awal sampai akhir. Jadi, penafsiran disampaikan lewat bahasa, bukan bahasa itu sendiri. Karya sastra perlu ditafsirkan sebab di satu pihak karya sastra itu terdiri atas bahasa, di pihak lain, di dalam bahasa sangat banyak makna yang tersembunyi, atau dengan sengaja disembunyikan.3

Langkah awal analisis cerpen “Robohnya Surau Kami dan “Burung Kecil Bersarang di Pohon” yaitu memaparkan strukturalnya dengan menggunakan metode pembacaan heuristik, pada tahap ini pembaca dapat menemukan arti atau makna. Tahap ini juga mengungkapkan satu persatu hasil analisis struktural masing-masing cerpen, sehingga dapat diketahui struktur yang membangun cerpen “Robohnya Surau Kami”dan “Burung Kecil Bersarang di Pohon”.

Selanjutnya dilakukan pembacaan hermeneutik, yaitu peneliti bekerja secara terus menerus lewat pembacaan teks sastra secara bolak-balik dari awal sampai akhir. Cerpen “Robohnya Surau Kami” adalah cerpen yang pertama dibaca secara terus menerus, bolak-balik dari awal sampai akhir. Kemudian cerpen “Burung Kecil Bersarang di Pohon” yang dibaca secara terus menerus, bolak-balik dari awal sampai akhir, hal ini bertujuan untuk mengungkapkan hubungan interteks pada cerpen

Robohnya Surau Kami” dan Burung Kecil Bersarang di Pohon” yang

3

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 45


(20)

lebih difokuskan pada transformasi dalam tema, tokoh, latar tempat, dan masalah agama kedua cerpen.

H.

Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan memuat penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan topik penelitian. Penelitian-penelitian tersebut diuraikan sebagai berikut: Analisis mengenai cerpen “Robohnya Surau Kami sebelumnya telah dilakukan, antara lain oleh Siswo Harsono (2009) yang berjudul “Kontestasi Kesalehan Ritual Versus Sosial (Kritik Sosial terhadap Praktik Keberagamaan”.4 Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kesalehan ritual merupakan representasi dari masyarakat Minangkabau yang religius. Sedangkan kesalehan sosial yang diwujudkan dalam bekerja merupakan representasi dari masyarakat pedagang. Si kakek penjaga surau hidup dalam habitus (meminjam istilah Bourdieu) religius yang selalu beribadah secara ritual. Sedangkan Ajo Sidi yang selalu merantau hidup dalam habitus sosial yang selalu bekerja. Bagi masyarakat religius, cerita keagamaan merupakan tuntunan kehidupan. Bagi masyarakat perantau, cerita dari berbagai tempat yang identik dengan bualan menjadi bahan hiburan. Dalam kontestasi kedua habitus itulah masyarakat Minangkabau yang ritual dikalahkan oleh yang sosial, beribadah dikalahkan oleh bekerja.

Anwar (2007) dalam analisisnya “Cerpen-cerpen Kuntowijoyo: Dialektika

Dua Dunia”,5 hasil penelitiannya menyatakan bahwa pola cerita dalam

“Burung Kecil Bersarang di Pohon” mengingatkan kita pada cerpen “Robohnya Surau Kami”. Baik Navis maupun Kuntowijoyo agaknya ingin menegaskan bahwa ibadah sosial (humanisasi dan liberasi) sama pentingnya dengan ibadah ritual kepada Tuhan (trasendensi).

Bambali (2007) mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dalam skripsinya yang berjudul Intertekstual Novel Geni Jora Karya Abidah El

4Siswo Harsono, “

Kontestasi Kesalehan Ritual Versus Sosial (Kritik Sosial Terhadap Praktik

Keberagamaan)”, dalam http://staff.undip.ac.id/ diunduh pada 2009 5


(21)

Khalieqy dengan Novel Layar Terkembang Karya Sutan Takdir Alisyahbana.6 Hasil penelitian skripsinya menunjukkan terdapat persamaan tema utama dalam novel Layar Terkembang dan novel Geni Jora, yaitu perjuangan perempuan untuk memperoleh kesamaan hak dengan laki-laki harus mengubah pemikiran dan pandangannya tentang sikap perempuan. Watak tokoh utama juga memiliki persamaan, antara lain suka membaca, pandai, kejam, pemarah, tegas, semangat, dan pemberani. Begitu pula dengan tokoh tambahan pada kedua novel yang mempunyai lebih banyak persamaan, antara lain pada tokoh Yusuf dengan Zakky yang kekanak-kanakan, intelek, petualang, dan romantis, tokoh Maria dengan Elya tegas, tokoh Lola dengan Ratna yang cekatan dan pandai, dan ayah Tuti dengan ayah Kejora, seorang yang bijaksana dan religious. Jadi, kesimpulannya novel Geni Jora menjadi teks transformasi, mempunyai persamaan dengan novel Layar Terkembang yang menjadi hipogramnya.

Persamaan penelitian ini dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya adalah pengkajian dilakukan pada karya sastra berupa cerpen, yaitu Robohnya Surau Kami dan Burung Kecil Bersarang di Pohon, selain itu persamaan juga tampak dalam pengkajian intertekstual. Adapun perbedaannya adalah peneliti akan melakukan penelitian untuk mengungkapkan hubungan intertekstual antara cerpen dengan cerpen, sedangkan cerpen yang akan dikaji hubungan intertekstualnya adalah cerpen Robohnya Surau Kami dan Burung Kecil Bersarang di Pohon.

6Bambali, “

Intertekstual Novel Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy dengan Novel Layar Terkembang Karya Sutan Takdir Alisyahbana”, Skripsi pada Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Yogyakarta, 2007


(22)

12

BAB II

LANDASAN TEORI

A.

Hakikat Cerpen

Jika membicarakan karya sastra rekaan atau imajinasi (yang juga disebut karya sastra kreatif untuk membedakan dengan karya sastra non-imajinasi yang mendasarkan pada data) kita akan membaginya menjadi tiga bagian, yakni fiksi, puisi, dan drama. Dahulu orang sering menggolongkan hasil-hasil sastra menjadi prosa dan puisi. Termasuk prosa di dalamnya adalah novel, cerita pendek, dan esai. Di dalam cara penyajiannya prosa selalu menggunakan kalimat-kalimat atau susunan kata-kata yang mempunyai arti tunggal (satu arti saja) meskipun keseluruhan pengungkapan pengalaman di dalamnya (misalnya cerita pendek atau novel) dapat menimbulkan banyak arti atau tafsiran.

1. Pengertian Cerpen

Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa pengertian cerita pendek (cerpen) adalah kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi (pada suatu ketika).1

Abrams sendiri mengemukakan bahwa a short story is a brief work of prose

fiction, and most of the terms for analyzing the component elements, the types, and

the various narrative techniques of the novel are applicable to the short story as

well.2

Selanjutnya menurut H.B. Jassin dalam tulisannya “Cerpen Pendek,

Lukisan dan Roman” seperti yang dikutip Korrie Layun Rampan dalam

bukunya yang berjudul Apresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir3 mengatakan,

1

Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-4, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 263

2

M.H.A. Abram, Glossary of Literary Terms, (Boston: Heinle & Heinle, 1999), hlm. 286 3


(23)

cerpen ialah cerita yang pendek. Tentang pendek ini orang boleh berdebat dan bertengkar, tetapi cerita yang 100 halaman panjangnya sudah tentu tidak bisa yang panjangnya 10 atau 20 halaman masih bisa disebut cerpen tetapi ada juga cerpen yang panjangnya hanya satu halaman.

Dalam buku yang sama, pendapat lain yaitu Nyoman Tusthi Eddy dan Bambang Sadono S.Y. dalam tulisan “Proses Penciptaan Cerita Pendek” mengatakan bahwa cerpen ialah 1) hanya melukiskan kejadian/peristiwa, 2) waktu berlangsung kejadian tak begitu lama, 3) tempat kejadian berkisar antara satu sampai tiga tempat, 4) jumlah pelaku paling banyak lima orang, dan (5) watak pelaku tak dilukiskan secara mendalam.

Sedangkan menurut Mochtar Lubis yang disebut cerpen adalah cerita yang bisa selesei sekali baca, dua kali baca, atau tiga kali baca dengan jumlah perkataan berkisar 500-30.000 kata. Dengan penentuan jumlah perkataan ini belumlah menjamin cerita yang pendek itu dapat dikatakan cerpen.4

Jakob Sumardjo berpendapat bahwa cerita pendek adalah cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu unsur fiksi dalam aspeknya yang terkecil. Jadi, kependekan sebuah cerita pendek bukan karena bentuknya yang jauh lebih pendek dari novel, tetapi karena aspek masalahnya yang sangat dibatasi.5

Cerita pendek (cerpen) merupakan cerita yang menurut wujud fisiknya berbentuk pendek. Ukuran panjang pendeknya suatu cerita memang relatif. Namun, pada umumnya cerita pendek merupakan cerita yang habis dibaca sekitar sepuluh menit atau setengah jam. Jumlah katanya sekitar 500 – 5.000 kata. Karena itu, cerita pendek sering diungkapkan dengan cerita yang dapat dibaca dalam sekali duduk.6

4

Mochtar Lubis, Teknik Mengarang, (Jakarta: Kurnia Esa, 1981), hlm. 43 5

Jakob Sumardjo, Memahami Kesusastraan, (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 69 6


(24)

Dari berbagai pendapat para ahli, rumusan-rumusan tersebut tidak sama persis, juga tidak saling bertentangan satu sama lain. Hampir semuanya menyepakati pada satu simpulan bahwa cerita pendek atau cerpen adalah cerita rekaan yang pendek. Cerpen merupakan akronim dari cerita pendek. Karya sastra merupakan wujud dan bentuk dari perilaku yang diciptakan, contoh karya sastra yang sederhana adalah cerpen. Cerpen merupakan karya sastra yang menarik dan sederhana. Menceritakan sebuah konflik secara singkat dan lugas, namun memiliki unsur-unsur sastra yang menarik. Oleh karena itu, cerita pendek pada umumnya bertema sederhana. Jumlah tokohnya terbatas, jalan ceritanya sederhana dan latarnya meliputi ruang lingkup yang terbatas.

2. Ciri-ciri Cerpen

Pada dasarnya sebuah cerpen haruslah mengandung unsur-unsur: 1) interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai penghidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung, 2) harus menimbulkan suatu empasan dalam pikiran pembaca, 3) harus menimbulkan perasaan pada pembaca sehingga pembaca merasa terbawa jalan cerita, cerpen pertama-tama menarik perasaan dan baru kemudian menarik pikiran, 4) mengandung perincian dan insiden-insiden yang dipilih dengan sengaja serta bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran pembaca.

Ukuran panjang pendeknya suatu karya sering dijadikan ciri pembeda yang cukup mudah untuk dikenali, tetapi ia bukanlah satu-satunya aspek. Ini seperti yang tampak pada cerita pendek, novella, novelet, dan novel. Selain unsur ukuran panjang, mereka juga dibedakan dari unsur yang lain, khususnya unsur penanganan plot dan perwataan tokoh-tokohnya. Ukuran panjang cerita pendek biasanya berkisar anatra 1500 sampai 15.000 kata, novella antara 20.000 sampai 25.000 kata, novelet antara 30.000 sampai 50.000 kata, dan novel sekitar 70.000 terkadang sampai 400.000 kata.


(25)

Cerpen cenderung membatasi diri pada rentang waktu yang pendek daripada menunjukkan adanya perkembangan dan kematangan watak pada diri tokoh. Ia lebih tertarik penonjolan atau eksploitasi saat-saat kritis revelasi, baik internal maupun eksternal. Cerpen jarang menggunakan plot kompleks karena sekali lagi, ia lebih terfokus pada satu episode atau situasi tertentu saja, daripada pada rangkaian peristiwa.

Selain itu ada beberapa informasi terkait cerpen antara lain mengenai materi cerita, plot dan penokohan. Materi cerita dalam cerpen disusun di atas semua topik yang memungkinkan. Materinya mencakup humor, petualangan, misteri, realism, drama, detektif, kajian psikologis tokoh, dan sebagainya.7

Beberapa cerpen modern sendiri tidak memliki plot, sebagian besar masih dibangun secara konvensional. Ceritanya yang didasarkan pada gagasan sentral atau tema, biasanya dialirkan tanpa menunda-nunda sehingga pendahuluannya pendek dan to the point. Klimaks muncul di ujung, kadang-kadang di baris-baris akhir sehingga minat pembaca tetap ditahan hingga akhir cerita. Polanya adalah dengan menempatkan klimaks di awal-awal cerita lalu menggunakan metode kilas balik (flashback) untuk menunjukkan apa yang menyebabkan klimaks tersebut biasanya hanya ada satu aspek kehidupan yang digarap, dan dalam hal ini cerpen dibedakan dari novel, yang memang memuat banyak aspek. Bagaimanapun, sama dengan novel, cerpen yang baik memanfaatkan plot bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai alat untuk mengembangkan penokohan. Sedangkan dalam penokohan, jumlah tokoh biasanya tidak banyak, dan karena sempitnya ruang, mereka tidak digambarkan secara penuh.

Simpulan yang dapat diambil berdasarkan uraian-uraian di atas yaitu ciri-ciri cerpen antara lain terdiri dari, alurnya lebih sederhana, tokoh yang

7

Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 34


(26)

dimunculkan hanya beberapa orang, dan latar yang dilukiskan hanya sesaat dan dalam lingkup yang relatif terbatas.

3. Perbedaan Cerpen dengan Novel

Pada dasarnya, cerpen memiliki ciri tersendiri, yang membedakannya dari fiksi lain, seperti novelet, novel (roman), dan drama. Novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh. Sementara itu, cerpen (cerita pendek) adalah karangan pendek yang berbentuk prosa. Dalam cerpen dikisahkan sepenggal kehidupan tokoh yang penuh pertikaian peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan.

Menurut Tarigan8, perbedaan antara cerpen dan novel terletak pada:

a. Jumlah kata. Cerita pendek jumlah katanya hanya mencapai 10.000 buah saja; sedangkan novel lebih dari 35.0000 buah.

b. Jumlah halaman. Cerita pendek hanya mencapai maksimal 30 halaman kuarto; sedangkan novel minimal 100 halaman kuarto.

c. Jumlah waktu. Waktu rata-rata yang dipergunakan untuk membaca cerita pendek adalah 10-30 menit; sedangkan untuk novel yang paling pendek diperlukan waktu minimal 2 jam atau 120 menit.

d. Cerita pendek bergantung pada situasi dan hanya satu situasi; sedangkan novel pada pelaku dan mungkin lebih dari satu pelaku.

e. Cerita pendek menyajikan satu impresi tunggal, sedangkan novel menyajikan lebih dari satu impresi.

f. Cerita pendek menyajikan satu kesatuan efek, sedangkan novel menyajikan lebih dari satu efek.

g. Cerita pendek menyajikan satu emosi saja, sedangkan novel menyajikan lebih dari satu emosi.

h. Skala lebih sempit dalam cerita pendek dibanding dalam novel.

8


(27)

i. Seleksi lebih ketat dalam cerita pendek dibanding dalam novel. j. Kelajuan dalam cerita pendek lebih cepat dibanding dalam novel.

k. Unsur-unsur kepadatan dan intensitas lebih diutamakan dalam cerita pendek dibanding dalam novel.

Kesimpulannya, secara umum perbedaan antara cerpen dan novel dapat diuraikan dalam tabel berikut:

Tabel 1

Perbedaan Cerpen dan Novel

No Cerpen Novel

1 Alur lebih sederhana Alur lebih rumit dan lebih panjang. Ditandai oleh perubahan nasib pada diri sang tokoh.

2 Tokoh yang dimunculkan hanya beberapa orang.

Tokohnya lebih banyak dalam berbagai karakter.

3 Latar yang dilukiskan hanya sebentar dan sangat terbatas.

Latar meliputi wilayah geografi yang luas dan dalam waktu yang lebih lama. 4 Tema mengupas masalah yang

relative sederhana

Tema lebih kompleks, ditandai oleh adanya tema-tema bawahan.

4. Unsur Intrinsik Cerpen

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah secara faktual dijumpai oleh pembaca saat membaca karya sastra. Kepaduan antar unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah cerpen terwujud. Unsur intrinsik dalam cerpen terdiri dari tema, alur, penokohan, latar, dan sudut pandang.


(28)

a) Tema

Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Sastra sendiri merupakan pencerminan kehidupan bermasyarakat, oleh karena itu, dalam setiap cerita bisa terdapat berabgai macam tema. Tema sendiri bisa berupa permasalahan moral, etika, sosial, agama, budaya, teknologi, dan tradisi yang erat hubungannya dengan masalah kehidupan. Tema jarang dituliskan secara tersurat oleh pengarangnya. Untuk dapat merumuskan tema cerita fiksi, seorang pembaca harus terlebih dahulu mnegenali unsur-unsur intrinsik yang dipakai oleh pengarang untuk mengembangkan cerita fiksinya.9 Berbagai unsur fiksi seperti alur, penokohan, sudut pandang, latar, dan lain-lain akan berkaitan dan bersinergi mendukung eksistensi tema.

Dengan demikian, disimpulkan jika tema suatu cerita bisa beraneka ragam dan tema biasanya ditulis secara tersurat oleh penulis. Suatu tema terbangun berdasarkan unsur-unsur yang berkaitan dengan tema itu dan secara bersinergi mendukung eksistensinya.

b) Alur atau Plot

Menurut Abrams the plot in a dramatic or narrative work is constituted by its events and actions, as these are rendered and ordered toward achieving particular artistic and emotional effects.10 Brooks dalam Tarigan menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan alur atau plot adalah “struktur gerak yang

terdapat dalam fiksi atau drama”11

. Pada prinsipnya, suatu fiksi haruslah bergerak dari suatu permula, melalui suatu pertengahan menuju akhir yang dalam dunia sastra lebih dikenal sebagai eksposisi, komplikasi, dan resolusi. Penjelasan-penjelasan tersebut memperlihatkan bahwa tiap peristiwa tidak berdiri sendiri. Permulaan peristiwa mengakibatkan timbulnya peristiwa yang

9

E. Kosasih, Op. cit., hlm.61 10

Abrams, Op. cit, hlm. 224 11


(29)

lain, peristiwa yang lain itu akan menjadi sebab bagi timbulnya peristiwa berikutnya dan seterusnya sampai cerita tersebut berakhir.

Ada pula penjelasan mengenai eksposisi, komplikasi, resolusi, dan klimaks yang dikutip dalam Tarigan sebagai berikut:

a) Eksposisi

Dalam suatu fiksi, eksposisi mendasari serta mengatur gerak yang berkaitan dengan masalah-masalah waktu dan tempat. Dalam eksposisi inilah diperkenalkan para tokoh pelaku kepada para pembaca, mencerminkan situasi para tokoh, merencanakan konflik yang akan terjadi, dan sementara itu memberikan suatu indikasi mengenai resolusi fiksi tersebut.

b) Komplikasi

Bagian tengah atau komplikasi dalam suatu fiksi bertugas mengembangkan konflik. Tokoh utama menemui gangguan-gangguan, halangan-halangan yang memisahkan serta menjauhkan dia dari tujuannya. Dia menemui masalah paham dalam perjuangannya menumpas penghalang serta gangguan tersebut.

c) Resolusi

Resolusi atau bagian akhir adalah bagian akhir suatu fiksi. Di sinilah sang pengarang memberikan pemecahan masalah dari semua peristiwa yang terjadi.

d) Klimaks

Titik yang memisahkan komplikasi dengan resolusi disebut turning point atau klimaks. Justru pada klimaks inilah biasanya terdapat suatu perubahan penting atau crucial shift dalam nasib, sukses atau tidaknya tokoh utama fiksi tersebut. jadi, klimaks adalah puncak tertinggi dalam serangkaian puncak tempat kekuatan-kekuatan dalam konflik mencapai intensifikasi yang tertinggi.

Adapun jenis-jenis alur diantaranya berdasarkan kualitas kepaduannya dan berdasarkan isi ceritanya. Pada kualitas kepaduannya dibagi menjadi dua alur, yaitu alur erat dan alur longgar. Alur erat adalah hubungan antara peristiwa


(30)

yang satu dengan yang lainnya begitu padu sehingga tidak memungkinkan apabila bagian-bagian pembentuk peristiwa itu dilesapkan. Alur longgar adalah hubungan antara peristiwa yang satu dengan yang lainnya terjalin secara renggang. Pengarang menyelingi peristiwa-peristiwa yang ada itu dengan peristiwa lainnya yang tidak begitu berhubungan dengan inti cerita sehingga bila peristiwa-peristiwa ditanggalkan maka tidak mengganggu struktur cerita secara keseluruhan. Dan berdasarkan isi ceritanya ada bermacam-macam alur, yaitu alur gerak, alur pedih, alur tragis, alur penghukuman, alur sinis, alur sentimental, alur kekaguman, alur kedewasaan, alur perbaikan, dan lain-lain.12

Dari penjelasan di atas disimpulkan bahwa alur adalah rangkaian peristiwa yang membangun cerita, dengan adanya permulaan dan berlanjut pada sebuah peristiwa sehingga datanglah sebuah konflik hingga mencapai klimaks dan berakhir dengan penyelesaian.

c) Latar

Latar atau setting meliputi tempat, waktu, dan budaya yang digunakan dalam suatu cerita.13 Secara singkat, Brooks menyatakan bahwa latar adalah

“latar fisik, unsur tempat dan ruang, dalam suatu cerita”14

Unsur prosa cerita yang disebut latar ini menyangkut tentang lingkungan geografi, sejarah, sosial, dan bahkan kadang-kadang lingkungan politik atau latar belakang kisah itu berlangsung. Latar berfungsi untuk memperkuat atau mempertegas keyakinan pembaca terhadap jalannya cerita ataupun pada karekter tokoh.

Dari penjelasan tersebut maka latar merupakan penggambaran factual yang meliputi tempat, waktu, dan budaya dalam suatu cerita. Ketiga hal tersebut mampu memperkuat jalannya suatu cerita, sehingga pembaca menerima gambaran pelaku dan peristiwa yang terjadi pada cerita.

12 Kosasih, Op. Cit, hlm. 65-67 13 Ibid, hlm.67


(31)

d) Tokoh dan Penokohan

Dilihat dari fungsi penampilan tokoh, dapat dibedakan ke dalam tokoh antagonis dan tokoh protagonis. Protagonis adalah tokoh yang memegang peranan pimpinan dalam cerita. Tokoh ini adalah tokoh yang menampilkan sesuatu sesuai pandangan-pandangan kita, harapan-harapan kita, dan merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal. Tokoh antagonis adalah tokoh penentang dari tokoh protagonis. Untuk menggambarkan karakter seorang tokoh, pengarang dapat menggunakan teknik analitik dan teknik dramatik. “teknik analitik, karakter tokoh

diceritakan secara langsung oleh pengarang”15

sedangkan teknik dramatik adalah karakter tokoh yang dilakukan melalui penggambaran fisik dan perilaku tokoh, penggambaran lingkungan kehidupan tokoh, penggambaran tata kebahasaan tokoh, dan penggambaran oleh tokoh lain.

Penulis dapat menyimpulkan bahwa tokoh dan penokohan termasuk ke dalam salah satu unsur intrinsik yang sangat penting dan tidak mungkin dipisahkan karena penokohan adalah cara seorang pengarang dalam mengembangkan karakter tokoh-tokoh.

e) Sudut Pandang atau Point of View

Sudut pandang atau point of view adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita.16 Secara garis besar, sudut pandang dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu berperan langsung sebagai orang pertama, sebagai tokoh yang terlibat dalam cerita yang bersangkutan dan hanya sebagai orang ketiga yang berperan sebagai pengamat.

Pada sudut pandang yang menggunakan orang pertama, oengarang

memakai sitilah “aku” dalam ceritanya. Pengarang masuk ke dalam cerita

menjadi si “aku”, yaitu tokoh yang mengisahkan kesadaran dirinya sendiri serta segala peristiwa atau tindakan yang diketahui, didengar, dilihat, dialami,

15 Kosasih, Op. Cit. hlm. 68 16


(32)

dirasakan, serta sikapnya terhadap tokoh lain, kepada pembaca. Pembaca hanya menerima apa yang diceritakan oleh tokoh “aku”. Sebagai konsekuensinya, pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas apa yang dilihat dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut.

Sudut pandang orang pertama dapat dibedakan lagi ke dalam dua golongan berdasarkan peran dan kedudukan tokoh “aku” dalam cerita, yaitu “aku” sebagai tokoh utama jika ia menduduki peran utama atau menjadi tokoh utama protagonis dan “aku” sebagai tokoh tambahan jika ia hanya menduduki peran tambahan, menjadi tokoh tambahan protagonis, atau berlaku sebagai saksi. Jadi, dalam sudut pandang pengarang bisa menjadi tokoh utama atau bisa menjadi tokoh tambahan/tokoh pembantu yang hanya berperan kecil.

Adapun pada sudut pandang orang ketiga, pengarang menjadi seseorang yang berada di luar cerita. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan mneyebut nama, atau menggunakan kata ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya tokoh utama, terus menerus disebut, dan sebagai variasi digunakan kata ganti. Hal ini akan memudahkan pembaca dalam mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak.

5. Unsur Ekstrinsik Cerpen

Berbicara tentang unsur intrinsik maka tidak akan lepas dari pembahasan unsur ekstrinsik suatu karya sastra. Salah satunya adalah unsur ekstrinsik dalam fiksi. Karena pada dasarnya struktur luar dan struktur dalam merupakan unsur yang secara fungsional berhubungan satu sma lainnya. Struktur luar atau ekstrinsik adalah “segala macam unsur yang beada di luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut, misalnya faktor sosial ekonomi, factor kebudayaan, faktor sosio-politik, keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat. Pemahaman unsur ekstrinsik suatu karya akan membantu dalam pemahaman makna karya tersebut, karena karya sastra muncul dari suatu budaya. Segi ekstrinsik hanya dapat dibicarakan bila dilihat dari segi-segi kemasyarakatan atau sosiokultural yang mempengaruhi karya tersebut dan


(33)

falsafah hidup yang dianut pengarangnya.17 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa, biografi pengarang, lingkungan sosial budaya, lingkungan pendidikan dan pandangan hidup pengarang termasuk bagian dari pembahasan unsur ekstrinsik yang memengaruhi isi karya sastra yang diciptakannya18.

B.

Pendekatan Intertekstual

1. Teori Intertekstual

Secara luas intertekstual diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan19. Menurut pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa intertekstual adalah hubungan antara teks yang satu dengan teks yang lain yang saling berhubungan. Teks itu sendiri adalah susunan kata yang membentuk makna.

Sebuah karya sastra itu sendiri, baik puisi atau prosa, mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian20. Jadi, dalam menganalisis karya sastra tersebut sebaiknya kita juga membandingkan dengan karya sezaman, sebelumnya, atau juga sesudahnya karena teks itu berhubungan dengan teks lain. Inilah yang menjadi acuan dalam penelitian intertekstual.

Sebenarnya paham atau prinsip intertekstualitas ini pada mulanya berasal dari Perancis dan bersumber pada aliran dalam strukturalisme Perancis. Prinsip ini kemudian dikembangkan oleh Julia Kristeva. Prinsip ini menekankan bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dengan latar belakang teks-teks lain karena tidak ada sebuah teks yang benar-benar mandiri, dalam

17

M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1998), hlm.35 18

Ibid, hlm. 36 19

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penilaian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm., hlm. 172

20

Rahmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 167


(34)

arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain.21

Keterangan Kristeva tentang intertekstualitas dapat dirumuskan sebagai berikut22:

a. Kehadiran secara fisikal suatu teks dalam teks lainnya.

b. Pengertian teks bukan hanya terbatas kepada cerita, tapi juga mungkin berupa teks bahasa.

Selanjutnya Teeuw dalam Nurgiyantoro menguraikan bahwa kajian intertekstual sendiri dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik, seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lain-lain, di antara teks-teks yang dikaji.23 Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan interteks adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. selain itu, menurut Teeuw konsep intertekstualitas sendiri memainkan peranan yang sangat penting dalam semiotik sastra, tidak hanya dalam usaha untuk sekadar memberikan interpretasi tertentu terhadap karya sastra yang konkret saja.24

Julia Kristeva juga mengemukakan bahwa tiap teks merupakan mosaik, kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan atau transformasi teks-teks lain. Konvensi dan gagasan yang diserap itu dapat dikenali jika kita membandingkan teks yang sebelumnya dan teks saat ini, dalam arti teks yang sebelumnya disebut hipogram dan teks baru yang menyerap hipogram yang disebut teks transformasi.

21

Rina Ratih, “Pendekatan Intertekstual dalam Pengkajian Sastra”. Dalam Jabrohim (ed.) Metode Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Hanindita Graha Widia, 2002), hlm. 125

22

Umar Junus, Resepsi Sastra Sebuah Pengantar, (Jakarta: PT Gramedia, 1985), hlm. 87-88 23

Burhanudin Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), hlm. 50

24


(35)

2. Hipogramatik

Teks-teks yang dikerangkakan sebagai intertekstual tidak terbatas sebagai persamaan genre, intertekstual memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hipogram. Hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar kelahiran karya berikutnya, dan karya berikutnya dinamakan transformasi. Intertekstual dapat dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel dengan mitos25.

Karena pada hakikatnya karya sastra merupakan respon (serapan, olahan, mosaik kutipan, transformasi) terhadap apa yang telah ada dalam karya sastra lain.26 Respon tersebut dapat berupa kata, frase, kalimat, bentuk, gagasan, dan sejenis di dalam teks transformatif sehingga kadang pembaca sering tidak ingat lagi akan karya yang menjadi latarnya.

Hipogram merupakan karya, tradisi, dan konvensi sebelumnya yang dipandang sebagai suatu tantangan yang perlu disikapi yang dijadikan dasar bagi penulisan karya lain sesudahnya27. Seorang pengarang mungkin menyadari atau tidak menyadari sama sekali bahwa terdapat hipogram dalam suatu karya.

Hipogram dapat diibaratkan sebagai “induk” yang melahirkan karya-karya baru. Pengidentifikasian hal itu dapat dilakukan dengan memperbandingkan

antara karya “induk” dan karya “baru”. Usaha tersebut dapat menggambarkan

bentuk-bentuk hipogram yang meliputi:

a. ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan karya sastra. Ekspansi tak sekadar repetisi, tetapi termasuk perubahan gramatikal dan perubahan jenis kata;

25

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penilaian Sastra. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 172-173

26

A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra, (Jakarta: PT Gramedia, 1983), hlm. 65 27


(36)

b. konversi adalah pemutarbalikan hipogram atau matriknya. Penulis akan memodifikasi kalimat ke dalam karya baru;

c. modifikasi, adalah perubahan tataran linguistik, manipulasi, urutan kata dan kalimat. Dapat saja pengarang hanya mengganti nama tokoh, padahal tema dan ceritanya sama;

d. ekserp, adalah semacam intisari dari unsur-unsur atau episode dalam hipogram yang disadap oleh pengarang. Ekserp biasanya lebih halus, dan sangat sulit dikenali, jika peneliti belum terbiasa membandingkan karya.28 Riffaterre mendefinisikan hipogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika. Hipogram mungkin kata-kata tiruan, kutipan, kompleks tematik, kata-kata tunggal, atau keseluruhan teks. Pengarang baik secara sadar atau tidak menggunakan hipogram untuk melahirkan matriks atau kata-kata kunci yang pada gilirannya melahirkan model dan serial varian.29

Menurut Riffaterre pula30, dalam penulisan teks kesusastraan hipogram ada dua macam, yakni hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial tidak eksplisit dalam teks, tetapi dapat diabstraksikan dari teks. Hipogram potensial merupakan potensi sistem tanda pada sebuah teks sehingga makna teks dapat dipahami pada karya itu sendiri, tanpa mengacu pada teks yang sudah ada sebelumnya.

Hipogram aktual adalah teks nyata, yang dapat berupa kata, frase, kalimat, peribahasa, atau seluruh teks, yang menjadi latar penciptaan teks baru sehingga signifikasi teks harus ditemukan dengan mengacu pada teks lain atau teks yang sudah ada sebelumnya. Teks dalam pengertian umum bukan hanya teks tertulis atau teks lisan, tetapi juga adat-istiadat, kebudayaan, agama dan bahkan seluurh isi alam semesta (dunia) ini adalah teks.

28

Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2011), hlm.132 29

Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 217

30


(37)

Oleh sebab itu, hipogram yang menjadi latar penciptaan teks baru itu, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan, tetapi juga dapat berupa adat-istiadat, kebudayaan, agama, bahkan dunia ini. Hipogram tersebut direspons atau ditanggapi oleh teks baru. Tanggapan tersebut dapat berupa penerusan, atau penentangan tradisi atau konvensi. Adanya tanggapan itu menunjukkan bahwa keberadaan suatu teks sastra adalah dalam rangka fungsi yang ditujukan kepada pembaca.

Sedangkan sebagaimana telah diungkapkan oleh Kristeva teks yang menyerap dan mentransformasikan hipogram dapat disebut sebagai teks transformasi. Untuk mendapatkan makna hakiki dari sebuah karya sastra yang mengandung teks transformasi semacam itu, digunakan metode intertekstual, yaitu membandingkan, menjajarkan, dan mengontraskan sebuah teks transformasi dengan hipogramnya.

Ciri hiprogamatik sebuah cerpen dengan cerpen lain adalah pengungkapan masalah yang mempunyai kesamaan latar sebuah cerpen dengan cerpen lain. Sebuah cerpen mendapatkan kekuatannya sebagai cerpen, karena masalah yang terungkap telah dijelaskan dalam cerpen sebelumnya.

Hipogram tersebut dalam penciptaan karya yang baru tidak selalu dipatuhi, tetapi mungkin juga disimpangi oleh penyair karya sastra yang baru.31 Oleh Nurgiantoro, penyimpangan terhadap hipogram diistilahkan dengan myth of freedom (mitos pemberontakan, sedangkan hipogram yang dipatuhi atau diteruskan diistilahkan dengan myth of concern (mitos pengukuhan). Kedua hal tersebut menurutnya wajib hadir dalam penulisan teks kesusastraan karena kesusastraan pada hakikatnya selalu berada dalam ketegangan antara konvensi, invansi, mitos pengukuhan dan mitos pemberontakan.32 Ini berarti pengkajian intertekstual teks sastra yang baru tidak dipahami secara sederhana. Teks hipogram tersebut tidak selalu tampak eksplisit dalam karya

31

Ahmad Bahtiar. Op. Cit, hlm. 124 32

Burhan Nurgiantoro, Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia , (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998), hlm. 15


(38)

sastra yang baru. Hal ini karena pengaruh tersebut merupakan penyerapan, pentransformasian kembali teks lama terjadi secara disadari maupun tidak disadari. Oleh sebab itu, dalam pemaknaan kembali teks baru dengan metode intertekstual sangat memungkinkan intersubjektivitas.

Hipogram tidak akan komplit, melainkan hanya bersifat parsial, yang berwujud tanda-tanda teks atau pengaktualisasian unsur-unsur tertentu. Pengambilan, derivasi, atau pentransformasian bentuk-bentuk itu dapat mencakup berbagai unsur intrinsik fiksi seperti alur, penokohan, latar, tema, dan lain-lain. Dengan demikian, pengkajian sebuah cerita dengan intertekstualitas akan lebih sempurna jika memperhatikan hal-hal berikut ini: a. Sebuah cerita yang tercipta tidak lepas dari cerita yang lebih lama tercipta b. Cerita yang lebih dahulu, merupakan hipogram untuk membandingkan

dengan cerita baru

c. Hipogram tersebut tidak selalu dipatuhi, tetapi mungkin disimpangi. Istilah tersebut adalah myth of concern dan myth of freedom.

Jadi, prinsip dasar intertekstualitas adalah karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan teks lain yang menjadi hipogram. Hipogram adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan sandaran berkarya. Hipogram tersebut bisa sangat halus dan juga sangat kentara.

3. Transformasi Teks

Makna kunci istilah “transformasi” adalah “perubahan”, yaitu perubahan terhadap suatu hal atau keadaan.33 Di dalam intertekstual, hubungannya seringkali terjadi kontras-kontras. Hal ini disebabkan cara mentransformasikan tanda ke dalam cerita berbeda. Transformasi dapat terjadi dari tanda memetik kata/frase, memetik dari teks ke teks. Khusus untuk analisis intertekstualitas masalah yang akan di analisis adalah transformasi dari teks ke teks sebagai faktor komunikatif cerita.

33

Burhan Nurgiantoro, Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), hlm. 18


(39)

Proses transformasi dapat dikatakan sebagai proses derivasi teks. Sumber-sumber yang diperoleh seorang pengarang dari teks lain menjadi bahan atau pengetahuannya dan kemudian bahan itu ditransformasikan ke dalam karyanya. Transformasi juga sebagai proses aktualisasi ide pengarang, sehingga faktor individual (subjektivitas) pengarang menjadi penting.

C.

Pembelajaran Sastra di Sekolah

1. Pengertian Pembelajaran Sastra

Dalam melaksanakan pengajaran kita tidak boleh berhenti pada penguraian keterampilan ataupun pengetahan. Setiap guru hendaknya selalu menyadari bahwa setiap siswa adalah seorang individu dengan kepribadiannya yang khas, kemampuan, masalah, dan kadar perkembangannya masing-masing yang khusus. Oleh karena itu penting sekali kiranya memandang pengajaran sebagai proses pengembangan individu secara keseluruhan.

Walaupun sebagai dalam hal ini menunjuk suatu kesatuan yang kompleks, tetapi kita dapat melihat bahwa di dalam diri siswa terkandung berbagai ragam kecakapan yang kadang-kadang menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan atau bahkan kelebihan-kelebihan. Oleh karena itu, hendaknya kecakapan-kecakapan itu dikembangkan secara harmonis jika individu yang bersangkutan diharapkan untuk dapat menyadari potensinya dan dapat mengabdikan diri bagi kepentingan-kepentingan generasinya. Jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat. 34

Dalam kurikulum 2013 sendiri tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu: 1) agar peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadiannya, memperluas wawasan di dalam kehidupan, serta untuk

34


(40)

meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; 2) agar peserta didik dapat menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

Pembelajaran sastra adalah pembelajaran yang materinya berhubungan sastra. Suatu hasil karya baru dapat dikatakan memiliki nilai saastra bila di dalamnya terdapat kesepadanan antara bentuk dan isinya. Bentuk bahasanya baik dan indah, dan susunannya beserta isinya dapat menimbulkan perasaan haru dan kagum di hati pembacanya.

Pembelajaran sastra hendaknya mempertimbangkan keseimbangan pengembangan pribadi dan kecerdasan peserta didik. Pembelajaran semacam ini akan mempertimbangkan keseimbangan antara spiritual, emosional, etika, logika, estetika, dan kinestetika.35 Pembelajaran sastra hendaknya digunakan peserta didik sebagai salah satu kecakapan untuk hidup dan harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman belajar.

Bentuk dan isi sastra harus saling mengisi, yaitu dapat menimbulkan kesan yang mendalam di hati para pembacanya sebagai prwujudan nilai-nilai karya seni. Apabila isi tulisan cukup baik tetapi cara pengungkapan bahasanya buruk, karya tersebut tidak dapat disebut sebagai cipta sastra, begitu juga sebaliknya.

Pengajaran sastra tidak bisa dipisahkan dari pengajaran bahasa. Namun pengajaran sastra tidaklah dapat disamakan dengan pengajaran bahasa. Perbedaan hakiki antara keduanya terletak pada tujuan akhirnya. Pada pengajaran sastra yang dasarnya mengemban misi afektif (memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya lebih tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya) yang memiliki tujuan akhir menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilai baik dalam

35


(41)

konteks individual maupun sosial. Sastra memang tidak bisa dikelompokkan ke dalam aspek keterampilan berbahasa karena bukan merupakan bidang yang sejenis tetapi pembelajaran sastra dilaksanakan secara terintegrasi dengan pembelajaran bahasa baik dengan keterampilan menulis, membaca, manyimak, maupun berbicara.

Selain itu terdapat pula beberapa fungsi sastra dalam kehidupan manusia. Fungsi sastra bagi kehidupan manusia adalah:

a. Fungsi reaktif, yaitu fungsi atau manfaat memberikan rasa senang, gembira, dan menghibur.

b. Fungsi didaktif, yaitu fungsi atau manfaat mengarahkan dan mendidik pembaca karena mengandung nilai-nilai moral.

c. Fungsi estetika, yaitu fungsi atau manfaat yang dapat memberikan keindahan bagi pembaca karenabahasanya yang indah.

d. Fungsi moralitas, yaitu fungsi atau manfaat yang dapat membedakan moral yang baik dan tidak baik bagi pembacanya karena sastra yang baik selalu mengandung nilai-nilai moral yang tinggi.

e. Fungsi religiusitas, yaitu fungsi atau manfaat yang mengandung ajaran-ajaran agama yang harus diteladani oleh pembaca.

Secara khusus pengajaran sastra bertujuan mengembangkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai indrawi, nilai akali, nilai afektif, nilai sosial, ataupun gabungan seluruhnya. Dalam konteks inilah, kegiatan belajar-mengajar sastra perlu dilaksanakan. Metode pengajaran manapun yang akan ditempuh, keefektivannya ditentukan terutama oleh corak komunikasi yang terjalin antara guru dengan siswanya. Dengan asumsi bahwa guru akrab dengan karya satra dan mengenal perjalanan kreatif sastrawan, pengarang karya yang dibicarakannya, maka menjalin keakraban dengan siswa merupakan titian yang efektif untuk melaksanakan pengajaran sastra. Kunci untuk membuka kepercayaan siswa terletak pada diri kita sebagai guru, penampilan pertama kita di hadapan mereka. Jika kesan yang mereka peroleh positif, maka pada umumnya siswa akan membuka dirinya penuh keluguan. Tetapi, jika kesan


(42)

yang mereka peroleh positif, maka mereka akan menutup dirinya, bahkan tidak jarang menantang wibawa guru. Tanpa adanya landasan keterbukaan dan kepercayaan para siswa, maka sulit dibayangkan kemungkinan terwujudnya komunikasi dua arah yang sehat dan konstruktif, baik antara guru dengan siswa, maupun antara siswa dengan karya sastra.

2. Pembelajaran Cerpen di Sekolah

a. Ruang Lingkup Bahan Ajar Cerpen di SMA/MA

Dalam kurikulum 2013 untuk Sekolah Menengah Atas (SMA), ruang lingkup bahan ajarnya sebagai berikut36:

Tabel 2

Ruang Lingkup Bahan Ajar Cerpen

Kelas Semester Bahan Ajar Ket.

X I -

II -

XI I  Mensyukuri anugerah Tuhan akan

keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami,

menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulis melalui teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi

kompleks, dan film/drama.

 Memahami struktur dan kaidah teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama baik melalui lisan maupun tulisan

36

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kompetensi Dasar untuk Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah, 2013, hlm. 38


(43)

 Membandingkan teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi

kompleks, dan film/drama baik melalui lisan maupun tulisan.

 Menganalisis teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama baik melalui lisan maupun tulisan.

 Mengevaluasi teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama berdasarkan kaidah-kaidah teks baik melalui lisan maupun tulisan. II  Menginterpretasi makna teks cerita

pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama baik secara lisan maupun tulisan.

 Memproduksi teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama yang koheren sesuai dengan karakteristik teks yang akan dibuat baik secara lisan mupun tulisan.

 Menyunting teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama sesuai dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan maupun tulisan.

 Mengabstraksi teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama baik secara lisan maupun tulisan.

 Mengonversi teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi kompleks, dan film/drama ke dalam bentuk yang lain sesuai dengan struktur dan kaidah teks


(44)

baik secara lisan maupun tulisan.

XII I

-II -

b. Strategi dan Teknik Mengajar Mengajar Cerpen di SMA/MA

Selain bahan ajar, waktu, dan metode, serta teknik pembelajaran memegang peranan penting dalam mengajar. Bagaimanapun baiknya bahan ajar dan cukup alokasi waktu yang telah disediakan jika tidak didukung dengan strategi yang baik, maka tujuan atau proses pengajaran tidak terkoordinir dengan baik, sudah tentu hasil yang diharapkan pun relatif kurang. Oleh karena itu, kedudukan bahan, waktu, metode serta teknik tujuan pengajaran yang baik dan relevan merupakan satu sistem yang tidak dapat dipisahkan di dalam proses belajar mengajar.

Selanjutnya teknik mengajar apresiasi cerpen dengan menggunakan pendekatan intertekstualitas kepada siswa adalah kegiatan analisis secara operasional dilakukan oleh penganalisis (siswa). Secara operasional teknik atau langkah-langkah kerja analisis sebagai berikut:

1) Membaca kedua cerpen secara keseluruhan

2) Mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik kedua cerpen tersebut yang meliputi tema, alur, latar, tokoh dan penokohan

3) Menghubungkan dua buah cerpen dari segi tema, tokoh dan penokohan, serta latar untuk mengetahui hubungan intertekstualitasnya

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, jelaslah bahwa dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar, strategi dan teknik mengajar cerpen berperan untuk pencapaian sasaran pengajaran.


(45)

c. Tujuan Pembelajaran Intertekstual Cerpen di SMA/MA

Tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran intertekstual adalah sebagai berikut:

1) Peserta didik memperoleh pengetahuan tentang unsur-unsur yang terkandung dalam sebuah cerpen;

2) Peserta didik memperoleh gambaran tentang hubungan suatu karya sastra khususnya cerpen yang mempunyai hubungan atau pertentangan dengan karya lain.

3) Peserta didik memperoleh kesenangan mempelajari cerpen dengan pendekatan intertekstual.

Apabila seseorang sudah semakin tinggi tingkat pemahamannya mengeani cerpen maka ia akan selalu mengikuti perkembangan cerpen sepanjang zaman yang selalu mengalami perubahan, yaitu perubahan yang sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya.


(46)

36

Nama lengkapnya adalah Ali Akbar Navis, tetapi sepanjang kariernya ia lebih dikenal dengan namanya yang lebih sederhana A.A. Navis. Putera dari St. Marajo Sawiyah ini lahir di Padangpanjang, Sumatera Barat, pada tanggal 17 November 1924. Ia merupakan anak sulung dari 11 saudara kandung atau 16 saudara seayah.

Berbeda dengan kebanyakan putera Minangkabau yang senang merantau, A.A. Navis memilih untuk tetap tinggal di tanah kelahirannya. Ia berpendapat bahwa merantau hanyalah soal pindah tempat dan lingkungan, namun yang menentukan keberhasilan pada akhirnya tetaplah kreativitas itu sendiri.

Kesenangan A.A. Navis terhadap sastra dimulai dari kampung halamannya di Minang. Orang tuanya pada saat itu, berlangganan majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat. Kedua majalah itu sama-sama memuat cerita pendek dan cerita bersambung di setiap edisinya. Navis selalu membaca cerita-cerita itu dan lama-kelamaan ia pun mulai menggemarinya. Ayahnya pun lalu memberikan uang agar ia bisa membeli buku-buku bacaan kegemarannya. Itulah modal awal Navis untuk menekuni dunia karang-mengarang di kemudian hari.

Navis memulai pendidikan formalnya dengan memasuki sekolah Indonesich Nederiandsch School (INS) di daerah Kayutanam selama sebelas tahun. Meskipun sekolah itu begitu berjasa dan menjadi perhatian Navis tetapi hampir tidak ada karya sastranya yang berkaitan dengan atau mengambil latar INS. Hanya saja Navis memperkirakan bahwa watak dan kebiasaan mencemooh yang amat kental dalam cerpen-cerpen terasah di INS ini.1

1


(47)

Kemampuannya mencemooh dalam karya sastra maupun pergaulan sehari-hari merupakan hal yang khas dari Navis.

Seusai masa Jepang dan memasuki masa kemerdekaan, Navis pindah dan melaksanakan aktivitas di Bukittinggi dan ikut dalam perjuangan perebutan kemerdekaan melalui bidang yang dikuasainya. Untuk biaya hidup, ia membuka toko buku yang juga berfungsi sebagai taman bacaan, serta mengisi acara radio di RRI Bukittinggi. Navis menulis skrip, memainkan. dan menyutradai sandiwara. Ia juga mengasuh sebuah acara sastra dan budaya yang diminati oleh banyak orang muda pecinta sastra.2

A.A. Navis baru muncul dalam gelanggang sastra Indonesia pada tahun 1955, yaitu ketika ia mengumumkan cerpennya yang pertama sekaligus menjadikannya terkenal yaitu “Robohnya Surau Kami”. Cerpen ini merupakan sindiran terhadap orang-orang yang kelihatannya patuh melakukan syariat agama tetapi sebenarnya rapuh di dalam, sehingga mudah terhasut untuk bunuh diri. Cerpen ini kemudian diterbitkan bersama-sama dengan beberapa buah cerpen lain dengan judul Robohnya Surau Kami (1956). Ketika dicetak ulang beberapa tahun kemudian, buku ini mengalami perubahan isi. Ada beberapa cerpen baru ditambahkan, tetapi ada juga cerpen lama yang dicabut.3 Selain itu, ia juga menulis kumpulan cerpen lainnya seperti Hujan Panas (1964) dan Bianglala (1964).

Selain menulis cerpen, Navis juga menulis novel Kemarau (1967) dan Saraswti Si Gadis dalam Sunyi (1970). Tema-tema yang muncul dalam karya-karya A.A. Navis biasanya bernafaskan kedaerahan dan keagamaan sekitar masyarakat Minangkabau. Ia pernah berkeinginan menulis tentang peristiwa kemiliteran yang pernah dihadapi bangsa Indonesia dan mencari penerbit yang mau menerbitkan cerita yang berisi peristiwa tersebut.

2

Ivan Adilla, Op. Cit, hlm. 15 3


(48)

Di luar bidang kepengarangannya itu, Navis bekerja sebagai pemimpin redaksi harian Semangat (harian angkatan bersenjata edisi Padang), Dewan Pengurus Badan Wakaf INS, dan pengurus Kelompok Cendekiawan Sumatera Barat (Padang Club). Di samping itu, Navis juga sering menghadiri berbagai seminar masalah sosial dan budaya sebagai pemakalah atau peserta.

Semasa hidupnya Navis juga pernah memperoleh beberapa penghargaan antara lain hadiah kedua lomba cerpen majalah Kisah (1955) untuk cerpen “Robohnya Surau Kami”. Penghargaan dari UNESCO (1967) untuk novel Saraswati dalam Sunyi, hadiah seni dari Depdikbud (1988) untuk novel Kemarau, dan SEA Write Awards (1992) dari Pusat Bahasa (bekerja sama dengan Kerajaan Thailand).

B.

Biografi Kuntowijoyo

Prof. Dr. Kuntowijoyo lahir di Sanden, Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943 adalah seorang budayawan, sastrawan, dan sejarawan dari Indonesia. Ayahnya seorang dalang dan pembaca macapat, sedangkan eyang buyut-nya seorang khathath (penulis mushaf Al-Qur‘an dengan tangan).

Kuntowijoyo mendapatkan pendidikan formal keagamaan di Madrasah Ibtidaiyah di Ngawonggo, Klaten. Ia lulus SMP di Klaten dan SMA di Solo, sebelum lulus sarjana Sejarah Universitas Gadjah Mada pada tahun 1969. Gelar M.A American History diperoleh dari Universitas Connecticut, Amerika Serikat pada tahun 1974, dan Ph.D Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia pada tahun 1980.

Karya-karya monumental yang lahir dari tangan dinginnya antara lain; Suluk Awung-awung (Kumpulan Sajak, 1975), Isyarat (Kumpulan Sajak, 1976), dan Makrifat Daun, Daun Makrifat (Kumpulan Sajak, 1995); Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (Kumpulan Cerpen, 1992) dan Hampir Sebuah Subversi (Kumpulan Cerpen, 1999); Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari (novel, 1966), Pasar (novel, mendapatkan hadiah Hari Buku, 1972), Khutbah


(49)

di Atas Bukit (Novel, 1976), Mantra Penjinak Ular (2000), dan Wasripin dan Satinah (2003); Rumput-Rumput Danau Bento (drama, 1968), Tidak Ada Waktu Bagi Nyonya Fatma, Barda dan Carta (drama, 1972), dan Topeng Kayu (1973). Karyanya yang lain tersebar pula dalam berbagai antologi.4

Karya sastra yang diciptakan, menurut Kuntowijoyo bukan hanya memberi kesan melalui fungsinya, tetapi terutama melalui kualitas pesan moral dan kemanusiaannya yang disugestikan melalui ungkapan-ungkapan estetisnya yang memiliki daya pembayang (imaginasi) yang kuat. Untuk itu, Kuntwowijoyo menggunakan sarana-sarana estetik sastra klasik seperti penciptaan tokoh, kejadian dan latar cerita yang aneh, ganjil, ajaib, serba unik, mengagumkan, mengerikan dan kadang-kadang dahsyat. Caranya membangun alur cerita, menampilkan tokoh dan kerjadian, serta latar cerita, dapat dibandingkan penulis-penulis lain yang sezaman seperti Iwan Simatupang, Danarto, Budi Darma, Arifin C. Noer dan lain-lain. Sekali pun tokoh cerpen-cerpen dan novel Kuntowijoyo terkesan ganjil, namun tetap berpijak pada realitas.5

Bagi Kuntowijoyo (menulis) sastra adalah proses pengendapan

pengalaman. Sudah sejak kecil ia terbiasa menuliskan “catatan-catatan

pengalaman” dalam bentuk sinopsis. Dari catatan-catatan itulah kemudian

bermunculan karya sastra. Hal yang memberikan pengaruh dalam proses kreatif Kuntowijoyo ketika menulis sastra, selain faktor budaya Jawa, pengalaman hidupnya, pergulatan dengan budaya Barat dan pemikiran Islam, adalah juga posisinya sebagai sejarawan.

Kuntowijoyo telah meraih beberapa penghargaan, antara lain; penghargaan sastra dari Pusat Bahasa atas kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1994), ASEAN Award on Culture (1997), Satya Lencana Kebudayaan RI (1997), Mizan Award (1998), Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

4

Wan Anwar, Kuntowijoyo: Karya dan Dunianya, (Jakarta: PT Grasindo, 2007), hal.2 5

Abdul Hadi W.M., “Wawasan Sastra Kuntowijoyo dan Kepengarangannya”, dalam http://horisononline.or.id/ diunduh pada 13 November 2012


(50)

Indonesia (1999), dan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) atas novel Mantra Pejinak Ular (2001), dan SEA Write Award dari Pemerintahan Thailand (2001).

Ia meninggal dunia pada tanggal 22 Februari 2005 pada umur 61 tahun akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare, dan ginjal yang diderita setelah untuk beberapa tahun mengalami serangan virus meningo enchephalitis. Sebelum meninggal dunia, ia adalah Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Gadjah Mada dan juga pengajar di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Ia meninggalkan seorang istri dan dua anak.

Gagasannya yang sangat penting bagi pengembangan ilmu sosial di Indonesia adalah idenya tentang Ilmu Sosial Profetik (ISP). Bagi Kuntowijoyo, ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas, ia juga mengemban tugas transformasi menuju cita-cita yang diidealkan masyarakatnya. Ia kemudian merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Ide ini kini mulai banyak dikaji. Di bidang sosiologi misalnya muncul gagasan Sosiologi Profetik yang dimaksudkan sebagai sosiologi berparadigma ISP.

C.

Sinopsis Cerpen

Robohnya Surau Kami

karya AA. Navis

Cerpen “Robohnya Surau Kami” ini bercerita mengenai di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk, datanglah seseorang yang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat untuk menjadi garin atau penjaga surau tersebut, dan hingga kini surau tersebut masih tegak berdiri. Meskipun kakek atau garin dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada hal pokok yang membuatnya dapat bertahan, yaitu dia mau bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue, atau rokok.


(1)

LEMBAR PENGESAHAN UJI REFERENSI

Nama : Suci Bella Dwi Kurnia

NIM : 109013000111

Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Judul : Intertekstualitas Cerpen Robohnya Surau Kami Karya AA Navis dengan Cerpen

Burung Kecil Bersarang di Pohon Karya Kuntowijoyo dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah


(2)

(3)

(4)

Jakarta, 17 September 2013 Pembimbing,


(5)

(6)

BIOGRAFI PENULIS

Suci Bella Dwi Kurnia, lahir di Bogor, 6 Oktober 1991. Anak pertama dari tiga bersaudara dari orang tua bernama Achmad Djunaedi dan Enen Kurniasih. Jenjang pendidikan yang sudah ditempuh adalah SD PT Semen Cibonong, SMP Puspanegara, dan SMAN 3 Bogor, dan ia meneruskan ke Perguruan Tinggi Islam Negeri, yaitu Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2009.

Kegemarannya pada sepak bola terutama klub asal Inggris, Arsenal membuatnya menjadi anggota Arsenal Indonesia Suporter (AIS) regional Bogor dan sering mengikuti acara-acara yang diselenggarakan AIS Bogor termasuk saat tim Arsenal datang ke Indonesia pada Juli 2013 yang lalu.

Ia sempat mengikuti les bahasa Turki dan beberapa kegiatan dari Fethullah Gulen Chair pada tahun 2011-2012. Pecinta komik Tintin dan novel Sherlock Holmes ini kini aktif bekerja sebagai guru privat di beberapa tempat.