Kerusakan Hutan Mangrove Di Pessiir Sura
1. Pendahuluan
Ekosistem pesisir merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan
mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain menghasilkan bahan dasar
untuk pemenuhan kebutuhan pangan, keperluan rumah tangga dan industri yang dalam
konteks ekonomi bernilai komersial tinggi, ekosistem pesisir dan
laut juga memiliki
fungsi-fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, tempat pemijahan,
tempat pengasuhan dan tumbuh besar, serta tempat mencari makanan bagi beragam biota
laut. Selain itu, ekosistem pesisir dan laut berperan pula sebagai pelindung pantai atau
penahan abrasi bagi wilayah daratan yang berada di belakang ekosistem ini (Bengen,
2002).
Perairan pesisir menurut Undang-Undang No.
27 Tahun 2007
tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 1 ayat 1, merupakan suatu
wilayah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil diukur dari
garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk,
perairan dangkal, rawa payau, dan laguna. Salah satu potensi yang sangat penting
keberadaannya di wilayah pesisir adalah hutan mangrove. Dimana mangrove, dapat
tumbuh didaerah pantai-pantai yang terlindung dari aktivitas gelombang besar dan arus
pasang surut air laut dan tumbuh optimal di wilayah pantai yang memiliki muara sungai
besar serta estuari dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur (Dahuri et al,
1996).
Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka, karena luasnya hanya 2%
permukaan bumi, Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia.
Luas hutan mangrove di Indonesia sekitar 4.251.011 Ha yang tersebar dibeberapa pulau,
seperti Sumatera, Jawa dan Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian.
Ekosistem mangrove ini memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi dan sosial-budaya yang
sangat penting, misalnya menjaga stabilitas pantai, sumber ikan, udang dan
keanekaragaman hayati lainnya, sumber kayu bakar dan kayu bangunan, serta memiliki
fungsi konservasi, edukasi, ekoturisme dan identitas budaya.
Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia, termasuk Indonesia sangat cepat
akibat pembukaan tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran lingkungan,
reklamasi dan sedimentasi, pertambangan, sebab-sebab alam seperti badai atau tsunami
dan lain-lainnya. Berdasarkan artikel ilmiah menyebutkan bahwa sekitar 48% luas hutan
mangrove di Indonesia telah mengalami kerusakan sedang dan 23% mengalami kerusakan
parah. Kerusakan hutan mangrove dialami hampir di seluruh daerah di Indonesia,
1|Kerusakan
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
termasuk di Kota Surabaya Provinsi Jawa Timur. Sebesar 40% dari total luas mangrove di
Kota Surabaya telah mengalami kerusakan. Restorasi mangrove mendapat perhatian luas
mengingat tingginya nilai sosial-ekonomi dan ekologi ekosistem ini. restorasi dapat
menaikkan nilai sumberdaya hayati mangrove, memberi mata pencaharian penduduk,
mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, produksi perikanan dan lainnya
(Setyawan, 2006).
Berdasarkan permaslahan tersebut, maka dapat dirumuskan masalah yang
diangkat dalam makalah ini adalah bagaimana kondisi hutan mangrove di pesisir Surabaya
dan mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan mangrove tersebut.
Sehingga, tujuan dari makalah ini adalah menyusun dan memberikan rekomendasi dan
arahan terhadap permasalahan wilayah pesisir Surabaya guna menekan angka
pengkonversian hutan mangrove.
2. Landasan Teori
2.1 Karakteristik Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir merupakan zona penting karena pada dasarnya tersusun dari
berbagai macam ekosistem seperti mangrove, terumbu karang, lamun, pantai berpasir dan
lainnya yang satu sama lain saling terkait. Perubahan atau kerusakan yang menimpa suatu
ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu wilayah pesisir juga
dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia baik langsung atau tidak langsung
maupun proses-proses alamiah yang terdapat di atas lahan maupun lautan (Djau, 2012).
Scura et al. (1992) dalam Cicin-Sain and Knecht (1998), mengemukakan bahwa
wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara daratan dan laut, yang didalamnya
terdapat hubungan yang erat antara aktivitas manusia dengan lingkungan daratan dan
lingkungan laut. Wilayah pesisir mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Memiliki habitat dan ekosistem (seperti estuari, terumbu karang, padang lamun,
mangrove) yang dapat menyediakan suatu (seperti ikan, minyak bumi, mineral) dan
jasa (seperti bentuk perlindungan alam dan badai, arus pasang surut, wisata) untuk
masyarakat pesisir.
b. Dicirikan dengan persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya dan ruang oleh
berbagai stakeholders, sehingga sering terjadi konflik yang berdampak pada
menurunnya fungsi sumberdaya.
c. Menyediakan sumberdaya ekonomi nasional dari wilayah pesisir dimana dapat
menghasilkan GNP (gross national product) dari kegiatan seperti pengembangan
perkapalan, perminyakan dan gas, pariwisata dan pesisir dan lainnya.
2|Kerusakan
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
d. Biasanya memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan merupakan wilayah
urbanisasi.
Ekosistem di wilayah pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai
kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi antara
habitat tersebut. Ekosistem di wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling
mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan, serta
langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisisr
(Dahuri et al, 2001). Konsentrasi pembangunan kehidupan manusia dan berbagai
pembangunan di wilayah tersebut disebabkan oleh tiga alasan ekonomi yang kuat, yaitu
bahwa wilayah pesisir merupakan kawasan yang produktif di bumi, wilayah pesisir
menyediakan kemudahab bagi berbagai kegiatan serta wilayah peisisr memiliki pesona
yang menarik bagi obyek pariwisata. Hal-hal tersebut menyebabkan kawasan pesisir di
dunia termasuk Indonesia mengalami tekanan ekologis yang parah dan kompleks sehingga
menjadi rusak (Dahuri, 1998)
Setiap organisme pendukung di sub sistem ekosistem pesisir mempunyai daya
tahan terhadap perubahan lingkungan yang spesifik. organisme yang tahan bahan
pencemar akan tetap survive, sedangkan yang tidak tahan akan punah. Akibatnya
perubahan atau penurunan kualitas lingkungan fisik-kimia air, seperti salinitas, suhu aur,
level penetrasi cahaya nutrien, di wilayah pesisir akan menurunkan produktivitas
ekosistem pesisir tersebut (Supriharyono, 2002)
2.2 Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi
oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah
pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Selanjutnya menurut Nybakken (1992),
kata mangrove berasal dari perpaduan antara bahasa portugis, Mangue dan bahasa Inggr
is, Grove. Pengertian mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk
menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa
spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk
tumbuhan pada tanah galian.
Hutan mangrove sering disebut hutan bakau, hutan pasang surut dan hutan payau.
Istilah hutan bakau sebenarnya hanya merupakan nama dari salah satu tumbuhan yang
terdapat pada hutan mangrove yaitu jenis Rhizophora spp, oleh karena itu hutan mangrove
lebih dikenal dan telah ditetapkan sebagai mangrove forest. Hutan mangrove umumnya
banyak terdapat di daerah pesisir, seperti pantai-pantai yang terlindung dari aktivitas
3|Kerusakan
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
gelombang besar dan arus pasang surut air laut dan tumbuh optimal di wilayah pantai
yang memiliki muara sungai besar serta estuaria dan delta yang aliran airnya banyak
mengandung lumpur (Dahuri et al, 1996).
Gambar 1. Hutan mangrove
Secara teoritis menurut Davies, Claridge dan Nararita (1995) hutan mangrove
memiliki fungsi-fungsi dan manfaat sebagai berikut :
a. Habitat satwa langka.
Hutan bakau sering menjadi habitat jenis-jenis satwa
endemik seperti Bekantan (Nasalis larvatus) yang endemik di Kalimantan, Beruk
Mentawai (Macacapagensis) yang endemik di Kepulauan Mentawai dan Tuntong
(Batagur baska) yang endemik di Sumatera. Lebih dari 100 jenis burung hidup di
sini, dan daratan lumpur yang luas yang berbatasan dengan hutan bakau
merupakan tempat mendaratnya ribuan burung pantai migran, termasuk jenis
burung langka blekok Asia (Limnodromus semipalmatus).
b. Pelindung terhadap bencana alam. Vegetasi hutan bakau dapat melindungi
bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau
angin yang bermuatan garam.
c. Pengendapan lumpur. Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses
pengendapan
lumpur.
Pengendapan
lumpur
berhubungan
erat
dengan
penghilangan racun dan unsur hara dari air, karena bahan-bahan tersebut
seringkali terikat pada partikel lumpur.
d. Penambat racun.
Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam
keadaan terikat pada permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul
partikel tanah liat. Beberapa spesies tertentu dalam hutan bakau bahkan
melakukan proses penambatan racun secara aktif.
e. Sarana pendidikan dan penelitian. Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi membutuhkan laboratorium lapang yang baik untuk kegiatan penelitian
dan pendidikan.
4|Kerusakan
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
f. Rekreasi dan Pariwisata. Hutan mangrove memiliki potensi nilai estetika, baik dari
faktor alamnya maupun dari hidupan yang ada di dalamnya.
g. Memelihara proses-proses dan sistem alami. Hutan mangrove sangat tinggi
peranannya
dalam
mendukung
berlangsungnya
proses-proses
ekologi,
geomorfologi atau geologi di dalamnya.
Gambar 2. Potensi hutan mangrove sebagai tempat pariwisata
2.3 Konversi Guna Lahan
Dalam pembagian suatu kawasan sering ditemukan penggunaan kawasan yang
tidak sesuai dengan tata guna lahan. Dalam beberapa wilayah, ditemukan konversi
(pengalihan) fungsi kawasan. Contohnya kawasan pemukiman menjadi kawasan industri,
kawasan budidaya menjadi kawasan industri dan sebagainya. Dalam penanganannya
diperlukan suatu indikator dalam menentukan kesesuaian fungsi kawsan. Untuk
mempermudah dalam menentukan kualitas lahan sebagai indikator kesesuaian lahan,
adapun faktor-faktor biotik yang mempengaruhi adalah sebagai berikut pada tabel 1.
Tabel 1. Kualitas lahan sebagai indikator kesesuaian lahan
Fungsi
Kualitas Lahan Spesifik
Kualitas lahan yang Ketersedian air, unsur hara, dan oksigen.
berhubungan
dengan Kemudahan pengolahan (workability) .
pertumbuhan
dan Salinasi dan/atau alkalinasi,dan toksinitas
keasaman ekstrim.
produk tanaman
Bahaya banjir.
Regim temperature.
Energi radiasi dan lama penyinaran.
Kelembaban udara.
Periode kering untuk pengeringan.
Kualitas
Lahan Peningkatan spesies dan produksi kayu-kayuan.
berhubungan
dengan Jenis dan kuantitas spesies kayu-kayuan.
5|Kerusakan
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
atau
produksi kehutanan dan Faktor setempat yang mempengaruhi regenerasi.
produksi ekstraksi
Kemungkinan ancaman/ bahaya kebakaran.
Ketersedian spesies pohon bernilai.
Ketersedian/ hasil buah-buahan.
Ketersedian/ kelimpahan hewan buruan
Aksesibilitas lahan.
Kualitas lahan berkaitan Kemungkinan mekanisasi (trafficability).
dengan
upaya Faktor lahan yang mempengaruhi konstruksi dan
pengolahan
kawasan
pemeliharaan jalan( accesibillity).
produksi
tanaman, Ukuran unit lahan untuk optimalisasi pengelolahan
hewan dan eksternal
dalam produksi (forest block).
Kemudahan pengangkutan untuk input, produksi,
pemasaran dan suplei hasil
Kualitas lahan berkaitan
dengan
upaya
pengolahan budidaya
pesisir
Kesuburan tanah dan kualitas air, dan kondisi estiari
Kemungkinan mekanisasi (trafficability).
Ukuran unit lahan untuk optimalisasi pengelolahan
produksi (luas hamparan kawasan).
Dalam lingkup wilayah pesisir di surabaya, yang menjadi masalah konversi lahan
adalah konversi lahan mangrove menjadi lahan perindustrian, pemukiman dan bentuk
lahan budidaya lainnya.
3. Identifikasi Kondisi
Ekosistem pesisir di Kota Surabaya yang memiliki potensi besar bagi pembangunan
adalah Pantai Timur Surabaya (PAMURBAYA) dan Pantai Utara Surabaya (PANTURA).
6|Kerusakan
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
Gambar 3. Kawasan pesisir kota Surabaya
Berdasarkan geofisiknya, Pamurbaya dan
Pantura
ini termasuk jenis pantai
berlumpur. Pantai berlumpur dicirikan oleh ukuran butiran sedimen sangat halus dan
memiliki tingkat bahan organik yang tinggi. Pantai ini juga banyak dipengaruhi oleh pasang
surut yang mengaduk sedimen secara periodik. Interaksi organisme dengan sedimen dan
pengaruh evaporasi perairan sangat tinggi di lingkungannya. Ekosistem pesisir pada
kedua wilayah ini lebih didominasi oleh ekosistem mangrove, dimana keberadaannya
memiliki fungsi dan manfaat baik bagi lingkungan maupun masyarakatnya. Pamurbaya
meruapkan salah satu kawasan ruang terbuka hijau yang memiliki kendali besar terhadap
geografis kota Surabaya. Hal ini dikarenakan hutan mangrove yang ada di Pantai Timur ini
menjadi benteng untuk melindungi Surabaya dari ancaman abrasi, intrusi air laut dan
penurunan muka tanah. Mangrove juga memiliki fungsi ekologis maupun ekonomi dan
dimanfaatkan sebagai lahan untuk tambak, perlindungan pantai maupun sungai. Berikut
adalah pemanfaatan lahan mangrove di Surabaya pada tabel 2.
Tabel 2. Pemanfaatan lahan mangrove di Surabaya tahun 2010
Kota
Surabaya
DAS
Kecamatan /kelurahan
Kec. Mulyorejo
Kalisari
Kejawan Putih Tambak
Jumlah
Kec Sukolilo
Keputih
Jumlah
Kec Rungkut
Brantas
Wonorejo
Medokan Ayu
Jumlah
Kec Gunung Anyar
Gunung anyar tambak
Jumlah
Jumlah Pantai Timur
JUMLAH TOTAL
Lokasi hutan mangrove (Ha)
Pantai
Tambak
Sungai
Jumlah
(Ha)
74,47
10,12
84,59
17,50
28,63
46,13
5,55
10,57
16,12
97,52
49,32
146,84
24,03
24,03
85,72
85,72
7,16
7,16
116,91
116,91
23,12
24,76
47,88
13,29
56,68
69,97
27,86
8,30
36,16
64,27
89,74
154,01
14,94
14,94
171,44
249,32
47,64
47,64
249,46
285,46
11,28
11,28
70,72
89,95
73,86
73,86
491,62
624,73
(Sumber: Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2010)
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa mangrove di daerah Surabaya
dimanfaatkan sebagai area tambak, perlindungan pantai dan kanan-kiri sungai. Kawasan
mangrove yang dimanfaatkan sebagai daerah tambak memiliki luasan yang lebih besar
dibandingkan dengan daerah pantai dan sungai. Hal ini diduga karena adanya alih fungsi
7|Kerusakan
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
lahan mangrove menjadi daerah pertambakan sehingga keberadaan mangrove paling besar
berada di daerah tambak.
Hal ini dapat mengakibatkan perubahan fungsi mangrove. Tambak yang semakin
besar dibandingkan dengan daerah mangrove di pantai maupun sungai dapat
meningkatkan abrasi yang mungkin terjadi saat air pasang. Selain hal tersebut, perubahan
lahan menjadi tambak akan membuka daerah dan dapat meningkatkan fragmentasi habitat
antara daerah pantai, mangrove, dan sungai. Pembukaan lahan dan fragmentasi lahan
mangrove menjadi fragmen atau bagian-bagian petak tambak juga dapat mempngaruhi
fauna yang berasosiasi dengan mangrove tersebut. Jenis-jenis Molusca maupun aves,
mamalia dan lainnya dapat berpindah tempat karena kurangnya naungan dan daerah
untuk beristirahat, bertelur dan sebagainya.
3.1 Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya)
Pantai Timur Surabaya atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pamurbaya, adalah
sebuah kawasan hutan bakau (mangrove) di pesisir timur Surabaya dan terletak di bagian
timur kota Surabaya yang berbatasan langsung dengan Selat Madura. Secara administratif,
Pamurbaya meliputi empat kelurahan di tiga Kecamatan, yakni Kelurahan Keputih di
Kecamatan Sukolilo, Kelurahan Wonorejo dan Medokan Ayu di Kecamatan Rungkut, serta
Kelurahan Gunung Anyar Tambak di dalam Kecamatan Gunung Anyar. Secara geografis,
Pamurbaya terletak memanjang dari selatan ke utara dengan batas 1120 47' 52,52" BT;
1120 50' 47,34" BT; dan 70 15' 30" LS; 70 20' 45" LS. Suhu udara rata-rata berkisar antara
26,60-30,30 C. Kondisi tanah umumnya homogen yang terdiri dari jenis tanah liat dan liat
berpasir yang mempunyai daya dukung rendah pada lingkungan dan bangunan. Wilayah
Pamurbaya terletak di tepi Selat Madura yang luasnya relatif sempit. Daerahnya
merupakan bentang alam yang relatif datar dengan kemiringan antara 0-3%.
Keberadaan Pamurbaya sangat berperan penting bagi Kota Surabaya, terkait
dengan hal pengendalian banjir, dimana lokasi Pamurbaya yang ada di ujung aliran sungai
di Surabaya. Secara ekologis, kehadiran hutan mangrove di kawasan ini berfungsi untuk
melindungi pantai dari abrasi, serta melindungi keanekaragaman hayati pesisir yang
tersisa di Surabaya. Bagi masyarakat Surabaya, keberadaan hutan mangrove di Pamurbaya
membantu terjadinya infiltrasi atau penyerapan air laut ke dalam air tanah. Sedangkan
berdasarkan penggunaannya, Pamurbaya ideal dikembangkan dengan beberapa fungsi
yang melekat di dalamnya, antara lain pendidikan lingkungan hidup, ekowisata, dan riset.
8|Kerusakan
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
Luas Pamurbaya sekitar 2.534 Ha. Namun, berdasarkan analisa spasial
perbandingan antara citra tahun 1972 hingga 2009, terdapat perbedaan luas Pamurbaya
sebesar 1.136 Ha. Perbedaan ini muncul akibat adanya sedimentasi (pengendapan material
dari daratan) yang menumpuk dan menambah daratan. Daratan baru ini sering disebut
sebagai tanah timbul atau tanah oloran. Kawasan ini terbentuk sebagai hasil endapan dari
sistem sungai yang ada di sekitarnya danpengaruh laut. Kondisi daerah delta dengan tanah
aluvial yang sangat kuat dipengaruhi oleh sistem tanah ini (disebut juga dengan istilah
tanah rawang laut), merupakan habitat yang baik bagi terbentuknya ekosistem mangrove.
Ada beberapa sungai yang bermuara di Pamurbaya yang menjadi terminal sedimen dan
subtrat. Sungai-sungai tersebut setiap hari mengirimkan berton-ton subtrat dari hulu
sungai, sehingga akhirnya akan mengalami proses sedimentasi di Pamurbaya dan akhirnya
akan mempercepat proses lahan oloran. Sejak tahun 1986-1996 terjadi penambahan lahan
sekitar 2-4 km di Pamurbaya karena porses sedimentasi. Tanah oloran ini dimanfaatkan
warga sebagai tambak dan pemukiman. Selain itu, masalah yang lebih berat lagi yang
dialami oleh Kota Surabaya terhadap pantai timur Surabaya ini adalah adaknya kegiatan
reklamasi pantai dan laut. Reklamasi ini dilakukan oleh pengembang besar pada
megaproyeknya yang akan membangun pemukiman perumahan mewah atau real estate
dan juga pembangunan apartement dengan lokasi langsung menghadap laut dan pantai.
Gambar 4. Reklamasi di daerah Keputih, Surabaya
Sesuai dengan namanya, Mega proyek yang dilakukan oleh developer ini tidak
melakukan reklamasi laut dalam jumlah yang sedikit, melainkan seluas 400 Ha. Dapat
dibayangkan seberapa luas proyek yang tengah dilakukan oleh developer ini. Dengan
adanya reklamasi pantai dan laut yang cukup besar, maka harus ada yang dikorbankan,
yaitu ekosistem kawasan pesisir yang termasuk di dalamnya adalah lahan hutan mangrove.
Berdasarkan data yang diperoleh, pada tahun 2002 luas hutan mangrove Pantai
Timur Surabaya sekitar 3200 Ha. Namun, karena adanya berbagai aktivitas di sekitar
9|Kerusakan
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
ekosistem mangrove, maka
pada tahun 2008 luasnya menurun menjadi 1180 Ha.
Ekosistem mangrove di Pamurbaya meliputi Kecamatan Rungkut (daerah Kenjeran,
Keputih
Tambak, Wonorejo, Medokan)
dan Gunung
Anyar. Hutan mangrove yang
tersebar di beberapa kecamatan ini tidak hanya terdiri dari satu jenis saja, melainkan
terdiri dari beberapa macam jenis, yaitu:
1. Kecamatan Gunung Anyar : Avicennia marina, Avicennia alba, Excoecaria
agallocha, Avicennia lanata, Xylocarpus granatum.
2. Kecamatan Rungkut : Avicennia marina, Avicennia alba, Excoecaria agallocha,
Aegiceras floridum, Rhizophora mucronata , Avicennia Officinalis.
3. Kecamatan Sukolilo : Avicennia marina, Avicennia alba, Avicennia officinalis (Zona
Luar) Sonneratia caseolaris, Sonneratia alba, Rhizopora apiculata (Sepanjang
sungai)
4. Kecamatan Mulyorejo : Avicennia marina, Excoecaria agallocha
Gambar 5. Hutan mangrove di Gunung Anyar, Surabaya
Pantai Timur Surabaya menurut Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota
Surabaya termasuk dalam kawasan perlindungan bawahan yang memiliki fungsi penting
dalam mencegah banjir dan bencana terutama dalam hal resapan air. Pengembangan
kawasan konservasi di wilayah timur diarahkan pada wilayah pantai timur, hal ini untuk
menyiasati perkembangan akibat adanya sedimentasi laut yang diupayakan, atau yang
lebih dikenal dengan istilah tanah oloran. Pengembangan konservasi pantai timur ini
dengan pertimbangan kecenderungan dari masyarakat sekitar pantai untuk memanfaatkan
tanah tersebut padahal daerah tersebut merupakan daerah pantai yang selayaknya
dilindungi.
Konservasi hutan mangrove diarahkan di sepanjang pesisir dengan ketebalan
minimal 355 meter, serta di sekitar estuari Kali Wonokromo dikembangkan untuk kawasan
perlindungan burung air, burung pemangsa dan burung migran. Berdasarkan data dari
10 | K e r u s a k a n
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Surabaya diketahui bahwa di garis Pantai
Kenjeran sampai muara Sungai Jagir Wonokromo, ketebalan kawasan mangrove +5-10
meter didominasi jenis Avicennia marina. Kondisi hutan relatif baik kecuali di daerah
Kenjeran, garis pantai muara Sungai Jagir Wonokromo sampai dengan muara Sungai
Wonorejo, ketebalan kawasan mangrove
± 5-10
meter didominasi jenis
Avicennia
marina, Avicennia alba, Sonneratia ovata, Sonneratia caseolaris, dan Rhizopora mucronata.
Kondisi hutan relatif baik. Pertambakan di Kelurahan Gunung Anyar, tambak produktif
terkesan panas, karena pematangnya jarang ditanami pohon mangrove (jarak tanam 3-4
meter). Tidak terdapat buffer zone berupa tanaman hijau yang membatasi wilayah
perumahan dan pertambakan.
Upaya perlindungan Pamurbaya terkait dengan ancaman maupun kerusakan yang
ada, Dinas Pertanian Kota Surabaya memberikan peraturan bahwa di Kawasan Pamurbaya
tidak diperbolehkan melakukan pembangunan baik tambak, rumah, dan sebagainya terkait
dengan keberadaan mangrovenya. Secara teknis dilakukan pengawasan di lapangan
dengan bekerjasama oleh kecamatan-kecamatan yang ada di Pamurbaya. Prosedur dan
pengawasan pengendalian mangrove masih dalam tahap penyusunan. Untuk melestarikan
hutan mangrove yang telah dihijaukan kembali maka ditetapkanlah
kawasan hutan
mangrove di bagian timur Surabaya yaitu Kawasan Pamurbaya sebagai kawasan
konservasi serta membuka Wisata Anyar Mangrove (WAM) yang terletak di RW VII
Kecamatan Gunung Anyar. Di kawasan konservasi terdapat pos pemantau hutan mangrove
dari Forum Kemitran Polisi dan Masyarakat (FKPM) sekaligus sebagai pengelola WAM.
Sedangkan dalam hal ekowisata bukan merupakan inisiatif dari Pemerintah,
sehingga belum ada peraturan terikat yang mengatur keberadaan ekowisata yang terdapat
di Pamurbaya. Dampak positif yang diimbulkan dengan adanya ekowisata tersebut adalah
dengan peningkatan kesejahteraan warga (warung, perahu, dan sebagainya), sedangkan
dampak negatifnya adanya aspek lingkungan yang menurun.
3.1.1 Fungsi Ekosistem Mangrove Pamurbaya
Mangrove di Pamurbaya memiliki beberapa fungsi menurut Naamin, 1990 dan
disesuaikan dengan keadaan masyarakatnya sebagai berikut:
1. Fungsi Fisik Mangrove Pamurbaya
Mangrove di Surabaya dapat menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi
pantai dan tebing sungai, mencegah erosi laut, sebagai penangkap zat-zat pencemar
dan limbah. Kondisi perakaran tanaman mangrove sesuai dengan karakteristik
habitatnya. Perakaran yang tertanam di daerah berlumpur atau genangan yang kurang
11 | K e r u s a k a n
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
oksigen, membentuk sistem akar napas (pneumatopora) yang muncul di atas
permukaan lumpur. Perakaran yang mencuat ke atas permukaan menghambat aliran
arus sungai atau laut serta mengendapkan lumpur hingga dasar tanah meningkat dan
akhirnya mengering.
2. Fungsi Biologi
Berfungsi sebagai daerah asuhan pasca larva dan jenis ikan, udang serta menjadi
tempat kehidupan jenis-jenis kerang dan kepiting, tempat bersarang burung-burung
dan menjadi habitat alami bagi berbagai jenis biota. Mangrove di wonorejo yang
mengalami proses pelapukannya, hutan mangrove sangat kaya protein dan menjadi
sumber makanan utama bagi hewan-hewan tersebut di atas, yang selanjtunya akan
menjadi bahan makanan ikan-ikan lainnya seperti Belanak yang banyak terdapat di
Pamurbaya.
3. Fungsi ekonomi, Produksi dan Edukasi
Ekosistem mangrove juga difungsikan oleh masyarakat sekitar sebagai makanan,
minuman, obat-obatan, peralatan rumah tangga, pertanian, perikanan, dan sebagainya.
Sebagai contoh, daerah Kedungasem, Rungkut terdapat sektor Usaha Kecil Menengah
(UKM) dalam pengelolaan mangrove oleh masyarakat. Hasilnya berupa batik
mangrove, sabun, kripik dan lain sebagainya. Usaha Kecil Menengah lainnya juga
terdapat di daerah Wonorejo dalam pengelolaan mangrove terutama Sonneratia
sebagai sirup mangrove. Selain hal tersebut, keberadaan mangrove di Pamurbaya
menjadi tempat yang baik untuk melakukan riset dan studi bagi pelajar, mahasiswa
maupun peneliti yang bergerak di bidang pendidikan.
Gambar 6. Pemanfaatan mangrove sebagai bahan sirup mangrove yang dikelola oleh
masyarakat Wonorejo, Surabaya
3.1.2 Pemanfaatan Ekosistem Mangrove di Pantai Timur Surabaya
12 | K e r u s a k a n
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
1. Di daerah Kenjeran dimanfaatkan sebagai pariwisata. Pariwisata di Kenjeran
berkembang dengan adanya Ken Park, Pantai Ria Kenjeran dan pusat oleh-oleh
dari masyarakat sekitar. Selain hal tersebut, mangrove di daerah Kenjeran
belum termanfaatkan sebagai bahan industri kecil seperti sirip dan lebih
diutamakan sebagai daerah penahan air laut dan penambat perahu oleh
masyarakat.
2. Di daerah Keputih Tambak, mangrove dimanfaatkan sebagai penahan
gelombang air laut oleh masyarakat untuk melindungi tambak, dan belum ada
pemanfaatan untuk sektor industri kecil.
3. Di daerah Wonorejo, masyarakat membentuk Ekowisata Mangrove sebagai
upaya pemanfaatan di bidang pariwisata yang di dalamnya terdapat ekowisata
perahu, pos pantau dan pemancingan ikan. Selain hal tersebut, mangrove
dimanfaatkan sebagai bahan sirup.
4. Di daerah Medokan, mangrove dimanfaatkan oleh kelompok usaha kecil
menengah di Rungkut sebagai bahan pembuat batik tulis mangrove.
5. Di daerah Gunung Anyar, masyarakat membentuk Ekowisata Perahu Mangrove.
Gambar 7. Mangrove digunakan sebagai bahan pembuat batik tulis mangrove Medokan,
Surabaya
3.1.3 Kondisi Ekosistem Mangrove secara Kualitatif
Kondisi mangrove di daerah Pantai Timur Surabaya secara kualitatif berdasarkan
pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004 tentang Kriteria
13 | K e r u s a k a n
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove berada pada level buruk dimana
penutupan mangrove dari Keputih hingga Gunung Anyar mencapai nilai 14,2% dengan
kerapatan
Ekosistem pesisir merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan
mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain menghasilkan bahan dasar
untuk pemenuhan kebutuhan pangan, keperluan rumah tangga dan industri yang dalam
konteks ekonomi bernilai komersial tinggi, ekosistem pesisir dan
laut juga memiliki
fungsi-fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, tempat pemijahan,
tempat pengasuhan dan tumbuh besar, serta tempat mencari makanan bagi beragam biota
laut. Selain itu, ekosistem pesisir dan laut berperan pula sebagai pelindung pantai atau
penahan abrasi bagi wilayah daratan yang berada di belakang ekosistem ini (Bengen,
2002).
Perairan pesisir menurut Undang-Undang No.
27 Tahun 2007
tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 1 ayat 1, merupakan suatu
wilayah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil diukur dari
garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk,
perairan dangkal, rawa payau, dan laguna. Salah satu potensi yang sangat penting
keberadaannya di wilayah pesisir adalah hutan mangrove. Dimana mangrove, dapat
tumbuh didaerah pantai-pantai yang terlindung dari aktivitas gelombang besar dan arus
pasang surut air laut dan tumbuh optimal di wilayah pantai yang memiliki muara sungai
besar serta estuari dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur (Dahuri et al,
1996).
Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka, karena luasnya hanya 2%
permukaan bumi, Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia.
Luas hutan mangrove di Indonesia sekitar 4.251.011 Ha yang tersebar dibeberapa pulau,
seperti Sumatera, Jawa dan Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian.
Ekosistem mangrove ini memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi dan sosial-budaya yang
sangat penting, misalnya menjaga stabilitas pantai, sumber ikan, udang dan
keanekaragaman hayati lainnya, sumber kayu bakar dan kayu bangunan, serta memiliki
fungsi konservasi, edukasi, ekoturisme dan identitas budaya.
Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia, termasuk Indonesia sangat cepat
akibat pembukaan tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran lingkungan,
reklamasi dan sedimentasi, pertambangan, sebab-sebab alam seperti badai atau tsunami
dan lain-lainnya. Berdasarkan artikel ilmiah menyebutkan bahwa sekitar 48% luas hutan
mangrove di Indonesia telah mengalami kerusakan sedang dan 23% mengalami kerusakan
parah. Kerusakan hutan mangrove dialami hampir di seluruh daerah di Indonesia,
1|Kerusakan
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
termasuk di Kota Surabaya Provinsi Jawa Timur. Sebesar 40% dari total luas mangrove di
Kota Surabaya telah mengalami kerusakan. Restorasi mangrove mendapat perhatian luas
mengingat tingginya nilai sosial-ekonomi dan ekologi ekosistem ini. restorasi dapat
menaikkan nilai sumberdaya hayati mangrove, memberi mata pencaharian penduduk,
mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, produksi perikanan dan lainnya
(Setyawan, 2006).
Berdasarkan permaslahan tersebut, maka dapat dirumuskan masalah yang
diangkat dalam makalah ini adalah bagaimana kondisi hutan mangrove di pesisir Surabaya
dan mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan mangrove tersebut.
Sehingga, tujuan dari makalah ini adalah menyusun dan memberikan rekomendasi dan
arahan terhadap permasalahan wilayah pesisir Surabaya guna menekan angka
pengkonversian hutan mangrove.
2. Landasan Teori
2.1 Karakteristik Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir merupakan zona penting karena pada dasarnya tersusun dari
berbagai macam ekosistem seperti mangrove, terumbu karang, lamun, pantai berpasir dan
lainnya yang satu sama lain saling terkait. Perubahan atau kerusakan yang menimpa suatu
ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu wilayah pesisir juga
dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia baik langsung atau tidak langsung
maupun proses-proses alamiah yang terdapat di atas lahan maupun lautan (Djau, 2012).
Scura et al. (1992) dalam Cicin-Sain and Knecht (1998), mengemukakan bahwa
wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara daratan dan laut, yang didalamnya
terdapat hubungan yang erat antara aktivitas manusia dengan lingkungan daratan dan
lingkungan laut. Wilayah pesisir mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Memiliki habitat dan ekosistem (seperti estuari, terumbu karang, padang lamun,
mangrove) yang dapat menyediakan suatu (seperti ikan, minyak bumi, mineral) dan
jasa (seperti bentuk perlindungan alam dan badai, arus pasang surut, wisata) untuk
masyarakat pesisir.
b. Dicirikan dengan persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya dan ruang oleh
berbagai stakeholders, sehingga sering terjadi konflik yang berdampak pada
menurunnya fungsi sumberdaya.
c. Menyediakan sumberdaya ekonomi nasional dari wilayah pesisir dimana dapat
menghasilkan GNP (gross national product) dari kegiatan seperti pengembangan
perkapalan, perminyakan dan gas, pariwisata dan pesisir dan lainnya.
2|Kerusakan
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
d. Biasanya memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan merupakan wilayah
urbanisasi.
Ekosistem di wilayah pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai
kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi antara
habitat tersebut. Ekosistem di wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling
mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan, serta
langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisisr
(Dahuri et al, 2001). Konsentrasi pembangunan kehidupan manusia dan berbagai
pembangunan di wilayah tersebut disebabkan oleh tiga alasan ekonomi yang kuat, yaitu
bahwa wilayah pesisir merupakan kawasan yang produktif di bumi, wilayah pesisir
menyediakan kemudahab bagi berbagai kegiatan serta wilayah peisisr memiliki pesona
yang menarik bagi obyek pariwisata. Hal-hal tersebut menyebabkan kawasan pesisir di
dunia termasuk Indonesia mengalami tekanan ekologis yang parah dan kompleks sehingga
menjadi rusak (Dahuri, 1998)
Setiap organisme pendukung di sub sistem ekosistem pesisir mempunyai daya
tahan terhadap perubahan lingkungan yang spesifik. organisme yang tahan bahan
pencemar akan tetap survive, sedangkan yang tidak tahan akan punah. Akibatnya
perubahan atau penurunan kualitas lingkungan fisik-kimia air, seperti salinitas, suhu aur,
level penetrasi cahaya nutrien, di wilayah pesisir akan menurunkan produktivitas
ekosistem pesisir tersebut (Supriharyono, 2002)
2.2 Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi
oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah
pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Selanjutnya menurut Nybakken (1992),
kata mangrove berasal dari perpaduan antara bahasa portugis, Mangue dan bahasa Inggr
is, Grove. Pengertian mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk
menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa
spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk
tumbuhan pada tanah galian.
Hutan mangrove sering disebut hutan bakau, hutan pasang surut dan hutan payau.
Istilah hutan bakau sebenarnya hanya merupakan nama dari salah satu tumbuhan yang
terdapat pada hutan mangrove yaitu jenis Rhizophora spp, oleh karena itu hutan mangrove
lebih dikenal dan telah ditetapkan sebagai mangrove forest. Hutan mangrove umumnya
banyak terdapat di daerah pesisir, seperti pantai-pantai yang terlindung dari aktivitas
3|Kerusakan
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
gelombang besar dan arus pasang surut air laut dan tumbuh optimal di wilayah pantai
yang memiliki muara sungai besar serta estuaria dan delta yang aliran airnya banyak
mengandung lumpur (Dahuri et al, 1996).
Gambar 1. Hutan mangrove
Secara teoritis menurut Davies, Claridge dan Nararita (1995) hutan mangrove
memiliki fungsi-fungsi dan manfaat sebagai berikut :
a. Habitat satwa langka.
Hutan bakau sering menjadi habitat jenis-jenis satwa
endemik seperti Bekantan (Nasalis larvatus) yang endemik di Kalimantan, Beruk
Mentawai (Macacapagensis) yang endemik di Kepulauan Mentawai dan Tuntong
(Batagur baska) yang endemik di Sumatera. Lebih dari 100 jenis burung hidup di
sini, dan daratan lumpur yang luas yang berbatasan dengan hutan bakau
merupakan tempat mendaratnya ribuan burung pantai migran, termasuk jenis
burung langka blekok Asia (Limnodromus semipalmatus).
b. Pelindung terhadap bencana alam. Vegetasi hutan bakau dapat melindungi
bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau
angin yang bermuatan garam.
c. Pengendapan lumpur. Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses
pengendapan
lumpur.
Pengendapan
lumpur
berhubungan
erat
dengan
penghilangan racun dan unsur hara dari air, karena bahan-bahan tersebut
seringkali terikat pada partikel lumpur.
d. Penambat racun.
Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam
keadaan terikat pada permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul
partikel tanah liat. Beberapa spesies tertentu dalam hutan bakau bahkan
melakukan proses penambatan racun secara aktif.
e. Sarana pendidikan dan penelitian. Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi membutuhkan laboratorium lapang yang baik untuk kegiatan penelitian
dan pendidikan.
4|Kerusakan
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
f. Rekreasi dan Pariwisata. Hutan mangrove memiliki potensi nilai estetika, baik dari
faktor alamnya maupun dari hidupan yang ada di dalamnya.
g. Memelihara proses-proses dan sistem alami. Hutan mangrove sangat tinggi
peranannya
dalam
mendukung
berlangsungnya
proses-proses
ekologi,
geomorfologi atau geologi di dalamnya.
Gambar 2. Potensi hutan mangrove sebagai tempat pariwisata
2.3 Konversi Guna Lahan
Dalam pembagian suatu kawasan sering ditemukan penggunaan kawasan yang
tidak sesuai dengan tata guna lahan. Dalam beberapa wilayah, ditemukan konversi
(pengalihan) fungsi kawasan. Contohnya kawasan pemukiman menjadi kawasan industri,
kawasan budidaya menjadi kawasan industri dan sebagainya. Dalam penanganannya
diperlukan suatu indikator dalam menentukan kesesuaian fungsi kawsan. Untuk
mempermudah dalam menentukan kualitas lahan sebagai indikator kesesuaian lahan,
adapun faktor-faktor biotik yang mempengaruhi adalah sebagai berikut pada tabel 1.
Tabel 1. Kualitas lahan sebagai indikator kesesuaian lahan
Fungsi
Kualitas Lahan Spesifik
Kualitas lahan yang Ketersedian air, unsur hara, dan oksigen.
berhubungan
dengan Kemudahan pengolahan (workability) .
pertumbuhan
dan Salinasi dan/atau alkalinasi,dan toksinitas
keasaman ekstrim.
produk tanaman
Bahaya banjir.
Regim temperature.
Energi radiasi dan lama penyinaran.
Kelembaban udara.
Periode kering untuk pengeringan.
Kualitas
Lahan Peningkatan spesies dan produksi kayu-kayuan.
berhubungan
dengan Jenis dan kuantitas spesies kayu-kayuan.
5|Kerusakan
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
atau
produksi kehutanan dan Faktor setempat yang mempengaruhi regenerasi.
produksi ekstraksi
Kemungkinan ancaman/ bahaya kebakaran.
Ketersedian spesies pohon bernilai.
Ketersedian/ hasil buah-buahan.
Ketersedian/ kelimpahan hewan buruan
Aksesibilitas lahan.
Kualitas lahan berkaitan Kemungkinan mekanisasi (trafficability).
dengan
upaya Faktor lahan yang mempengaruhi konstruksi dan
pengolahan
kawasan
pemeliharaan jalan( accesibillity).
produksi
tanaman, Ukuran unit lahan untuk optimalisasi pengelolahan
hewan dan eksternal
dalam produksi (forest block).
Kemudahan pengangkutan untuk input, produksi,
pemasaran dan suplei hasil
Kualitas lahan berkaitan
dengan
upaya
pengolahan budidaya
pesisir
Kesuburan tanah dan kualitas air, dan kondisi estiari
Kemungkinan mekanisasi (trafficability).
Ukuran unit lahan untuk optimalisasi pengelolahan
produksi (luas hamparan kawasan).
Dalam lingkup wilayah pesisir di surabaya, yang menjadi masalah konversi lahan
adalah konversi lahan mangrove menjadi lahan perindustrian, pemukiman dan bentuk
lahan budidaya lainnya.
3. Identifikasi Kondisi
Ekosistem pesisir di Kota Surabaya yang memiliki potensi besar bagi pembangunan
adalah Pantai Timur Surabaya (PAMURBAYA) dan Pantai Utara Surabaya (PANTURA).
6|Kerusakan
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
Gambar 3. Kawasan pesisir kota Surabaya
Berdasarkan geofisiknya, Pamurbaya dan
Pantura
ini termasuk jenis pantai
berlumpur. Pantai berlumpur dicirikan oleh ukuran butiran sedimen sangat halus dan
memiliki tingkat bahan organik yang tinggi. Pantai ini juga banyak dipengaruhi oleh pasang
surut yang mengaduk sedimen secara periodik. Interaksi organisme dengan sedimen dan
pengaruh evaporasi perairan sangat tinggi di lingkungannya. Ekosistem pesisir pada
kedua wilayah ini lebih didominasi oleh ekosistem mangrove, dimana keberadaannya
memiliki fungsi dan manfaat baik bagi lingkungan maupun masyarakatnya. Pamurbaya
meruapkan salah satu kawasan ruang terbuka hijau yang memiliki kendali besar terhadap
geografis kota Surabaya. Hal ini dikarenakan hutan mangrove yang ada di Pantai Timur ini
menjadi benteng untuk melindungi Surabaya dari ancaman abrasi, intrusi air laut dan
penurunan muka tanah. Mangrove juga memiliki fungsi ekologis maupun ekonomi dan
dimanfaatkan sebagai lahan untuk tambak, perlindungan pantai maupun sungai. Berikut
adalah pemanfaatan lahan mangrove di Surabaya pada tabel 2.
Tabel 2. Pemanfaatan lahan mangrove di Surabaya tahun 2010
Kota
Surabaya
DAS
Kecamatan /kelurahan
Kec. Mulyorejo
Kalisari
Kejawan Putih Tambak
Jumlah
Kec Sukolilo
Keputih
Jumlah
Kec Rungkut
Brantas
Wonorejo
Medokan Ayu
Jumlah
Kec Gunung Anyar
Gunung anyar tambak
Jumlah
Jumlah Pantai Timur
JUMLAH TOTAL
Lokasi hutan mangrove (Ha)
Pantai
Tambak
Sungai
Jumlah
(Ha)
74,47
10,12
84,59
17,50
28,63
46,13
5,55
10,57
16,12
97,52
49,32
146,84
24,03
24,03
85,72
85,72
7,16
7,16
116,91
116,91
23,12
24,76
47,88
13,29
56,68
69,97
27,86
8,30
36,16
64,27
89,74
154,01
14,94
14,94
171,44
249,32
47,64
47,64
249,46
285,46
11,28
11,28
70,72
89,95
73,86
73,86
491,62
624,73
(Sumber: Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2010)
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa mangrove di daerah Surabaya
dimanfaatkan sebagai area tambak, perlindungan pantai dan kanan-kiri sungai. Kawasan
mangrove yang dimanfaatkan sebagai daerah tambak memiliki luasan yang lebih besar
dibandingkan dengan daerah pantai dan sungai. Hal ini diduga karena adanya alih fungsi
7|Kerusakan
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
lahan mangrove menjadi daerah pertambakan sehingga keberadaan mangrove paling besar
berada di daerah tambak.
Hal ini dapat mengakibatkan perubahan fungsi mangrove. Tambak yang semakin
besar dibandingkan dengan daerah mangrove di pantai maupun sungai dapat
meningkatkan abrasi yang mungkin terjadi saat air pasang. Selain hal tersebut, perubahan
lahan menjadi tambak akan membuka daerah dan dapat meningkatkan fragmentasi habitat
antara daerah pantai, mangrove, dan sungai. Pembukaan lahan dan fragmentasi lahan
mangrove menjadi fragmen atau bagian-bagian petak tambak juga dapat mempngaruhi
fauna yang berasosiasi dengan mangrove tersebut. Jenis-jenis Molusca maupun aves,
mamalia dan lainnya dapat berpindah tempat karena kurangnya naungan dan daerah
untuk beristirahat, bertelur dan sebagainya.
3.1 Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya)
Pantai Timur Surabaya atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pamurbaya, adalah
sebuah kawasan hutan bakau (mangrove) di pesisir timur Surabaya dan terletak di bagian
timur kota Surabaya yang berbatasan langsung dengan Selat Madura. Secara administratif,
Pamurbaya meliputi empat kelurahan di tiga Kecamatan, yakni Kelurahan Keputih di
Kecamatan Sukolilo, Kelurahan Wonorejo dan Medokan Ayu di Kecamatan Rungkut, serta
Kelurahan Gunung Anyar Tambak di dalam Kecamatan Gunung Anyar. Secara geografis,
Pamurbaya terletak memanjang dari selatan ke utara dengan batas 1120 47' 52,52" BT;
1120 50' 47,34" BT; dan 70 15' 30" LS; 70 20' 45" LS. Suhu udara rata-rata berkisar antara
26,60-30,30 C. Kondisi tanah umumnya homogen yang terdiri dari jenis tanah liat dan liat
berpasir yang mempunyai daya dukung rendah pada lingkungan dan bangunan. Wilayah
Pamurbaya terletak di tepi Selat Madura yang luasnya relatif sempit. Daerahnya
merupakan bentang alam yang relatif datar dengan kemiringan antara 0-3%.
Keberadaan Pamurbaya sangat berperan penting bagi Kota Surabaya, terkait
dengan hal pengendalian banjir, dimana lokasi Pamurbaya yang ada di ujung aliran sungai
di Surabaya. Secara ekologis, kehadiran hutan mangrove di kawasan ini berfungsi untuk
melindungi pantai dari abrasi, serta melindungi keanekaragaman hayati pesisir yang
tersisa di Surabaya. Bagi masyarakat Surabaya, keberadaan hutan mangrove di Pamurbaya
membantu terjadinya infiltrasi atau penyerapan air laut ke dalam air tanah. Sedangkan
berdasarkan penggunaannya, Pamurbaya ideal dikembangkan dengan beberapa fungsi
yang melekat di dalamnya, antara lain pendidikan lingkungan hidup, ekowisata, dan riset.
8|Kerusakan
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
Luas Pamurbaya sekitar 2.534 Ha. Namun, berdasarkan analisa spasial
perbandingan antara citra tahun 1972 hingga 2009, terdapat perbedaan luas Pamurbaya
sebesar 1.136 Ha. Perbedaan ini muncul akibat adanya sedimentasi (pengendapan material
dari daratan) yang menumpuk dan menambah daratan. Daratan baru ini sering disebut
sebagai tanah timbul atau tanah oloran. Kawasan ini terbentuk sebagai hasil endapan dari
sistem sungai yang ada di sekitarnya danpengaruh laut. Kondisi daerah delta dengan tanah
aluvial yang sangat kuat dipengaruhi oleh sistem tanah ini (disebut juga dengan istilah
tanah rawang laut), merupakan habitat yang baik bagi terbentuknya ekosistem mangrove.
Ada beberapa sungai yang bermuara di Pamurbaya yang menjadi terminal sedimen dan
subtrat. Sungai-sungai tersebut setiap hari mengirimkan berton-ton subtrat dari hulu
sungai, sehingga akhirnya akan mengalami proses sedimentasi di Pamurbaya dan akhirnya
akan mempercepat proses lahan oloran. Sejak tahun 1986-1996 terjadi penambahan lahan
sekitar 2-4 km di Pamurbaya karena porses sedimentasi. Tanah oloran ini dimanfaatkan
warga sebagai tambak dan pemukiman. Selain itu, masalah yang lebih berat lagi yang
dialami oleh Kota Surabaya terhadap pantai timur Surabaya ini adalah adaknya kegiatan
reklamasi pantai dan laut. Reklamasi ini dilakukan oleh pengembang besar pada
megaproyeknya yang akan membangun pemukiman perumahan mewah atau real estate
dan juga pembangunan apartement dengan lokasi langsung menghadap laut dan pantai.
Gambar 4. Reklamasi di daerah Keputih, Surabaya
Sesuai dengan namanya, Mega proyek yang dilakukan oleh developer ini tidak
melakukan reklamasi laut dalam jumlah yang sedikit, melainkan seluas 400 Ha. Dapat
dibayangkan seberapa luas proyek yang tengah dilakukan oleh developer ini. Dengan
adanya reklamasi pantai dan laut yang cukup besar, maka harus ada yang dikorbankan,
yaitu ekosistem kawasan pesisir yang termasuk di dalamnya adalah lahan hutan mangrove.
Berdasarkan data yang diperoleh, pada tahun 2002 luas hutan mangrove Pantai
Timur Surabaya sekitar 3200 Ha. Namun, karena adanya berbagai aktivitas di sekitar
9|Kerusakan
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
ekosistem mangrove, maka
pada tahun 2008 luasnya menurun menjadi 1180 Ha.
Ekosistem mangrove di Pamurbaya meliputi Kecamatan Rungkut (daerah Kenjeran,
Keputih
Tambak, Wonorejo, Medokan)
dan Gunung
Anyar. Hutan mangrove yang
tersebar di beberapa kecamatan ini tidak hanya terdiri dari satu jenis saja, melainkan
terdiri dari beberapa macam jenis, yaitu:
1. Kecamatan Gunung Anyar : Avicennia marina, Avicennia alba, Excoecaria
agallocha, Avicennia lanata, Xylocarpus granatum.
2. Kecamatan Rungkut : Avicennia marina, Avicennia alba, Excoecaria agallocha,
Aegiceras floridum, Rhizophora mucronata , Avicennia Officinalis.
3. Kecamatan Sukolilo : Avicennia marina, Avicennia alba, Avicennia officinalis (Zona
Luar) Sonneratia caseolaris, Sonneratia alba, Rhizopora apiculata (Sepanjang
sungai)
4. Kecamatan Mulyorejo : Avicennia marina, Excoecaria agallocha
Gambar 5. Hutan mangrove di Gunung Anyar, Surabaya
Pantai Timur Surabaya menurut Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota
Surabaya termasuk dalam kawasan perlindungan bawahan yang memiliki fungsi penting
dalam mencegah banjir dan bencana terutama dalam hal resapan air. Pengembangan
kawasan konservasi di wilayah timur diarahkan pada wilayah pantai timur, hal ini untuk
menyiasati perkembangan akibat adanya sedimentasi laut yang diupayakan, atau yang
lebih dikenal dengan istilah tanah oloran. Pengembangan konservasi pantai timur ini
dengan pertimbangan kecenderungan dari masyarakat sekitar pantai untuk memanfaatkan
tanah tersebut padahal daerah tersebut merupakan daerah pantai yang selayaknya
dilindungi.
Konservasi hutan mangrove diarahkan di sepanjang pesisir dengan ketebalan
minimal 355 meter, serta di sekitar estuari Kali Wonokromo dikembangkan untuk kawasan
perlindungan burung air, burung pemangsa dan burung migran. Berdasarkan data dari
10 | K e r u s a k a n
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Surabaya diketahui bahwa di garis Pantai
Kenjeran sampai muara Sungai Jagir Wonokromo, ketebalan kawasan mangrove +5-10
meter didominasi jenis Avicennia marina. Kondisi hutan relatif baik kecuali di daerah
Kenjeran, garis pantai muara Sungai Jagir Wonokromo sampai dengan muara Sungai
Wonorejo, ketebalan kawasan mangrove
± 5-10
meter didominasi jenis
Avicennia
marina, Avicennia alba, Sonneratia ovata, Sonneratia caseolaris, dan Rhizopora mucronata.
Kondisi hutan relatif baik. Pertambakan di Kelurahan Gunung Anyar, tambak produktif
terkesan panas, karena pematangnya jarang ditanami pohon mangrove (jarak tanam 3-4
meter). Tidak terdapat buffer zone berupa tanaman hijau yang membatasi wilayah
perumahan dan pertambakan.
Upaya perlindungan Pamurbaya terkait dengan ancaman maupun kerusakan yang
ada, Dinas Pertanian Kota Surabaya memberikan peraturan bahwa di Kawasan Pamurbaya
tidak diperbolehkan melakukan pembangunan baik tambak, rumah, dan sebagainya terkait
dengan keberadaan mangrovenya. Secara teknis dilakukan pengawasan di lapangan
dengan bekerjasama oleh kecamatan-kecamatan yang ada di Pamurbaya. Prosedur dan
pengawasan pengendalian mangrove masih dalam tahap penyusunan. Untuk melestarikan
hutan mangrove yang telah dihijaukan kembali maka ditetapkanlah
kawasan hutan
mangrove di bagian timur Surabaya yaitu Kawasan Pamurbaya sebagai kawasan
konservasi serta membuka Wisata Anyar Mangrove (WAM) yang terletak di RW VII
Kecamatan Gunung Anyar. Di kawasan konservasi terdapat pos pemantau hutan mangrove
dari Forum Kemitran Polisi dan Masyarakat (FKPM) sekaligus sebagai pengelola WAM.
Sedangkan dalam hal ekowisata bukan merupakan inisiatif dari Pemerintah,
sehingga belum ada peraturan terikat yang mengatur keberadaan ekowisata yang terdapat
di Pamurbaya. Dampak positif yang diimbulkan dengan adanya ekowisata tersebut adalah
dengan peningkatan kesejahteraan warga (warung, perahu, dan sebagainya), sedangkan
dampak negatifnya adanya aspek lingkungan yang menurun.
3.1.1 Fungsi Ekosistem Mangrove Pamurbaya
Mangrove di Pamurbaya memiliki beberapa fungsi menurut Naamin, 1990 dan
disesuaikan dengan keadaan masyarakatnya sebagai berikut:
1. Fungsi Fisik Mangrove Pamurbaya
Mangrove di Surabaya dapat menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi
pantai dan tebing sungai, mencegah erosi laut, sebagai penangkap zat-zat pencemar
dan limbah. Kondisi perakaran tanaman mangrove sesuai dengan karakteristik
habitatnya. Perakaran yang tertanam di daerah berlumpur atau genangan yang kurang
11 | K e r u s a k a n
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
oksigen, membentuk sistem akar napas (pneumatopora) yang muncul di atas
permukaan lumpur. Perakaran yang mencuat ke atas permukaan menghambat aliran
arus sungai atau laut serta mengendapkan lumpur hingga dasar tanah meningkat dan
akhirnya mengering.
2. Fungsi Biologi
Berfungsi sebagai daerah asuhan pasca larva dan jenis ikan, udang serta menjadi
tempat kehidupan jenis-jenis kerang dan kepiting, tempat bersarang burung-burung
dan menjadi habitat alami bagi berbagai jenis biota. Mangrove di wonorejo yang
mengalami proses pelapukannya, hutan mangrove sangat kaya protein dan menjadi
sumber makanan utama bagi hewan-hewan tersebut di atas, yang selanjtunya akan
menjadi bahan makanan ikan-ikan lainnya seperti Belanak yang banyak terdapat di
Pamurbaya.
3. Fungsi ekonomi, Produksi dan Edukasi
Ekosistem mangrove juga difungsikan oleh masyarakat sekitar sebagai makanan,
minuman, obat-obatan, peralatan rumah tangga, pertanian, perikanan, dan sebagainya.
Sebagai contoh, daerah Kedungasem, Rungkut terdapat sektor Usaha Kecil Menengah
(UKM) dalam pengelolaan mangrove oleh masyarakat. Hasilnya berupa batik
mangrove, sabun, kripik dan lain sebagainya. Usaha Kecil Menengah lainnya juga
terdapat di daerah Wonorejo dalam pengelolaan mangrove terutama Sonneratia
sebagai sirup mangrove. Selain hal tersebut, keberadaan mangrove di Pamurbaya
menjadi tempat yang baik untuk melakukan riset dan studi bagi pelajar, mahasiswa
maupun peneliti yang bergerak di bidang pendidikan.
Gambar 6. Pemanfaatan mangrove sebagai bahan sirup mangrove yang dikelola oleh
masyarakat Wonorejo, Surabaya
3.1.2 Pemanfaatan Ekosistem Mangrove di Pantai Timur Surabaya
12 | K e r u s a k a n
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
1. Di daerah Kenjeran dimanfaatkan sebagai pariwisata. Pariwisata di Kenjeran
berkembang dengan adanya Ken Park, Pantai Ria Kenjeran dan pusat oleh-oleh
dari masyarakat sekitar. Selain hal tersebut, mangrove di daerah Kenjeran
belum termanfaatkan sebagai bahan industri kecil seperti sirip dan lebih
diutamakan sebagai daerah penahan air laut dan penambat perahu oleh
masyarakat.
2. Di daerah Keputih Tambak, mangrove dimanfaatkan sebagai penahan
gelombang air laut oleh masyarakat untuk melindungi tambak, dan belum ada
pemanfaatan untuk sektor industri kecil.
3. Di daerah Wonorejo, masyarakat membentuk Ekowisata Mangrove sebagai
upaya pemanfaatan di bidang pariwisata yang di dalamnya terdapat ekowisata
perahu, pos pantau dan pemancingan ikan. Selain hal tersebut, mangrove
dimanfaatkan sebagai bahan sirup.
4. Di daerah Medokan, mangrove dimanfaatkan oleh kelompok usaha kecil
menengah di Rungkut sebagai bahan pembuat batik tulis mangrove.
5. Di daerah Gunung Anyar, masyarakat membentuk Ekowisata Perahu Mangrove.
Gambar 7. Mangrove digunakan sebagai bahan pembuat batik tulis mangrove Medokan,
Surabaya
3.1.3 Kondisi Ekosistem Mangrove secara Kualitatif
Kondisi mangrove di daerah Pantai Timur Surabaya secara kualitatif berdasarkan
pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004 tentang Kriteria
13 | K e r u s a k a n
Hutan
Mangrove
di
Pesisir
Surabaya
Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove berada pada level buruk dimana
penutupan mangrove dari Keputih hingga Gunung Anyar mencapai nilai 14,2% dengan
kerapatan