Manajemen Konflik Atasi Dampak Masyaraka

Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis, Vol.2, No. 2, Oktober 2011, 212-224

ISSN 2087-1090

Manajemen Konflik Atasi Dampak Masyarakat
Multikultural di Indonesia
Ketut Gunawan1 dan Yohanes Rante2
1 Universitas Panji Sakti Singaraja-Bali
Email: ketut_gunawan292@yahoo.com
2 Fakultas Ekonomi Universitas Cendrawasih, Papus
Email: elfimaikel@yahoo.co.id

Abstract: Indonesian society in demographic and olso sociologic is a form of multicultural society. This kind
of society need to be well driven; otherwise it can arise many conflicts, wether it is vertical or horizontal
conflict. The concrete example of this condition is an interethnic conflict which happened in west borneo,
middle of Sulawesi, papua, ets. All of them were cused by the diversity in ethnics, religion, and races. The
paper explains the conflict management to solve the impact of multi-culture in Indonesia. The purpose is to
know about: a. conflict management; b. multicultural society; c. the impact of multicultural society; d. solving
the problem which is caused by multicultural society in Indonesia. The result of this study shows that: a. To
solve the conflicts, we need a conflict management aas a asignal to create a resolution needed; b. as a
multicultural society, Indonesian people have diversity and differencies in races, religion, physical

appearances, (skin color, hair, faces, posture, etc) and diversity in social group in society; c. the diversity in
society, in fact, cause so many conflicts as a result of diversity in ethnics, religion, and races; d. to solve the
problems caused by the multicultural society, we need a conflict management by managing the local wisdom,
national wisdom, and avoiding all things that can arise the conflics, fir example: 1) primordialism; 2)
etnosentrism; 3) injustice; 4) stereotype, and implement many kids of techniques to solve those problems.
Key words: Conflict management, Indonesian society, multicultural society.

PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia secara demografis maupun sosiologis merupakan wujud dari bangsa
yang Multikultur. Ciri yang menandai sifat kemajemukan ini adalah adanya keragaman
budaya yang terlihat dari perbedaan bahasa, suku bangsa (etnis) dan keyakinan agama serta
kebiasaan-kebiasaan kultural lainnya. Keanekaragaman ini ditandai oleh berbagai fenomena di
bawah ini.
Keanekaragaman Penduduk Indonesia
Jumlah penduduk Indonesia Mei 2010 sebanyak 237,6 juta orang (Hasil SP 2010) Jumlah
penduduk Indonesia menurut hasil olah cepat Sensus Penduduk 2010 (SP 2010) yang
dilaksanakan pada Mei 2010 berjumlah 237,6 juta orang. Dibanding hasil SP 2000 terjadi
pertambahan jumlah penduduk sebanyak 32,5 juta orang atau meningkat dengan laju
pertumbuhan sebesar 1,49 persen per tahun. Bila dilihat pada tingkat provinsi, jumlah
penduduk meningkat dengan laju pertumbuhan yang sangat bervariasi, tertinggi terjadi di

Provinsi Papua (5,45 persen) dan terendah di Provinsi Jawa Tengah (0,37 persen). Kepadatan
penduduk Indonesia tahun 2010 adalah 124 orang per km2, meningkat dibandingkan tahun
2000 (107 orang per km2). Dilihat dari penyebaran penduduk, pulau paling padat penduduknya
adalah pulau Jawa (1.055 orang per km2) dan provinsi paling padat adalah DKI Jakarta (14.440
orang per km2).

212

Manajemen Konflik Atasi Dampak Masyarakat Multikultural di Indonesia

Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2010 mencapai 116,53 juta orang,
bertambah 530 ribu orang dibanding keadaan Februari 2010 (116,00 juta orang) atau
bertambah 2,7 juta orang dibanding keadaan Agustus 2009 (113,83 juta orang). Jumlah
penduduk yang bekerja pada Agustus 2010 mencapai 108,21 juta orang, bertambah 800 ribu
orang dibandingkan keadaan Februari 2010 (107,41 juta orang) atau bertambah 3,3 juta orang
jika dibandingkan keadaan Agustus 2009 (104,87 juta orang). Jumlah penganggur pada
Agustus 2010 sebanyak 8,32 juta orang dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar
7,14 persen. TPT Agustus 2010 lebih rendah dibanding TPT Februari 2010 (7,41 persen) dan
TPT Agustus 2009 (7,87 persen) (Bank Indonesia, 2009).
Menurut data Kemenakertrans, jumlah TKA yang tercatat bekerja di Indonesia per akhir

September 2009 mencapai 45.384 orang, sebagian besar (63%) berada di DKI Jakarta, sisanya
tersebar di seluruh Indonesia utamanya yang terbesar berada di 7 (tujuh) propinsi yaitu
berturut-turut Jawa Barat (9%), Riau/Kepri (6%), Banten (5,3%), Bali (3,6%), Jatim (3,2%),
Sumut (2,1%), dan Jateng (1,4%).
Keanekaragaman Agama di Indonesia.
Menurut laporan sensus tahun 2000, 88 prosen penduduk menyatakan diri sebagai
pemeluk Islam, 6 prosen Kristen Protestan, 3 prosen Katolik Roma, 2 prosen Hindu, dan kurang
dari 1 prosen Budha, penganut agama pribumi, kelompok Kristen lain, dan Yahudi.
Sebagai Agama terbesar, Islam memiliki 215,6 juta orang. Sebagian besar Muslim di
negara ini adalah Suni. Dua organisasi massa Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah, masing-masing mengklaim mempunyai 40 juta dan 30 juta pengikut Suni.
Diperkirakan terdapat sekitar 1 juta hingga 3 juta pengikut Syiah.
Ada banyak organisasi Islam dalam skala lebih kecil, termasuk sekitar 400.000 orang yang
terdaftar sebagai anggota kelompok sempalan Islam Ahmadiyah Qadiyani. Terdapat juga
kelompok yang lebih kecil lagi, yaitu Ahmadiyah Lahore. Kelompok minoritas Islam lain
mencakup al-Qiyadah al-Islamiya, Darul Arqam, Jamaah Salamulah, dan pengikut Lembaga
Dakwah Islamiyah Indonesia.
Departemen Agama memperkirakan ada sebanyak 19 juta penganut Protestan (yang
disebut Kristen di negara ini) dan 8 juta penganut Katolik bermukim di Indonesia. Provinsi
Nusa Tenggara Timur memiliki proporsi penganut Katolik tertinggi dengan 55 persen. Provinsi

Papua memiliki proposri penganut Protestan terbesar dengan 58 persen. Daerah lain, seperti
Kepulauan Maluku dan Sulawesi Utara memiliki penganut Kristen yang cukup besar.
Prediksi yang sama juga terhadap penganut agama Hindu di Indonesia sebanyak 10 Juta
yang tersebar sebanyak 90% di pulau Bali sisanya sebanyak 10% di luar pulau Bali. Penganut
minoritas Hindu (yang disebut "Keharingan") bermukim di Kalimantan Tengah dan Timur,
kota Medan (Sumatera Utara), Sulawesi Selatan dan Tengah, dan Lombok (Nusa Tenggara
Barat). Kelompok-kelompok Hindu seperti Hare Krishna dan pengikut pemimpin spiritual
India Sai Baba juga ada, meskipun dalam jumlah kecil. Beberapa kelompok agama pribumi,
termasuk "Naurus" di Pulau Seram di Provinsi Maluku, menggabungkan kepercayaan Hindu
dan animisme kedalam kegiatan mereka. Banyak pula yang mengikuti prinsip-prinsip Kristen
Protestan. Masyarakat Tamil di Medan juga mewakili konsentrasi penganut Hindu.
Di Indonesia terdapat penganut Sikh dalam jumlah yang relatif kecil, yang diperkirakan
antara 10.000 dan 15.000. Penganut Sikh terutama bermukim di Medan dan Jakarta. Delapan
kuil Sikh (gurdwaras) berada di Sumatra Utara, sedangkan di Jakarta terdapat dua kuil Sikh
dengan jamaah yang aktif melakukan ibadah.

213

Ketut G. & Y. Rante


Di antara penganut agama Budha, sekitar 60 persen mengikuti aliran Mahayana, 30
persen menjadi pengikut Theravada, dan 10 persen sisanya penganut aliran Tantrayana,
Tridharma, Kasogatan, Nichiren, dan Maitreya. Menurut Generasi Muda Budhis Indonesia,
sebagian besar penganut agama Budha tinggal di Jawa, Bali, Lampung, Kalimantan Barat, dan
Kepulauan Riau. Etnis Tionghoa merupakan 60 persen dari penganut agama Budha.
Jumlah penganut Konghucu masih tidak jelas karena pada saat sensus nasional tahun
2000, para responden tidak diizinkan untuk menunjukkan identitas mereka. Majelis Tinggi
Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) memperkirakan bahwa 95 persen dari penganut
Konghucu adalah etnis Tionghoa dan sisanya dari etnis Jawa pribumi. Banyak penganut
Konghucu yang juga menjalankan ajaran agama Budha dan Kristen.
Sekitar 20 juta orang di pulau Jawa, Kalimantan, Papua, dan daerah lain diperkirakan
mempraktikkan animisme dan jenis sistem kepercayaan tradisional lainnya yang disebut
sebagai ”Aliran Kepercayaan”. Beberapa penganut animisme menggabungkan kepercayaan
mereka dengan salah satu agama yang diakui Pemerintah dan selanjutnya terdaftar sebagai
agama yang diakui.
Terdapat sejumlah kecil komunitas Yahudi yang ada di Jakarta dan Surabaya. Komunitas
Baha’i mengakui memiliki ribuan anggota, tetapi tidak ada angka yang dapat diandalkan.
Falun Dafa, yang menganggap keyakinan mereka sebagai organisasi spiritual ketimbang
agama, mengklaim penganutnya mencapai jumlah antara 2.000 s/d 3.000, hampir separuhnya
tinggal di Yogyakarta, Bali, dan Medan.

Keanekaragaman Suku di Indonesia.
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki aneka Suku. Berikut ini adalah macam
macam suku indonesia disertai dengan daerah asal:
Aceh dengan 11 suku antara lain: Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Gayo Lut, Gayo Luwes,
Gayo Serbejadi, Kluet, Simeulu, Singkil san Tamiang.
Sumatera Utara, dengan 15 Suku antara lain: Angkola, Asahan, Dairi, Karo, Mandailing,
Melayu, Nias, Pakpak, Simalungun, damn Toba.
Riau dan Sumatera Barat, dengan 11 Suku antara lain: Akit, Hutan, Kuala, Kubu, Laut,
Lingga, Riau, Sakai, Talang Mamak, Mentawai, Minangkabau.
Sumatera Selatan dengan 29 suku antara lain: Ameng Sewang, Anak Dalam, Bangka,
Belitung, Musi Banyuasin, Musi Sekayu, Ogan, Enim, Kayu Agung, Kikim, Komering,
Lahat, Lematang, Lintang, Kisam, Palembang, Pasemah, Padamaran, Pegagan, Rambang
Senuling, Lom, Mapur, Meranjat, Musi, Ranau, Rawas, Saling, Sekak, dan Semendo.
Bengkulu, Jambi, dan Lampung, dengan 16 Suku antara lain: Bengkulu, Rejang, Enggano,
Kaur, Serawai, Lembak, Mulo–muko, Suban, Pekal, Anak Dalam, Batin, Jambi, Kerinci,
Penghulu, Pindah dan Lampung.
Jawa dengan 11 Suku antara lain: Betawi, Baduy, Sunda, Bagelen, Banyumas, Jawa,
Nagarigung, Samin, Bawea, Madura, Tengger, Using.
Kalimantan Barat, dengan 74 Suku antara lain: Babak, Badat, Barai, Bangau, Bukat,
Entungau, Galik, Gun, Iban, Jangkang, Kalis, Kantuk, Kayan, Kayanan, Kede, Kendayan,

Keramai, Klemantan, Pontianak, Pos, Punti, Randuk, Ribun, Sambas, Cempedek, Dalam,
Darat, Darok, Desa, Kopak, Koyon, Lara, Senunang, Sisang, Sintang, Suhaid, Sungkung,
Limbai, Maloh, Mayau, Mentebak, Menyangka, Sanggau, Sani, Seberuang, Sekajang,
Selayang, Selimpat, Dusun, Embaloh, Empayuh, Engkarong, Ensanang, Menyanya,

214

Manajemen Konflik Atasi Dampak Masyarakat Multikultural di Indonesia

Merau, Mualang, Muara, Muduh, Muluk, Ngabang, Ngalampan, Ngamukit, Nganayat,
Panu, Pengkedang, Pompang, Senangkan, Suruh, Tabuas, Taman dan Tingui.
Kalimantan Tengah dan Selatan, dengan 20 Suku antara lain: Abal, Bakumpai, Banjar,
Beraki, Berangas, Bukit, Dusun Deyah, Pagatan, Pitap, Herakit, Bantian, Bawo, Lawangan, Tamuan, Maanyan, Ngaju, Ot Danum, Paku, Punan dan Siang.
Kalimantan Timur, dengan 29 Suku antara lain: Auheng, Baka, Bakung, Basap, Benuaq,
Berau, Bem, Pasir, Penihing, Saq, Berusu, Bulungan, Busang, Dayak, Huang, Tering,
Jalan, Kenyah, Seputan, Tidung, Timai, Tunjung, Kulit, Kutai, Long Gelat, Long Paka,
Modang, Oheng, Touk dan Tukung.
Bali dan Nusa Tenggara Barat, dengan 13 Suku antara lain: Bali, Loloan, Nyama Selam,
Trunyan, Bayan, Dompu, Donggo, Kore, Nata, Mbojo, Sasak dan Sumbawa.
Nusa Tenggara Timur, dengan 46 Suku antara lain: Abui, Alor, Anas, Atanfui, Babui,

Bajawa, Bakifan, Blagar, Boti, Dawan, Deing, Ende, Faun, Flores, Hanifeto, Helong,
Kabola, Karera, Kawel, Kedang, Kemak, Kemang, Kolana, Kramang, Krowe Muhang, Kui,
Labala, Lamaholot, Lemma, Lio, Manggarai, Maung, Mela, Modo, Muhang, Nagekeo,
Ngada, Noenleni, Riung, Rongga, Rote, Sabu, Sikka, Sumba, Tetun dan Marae.
Sulawesi Utara, dengan 20 Suku antara lain: Bantik, Bintauna, Bolaang Itang, Bolaang
Mongondaw, Bolaang Uki, Borgo, Gorontalo, Kaidipang, Minahasa, Mongondow, Polahi,
Ponosakan, Ratahan, Sangir, Talaurd, Tombulu, Tonsawang, Tonsea, Tonteboran dan
Toulour.
Sulawesi Tengah, dengan 16 Suku antara lain: Bada, Bajau, Balaesang, Balantak, Banggai,
Bungku, Buol, Dampelas, Dondo, Kahumamahon, Kailli, Muna, Tomia, Wakotobi, Wawonii dan
Kulawi.
Sulawesi Selatan dan Tenggara, dengan 19 Suku antara lain: Abung Bunga Mayang,
Bentong Duri, Luwu, Makasar, Mandar, Massenrempulu, Bugis, Daya Selayar, Toala,
Toraja, Towala–wala, Duri, Wiwirano, Tolaki, Tomboki, Moronene, Labeau, Nuna dan
Buton.
Kepulauan Maluku, dengan 43 Suku antara lain: Alune, Ambon, Aru, Babar, Bacan, Banda,
Bulli, Buru, Galela, Gane, Gebe, Halmahera, Haruku, Jailolo, Kei, Kisar, Laloda, Leti,
Lumoli, Maba, Makian, Mare, Memale, Moam, Modole, Morotai, Nuaulu, Pagu, Patani,
Rana, Sahu, Sawai, Seram, Tanimbar, Ternate, Tidore, Tobaru, Tobelo, Togutul, Wai Apu,
Wai Loa, Weda dan Pelauw.

Irian Jaya/Papua, dengan 115 Suku antara lain: Aero, Airo Sumaghaghe, Airoran, Ambai,
Amberboken, Amungme, Dera, Edopi, Eipomek, Ekagi, Ekari, Emumu, Eritai, Fayu, Foua,
Gebe, Gresi, Hattam, Humboltd, Hupla, Inanusatan, Irarutu, Isirawa, Iwur, Jaban, Jair,
Kabari, Kaeti, Pisa, Sailolof, Samarokena, Sapran, Sawung, Wanggom, Wano, Waris,
Watopen, Arfak, Asmat, Baudi, Berik, Bgu, Biak, Borto, Buruai, Kais, Kalabra, Kimberau,
Komoro, Kapauku, Kiron, Kasuweri, Kaygir, Kembrano, Kemtuk, Ketengban, Kimaghama,
Kimyal, Kokida, Kombai, Korowai, Kupul, Kurudu, Kwerba, Kwesten, Lani, Maden,
Sawuy, Sentani, Silimo, Tabati, Tehid, Wodani, Ayfat, Yahrai, Yaly, Auyu, Citak, Damal,
Dem, Dani, Demisa, Demtam, Mairasi, Mandobo, Maniwa, Mansim, Manyuke, Mariud
Anim, Meiyakh, Meybrat, Mimika, Moire, Mombum, Moni, Mooi, Mosena, Murop, Muyu,
Nduga, Ngalik, Ngalum, Nimboran, Palamui, Palata, Timorini, Uruway, Waipam, Waipu,
Wamesa, Yapen, Yagay, Yey, Anu dan Baso,dan masih banyak lagi suku suku di indonesia
ini.
Warga Tionghoa, Orang Tionghoa yang datang di bumi Nusantara telah mengasimilasikan
diri dengan penduduk asli, bahkan pernah terjadi pada suatu periode mereka lebur dalam

215

Ketut G. & Y. Rante


kehidupan penduduk asli, sehingga ciri-ciri mereka hilang sama sekali dan mereka larut
menyatu dengan kebudayaan penduduk asli (Eko Punto Hendro, 2011). Terbitnya Keppres
No. 6 tahun 2000 dan Undang-undang RI Nomor 6 Tahun 2006 merupakan angin segar
bagi orang Tionghoa untuk membuktikan diri sebagai pewaris sah Republik tercinta.
Gambaran di atas menunjukkan betapa Negara kesatuan Republik Indonesia ini didiami
olek kelompok masyarakat Multikultural. Masyarakat dengan Multikultur ini apabila tidak
terkendali dengan baik dapat memunculkan aneka konflik baik konflik vertikal maupun
horizontal.
Belum lenyap dari ingatan kita berbagai tragedi yang dipicu oleh konflik yang terjadi di
Indonesia sebagai akibat keanekaragaman etnis, agama, ras, dan adat, seperti konflik antar
etnis yang terjadi di Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Papua, dan lain-lain.
Tulisan ini mengkaji manajemen konflik untuk mengatasi dampak Multikultur di
Indonesia. Pembahasan dibatasi kepada: a. apa manajemen Konflik itu; b. Apa masyarakat
Multikultur itu; c. Apa saja yang mungkin terjadi akibat masyarakat dengan multikultur itu; d.
Bagaimana me-manage konflik yang muncul akibat masyarakat multikultur itu.
PEMBAHASAN
Manajemen Konflik
Istilah Manajemen Konflik berasal dari kata Manajemen dan Konflik. Manajemen berasal
dari bahasa Prancis kuno ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur.
Dalam kamus bahasa Inggris Manajemen berasal dari kata to manage, yang berarti mengatur.

Mary Parker Follet (dalam Handoko, 2000), mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Mananajemen berarti proses mengatur melalui orang
lain.
Luthans (1981) konflik adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling
bertentangan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia. Istilah konflik
sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu perbedaan pendapat, persaingan dan
permusuhan.
Robbins (1996) menyatakkan Konflik adalah Suatu proses yang mulai bila satu pihak
merasakan bahwa suatu pihak merasakan pihak lain telah mempengaruhi secara negatif, atau
akan segera mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang diperhatikan pihak pertama.
Wirawan (2010) mendefiniskan konflik adalah proses pertentangan yang diekspresikan diantara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek konflik, menggunakan pola
perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik. Dari kedua definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa konflik terjadi dikarenakan adanya proses yang terjadi di kedua
belah pihak yang masing-masing pihak terpengaruh secara negatif yang menimbulkan
pertentangan di antara kedua belah pihak.
Manajemen Konflik adalah proses pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun
strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi
yang diinginkan.
Masyarakat Multikultur
Usman Pelly, (2003), menyatakan masyarakat multikultural adalah masyarakat negara,
bangsa, daerah, bahkan lokasi geografis terbatas seperti kota atau sekolah, yang terdiri atas

216

Manajemen Konflik Atasi Dampak Masyarakat Multikultural di Indonesia

orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda dalam kesederajatan. Pada hakikatnya masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri atas berbagai macam suku yang
masing-masing mempunyai struktur budaya (culture) yang berbeda-beda. Dalam hal ini
masyarakat multikultural tidak bersifat homogen, namun memiliki karakteristik heterogen di
mana pola hubungan sosial antarindividu di masyarakat bersifat toleran dan harus menerima
kenyataan untuk hidup berdampingan secara damai (peace co-exixtence) satu sama lain dengan
perbedaan yang melekat pada tiap entitas sosial dan politiknya.
Pada dasarnya suatu masyarakat dikatakan multikultural jika dalam masyarakat tersebut memiliki keanekaragaman dan perbedaan. Keragaman dan perbedaan yang dimaksud
antara lain, keragaman struktur budaya yang berakar pada perbedaan standar nilai yang
berbeda-beda, keragaman ras, suku, dan agama, keragaman ciri-ciri fisik seperti warna kulit,
rambut, raut muka, postur tubuh, dan lain-lain, serta keragaman kelompok sosial dalam
masyarakat. Selain itu, masyarakat Multikultural dapat diartikan sebagai berikut:
1. Pengakuan terhadap berbagai perbedaan dan kompleksitas kehidupan dalam masyarakat.
2. Perlakuan yang sama terhadap berbagai komunitas dan budaya, baik yang mayoritas
maupun minoritas.
3. Kesederajatan kedudukan dalam berbagai keanekaragaman dan perbedaan, baik secara
individu ataupun kelompok serta budaya.
4. Penghargaan yang tinggi terhadap hak-hak asasi manusia dan saling menghormati dalam
perbedaan.
5. Unsur kebersamaan, kerja sama, dan hidup berdampingan secara damai dalam perbedaan.
Indonesia merupakan masyarakat multikultural. Hal ini terbukti di Indonesia memiliki
banyak suku bangsa yang masing-masing mempunyai struktur budaya yang berbeda-beda.
Perbedaan ini dapat dilihat dari perbedaan bahasa, adat istiadat, religi, tipe kesenian, dan lainlain. Pada dasarnya suatu masyarakat dikatakan multikultural jika dalam masyarakat
tersebut memiliki keanekaragaman dan perbedaan. Keragaman dan perbedaan yang dimaksud
antara lain, keragaman struktur budaya yang berakar pada perbedaan standar nilai yang
berbeda-beda, keragaman ras, suku, dan agama, keragaman ciri-ciri fisik seperti warna kulit,
rambut, raut muka, postur tubuh, dan lain-lain, serta keragaman kelompok sosial dalam
masyarakat.
Dampak Masyarakat Multikultur
Keanekaragaman dalam masyarakat ternyata memunculkan berbagai persoalan bagi
bangsa Indonesia. Konflik-konflik yang terjadi di Indonesia umumnya muncul sebagai akibat
keanekaragaman etnis, agama, ras, dan adat, seperti konflik antar etnis yang terjadi di
Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Papua, dan lain-lain.
Di Kalimantan Barat adanya kesenjangan perlakuan aparat birokrasi dan hukum terhadap suku asli Dayak dan suku Madura menimbulkan kekecewaan yang mendalam. Akhirnya, perasaan ini meledak dalam bentuk konflik horizontal. Masyarakat Dayak yang termarginalisasi semakin terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan yang diskriminatif. Sementara
penegakan hukum terhadap salah satu kelompok tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Kasus konflik Poso di Sulawesi Tengah yang bernuansa SARA mula-mula terjadi pada
tanggal 24 Desember 1998 yang dipicu oleh seorang pemuda Kristen yang mabuk melukai
seorang pemuda Islam di dalam Masjid Sayo. Kemudian pada pertengahan April 2000, terjadi
lagi konflik yang dipicu oleh perkelahian antara pemuda Kristen yang mabuk dengan pemuda

217

Ketut G. & Y. Rante

Islam di terminal bus Kota Poso. Perkelahian ini menyebabkan terbakarnya permukiman orang
Pamona di Kelurahan Lambogia. Selanjutnya, permukiman Kristen melakukan tindakan
balasan.
Tragedi Mei 1998 di Jakarta adalah suatu bencana yang mungkin sulit dilupakan oleh
warga Indonesia keturunan Cina. Peristiwa yang menyebabkan ratusan warga keturunan Cina
meninggalkan Jakarta itu merupakan suatu bukti ketidak harmonisan hubungan antar etnik
dibalik jargon-jargon keberhasilan proses pembauran dan keharmonisan hubungan antar etnik.
Program program pemerintah Orde Baru yang menekankan pada stabilitas dan keamanan
memang cukup efektif selama 32 tahun tetapi ternyata “semu”, sebab justeru akibatnya
sekarang cukup luar biasa, memporak-porandakan tatanan yang sudah mapan. Tidak hanya
masalah dengan etnik Cina, tetapi ternyata rentetan kejadian berikutnya mulai dari peristiwa
Sambas, Ambon, dan Sampit merupakan akibat dari kebijakan yang salah itu.
Dari tiga contoh kasus tersebut terlihat betapa perbedaan mampu memicu munculnya
konflik sosial. Perbedaan-perbedaan yang disikapi dengan antisipasi justru akan menimbulkan
kesengsaraan dan penderitaan banyak orang. Oleh karena itu, bagaimana kita bersikap dalam
keanekaragaman benar-benar perlu diperhatikan.
Manajemen Konflik Mengatasi Dampak Negatif Masyarakat Multikultural itu?
Ada baiknya kita kembali mengenang seorang pujangga Mpu Tantular dalam kitab
Sutasoma, yang di dalamnya tertulis Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.
Dalam buku ini dikatakan bahwa keanekaragaman bukanlah merupakan penghambat bagi
tercapainya persatuan, kesatuan, dan kerukunan masyarakat. Fakta sejarah memang membuktikan bahwa kehidupan agama di Kerajaan Majapahit berjalan dengan sangat harmonis
antara agama Hindu Siwa, Buddha, dan lainnya, bahkan hingga masuknya pengaruh agama
Islam. Sebagai bukti adalah adanya kebijakan dari raja Majapahit saat membebaskan raja-raja
bawahan di pesisir pantai utara Jawa untuk menganut agama Islam (Darmawan M. Rahman,
et al, 2010).
Bagaimana cara mengatasi permasalahan yang muncul sebagai akibat dari keanekaragaman dan perubahan kebudayaan yang ada di masyarakat? Setidaknya ada tiga hal yang
dapat dilakukan antara lain: pertama, Langkah pencegahan sebelum terjadinya konflik; kedua,
Warga Negara dengan Multikultur perlu menghindari nilai-nilai yang dapat memecah belah
persatuan dan kerukunan berbangsa dan bernegara; ketiga langkah penanganan konflik jika
konflik telah terjadi.
Pencegahan Konflik dengan Mengelola Kearifan Lokal dan Kearifan Nasional
Menggunakan Kearifan Lokal
Walaupun memicu konflik, keaneka ragaman agama dan suku memberikan solusi untuk
mengatasi dampak masyarakat dengan Multikultur. Berbagai agama menganut falsafah yang
dapat disosialisasi guna memberikan pemahaman terhadap dampak perselisihan.
Sebagai contoh dikalangan masyarakat yang beragama Hindu di Bali mengenal Falsafah
Tri Hita Karana yang mengandung arti tiga penyebab kesejahteraan umat manusia yang
terdiri dari keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan (disebut Parahyangan),
manusia dengan sesamanya (disebut Pawongan) serta manusia dengan alam lingkungannya
(disebut Palemahan). Impelementasi ajaran ini adalah setiap umat manusia memiliki 3

218

Manajemen Konflik Atasi Dampak Masyarakat Multikultural di Indonesia

kewajiban antara lain: 1) Aspek Parahyangan mengisyaratkan umat manusia wajib bertakwa
kepada Tuhan menjalankan Ajaran Agama secara utuh serta menjauhi larangannya; 2) Aspek
Pawongan mengisyaratkan setiap manusia wajib menjalin hubungan yang harmonis antara
sesama manusia atas asas Tat Twam Asi, saling asah, asih dan asuh; 3) Aspek Palemahan
mengisyaratkan umat manusia harus menjaga kelestarian lingkungan. Dapat dikatakan
Falsafah ini menunjukkan keyakinan masyarakat Hindu atas keseimbangan hubungan antara
manusia dengan Tuhan, Manusia dengan sesama manusia dan manusia terhadap alam
semesta akan mengantarkan umat manusia mencapai tujuan hidupnya yaitu kebahagian
duniawi dan kebahagian sorgawi (moksartham jagaddhita) (Suja, 2003).
Aspek kedua dari falsafah ini menuntun agar setiap manusia menjadikan sesamanya
sebagai dirinya sendiri. Pemahaman terhadap aspek kedua ini akan memberikan tuntunan
kepada setiap manusia untuk selalu menjaga dirinya serta orang lain.
Dengan demikian maka dengan mengelola nilai Falsafah ini dalam bentuk sosialisasi dan
implementasi maka konflik diantara sesama manusia akan dapat dihindari sekecil mungkin.
Contoh lain Kearifan lokal dari kehidupan masyarakat Lembah Baliem di Papua.
Masyarakat ini memiliki Budaya berperang yang telah dianut sejak lama. Budaya itu berawal
dari mitologi, bahwa manusia pertama adalah moity Waya dan moity Wita. Mereka menjadi
pasangan dan berkembang secara rukun dan damai.
Keributan mulai terjadi setelah masyarakatnya bertambah banyak. Keributan biasanya
dipicu oleh adanya rebutan seseorang yang berwarna kulit lebih terang yang menjadi dambaan
mereka yang sering mengarah persengketaan hingga peperangan antar klan. Ternyata, budaya
perang itu tidak hanya terjadi di dalam mitos saja. Masyarakat Lembah Baliem memang biasa
berperang karena beberapa alasan misalnya karena pencurian babi, penculikan wanita,
tuduhan melakukan sihir, dan pertikaian hak atas tanah. Pasukan perang biasanya
bersenjatakan lembing, busur dengan anak panahnya, kapak batu, dan beliung. Pasukan itu
dipimpin oleh wim matek dan mengawali peperangan dengan gegap gempita serta saling
meneriakkan cemohan atau perkelahian satu lawan satu.
Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik sebagai kearifan lokal Masyarakat Baliem
dalam menangani konflik antar Clant.
1) Masyarakat Baliem selalu mengaitkan roh nenek moyang dengan tradisi perang, sehingga
berperang bagi mereka adalah kegiatan ritual yang diikat oleh aturan-aturan adat yang
ketat.
2) Meskipun berperang dengan semangat tinggi, namun mereka sangat taat pada peraturanperaturan, seperti berperang untuk tidak memusnahkan musuh.
3) Perang merupakan media pengembangan diri bagi laki-laki. Karena perang merupakan
arena untuk melangsungkan terjadinya regenerasi kepemimpinan. Dalam sebuah peperangan biasanya muncul seorang tokoh yang kuat, berani, cakap, dan dipercaya bisa
melindungi serta mengatur kehidupan mereka.
4) Apabila seorang anggota klan atau konfederasi takut berperang, ia dianggap pawi yaitu
sama dengan orang yang melakukan insest (hubungan seks sedarah). Ia akan mendapat
hukuman berat secara adat seperti diasingkan.
5) Perang bagi masyarakat Lembah Baliem merupakan inti sari dari romantika kehidupan
masyarakat. Karena masyarakat Lembah Baliem sangat memuja kepahlawanan. Hal ini
bisa dilihat dari pola rumah Honai yang menunjukkan rumah laki-laki selalu berada di
bagian depan, siap untuk menantang bahaya yang datang.

219

Ketut G. & Y. Rante

Pinsip-prinsip hidup Masyarakat Lembah Baliem di pedalaman Papua ini adalah kearifan
Lokal dapat dijadikan mekanisme memecahkan masalah konflik antar clant hingga tuntas.
Menggunakan Kearifan Nasional
Indonesia adalah sebuah negara bekas jajahan Belanda dan Jepang. Selama 3,5 Abad
lebih bangsa Indonesia terpecah belah jauh dari bingkai persatuan. Sebagai dampaknya bangsa
Indonesia sangat rentan dengan potensi konflik. Sejak 83 tahun lamanya tepatnya 28 Oktober
1928 para pemuda Indonesia sebagai bangsa multi etnik, multi agama, multi ras dan multi
budaya telah melebur menjadi bentuk nasionalisme dan bersumpah bertanah air satu, tanah
air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia dan berbahasa satu bahasa Indonesia. Tujuh
belas tahun kemudian tepatnya 17 Agustus 1945 Sumpah para pemuda itu telah mengantarkan bangsa Indonesia menuju gerbang kemerdekaan Indonesia. Semangat Sumpah
Pemuda harus dijadikan bingkai Persatuan guna mengisi kemerdekaan menuju kepada citacita bangsa Indonesia yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
Lebih lebih dengan disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara dan petuntun hidup
bangsa Indonesia telah terbukti mampu mempersatukan bangsa Indonesia sebagai bangsa
multi etnik, multi agama, multi ras dan multi budaya menjadi bangsa nasional dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Contoh konkrit adalah bersatunya antara etnik Arab dan etnik Jawa di kampung Embong
Malang yang telah mencapai keteraturan sosial. Karakteristik kehidupan sosial Kampung
Embong Arab ditandai dengan adanya proses-proses sosial yang cukup baik terutama proses
interaksi sosial dan proses asimilasi sosial. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
hubungan sosial yang harmonis antara warga etnis Arab dan Jawa di Kampung Embong Arab
adalah:
1) Adanya kedekatan antara tokoh masyarakat, baik tokoh dari etnis Arab maupun tokoh dari
etnis Jawa.
2) Adanya kesamaan agama (relatif beragama Islam).
3) Adanya proses perkawinan campuran antara warga etnis Arab dan Jawa.
4) Adanya kekompakan dan kegotongroyongan.
5) Kesadaran etnis Arab untuk mengikuti aturan setempat (proses pembauran).
6) Adanya unsur perasaan persaudaraan antar sesama warga, baik etnis Arab maupun Jawa.
7) Rasa saling menghormati dan menghargai.
Sedangkan model atau bentuk interaksi sosial antara warga etnis Arab dan Jawa di
Kampung Embong, Arab adalah merupakan model atau bentuk kerja sama (cooperation)
dengan proses-proses sosial yang akomodatif dan asimilatif. Sedangkan pola hubungan antar
kelompok etnis Arab dan Jawa lebih mengarah pada pola hubungan antarkelompok yang
bersifat akulturasi dan integrasi.
Nilai-nilai yang dianut dapat dijadikan contoh betapa hubungan sosial yang harmonis
antara warga etnis Arab dan Jawa di Kampung Embong Arab dapat dijadikan panutan untuk
mencegah konflik atas dampak masyarakat Multi Kultur di Indonesia.

220

Manajemen Konflik Atasi Dampak Masyarakat Multikultural di Indonesia

Menghindari Nilai-Nilai yang dapat Memecah Belah Persatuan dan Kerukunan Berbangsa dan Bernegara
Untuk membangun masyarakat multikultural yang rukun dan bersatu, ada beberapa nilai
yang harus dihindari, yaitu:
Primordialisme
Primordialisme artinya perasaan kesukuan yang berlebihan.Sikap ini tercermin dari
anggapan suku bangsanya adalah yang terbaik. Perasaan Superior, menganggap lebih rendah
suku yang lain adalah sikap yang kurang terpuji bagi Masyarakat multi kultur yang sangat
rentan mengundang konflik.
Etnosentrisme
Etnosentrisme artinya sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan
kebudayaannya sendiri, biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan
masyarakat dan kebudayaan yang lain.Indonesia bisa maju dengan bekal kebersamaan, sebab
tanpa itu yang muncul adalah disintegrasi sosial. Apabila sikap dan pandangan ini dibiarkan
maka akan memunculkan provinsialisme yaitu paham atau gerakan yang bersifat kedaerahan
dan eksklusivisme yaitu paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari
masyarakat.
Diskriminatif
Diskriminatif adalah sikap yang membeda-bedakan perlakuan terhadap sesama warga
negara berdasarkan warna kulit, golongan, suku bangsa, ekonomi, agama, dan lain-lain.Sikap
ini sangat berbahaya untuk dikembangkan karena bisa memicu munculnya antipati terhadap
sesama warga negara.
Stereotip
Stereotip adalah konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang
subjektif dan tidak tepat.Indonesia memang memiliki keragaman suku bangsa dan masingmasing suku bangsa memiliki ciri khas.Tidak tepat apabila perbedaan itu kita besar-besarkan
hingga membentuk sebuah kebencian.
Langkah Penanganan Konflik Jika Konflik telah Terjadi
Gibson, et al (1996) menyumbangkan konsep bagi langkah penyelesaian konflik yang
efektif antara lain:
Menjabarkan Kepentingan
Teknik penyelesaian konflik ini ditempuh melalui: 1) dengan memudahkan pencarian
kepentingan yang sama dan tidak berkonflik dari kedua kelompok; 2) dengan membicarakan

221

Ketut G. & Y. Rante

kepentingan setiap kelompok kepada yang lain tanpa menyorot secara tidak pantas kelompok
yang lain untuk memaksakan kepentingan dengan dasar kepentingan tertentu.
Membangun hubungan kerja yang baik
Teknik penyelesaian konflik ini ditempuh melalui: 1) memberi kesempatan kepada
kelompok untuk mengatasi perbedaan-perbedaannya dalam perdebatan yang hangat; 2)
memelihara jenis hubungan yang diinginkan oleh kelompok tapi sesuai; 3) mempermudah
kelompok untuk mengatasi bersama-sama bila konflik timbul lagi.
Memberikan pilihan yang baik
Teknik penyelesaian konflik ini ditempuh melalui: 1) memacu kelompok untuk sumbang
saran beberapa pilihan sebelum mengevaluasi mereka dan memilih di antara mereka; 2)
mendorong/memberi semangat kepada kelompok untuk mencari jalan keluar untuk menciptakan nilai-nilai untuk perolehan bersama.
Dilihat sebagai keabsahan
Teknik penyelesaian konflik ini ditempuh melalui: 1) dengan tidak dipandang oleh
kelompok sebagai pengganggu; 2) dengan menanamkan pada kelompok rasa bahwa penyelesaian yang dibuat akan adil dan memadai.
Pengenalan alternatif prosedural suatu pihak
Teknik penyelesaian konflik ini ditempuh dengan membolehkan kedua pihak untuk
mengembangkan penilaian mereka sendiri yang realistis dan alternatif pokok pihak lain.
Memperbaiki komunikasi
Teknik penyelesaian konflik ini ditempuh melalui: 1) memperbanyak pertanyaan dan
pengujian dari yang menjadi dasar perkiraan; 2) mempermudah pengertian dan diskusi dari
pandangan pengikut; 3) membentuk komunikasi antar kelompok dua arah yang efektif.
Mengarahkan kekomitmen yang bijaksana
Teknik penyelesaian konflik ini ditempuh melalui: 1) memberi kesempatan kelompok
untuk merancang kebijaksanaan yang realistis, operasional dan cendrung terlaksana; 2)
menempatkan pihak-pihak dengan sumber yang efektif untuk acara di kejadian yang mereka
gagal untuk mencapai persetujuan akhir atau kejadian yang tidak terlaksana.
Pemilihan Strategi di atas didasarkan atas pemikiran bahwa konflik Multikultur di
Indonesia memiliki banyak variasi karena penyebab konflik yang berbeda-beda. Ke tujuh
langkah di atas memiliki lingkup yang yang lebih luas sehingga diharapkan mampu
menyelesaikan konflik dari yang paling ringan hingga konflik yang paling berat.

222

Manajemen Konflik Atasi Dampak Masyarakat Multikultural di Indonesia

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
a. Manajemen Konflik memberikan rambu-rambau bagi penyelesaian sebuah konflik antar
Individu, kelompok maupun organisasi
b. Indonesia sebagai Masyarakat Multikultur memiliki keragaman dan perbedaan antara lain,
keragaman struktur budaya yang berakar pada perbedaan standar nilai yang berbeda-beda,
keragaman ras, suku, dan agama, keragaman ciri-ciri fisik seperti warna kulit, rambut, raut
muka, postur tubuh, dan lain-lain, serta keragaman kelompok sosial dalam masyarakat.
c. Keanekaragaman dalam masyarakat ternyata memunculkan berbagai persoalan bagi
bangsa Indonesia. Konflik-konflik yang terjadi di Indonesia umumnya muncul sebagai
akibat keanekaragaman etnis, agama, ras, dan adat, seperti konflik antar etnis yang terjadi
di Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Papua, dan lain-lain.
d. Untuk mengatasi konflik yang muncul akibat masyarakat Multikultur itu perlu manajemen
konflik melalui pencegahan terjadinya konflik dengan me-manage Kearifan lokal dan
kearifan nasional, menghindari hal-hal yang sering memicu konflik serta menerapkan
berbagai teknik penyelesaian konflik yang ada.
Saran
Melihat posisi bangsa Indonesia sebagai Masyarakat Multikultural maka disarankan
kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk dapat hidup dalam kemajemukan serta menghindari hal-hal yang memicu terjadinya konflik.
DAFTAR PUSTAKA
Algifari, 1997, Analisis Regresi, Teori, Kasus, dan Solusi, Edisi Pertama, STIE YKPN Yogyakarta.
Anoraga, Pandji. 1995. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi, 1992. Manajemen Penelitian, Cetakan ke-5, Penerbit Rineka Cipta,
Jakarta.
As’ad, Moh, 1987, Seri Ilmu Sumber Daya Manusia Psikologi Industri, Cetakan kedua, Liberty,
Jogjakarta.
As'ad, Moh., 1991, Psikologi Kerja, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Atmosoeprapto, Kisdarto, 2000, Produktivitas Aktualisasi Budaya Perusahaan, Cetakan Kedua,
PT Elex Media Komputindo, Jakarta.
Azwar, Saifudin, 1997, Validitas dan Reliabilitas, Cetakan pertama. Liberty, Yogyakarta.
Bambang Sriaji, 2002. Pengaruh Pendidikan, Pelatihan dan Gaji Terhadap Prestasi Kerja
Pegawai Pada Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga di Kabupaten Mojokerto. Tesis
Program Studi Magister Manajemen Program Pasca Sarjana Universitas 17 Agustus
1945 Surabaya.
Byars, L, and Lesli W., R., 1984, Human Resources and Personnel Management, Richard D.
Irwin Inc, Homewood Illinois.
Davis, Keith and Newstrom J., W., 1990, Human Behavior at Work, Terjemahan Erlangga,
Jakarta.

223

Ketut G. & Y. Rante

Dessler, Gary 1997, Manajemen Sumber Daya Manusia Jilid I (Alih bahasa: Benyamin Molan).
Penerbit Prenhallindo, Jakarta.
Dharma, Agus 1986. Manajemen Prestasi Kerja. Rajawali: Jakarta.
Flippo, Edwin B. 1996. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Alih Bahasa Moh.
Masud. Erlangga: Jakarta.
Gibson, Ivancevich, Donnelly. 1994. Organisasi dan Manajemen. Edisi Keempat. Terjemahan.
Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.
Glueck, William F., 1982. Personnel A Diagnostic Approach, Third Edition. Business Publication,
Inc. Plano: Texas.
Gomes, Faustino Cardoso. 1995. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Edisi
Kedua. Yogyakarta: Andi Offset.
Santoso, Singgih. 2000. SPSS Statistik Parametrik, Edisi Pertama. Penerbit Elek Media
Komputindo, Jakarta.
Schuler S. Randall, dan Jackson E. Susan, 1999, Human Resources Management: Positioning for
The 21st Century, 7th Edition, West Publishing Company, New York.
Sekaran, Uma, 1992, Research Methods for Business; A Skill Building Approach, 2nd Edition,
John Wiley & Sons Inc., New York.

224