Belajar Kooperasi dari SAGUAPAC dan Revo
Belajar dari Kooperasi SAGUAPAC dan Revolusi air Chocabamba, Bolivia1
Oleh: Bosman Batubara2
Tata Kelola Air Global
Air adalah sumber kehidupan. Pada 2010 melalui Resolusi 64/292 , Perserikatan Bangsa‐
Bangsa (PBB) memasukkan air dalam poin Hak Asasi Manusia (HAM). ”,…equitable access
to safe and clean drinking water and sanitation as an integral component of the realization
of all human rights [akses yang setara terhadap air minum bersih dan sanitasi adalah bagian
tak terpisahkan dari realisasi HAM],” demikian PBB (2010). Lebih mendasar, antara 55‐78%
tubuh manusia terdiri dari air, tergantung ukuran badan. Agar dapat berfungsi dengan baik,
tubuh manusia membutuhkan antara satu sampai tujuh liter air setiap hari untuk
menghindari dehidrasi. Jumlah ini dinamis. Tergantung pada, antara lain, tingkat aktivitas,
suhu, dan kelembaban.
Air adalah kekuasaan. Jauh sebelum Marx merumuskan sirkulasi kapital, air sudah
bersirkulasi dalam tubuh, masyarakat, dan ekosistem. Siapa yang memiliki kekuasaan maka
ia mengontrol air. Sebaliknya, mereka yang memiliki air akan mampu mengontrol
kekuasaan (Swyngedow 2004: 61).
Perhatian dunia terhadap krisis air bersih pada dasarnya sudah mulai sejak tahun 1950‐an
melalui proyek United National Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO)
tentang air bersih di daerah beriklim kering dan semi‐kering. Tonggak selanjutnya adalah
pada 1972 ketika berlangsung United Nations Conference on the Human Environment di
Stockholm, Swedia. Pada 1977, diselenggarakan United Nations Water Resources Conference
di Mar del Plata yang secara spesifik sudah mendiskusikan air bersih. Masalah utama yang
menjadi perhatian di Mar del Plata adalah bahwa semua orang, terlepas dari seperti apapun
kondisi ekonomi dan sosialnya, memiliki hak untuk mengakses air minum dengan kuantitas
dan kualitas yang mencukupi untuk kebutuhan dasar (UN, 1977).
Sebagai hasil dari Konferensi di Mar del Plata, International Drinking Water Supply and
Sanitation Decade diluncurkan pada 1981 dengan tujuan menyediakan air minum yang aman
dan sanitasi pada daerah perkotaan dan pedesaan pada 1990. Tetapi rupanya tujuan ini
tidak tercapai, dan ini memicu perhatian yang lebih luas dari kalangan internasional tentang
isu ini.
Pada 1990‐an, lembaga‐lembaga donor internasional mulai memunculkan berbagai strategi
yang berbeda dalam hal bantuan internasional. Tercatat ke dalam kelompok ini adalah
Canadian International Development Agency (CIDA), French Ministry of Cooperation, German
Federal Ministry of Economic Cooperation and Development, Overseas Development
1
Tulisan ini didiskusikan di Persma Balairung, UGM, 20 Maret 2014, dan dimuat di:
http://www.gusdurian.net/id/article/kajian/Belajar‐Kooperasi‐SAGUAPAC‐Revolusi‐Chocabamba‐Bolivia/
2
Adalah anggota Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam
Halaman 1 dari 10
Administration (Inggris), dan United States Agency for International Development (USAID).
Pergeseran paradigmatik yang terjadi adalah adanya pandangan bahwa permasalahan krisis
air sudah tidak bisa dihadapi dengan pola lama dengan cara memompa dan
membersihkannya. Tetapi, faktor‐faktor lingkungan yang lebih luas juga harus diperhatikan
dalam hal pengelolaan dan pembangunan sumber daya air (Finger and Allouche, 2002; hlm.
37).
Mata dunia kemudian semakin terbuka dengan adanya krisis di Aral Sea yang pada tahun
1990‐an semakin memperlihatkan dampaknya yang nyata. Krisis Laut Aral terjadi karena
pembangunan bendungan di beberapa sungai yang masuk ke Laut Aral untuk kepentingan
irigasi yang pada ujungnya diharapkan meningkatkan produktivitas sektor pertanian. Tetapi
yang terjadi justru sebaliknya ketika Laut Aral mengering dan menyisakan salah satu
bencana ekologi terparah pada abad ke‐20 (Glantz, 2004).
Genderang privatisasi air dibuka pada 1992 melalui sebuah konferensi internasional tentang
air dan lingkungan (International Conference on Water and the Environment/ICWE) yang
diadakan di Dublin, Irlandia pada 26‐31 Januari 1992. Konferensi ini diikuti oleh 24 lembaga
rezim United Nation (UN). ICWE pada dasarnya menyiapkan masukan untuk masalah‐
masalah di bidang air tawar yang akan dibicarakan pada United Nations Conferences on
Environment and Development (UNCED) di Rio de Jeneiro, Brasil, pada Juni 1992. ICWE
menghasilkan 4 asas panduan (guiding principles) yang kemudian terkenal dengan “Dublin
Principles”. Salah satu yang paling sering dikutip adalah “prinsip nomor 4” yang berbunyi:
“water has an economic value in all its competing uses and should be recognized as an
economic good” [air memiliki nilai ekonomis dalam seluruh bentuk penggunaannya dan
harus diperlakukan sebagai barang ekonomis].
Poin soal memperlakukan air sebagai barang eknomis inilah yang memicu munculnya
komodifikasi dan privatisasi sumber daya air di berbagai daerah di belahan dunia pada era
neoliberal. Neoliberalisme adalah teori ekonomi politik yang berpandangan bahwa
kehidupan manusia yang lebih baik dapat dicapai dengan memberikan kebebasan bagi
individu dalam kerangka hak privat yang ketat, pasar, dan perdagangan bebas. Pada
intinya, intelektual neoliberal seperti Friedrich von Hayek dan Ludvig von Mises
mengampanyekan pengurangan peran negara di bidang ekonomi. Di sisi lain, pasar harus
dibuat lebih berfungsi. Bahkan, apabila pasar tidak berfungsi dalam sektor seperti air,
pendidikan, kesehatan, dan tanah, maka ia perlu diciptakan dengan bantuan negara (Harvey
2005: 1–38). Dari sinilah skema komodifikasi, dan privatisasi sebagai salah satu unsurnya,
muncul.
Komodifikasi di sini mengacu ke Gómez‐Baggethun dan Ruiz‐Pérez (2011) yang,
berdasarkan analisis terhadap valuasi ekonomi jasa ekosistem, membagi proses
komodifikasi ke dalam empat bagian, yaitu: 1)mengerangkai fungsi ekosistem sebagai jasa
eksositem dengan pendekatan antroposentris (economic framing); 2)penentuan harga jasa
ekosistem (monetization); dan 3)pengakuan terhadap konsep jasa ekosistem itu sendiri
(appropriation) dan mengoperasikannya misalnya melalui skema kepemilikan terhadap jasa
Halaman 2 dari 10
eksosistem yang spesifik. Di titik inilah biasanya sering terjadi perampasan terhadap (yang
tadinya) milik umum menjadi milik privat dan; 4) komersialisasi yang meliputi penciptaan
struktur untuk penjualan dan pertukaran jasa eksosistem dengan menjadikannya sebagai
komoditas.
Komoditas di sini mengambil pengertian seperti yang dijelaskan oleh Polanyi (2001; 75)
bahwa “commodities are here empirically defined as objects produced for sale on the market”
[komoditas secara empiris berarti obyek yang diproduksi untuk dijual di pasar]. Masalahnya,
manusia tidak pernah memproduksi air, ia ada bagian dari siklus alamiah. Atau dengan kata
lain, ia bukan komoditas.
Meskipun manusia tidak menciptakan air, dan dengan demikian bukan komoditas, tetapi
neoliberalisme menjadikannya komoditas, atau yang oleh Polanyi disebut sebagai “fictitious
commodity” [komoditas fiktif]. Dalam konteks neoliberal, privatisasi menjadi salah satu
strategi akumulasi kapital. Penghisapan, dan kemudian ketimpangan, adalah sisi yang lain
dari akumulasi. Privatisasi air terjadi, misalnya, di Indonesia (Ardhianie 2005), India (Coelho
2004), Bolivia (Spronk 2007), Chili (Baer 2011), Prancis dan Jerman (Fitch 2007), dan Afrika
Selatan (Smith 2003). Rezim lembaga finansial yang dimotori oleh IMF dan WB
mendesakkan agenda privatiasi berbagai pelayanan di sektor publik seperti air, terutama di
negara‐negara seperti Indonesia. Lembaga donor internasional, dalam beberapa titik, dapat
digolongkan sebagai instrumen terhadap privatisasi sektor ini.
Konteks Indonesia
Runtuhnya Orde Baru semakin menguatkan ekonomi neoliberal di Indonesia. Sejatinya
penguatan ekonomi pasar telah dimulai jauh sebelumnya pada tahun 1967 ketika tiga
undang‐undang pro‐pasar, yaitu Undang‐undang Penanaman Modal Asing, Undang‐
undang Kehutanan, dan Undang‐undang Pertambangan disahkan. Hal ini persis seperti
yang dinyatakan Polanyi melalui studinya pada kasus sekitar Perang Dunia I di negara‐
negara Eropa yang memperlihatkan bahwa “human society had become an accessory of the
conomic system” [kehidupan manusia sudah menjadi pelengkap belaka dalam sistem
ekonomi] (Polanyi, 2001; 79). Ini menggeser paham bahwa seharusnya yang diperlukan
adalah sebaliknya, sistem ekonomi yang menjadi pendukung kehidupan manusia.
Menguatnya ekonomi pasar yang sangat mempercayai bahwa pasar memiliki kemampuan
mengatur dirinya sendiri (self‐regulating market) tanpa intervensi dari negara
(interventionism) (Polanyi, 2001; 71) ditandai dengan pengurangan peran negara di berbagai
sektor, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, dan tata kelola sumber daya alam. Air
adalah salah satu dari yang terakhir.
Dalam konteks konstitusi, apa yang terjadi dalam rezim neoliberalisme sekarang sudah
bergeser jauh. Kedaulatan rakyat dalam sektor sumber daya alam dapat definisikan sebagai
hak mengakses, mengontrol, memiliki, memeroleh hasil dari, dan rasa aman dalam
menggarap sumberdaya alam melalui peran negara yang diasumsikan melindungi
rakyatnya. Inilah yang muncul dalam UUD 45 pasal 33 ayat 3. Air, menjadi sumber daya yang
harus diatur dalam konteks kedaulatan rakyat. Kenyataan bukan demikian adanya.
Halaman 3 dari 10
Ternyata Indonesia telah menjadi negara predator yang memakan rakyatnya sendiri.
Faktanya, sebagai contoh, perusahaan air di Ibukota Jakarta sudah dikuasai oleh
perusahaan asing, dan digunakan bukan untuk sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat.
Melalui karya seminalnya, Kooy (2008) telah menjelaskan sejarah pengelolaan air minum di
Jakarta. Pada zaman kolonial pelayanan berorientasi pada orang‐orang Eropa, disusul
China, dan baru kemudian orang lokal. Pada periode 1922‐1945, konfigurasinya masih sama,
hanya sekitar 20% orang lokal yang terhubungkan dengan saluran pipa air minum, 60%
populasi China, dan 100% populasi Eropa. Di masa Soekarno, dibangunlah Surface Water
Treatment Pejompongan I dan II (1950‐1966). Pada tahun 1959 hanya 15% warga Jakarta
(elite lokal) yang memiliki akses terhadap air minum pipa, dan sisa penduduk masih tetap
mengandalkan kebutuhan air minum mereka dari air tanah dan sungai. Orde Baru
berorientasi industri, dan dengan demikian Water Treatment Plant (WTP) Pulogadung
dibangun dengan tujuan utama melayani Pulogadung Industrial Estate. Tercatat pada
dekade 70‐an, 90% warga kampung‐kampung di Jakarta tetap mengandalkan air tanah dan
sungai untuk kebutuhan mereka (Kooy, 2008). Hal ini ironis karena uang untuk membangun
infrastruktur pengairan ini berasal dari pinjaman lembaga donor seperti WB dan Pemerintah
Jepang, yang artinya dibayar oleh rakyat Indonesia. Di awal abad ke‐21, sekitar 70%
populasi Jakarta memenuhi kebutuhan airnya dari air tanah (Colbran, 2009).
Privatisasi air di Jakarta dimulai pada tahun 1997 ketika konsesi untuk jangka waktu 25
tahun ditandatangani oleh pemerintah dengan RWE Thames Water, sebuah peruasahaan
yang berbasis di Jerman (Ardhianie, 2005). Dan ini berlangsung terus sampai sekarang.
Tahun lalu, Gubernur DKI, Jokowi mencoba mengartikulasikan ideologi‐politik
nasionalisme. Jokowi mau mengikuti jejak Soekarno yang pada 1957‐59 memimpin
nasionalisasi perusahaan‐perusahaan asing, sebelum akhirnya dengan bantuan AS ia
didongkel dari kursi kepresidenan. Jokowi, yang ketika itu baru naik menjadi Gubernur DKI
dan sekarang dicalonkan sebagai presiden oleh PDIP, langsung mencoba menemukan
kembali artikulasi ideologi‐politik nasionalisme melalui usahanya untuk mengambil alih
perusahaan minum yang melayani masyarakat di DKI, Palyja, dari tangan perusahaan
internasional.
Di kota‐kota lain di seluruh Indonesia, berdasarkan pemetaan Persatuan Perusahaan Air
Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) pada 2010 diketahui beberapa permasalahan yang ada
dalam sektor teknik dan manajemen pengelolaan air minum di Indonesia. Secara umum
kuantitas air tidak mencukupi karena: 1)sumber air baku yang terbatas, 2)adanya konflik
antar wilayah, dan; 3)area tangkapan air yang terganggu sehingga debit turun drastis pada
musim kemarau. Permasalahan di bidang kualitas air adalah adanya pencemaran limbah
industri dan rumah tangga, dan akibat terjadinya erosi di daerah hulu.
Permasalahan di bidang teknis di atas semakin diperparah dengan adanya permasalahan
lain di bidang manajemen seperti rekrutmen direksi dan pegawai yang tidak akuntabel,
tidak tersedianya tenaga kerja dengan kualifikasi yang dibutuhkan, dan rendahnya wawasan
dan penguasaan teknologi di bidang air.
Halaman 4 dari 10
Kedua permasalahan di atas ditambah permasalahan lain di bidang keuangan dan
kebijakan, adalah hal‐hal yang menyebabkan tidak sehatnya kondisi Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) di Indonesia. Berdasarkan evaluasi Perpamsi pada tahun 2009 terhadap 337
entitas penyedia air minum di Indonesia, hanya 103 entitas yang menunjukkan kinerja
‘Sehat’, 115 menunjukkan kinerja ‘Kurang Sehat’ dan 119 yang lain menunjukkan kinerja
‘Sakit’.
Lemahnya beberapa bidang di sektor perusahaan ini secara langsung berhubungan dengan
rendahnya kemampuan PDAM menyediakan air minum bagi masyarakat. Dari sekitar 237
juta penduduk Indonesia berdasarkan sensus tahun 2010, hanya sekitar 8 juta (3,4%) yang
menjadi pelanggan PDAM. Angka ini sangat rendah kalau dibandingkan dengan data Bank
Dunia pada tahun 2010 yang menunjukkan bahwa 78,6% populasi di Indonesia
terhubungkan ke improved water sources di luar air pipa, seperti mata air, sumur bor dan air
hujan.
Sebagai contoh, di Jawa Tengah (Jateng) terdapat 35 entitas penyedia air minum yang
dikelola dalam bentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), 24 diantaranya berstatus
“sehat”, 5 “kurang sehat,” dan 6 sisanya “sakit” (Tabel 1). Ke‐35 entitas ini melayani
1.001.159 pelanggan, (Perpamsi, 2010) alias hanya 0,039% dari keseluruhan penduduk
Jateng.
Table 1: Kondisi 35 entitas penyedia air di Jawa Tengah
No. Sehat
1
PDAM Kota Salatiga
2
PDAM Kota Magelang
3
PDAM Kota Tegal
4
PDAM Kota
Pekalongan
PDAM Kab. Kendal
5
6
7
8
9
10
11
12
13
PDAM Kab Boyolali
PDAM Kab. Magelang
PDAM Kab. Klaten
PDAM Kab. Sukoharjo
PDAM Kab. Wonogiri
PDAM Kab.
Temanggung
PDAM Kab. Kebumen
PDAM Kab.
Purbalingga
No. Kurang Sehat
No. Sakit
1
PDAM Kab. Demak 1
PDAM Kota
Semarang
2
PDAM Kab. Pati
2
PDAM Kota
Surakarta
3
PDAM Kab.
3
PDAM Kab.
Pekalongan
Grobogan
4
PDAM Kab.
4
PDAM Kab.
Purworejo
Semarang
5
PDAM Kab.Brebes 5
PDAM Kab.
Rembang
6
PDAM Kab. Blora
Halaman 5 dari 10
No. Sehat
14 PDAM Kab.
Banjarnegara
15 PDAM Kab. Tegal
16 PDAM Kab.
Karanganyar
17 PDAM Kab. Wonosobo
18 PDAM Kab. Jepara
19 PDAM Kab. Banyumas
20 PDAM Kab. Batang
21 PDAM Kab. Sragen
22 PDAM Kab. Pemalang
23 PDAM Kab. Kudus
24 PDAM Kab. Cilacap
Sumber: Perpamsi (2010).
No. Kurang Sehat
No. Sakit
Berbagai persoalan di atas muncul karena selama ini PDAM lebih mengabdi kepada
kekuasaan ketimbang melayani rakyat. Hal ini bertentangan dengan prinsip “melayani
rakyat” yang seharusnya diimani oleh PDAM. Tata kelola perusahaan selama ini
mengarahkan PDAM bertanggungjawab kepada pemerintah daerah (ke atas), bukan
kepada pelanggan (ke bawah). Dengan demikian, pelanggan, yang sebenarnya adalah
pemilik sah dari sumber daya alam seperti air, hanya menjadi konsumen belaka dan tidak
memiliki daya tawar terhadap kebijakan. Atau dengan kata lain, menjadi obyek eksploitasi.
Bukan subyek aktif dari tata kelola pembangunan dan pelayanan itu sendiri. Dan hal ini
secara otomatis mematikan daya kontrol dari rakyat, sehingga perusahaan‐perusahaan air
ini tidak maju‐maju.
Berkaca dari kasus Jakarta, melihat masifnya perkembangan neoliberalisme, maka PDAM‐
PDAM di berbagai daerah di Indonsia sebenarnya berada dalam posisi yang rawan
diprivatisasi.
Setidaknya privatisasi dan isu rendahnya kemampuan seperti yang dibahas di atas menjadi
pokok permasalahan dalam industri pelayanan air terhadap warga di Indonesia sekarang.
Salah satu cara untuk menjawab kedua permasalahan di atas adalah dengan merombak tata
kelola perusahaan daerah menjadi kooperasi. Karena dengan sistem kooperasi, sebuah
perusahaan air memiliki ketersambungan yang konkrit dengan basis massa yang akan
mengontrolnya, dan dengan demikian, secara perlahan perusahaan akan bergerak maju
karena mendapatkan otokritik terus‐menerus dari pelanggan (yang juga pemiliknya). Di sisi
lain, anggota kooperasi juga akan menjaga kooperasinya dari arus privatisasi, pelanggan
akan bergerak mempertahankan haknya ketika ia akan diprivatisasi. Untuk ini, kita perlu
melihat kasus di Bolivia. Memang, kedua kasus yang akan dijelaskan tidak terjadi di kota
yang sama, tetapi dalam sebuah kesempatan, Carlos Crespo Flores, salah seorang aktivis di
Chocabamba, menyebutkan bahwa para aktivis anti privatisasi air saling berjejaring lintas
Halaman 6 dari 10
kota di Bolivia.
Belajar dari Kooperasi SAGUAPAC dan Revolusi Air Chocabamba, Bolivia
Kooperasi SAGUAPAC (Cooperativa de Servicios Públicos Santa Cruz Limitada) didirikan pada
9 Agustus 1979 di Kota Santa Cruz, kota yang terletak di bagian timur Bolivia. Keputusan
untuk mendirikan kooperasi air ini didorong oleh adanya undang‐undang kooperasi di
Bolivia, Ley de Cooverativas, yang disyahkan pada 1959. Kooperasi pertama, Cooperativa de
Teléfonos Automáticos de Santa Cruz (COTAS) didirikan pada 1962 untuk sektor komunikasi.
Berikutnya adalah Cooperativas Rurales de Electricidan (CRE) di sektor listrik.
Struktur pengambilan keputusan di SAGUAPAC berdasarkan susunan klasik kooperasi.
Keputusan berada di tangan 96.000 anggota/pelanggannya yang terbagi ke dalam 9 distrik
air, distritos de agua, yang dibentuk di dalam kota Santa Cruz. Setiap dua tahun, pertemuan
diadakan di setiap distrik air dengan dua fungsi utama. Pertama, memilih anggota
perwakilan distrik, conseco de distrito, untuk masa jabatan enam tahun. Kedua, memilih tiga
perwakilan yang akan duduk dalam perwalian tingkat kota untuk masa jabatan dua tahun.
Untuk dapat menggunakan hak pilihnya, para anggota/pelanggan harus menunjukkan kartu
identitas dan bukti pembayaran air.
SAGUAPAC adalah entitas pelayanan air terbaik di seluruh Amerika Latin. Kualitas ini dapat
dinilai dengan beberapa indikator, misalnya, efisiensi dan efektivitas. Efisiensi teknis adalah
hubungan antara sumberdaya yang masuk dan keluar, yang dapat diukur dengan berbagai
parameter: 1)air yang hilang (water loss) adalah ekspresi dari air yang tak terhitung.
Indikator ini mengukur perbedaan antara volume air yang didistribusikan dengan air yang
terjual, dinyatakan dalam bentuk persentase produk air yang terkirim ke sistem distribusi;
2)Produktivitas staf adalah jumlah pegawai per‐seribu pelanggan; 3)Kemampuan meter
adalah persentase sambungan pipa dalam meter. Sementara, efisiensi finansial adalah
tingkat kesuksesan dalam mencapai target organisasi dengan pengeluaran minimum, dapat
diukur dengan: 1)tarif rerata air; 2)perbandingan pegawai dengan biaya operasi; dan
3)efisiensi mengoleksi adalah perbanding pembayaran dengan tagihan per tahun.
Di bidang efektivitas, yang berarti sampai dimana output mencapai tujuan awal, ada dua
parameter yang bisa dipakai: 1)cakupan pelayanan yang mengukur perbandingan populasi
di area yang dilayani dengan jumlah penduduk yang menerima pelayanan; dan
2)ketersediaan air yang diukur berdasarkan kemenerusan pelayanan setiap harinya
(Nickson, 1998).
Berdasarkan indikator‐indikator di atas, Tabel 2 menampilkan perbandingan beberapa
entitas penyedia air di Bolivia ditambah, meskipun dengan data yang tidak penuh, Palyja,
Jakarta. Secara jelas terlihat bahwa kooperasi SAGUAPAC memiliki efisiensi (teknis dan
finansial) serta efektivitas yang lebih bagus dari SEMAPA (Chocabamba, Bolivia) yang
dikelola dengan sistem public‐collective partnership dan Palyja yang dikelola dengan sistem
public‐private partnership (diprivatisasi). Khusus untuk tarif air, di Bolivia, SAGUAPAC
menjual 0.3 USD/m3, sedangkan Palyja di Jakarta menjual 0.7 USD/m3, alias yang tertinggi
Halaman 7 dari 10
di ASEAN (Iwan, 2008).
Table 2: Perbandingan Indikator Entitas Penyedia Air di Bolivia dan Indonesia
Entitas
Kota
Bentuk tata kelola
Efisiensi teknis
Air hilang [%]
Staf/1000 pelanggan
Kemampuan meter [%]
Efisiensi Finansial
Tarif rerata air [US$/m3]
Rasio pegawai dengan
biaya
Efisiensi mengoleksi [%]
Efektivitas
Cakupan pelayanan [%]
Ketersediaan air
[jam/hari]
Bolivia
SAGUAPAC SEMAPA
Santa Cruz Cochabamba
Kooperasi Public‐
collective
partnership
[2002]
Indonesia
Palyja
Jakarta
Public‐private
partnership
17*
3.1*
100
54
6.49
64
52.64
n/a
n/a
0.31*
0.55*
0.63
0.49
0.7
n/a
96
61
n/a
80
24
57
n/a
67.30
24 [catatan:
tekanan sering
turun]
Sumber: Data untuk Bolivia, kecuali yang bertanda * bersumber dari (Nickson, 1998); untuk
Palyja dari Iwan (2008); yang bertanda * bersumber dari Ruiz‐Mier and Ginneken (2006). n/a
= tidak ada data.
Dalam hal perlawanan terhadap privatisasi, tidak banyak gerakan sosial di dunia ini yang
mampu menghalang agenda neoliberalisme privatisasi air. Salah satunya adalah perang air
yang terjadi pada 1999‐2001 di Chocabamba, dan Januari 2005 di El Alto, Bolivia. Kedua
gerakan ini berhasil menghambat perusahaan transnasional yang mau mengambil alih
perusahaan air di kedua kota (Spronk, 2007).
Pada 1997, pemerintah Bolivia di bawah Sánchez de Lozada menandatangai negosiasi
rahasia untuk memprivatiasasi perusahaan air lokal. Konsesi ini sangat tidak menarik dari
sudut pandang bisnis karena melibatkan komitmen untuk membangun sebuah bendungan,
maka tidak ada tender yang masuk. Pemerintah kemudian membuka kesempatan lagi pada
1999. Pada September di tahun itu, pemerintah memberikan konsesi kepada satu‐satunya
penawar yang masuk, yaitu Aguas del Tunari, anak perusahaan raksasa internasional yang
bermarkas di Amerika Serikat, Bechtel.
Karena berbagai penyesuian yang dilakukan oleh Aguas del Tunari, seperti kenaikan tarif,
Halaman 8 dari 10
warga mengamuk terutama setelah mereka frustrasi akibat kenaikan pembayaran air pada
November 1999. Warga kota, yang kemudian didukung oleh gerakan tani, membentuk
Coordinadora, sebuah organisasi gabungan untuk melawan proses privatisasi air ini.
Puncaknya adalah pada April 4‐12 ketika Coordinadora men‐shut down Chocabamba dengan
memblok jalan, bandara, dan menggelar demonstrasi yang masif. Hasilnya, Betchel
terlempar dari Chocabamba.
Mobilisasi yang lain melawan privatisasi terjadi di El Alto/La Paz, Bolivia. Kasusnya hampir
sama. Pada 1997, pemerintah pusat memberikan konsesi kepada Aguas del Illimani, anak
perusahaan air raksasa Perancis, Suez. Pada Januari 2005, ribuan warga El Alto tumpah ke
jalan‐jalan menuntut pemutusan kontrak dengan Aguas del Illimani. Setelah aksi tiga hari
yang masif yang melumpuhkan seluruh kota El Alto, akhirnya pemerintah memutuskan
kontrak dengan Aguas del Illimani (Spronk, 2007).
Penutup
Dalam konteks Indonesia, konversi PDAM menjadi kooperasi bisa dilakukan apabila
didukung oleh gerakan rakyat (pelanggan) yang kuat dan pemeritah, eksekutif dan
legislatif, mulai dari pusat hingga daerah, yang ideologis. Ini artinya mengasumsikan adanya
satu, atau koalisi partai politik, yang memiliki suara mayoritas sehingga memiliki kekuatan
politik mengubah berbagai aturan yang mengganjal proses konversi.
Daftar Pustaka
Ardhianie, N. 2005. “Water Privatisation in Indonesia.” Dalam Reclaiming Public Water:
Achievements, Struggles and Visions from around the World, disunting oleh Belén Balanyá,
Brid Brennan, Olivier Hoedeman, Satoko Kishimoto, dan Philipp Terhorst, 227–238.
Amsterdam: Transnational Institute dan Corporate Europe Observatory.
Baer, Madeline. 2011. “Privatizing Water: Globalization, States and Human Rights.” Disertasi
Ph.D. University of California.
Coelho, K. 2004. “Of Engineers, Rationalities, and Rule: An Ethnograpphy of Neoliberal Reform
in an Urban Water Utility in South India.” Disertasi Ph.D. The University of Arizona.
Colbran, N. 2009. Will Jakarta be the next Atlantis? Excessive groundwater use resulting
from a failing piped water network. Law, Environment and Development Journal, 5(1), p. 18;
available at http://www.lead‐journal.org/content/09018.pdf.
Finger, M. and Allouche, J. 2002. Water Privatisastion: Trans‐nasional corporations and the
re‐regulation of the water industry. Taylor & Francis e‐Library.
Fitch, A. K. 2007. “Liquidating the Public Sector? Water Privatization in France and Germany.”
The University of Pennsylvania.
Glantz, M., H. (editor). 2004. Creeping nevironmental Problems and Sustainable Development
in the Aral Sea Basin. Cambridge University Press. Cambridge. UK.
Halaman 9 dari 10
Gómez‐Baggethun, E. dan Ruiz‐Pérez, M. 2011. “Economic Valuation and the
Commodification of Ecocystem Services.” Progress in Physical Geography 35 (5): 613–628.
doi: 10.1177/0309133311421708.
Harvey, D. 2005. A Brief History of Neoliberalism. New York: Oxford University Press.
Iwan, R. 2008. Ten Year of Public Private Partnership in Jakarta Drinking Water Service (1998‐
2007). Eastern Jakarta Drinking Water Service by Thames PAM JAYA (Thesis). School of
Geography, Environmental and Earth Sciences, Victoria University of Wellington. New
Zealand.
Kanumoyoso, B. 2001. Menguatnya Peran Ekonomi Negara: Nasionalisasi perusahaan
Belanda di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Kooy, M. É. 2008. “Relations of Power, Networks of Water: Governing Urban Waters, Spaces,
and Population in (Post)Colonial Jakarta.” The University of British Columbia.
Nickson, A. 1998. Organisational Structure and Performance in Urban water Supply: The Case
of the SAGUAPAC Cooperative in Santa Cruz, Bolivia (Thesis). Schol of Public Polich, The
University of Birmingham. England.
Perpamsi, 2010. Peta Masalah PDAM. News Letter Persatuan Perusahaan Air Minum
Seluruh Indonesia, Edisi Desmber 2010.
Polanyi, K. 2001. The great transformation: the political and economic origins of our time.
Beacon Press, Boston, USA.
Ruiz‐Mier, F. and van Ginneken, M. 2006. Consumer cooperatives: An alternative institutional
model for delivery of urban water supply and sanitation services? Water Supply & Sanitation
Working Notes. Note No. 5, January 2006. World Bank Group.
Smith, Laila. 2003. “The Corporatization of Urban Water Supply: Cape Town Institutional
Transformation in Post‐Aparthheid South Africa.” Clark University.
Spronk, S. J. 2007. “The Politics of Third World Water Privatization: Neoliberal Reform and
Popular Resistance in Cochabamba and El Alto, Bolivia.” York University.
Swyngedow, E. 2004. Social Power and the Urbanization of Water: Flows of Power. New York:
Oxford University Press.
United Nation General Assembly, 2010. 64/292. The human right to water and sanitation.
United Nations, 1977. United Nations Water Conferences in Report of the United Nations
water Conference, Mar del Plata 12‐25 march 1977 (United Nations publications, Sales No.
E.77.II.A.12).
Halaman 10 dari 10
Oleh: Bosman Batubara2
Tata Kelola Air Global
Air adalah sumber kehidupan. Pada 2010 melalui Resolusi 64/292 , Perserikatan Bangsa‐
Bangsa (PBB) memasukkan air dalam poin Hak Asasi Manusia (HAM). ”,…equitable access
to safe and clean drinking water and sanitation as an integral component of the realization
of all human rights [akses yang setara terhadap air minum bersih dan sanitasi adalah bagian
tak terpisahkan dari realisasi HAM],” demikian PBB (2010). Lebih mendasar, antara 55‐78%
tubuh manusia terdiri dari air, tergantung ukuran badan. Agar dapat berfungsi dengan baik,
tubuh manusia membutuhkan antara satu sampai tujuh liter air setiap hari untuk
menghindari dehidrasi. Jumlah ini dinamis. Tergantung pada, antara lain, tingkat aktivitas,
suhu, dan kelembaban.
Air adalah kekuasaan. Jauh sebelum Marx merumuskan sirkulasi kapital, air sudah
bersirkulasi dalam tubuh, masyarakat, dan ekosistem. Siapa yang memiliki kekuasaan maka
ia mengontrol air. Sebaliknya, mereka yang memiliki air akan mampu mengontrol
kekuasaan (Swyngedow 2004: 61).
Perhatian dunia terhadap krisis air bersih pada dasarnya sudah mulai sejak tahun 1950‐an
melalui proyek United National Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO)
tentang air bersih di daerah beriklim kering dan semi‐kering. Tonggak selanjutnya adalah
pada 1972 ketika berlangsung United Nations Conference on the Human Environment di
Stockholm, Swedia. Pada 1977, diselenggarakan United Nations Water Resources Conference
di Mar del Plata yang secara spesifik sudah mendiskusikan air bersih. Masalah utama yang
menjadi perhatian di Mar del Plata adalah bahwa semua orang, terlepas dari seperti apapun
kondisi ekonomi dan sosialnya, memiliki hak untuk mengakses air minum dengan kuantitas
dan kualitas yang mencukupi untuk kebutuhan dasar (UN, 1977).
Sebagai hasil dari Konferensi di Mar del Plata, International Drinking Water Supply and
Sanitation Decade diluncurkan pada 1981 dengan tujuan menyediakan air minum yang aman
dan sanitasi pada daerah perkotaan dan pedesaan pada 1990. Tetapi rupanya tujuan ini
tidak tercapai, dan ini memicu perhatian yang lebih luas dari kalangan internasional tentang
isu ini.
Pada 1990‐an, lembaga‐lembaga donor internasional mulai memunculkan berbagai strategi
yang berbeda dalam hal bantuan internasional. Tercatat ke dalam kelompok ini adalah
Canadian International Development Agency (CIDA), French Ministry of Cooperation, German
Federal Ministry of Economic Cooperation and Development, Overseas Development
1
Tulisan ini didiskusikan di Persma Balairung, UGM, 20 Maret 2014, dan dimuat di:
http://www.gusdurian.net/id/article/kajian/Belajar‐Kooperasi‐SAGUAPAC‐Revolusi‐Chocabamba‐Bolivia/
2
Adalah anggota Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam
Halaman 1 dari 10
Administration (Inggris), dan United States Agency for International Development (USAID).
Pergeseran paradigmatik yang terjadi adalah adanya pandangan bahwa permasalahan krisis
air sudah tidak bisa dihadapi dengan pola lama dengan cara memompa dan
membersihkannya. Tetapi, faktor‐faktor lingkungan yang lebih luas juga harus diperhatikan
dalam hal pengelolaan dan pembangunan sumber daya air (Finger and Allouche, 2002; hlm.
37).
Mata dunia kemudian semakin terbuka dengan adanya krisis di Aral Sea yang pada tahun
1990‐an semakin memperlihatkan dampaknya yang nyata. Krisis Laut Aral terjadi karena
pembangunan bendungan di beberapa sungai yang masuk ke Laut Aral untuk kepentingan
irigasi yang pada ujungnya diharapkan meningkatkan produktivitas sektor pertanian. Tetapi
yang terjadi justru sebaliknya ketika Laut Aral mengering dan menyisakan salah satu
bencana ekologi terparah pada abad ke‐20 (Glantz, 2004).
Genderang privatisasi air dibuka pada 1992 melalui sebuah konferensi internasional tentang
air dan lingkungan (International Conference on Water and the Environment/ICWE) yang
diadakan di Dublin, Irlandia pada 26‐31 Januari 1992. Konferensi ini diikuti oleh 24 lembaga
rezim United Nation (UN). ICWE pada dasarnya menyiapkan masukan untuk masalah‐
masalah di bidang air tawar yang akan dibicarakan pada United Nations Conferences on
Environment and Development (UNCED) di Rio de Jeneiro, Brasil, pada Juni 1992. ICWE
menghasilkan 4 asas panduan (guiding principles) yang kemudian terkenal dengan “Dublin
Principles”. Salah satu yang paling sering dikutip adalah “prinsip nomor 4” yang berbunyi:
“water has an economic value in all its competing uses and should be recognized as an
economic good” [air memiliki nilai ekonomis dalam seluruh bentuk penggunaannya dan
harus diperlakukan sebagai barang ekonomis].
Poin soal memperlakukan air sebagai barang eknomis inilah yang memicu munculnya
komodifikasi dan privatisasi sumber daya air di berbagai daerah di belahan dunia pada era
neoliberal. Neoliberalisme adalah teori ekonomi politik yang berpandangan bahwa
kehidupan manusia yang lebih baik dapat dicapai dengan memberikan kebebasan bagi
individu dalam kerangka hak privat yang ketat, pasar, dan perdagangan bebas. Pada
intinya, intelektual neoliberal seperti Friedrich von Hayek dan Ludvig von Mises
mengampanyekan pengurangan peran negara di bidang ekonomi. Di sisi lain, pasar harus
dibuat lebih berfungsi. Bahkan, apabila pasar tidak berfungsi dalam sektor seperti air,
pendidikan, kesehatan, dan tanah, maka ia perlu diciptakan dengan bantuan negara (Harvey
2005: 1–38). Dari sinilah skema komodifikasi, dan privatisasi sebagai salah satu unsurnya,
muncul.
Komodifikasi di sini mengacu ke Gómez‐Baggethun dan Ruiz‐Pérez (2011) yang,
berdasarkan analisis terhadap valuasi ekonomi jasa ekosistem, membagi proses
komodifikasi ke dalam empat bagian, yaitu: 1)mengerangkai fungsi ekosistem sebagai jasa
eksositem dengan pendekatan antroposentris (economic framing); 2)penentuan harga jasa
ekosistem (monetization); dan 3)pengakuan terhadap konsep jasa ekosistem itu sendiri
(appropriation) dan mengoperasikannya misalnya melalui skema kepemilikan terhadap jasa
Halaman 2 dari 10
eksosistem yang spesifik. Di titik inilah biasanya sering terjadi perampasan terhadap (yang
tadinya) milik umum menjadi milik privat dan; 4) komersialisasi yang meliputi penciptaan
struktur untuk penjualan dan pertukaran jasa eksosistem dengan menjadikannya sebagai
komoditas.
Komoditas di sini mengambil pengertian seperti yang dijelaskan oleh Polanyi (2001; 75)
bahwa “commodities are here empirically defined as objects produced for sale on the market”
[komoditas secara empiris berarti obyek yang diproduksi untuk dijual di pasar]. Masalahnya,
manusia tidak pernah memproduksi air, ia ada bagian dari siklus alamiah. Atau dengan kata
lain, ia bukan komoditas.
Meskipun manusia tidak menciptakan air, dan dengan demikian bukan komoditas, tetapi
neoliberalisme menjadikannya komoditas, atau yang oleh Polanyi disebut sebagai “fictitious
commodity” [komoditas fiktif]. Dalam konteks neoliberal, privatisasi menjadi salah satu
strategi akumulasi kapital. Penghisapan, dan kemudian ketimpangan, adalah sisi yang lain
dari akumulasi. Privatisasi air terjadi, misalnya, di Indonesia (Ardhianie 2005), India (Coelho
2004), Bolivia (Spronk 2007), Chili (Baer 2011), Prancis dan Jerman (Fitch 2007), dan Afrika
Selatan (Smith 2003). Rezim lembaga finansial yang dimotori oleh IMF dan WB
mendesakkan agenda privatiasi berbagai pelayanan di sektor publik seperti air, terutama di
negara‐negara seperti Indonesia. Lembaga donor internasional, dalam beberapa titik, dapat
digolongkan sebagai instrumen terhadap privatisasi sektor ini.
Konteks Indonesia
Runtuhnya Orde Baru semakin menguatkan ekonomi neoliberal di Indonesia. Sejatinya
penguatan ekonomi pasar telah dimulai jauh sebelumnya pada tahun 1967 ketika tiga
undang‐undang pro‐pasar, yaitu Undang‐undang Penanaman Modal Asing, Undang‐
undang Kehutanan, dan Undang‐undang Pertambangan disahkan. Hal ini persis seperti
yang dinyatakan Polanyi melalui studinya pada kasus sekitar Perang Dunia I di negara‐
negara Eropa yang memperlihatkan bahwa “human society had become an accessory of the
conomic system” [kehidupan manusia sudah menjadi pelengkap belaka dalam sistem
ekonomi] (Polanyi, 2001; 79). Ini menggeser paham bahwa seharusnya yang diperlukan
adalah sebaliknya, sistem ekonomi yang menjadi pendukung kehidupan manusia.
Menguatnya ekonomi pasar yang sangat mempercayai bahwa pasar memiliki kemampuan
mengatur dirinya sendiri (self‐regulating market) tanpa intervensi dari negara
(interventionism) (Polanyi, 2001; 71) ditandai dengan pengurangan peran negara di berbagai
sektor, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, dan tata kelola sumber daya alam. Air
adalah salah satu dari yang terakhir.
Dalam konteks konstitusi, apa yang terjadi dalam rezim neoliberalisme sekarang sudah
bergeser jauh. Kedaulatan rakyat dalam sektor sumber daya alam dapat definisikan sebagai
hak mengakses, mengontrol, memiliki, memeroleh hasil dari, dan rasa aman dalam
menggarap sumberdaya alam melalui peran negara yang diasumsikan melindungi
rakyatnya. Inilah yang muncul dalam UUD 45 pasal 33 ayat 3. Air, menjadi sumber daya yang
harus diatur dalam konteks kedaulatan rakyat. Kenyataan bukan demikian adanya.
Halaman 3 dari 10
Ternyata Indonesia telah menjadi negara predator yang memakan rakyatnya sendiri.
Faktanya, sebagai contoh, perusahaan air di Ibukota Jakarta sudah dikuasai oleh
perusahaan asing, dan digunakan bukan untuk sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat.
Melalui karya seminalnya, Kooy (2008) telah menjelaskan sejarah pengelolaan air minum di
Jakarta. Pada zaman kolonial pelayanan berorientasi pada orang‐orang Eropa, disusul
China, dan baru kemudian orang lokal. Pada periode 1922‐1945, konfigurasinya masih sama,
hanya sekitar 20% orang lokal yang terhubungkan dengan saluran pipa air minum, 60%
populasi China, dan 100% populasi Eropa. Di masa Soekarno, dibangunlah Surface Water
Treatment Pejompongan I dan II (1950‐1966). Pada tahun 1959 hanya 15% warga Jakarta
(elite lokal) yang memiliki akses terhadap air minum pipa, dan sisa penduduk masih tetap
mengandalkan kebutuhan air minum mereka dari air tanah dan sungai. Orde Baru
berorientasi industri, dan dengan demikian Water Treatment Plant (WTP) Pulogadung
dibangun dengan tujuan utama melayani Pulogadung Industrial Estate. Tercatat pada
dekade 70‐an, 90% warga kampung‐kampung di Jakarta tetap mengandalkan air tanah dan
sungai untuk kebutuhan mereka (Kooy, 2008). Hal ini ironis karena uang untuk membangun
infrastruktur pengairan ini berasal dari pinjaman lembaga donor seperti WB dan Pemerintah
Jepang, yang artinya dibayar oleh rakyat Indonesia. Di awal abad ke‐21, sekitar 70%
populasi Jakarta memenuhi kebutuhan airnya dari air tanah (Colbran, 2009).
Privatisasi air di Jakarta dimulai pada tahun 1997 ketika konsesi untuk jangka waktu 25
tahun ditandatangani oleh pemerintah dengan RWE Thames Water, sebuah peruasahaan
yang berbasis di Jerman (Ardhianie, 2005). Dan ini berlangsung terus sampai sekarang.
Tahun lalu, Gubernur DKI, Jokowi mencoba mengartikulasikan ideologi‐politik
nasionalisme. Jokowi mau mengikuti jejak Soekarno yang pada 1957‐59 memimpin
nasionalisasi perusahaan‐perusahaan asing, sebelum akhirnya dengan bantuan AS ia
didongkel dari kursi kepresidenan. Jokowi, yang ketika itu baru naik menjadi Gubernur DKI
dan sekarang dicalonkan sebagai presiden oleh PDIP, langsung mencoba menemukan
kembali artikulasi ideologi‐politik nasionalisme melalui usahanya untuk mengambil alih
perusahaan minum yang melayani masyarakat di DKI, Palyja, dari tangan perusahaan
internasional.
Di kota‐kota lain di seluruh Indonesia, berdasarkan pemetaan Persatuan Perusahaan Air
Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) pada 2010 diketahui beberapa permasalahan yang ada
dalam sektor teknik dan manajemen pengelolaan air minum di Indonesia. Secara umum
kuantitas air tidak mencukupi karena: 1)sumber air baku yang terbatas, 2)adanya konflik
antar wilayah, dan; 3)area tangkapan air yang terganggu sehingga debit turun drastis pada
musim kemarau. Permasalahan di bidang kualitas air adalah adanya pencemaran limbah
industri dan rumah tangga, dan akibat terjadinya erosi di daerah hulu.
Permasalahan di bidang teknis di atas semakin diperparah dengan adanya permasalahan
lain di bidang manajemen seperti rekrutmen direksi dan pegawai yang tidak akuntabel,
tidak tersedianya tenaga kerja dengan kualifikasi yang dibutuhkan, dan rendahnya wawasan
dan penguasaan teknologi di bidang air.
Halaman 4 dari 10
Kedua permasalahan di atas ditambah permasalahan lain di bidang keuangan dan
kebijakan, adalah hal‐hal yang menyebabkan tidak sehatnya kondisi Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) di Indonesia. Berdasarkan evaluasi Perpamsi pada tahun 2009 terhadap 337
entitas penyedia air minum di Indonesia, hanya 103 entitas yang menunjukkan kinerja
‘Sehat’, 115 menunjukkan kinerja ‘Kurang Sehat’ dan 119 yang lain menunjukkan kinerja
‘Sakit’.
Lemahnya beberapa bidang di sektor perusahaan ini secara langsung berhubungan dengan
rendahnya kemampuan PDAM menyediakan air minum bagi masyarakat. Dari sekitar 237
juta penduduk Indonesia berdasarkan sensus tahun 2010, hanya sekitar 8 juta (3,4%) yang
menjadi pelanggan PDAM. Angka ini sangat rendah kalau dibandingkan dengan data Bank
Dunia pada tahun 2010 yang menunjukkan bahwa 78,6% populasi di Indonesia
terhubungkan ke improved water sources di luar air pipa, seperti mata air, sumur bor dan air
hujan.
Sebagai contoh, di Jawa Tengah (Jateng) terdapat 35 entitas penyedia air minum yang
dikelola dalam bentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), 24 diantaranya berstatus
“sehat”, 5 “kurang sehat,” dan 6 sisanya “sakit” (Tabel 1). Ke‐35 entitas ini melayani
1.001.159 pelanggan, (Perpamsi, 2010) alias hanya 0,039% dari keseluruhan penduduk
Jateng.
Table 1: Kondisi 35 entitas penyedia air di Jawa Tengah
No. Sehat
1
PDAM Kota Salatiga
2
PDAM Kota Magelang
3
PDAM Kota Tegal
4
PDAM Kota
Pekalongan
PDAM Kab. Kendal
5
6
7
8
9
10
11
12
13
PDAM Kab Boyolali
PDAM Kab. Magelang
PDAM Kab. Klaten
PDAM Kab. Sukoharjo
PDAM Kab. Wonogiri
PDAM Kab.
Temanggung
PDAM Kab. Kebumen
PDAM Kab.
Purbalingga
No. Kurang Sehat
No. Sakit
1
PDAM Kab. Demak 1
PDAM Kota
Semarang
2
PDAM Kab. Pati
2
PDAM Kota
Surakarta
3
PDAM Kab.
3
PDAM Kab.
Pekalongan
Grobogan
4
PDAM Kab.
4
PDAM Kab.
Purworejo
Semarang
5
PDAM Kab.Brebes 5
PDAM Kab.
Rembang
6
PDAM Kab. Blora
Halaman 5 dari 10
No. Sehat
14 PDAM Kab.
Banjarnegara
15 PDAM Kab. Tegal
16 PDAM Kab.
Karanganyar
17 PDAM Kab. Wonosobo
18 PDAM Kab. Jepara
19 PDAM Kab. Banyumas
20 PDAM Kab. Batang
21 PDAM Kab. Sragen
22 PDAM Kab. Pemalang
23 PDAM Kab. Kudus
24 PDAM Kab. Cilacap
Sumber: Perpamsi (2010).
No. Kurang Sehat
No. Sakit
Berbagai persoalan di atas muncul karena selama ini PDAM lebih mengabdi kepada
kekuasaan ketimbang melayani rakyat. Hal ini bertentangan dengan prinsip “melayani
rakyat” yang seharusnya diimani oleh PDAM. Tata kelola perusahaan selama ini
mengarahkan PDAM bertanggungjawab kepada pemerintah daerah (ke atas), bukan
kepada pelanggan (ke bawah). Dengan demikian, pelanggan, yang sebenarnya adalah
pemilik sah dari sumber daya alam seperti air, hanya menjadi konsumen belaka dan tidak
memiliki daya tawar terhadap kebijakan. Atau dengan kata lain, menjadi obyek eksploitasi.
Bukan subyek aktif dari tata kelola pembangunan dan pelayanan itu sendiri. Dan hal ini
secara otomatis mematikan daya kontrol dari rakyat, sehingga perusahaan‐perusahaan air
ini tidak maju‐maju.
Berkaca dari kasus Jakarta, melihat masifnya perkembangan neoliberalisme, maka PDAM‐
PDAM di berbagai daerah di Indonsia sebenarnya berada dalam posisi yang rawan
diprivatisasi.
Setidaknya privatisasi dan isu rendahnya kemampuan seperti yang dibahas di atas menjadi
pokok permasalahan dalam industri pelayanan air terhadap warga di Indonesia sekarang.
Salah satu cara untuk menjawab kedua permasalahan di atas adalah dengan merombak tata
kelola perusahaan daerah menjadi kooperasi. Karena dengan sistem kooperasi, sebuah
perusahaan air memiliki ketersambungan yang konkrit dengan basis massa yang akan
mengontrolnya, dan dengan demikian, secara perlahan perusahaan akan bergerak maju
karena mendapatkan otokritik terus‐menerus dari pelanggan (yang juga pemiliknya). Di sisi
lain, anggota kooperasi juga akan menjaga kooperasinya dari arus privatisasi, pelanggan
akan bergerak mempertahankan haknya ketika ia akan diprivatisasi. Untuk ini, kita perlu
melihat kasus di Bolivia. Memang, kedua kasus yang akan dijelaskan tidak terjadi di kota
yang sama, tetapi dalam sebuah kesempatan, Carlos Crespo Flores, salah seorang aktivis di
Chocabamba, menyebutkan bahwa para aktivis anti privatisasi air saling berjejaring lintas
Halaman 6 dari 10
kota di Bolivia.
Belajar dari Kooperasi SAGUAPAC dan Revolusi Air Chocabamba, Bolivia
Kooperasi SAGUAPAC (Cooperativa de Servicios Públicos Santa Cruz Limitada) didirikan pada
9 Agustus 1979 di Kota Santa Cruz, kota yang terletak di bagian timur Bolivia. Keputusan
untuk mendirikan kooperasi air ini didorong oleh adanya undang‐undang kooperasi di
Bolivia, Ley de Cooverativas, yang disyahkan pada 1959. Kooperasi pertama, Cooperativa de
Teléfonos Automáticos de Santa Cruz (COTAS) didirikan pada 1962 untuk sektor komunikasi.
Berikutnya adalah Cooperativas Rurales de Electricidan (CRE) di sektor listrik.
Struktur pengambilan keputusan di SAGUAPAC berdasarkan susunan klasik kooperasi.
Keputusan berada di tangan 96.000 anggota/pelanggannya yang terbagi ke dalam 9 distrik
air, distritos de agua, yang dibentuk di dalam kota Santa Cruz. Setiap dua tahun, pertemuan
diadakan di setiap distrik air dengan dua fungsi utama. Pertama, memilih anggota
perwakilan distrik, conseco de distrito, untuk masa jabatan enam tahun. Kedua, memilih tiga
perwakilan yang akan duduk dalam perwalian tingkat kota untuk masa jabatan dua tahun.
Untuk dapat menggunakan hak pilihnya, para anggota/pelanggan harus menunjukkan kartu
identitas dan bukti pembayaran air.
SAGUAPAC adalah entitas pelayanan air terbaik di seluruh Amerika Latin. Kualitas ini dapat
dinilai dengan beberapa indikator, misalnya, efisiensi dan efektivitas. Efisiensi teknis adalah
hubungan antara sumberdaya yang masuk dan keluar, yang dapat diukur dengan berbagai
parameter: 1)air yang hilang (water loss) adalah ekspresi dari air yang tak terhitung.
Indikator ini mengukur perbedaan antara volume air yang didistribusikan dengan air yang
terjual, dinyatakan dalam bentuk persentase produk air yang terkirim ke sistem distribusi;
2)Produktivitas staf adalah jumlah pegawai per‐seribu pelanggan; 3)Kemampuan meter
adalah persentase sambungan pipa dalam meter. Sementara, efisiensi finansial adalah
tingkat kesuksesan dalam mencapai target organisasi dengan pengeluaran minimum, dapat
diukur dengan: 1)tarif rerata air; 2)perbandingan pegawai dengan biaya operasi; dan
3)efisiensi mengoleksi adalah perbanding pembayaran dengan tagihan per tahun.
Di bidang efektivitas, yang berarti sampai dimana output mencapai tujuan awal, ada dua
parameter yang bisa dipakai: 1)cakupan pelayanan yang mengukur perbandingan populasi
di area yang dilayani dengan jumlah penduduk yang menerima pelayanan; dan
2)ketersediaan air yang diukur berdasarkan kemenerusan pelayanan setiap harinya
(Nickson, 1998).
Berdasarkan indikator‐indikator di atas, Tabel 2 menampilkan perbandingan beberapa
entitas penyedia air di Bolivia ditambah, meskipun dengan data yang tidak penuh, Palyja,
Jakarta. Secara jelas terlihat bahwa kooperasi SAGUAPAC memiliki efisiensi (teknis dan
finansial) serta efektivitas yang lebih bagus dari SEMAPA (Chocabamba, Bolivia) yang
dikelola dengan sistem public‐collective partnership dan Palyja yang dikelola dengan sistem
public‐private partnership (diprivatisasi). Khusus untuk tarif air, di Bolivia, SAGUAPAC
menjual 0.3 USD/m3, sedangkan Palyja di Jakarta menjual 0.7 USD/m3, alias yang tertinggi
Halaman 7 dari 10
di ASEAN (Iwan, 2008).
Table 2: Perbandingan Indikator Entitas Penyedia Air di Bolivia dan Indonesia
Entitas
Kota
Bentuk tata kelola
Efisiensi teknis
Air hilang [%]
Staf/1000 pelanggan
Kemampuan meter [%]
Efisiensi Finansial
Tarif rerata air [US$/m3]
Rasio pegawai dengan
biaya
Efisiensi mengoleksi [%]
Efektivitas
Cakupan pelayanan [%]
Ketersediaan air
[jam/hari]
Bolivia
SAGUAPAC SEMAPA
Santa Cruz Cochabamba
Kooperasi Public‐
collective
partnership
[2002]
Indonesia
Palyja
Jakarta
Public‐private
partnership
17*
3.1*
100
54
6.49
64
52.64
n/a
n/a
0.31*
0.55*
0.63
0.49
0.7
n/a
96
61
n/a
80
24
57
n/a
67.30
24 [catatan:
tekanan sering
turun]
Sumber: Data untuk Bolivia, kecuali yang bertanda * bersumber dari (Nickson, 1998); untuk
Palyja dari Iwan (2008); yang bertanda * bersumber dari Ruiz‐Mier and Ginneken (2006). n/a
= tidak ada data.
Dalam hal perlawanan terhadap privatisasi, tidak banyak gerakan sosial di dunia ini yang
mampu menghalang agenda neoliberalisme privatisasi air. Salah satunya adalah perang air
yang terjadi pada 1999‐2001 di Chocabamba, dan Januari 2005 di El Alto, Bolivia. Kedua
gerakan ini berhasil menghambat perusahaan transnasional yang mau mengambil alih
perusahaan air di kedua kota (Spronk, 2007).
Pada 1997, pemerintah Bolivia di bawah Sánchez de Lozada menandatangai negosiasi
rahasia untuk memprivatiasasi perusahaan air lokal. Konsesi ini sangat tidak menarik dari
sudut pandang bisnis karena melibatkan komitmen untuk membangun sebuah bendungan,
maka tidak ada tender yang masuk. Pemerintah kemudian membuka kesempatan lagi pada
1999. Pada September di tahun itu, pemerintah memberikan konsesi kepada satu‐satunya
penawar yang masuk, yaitu Aguas del Tunari, anak perusahaan raksasa internasional yang
bermarkas di Amerika Serikat, Bechtel.
Karena berbagai penyesuian yang dilakukan oleh Aguas del Tunari, seperti kenaikan tarif,
Halaman 8 dari 10
warga mengamuk terutama setelah mereka frustrasi akibat kenaikan pembayaran air pada
November 1999. Warga kota, yang kemudian didukung oleh gerakan tani, membentuk
Coordinadora, sebuah organisasi gabungan untuk melawan proses privatisasi air ini.
Puncaknya adalah pada April 4‐12 ketika Coordinadora men‐shut down Chocabamba dengan
memblok jalan, bandara, dan menggelar demonstrasi yang masif. Hasilnya, Betchel
terlempar dari Chocabamba.
Mobilisasi yang lain melawan privatisasi terjadi di El Alto/La Paz, Bolivia. Kasusnya hampir
sama. Pada 1997, pemerintah pusat memberikan konsesi kepada Aguas del Illimani, anak
perusahaan air raksasa Perancis, Suez. Pada Januari 2005, ribuan warga El Alto tumpah ke
jalan‐jalan menuntut pemutusan kontrak dengan Aguas del Illimani. Setelah aksi tiga hari
yang masif yang melumpuhkan seluruh kota El Alto, akhirnya pemerintah memutuskan
kontrak dengan Aguas del Illimani (Spronk, 2007).
Penutup
Dalam konteks Indonesia, konversi PDAM menjadi kooperasi bisa dilakukan apabila
didukung oleh gerakan rakyat (pelanggan) yang kuat dan pemeritah, eksekutif dan
legislatif, mulai dari pusat hingga daerah, yang ideologis. Ini artinya mengasumsikan adanya
satu, atau koalisi partai politik, yang memiliki suara mayoritas sehingga memiliki kekuatan
politik mengubah berbagai aturan yang mengganjal proses konversi.
Daftar Pustaka
Ardhianie, N. 2005. “Water Privatisation in Indonesia.” Dalam Reclaiming Public Water:
Achievements, Struggles and Visions from around the World, disunting oleh Belén Balanyá,
Brid Brennan, Olivier Hoedeman, Satoko Kishimoto, dan Philipp Terhorst, 227–238.
Amsterdam: Transnational Institute dan Corporate Europe Observatory.
Baer, Madeline. 2011. “Privatizing Water: Globalization, States and Human Rights.” Disertasi
Ph.D. University of California.
Coelho, K. 2004. “Of Engineers, Rationalities, and Rule: An Ethnograpphy of Neoliberal Reform
in an Urban Water Utility in South India.” Disertasi Ph.D. The University of Arizona.
Colbran, N. 2009. Will Jakarta be the next Atlantis? Excessive groundwater use resulting
from a failing piped water network. Law, Environment and Development Journal, 5(1), p. 18;
available at http://www.lead‐journal.org/content/09018.pdf.
Finger, M. and Allouche, J. 2002. Water Privatisastion: Trans‐nasional corporations and the
re‐regulation of the water industry. Taylor & Francis e‐Library.
Fitch, A. K. 2007. “Liquidating the Public Sector? Water Privatization in France and Germany.”
The University of Pennsylvania.
Glantz, M., H. (editor). 2004. Creeping nevironmental Problems and Sustainable Development
in the Aral Sea Basin. Cambridge University Press. Cambridge. UK.
Halaman 9 dari 10
Gómez‐Baggethun, E. dan Ruiz‐Pérez, M. 2011. “Economic Valuation and the
Commodification of Ecocystem Services.” Progress in Physical Geography 35 (5): 613–628.
doi: 10.1177/0309133311421708.
Harvey, D. 2005. A Brief History of Neoliberalism. New York: Oxford University Press.
Iwan, R. 2008. Ten Year of Public Private Partnership in Jakarta Drinking Water Service (1998‐
2007). Eastern Jakarta Drinking Water Service by Thames PAM JAYA (Thesis). School of
Geography, Environmental and Earth Sciences, Victoria University of Wellington. New
Zealand.
Kanumoyoso, B. 2001. Menguatnya Peran Ekonomi Negara: Nasionalisasi perusahaan
Belanda di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Kooy, M. É. 2008. “Relations of Power, Networks of Water: Governing Urban Waters, Spaces,
and Population in (Post)Colonial Jakarta.” The University of British Columbia.
Nickson, A. 1998. Organisational Structure and Performance in Urban water Supply: The Case
of the SAGUAPAC Cooperative in Santa Cruz, Bolivia (Thesis). Schol of Public Polich, The
University of Birmingham. England.
Perpamsi, 2010. Peta Masalah PDAM. News Letter Persatuan Perusahaan Air Minum
Seluruh Indonesia, Edisi Desmber 2010.
Polanyi, K. 2001. The great transformation: the political and economic origins of our time.
Beacon Press, Boston, USA.
Ruiz‐Mier, F. and van Ginneken, M. 2006. Consumer cooperatives: An alternative institutional
model for delivery of urban water supply and sanitation services? Water Supply & Sanitation
Working Notes. Note No. 5, January 2006. World Bank Group.
Smith, Laila. 2003. “The Corporatization of Urban Water Supply: Cape Town Institutional
Transformation in Post‐Aparthheid South Africa.” Clark University.
Spronk, S. J. 2007. “The Politics of Third World Water Privatization: Neoliberal Reform and
Popular Resistance in Cochabamba and El Alto, Bolivia.” York University.
Swyngedow, E. 2004. Social Power and the Urbanization of Water: Flows of Power. New York:
Oxford University Press.
United Nation General Assembly, 2010. 64/292. The human right to water and sanitation.
United Nations, 1977. United Nations Water Conferences in Report of the United Nations
water Conference, Mar del Plata 12‐25 march 1977 (United Nations publications, Sales No.
E.77.II.A.12).
Halaman 10 dari 10