Sejarah Hukum Agraria dunia dan pengar

Oleh : Aal Lukmanul Hakim

Dosen Fakultas Hukum Universitas Djuanda Bogor

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kajian terhadap Hukum Agraria sudah banyak dilakukan oleh berbagai kalangan, baik dalam bentuk buku-buku referensi, jurnal ilmiah dan di dalam seminar-seminar serta simposium yang bertajuk Agraria. Tetapi kajian-kajian tersebut tidak begitu fokus mengkaji tentang sejarah hukum agraria, bagaimana lahirnya hukum agraria di Indonesia sampai terbentuknya Undang-undang Nomor

5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria atau lebih dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Bahkan wacana untuk mengamandemen Undang-undang Pokok Agraria, yang selanjutnya dalam makalah ini disebut UUPA, terus dilakukan guna menyesuaikan peraturan- peraturan di bidang ke-agraria-an yang sudah dianggap tidak mengakomodir perkembangan masyarakat. Ini membuktikan bahwa hukum – khususnya hukum agararia – terus berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan masayarakat, untuk itu diperlukan suatu kajian ilmiah tentang bagaimana rangkaian sejarah hukum agraria Indonesia guna mengetahui setiap perkembangan yang terjadi di bidang agraria. Dengan demikian setidaknya dari kajian itu dapat diperoleh bahan untuk dijadikan pegangan dalam melakukan pembaharuan (hukum) terhadap hukum agraria.

Substansi yang akan dibahas di dalam makalah singkat ini terfokus kepada sejarah hukum agraria sebagai salah satu bagian yang integral dari sistem hukum Indonesia yang memiliki peranan penting dalam upaya pembangunan masyarakat guna mewujudkan cita-cita dan tujuan negara. Dalam kajian terhadap hukum agraria ini, penulis melakukan kajian dengan pendekatan sejarah. Hal ini penulis anggap penting karena perkembangan hukum agraria kedepan tidak akan terlepas dari proses dan pergelutan yang melatarbelakangi lahirnya hukum agraria ini.

Lebih lanjut kenapa pendekatan sejarah hukum ini diperlukan, disebabkan beberapa alasan sebagai berikut : 1

1. Hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak, melainkan juga dalam lintasan kala dan waktu. Hal ini berlaku bagi sumber-sumber hukum formil, yakni bentuk-bentuk penampakan diri norma-norma hukum, maupun isi norma-norma hukum itu sendiri (sumber-sumber hukum materil).

2. Norma-norma hukum dewasa ini seringkali hanya dapat dimengerti melalui sejarah hukum. Henri De Page penulis sebuah karya penting perihal Traite Elementaire de Droit Civil yang diterbitkan pada tahun-tahun 1930-1950, mengemukakan bahwa semakin ia memperdalam studi hukum perdata, semakin ia berkeyakinan bahwa sejarah hukum, lebih dahulu daripada logika dan ajaran hukum sendiri mampu menjelaskan mengapa dan bagaimana lembaga-lembaga hukum kita mucul ke permukaan seperti keberadaannya sekarang ini.

3. Sedikit banyak mempunyai pengertian mengenai sejarah hukum, pada hakikatnya merupakan suatu pegangan penting bagi para yuris pemula untuk mengenal budaya dan pranata umum.

4. Hal ikhwal yang teramat penting di sini adalah perlindungan hak asasi manusia terhadap perbuatan semena-mena, bahwa hukum diletakkan dalam perkembangan sejarahnya serta diakui sepenuhnya sebagai suatu gejala historis.

Dari berbagai alasan kenapa pentingnya suatu kajian sejarah hukum, maka penulis menganggap perlu untuk melakukan kajian terhadap sejarah hukum agraria Indonesia. Dengan demikian setidaknya dapat dilihat gambaran tentang hukum agrraria Indonesia sebagai suatu gejala yang tidak terlepas dari proses masa lalu.

Dari uraian di atas, panulis menuangkan kajian tentang sejarah hukum ini dalam makalah sederhana dengan judul “Hukum Agraria Indonesia : Sejarah

dan Perkembangannya”

1 John Gilissen † , Frits Gorle dan Freddy Tengker, Sejarah Hukum : Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 1 dst.

B. Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka masalah yang dikaji dalam makalah ini adalah :

1. Bagaimana proses sejarah hukum agararia Indonesia sampai dengan terbentuknya UUPA 1960 ?

2. Bagaimana perkembangan hukum agararia Indonesia dalam konteks kekinian

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dari kajian yang akan dilakukan dalam makalah ini, penulis bertujuan untuk :

a. Mengetahui proses sejarah dalam lintasan waktu dan kala dalam bidang sejarah hukum Indonesia, khususnya hukum agraria samapi terbentuknnya UUPA.

b. Mengetahui dan memahami perkembangan yang dialami hukum agraria Indonesia sampai dengan saat sekarang ini.

2. Kegunaan Penelitian.

a. Secara Teoritis; makalah ini diaharapkan berguna untuk memperkaya litertur kasanah kajian hukum agraria Indonesia guna kemajuan ilmu pengetahuan hukum khususnya di bidang hukum agararia Indonesia;

b. Secara Praktis; makalah ini dapat berguna sebagai sumber kajian berikutnya dalam bidang hukum ke-agraria-an Indonesia.

D. Kerangka Teoritis

Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Ubi cocietas, ibi ius. Di manapun di dunia ini selama di situ ada masyarakat, maka di situ ada aturan hukum. Sejalan dengan hal itu, hukum itu tumbuh dan berkembang bersama masyarakatnya. Hukum itu tumbuh dan berkembang dari refleksi kebutuhan- kebutuhan yang terungkap dalam jalinan-jalinan hidup masyarakat di mana hukum itu hidup. Apapun corak hukum itu dipengaruhi oleh jalinan kebutuhan-kebutuhan masyarakat itu yang merupakan kebudayaan dari masyarakat bersangkutan.

Friedrich Karl von Savigny 2 mengatakan bahwa masyarakat manusia di dunia ini terbagi ke dalam banyak masyarakat bangsa. Tiap masyarakat bangsa itu

mempunyai Volksgeist (jiwa bangsa)-nya sendiri yang berbeda menurut tempat dan zaman. Volksgeist itu dinyatakan dalam bahasa, adat istiadat, dan organisasi sosial rakyat yang tentunya berbeda-beda menurut tempat dan zaman pula. Yang dimaksudkan dengan Volksgeist adalah filasafat hidup suatu bangsa atau pola kebudayaan atau kepribadian yang tumbuh akibat pengalaman dan tradisi di masa lampau.

Selanjutnya Savigny melihat hukum itu sebagai hasil perkembangan historis masyarakat tempat hukum itu berlaku. Isi hukum ditentukan oleh perkembangan adat istiadat rakyat di sepanjang sejarah; isi hukum ditentukan oleh sejarah masyarakat manusia tempat hukum itu berlaku.

W. Friedman menyimpulkan esensi dari teori Savigny sebagai berikut : “Pada permulaan sejarah, hukum sudah mempunyai ciri yang tetap, khas untuk

rakyat seperti bahasanya, adat istiadatnya, dan konstitusinya. Gejala ini tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan kemampuan-kemampuan dan kecenderungan- kecenderungan dari masyarakat tertentu, disatukan secara tak terpisah dalam tabiat dan menurut pandangan kita mempunyai atribut-atribut yang jelas. Yang mengikat semua itu dalam suatu keseluruhan adalah kesamaan pendirian dari rakyat. Kesadaran batiniah yang sama perlu untuk membuang semua pikiran tentang asal mula yang kebetulan dan tidak pasti ....hukum berkembang dengan berkembangnya rakyat dan menjadi kuat dengan kuatnya rakyat dan akhirnya lenyap kalau rakyat kehilangan kebangsaannnya .....maka inti teori ini adalah bahwa semua hukum pada mulanya dibentuk dengan cara, seperti yang dikatakan orang, hukum adat, dengan bahasa yang biasa, tetapi tidak terlalu tepat, dibentuk, yakni bahwa hukum itu mula-mula dikembangkan oleh adat kebiasaan dan kepercayaan yang umum, kemudian oleh yurisprudensi, jadi di mana-mana oleh kekuatan dalam yang bekerja diam-diam, tidak oleh kehendak sewenang- wenang

dari pembuat undang-undang”. 3

Dengan demikian, bahwa suatu tatanan hukum yang hidup dan ditaati keberadaannya di masyarakat merupakan hasil dari ekstraksi adat sitiadat, cita, rasa, karsa masyarakat yang dikristalkan dalam bentuk seperangkat aturan yang memiliki wibawa sehingga hal itu diikuti dalam rangka mencapai tujuan hidup bermasyarakat yang tertib, teratur, dan adil.

Faham tersebut di atas dikenal dalam ranah imu pengetahuan hukum dengan faham/mazhab sejarah (historis). Faham inilah yang melandasi pijakan

2 Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filasafat Hukum : Mazhab dan Refleksinya, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, hlm. 30.

3 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan & Problema Keadilan (susunan II), Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 60.

berfikir dalam makalah ini, di mana bahwa hukum agraria yang berlaku dalam sistem hukum nasional adalah merupakan hasil dari ekstraksi volkgeist bangsa Indonesia. Hal mana ditegaskan dalam UUPA itu sendiri, bahwa UUPA tersebut berdasarkan hukum adat. Seperti yang disebutkan oleh Pasal 5 UUPA, bahwa :

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan- peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam perundangan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur- unsur yang bersandar pada hukum agama.

BAB II PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM AGRARIA

A. Pengertian Agraria

Boedi Harsono membedakan pengertian agraria dalam tiga perspektif, yakni arti agraria dalam arti umum, Administrasi Pemerintahan dan pengertian

agraria berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria. 4 Pertama dalam perspektif umum, agraria berasal dari bahasa Latin ager yang berarti tanah atau sebidang

tanah. Agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 5 Agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian,

juga urusan pemilikan tanah. Maka sebutan agraria atau dalam bahasa Inggris agrarian selalu dairtikan dengan tanah dan dihubungakan dengan usaha pertanian. Sebutan agrarian laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya.

Di Indonesia sebutan agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun non pertanian. Tetapi Agrarisch Recht atau Hukum Agraria di lingkungan administrasi pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan kebijakannya di bidang pertanahan. Maka perangkat hukum tersebut merupakan bagian dari hukum administrasi negara.

Sebutan agrarische wet, agrarische besluit, agrarische inspectie pada departemen Van Binnenlandsche Bestuur, agrarische regelingan dalam himpunan Engelbrecht, bagian agraria pada kementerian dalam negeri, menteri agraria, kementerian agraria, departemen agraria, menteri pertanian dan agraria, departemen pertanian dan agraria, direktur jenderal agraria, direktorat jenderal agraria pada departemen dalam negeri, semuanya menunjukan pengertian demikian.

4 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999, hlm. 4 dst.

5 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, Edisi Ketiga, 2005, hlm. 13.

Dalam tahun 1988 Badan Pertanahan Nasional dengan Keputusan Presiden Nomor : 26 Tahun 1988, yang sebagai Lembaga Pemerintahan Non Departemen bertugas membantu Presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan. Pemakaian sebutan pertanahan sebagai nama badan tersebut tidak mengubah ataupun mengurangi lingkup tugas dan kewenangan yang sebelumnya ada pada departemen dan direktorat jenderal agraria. Sebaliknya justru memberikan kejelasan dan penegasan mengenai lingkup pengertian agraria yang dipakai di lingkungan administrasi pemerintahan. Adapun administrasi pertanahan meliputi baik tanah-tanah di daratan maupun yang berada di bawah air, baik air daratan maupun air laut.

Adanya jabatan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam Kabinet Pembagnuan VI, juga tidak mengubah lingkup pengertian agraria. Sebutan jabatan tersebut tampaknya untuk menunjukkan, bahwa tugas kewenangan Menteri Negara Agraria adalah lebih luas dari dan tidak terbatas pada lingkup tugasnya sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang disebut dalam KEPRES Nomor : 26 Tahun 1988.

Dalam Kepres Nomor : 44 Tahun 1993 ditentukan, bahwa Menteri Negara Agraria bertugas pokok mengenai hal-hal yang berhubungan dengan keagrariaan dan menyelenggarakan antar lain fungsi : mengkoordinasi kegiatan seluruh Instansi Pemerintah yang berhubungan dengan keagrariaan dalam rangka pelaksanaan program pemerintah secara menyeluruh. Dengan adanya fungsi koordinasi Menteri Agraria dulu yang memimpin Departemen Agraria, yang dalam tata susunan Kabinet Pembanguan VI ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Walaupun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi dari apa yang tercantum dalam Konsiderans, pasal-pasal dan penjelasannya, dapatlah disimpulkan, bahwa pengertian agraria dan hukum agraria dalam UUPA dipakai dalam arti yang sangat luas.

Pengertian agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam Pasal

48, bahkan meliputi juga ruang angkasa. Yaitu ruang di atas bumi dan air yang mengandung : tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu.

Pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air (Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 4 ayat(1)). Dengan demikian pengertian tanah meliputi permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi yang berada di bawah air, termasuk air laut.

Sehubungan dengan itu bumi meliputi juga apa yang dikenal dengan sebutan Landas Kontinen Indonesia (LKI). LKI ini merupakan dasar laut dan tubuh bumi di bawahnya di luar perairan wilayah Republik Indonesia yang ditetapkan dengan Undang-undang Nomor : 4 Prp. Tahun 1960, sampai kedalaman 200 meter atau lebih, di mana masih meungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Penguasaan penuh dan hak ekslusif atas kekayaan alam di LKI tersebut serta pemilikannya ada pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (Undang-undang Nomor :1 Tahun 1973, LN. 1973-1, TLN 2994).

Pengertian air meliputi, baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia (Pasal 1 ayat (5)). Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang : Pengairan (LN 1974-65) pengertian air tidak dipakai dalam arti yang seluas itu. pengertiannya meliputi air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang meliputi air yang terdapat di laut (Pasal 1 angka 3).

Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi sidebut bahan-bahan galian, yaitu unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam. Undang-undang Nomor :11 Tahun 1967 tentang : Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (LN 1967-227, TLN 2831).

Kekayaan alam yang terkandung di dalam air adalah ikan dan lain-lain kekayaan alam yang berada di dalam perairan pedalaman dan laut wilayah Indonesia. (Undang-undang Nomor : 9 Tahun 1985 tentang : Perikanan, LN. 1985-46).

Dalam hubungan dengan kekayaan alam di dalam tubuh bumi dan air tersebut perlu dimaklumi adanya pengertian dan lembaga Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), yaitu meliputi jalur perairan dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Dalam ZEE ini hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi dan lain-lainnya atas segala sumber daya alam hayati dan non hayati yang terdapat di dasar laut serta tubuh bumi di Dalam hubungan dengan kekayaan alam di dalam tubuh bumi dan air tersebut perlu dimaklumi adanya pengertian dan lembaga Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), yaitu meliputi jalur perairan dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Dalam ZEE ini hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi dan lain-lainnya atas segala sumber daya alam hayati dan non hayati yang terdapat di dasar laut serta tubuh bumi di

Sementara, A. P. Parlindungan menyatakan bahwa pengertian agraria mempunyai ruang lingkup, yaitu dalam arti sempit, bisa terwujud hak-hak atas tanah, atupun pertanian saja, sedangkan Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA telah mengambil sikap dalam pengertian yang meluas, yakni bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Dari batasan agraria yang diberikan UUPA dalam ruang lingkupnya di atas mirip dengan pengertian ruang dalam Undang-undang Nomor : 24 Tahun 1992 tentang : Penataan Ruang. Menurut Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.

Dari uraian pengertian agraria di atas, maka dapat disimpulkan pengertian agraria dengan membedakan pengertian agraria dalam arti luas dan pengertian agraria dalam arti sempit. Dalam arti sempit, agraria hanyalah meliputi bumi yang disebut tanah, sedangkan pengertian agraria dalam arti luas adalah meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pengertian tanah yang dimaksudkan di sini adalah bukan dalam arti fisik, melainkan tanah dalam pengertian yuridis, yaitu hak. Pengertian agraria yang dimuat dalam UUPA adalah pengertian agraria dalam arti luas.

B. Pengertian Hukum Agraria

Beberapa pakar hukum memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan hukum agraria, antara lain beberapa disebutkan di bawah ini.

Subekti dan Tjitro Subono, hukum agraria adalah keseluruhan ketentuan yang hukum perdata, tata negara, tata usaha negara, yang mengatur hubungan antara orang dan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara, dan

mengatur pula wewenang yang bersumber pada hubungan tersebut. 6

6 Suardi, Hukum Agraria, B.P. Iblam, Jakarta, 2005, hlm. 4 dst.

Prof. E. Utrecht, S.H. menyatakan bahwa hukum agraria adalah menjadi bagian dari hukum tata usaha negara karena mengkaji hubungan-hubungan hukum antara orang, bumi, air dan ruang angkasa yang melibatkan pejabat yang bertugas

mengurus masalah agraria. 7 Daripada itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUPA, sasaran Hukum

Agraria meliputi : bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagaimana lazimnya disebut sumber daya alam (SDA). Oleh karenanya pengertian hukum agraria menurut UUPA memiliki pengertian hukum agraria dalam arti luas, yang merupakan suatu kelompok berbagai hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam yang meliputi :

1. Hukum pertanahan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi;

2. Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air;

3. Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh undang-undang pokok pertambangan;

4. Hukum perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air;

5. Hukum kehutanan, yang mengatur hak-hak atas penguasaan atas hutan dan hasil hutan;

6. Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan space law), mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.

Sedangkan pengertian hukum agraria dalam arti sempit, hanya mencakup Hukum Pertanahan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah.

Yang dimaksud tanah di sini adalah sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUPA, adalah permukaan tanah, yang dalam penggunaannya menurut Pasal 4 ayat (2), meliputi tubuh bumi, air dan ruang angkasa, yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunan

7 Ibid.

tanah itu dalam batas menurut UUPA, dan peraturan-perturan hukum lain yang lebih tinggi.

C. Hukum Tanah

Dalam pengertian konteks agraria, tanah berarti permukaan bumi paling luar berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Hukum tanah di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya saja yaitu aspek yuridisnya yang disebut dengan hak-hak penguasaan atas tanah.

Dalam hukum, tanah merupakan sesuatu yang nyata yaitu berupa permukaan fisik bumi serta apa yang ada di atasnya buatan manusia yang disebut fixtures. Walaupun demikian perhatian utamanya adalah bukan tanahnya itu, melainkan kepada aspek kepemilikan dan penguasaan tanah serta perkembangannya. Objek perhatiannya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan dikuasai dalam berbagai bentuk hak penguasaan atas tanah.

Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam arti yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah hak atas sebagiaan tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.

Yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk mempergunakan dan/atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Atas ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA, kepada pemegang hak atas tanah diberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung yang berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

Hirarki hak-hak atas penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional adalah :

1. Hak bangsa Indonesia atas tanah;

2. Hak menguasai negara atas tanah;

3. Hak ulayat masyarakat hukum adat;

4. Hak-hak perseorangan, meliputi :

a. Hak-hak atas tanah, meliputi :

1). Hak milik atas; 2). Hak guna usaha; 3). Hak guna bangunan; 4). Hak pakai; 5). Hak sewa; 6). Hak membuka tanah; 7). Hak memungut hasil hutan; 8). Hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 (UUPA).

b. Wakaf tanah hak milik;

c. Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan);

d. Hak milik atas satuan rumah susun.

Hukum tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum konkrit, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan

yang merupakan suatu sistem. 8 Objek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah yang dibagi

menjadi 2 (dua), yaitu :

1. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum; Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang hak.

2. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkrit; Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan hak tertentu sebagai obyeknya dan atau orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek pemegang haknya.

8 Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, Edisi Pertama Cet. Ke-2 2005. hlm. 12.

Dalam kaitannya dengan hubungan hukum antara pemegang hak dengan hak atas tanahnya, ada 2 (dua) macam asas dalam dalam hukum tanah, yaitu : asas pemisahan horisontal dan asas pelekatan vertikal.

Asas pemisahan horisontal yaitu suatu asas yang mendasarkan pemilikan tanah dengan memisahakan tanah dari segala benda yang melekat pada tanah tersebut. Sedangkan asas pelekatan vertikal yaitu asas yang mendasarkan pemilikan tanah dan segala benda yang melekat padanya sebagai suatu kesatuan yang tertancap menjadi satu.

Asas pemisahan horisontal merupakan alas atau dasar yang merupakan latar belakang peraturan yang konkrit yang berlaku dalam bidang hukum pertanahan dalam pengaturan hukum adat dan asas ini juga dianut oleh UUPA. Sedangkan asas pelekatan vertikal merupakan alas atau dasar pemikiran yang melandasi hukum pertanahan dalam pengaturan KUHPerdata.

Dalam bukunya, Djuhaendah Hasan 9 mengemukakan bahwa sejak berlakunya KUHPerdata kedua asas ini diterapkan secara berdampingan sesuai

dengan tata hukum yang berlaku dewasa itu (masih dualistis) pada masa sebelum adanya kesatuan hukum dalam hukum pertanahan yaitu sebelum UUPA. Sejak berlakunya UUPA, maka ketentuan Buku II KUHPerdata sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan di dalamnya telah dicabut, kecuali tentang hipotik. Dengan demikian, pengaturan tentang hukum tanah dewasa ini telah merupakan satu kesatuan hukum (unifikasi hukum) yaitu hanya ada satu hukum tanah saja yang berlaku yaitu yang diatur dalam UUPA dan berasaskan hukum adat (lihat Pasal 5 UUPA).

D. Sumber Hukum Agraria

1. Sumber Hukum Tertulis

a. Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dalam Pasal 33 ayat (3). Dalam Pasal 33 ayat (3) ditentukan :

9 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda-benda Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya, Bandung, 1996,

hlm. 67.

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

b. Undang-undang Pokok Agraria. Undang-undangg ini dimuat dalam Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang : Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, tertanggal 24 September 1960 diundangkan dan dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1960-140, dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara nomor 2043.

c. Peraturan perundang-undangan di bidang agraria : 1). Peraturan pelaksanaan UUPA 2). Pertauran yang mengatur soal-soal yang tidak diwajibkan tetapi diperlukan dalam praktik.

d. Peraturan lama, tetapi dengan syarat tertentu berdasarkan peraturan/Pasal Peralihan, masih berlaku.

c. Sumber Hukum Tidak Tertulis

a. Kebiasaan baru yang timbul sesudah berlakunya UUPA, misalnya : 1). Yurisprudensi; 2). Praktik agraria.

b. Hukum adat yang lama, dengan syarat-syarat tertentu, yaitu cacat-cacatnya telah dibersihkan.

BAB III HUKUM DAN POLITIK AGRARIA KOLONIAL

A. Hukum Agraria Kolonial

Dari segi berlakunya, Hukum Agraria di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :

1. Hukum agraria Kolonial yang berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan berlaku sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960; dan

2. Hukum Agraria nasional yang berlaku setelah diundangkannya UUPA.

Dari konsideran UUPA di bawah kata ”menimbang”, dapat diketahui beberapa ciri dari hukum agraria kolonial pada huruf b, c dan d, sebagai berikut :

1. Hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta;

2. Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum adat di samping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat;

3. Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.

Beberapa ketentuan hukum agraria pada masa kolonial beserta ciri dan sifatnya dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Sebelum tahun 1870

a. Pada masa VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie).

VOC didirikan pada tahun 1602 – 1799 sebagai badan perdagangan sebagai upaya guna menghindari persaingan antara pedagang Belanda kala itu. VOC tidak mengubah struktur penguasaan dan pemilikan tanah, kecuali pajak hasil dan kerja rodi.

Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat Indonesia yang ditetapkan oleh VOC, antara lain : 10

1). Contingenten. Pajak hasil atas tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan sebagian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun. 2). Verplichte leveranten. Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang kewajiban meyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-benar tidak bisa berbuat apa- apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan.

3). Roerendiensten. Keijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.

b. Masa Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811).

Awal dari perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dengan penjualan tanah, hingga menimbulkan tanah partikelir. Kebijakannya itu adalah dengan menjual tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri. Tanah itulah yang kemudian disebut tanah partikelir. Tanah partikelir adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah eigendom lainnya ialah adanya hak-hak pada pamiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke rechten

atau hak pertuanan. Hak pertuanan, misalnya : 11

a. Hak untuk mengangkat atau mengesahkan kepemilikan serta memberhentikan kepal-kepala kampung/desa;

b. Hak untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk;

10 Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, Edisi Pertama, Cet. Ke-2, 2005, hlm. 16.

11 Ibid, hlm. 18.

c. Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk;

d. Hak untuk mendirikan pasar-pasar;

e. Hak untuk memungut biaya pemakaian jalan dan penyebrangan;

f. Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput untuk keperluan tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan sebagainya.

c. Masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Rafles (1811-1816).

Pada masa Rafles semua tanah yang berada di bawah kekuasaan government dinyatakan sebagai eigendom government. Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan pajak bumi.

Dari hasil penelitian Rafles, pemilikan tanah-tanah di daerah swapraja di Jawa disimpulkan bahwa semua tanah milik raja, sedang rakyat hanya sekedar memakai dan menggarapnya. Karena kekuasaan telah berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat hukumnya adalah pemilikan atas tanah-tanah tersebut dngna sendirinya beralih pula kepa Raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainka milik Raja Inggris. Oleh karena itu, mereka wajib memberikan pajak tanah kepada Raja Inggris, sebagaimana sebelumnya diberikan kepada raja mereka sendiri.

Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pajak tanah dapat dijelaskan sebagai berikut : 12

a. Pajak tanah tidak langsung dibebankan kepada petani pemilik tanah, tetapi ditugaskan kepada kepala desa. Para kepala desa diberi kekuasaan utnuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani.

b. Kepala desa diberikan kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan pada pemilikan tanah oleh para petani. Jika hal itu diperlukan guna memperlancar pemasukan pajak tanah. Dapat dikurangi luasnya atau dapat dicabut penguasaannya, jika petani yang bersangkutan tidak mau

12 Ibid.

atau tidak mempu membayar pajak tanah yang ditetapkan baginya, tanah yang bersangkutan akan dinerika kepada petani lain yang sanggup memenuhinya.

c. Praktik pajak tanah menjungkirbalikan hukum yang mengatur tentang pemilikan tanah rakyat sebagai besarnya kekuasaan kepal desa. Seharusnya luas pemilikan tanahlah yang menentukan besarnya pajak yang harus dibayar, tetapi dalam praktik pemungutan pajak tanah itu justru berlaku yang sebaliknya. Besarnya sewa yang sanggup dibayarlah yang menentukan luas tanah yang boleh dikuasai seseorang.

d. Masa Pemerintahan Gubernur Johanes van den Bosch.

Pada tahun 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch menetapkan kebijakan pertanhan yang dikenal dengan sistem Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel.

Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak lengsung dibutuhkan oleh pasar internasional paa waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan apapun, sedangkan bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahun.

Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian telah membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar. Di samping pada dasarnya para penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang cukup luas dengan jaminan yang kuat guna dapat mengusahakan dan mengelola tanah dengan waktu yang cukup lama. Usaha yang dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah dari negara. Tanah-tanah yagn biasa disewa adalah tanah- tanah negara nyang masih kosong.

2. Sesudah tahun 1870 (hukum tanah administratif Belanda).

a. Agrarische Wet (AW).

Pada tahun 1870 lahirlah Agrarische Wet yang merupakan pokok penting dari hukum agraria dan semua peraturan pelaksanaan yang Pada tahun 1870 lahirlah Agrarische Wet yang merupakan pokok penting dari hukum agraria dan semua peraturan pelaksanaan yang

AW ininmerupakan undnag-undang di negeri Belanda, yang diterbitkan pada tahun 1870, dengan diundangkan dalam S.1870-55. dimasukkannya ke Indonesia, dengan memasukkan Pasal 62 RR, yang pada mulanya terdiri dari 3 ayat, dengan penambahan 5 ayat tersebut sehingga Pasal 62 RR menjadi 8 ayat, yakni ayat 4 sampai dengan ayat 8. pada akhirnya Pasal 62 RR ini menjadi Pasal 51 IS.

Pasal 51 IS ini memuat : Ayat (1) : Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah. Ayat (2) : Di dalam larangan ini tidak termasuk tanah-tanah

yang tidak luas, yang diperuntukan perluasan kota dan desa serta mendirikan bangunan-bangunan kerajinan/industri.

Ayat (3) : Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah dnegan ketentuan yang ditetpakan dengan ordonansi. Ada pun tanah-tanah yang telah dibuka oleh orang-orang Indonesia asli, atau yang dipunyai oleh desa sebagai tempat pengembalaan umum atau atas dasar lainnya tidak boleh dipersewakan.

Ayat (4) : Menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi diberikan tanah dengan Hak Erfacht selama waktu tidak lebih dari 75 tahun.

Ayat (5) : Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai ada penberian Hak yang melanggar Hak penduduk asli. Ayat (6) : Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanah- tanah yang telah dibuka oleh orang-orang Indonesia asli untuk keperluan mereka sendiri, atau tanah-tanah kepunyaan desa sebagai tempatpengembalaan umum atas dasar lainnya, kecuali untuk kepentingan umum Ayat (5) : Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai ada penberian Hak yang melanggar Hak penduduk asli. Ayat (6) : Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanah- tanah yang telah dibuka oleh orang-orang Indonesia asli untuk keperluan mereka sendiri, atau tanah-tanah kepunyaan desa sebagai tempatpengembalaan umum atas dasar lainnya, kecuali untuk kepentingan umum

Ayat (7) : Tanah yang dipunyai oleh orang-orang Indonesia asli dengan Hak Milik (hak pakai perseorangan yang turun temurun) atas permintaan pemiliknya yang syah diberikan kepadanya dengan hak eigendom dengan pembatasan-pembatasan seperlunya yang ditetapkan dengan ordonansi dan dicantumkan dalam surat eigendomnya, yakni mengenai kewajiban- kewajiban terhadap negara dan desa serta wewenang untuk menjualnya kepada bukan orang Indonesia asli.

Ayat (8) : Menyewakan tanah-tanah atau menyerahkan tanah untuk dipakai oleh orang-orang Indonesia asli, kepada bukan orang Indonesia asli dilakukan menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi.

Terbentuknya AW merupakan upaya desakan dari para kalangan pengusaha di negeri Belanda yang karenan keberhasilan usahanya mengalami kelebihan modal, karenanya memerlukan bidang usaha baru untuk menginvestasikannya. Dengan banyaknya persediaan tana hutan di jawa yang belum dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk diberikannya kesempatan membuka usaha di bidang perkebunan besar. Sejalan dengan semangat liberalisme yang sedang berkembang dituntut pengantian sisten monopoli negara dan kerja paksa dalam melaksanakan cultuur stelse, dengna sisitem persaingan bebasa dan sistem kerja bebas, berdasarkan konsepsi kapitalisme liberal.

Tuntutan untuk mengakihiri sistem tanam paksa dan kerja paksa dengan tujuan bisnis tersebut, sejalan dengan tuntutan berdasarkan pertimbangan kemanusiaan dari golongan lein di negeri Belanda, yang mellihat terjadinya penderitaan yang sangat hebat di kalangan petani Jawa, Tuntutan untuk mengakihiri sistem tanam paksa dan kerja paksa dengan tujuan bisnis tersebut, sejalan dengan tuntutan berdasarkan pertimbangan kemanusiaan dari golongan lein di negeri Belanda, yang mellihat terjadinya penderitaan yang sangat hebat di kalangan petani Jawa,

Dari itu jelaslah tujuan dikeluarkannya AW adalah untuk membuka kmeungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di Hindi Belanda.

Selain itu AW juga bertujuan untuk :

a. Memperhatikan perusahaan swasta yang bermodal besar dengan jalan : 1). Memberikan tanah-tanah negara dengan hak Erfacht yangberjangka waktu lama, sampai 75 tahun. 2). Untuk memberikan kemungkinan bagi para pengusaha untuk menyewakan tanah adat/rakyat.

b. Memperhatikan kepentigan rakyat asli, dengan jalan : 1). Melindungi hak-hak tanah rakyat asli. 2). Memberikan kepada rakyat asli untuk memperoleh hak tanah baru (Agrarische eigendom).

Untuk pelaksanaan AW tersebut, maka diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan keputusan, diantaranya dalam Agrarische Besluit.

b. Agrarische Besluit (AB).

Ketentuan-ketentuan AW pelaksanaannya diatur lebih lanjutan dalam peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan yang paling penting adalah apa yang dimuat dalam Koninklijk Besluit (KB), yang kemudian dikenal dengan nama Agrarische Besluit (AB), S.1870-118.

AB terdiri dari tiga bab, yaitu ; 1). Pasal 1-7 tentang hak atas tanah; 2). Pasal 8-8b tentang pelepasan tanah; 3). Pasal 19-20 tentang peraturan campuran.

Dalam Pasal 1 AB tersebut dimuat satu pernyataan yang asas yang sangat penting bagi perkembangan dan pelaksanaan hukum tanah administratif Hindi Belanda. Asas tersebut dinilai sebagai kurang menghargai , bahkan “memperkosa” hak-hak rakyat atas tanah yang bersumber pada hukum adat.

Dinyatakan dalam Pasal 1 AB tersebut : 13 “Behoudens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde

wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet anderen reght van eigendom wordt bewezen, domein van de staat is”.

Jika diterjemahkan : “Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan 3 Agrarische Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapar membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein negara (milik) negara”.

AB hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, maka apa yang dinyatakan dalam Pasal 1 AB tersebut, yang dikenal sebagai Domein Verklaring (Pernyataan Domein) semula juga berlaku untuk Jawa dan Madura saja. Tetapi kemudian pernyataan domein tersebut diberlakukan juga untuk daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura, dengan suatu ordonansi yang diundangkan dalam S.1875-119a.

Maksud dari adanya pernyataan domein itu adalah untuk memberikan ketegasan sehingga tidak ada keragu-raguan, bahwa satu- satunya penguasa yang berwenang untuk memberikan tanah-tanah kepada pihak lain adalah Pemerintah. Dengan adanya pernyataan domein, maka tanah-tanah di Hindi Belanda dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

1). Vrijlands Domein atau tanah negara bebas, yaitu tanah yang di atasnya tidak ada hak penduduk bumi putera. 2). Onvrijlands Domein atau tanah negra tidak bebas, yaitu tanah yang di atasnya ada hak penduduk maupun desa.

Dalam praktiknya, pernyataan domein mempunyai dua fungsi, yakni : 1). Sebagai landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan hak-hak barat seperti yang diatur dalam KUHPerdata, misalnya hak eigendom, hak opstal, dan hak erfacht.

13 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi, Cet. Ke-8, 1999, hlm. 41 dst.

2). Untuk keperluan pembuktian pemilikan, yaitu apabila negara berperkara, maka negara tidak pelu membuktikan hak eigendomnya atas tanah, tetapi piha lainlah yang wajib membuktikan haknya.

Untuk diketahui bahwa hak rakyat Indonesia atas tanahnya adalah berdasarkan hukum adat, sedangkan dalam hukum adat tidak adak ketentuan hukum yang sama dengan Pasal 570 BW, maka denga sekaligus semua tanah dari rakyat Indonesia termasuk menjadi tanah negara (domein negara). Yang tidak termasuk tanah negara, menurut Pemerintah Hindia Belanda, adalah tanah-tanah seperti di bawah ini :

1). Tanh-tanah daerah swapraja; 2). Tanah-tanah yang menjadi eigendom orang lain; 3). Tanah-tanah partikulir; 4). Tanah-tanah eigendom agraria (Agrarische eigendom).

c. Erfacht Ordonantie.

Mengenai pemberian hak erfacht kepada para pengusaha tersebut, menurut AW harus diataur dalam ordonansi. Maka daka dalam pelaksanaannya dijumpai berbagai peraturan mengenai hak erfacht, yaitu

a. Untuk Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja :

1). Agrarische Besluit (S.1870-118) Pasal 9 sampai dengan 17; 2). Ordonansi yang dimuat S.1872-237a, yang beberapa kali mengalami perubahan , terakhir dalam tahun 1913 disusun kembali dan diundangkan dalam S.1913-699.

b. Untuk luar Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja : semula ada beberapa ordonansi yang mengatur hal-hal mengenai pemberian hak erfacht yang berlaku di daerah-daerah tertentu,

1). S.1874f untuk Sumatera. 2). S.1877-55 untuk keresidenan Manado. 3). S.1888-58 utnuk daerah Zuider-en Oosteradeling Borneo.

14 Ibid, hlm.39.

Dalam tahun 1914 diundangkan satu ordonansi utnuk semua daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan dimuat dalam S.1914-367 Ordonansi yang baru itu dikenal dengan sebutan “Erfachtordonantie Buitengewesten”. Semua ordonansi yang lama ditarik kembali kecuali Pasal 1-nya masing-masing.

c. Untuk daerah-daerah swapraja luar Jawa : Diatur dalam S.1910-61 dengan sebutan erfachtordonantie Zelfbesturende Landschappen Buitengewesten. Berlakunya di masing- masing swapraja menurut petunjuk Gubernur Jenderal. Sebelum adanya ordonansi itu di daerah-daerah swapraja di luar Jawa tidak diberikan hak erfacht, melainkan hak konsesi untuk perusahaan kebun besar. Persewaan tanah rakyat kepada perusahaan kebun besar diatur pula dengan ordonansi, yang telah mengalami perubahan-perubahan menjadi :

1). Grondhuurordonantie (S.1918-88), yang berlaku di Jawa dan Madura, kecuali Surakarta dan Yogyakarta; 2). Vordtenlands Groondhuur Reglement (S.1918-20), yang berlaku di daerah swapraja Surakarta dan Yogyakarta.

d. Agrarische Eigendom.

Agrarische eigendom adalah suatu koninklijk besluit tertanggal 16 April 1872, Nomor : 29, mengenai hak agrarische eigendom. Yang dimaksud dengan Agrarische eigendom adalah suatu hak yang

kepada orang-orang Indonesia/pribumi,nsuatu hak yang kuat atas sebidang tanah. Agrarische eigendom ini, dalam praktik untuk membedakan hak eigendom sebgaimana yang dimaksud dalam BW.

Agrarische eigendom diatur dalam Pasal 51 ayat (7) I.S., diatur lebih lanjut dalam Pasal 4 AB kemudian diatur lebih lanjut dalam KB tanggal 16 April 1872 Nomor : 29 (S. 1872-117) dan S. 1837-38. berdasarkan KB tersbut, tata cara memperoleh Agrarische eigendom dijelaskan di bawah ini, yaitu :

1). Apabila seseorang Indonesia asli (=bumi putera) berkeinginan agar hak milik atas tanahnya, dirubah menjadi Hak Agrarische eigendom, maka pemohonannya harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, agar ia ditetapkan sebagai pemiliknya. Inilah yang disebut : uitwijzing van erfelijk individucel gebbruikrecht. Ini hanya mungkin apabila tanahnya di lkuar sengketa, artinya tanpa berperkara dengan pihak lain. 2). Untuk ini semua sebelumnya diadakan pengumuman, di desanya yang bersangkutan untuk memberi kesempatan kepada pihak ketiga yang merasa berkepentigan akan mengajukan keberatan-keberatan terhadap permohonan uitwijzing van erfelijk individucel gebbruikrecht di atas. 3). Dengan berlandaskan keputusan ketua pengadilan negeri tersebut, maka agrarische eigendom dapat diberikan kepada pemohon oleh bupati yang bersangkutan bertindak untuk dan atas nama pemberian gubernur jenderal. 4). Agrarische eigendom yang telah diperoleh dari bupati tersebut, maka Agrarische eigendom tersebut harus didafatarkan menurut peraturan sebagaimana dimuat dalam S.1873-38, dan kepada pemiliknya akan mendapat surat tanda bukti hak. 5). Setiap peralihan hak, pembebanan degnan hypotheek, harus didaftarkan di Kantor Pengadilan Negeri.

Tujuan adanya Agrarische eigendom sebetulnya bertujuan untuk memberikan kepada orang-orang Indonesia asli dengan semata hak yang kuat, yang pasti karena terdaftar dan haknya dapat dibebani dengan hypotheek. Tetapi dalam praktiknya kesempatan untuk menggantikan hak miliknya dengan menjadi Agrarische eigendom tidak banyak dipergunakan.

3. Hukum Tanah Perdata (Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

KUHPerdata yang berlaku di Indonesia merupakan politik hukum Belanda yang memberlakukan KUHPerdata yang berlaku di Belanda, dengan

beberapa perubahan, berdasarkan asas konkordansi 15 diberlakukan di Indonesia.

Kaitannya dengan pemberlakuan hukum perdata di Hindia Belanda harus juga diperhatikan politik hukum pemerintah Hindia Belanda yang terapkan dalam pemberlakuan hukum bagi penduduk Hindia Belanda kala itu, yaitu politik hukum penggolongan penduduk yang membagi golongan penduduk menjadi tiga golongan sebagaimana dimakasud dalam Pasal Pasal 163 I.S. (Indische Staatsregeling) yakni :

1). Golongan Eropa dan dipersamakan dengannya; 2). Golongan Timur-Asing; yang terdiri dari Timur Asing Golongan Tionghoa dan bukan Tionghoa seperti Arab, India, dan lain-lain; 3). Golongan Bumi Putera, yaitu golongan orang Indonesia asli yang terdiri atas semua suku-suku bangsa yang ada di wilayah Indonesia.

Dengan demikian di Indonesia terdapat hukum perdata yang beragam (pluralistis). Pertama, terdapat hukum yang disesuaikan untuk segala golongan warga negara seperti yang sudah diuraikan di atas :

1). Untuk bangsa Indonesia asli, berlaku Hukum Adat, yaitu hukum yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mangenai segala soal dalam kehidupan masyarakat. 2). Untuk warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa berlaku Kitab Undang-udang Hukum Perdata (BW) dan Kitab Undang- undang Hukum Dagang (WvK), dengan pengertian, bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai BW tersebut ada sedikit penyimpangan yaitu bagain 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai “penahanan” pernikahan) tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada pula “Burgirlijk Stand