6 H and-Out Pembangunan Wilayah

TEORI PERTUMBUHAN WILAYAH

  Perencanaan pengembangan wilayah berkaitan erat dengan upaya peningkatan kinerja (intraregional) wilayah dan keseimbangan perkembangan antar wilayah (interregional). Untuk memahami secara lebih baik terhadap dua topik tersebut perlu diperbincangkan Hakekat pembangunan nasional termasuk pengembangan wilayah adalah bagaimana memacu pertumbuhan wilayah, dan menyebarkannya (growth with equity) secara lebih merata sehingga dapat mensejahterakan masyarakat yang ada didalamnya. Berikut akan dijelaskan beberapa teori pertumbuhan wilayah.

  1. Teori Resources Endowment atau Resource Base Teori ini dikemukakan oleh Harver Perloff dan Lowdon Wingo, Jr. (1961) dalam tulisannya Natural resources Endowment and Regional Economic Growth.

  Menerangkan perkembangan wilayah di Amerika yang berlangsung 3 tahap, yaitu (1) tahap perkembangan pertanian ( - 1840), daerah berkembang adalah wilayah pertanian dan pelabuhan (pusat); (2) tahap perkembangan pertambangan (1840- 1950), besi dan batubara, memiliki forward linkages yang lebih luas dari sektor pertanian; (3) tahap perkembangan amenity resources atau service.

  Pertumbuhan wilayah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya dan kemampuannya untuk memproduksinya, untuk keperluan ekonomi nasional dan ekspor. Dengan kata lain wilayah memiliki Comparative Advantages terhadap wilayah lain (spesialisasi). Kegiatan ekspor akan memperluas permintaan dan efek multiplier yang berpengaruh pada dinamika wilayah. Sumberdaya yang baik adalah : (1) mensupport produksi nasional, (2) memiliki efek backward and

  forward linkages yang luas, (3) efek multiplier, yaitu kemampuan meningkatkan

  permintaan produksi barang dan jasa wilayah. Permintaan merupakan fungsi dari jumlah penduduk, pendapatan, struktur produksi, pola perdagangan, dll.

  2. Teori Export Base atau Economic Base Teori ini dikemukakan Douglass C. North tahun 1964, merupakan perluasan dari teori reources endowment. Teori ini mengatakan bahwa sektor ekspor berperan penting dalam pertumbuhan wilayah, karena sektor ekspor dapat memberikan kontribusi yang penting, tidak hanya kepada ekonomi wilayah tapi juga ekonomi nasional. Kalau teori pertama lebih berorientasi pada inward looking (strategi ke dalam), maka teori ekspor base mengandalkan pada kekuatan permintaan eksternal

  (outward looking). Wilayah dengan tingkat permintaan yang tinggi akan menarik 1 investasi (modal) dan tenaga kerja.

  

Region is mini state, wilayah pada hakekatnya adalah nasional mini yang sangat terbuka.

Teori-teori yang iungkapkan disini sebagian besar adalah teori ekonomi negara, yang

diadopsi untuk kepentingan wilayah

  Kegiatan ekspor akan mempengaruhi keterkaitan ekonomi ke belakang (kegiatan produksi) dan kedepan pada sektor pelayanan (service). Dengan kata lain, kegiatan ekspor secara langsung meningkatkan pendapatan faktor-faktor produksi dan pendapatan wilayah. Syarat utama bagi pengembangan teori ini adalah sistem wilayah terbuka, ada aliran barang, modal, teknologi antar wilyah, dan antara wilayah dengan negara lain.

  3. Teori Pertumbuhan Neoklasik.

  Teori ini dikembangkan dan banyak dianut oleh ekonom regional dengan mengembangkan asumsi Neoklasik. Tokohnya adalah Harry W. Richradson (1973) dalam bukunya Regional Economic Growth. Teori ini mengatakan bahwa pertumbuhan wilayah tergantung tiga faktor yaitu tenaga kerja, ketersediaan modal

  (investasi), dan kemajuan teknologi Semakin besar kemampuan wilayah dalam penyediaan 3 faktor tersebut, semakin cepat pertumbuhan wilayah. Selain tiga faktor di atas, teori ini menekankan pentingnya perpindahan (mobilitas) faktor produksi, terutama tenaga kerja dan modal (investasi) antar wilayah, dan antar negara. Pola pergerakan ini memungkinkan terciptanya keseimbangan pertumbuhan antar wilayah (Ingat paradigma keseimbangan regional-red). Sebagai antitesis dari teori Neoklasik -yang percaya adanya keseimbangan wilayah- muncul teori ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah, yang intinya “tidak percaya pada mekanisme pasar, karena akan semakin memperburuk ketimpangan wilayah” (Ingat paradigma ketidakseimbangan regional-red). Mryrdall adalah tokohnya, melalui Teori Penyebab Kumulatif atau Cummulative Caution Theory yang mengungkapkan 2 kekuatan yang bekerja pada proses pertumbuhan wilayah, yaitu efek sebar (spread effect) yang bersifat positip, dan efek balik yang negatip

  (backwash effect). Efek kedua lebih besar dibanding yang pertama.

  Pertumbuhan output wilayah ditentukan oleh peningkatan produktivitas (merupakan output dari 3 faktor Neoklasik). Kuncinya adalah produktivitas, selanjutnya berpengaruh terhadap ekspor wilayah. Semakin tinggi produktivitas semakin berkembang, sehingga wilayah lain akan sulit bersaing. Pentingnya produktivitas ini juga digunakan untuk menjelaskan siklus kemiskinan, yang berawal dari (1) produktivitas rendah, ke (2) kemiskinan, (3) pendapatan rendah, (4) tabungan, (5) kekurangan modal (investasi), kembali ke no (1), dan seterusnya. 2

  4. Teori Baru Pertumbuhan Wilayah dianggap sebagai faktor eksogen, terlepas dari faktor investasi dan tenaga kerja.

   dan inovasi sebagai faktor dominan pertumbuhan wilayah (untuk meningkatkan produktivitas).

  Kuncinya adalah investasi dalam pengembangan sumberdaya manusia dan

  research and development. Teknologi tinggi dan inovasi yang didukung oleh

  sumberdaya manusia yang berkualitas dan riset dan pengembangan adalah syarat meningkatkan pertumbuhan wilayah. Pengalaman di negara lain (maju) menunjukkan bahwa semakin tinggi faktor di atas, maka perkembangan wilayah semakin cepat.

  Termasuk dalam lingkup teori ini adalah dimasukkannya variabel-variabel non ekonomi dalam Model Ekonomi Makro (baca : Sadono Sukirno, 1989), dimana dijelaskan bahwa: Output Regional = f ( K, L, Q, Tr, T, So), dimana K adalah Kapital/Modal/Investasi, L = Tenaga Kerja, Q = Tanah (sumberdaya), Tr = transportasi, T = Teknologi, So = Sosial Politik.

  Dari berbagai bacaan tampaknya faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu faktor ekonomi dan non ekonomi. Faktor ekonomi meliputi : (1) sumberdaya alam, (2) akumulasi modal atau investasi, (3) kemajuan teknologi. Faktor non ekonomi meliput : (1) faktor sosial, seperti pendidikan dan budaya, (2) faktor manusia (tenaga kerja), (3) faktor politik dan administrasi. 3 TEORI TAHAPAN PERKEMBANGAN WILAYAH

  dianggap sebagai faktor endogen, menjadi bagian dari faktor investasi dan tenaga kerja Pada dasarnya perkembangan wilayah tidak akan berlangsung secara serentak dan bersaam dengan intensitas yang sama, namun melalui tahapan-tahapan atau gradasi. Teori tahapan ini pada dasarnya adalah kelanjutan dari pertumbuhan wilayah. Disamping dikaji faktor-faktor penentu perkembangan wilayah, kemajuan suatu wilayah juga dapat diidentifikasi dari tahapan perkembangan. Teori tahapan ini sering juga disebut teori transformasi sektor, hal ini disebabkan perkembangan wilayah biasanya memiliki keterkaitan yang erat dengan perubahan atau pergeseran sektor. Berikut penjelasannya.

  1. Teori Pentahapan Perpektif Klasik Pertumbuhan ekonomi wilayah selalu diikuti relokasi sumberdaya dan transformasi ekonomi. Hal ini bisa dilihat dari variabel struktur ekonomi, tenaga kerja, dan pergeseran sektoral. James Stuart dan Adam Smith menjelaskan 3 tahapan, yaitu : (1) tahap dominasi pertanian, yang menentukan perkembangan dan distribusi penduduk, memunculkan sektor pendukung, yaitu (2) kegiatan ekonomi beragam, khususnya jasa dan perdagangan, yang mendukung pertanian. Selanjutnya (3) Industrialisasi, untuk peningkatan produktivitas dan memenuhi kebutuhan. Khusus sektor perdagangan Smith, menekankan adanya inter dan Intra region. Dalam bahasa sekarang, hal di atas sering disebut Transformasi Sektoral.

  Friedrich List (1844), mengungkap tentang lima tahap perkembangan wilayah (masyarakat) yaitu: (1) kehidupan masyarakat primitif, (2) perkebunan, (3) pertanian, (4) pertanian dan manufaktur, (5) pertanian dan perdagangan.

  Hildebrand (1864) berdasarkan hubungan pertukaran ada (1) barter, (2) ekonomi uang, dan (3) ekonomi kredit. Bucker (1893) berdasarkan transaksi ekonomi : ekonomi rumah tangga (konsumsi dan produksi terbatas), ekonomi kota (Produksi umum), dan ekonomi nasional (produksi dan distribusi). Gras (1922) mendasarkan pada ekonomi spasial, mengelompokkan dalam lima tahapan, yaitu (1) ekonomi nomaden, (2) ekonomi perdesaan, (3) ekonomi perkotaan, (4) ekonomi nasional, dan (5) ekonomi global (dunia). Sebelumnya tokoh sosialis terkemuka Karl Marx, membagi tiga lembaga ekonomi, yaitu feodalisme, kapitalisme, dan sosialisme.

  Secara sederhana berdasarkan beberapa tahapan tersebut diatas, suatu wilayah dapat dinilai tingkat perkembangannya, tentunya dengan mendasarkan variabel penilainya. Intinya apakah masih pada tahap awal perkembanagn, proses, atau tahapan lanjut.

  2. Teori Tahap Tinggal Landas Perlu dijelaskan tersendiri karena Indonesia beberapa periode yang lalu kental dengan pentahapan ini (mafia Barkeley, Wijojo Nitisastro Cs arsitek

  pembangunan Indonesia). Pencetusnya adalah WW Rostow (1960), yang mengelompokkan tahapan pembangunan dalam lima tahap.

  (1) Masyarakat Tradisional, berciri statis dan didominasi kegiatan pertanian (subsisten). (2) Masa Persiapan, dicirikan adanya perubahan kekakuan tradisional dimana telah terjadi mobilitas sosial, geografi, pekerjaan. Selain itu fungsi produksi pertanian dan industri telah berkembang meskipun lambat. (3) Masa Tinggal Landas, dicirikan adanya investasi mencapai 10% dari pendapatan wilayah, muncul kegiatan manufaktur “leading and propulsive Industry” , butuh modal skala besar, ada kerangka kerja yang jelas (sosial, politik, kelembagaan). (4) Masa Pendewasaan, dicirikan investasi meningkat hingga 20% dari pendapatan wilayah, efisiensi sektor unggulan (spesialisasi), penduduk dan pendapatan perkapita meningkat. (5) Konsumsi Masyarakat Tinggi, dicirikan sektor unggulan bergerak ke barang konsumsi dan jasa, pola konsumsi dan produk non basic membesar, pendapatan tinggi Perkembangan tidak mesti urut, tetapi bisa meloncat.

  3. Teori Transformasi Sektoral Dikemukakan pertama kali oleh Alan Fisher dengan mengenalkan sektor primer, sekunder, dan tersier. Menurutnya terdapat hubungan yang erat antara pertumbuhan ekonomi wilayah dengan perubahan sektoral dan transformasi penduduk (secara spasial). Perkembangan wilayah akan selalu diiringi (ditandai) dengan pergeseran peran atau dominasi dari (1) sektor primer, pertanian dan pertambangan ke (2) sektor sekunder, manufaktur dan konstruksi, ke (3) sektor tersier, seperti perdagangan dan jasa. Perubahan ini tidak hanya dari struktur pendapatan regional, tetapi juga perubahan struktur tenaga kerja.

  Sebagai contoh pada tahapan industrialisasi (modifikasi dari Rostow), (1) non industrialisasi, jika sumbangan PDB sektor industri terhadap pendapatan nasional atau wilayah < 10%; (2) menuju industrialisasi, antara 10-20%; (3) semi industrialisasi , antara 20-30%, dan (4) industrialisasi penuh, jika PDB sektor industri mencapai lebih dari 30%. Kuznet, berdasarkan perubahan sektoral menemukan perkembangan wilayah melalui tahap (1) ekonomi subsisten yang swasembada (2) spesialisasi pada kegiatan primer dan perdagangan antar wilayah (3) introduksi kegiatan industri (4) diversifikasi industrialisasi (5) spesialisasi industri jasa Selain itu dikemukakan, wilayah disebut maju jika tingkat pengeluaran dan pendapatan tinggi, produktivitas tinggi, transformasi struktur ekonomi cepat, kecenderungan ekspor.