BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Penerapan Khi Dalam Penggantian Tempat Ahli Waris/Ahli Waris Pengganti Pada Masyarakat Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan di zaman modern dan global sekarang telah jauh berbeda dengan

  kehidupan di zaman Rasulullah SAW. Perubahan sosial dalam berbagai aspek selalu melahirkan tuntutan agar perangkat hukum yang menata masyarakat haruslah ikut

  1 berkembang bersamanya.

  Perubahan sosial dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti kependudukan, habitat fisik, teknologi atau struktur dan kebudayaan masyarakat, sedangkan prosesnya dapat didorong oleh kemajuan sistem pendidikan, sikap toleransi terhadap penyimpangan perilaku, sistem stratifikasi sosial yang terbuka, tingkat heterogenitas

  2 penduduk, dan rasa ketidakpuasan terhadap kondisi kehidupan tertentu.

  Dalam hubungannya dengan masyarakat, hukum mempunyai dua fungsi, yaitu sebagai social engineering dan social control. Pada fungsi pertama, hukum berperan menciptakan perubahan struktur sosial dan memacu masyarakat agar bergerak. Artinya hukum-hukum diatur untuk tujuan menggerakkan masyarakat pendukungnya supaya maju. Sebaliknya, pada fungsi kedua hukum itu berperan memelihara stabilitas sosial serta menggendalikan arah dan mengontrol lajunya perubahan masyarakat, agar tidak keluar dari ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dalam kaitan 1 M.Hasballah Thaib, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, Konsentrasi Hukum

  Islam ( Medan : Pasca Sarjana USU, 2002), hal. 5 2 Soerjono Sukanto, Beberapa Permasalahan dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1975), hal. 139-140

  

1 ini, hukum selalu ketinggalan dari, dan mengalami tarik menarik dengan tuntutan perubahan masyarakat yang dinamis. Pada satu sisi hukum menggekang berbagai gerakan masyarakat, dan disisi lainnya dinamika masyarakat selalu menuntut agar

  3 hukum menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman.

  Indonesia adalah Negara hukum yang sangat majemuk akan segala budaya. Dalam perkembangan hukum yang terjadi di Indonesia, hukum Islam termasuk

  4 menjadi sumber hukum di Indonesia.

  Realitasnya, umat Islam merupakan jumlah mayoritas di negeri ini. Karenanya wajar jika harapan umat Islam pada umumnya menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif bagi umat Islam Indonesia. Hal ini didasarkan pada cara berpikir pandangan hidup dan karakter suatu bangsa tercermin dalam kebudayaan dan

  5 hukumnya.

  6 Menurut pakar hukum Islam di Indonesia, pembaharuan hukum Islam yang

  terjadi saat ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : pertama, untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab-kitab fikih tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum terhadap masalah yang baru terjadi itu sangat mendesak untuk ditetapkan. Kedua, pengaruh globalisasi ekonomi dan ilmu pengetahuan dan tekhnologi sehingga perlu ada aturan hukum 3 Ramlan Yusuf Rangkuti, Fiqih Kontemporer di Indonesia studi tentang Kompilasi Hukum

  Islam di Indonesia ( Medan : Pustaka Bangsa Press, 2010), hal. 44-45 4 Suparman Usman, Hukum Islam : Asas-asas Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata , (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001), hal. 122

  Hukum Indonesia 5 6 R. Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, cet.XII, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1993), hal.3 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 153-154 yang mengaturnya, terutama masalah-masalah yang belum ada aturan hukumnya. Ketiga, pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum Islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum Nasional. Keempat, pengaruh pembaharuan pemikiran hukum Islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid baik ditingkat Internasional maupun tingkat Nasional, terutama hal-hal yang

  7 menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

  Adanya faktor-faktor penyebab terjadinya pembaharuan hukum Islam sebagaimana tersebut diatas, mengakibatkan munculnya berbagai macam perubahan dalam tatanan sosial umat Islam, baik yang menyangkut ideologi, politik, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Faktor-faktor tersebut melahirkan sejumlah tantangan baru yang harus dijawab sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pembaharuan pemikiran hukum Islam. Untuk mengantisipasi masalah ini, maka

  Ijtihad

  tidak boleh berhenti dan harus terus menerus dilaksanakan untuk mencapai solusi terhadap berbagai masalah hukum baru yang sangat diperlukan oleh umat

8 Islam.

  Salah satu hukum Islam yang hingga sekarang masih berlaku dan diberlakukan di Indonesia khususnya bagi umat Islam adalah Hukum Waris atau yang disebut dengan Faraid. Hukum Waris Islam dianggap kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim. Ia dianggap sebagai compulsory law (dwingent

  9 recht ) yakni hukum yang berlaku secara mutlak dan baku. 7 8 Ramlan Yusuf Rangkuti, Op.Cit., hal. 45 9 Ibid . hal. 46

  Aminullah HM, Sekitar Formulasi Hukum Kewarisan dalam semangat Reaktualisasi Ajaran

, dalam Munawir Sjadzali, dk., Polemik Reaktualisasi (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1998), hal.

  Islam 164

  Konflik tentang hukum Waris Islam di Indonesia terutama antara kelompok Klasik dengan kalangan yang menamakan dirinya kelompok Modernis masih merupakan fenomena yang mengisi teks-teks hukum Waris Islam, walaupun dapat dipastikan doktrin fikih waris sunni pro Syafi’i yang banyak dianut dalam masyarakat muslim Indonesia. Terkait dengan kesejarahannya yang panjang sejak masuknya

10 Islam di Indonesia.

  Doktrin fikih waris sunni pro Syafi’i hingga sekarang masih mewarnai dan menjadi pedoman yuridis para Hakim di Pengadilan Agama. Kebutuhan akan adanya suatu buku bagi Pengadilan Agama sudah lama menjadi catatan dalam sejarah Departemen Agama dalam mencapai keseragaman dan rujukan hakim-hakim pada

11 Peradilan Agama.

  Berbagai polemik dalam hukum kewarisan Islam, terutama masalah penentuan dan bagian yang diterima oleh seorang ahli waris yang tidak diatur secara tegas atau pengaturannya secara garis besarnya dalam Al-Qur’an dan tidak ada penjelasan dari As Sunnah.

  Suatu terobosan yang dilakukan di Indonesia dengan tetap mendasari kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Ijtihad para ulama fikih terdahulu, untuk dijadikan sebagai pedoman dan acuan dalam menyelesaikan suatu masalah kewarisan disusunlah suatu buku Kompilasi Hukum Islam yang berlaku dengan Instruksi 10 Rahmat Djatnika, Sosialisasi Hukum Islam dan Kontroversi pemikiran Islam di Indonesia, Cet II, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 244. 11 Amir Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012), hal.1 Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, dan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 154 tahun 1991, tanggal 22 Juli 1991.

  Sebelumnya dalam penyelesaian masalah kewarisan di Indonesia memakai hukum kewarisan dalam mazhab Syafi’i dengan sistem patrilinial sesuai dengan Surat Edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama RI Nomor : B/1/735 tanggal 18 Februari 1958.

  Kompilasi Hukum Islam terdiri dari 3 (tiga) buku yaitu : 1) Buku I : Hukum Perkawinan 2) Buku II : Hukum Kewarisan 3) Buku III : Hukum Perwakafan Dalam KHI pengaturan tentang ahli waris dan bagian waris dimuat dalam buku II secara jelas dan yang merupakan ketentuan yang diatur dan diberlakunya ahli waris pengganti dalam pembagian warisan, yang selama ini dikenal dengan mazhab

  Syafi’i .

  Ahli waris pengganti pada dasarnya ahli waris karena penggantian, dapat diartikan sebagai orang-orang yang menjadi ahli waris karena orang tuanya yang berhak mendapat warisan meninggal lebih dahulu dari pada pewaris, sehingga kedudukannya digantikan olehnya.

  Pasal 185 KHI berbunyi : Ayat 1 : Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.

  Ayat 2 : bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Jika kita cermati bunyi Pasal 185 ayat 1 mengandung pengertian luas, yang sebelumnya para ahli fikih berbeda pendapat tentang kedudukan, jenis kelamin, hak yang diperoleh dan batasan bagian perolehan bagi mereka yang menjadi ahli waris pengganti. Dalam pasal tersebut semua perbedaan pendapat seperti diatas di akomodir menjadi satu pasal yang mengandung pengertian ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris dalam arti yang luas. Sistem kewarisan bilateral Hazairin dengan

  mawali-

  nya pada prinsipnya sama dengan ahli waris pengganti di dalam KHI dengan tidak meninggalkan sistem kewarisan patrilinial Syafi’i yang tidak mengenal adanya ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris dengan acuan dan dasar utama Al-Qur’an.

  Jadi dengan ada dan berlakunya Kompilasi Hukum Islam sebagai acuan dalam menyelesaikan masalah kewarisan di Indonesia khususnya dalam hal adanya/ tampilan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris sebagai yang mewaris bersama-sama dengan ahli waris lainnya.

  Hazairin

  mengemukakan bahwa hukum kewarisan Islam menganut sistem kewarisan Bilateral. Hal ini didasari dari penafsiran Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 11, dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa anak laki-laki dan anak perempuan mewarisi dari ibu bapaknya. Ayah dan ibu mewarisi dari anaknya laki-laki maupun anak perempuan. Ini menunjukkan bahwa hak mewaris bagi anak laki-laki dan anak perempuan sama, artinya baik laki-laki ataupun perempuan mewaris tanpa melihat apakah yang diwarisi itu laki-laki atau perempuan, apalagi kalau ayat ini dikaitkan dengan surat An-Nisa ayat 7 menunjukkan bahwa Al-Qur’an menghendaki sistem bilateral dalam bidang kewarisan. Jika mengenai persoalan cucu, maka konsistensi dengan ayat tersebut sangat penting, karena menurut Hazairin sistem kewarisan bilateral mempunyai konsekwensi untuk adanya sistem penggantian tempat ahli

  12 waris/ ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam.

  Penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti ditafsirkan dari ayat Al- Qur’an surat An-Nisa ayat 33 yang dikatakan sebagai ayat yang mendasari adanya ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris. Ahli waris menurut Al-Qur’an oleh Hazairin dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu : 1) Dzawu-al-faraid, 2) Dzawu al-qarabat, 3) Mawali.

  Dalam Al-Qur’an suart An-Nisa ayat 33 dijumpai kata mawali : “Wa likullin Ja’alna mawalia taraka walidani walaqrabuna, walladzina’aqadat’aimanukum, faatuhum nasibahum”.

  Hazairin

  menerjemahkan nasibahum sebagai bagian kewarisan yaitu sesuatu bagian dari harta peninggalan. Ayat ini menjelaskan bahwa nasib itu diberikan

  13 kepada mawali.

  Pewaris adalah ayah atau ibu atau aqrabun. Jika ayah atau ibu yang meninggal maka yang mewarisi dan seandainya anak atau salah seorang dari anaknya meningga lebih dahulu dari pewaris (ayah atau ibu) maka diberikan kepada cucu 12 13 Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, (Jakarta : Tintamas, 1960), hal. 7

  Ibid , hal. 29 sebagai mawali dari anak yang meninggal tadi, maksudnya mawali si anak tersebut ikut serta sebagai ahli waris terhadap harta pewaris (orang tua). Hubungan kewarisan yang menyebabkan si cucu menjadi ahli waris atas dasar pertalian darah antara si meninggal dengan mawali-nya (cucu) adalah hubungan si pewaris dengan keturunannya melalui mendiang anaknya yang sudah meninggal.

  Pemberlakuan hukum kewarisan Islam secara formil tersebut bukan berarti tidak dibenarkannya terjadinya pembagian harta warisan keluarga muslim diluar Pengadilan Agama yang bersifat non Litigasi didasarkan karena hukum kewarisan Islam dianggap sebagai hukum-hukum yang mengatur private atau keperdataan.

  Munculnya persoalan di Pengadilan Agama hanya terjadi jika ketidak sepakatan keluarga muslim dalam pembagian kewarisan yang mereka akan terima atau salah satu pihak di antara mereka tidak mau melaksanakan hukum kewarisan Islam. Pengadilan Agama akan menentukan bagian masing-masing ahli waris didasarkan pada pedoman dokumen yustisia berupa Kompilasi Hukum Islam yang termuat dalam Bab. II Ketentuan Hukum Kewarisan. Ada 22 pasal yang memuat ketentuan hukum Kewarisan yaitu pasal 171 sampai dengan pasal 193. Sedangkan pasal yang berhubungan erat dan memiliki pengaruh perhitungan dengan hukum kewarisan adalah tentang Wasiat yakni pasal 193 sampai dengan pasal 209. Sedangkan bahasan tentang Hibah dimulai dari pasal 210 sampai dengan pasal 214. Kompilasi Hukum Islam yang memuat hukum keluarga bagi umat Islam sebagian kecil masih menimbulkan pro dan kontra. Salah satunya menyangkut persoalan Ahli Waris Pengganti atau Penggantian Tempat Kedudukan Ahli Waris yang dalam Ilmu Hukum dikenal dengan Plaatsvervulling yang termuat dalam pasal 185 Kompilasi Hukum

14 Islam.

  Dalam kitab-kitab fikih atau buku-buku yang ditulis para Yuris Islam tidak mengenal sebutan Ahli Waris Pengganti ataupun Penggatian Tempat kedudukan ahli waris (plaatsvervulling) seperti yang tersebut dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam. Ini merupakan dekontruksi atas pendapat umum dalam hukum kewarisan Islam. Hukum Islam normatif, sebagaimana kebanyakan yang menjadi pendapat umum dikalangan ahli hukum kewarisan menentukan bagian masing-masing ahli waris berdasarkan apa yang tersebut dalam teks-teks Suci Al-Qur’an dan penguatan pengetahuan dari Hadist Nabi Muhammad SAW.

  Menurut kebanyakan para Yuris Islam, teks suci Al-Qur’an telah rinci menjelaskan tentang pembagian warisan bagi orang muslim. Mustahil ada celah untuk mempengaruhinya, baik secara sosiologis maupun filosofis. Ini berarti masalah kewarisan Islam dianggap kelompok ini sabagai hal yang final dan Qoth’i. Pengertian

  qoth’i

  maksudnya petunjuk yang telah jelas sebagai lawan zhonni yang artinya ada kesamaran. Kajian ushul fiqih untuk maksud tersebut diatas diistilahkan dengan

  Qoth’i al Dilalah

  (petujuk yang jelas maksudnya) dan Zhonni al Dilalah (petunjuk

  15 yang tidak jelas maksudnya).

  Memahami salah satu dari sekian ayat tentang hukum waris Islam dalam teks suci Al-Qur’an, hukum kewarisan Islam secara mendasar dipahami sebagai ekspresi 14

  . hal. 19-20 15 Ibid

  A. Sukris Sarmadi, Membangun Refleksi Nalar, Filsafat Hukum Islam Paradigmatik, (Yogyakarta : Pustaka Prisma, 2007), hal. 41 langsung dari teks-teks suci sebagaimana pula yang telah disepakati keberadaannya, bila dirincikan, sebagai berikut :

  1. Cara pembagian antara laki-laki dengan perempuan adalah berbanding 2 : 1 berdasarkan Q.S. An Nisa ayat 11;

  2. Anak perempuan yang berjumlah lebih dari dua orang, secara kolektif memperoleh bagian dua pertiga dan jika ia hanya seorang saja akan mendapatkan bagian seperdua, berdasarkan Q.S. An Nisa ayat 11;

  3. Ayah dan Ibu mendapatkan seperenam bagian jika pewaris memiliki anak. Jika pewaris tidak memiliki anak, maka bagian ibu menjadi sepertiga kecuali jika pewaris walaupun tidak punya anak tetapi punya saudara-saudara maka ia hanya memperoleh seperenam, berdasarkan Q.S. An Nisa ayat 11;

  4. Harta warisan adalah bagian harta sisa setelah harta peninggalan pewaris dibayarkan untuk wasiat dan segala utangnya jika ada, berdasarkan Q.S.An.Nisa ayat 11;

  5. Suami memperoleh seperdua dari istrinya yang meninggal dunia (pewaris) jika mereka tidak mempunyai anak dan jika mempunyai anak maka bagiannya menjadi seperempat, berdasarkan Q.S.An Nisa ayat 12;

  6. Istri akan memperoleh seperempat dari suaminya yang meninggal (pewaris) jika suami tidak mempunyai anak, tetapi ia akan memperoleh seperdelapan jika mempunyai anak, berdasarkan Q.S. An Nisa ayat 12;

  7. Ahli Waris, apabila hanya ada seorang saudara laki-laki atau saudara perempuan saja dari mayit (pewaris) tanpa adanya ayah dan anak dari pewaris maka masing- masing mereka memperoleh seperenam dan jika mereka lebih dari seorang, secara kolektif mereka memperoleh sepertiga, berdasarkan Q.S An Nisa ayat 12;

  8. Pewaris yang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudara perempuan tersebut memperoleh dua pertiga. Apabila mereka dua orang atau lebih maka akan memperoleh dua pertiga berbagi sesama mereka. Teknis ini terjadi pula jika pewaris meninggalkan saudara laki-laki maka ia akan berbilang, lelaki dan perempuan, mereka memperolehnya secara kolektif dengan perbandingan untuk seorang lelaki seumpama seorang perempuan, berdasarkan Q.S An Nisa ayat 176.

  Berdasarkan pendapat umum dalam hukum Islam yang dipahami dari ayat- ayat diatas, tidak ada istilah Ahli waris pengganti ataupun penggantian tempat ahli waris (plaatsvervulling). Seseorang memperoleh hak waris dikarenakan ditentukan dalam hukum itu sendiri berhak menerima waris dengan bagian yang berbeda-beda. Misalnya tentang anak-anak memperoleh hak bagi anak lelaki dua kali lipat dari anak perempuan, jika anak lelaki sendirian atau bersama dengan anak lelaki lain maka mereka mendapat ushubah yakni menghabiskan semua sisa harta. Sedangkan anak perempuan memperoleh ½ bila sendirian tanpa anak lelaki.

  Anak-anak pancar lelaki (para cucu pancar lelaki) memperoleh ushubah (mengambil semua sisa) jika sipewaris tidak mempunyai anak dan tidak ada ahli waris lain. Jika ia bersama dengan cucu lelaki pancar lelaki lain maka ia berbagi sama dan jika bersama dengan cucu perempuan pancar lelaki, maka cucu lelaki pancar lelaki memperoleh dua bagian (2 : 1).

  16

  sedangkan cucu perempuan pancar lelaki memperoleh bagian separoh (1/2) bila ia hanya sendirian dan 2/3 bila ia dua orang atau lebih. Jika ia bersama dengan cucu lelaki pancar lelaki maka ia peroleh bagian separoh dari saudaranya lelaki (cucu pancar lelaki).

  17 Pemahaman terhadap anak lelaki dan anak perempuan pewaris dengan metode

  berfikir qias (analogi). Mereka juga memperkuat pendapat tersebut dengan dasar pendapat Ibnu Mas’ud, RA (sahabat Rasulullah SAW) yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad, SAW memahamkan demikian, yang artinya sebagai berikut :

  “Huzail Ibnu Surajil berkata, ditanyai Abu Musa tentang anak perempuan, cucu perempuan pancar lelaki dan saudara perempuan kandung maka Abu Musa berkata bahwa anak perempuan memperoleh ½ dan saudara perempuan 1/2. lalu aku datang kepada Ibnu Mas’ud RA maka ditanyakan kepadanya, lalu Ibnu Mas’ud RA mengabarkan perkataan Abu Musa RA berkata, sungguh aku sesat jika tidak termasuk orang yang diberi petunjuk, aku memutus dengan apa yang diputus oleh Nabi Muhammad, SAW yaitu anak perempuan ½, cucu perempuan pancar lelaki 1/6 sebagai penyempurna dua pertiga dan sisanya untuk saudara perempuan. Maka aku datang kepada Abu Musa berkata, aku tidak pernah ditanyai tentang itu selama ini.” H.R.Bukhari

  18 Selanjutnya tentang cucu lelaki atau perempuan pancar perempuan, mereka

  dianggap tidak berhak atas waris bila masih ada far’u waris berupa ashabul furud (orang-orang yang telah ditentukan bagiannya) dan ashoba (orang yang mengahabisi sisa). Mereka digolongkan termasuk sebagai dzawil arham yakni golongan yang

  16 Fathurrahman, Ilmu Waris, Cet. II, (Bandung : Al Ma’arif, 1981), hal. 196. 17 Ibid , 174. 18 Hadist Bukhari no. 6239, lihat Kutubus Sittah, 1991-1997, Mau suatu al Hadist al syarif, Global Islamic Software Company : Jami’i al Huquq mahfudzah lisirkati al Baramij al Islamiyati al daulati

  . Sebagian pendapat kontra menganggap hadist ini adalah bukan dari Nabi Muhammad SAW, tetapi hanya merupakan pendapat dari sahabat Ibnu Mas’ud dan Abu Musa.

  19

  bukan ashabul furud dan asobah. alasan umum pendapat mereka adalah bahwa cucu perempuan pancar perempuan tidak dibicarakan dalam teks-teks Al-Qur’an.

  Kelompok ini di sponsori oleh mayoritas jumhur ulama dan madzab sunni (terutama imam 4 madzab). Artinya, tidak ditemukan ada istilah ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris sebab orang-orang tertentu berhak atas suatu fard (perolehan bagian waris) yang disebut dengan ashabul furud dan ashobah.

  Sedangakan dzawil arham adalah orang yang memperoleh hak dikarena kan tidak ada

  ashabul furud dan ashobah.

  Pendapat tersebut ditentang oleh sebagian tokoh Islam. Beberapa buku waris mempersoalkannya. Mereka lebih memahami bahwa para cucu, baik laki-laki maupun perempuan pancar perempuan berhak memperoleh bagian sebagaimana hak para cucu pancar lelaki. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Syiah. Mereka tidak boleh dibedakan. Mereka bukan anak pisang terbalik seperti anak pisang

20 Minangkabau.

  Berdasarkan adanya istilah ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris memungkinkan terjadinya penafsiran. Hukum tidak mutlak digerakkan oleh hukum positif atau hukum peraturan perundang-undangan, tetapi hukum progresif juga bergerak pada arah non-formal. Jika peraturan masih terlihat kurang baik, hakim harus berupaya melakukan interpretasi progresifnya sedemikian rupa yaitu dengan hati nurani, melihat hukum bukan hanya dalam dataran yang tertulis dari teks 19 20 Fathurrahman, Op Cit. hal. 351-362 Sajuti Thalib, 2002. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Cet. VII, (Jakarta: Sinar

  Grafika), hal.157 formalnya tetapi juga pada teks non formal. Disini hukum dibaca secara kontekstual, bukan secara tekstual, sehingga berani keluar dari hal-hal yang bersifat prosedural dan mencari serta menemukan hakikat dari suatu peraturan, Pada akhirnya akan terbaca teks hukum secara kontekstual, filosofis, sosiologis dan yuridis di mana suatu teks hukum selalu menyatakan lebih dari yang dimaksudkan yang tidak lain untuk tujuan kemaslahatan, kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat.

  Hukum akan terlibat dalam bentuknya yang asli yaitu hukum progresif. Seperti dalam analisis hukum penggantian tempat ahli waris/ahli waris pengganti, kesan yang bisa diambil secara substansif merupakan pemikiran untuk dan agar cucu pancar perempuan akan memperoleh haknya yang berbeda dengan pendapat umum dalam hukum waris. Bisa jadi merupakan wajah lama yang muncul dalam istilah baru atau pendapat yang menentang sistem pendapat kaum klasik selama ini yang banyak mengisi buku-buku waris Islam. Jelasnya, terjadi dekontruksi hukum kewarisan Islam yang selama ini telah dianggap preskriptif yang tak dapat dirubah.

  Secara historis, ada beberapa problem hukum waris yang menjadi polemik para yuris klasik karena nas tentangnya tidak tegas. Kenyataannya demikian, munculnya hukum waris aliran madzhab hukum Sunni dan Syiah serta perbedaan- perbedaan lainnya antar kalangan mereka tentang berbagai hal mengenai kewarisan secara tidak langsung mendukung pendapat di kalangan tertentu yang menginginkan adanya pembaharuan hukum waris. Pendapat ini pada kenyataannya banyak ditentang

  21 oleh para yuris Islam di dunia maupun di Indonesia.

  Allah SWT menjadikan mawali bagi seseorang (si fulan) bukanlah sia-sia, tetapi ada maksudnya. Harta itu memang bukan untuk si fulan, karena dia sendiri telah meninggal dunia terlebih dahulu sebelum si pewaris meninggal. Tetapi bahagian yang diperolehnya seandainya dia masih hidup pada saat si pewaris mewariskan harta peninggalannya akan dibagi-bagikan kepada mawalinya itu, mereka bukan sebagai ahli waris si fulan, tetapi sebagai ahli waris dari yang mewariskan kepada si fulan tersebut, misalnya bapak atau ibu si fulan tersebut. Pengertian tersebut tergambar bagi seorang bapak atau ibu yang diwarisi oleh anak-anaknya bersama-sama dengan

  mawali

  bagi anak-anaknya yang telah lebih dahulu meninggal. Bisa saja terjadi pengertian lain, seperti bagi seorang bapak atau ibu yang hanya diwarisi oleh mawali

  22 untuk anak-anaknya yang semuanya telah meninggal terlebih dahulu.

  Wasiat wajibah

  adalah kata mejemuk terdiri dari dua kata, yaitu wasiat dan

  

wajibah . Kata wasiat berasal dari bahasa Arab dapat berarti membuat wasiat atau

  23

  berwasiat, dan terkadang dipergunakan untuk sesuatu yang diwasiatkan. Kata

  wajibah

  merupakan istilah fikih, yang berasal dari kata wajib yang telah mendapat

  24

  penambahan ta ta’nis. Zaki Sya’ban menyebut pengertian wajib itu : Yang terjemahannya “Sesuatu perbuatan yang diperintahkan Allah SWT, untuk melaksanakannya secara keharusan, baik dia diperoleh dari kata perintah itu sendiri 21 Yahya Harahap, Praktek Hukum Waris Tidak Pantas Membuat Generalisasi, dalam

  Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam , (Jakarta: Pustaka Panjimas,1988), hal. 139 22 23 Hazairin 2, Op.Cit, hal. 29-31 24 Louis Ma’luf, Al-Munjid, Op. Cit, hal. 904.

  Zaki al-Din Sya’ban dalam A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif , (Jakarta : Rajawali Pers), hal. 9,10.

  (amar) atau dari tanda-tanda lain yang dapat dipahami sebagai perintah. Dari pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa wasiat wajibah adalah sesuatu perintah syar’i (Allah SWT) yang merupakan keharusan untuk mentasaruffkan peninggalan yang ditangguhkan waktunya sampai setelah terjadinya kematian.

  Menurut Fatchurrahman, yang dimaksud wasiat wajibah adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberikan putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal,

  25 yang diberikan kepada orang-orang tertentu, dalam keadaantertentu.

  Seiring demikian, adanya pasal 185 dalam Kompilasi Hukum Islam dengan menyebut penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti sangatlah menarik dicermati dan diteliti. Pertanyaan seperti Bagaimana Konsep penggantian ahli waris pengganti dalam Hukum Kewarisan Islam, Bagaimana penerapan Kompilasi Hukum Islam dalam kasus ahli waris pengganti serta hambatan – hambatan apa saja yang dihadapi dalam penerapan Kompilasi Hukum Islam. Penelitian diharapkan dapat menemukan hukum yang berkaitan dengan penggatian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti, baik dari segi normatif, filosofis keadilan maupun sosiologisnya, untuk kepentingan khazanah pengetahuan hukum pada umumnya khususnya di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe.

B. Perumusan Masalah.

  Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :

  1. Bagaimana konsep ahli waris pengganti dalam Hukum Kewarisan Islam ? 25 Fatchurrahman, Ilmu Waris, (Bandung : PT. Alma’arif, 1981). Hal 63.

  2. Bagaimana Penerapan KHI dalam kasus ahli waris pengganti di Masyarakat Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe ?

  3. Hambatan apa saja yang dihadapi dalam penerapan KHI dalam Kasus ahli waris pengganti di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe ?

  C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan rumusan masalah sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

  1. Untuk mengetahui dan menganalisis konsep ahli waris pengganti dalam Hukum Kewarisan Islam.

  2. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana penerapan KHI dalam kasus ahli waris pengganti di Masyarakat Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe.

  3. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan apa yang dihadapi dalam penerapan KHI pada kasus ahli waris pengganti di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe.

  D. Manfaat Penelitian

  Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis dan secara praktis, yaitu :

1. Secara Teoritis

  Secara Teoritis, diharapkan dengan adanya pembahasan mengenai penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe dapat menambah wawasan berfikir dan kajian pembaca mengenai aturan penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti dan besarnya bagian warisan terhadap penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti tersebut.

2. Secara Praktis

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan menjadi bahan masukan, bagi para Hakim, Tokoh Ulama, Tokoh Adat, Cendikiawan Muslim, Notaris, Akademisi, Pengacara serta Mahasiswa dalam menyelesaikan perselisihan mengenai penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti dan besarnya bagian yang bisa diberikan kepada penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti tersebut di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe.

E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang khususnya dilingkungan Universitas Sumatera Utara, menunjukkan bahwa penelitian dengan Judul “ Analisis Yuridis Penerapan KHI dalam Penggantian Tempat Ahli Waris pada Masayarakat Aceh di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe”. Ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya , namun ada satu yang membahas mengenai Munasakhah, yaitu yang diteliti oleh :

  Sri Isnaida, NIM 107011070, Mahasiswi Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara tahun 2010, berjudul Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan Munasakhah Dalam Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Kasus Penetapan Pengadilan Agama Medan No. 77/Pdt.P/2009/PA Mdn).

  Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah : 1. Bagaimanakah menetapkan ahli waris dalam keadaaan Munasakhah.

  2. Bagaimana Menyelesaikan Kasus Munasakhah.

  3. Apakah yang menjadi dasar-dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan kasus Munasakhah dalam penetapan Pengadilan Agama Medan No.

  77/Pdt.P/2009/PA. Mdn. Dengan demikian penelitian ini dapat disebut asli dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan objektif serta terbuka.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Teori adalah merupakan suatu prinsip yang dibangun dan dikembangkan melalui proses penelitian yang dimaksud untuk memberikan gambaran dan

  26

  menjelaskan suatu masalah. Menurut Neuman “ Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstarksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memandatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah

  27

  cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.” Dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pengertian teori adalah :

  1. Pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi.

  2. Penyelidikan eksperiment yang mampu menghasilkan fakta berdasarkan ilmu

  28 pasti, logika, metodologi dan argumentasi. 26 R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, (Bandung : PT. Reflika Aditama, 2004), hal 21 27 28 W.L. Neuman, Social Research Methods, (Allyn dan Bacon, London, 2004), Cet 6, hal.20 Pusat bahasa Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta;

  Balai Pustaka, 2002), hal. 1177.

  Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pedoman dan

  29

  petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati. Sedangkan kerangkat teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, mengenai suatu permasalahan

  30 yang menjadi dasar pertimbangan atau pegangan teoritis.

  Teori dipergunakan untuk menjelaskan secara teoritis antara variable yang sudah diputuskan untuk diteliti khususnya hubungan antara variable bebas (independent) dan variable tak bebas (dependent). Telaah teoritis dan temuan penelitian yang relevan berfungsi menjelaskan permasalahan dan menegakkan

  31

  prediksi dan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian. Dalam penelitian ini menggunakan teori keadilan yang dipergunakan sebagai pisau analisis (grand

  theory

  ) penelitian ini juga didukung dengan teori Maslahat Mursalah serta teori positif dan teori kepastian hukum. Teori-teori ini mempunyai nilai sangat penting dalam memecahkan masalah dan mempunyai keterkaitan satu sama lainnya.

  Teori keadilan diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengatualisasikannya. Yang kemudian oleh John Rawls yang hidup pada awal abad

29 Lexy Meleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remma Rosdakarya, 2002),

  hal. 35 30 31 M. Soly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, ( Bandung : CV. Mandar Maju, 1994), hal. 27

Agusri Pasaribu, Metodelogi Nomotetik dan Idiografi serta Triangalasi, (Medan :

Perpustakaan USU, 1998), hal. 7

  32 Rawls

  21 lebih menekankan pada keadilan sosial, melihat kepentingan utama keadilan adalah :

  1. Jaminan stabilitas hidup, dan; 2. Keseimbangan kehidupan pribadi dan kehidupan bersama.

  Teori keadilan dalam hukum Islam, persyaratan adil sangat menentukan besar atau tidaknya dan sah atau batalnya suatu pelaksanaan hukum. Umpamanya dalam kewarisan, sebagaimana dikemukakan oleh Husanain Muhammad Makhluf, ahli Fikih Kontemporer asal Mesir, bahwa Islam mensyariatkan aturan hukum yang adil karena menyangkut penetapan hak milik seseorang, yakni hak yang harus dimiliki seseorang

  33 sebagai ahli waris dengan sebab meninggalnya seseorang yang lain.

  Disini akan terjadi pemindahan pemilikan harta dari yang meninggal kepada ahli warisnya (mustahik) harus adil, tidak boleh berlaku aniaya atau pengurangan yang satu untuk ditambahkan kepada bagian yang lain. Ini semua telah diatur oleh agama, seperti warisan yang diperoleh bagian laki-laki adalah dua bagian dari bagian perempuan, atau suami memperoleh setengah harta warisan jika istri yang meninggal tidak mempunyai anak, dan seterusnya (QS.An-Nisa : 11-12, dan 176). Ini merupakan ketentuan atau keadilan dari Allah SWT dan siapa yang mematuhinya akan masuk syurga (QS.An-Nisa : 13).

  Salah satu asas penting dalam sistem kewarisan dalam hukum Islam adalah asas keadilan berimbang, yang maksudnya adalah seseorang akan memperoleh hak

32 John Rawls, Modern Jurisprudensi, (Kuala Lumpur : Internasional Law Book Review,

  1994), hal. 278 33 Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung : Citapustaka Media Perintis, 2013), hal. 106 dalam harta kewarisan seimbang dengan kepercayaannya. Salah satu bentuk keadilan berimbang ini dapat dilihat pada kasus Aul dan Radd.

  Contoh lain, kasus ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris, berdasarkan asas keadilan berimbang ini, bila seorang cucu yang secara kebetulan ayahnya terlebih dahulu meninggal dunia dari kakek, dan pamannya, kehidupannya sudah terlunta-lunta, lantas tidak diberikan pula harta warisan dari kakeknya

  34 kepadanya.

  Keadilan dalam warisan tidak berarti membagi sama harta warisan semua ahli waris, tetapi berpihak kepada kebenaran sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an. Jika laki-laki memperoleh lebih banyak dari perempuan ini terkait dengan tanggung jawab laki-laki yang lebih besar daripada perempuan untuk membiayai rumah tangganya.

  Disamping teori keadilan diatas, juga digunakan teori Maslahat Mursalah Untuk menjamin proses penegakan hukum waris Islam di kalangan umat muslim, teori maslahat mursalah dapat digunakan sebagai teori aplikasi, terutama kaitannya dengan ahli waris pengganti/ Penggantian tempat ahli waris menurut hukum Islam.

  Maslahat, atau dalam bahasa Arab biasa disebut al-mashlahah, artinya adalah

  35

  manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. istilah ini dikemukakan ulama Ushul Fikih dalam membahas metode yang dipergunakan saat melakukan

  istinbath (menetapkan hukum berdasarkan dalil-dalil yang terdapat pada nash).

  34 35 Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, (Medan : Magister Kenotariatan, 2011), hal. 17

Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung :

Citapustaka Media Perintis, 2013), hal. 36

  Keberadaan maslahat menurut syarak, Mustafa asy-Syalabi membaginya sebagai berikut :

  1. Kemaslahatan yang didukung oleh syarak. Artinya ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.

  Misalnya, hukuman bagi orang-orang yang meminum minuman keras yang terdapat dalam hadist Rasulullah SAW ketika melaksanakan hukuman bagi orang yang meminum minuman keras.

  2. Kemaslahatan yang ditolak oleh syarak, karena bertentangan dengan ketentuan syarak.

  Misalnya, syarak menenunkan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari dalam bulan Ramadhan dikenakan hukuman memerdekakan budak, atau puasa selama dua bulan berturut-turut, atau memberi makan bagi enam puluh fakir miskin (HR Bukhari dan Muslim).

  Yahya bin Yahya al-laitsi

  , ahli fikih mazhab maliki di Spanyol, menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut bagi seseorang (penguasa Spanyol) yang melakukan hubungan seksual dengan istrinya disiang hari dalam bulan Ramadhan. Ulama memandang hukum ini bertentangan dengan hadist Rasulullah SAW diatas, karena bentuk-bentuk hukuman itu harus diterapkan secara berurut. Apabila tidak mampu memerdekakan budak, baru dikenakan puasa dua bulan berturut-turut. Karenanya, ulama Ushul Fikih memandang mendahulukan hukuman puasa dua bulan berturut-turut dari memerdekakan budak merupakan kemaslahatan yang bertentangan dengan kehendak syarak, sehingga hukumannya batal (ditolak) syarak. Kemaslahatan seperti ini menurut kesepakatan ulama di sebut al-mashlahah al-mulghah.

  3. Kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syarak dan tidak pula dibatalkan (ditolak) syarak melalui dalil yang rinci. Kemaslahatan dalam bentuk ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

  a. Kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syarak, baik secara rinci maupun secara umum, dan b. Kemaslahatan yang tidak ada dukungan dari syarak secara rinci, tetapi didukung oleh makna sejumlah nash.

  Kemaslahatan yang pertama disebut dengan al-mashlahah al-Gharibah (kemaslahatan yang asing), namun para ulama tidak dapat mengemukakan contoh secara pasti. Bahkan Imam asy-Syatibi menyatakan bahwa kemaslahatan seperti ini

  36 tidak ditemukan dalam praktek, sekalipun ada teori.

  Sedangkan kemaslahatan dalam bentuk kedua disebut al-mashlahah al-

  mursalah

  . Kemaslahatan ini didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat dan hadist) bukan nash yang rinci.

  Ulama ushul fikih sepakat menyatakan bahwa al-mashlahah al-mu’tabarah dapat dijadikan sebagai hujjah (alasan) dalam menetapkan hukum Islam.

  Kemaslahatan seperti ini termasuk metode Qiyas. Mereka juga sepakat menyatakan bahwa al-mashlahah al-mulghah tidak dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum Islam, demikian juga dengan al-mashlahah al-Gharibah, karena tidak

  37 ditemukan dalam praktek.

  Adapun terhadap kehujjahan al-mashlahah al-mursalah, pada prinsipnya jumhur ulama mazhab menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syarak, sekalipun dalam menentukan syarak, penerapan, dan penempatannya, mereka berbeda pendapat.

  Untuk bisa menjadikan al-mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, mazhab Maliki dan Hambali mensyaratkan tiga hal, yaitu :

  1. Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syarak, dan termasuk ke dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash secara umum.

  2. Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan melalui al-maslahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak 36 kemudharatan.

  , hal. 43 37 Ibid HA Djazuli,Ushul Fiqh: Metode Hukum Islam, (Jakarta, Rajawali Press, 2001), hal. 185

  3. Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.

  38 Al-Ghazali

  , bahkan secara luas dalam kitab Ushul Fiqihnya, membahas permasalahan al-maslahah al-mursalah. Ada beberapa syarat yang dikemukakan terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam melakukan istinbath, yaitu: 1. Maslahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syarak.

  2. Maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syarak.

  3. Maslahah itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang ad-Dharuriyah, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak.

39 Untuk syarat yang terakhir, al-Ghazali juga menyatakan bahwa yang al-

  hajiyyah , baik menyangkut kepentingan orang banyak bisa menjadi ad-Dharuriyah.

  Berdasarkan uraian diatas, Pemberian warisan kepada cucu sebagai ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris termasuk dalam kategori Mashlahah al-

  Mursalah

  karena tidak disebutkan secara rinci dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan tidak ada pula ada ayat dan hadist yang bertentangan dengan konsep ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris tersebut.

  Digunakan pula teori positif dalam penulisan ini juga, yaitu sebagaimana yang dipelopori oleh Jhon Austin. Hukum itu sebagai a command of the law giver (perintah dari pembentuk hidup terhadap atu penguasa) yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu system yang logis, tetap dan bersifat tertutup (close logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik 38 Zamakhsyari, Op.Cit, hal 46 39 Ibid, hal. 47

  40

  buruk. Yang dinamakan sebagai hukum mengandung didalamnya suatu perintah, sanksi kewajiban dan kedaulatan.

  Sedangkan Teori Kepastian Hukum di Indonesia sebagai negara yang berlandaskan hukum sedang mengalami masa transisi, yaitu sedang terjadi perubahan nilai-nilai dalam masyarakat dari nilai-nilai tradisional ke nilai-nilai

  41

  modern. Namun, masih terjadi persoalan nilai-nilai manakah yang hendak ditinggalkan dan nilai-nilai baru yang akan menggantikannya, sudah barang tentu dalam proses perubahan ini akan banyak dihadapi hambatan-hambatan yang kadang- kadang akan menimbulkan keresahan-keresahan maupun kegoncangan di dalam masyarakat.

  Mochtar Kusumaatmadja

  misalnya, mengemukakan beberapa hambatan utama seperti jika yang akan diubah itu identik dengan kepribadian nasional, sikap golongan intelektual dan pimpinan masyarakat yang tidak mempraktekkan nilai-nilai yang dianjurkan disamping sifat heterogenitas bangsa Indonesia, baik yang tingkat

  42 kemajuannya, agama serta bahasanya yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya.

  Menurut Roscoe Pound salah seorang pendukung Socialogical Jurisprudence menyatakan, hukum dapat berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat (law as a

  43 tool of social engineering ), tidak hanya sekedar melestarikan status quo.

  40 Lili Rasyidi dan Ina Thania Rasyidi, Pengantar Filasafat Hukum, (Bandung : Mandar Maju, 2002), hal. 55 41 42 Ibid . hal. 20

  

Kuntjaraningrat, Pergeseran Nilai-nilai Budaya dalam Masa Transisi termuat dalam

Simposium Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa Transisi , (Badan Pembinaan Hukum Nasional,

Banacipta, 2009), hal. 25 43 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, pokok-poko Filsafat Huku, Apa dan Bagaimana Filsafat

  Hukum Indonesia , (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 197

  Kepastian hukum mengandung dua pengertian, pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam Undang- undang. Melainkan juga konsistensi dalam putusan hakim untuk kasus serupa yang

  44 telah diputus.

  Kepastian hukum adalah merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh

  45 sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.

  Menurut Scheltema, adanya unsur-unsur dalam kepastian hukum, meliputi :

  1. Asas legalitas;

  2. Adanya undang-undang yang mengatur tindakan yang berwenang sedemikian rupa, sehingga warga dapat mengetahui apa yang diharapkan;

  3. Undang-undang tidak boleh berlaku surut;

  46 4. Pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan yang lain.

44 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana Predana Media Group,

  2008), hal. 158 45 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 1999), hal. 145 46 Ida Bagus Putu Kumara Ady Adyana, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam Materi , (Malang; Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Muatan Peraturan Perundang-undangan Hukum, Universitas Brawijaya, 2010), hal. 95

2. Konsepsi

  Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang

  47 digeneralisasikan dari hal yang berbentuk khusus.

  Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan antara teori dan observasi, antara abstraksi

  48 dengan realitas.