Biologi Serangga Penyerbuk (Elaeidobius kamerunicus Faust) (Coleoptera : Curculionidae) Pada Tanaman Kelapa Sawit di Daerah Dataran Tinggi Chapter III V
12
BAHAN DAN METODA
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian
ini
dilaksanakan
di
perkebunan
kelapa
sawit
PT. Perkebunan Nusantara IV Bah Birung Ulu dan Laboratorium Entomologis
Hama dan Penyakit Tanaman Pusat Penelitian Kelapa Sawit Unit Marihat.
Ketinggian kebun Bah Birung Ulu berkisar 600-1100 m dpl pada bulan
November 2016 sampai April 2017 dengan rata - rata Suhu 23,75 ± 0,07 o C dan
kelembaban 76 ± 0,41 %.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bunga jantan pada
tanaman kelapa sawit yang belum mekar (anthesis), serangga penyerbuk
E. kamerunicus jantan dan betina yang baru saja keluar dari pupa, kapas,
karet gelang, kertas label, tissue dan alkohol.
Alat – alat yang digunakan adalah penyungkup Agrivek bag, karet ban,
kantung, botol film, termohidrograf, jarum suntik, pisau cutter, gunting tanaman,
kamera, penjepit, jarum kait, mikroskop, kotak Hacth and Carry, alat tulis dan
sebagainya yang diperlukan dalam penelitian.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif yaitu
mengamati secara langsung siklus hidup E. kamerunicus dengan mengamati setiap
stadia E. kamerunicus yang diambil langsung dari perkebunan kelapa sawit
PT. Perkebunan Nusantara IV Bah Birung Ulu yang berada di daerah dataran
tinggi pada ketinggian 1100 m dpl.
Universitas Sumatera Utara
13
Persiapan Penelitian
Penyediaan Serangga E. kamerunicus
Serangga yang digunakan diperoleh dari perkebunan kelapa sawit
PT. Perkebunan Nusantara IV Bah Birung Ulu dan serangga yang baru saja keluar
dari pupa, pengambilan serangga di lapangan dilakukan secara berikut:
Pencarian bunga jantan kelapa sawit yang telah lewat mekar (post-anthesis)
yang dicirikan dengan bunga yang mulai layu dan ditumbuhi jamur yang
didalamnya terdapat larva atau pupa serangga E. kamerunicus kemudian bunga
tersebut dipotong dan diletakkan kedalam kotak Hacth and Carry, bunga tersebut
diamati untuk mendapatkan serangga berumur 3 hari dan belum kawin yang
keluar dari dalam bunga kelapa sawit sebagai bahan untuk penelitian.
Penyediaan Bunga Jantan
Mencari 3 bunga jantan yang belum mekar di lapangan dari lokasi yang
sama dengan tempat E. kamerunicus diambil, kemudian bunga tersebut dihitung
jumlah spikeletnya dan dipotong setiap spikelet menjadi setengah bagian dengan
menggunakan gunting tanaman yang tajam setelah itu bunga tersebut disungkup
dengan menggunakan kertas penyungkup Agrivak, hingga bunga mekar. Hal ini
dilakukan untuk menjaga bunga tetap steril dari E. kamerunicus.
Pelaksanaan Penelitian
Stadium telur, larva, pupa dan imago E. kamerunicus
Dimasukkan 100 pasang serangga jantan dan betina berumur 3 hari yang
masih steril ke dalam sungkupan bunga jantan kelapa sawit yang telah mekar
kemudian bunga jantan kelapa sawit disungkup kembali. Hari berikutnya
dilakukan pengambilan spikelet pada tiap - tiap tandan bunga jantan kelapa sawit
Universitas Sumatera Utara
14
masing - masing 3 spikelet setiap hari dan dibuka masing – masing spikelet yang
diambil untuk melihat perkembangan siklus mulai telur, larva, pupa, hingga
imago. Telur, larva, pupa dan imago yang diperoleh diletakkan kedalam botol film
yang berisi alkohol 70 % sebanyak 4 ml agar tubuhnya tidak rusak dan dapat
diamati. Pengambilan spikelet dilakukan setiap hari sampai spikelet yang berada
didalam sungkupan tersebut habis.
Keperidian E. kamerunicus
Penyediaan Pakan
Mencari 1 bunga jantan yang belum mekar di lapangan dari lokasi yang
sama dengan tempat E. kamerunicus diambil, kemudian bunga tersebut disungkup
dengan menggunakan kertas penyungkup terilen Agrivak, hingga bunga mekar.
Hal ini dilakukan untuk menjaga bunga tetap steril dari E. kamerunicus dan ketika
bunga jantan mekar akan digunakan sebagai pakan dan tempat meletakkan telur,
penyungkupan dilakukan setiap 3 hari sekali karena bunga jantan kelapa sawit
mekar hanya selama 4 – 5 hari.
Penyediaan E. kamerunicus
Pencarian bunga jantan kelapa sawit yang telah lewat mekar yang
didalamnya terdapat larva atau pupa serangga E. kamerunicus kemudian bunga
tersebut dipotong dan diletakkan kedalam kotak Hacth and Carry. Bunga tersebut
diamati untuk mendapatkan serangga berumur 3 hari dan belum kawin yang
keluar dari dalam bunga kelapa sawit sebagai bahan untuk penelitian.
Serangga diambil sebanyak 25 pasang, dimasukkan ke dalam 5 kantong
sebanyak 5 pasang/kantong, kemudian dimasukkan pada tiap kantong potongan
spikelet bunga jantan yang disungkup tersebut telah mekar sebagai pakan dan
Universitas Sumatera Utara
15
tempat meletakkan telur. Setiap hari potongan spikelet bunga kelapa sawit diambil
dari dalam kantong dan diganti dengan potongan spikelet bunga yang baru. Bunga
kelapa sawit tersebut dibuka satu persatu dan dihitung jumlah telur yang
dihasilkan sampai betina mati dan dihitung serangga jantan ataupun betina yang
mati setiap harinya.
Peubah Amatan
Stadium telur, larva, pupa dan imago E. kamerunicus
Pengamatan terhadap stadium telur, larva, pupa dan imago dilakukan di
bawah mikroskop. Pengamatan meliputi warna, ukuran tubuh, dan umur setiap
stadia. Masing –masing sebanyak 40 sampel.
Siklus Hidup E. kamerunicus
Pengamatan terhadap siklus hidup dilakukan dengan menghitung berapa
hari sejak telur sampai imago dan masa praoviposisi (masa sebelum meletakkan
telur).
Keperidian E. kamerunicus
Pengamatan meliputi lama kopulasi dan jumlah telur selama hidup
serangga betina. Pengamatan dilakukan sampai serangga tersebut mati.
Data pendukung
Data pendukung yang diamati dalam penelitian ini adalah pengukuran
suhu (
o
C) dengan menggunakan Thermohigrometer. Pengukuran dilakukan di
lokasi penelitian yaitu pada ketinggian 1100 m dpl. Pengamatan dilakukan setiap
hari pukul 08.00 – 12.00
Universitas Sumatera Utara
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Stadia Telur, Larva, Pupa dan Imago E. kamerunicus
Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangga penyerbuk kelapa sawit
E. kamerunicus merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna
(holometabola) yaitu mulai dari telur (Gambar 1), larva (Gambar 2), pupa
(Gambar 3) dan imago (Gambar 4).
Waktu yang diperlukan untuk perkembangan serangga dari telur sampai
menjadi imago 16,66 ± 3,05 hari. Rincian waktu yang diperlukan pada tiap – tiap
fase tercantum pada Tabel 1 dan Lampiran 1.
Tabel 1. Lama hidup masing – masing stadia E. kamerunicus
Stadia
Rata-rata (Hari)
Telur
2,33 ± 0,57
Larva instar 1
2 ± 1,73
Larva instar 2
5±1
Larva instar 3
2,66 ± 1,15
Pupa
4,66 ± 0,57
Imago Jantan
10,72 ±1,4
Imago Betina
14,44 ± 1,35
Ukuran rata – rata masing – masing stadia mulai dari telur sampai imago
dapat dilihat pada Tabel 2. Rincian masing – masing ukuran dapat dilihat pada
Lampiran 2.
Tabel 2. Ukuran masing- masing stadia E. kamerunicus
Rata – rata (mm)
Stadia
Panjang
Lebar
Diameter
kepala
Telur
0,65±0,05
0,43±0,05
Larva instar 1
0,76±0,17
0,37±0,05
0,29±0,02
Larva instar 2
3,88±0,44
1,34±0,16
0,72±0,08
Larva instar 3
3,07±0,34
1,21±0,13
0,65±0,07
Pupa
3,08±0,25
1,30±0,15
Imago Jantan
2,52±0,19
1,09±0,12
1,07±0,11
Imago Betina
2,02±0,15
0,97±0,08
0,92±0,10
Panjang
moncong
0,90±0,09
1,30±0,08
Universitas Sumatera Utara
17
Telur berwarna kuning bening atau keputih – putihan, berbentuk oval
(Gambar 1) kulit licin dan mengkilap.
Gambar 1. Telur E. kamerunicus
Telur diletakkan serangga betina diujung bulir bunga jantan kelapa sawit
yang sedang mekar dengan menggunakan alat peletakan telur (ovipositor) dan
pada bulir bunga tersebut terdapat lubang karena jaringan tangkai sari bunga
dimakan oleh serangga. Bekas gigitan tersebut akan mengeras sehingga
melindungi telur yang diletakkan. Pada umumnya telur berjumlah 1-2 butir per
bulir bunga jantan. Rata – rata panjang telur yaitu 0,65 ± 0,05 mm dan lebarnya
0,43 ± 0,05 mm (Tabel 2), lama masa telur yaitu 2,33 ± 0,57 hari (Tabel 1).
Batomalaque dan Bravo (2011)
(Girsang, 2016)
masa
telur yaitu 2 – 3 hari sedangkan
lebih cepat masa inkubasi telur yaitu
1 – 2 hari. Hal ini
disebabkan karena berbedanya daerah dataran tempat penelitian. Ketinggian
tempat erat kaitannya dengan suhu udara yang memegang peranan penting dan
sering menjadi faktor pembatas (Syarkawi et al., 2015). Suhu lingkungan
merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh cukup kuat pendukung
penetasan telur (Wibowo et al. 2004).
Stadia larva terdiri dari 3 instar yaitu larva instar 1, larva instar 2 dan larva
instar 3. Larva instar 1 berada ditempat serangga meletakkan telur yaitu pada bulir
bunga jantan yang mekar, larva instar 1 memiliki tubuh sangat kecil, berwarna
putih bening karena setelah menetas serta masih memakan cairan yang terdapat
Universitas Sumatera Utara
18
pada telur yang menetas dan terdapat bintik hitam dibagian kepala yang
merupakan mulutnya (Gambar 2). Rata – rata ukuran panjang tubuh larva instar 1
adalah 0,76 ± 0,17 mm, lebar tubuh 0,37 ± 0,05 mm dan diameter kepala
0,29 ± 0,02 mm (Tabel 2), dan lama masa larva instar 1 adalah 2 ± 1,73 hari
(Tabel 1). Menurut Girsang (2016) masa inkubasi larva instar 1 yaitu 1 – 2 hari
(rata – rata 1,05 hari) sedang menurut Tuo et al. (2011) 1,24 + 0,12 hari.
Larva instar 1 berubah menjadi larva instar 2, larva ini akan bergerak
menuju pangkal bulir bunga kelapa sawit dan memakan bagian bulir bunga yang
lunak larva instar 2 berwarna coklat kekuningan, kepala berwarna coklat dan pada
tubuhnya terdapat bulu halus namun tidak banyak. Rata – rata ukuran panjang
tubuh adalah 3,88 ± 0,44 mm, lebar tubuh 1,34 ± 0,16 mm, diameter kepala
0,72 ± 0,08 mm(Tabel 2) dan lama perkembangan larva instar 2 yaitu 5 ± 1 hari
(Tabel 1). Hal ini berbeda dengan Girsang (2016) masa perkembangan larva instar
kedua berkisar antara 1 – 2 hari (rata – rata 1,06 hari), menurut Kurniawan (2010)
larva instar 2 membutuhkan waktu 2,79 hari.
Larva instar 3 berwarna kuning terang, kepalanya coklat muda dan
memiliki bulu halus pada tubuhnya. Larva instar 3 memperoleh makanannnya
dengan cara menggerek pangkal bulir menuju bulir lain dan memakan bagian
lunak pada bulir bunga jantan kelapa sawit, larva instar 3 biasanya memakan
5 – 6 bulir. Rata – rata ukuran larva instar 3 adalah panjang tubuh 3, 07 ± 0,34
mm, lebar tubuh 1,21 ± 0,13 mm, diameter kepala 0,65 ±0,07 mm (Tabel 2) dan
masa perkembangan larva instar 3 adalah 2,66 ± 1,15 hari (Tabel 1). Menurut
Girsang (2016) larva instar ketiga mengalami masa inkubasi yaitu antara 2 – 11
hari (rata – rata 4,76 hari), sedangkan menurut kurniawan (2010) 3,50 hari.
Universitas Sumatera Utara
19
(a)
(b)
(c)
Gambar 2. a. Larva instar 1 b. Larva instar 2 c. Larva instar 3
Larva memiliki bentuk tubuh melengkung sehingga menyerupain seperti
huruf c disebut juga tipe scarabaeiform (Gambar 2). Hal ini sesuai dengan
pernyataan Putri (2015) yaitu bentuk tubuh pada larva serangga ini termasuk
dalam tipe scarabaeiform, dimana kepala dan tubuh mudah dibedakan, dengan
bentuk tubuh melengkung.
Larva instar 3 berubah menjadi pupa dan sebelum terbentuk pupa, larva
instar 3 menggigit ujung bulir bunga agar terbentuk lubang sebagai jalan keluar
ketika menjadi imago, larva instar 3 tidak banyak melakukan aktifitas dan
sebagian besar waktunya digunakan untuk pembentukan organ – organ tubuh.
Rata – rata ukuran panjang tubuh pupa adalah 3,08 ± 0,25 mm, lebar tubuh
1,30 ± 0,15 mm (Tabel 2) dan lama masa pupa selama 4,66 ± 0,57 hari (Tabel 1)
menurut
Girsang
(2016)
masa
inkubasi
pupa
adalah
2
–
11
hari
(rata – rata 2,35 hari) menurut Simanjuntak et al (2015) masa inkubasi pupa 4 – 8
hari, menurut Apriniarti (2011) masa inkubasi pupa adalah 3 - 4 hari sedangkan
menurut Arif et al (2009) masa inkubasi pupa adalah 2 – 6 hari. Menjelang
berakhirnya stadia pupa warna mulut dan tungkai secara berangsur berubah
menjadi kecokelatan.
Pupa bewarna kuning cerah, pada pupa tidak memiliki kokon sehingga
dapat dilihat langsung dan jelas bagian tubuhnya seperti moncong, sayap dan
tungkai yang mulai terbentuk, tipe pupa disebut dengan eksarata. Hal ini sesuai
Universitas Sumatera Utara
20
dengan pernyataan Meliala (2008) yang menyatakan bahwa tipe pupa eksarata
adalah pupa yang dilengkapi embelan bebas dan biasanya tidak melekat pada
tubuh serta tidak memiliki kokon.
Gambar 3. Pupa E. kamerunicus
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
lama
stadia
pradewasa
E. kamerunicus adalah 16,66 ± 3,05 hari (Lampiran 1). Menurut Simanjuntak et al
(2015) lama stadia pradewasa E. kamerunicus pada ketinggian 530 m dpl di
Jawa Barat adalah 26 - 33 hari sedangkan yang ada di Sumatera Utara pada
ketinggian 710 – 902 m dpl adalah 14 - 23 hari, menurut Girsang (2016) lama
stadia pradewasa berkisar antara 7 – 20 hari (rata – rata 10,23 hari) berada pada
ketinggian + 400 m dpl. Hal ini menunjukkan bahwa lama stadia pradewasa
E. kamerunicus pada setiap ketinggian tempat memiliki waktu yang berbeda –
beda, karena setiap tempat memiliki kondisi lingkungan yang berbeda pula
menurut Syarkawi et al (2015) menyatakan bahwa ketinggian tempat dapat
mempengaruhi suhu lingkungan. Bagi organisme ektotherm seperti serangga,
suhu rendah dapat memperpanjang masa perkembangan. Suhu udara dapat
mempengaruhi distribusi serangga (Young, 1982), perkembangan, pertumbuhan,
dan aktivitas serangga (Speight et al., 2008).
Selain faktor lingkungan makanan juga mempengaruhi perkembangan,
tersedianya makanan akan membuat serangga mampu bertahan hidup Aminah
(2011) menyatakan bahwa serangga penyerbuk kelapa sawit secara umum
Universitas Sumatera Utara
21
mengunjungi bunga karena adanya beberapa faktor penarik yaitu bentuk dan
warna bunga, serbuk sari, nektar dan aroma selain itu ketersediaan makanan pada
bunga jantan juga akan membantu larva serangga penyerbuk untuk dapat tumbuh
dewasa.
Imago E. kamerunicus berwarna hitam kecoklatan dan memiliki 2 pasang
sayap dengan sayap bagian depan yang mengeras disebut elitera (Gambar 4).
Imago E. kamerunicus keluar dari lubang pada ujung bulir bunga yang telah
dibuat saat akan berubah menjadi pupa, berdasarkan pengamatan lama hidup
imago jantan adalah 10,72 ± 1,4 hari lebih cepat dari pada imago betina
14,44 ± 1,35 hari (Lampiran 1). Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Girsang
(2016), Firmansyah (2012), Kurniawan (2010) dan Herlinda et al (2006) yang
menyatakan bahwa umur imago jantan lebih lama dari pada umur betina, tetapi
hasil penelitian menunjukan hasil yang sama dengan hasil penelitian Tuo et al
(2011), Sholehana (2010) dan Meliala (2008), yang menyatakan bahwa lama
hidup imago jantan lebih cepat dibandingkan imago betina. Perbedaan lama
hidup imago jantan dan betina pada setiap penelitian disebabkan oleh beberapa
faktor, salah satu diantaranya adalah terdapat perbedaan cara pemeliharaan imago
dan kondisi lingkungaan. Mahfudho (2014) menyatakan bahwa faktor abiotik
memiliki peran penting dalam peningkatan pertumbuhan serangga. Faktor abiotik
yang memegang peranan tersebut adalah suhu udara, kelembaban udara,
kecepatan angin, dan intensitas cahaya. Suhu menjadi penting sebagai faktor
pembatas yang mempengaruhi segala aktivitas serangga dan memiliki daya
adaptasi tertentu dengan lingkungannya.
Universitas Sumatera Utara
22
(a)
(b)
Gambar 4 : Imago E. kamerunicus (a) Jantan (b) Betina
Imago jantan dan betina dapat dibedakan dari ciri morfologinya seperti
ukuran tubuh jantan lebih besar dari pada betina tapi panjang moncong betina
lebih panjang dibanding jantan. Pada imago jantan rata – rata panjang tubuh
2,52 ± 0,19 mm, lebar tubuh 1,09 ±0,12 mm, diameter kepala 1,07 ± 0,11 mm dan
panjang moncong 0,90 ± 0,09 mm sedangkan betina rata – rata panjang tubuh
2,02 ± 0,15 mm, lebar tubuh 0,97 ± 0,08 mm, diameter kepala 0,92 ± 0,10 mm
dan panjang moncong 1,30 ± 0,08 mm (Tabel 2 dan Lampiran 1). Kingsolver dan
Huey (2008) menyatakan bahwa ukuran tubuh yang lebih besar berkaitan dengan
kelangsungan hidup, produktivitas dan kesuksesan perkawinan yang lebih tinggi.
Pada bagian elitera jantan terdapat dua tonjolan, sedangkan pada betina
bagian elitera tersebut rata dan bulu pada tubuh jantan lebih banyak dari pada
betina. Oleh sebab itu serbuk sari dapat menempel pada tubuh serangga sehingga
dapat membantu dalam penyerbukan kelapa sawit. Prasetyo dan Susanto (2012)
menyatakan bahwa serangga E. kamerunicus jantan dapat membawa serbuk sari
lebih banyak dibandingkan dengan kumbang betina. Hal ini disebabkan oleh
ukuran tubuh jantan yang lebih besar serta banyaknya bulu pada sayap kumbang
jantan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masa prapeneluran E. kamerunicus
adalah 2 ± 0 hari (Lampiran 3). Lama peneluran E. kamerunicus selama
9,84 ± 0,96 hari (Lampiran 3), rata- rata jumlah telur yang dihasilkan setiap betina
Universitas Sumatera Utara
23
semasa hidupnya 20,4 ± 2,6 butir (Lampiran 5) dan masa pasca peneluran
4 ± 0,89 hari (Lampiran 3). Menurut Girsang (2016) masa prapeneluran
E. kamerunicus adalah 2 hari di laboratorium, peneluran yaitu antara 17 – 48
(rata – rata 31,07) hari rata – rata jumlah telur yang dihasilkan imago betina
adalah 197,97 butir dan pasca peneluran adalah 0 – 18(rata – rata 4,8) hari. Hal ini
didukung oleh hasil penelitian Hoiss et al (2012) yang menyatakan bahwa jumlah
spesies serangga menurun dengan meningkatnya lintang atau ketinggian tempat
yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Duyck et al. (2010) menyatakan
selain itu, tempat yang lebih tinggi dapat memperlambat reproduksi serangga
sehingga jumlah generasi dan jumlah populasi serangga cenderung lebih sedikit.
Siklus Hidup E. kamerunicus
Hasil penelitian ini diperoleh bahwa siklus hidup E. kamerunicus
(perkembangan telur sampai imago dan masa prapeneluran) berkisar 18,66 ± 3,05
hari (Lampiran 1 dan 3) hasil ini berbeda dengan penelitian Girsang (2016) yang
menyatakan
bahwa
siklus
hidup
E.
kamerunicus
berkisar
9
–
22
(rata – rata 12,25 hari). Hal ini disebabkan karena metabolisme serangga pada
daerah dataran tinggi terhambat dibandingkan di daerah dataran rendah sehingga
membutuhkan waktu lebih panjang untuk menyelesaikan siklus hidupnya dan
kelembaban udara bisa mempengaruhi aktivitas serangga. Nainggolan (2001)
menjelaskan bahwa kelembaban udara berperan sangat besar terhadap kadar air
tubuh serangga, dan siklus hidup serangga sehingga mengatur aktivitas organisme
dan penyebaran serangga. Speight et al (2008) juga menjelaskan pada beberapa
serangga, suhu tinggi atau rendah
akan menghambat metabolisme atau
mengakibatkan kematian, tetapi serangga yang hidup di gurun dapat menurunkan
Universitas Sumatera Utara
24
laju metabolisme sehingga dapat bertahan pada daerah dengan jumlah makanan
dan air terbatas.
Cahaya mempengaruhi aktifitas serangga dan membantu mendapatkan
makanan (Jumar, 2000). Wardani et al (2013) menyatakan bahwa cahaya matahari
dapat dijadikan penanda untuk aktivitas tertentu seperti dalam pencarian makan,
molting, ataupun reproduksi. Intensitas cahaya akan mempengaruhi kondisi
lingkungan, seperti suhu dan kelembaban udara. Selain itu, kondisi lingkungan
akan berpengaruh terhadap metabolisme tubuh serangga. Kelembaban merupakan
faktor penting yang mempengaruhi penyebaran, aktivitas, dan perkembangan
serangga. Pada umumnya serangga memiliki kandungan air dalam tubuhnya
sekitar 50 - 90%, kondisi ini dapat dipertahankan jika kelembaban lingkungan
berkisar diantara nilai tersebut. Namun Susanto (2000) menyatakan bahwa pada
kondisi lingkungan yang kering, serangga mampu meningkatkan metabolisme
tubuhnya. Peningkatan metabolisme tersebut menyebabkan serangg menghasilkan
kandungan air dalam tubuh lebih banyak untuk mengimbangi penguapan dari
tubuh serangga.
Suhu menjadi penting sebagai faktor pembatas yang mempengaruhi segala
aktivitas serangga dan memiliki daya adaptasi tertentu dengan lingkungannya.
Nietschke et al (2007) menyatakan bahwa suhu menjadi faktor yang relevan yang
mempengaruhi aktivitas serangga. Thomson et al (2010) menambahkan bahwa
serangga memiliki kisaran suhu tertentu untuk perkembangan dan proses
fisiologisnya, dimana pada suhu tertentu aktivitas serangga tinggi dan akan
berkurang (menurun) pada suhu yang lebih rendah. Fakta ini memperlihatkan
Universitas Sumatera Utara
25
bahwa suhu
yang tidak mendukung akan memperpendek umur serangga
(Jumar, 2000).
Semua spesies serangga mempunyai kisaran suhu udara tertentu dalam
mempertahankan hidupnya. Kisaran ini akan berbeda pada setiap spesies serangga
Mavi dan Tupper (2004) menyatakan bahwa bila suhu udara berada di atas atau di
bawah keadaan optimal maka akan menimbulkan kematian serangga dalam waktu
dekat. Beberapa serangga dapat beradaptasi menghadapi lingkungan ekstrim
dengan diapause. Perkembangan dan aktivitas serangga akan normal kembali jika
suhu udara berada pada kisaran yang cocok.
Metode
penelitian
juga
mengakibatkan
perbedaan
perkembangan
pradewasa serangga E. kamerunicus. Pada penelitian ini 100 pasang serangga
dimasukkan kedalam tandan bunga jantan yang telah disungkup dan masih berada
pada tanaman kelapa sawit kemudian diambil 3 spikelet per hari untuk mengamati
perkembangan stadia setiap hari sedangkan Girsang (2016) melakukan metode
yang berbeda yaitu melakukan pemeliharaan di dalam tabung, dari 100 tabung
telur yang berumur sama diambil 5 tabung/hari untuk melihat perkembangan
stadia setiap hari sehingga menyebabkan terganggunya perkembangan pradewasa
serangga tersebut hal ini sesuai dengan penelitian Fikra (2015) bahwasanya pada
tandan kelapa sawit yang dipotong dari pohonya menunjukkan adanya kehilangan
air (water lost) yang signifikan, sedangkan dalam tandan tersebut masih terdapat
kumbang pradewasa yang masih mengalami pertumbuhan dan perkembanngan
untuk menjadi dewasa.
Berhasil atau tidaknya suatu siklus hidup juga berkaitan dengan faktor
makanan yaitu makanan yang baik akan membantu pertumbuhan dan
Universitas Sumatera Utara
26
perkembangan suatu serangga Susanto et al (2007) menyatakan bahwa proses
menjadi imago diperlukan bunga jantan yang berkondisi baik agar larva tidak
mengalami kekurangan makanan dan dapat memakan bagian pangkal tangkai sari
pada bunga jantan tersebut.
Keperidian E. kamerunicus
25
Jumlah telur
20
kantong 1
15
kantong 2
10
kantong 3
5
kantong 4
kantong 5
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17
Hari ke
Gambar 5. Keperidian E. Kamerunicus
Jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor betina menunjukkan bahwa awal
masa peneluran jumlah telur yang diletakkan masih sedikit dan mulai mengalami
peningkatan pada hari – hari berikutnya hingga mencapai puncak peneluran pada
hari ke 6 (Gambar 5) kemudian mengalami penurunan pada hari berikutnya dan
tidak ada lagi ditemukan telur pada hari ke 12 – hari ke 17 (Lampiran 5). Imago
E. kamerunicus berkopulasi antara 1,84 ± 0,8 hari (Lampiran 4). Jumlah telur
yang diletakkan seekor betina perhari berkisar 1,3 ± 0,18 butir dan jumlah telur
yang dihasilkan selama hidupnya yaitu 20,4 ± 2,6 butir (Lampiran 5). Menurut
Girsang (2016) Jumlah telur yang diletakkan seekor betina perhari berkisar 1 – 15
butir (rata rata 3,60 butir) dan jumlah telur yang dihasilkan selama hidupnya yaitu
69 – 252 butir (rata – rata 197,97 butir). Menurut Tuo et al (2011) rata – rata telur
yang diletakkan oleh serangga betina/hari adalah 1,63 dan jumlah telur seumur
Universitas Sumatera Utara
27
hidup 57,64 + 8,29 butir. Menurut Buambitun et al (2015) produksi telur akan
sangat tergantung pada nutrisi tanaman inang terutama kadar protein dan asam –
asam aminonya. Kurniawan (2010) menjelaskan bahwa peluang hidup pada fase
telur diduga karena fase ini belum banyak terpengaruh oleh faktor luar, seperti
serangan cacing parasit, tungau, ataupun pengaruh dari kondisi lingkungan.
Imago jantan mulai mati pada hari ke 9 dan berakhir pada hari ke 12 dan
imago betina mulai mati pada hari ke 14 dan berakhir pada hari ke 17
(Lampiran 1). Masa pasca peletakan telur (Post ovipisition) mulai pada hari ke
12 dan berakhir pada hari ke 17 (Lampiran 5). Menurut Sholehana (2010)
perbedaan lama hidup kumbang jantan dan betina karena peranan kumbang betina
dalam menghasilkan keturunannya. Selain itu menurut Kurniawan (2010) pada
fase imago peluang hidupnya rendah diduga karena faktor luar, terutama adanya
serangan cacing parasit. Penyebab lain adalah karena faktor lingkungan pada saat
pengamatan mungkin kurang sesuai dengan kondisi lingkungan dialam, misalnya
imago menjadi stres. Selain disebabkan karena cacing parasit kematian pada fase
imago disebabkan karena telah mencapai umur maksimumnya (aging/longevity
maksimum).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan biologi
E. kamerunicus di daerah dataran tinggi dengan di daerah dataran rendah yaitu
hasil penelitian Girsang (2016) di daerah dataran rendah, pada daerah dataran
tinggi lama hidup masing – masing stadia E. kamerunicus membutuhkan waktu
lebih lama kecuali imago, ukuran masing – masing stadia E. kamerunicus lebih
kecil, siklus hidup lebih lama dan keperidian lebih sedikit dari pada di daerah
dataran rendah hal ini disebabkan karena berbedanya daerah dataran
Universitas Sumatera Utara
28
E. kamerunicus hidup sehingga setiap tempat memiliki kondisi lingkungan yang
berbeda pula menurut Syarkawi et al (2015) bahwa ketinggian tempat dapat
mempengaruhi suhu lingkungan, bagi organisme ektotherm seperti serangga, suhu
rendah dapat memperpanjang masa perkembangan. Selain itu faktor makana juga
berkaitan yaitu makanan yang baik akan membantu pertumbuhan dan
perkembangan suatu serangga ( Susanto et al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
29
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Masa fase telur yaitu 2,33 ± 0,57 hari, larva instar 1 yaitu 2 ± 1,73 hari
instar 2 yaitu 5 ±1 instar 3 yaitu 2,66 ±1,15 hari dan pupa yaitu 4,66 ± 0,57 hari.
Umur imago jantan yaitu 10,72 ± 1,4 hari lebih cepat dari pada imago betina
14,44 + 1,55 hari. Siklus hidup E. kamerunicus berkisar 18,66 ± 3,05 hari.
Masa prapeneluran E. kamerunicus yaitu 2 ± 0 hari. Lama peneluran
E.kamerunicus yaitu 9,84 ± 0,96 hari, jumlah telur yang dihasilkan betina setiap
hari 1,3 ± 0,18 butir, jumlah telur yang dihasilkan betina semasa hidupnya
20,4 ± 2,6 butir, dan masa pasca peneluran 4 ± 0,89 hari. Waktu yang dibutuhkan
oleh E. kamerunicus untuk berkopulasi 1,84 ± 0,8 hari .
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjut mengenai populasi serangga penyerbuk
E. kamerunicus pada tanaman kelapa sawit di daerah dataran tinggi untuk
mengetahui pengaruhnya terhadap hasil produksi tanaman kelapa sawit di daerah
dataran tinggi tersebut.
Universitas Sumatera Utara
BAHAN DAN METODA
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian
ini
dilaksanakan
di
perkebunan
kelapa
sawit
PT. Perkebunan Nusantara IV Bah Birung Ulu dan Laboratorium Entomologis
Hama dan Penyakit Tanaman Pusat Penelitian Kelapa Sawit Unit Marihat.
Ketinggian kebun Bah Birung Ulu berkisar 600-1100 m dpl pada bulan
November 2016 sampai April 2017 dengan rata - rata Suhu 23,75 ± 0,07 o C dan
kelembaban 76 ± 0,41 %.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bunga jantan pada
tanaman kelapa sawit yang belum mekar (anthesis), serangga penyerbuk
E. kamerunicus jantan dan betina yang baru saja keluar dari pupa, kapas,
karet gelang, kertas label, tissue dan alkohol.
Alat – alat yang digunakan adalah penyungkup Agrivek bag, karet ban,
kantung, botol film, termohidrograf, jarum suntik, pisau cutter, gunting tanaman,
kamera, penjepit, jarum kait, mikroskop, kotak Hacth and Carry, alat tulis dan
sebagainya yang diperlukan dalam penelitian.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif yaitu
mengamati secara langsung siklus hidup E. kamerunicus dengan mengamati setiap
stadia E. kamerunicus yang diambil langsung dari perkebunan kelapa sawit
PT. Perkebunan Nusantara IV Bah Birung Ulu yang berada di daerah dataran
tinggi pada ketinggian 1100 m dpl.
Universitas Sumatera Utara
13
Persiapan Penelitian
Penyediaan Serangga E. kamerunicus
Serangga yang digunakan diperoleh dari perkebunan kelapa sawit
PT. Perkebunan Nusantara IV Bah Birung Ulu dan serangga yang baru saja keluar
dari pupa, pengambilan serangga di lapangan dilakukan secara berikut:
Pencarian bunga jantan kelapa sawit yang telah lewat mekar (post-anthesis)
yang dicirikan dengan bunga yang mulai layu dan ditumbuhi jamur yang
didalamnya terdapat larva atau pupa serangga E. kamerunicus kemudian bunga
tersebut dipotong dan diletakkan kedalam kotak Hacth and Carry, bunga tersebut
diamati untuk mendapatkan serangga berumur 3 hari dan belum kawin yang
keluar dari dalam bunga kelapa sawit sebagai bahan untuk penelitian.
Penyediaan Bunga Jantan
Mencari 3 bunga jantan yang belum mekar di lapangan dari lokasi yang
sama dengan tempat E. kamerunicus diambil, kemudian bunga tersebut dihitung
jumlah spikeletnya dan dipotong setiap spikelet menjadi setengah bagian dengan
menggunakan gunting tanaman yang tajam setelah itu bunga tersebut disungkup
dengan menggunakan kertas penyungkup Agrivak, hingga bunga mekar. Hal ini
dilakukan untuk menjaga bunga tetap steril dari E. kamerunicus.
Pelaksanaan Penelitian
Stadium telur, larva, pupa dan imago E. kamerunicus
Dimasukkan 100 pasang serangga jantan dan betina berumur 3 hari yang
masih steril ke dalam sungkupan bunga jantan kelapa sawit yang telah mekar
kemudian bunga jantan kelapa sawit disungkup kembali. Hari berikutnya
dilakukan pengambilan spikelet pada tiap - tiap tandan bunga jantan kelapa sawit
Universitas Sumatera Utara
14
masing - masing 3 spikelet setiap hari dan dibuka masing – masing spikelet yang
diambil untuk melihat perkembangan siklus mulai telur, larva, pupa, hingga
imago. Telur, larva, pupa dan imago yang diperoleh diletakkan kedalam botol film
yang berisi alkohol 70 % sebanyak 4 ml agar tubuhnya tidak rusak dan dapat
diamati. Pengambilan spikelet dilakukan setiap hari sampai spikelet yang berada
didalam sungkupan tersebut habis.
Keperidian E. kamerunicus
Penyediaan Pakan
Mencari 1 bunga jantan yang belum mekar di lapangan dari lokasi yang
sama dengan tempat E. kamerunicus diambil, kemudian bunga tersebut disungkup
dengan menggunakan kertas penyungkup terilen Agrivak, hingga bunga mekar.
Hal ini dilakukan untuk menjaga bunga tetap steril dari E. kamerunicus dan ketika
bunga jantan mekar akan digunakan sebagai pakan dan tempat meletakkan telur,
penyungkupan dilakukan setiap 3 hari sekali karena bunga jantan kelapa sawit
mekar hanya selama 4 – 5 hari.
Penyediaan E. kamerunicus
Pencarian bunga jantan kelapa sawit yang telah lewat mekar yang
didalamnya terdapat larva atau pupa serangga E. kamerunicus kemudian bunga
tersebut dipotong dan diletakkan kedalam kotak Hacth and Carry. Bunga tersebut
diamati untuk mendapatkan serangga berumur 3 hari dan belum kawin yang
keluar dari dalam bunga kelapa sawit sebagai bahan untuk penelitian.
Serangga diambil sebanyak 25 pasang, dimasukkan ke dalam 5 kantong
sebanyak 5 pasang/kantong, kemudian dimasukkan pada tiap kantong potongan
spikelet bunga jantan yang disungkup tersebut telah mekar sebagai pakan dan
Universitas Sumatera Utara
15
tempat meletakkan telur. Setiap hari potongan spikelet bunga kelapa sawit diambil
dari dalam kantong dan diganti dengan potongan spikelet bunga yang baru. Bunga
kelapa sawit tersebut dibuka satu persatu dan dihitung jumlah telur yang
dihasilkan sampai betina mati dan dihitung serangga jantan ataupun betina yang
mati setiap harinya.
Peubah Amatan
Stadium telur, larva, pupa dan imago E. kamerunicus
Pengamatan terhadap stadium telur, larva, pupa dan imago dilakukan di
bawah mikroskop. Pengamatan meliputi warna, ukuran tubuh, dan umur setiap
stadia. Masing –masing sebanyak 40 sampel.
Siklus Hidup E. kamerunicus
Pengamatan terhadap siklus hidup dilakukan dengan menghitung berapa
hari sejak telur sampai imago dan masa praoviposisi (masa sebelum meletakkan
telur).
Keperidian E. kamerunicus
Pengamatan meliputi lama kopulasi dan jumlah telur selama hidup
serangga betina. Pengamatan dilakukan sampai serangga tersebut mati.
Data pendukung
Data pendukung yang diamati dalam penelitian ini adalah pengukuran
suhu (
o
C) dengan menggunakan Thermohigrometer. Pengukuran dilakukan di
lokasi penelitian yaitu pada ketinggian 1100 m dpl. Pengamatan dilakukan setiap
hari pukul 08.00 – 12.00
Universitas Sumatera Utara
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Stadia Telur, Larva, Pupa dan Imago E. kamerunicus
Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangga penyerbuk kelapa sawit
E. kamerunicus merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna
(holometabola) yaitu mulai dari telur (Gambar 1), larva (Gambar 2), pupa
(Gambar 3) dan imago (Gambar 4).
Waktu yang diperlukan untuk perkembangan serangga dari telur sampai
menjadi imago 16,66 ± 3,05 hari. Rincian waktu yang diperlukan pada tiap – tiap
fase tercantum pada Tabel 1 dan Lampiran 1.
Tabel 1. Lama hidup masing – masing stadia E. kamerunicus
Stadia
Rata-rata (Hari)
Telur
2,33 ± 0,57
Larva instar 1
2 ± 1,73
Larva instar 2
5±1
Larva instar 3
2,66 ± 1,15
Pupa
4,66 ± 0,57
Imago Jantan
10,72 ±1,4
Imago Betina
14,44 ± 1,35
Ukuran rata – rata masing – masing stadia mulai dari telur sampai imago
dapat dilihat pada Tabel 2. Rincian masing – masing ukuran dapat dilihat pada
Lampiran 2.
Tabel 2. Ukuran masing- masing stadia E. kamerunicus
Rata – rata (mm)
Stadia
Panjang
Lebar
Diameter
kepala
Telur
0,65±0,05
0,43±0,05
Larva instar 1
0,76±0,17
0,37±0,05
0,29±0,02
Larva instar 2
3,88±0,44
1,34±0,16
0,72±0,08
Larva instar 3
3,07±0,34
1,21±0,13
0,65±0,07
Pupa
3,08±0,25
1,30±0,15
Imago Jantan
2,52±0,19
1,09±0,12
1,07±0,11
Imago Betina
2,02±0,15
0,97±0,08
0,92±0,10
Panjang
moncong
0,90±0,09
1,30±0,08
Universitas Sumatera Utara
17
Telur berwarna kuning bening atau keputih – putihan, berbentuk oval
(Gambar 1) kulit licin dan mengkilap.
Gambar 1. Telur E. kamerunicus
Telur diletakkan serangga betina diujung bulir bunga jantan kelapa sawit
yang sedang mekar dengan menggunakan alat peletakan telur (ovipositor) dan
pada bulir bunga tersebut terdapat lubang karena jaringan tangkai sari bunga
dimakan oleh serangga. Bekas gigitan tersebut akan mengeras sehingga
melindungi telur yang diletakkan. Pada umumnya telur berjumlah 1-2 butir per
bulir bunga jantan. Rata – rata panjang telur yaitu 0,65 ± 0,05 mm dan lebarnya
0,43 ± 0,05 mm (Tabel 2), lama masa telur yaitu 2,33 ± 0,57 hari (Tabel 1).
Batomalaque dan Bravo (2011)
(Girsang, 2016)
masa
telur yaitu 2 – 3 hari sedangkan
lebih cepat masa inkubasi telur yaitu
1 – 2 hari. Hal ini
disebabkan karena berbedanya daerah dataran tempat penelitian. Ketinggian
tempat erat kaitannya dengan suhu udara yang memegang peranan penting dan
sering menjadi faktor pembatas (Syarkawi et al., 2015). Suhu lingkungan
merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh cukup kuat pendukung
penetasan telur (Wibowo et al. 2004).
Stadia larva terdiri dari 3 instar yaitu larva instar 1, larva instar 2 dan larva
instar 3. Larva instar 1 berada ditempat serangga meletakkan telur yaitu pada bulir
bunga jantan yang mekar, larva instar 1 memiliki tubuh sangat kecil, berwarna
putih bening karena setelah menetas serta masih memakan cairan yang terdapat
Universitas Sumatera Utara
18
pada telur yang menetas dan terdapat bintik hitam dibagian kepala yang
merupakan mulutnya (Gambar 2). Rata – rata ukuran panjang tubuh larva instar 1
adalah 0,76 ± 0,17 mm, lebar tubuh 0,37 ± 0,05 mm dan diameter kepala
0,29 ± 0,02 mm (Tabel 2), dan lama masa larva instar 1 adalah 2 ± 1,73 hari
(Tabel 1). Menurut Girsang (2016) masa inkubasi larva instar 1 yaitu 1 – 2 hari
(rata – rata 1,05 hari) sedang menurut Tuo et al. (2011) 1,24 + 0,12 hari.
Larva instar 1 berubah menjadi larva instar 2, larva ini akan bergerak
menuju pangkal bulir bunga kelapa sawit dan memakan bagian bulir bunga yang
lunak larva instar 2 berwarna coklat kekuningan, kepala berwarna coklat dan pada
tubuhnya terdapat bulu halus namun tidak banyak. Rata – rata ukuran panjang
tubuh adalah 3,88 ± 0,44 mm, lebar tubuh 1,34 ± 0,16 mm, diameter kepala
0,72 ± 0,08 mm(Tabel 2) dan lama perkembangan larva instar 2 yaitu 5 ± 1 hari
(Tabel 1). Hal ini berbeda dengan Girsang (2016) masa perkembangan larva instar
kedua berkisar antara 1 – 2 hari (rata – rata 1,06 hari), menurut Kurniawan (2010)
larva instar 2 membutuhkan waktu 2,79 hari.
Larva instar 3 berwarna kuning terang, kepalanya coklat muda dan
memiliki bulu halus pada tubuhnya. Larva instar 3 memperoleh makanannnya
dengan cara menggerek pangkal bulir menuju bulir lain dan memakan bagian
lunak pada bulir bunga jantan kelapa sawit, larva instar 3 biasanya memakan
5 – 6 bulir. Rata – rata ukuran larva instar 3 adalah panjang tubuh 3, 07 ± 0,34
mm, lebar tubuh 1,21 ± 0,13 mm, diameter kepala 0,65 ±0,07 mm (Tabel 2) dan
masa perkembangan larva instar 3 adalah 2,66 ± 1,15 hari (Tabel 1). Menurut
Girsang (2016) larva instar ketiga mengalami masa inkubasi yaitu antara 2 – 11
hari (rata – rata 4,76 hari), sedangkan menurut kurniawan (2010) 3,50 hari.
Universitas Sumatera Utara
19
(a)
(b)
(c)
Gambar 2. a. Larva instar 1 b. Larva instar 2 c. Larva instar 3
Larva memiliki bentuk tubuh melengkung sehingga menyerupain seperti
huruf c disebut juga tipe scarabaeiform (Gambar 2). Hal ini sesuai dengan
pernyataan Putri (2015) yaitu bentuk tubuh pada larva serangga ini termasuk
dalam tipe scarabaeiform, dimana kepala dan tubuh mudah dibedakan, dengan
bentuk tubuh melengkung.
Larva instar 3 berubah menjadi pupa dan sebelum terbentuk pupa, larva
instar 3 menggigit ujung bulir bunga agar terbentuk lubang sebagai jalan keluar
ketika menjadi imago, larva instar 3 tidak banyak melakukan aktifitas dan
sebagian besar waktunya digunakan untuk pembentukan organ – organ tubuh.
Rata – rata ukuran panjang tubuh pupa adalah 3,08 ± 0,25 mm, lebar tubuh
1,30 ± 0,15 mm (Tabel 2) dan lama masa pupa selama 4,66 ± 0,57 hari (Tabel 1)
menurut
Girsang
(2016)
masa
inkubasi
pupa
adalah
2
–
11
hari
(rata – rata 2,35 hari) menurut Simanjuntak et al (2015) masa inkubasi pupa 4 – 8
hari, menurut Apriniarti (2011) masa inkubasi pupa adalah 3 - 4 hari sedangkan
menurut Arif et al (2009) masa inkubasi pupa adalah 2 – 6 hari. Menjelang
berakhirnya stadia pupa warna mulut dan tungkai secara berangsur berubah
menjadi kecokelatan.
Pupa bewarna kuning cerah, pada pupa tidak memiliki kokon sehingga
dapat dilihat langsung dan jelas bagian tubuhnya seperti moncong, sayap dan
tungkai yang mulai terbentuk, tipe pupa disebut dengan eksarata. Hal ini sesuai
Universitas Sumatera Utara
20
dengan pernyataan Meliala (2008) yang menyatakan bahwa tipe pupa eksarata
adalah pupa yang dilengkapi embelan bebas dan biasanya tidak melekat pada
tubuh serta tidak memiliki kokon.
Gambar 3. Pupa E. kamerunicus
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
lama
stadia
pradewasa
E. kamerunicus adalah 16,66 ± 3,05 hari (Lampiran 1). Menurut Simanjuntak et al
(2015) lama stadia pradewasa E. kamerunicus pada ketinggian 530 m dpl di
Jawa Barat adalah 26 - 33 hari sedangkan yang ada di Sumatera Utara pada
ketinggian 710 – 902 m dpl adalah 14 - 23 hari, menurut Girsang (2016) lama
stadia pradewasa berkisar antara 7 – 20 hari (rata – rata 10,23 hari) berada pada
ketinggian + 400 m dpl. Hal ini menunjukkan bahwa lama stadia pradewasa
E. kamerunicus pada setiap ketinggian tempat memiliki waktu yang berbeda –
beda, karena setiap tempat memiliki kondisi lingkungan yang berbeda pula
menurut Syarkawi et al (2015) menyatakan bahwa ketinggian tempat dapat
mempengaruhi suhu lingkungan. Bagi organisme ektotherm seperti serangga,
suhu rendah dapat memperpanjang masa perkembangan. Suhu udara dapat
mempengaruhi distribusi serangga (Young, 1982), perkembangan, pertumbuhan,
dan aktivitas serangga (Speight et al., 2008).
Selain faktor lingkungan makanan juga mempengaruhi perkembangan,
tersedianya makanan akan membuat serangga mampu bertahan hidup Aminah
(2011) menyatakan bahwa serangga penyerbuk kelapa sawit secara umum
Universitas Sumatera Utara
21
mengunjungi bunga karena adanya beberapa faktor penarik yaitu bentuk dan
warna bunga, serbuk sari, nektar dan aroma selain itu ketersediaan makanan pada
bunga jantan juga akan membantu larva serangga penyerbuk untuk dapat tumbuh
dewasa.
Imago E. kamerunicus berwarna hitam kecoklatan dan memiliki 2 pasang
sayap dengan sayap bagian depan yang mengeras disebut elitera (Gambar 4).
Imago E. kamerunicus keluar dari lubang pada ujung bulir bunga yang telah
dibuat saat akan berubah menjadi pupa, berdasarkan pengamatan lama hidup
imago jantan adalah 10,72 ± 1,4 hari lebih cepat dari pada imago betina
14,44 ± 1,35 hari (Lampiran 1). Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Girsang
(2016), Firmansyah (2012), Kurniawan (2010) dan Herlinda et al (2006) yang
menyatakan bahwa umur imago jantan lebih lama dari pada umur betina, tetapi
hasil penelitian menunjukan hasil yang sama dengan hasil penelitian Tuo et al
(2011), Sholehana (2010) dan Meliala (2008), yang menyatakan bahwa lama
hidup imago jantan lebih cepat dibandingkan imago betina. Perbedaan lama
hidup imago jantan dan betina pada setiap penelitian disebabkan oleh beberapa
faktor, salah satu diantaranya adalah terdapat perbedaan cara pemeliharaan imago
dan kondisi lingkungaan. Mahfudho (2014) menyatakan bahwa faktor abiotik
memiliki peran penting dalam peningkatan pertumbuhan serangga. Faktor abiotik
yang memegang peranan tersebut adalah suhu udara, kelembaban udara,
kecepatan angin, dan intensitas cahaya. Suhu menjadi penting sebagai faktor
pembatas yang mempengaruhi segala aktivitas serangga dan memiliki daya
adaptasi tertentu dengan lingkungannya.
Universitas Sumatera Utara
22
(a)
(b)
Gambar 4 : Imago E. kamerunicus (a) Jantan (b) Betina
Imago jantan dan betina dapat dibedakan dari ciri morfologinya seperti
ukuran tubuh jantan lebih besar dari pada betina tapi panjang moncong betina
lebih panjang dibanding jantan. Pada imago jantan rata – rata panjang tubuh
2,52 ± 0,19 mm, lebar tubuh 1,09 ±0,12 mm, diameter kepala 1,07 ± 0,11 mm dan
panjang moncong 0,90 ± 0,09 mm sedangkan betina rata – rata panjang tubuh
2,02 ± 0,15 mm, lebar tubuh 0,97 ± 0,08 mm, diameter kepala 0,92 ± 0,10 mm
dan panjang moncong 1,30 ± 0,08 mm (Tabel 2 dan Lampiran 1). Kingsolver dan
Huey (2008) menyatakan bahwa ukuran tubuh yang lebih besar berkaitan dengan
kelangsungan hidup, produktivitas dan kesuksesan perkawinan yang lebih tinggi.
Pada bagian elitera jantan terdapat dua tonjolan, sedangkan pada betina
bagian elitera tersebut rata dan bulu pada tubuh jantan lebih banyak dari pada
betina. Oleh sebab itu serbuk sari dapat menempel pada tubuh serangga sehingga
dapat membantu dalam penyerbukan kelapa sawit. Prasetyo dan Susanto (2012)
menyatakan bahwa serangga E. kamerunicus jantan dapat membawa serbuk sari
lebih banyak dibandingkan dengan kumbang betina. Hal ini disebabkan oleh
ukuran tubuh jantan yang lebih besar serta banyaknya bulu pada sayap kumbang
jantan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masa prapeneluran E. kamerunicus
adalah 2 ± 0 hari (Lampiran 3). Lama peneluran E. kamerunicus selama
9,84 ± 0,96 hari (Lampiran 3), rata- rata jumlah telur yang dihasilkan setiap betina
Universitas Sumatera Utara
23
semasa hidupnya 20,4 ± 2,6 butir (Lampiran 5) dan masa pasca peneluran
4 ± 0,89 hari (Lampiran 3). Menurut Girsang (2016) masa prapeneluran
E. kamerunicus adalah 2 hari di laboratorium, peneluran yaitu antara 17 – 48
(rata – rata 31,07) hari rata – rata jumlah telur yang dihasilkan imago betina
adalah 197,97 butir dan pasca peneluran adalah 0 – 18(rata – rata 4,8) hari. Hal ini
didukung oleh hasil penelitian Hoiss et al (2012) yang menyatakan bahwa jumlah
spesies serangga menurun dengan meningkatnya lintang atau ketinggian tempat
yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Duyck et al. (2010) menyatakan
selain itu, tempat yang lebih tinggi dapat memperlambat reproduksi serangga
sehingga jumlah generasi dan jumlah populasi serangga cenderung lebih sedikit.
Siklus Hidup E. kamerunicus
Hasil penelitian ini diperoleh bahwa siklus hidup E. kamerunicus
(perkembangan telur sampai imago dan masa prapeneluran) berkisar 18,66 ± 3,05
hari (Lampiran 1 dan 3) hasil ini berbeda dengan penelitian Girsang (2016) yang
menyatakan
bahwa
siklus
hidup
E.
kamerunicus
berkisar
9
–
22
(rata – rata 12,25 hari). Hal ini disebabkan karena metabolisme serangga pada
daerah dataran tinggi terhambat dibandingkan di daerah dataran rendah sehingga
membutuhkan waktu lebih panjang untuk menyelesaikan siklus hidupnya dan
kelembaban udara bisa mempengaruhi aktivitas serangga. Nainggolan (2001)
menjelaskan bahwa kelembaban udara berperan sangat besar terhadap kadar air
tubuh serangga, dan siklus hidup serangga sehingga mengatur aktivitas organisme
dan penyebaran serangga. Speight et al (2008) juga menjelaskan pada beberapa
serangga, suhu tinggi atau rendah
akan menghambat metabolisme atau
mengakibatkan kematian, tetapi serangga yang hidup di gurun dapat menurunkan
Universitas Sumatera Utara
24
laju metabolisme sehingga dapat bertahan pada daerah dengan jumlah makanan
dan air terbatas.
Cahaya mempengaruhi aktifitas serangga dan membantu mendapatkan
makanan (Jumar, 2000). Wardani et al (2013) menyatakan bahwa cahaya matahari
dapat dijadikan penanda untuk aktivitas tertentu seperti dalam pencarian makan,
molting, ataupun reproduksi. Intensitas cahaya akan mempengaruhi kondisi
lingkungan, seperti suhu dan kelembaban udara. Selain itu, kondisi lingkungan
akan berpengaruh terhadap metabolisme tubuh serangga. Kelembaban merupakan
faktor penting yang mempengaruhi penyebaran, aktivitas, dan perkembangan
serangga. Pada umumnya serangga memiliki kandungan air dalam tubuhnya
sekitar 50 - 90%, kondisi ini dapat dipertahankan jika kelembaban lingkungan
berkisar diantara nilai tersebut. Namun Susanto (2000) menyatakan bahwa pada
kondisi lingkungan yang kering, serangga mampu meningkatkan metabolisme
tubuhnya. Peningkatan metabolisme tersebut menyebabkan serangg menghasilkan
kandungan air dalam tubuh lebih banyak untuk mengimbangi penguapan dari
tubuh serangga.
Suhu menjadi penting sebagai faktor pembatas yang mempengaruhi segala
aktivitas serangga dan memiliki daya adaptasi tertentu dengan lingkungannya.
Nietschke et al (2007) menyatakan bahwa suhu menjadi faktor yang relevan yang
mempengaruhi aktivitas serangga. Thomson et al (2010) menambahkan bahwa
serangga memiliki kisaran suhu tertentu untuk perkembangan dan proses
fisiologisnya, dimana pada suhu tertentu aktivitas serangga tinggi dan akan
berkurang (menurun) pada suhu yang lebih rendah. Fakta ini memperlihatkan
Universitas Sumatera Utara
25
bahwa suhu
yang tidak mendukung akan memperpendek umur serangga
(Jumar, 2000).
Semua spesies serangga mempunyai kisaran suhu udara tertentu dalam
mempertahankan hidupnya. Kisaran ini akan berbeda pada setiap spesies serangga
Mavi dan Tupper (2004) menyatakan bahwa bila suhu udara berada di atas atau di
bawah keadaan optimal maka akan menimbulkan kematian serangga dalam waktu
dekat. Beberapa serangga dapat beradaptasi menghadapi lingkungan ekstrim
dengan diapause. Perkembangan dan aktivitas serangga akan normal kembali jika
suhu udara berada pada kisaran yang cocok.
Metode
penelitian
juga
mengakibatkan
perbedaan
perkembangan
pradewasa serangga E. kamerunicus. Pada penelitian ini 100 pasang serangga
dimasukkan kedalam tandan bunga jantan yang telah disungkup dan masih berada
pada tanaman kelapa sawit kemudian diambil 3 spikelet per hari untuk mengamati
perkembangan stadia setiap hari sedangkan Girsang (2016) melakukan metode
yang berbeda yaitu melakukan pemeliharaan di dalam tabung, dari 100 tabung
telur yang berumur sama diambil 5 tabung/hari untuk melihat perkembangan
stadia setiap hari sehingga menyebabkan terganggunya perkembangan pradewasa
serangga tersebut hal ini sesuai dengan penelitian Fikra (2015) bahwasanya pada
tandan kelapa sawit yang dipotong dari pohonya menunjukkan adanya kehilangan
air (water lost) yang signifikan, sedangkan dalam tandan tersebut masih terdapat
kumbang pradewasa yang masih mengalami pertumbuhan dan perkembanngan
untuk menjadi dewasa.
Berhasil atau tidaknya suatu siklus hidup juga berkaitan dengan faktor
makanan yaitu makanan yang baik akan membantu pertumbuhan dan
Universitas Sumatera Utara
26
perkembangan suatu serangga Susanto et al (2007) menyatakan bahwa proses
menjadi imago diperlukan bunga jantan yang berkondisi baik agar larva tidak
mengalami kekurangan makanan dan dapat memakan bagian pangkal tangkai sari
pada bunga jantan tersebut.
Keperidian E. kamerunicus
25
Jumlah telur
20
kantong 1
15
kantong 2
10
kantong 3
5
kantong 4
kantong 5
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17
Hari ke
Gambar 5. Keperidian E. Kamerunicus
Jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor betina menunjukkan bahwa awal
masa peneluran jumlah telur yang diletakkan masih sedikit dan mulai mengalami
peningkatan pada hari – hari berikutnya hingga mencapai puncak peneluran pada
hari ke 6 (Gambar 5) kemudian mengalami penurunan pada hari berikutnya dan
tidak ada lagi ditemukan telur pada hari ke 12 – hari ke 17 (Lampiran 5). Imago
E. kamerunicus berkopulasi antara 1,84 ± 0,8 hari (Lampiran 4). Jumlah telur
yang diletakkan seekor betina perhari berkisar 1,3 ± 0,18 butir dan jumlah telur
yang dihasilkan selama hidupnya yaitu 20,4 ± 2,6 butir (Lampiran 5). Menurut
Girsang (2016) Jumlah telur yang diletakkan seekor betina perhari berkisar 1 – 15
butir (rata rata 3,60 butir) dan jumlah telur yang dihasilkan selama hidupnya yaitu
69 – 252 butir (rata – rata 197,97 butir). Menurut Tuo et al (2011) rata – rata telur
yang diletakkan oleh serangga betina/hari adalah 1,63 dan jumlah telur seumur
Universitas Sumatera Utara
27
hidup 57,64 + 8,29 butir. Menurut Buambitun et al (2015) produksi telur akan
sangat tergantung pada nutrisi tanaman inang terutama kadar protein dan asam –
asam aminonya. Kurniawan (2010) menjelaskan bahwa peluang hidup pada fase
telur diduga karena fase ini belum banyak terpengaruh oleh faktor luar, seperti
serangan cacing parasit, tungau, ataupun pengaruh dari kondisi lingkungan.
Imago jantan mulai mati pada hari ke 9 dan berakhir pada hari ke 12 dan
imago betina mulai mati pada hari ke 14 dan berakhir pada hari ke 17
(Lampiran 1). Masa pasca peletakan telur (Post ovipisition) mulai pada hari ke
12 dan berakhir pada hari ke 17 (Lampiran 5). Menurut Sholehana (2010)
perbedaan lama hidup kumbang jantan dan betina karena peranan kumbang betina
dalam menghasilkan keturunannya. Selain itu menurut Kurniawan (2010) pada
fase imago peluang hidupnya rendah diduga karena faktor luar, terutama adanya
serangan cacing parasit. Penyebab lain adalah karena faktor lingkungan pada saat
pengamatan mungkin kurang sesuai dengan kondisi lingkungan dialam, misalnya
imago menjadi stres. Selain disebabkan karena cacing parasit kematian pada fase
imago disebabkan karena telah mencapai umur maksimumnya (aging/longevity
maksimum).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan biologi
E. kamerunicus di daerah dataran tinggi dengan di daerah dataran rendah yaitu
hasil penelitian Girsang (2016) di daerah dataran rendah, pada daerah dataran
tinggi lama hidup masing – masing stadia E. kamerunicus membutuhkan waktu
lebih lama kecuali imago, ukuran masing – masing stadia E. kamerunicus lebih
kecil, siklus hidup lebih lama dan keperidian lebih sedikit dari pada di daerah
dataran rendah hal ini disebabkan karena berbedanya daerah dataran
Universitas Sumatera Utara
28
E. kamerunicus hidup sehingga setiap tempat memiliki kondisi lingkungan yang
berbeda pula menurut Syarkawi et al (2015) bahwa ketinggian tempat dapat
mempengaruhi suhu lingkungan, bagi organisme ektotherm seperti serangga, suhu
rendah dapat memperpanjang masa perkembangan. Selain itu faktor makana juga
berkaitan yaitu makanan yang baik akan membantu pertumbuhan dan
perkembangan suatu serangga ( Susanto et al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
29
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Masa fase telur yaitu 2,33 ± 0,57 hari, larva instar 1 yaitu 2 ± 1,73 hari
instar 2 yaitu 5 ±1 instar 3 yaitu 2,66 ±1,15 hari dan pupa yaitu 4,66 ± 0,57 hari.
Umur imago jantan yaitu 10,72 ± 1,4 hari lebih cepat dari pada imago betina
14,44 + 1,55 hari. Siklus hidup E. kamerunicus berkisar 18,66 ± 3,05 hari.
Masa prapeneluran E. kamerunicus yaitu 2 ± 0 hari. Lama peneluran
E.kamerunicus yaitu 9,84 ± 0,96 hari, jumlah telur yang dihasilkan betina setiap
hari 1,3 ± 0,18 butir, jumlah telur yang dihasilkan betina semasa hidupnya
20,4 ± 2,6 butir, dan masa pasca peneluran 4 ± 0,89 hari. Waktu yang dibutuhkan
oleh E. kamerunicus untuk berkopulasi 1,84 ± 0,8 hari .
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjut mengenai populasi serangga penyerbuk
E. kamerunicus pada tanaman kelapa sawit di daerah dataran tinggi untuk
mengetahui pengaruhnya terhadap hasil produksi tanaman kelapa sawit di daerah
dataran tinggi tersebut.
Universitas Sumatera Utara