Analisis Kewenangan Bank Indonesia dalam

Analisis Kewenangan Bank Indonesia dalam Pengaturan dan Pengawasan sektor Perbankan
di Indonesia setelah disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan

Febrianti (8111415161)
Hukum Perbankan, Rombel 001

I.

Pendahuluan
Dalam pembicaraan sehari-hari, bank dikenal sebagai lembaga keuangan yang kegiatan

utamanya menerima simpanan. Kemudian bank juga dikenal sebagai tempat untuk meminjam uang
(kredit) bagi masyrakat yang membutuhkan. Jadi secara sederhana bank adalah suatu wadah untuk
menyimpan dan meminjam uang. Namun, dalam perkembangannya, istilah bank dimaksudkan
sebagai suatu jenis pranata finansial yang melaksanakan jasa-jasa keuangan yang cukup beraneka
ragam, seperti pinjaman, memberi pinjaman, mengedarkan mata uang, mengadakan pengawasan
terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan untuk benda-benda berharga,
membiayai usaha-usaha perusahaan (A. Abdurrahman, 1993: 80).
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan merumuskan bahwa,

“Bank adalah badan usaha yang mengimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyelurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
Dari pengertian diatas, tentunya dapat dijelaskan bahwa bank berfungsi sebagai financial
intermediary dengan usaha utama menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat serta

memberikan jasa-jasa lainnya yang lazim dilakukan bank dalam lalu lintas pembayaran1. Kedua
dari fungsi tersebut tidak dapat dipisahkan dalam penerapannya. Sebagai lembaga keuangan, bank
mempunyai kewajiban untuk menjaga stabilitas nilai uang, mendorong kegiatan ekonomi, dan
perluasan kesempatan kerja.2
Berkaca pada pesatnya perkembangan ekonomi Indonesia saat ini, tentunya akan bersanding
dengan pertumbuhan dalam bidang lembaga keuangan, khususnya pada sektor perbankan. Terhadap
hal tersebut, diperlukannya suatu badan/lembaga yang memiliki peran sentral dalam menentukan
dan memberikan arahan dalam perkembangan perbankan serta dapat melindungi masyarakat. Bank
Indonesia sebagai bank sentral memiliki kewenangan dan kewajiban untuk membina serta

1
2

Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), Hlm 136

Ibid

melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan perbankan.3 Secara umum, peran Bank Indonesia
sebagai bank sentral sangat penting dan strategis dalam upaya menciptakan sistem perbankan yang
sehat dan efisien. Hal ini diperlukan karena dunia perbankan adalah salah satu pilar utama dalam
pembangunan ekonomi syatu negara.4 Namun dalam jenjang perjalanannya, Bank Indonesia dalam
menjalankan tugas sentralnya terhadap perbankan di Indonesia bukan tanpa kesalahan. Salah satu
kasus yang paling diingat adalah gagalnya Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Bank
Century. Bank Indonesia dianggap tidak mampu bertindak tegas atau tidak mampu menjatuhkan
hukuman yang keras kepada bank yang dinilai melakukan kejahatan dibidang perbankan.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, maka dianggap perlu untuk dilakukan penyesuaian
terhadap pengaturan dan penataan kembali kelembagaan keuangan terutama dalam sektor
perbankan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (UU BI)
pada Pasal 34 ayat (1), maka dibentuklah suatu lembaga yang disebut dengan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) yang memiliki kewenangan yang hampir sama dengan kewenangan Bank
Indonesia, karena pada dasarnya memang merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Bank
Indonesia. Maka bukanlah hal yang tidak mungkin apabila nantinya dalam pelaksanaannya tersebut
dapat menimbulkan benturan antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia, terutama dalam
hal siapa yang berwenang dalam menjalankan tugas dan wewenang tersebut.


II. Kewenangan Bank Indonesia sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan
Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral mempunyai peranan yang utama dan penting.
Setiap negara mempunyai satu bank sentral dan hampir disetiap provinsi memiliki cabang Bank
Sentral. Fungsi utama Bank Sentral adalah mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengn
keuangan disuatu negara. Di Indonesia pelaksanaan fungsi tersebut dipegang oleh Bank Indonesia
(BI).
A. Kedudukan Bank Indonesia
Secara konstitusional, setelah terjadi Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945,
dalam hal susunan, kedudukan, kewenangan, tangung jawab, dan independensi Bank Indonesia
telah memperoleh legitimasi yang sanat memadai. Bank Indonesia merupakan lembaga negara yang
memiliki independensi dalam menjalankan setiap tugas dan kewenanannya, hal tersebut telah
ditetapkan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Bank Indonesia bahwa, “Bank Indonesia adalah
lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak
lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini”. Penegasan
independensi Bank Indonesia merupakan wujud dari adanya reformasi sistem perbankan nasional.
3
4

Muhamad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan Indonesia, Cet. Ketiga, PT Citra Aditya Bakti,Bandung, h. 276.
Hermansyah, 2011,Hukum perbankan nasional Indonesia, Cet. Keenam,Kencana, Jakarta, h.175


Namun perihal independensi tersebut terdapat pertentangan dan menimbulkan kekaburan norma
dengan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Bank Indonesia, yang menyatakan bahwa “Untuk
mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan kebijakan
moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan
umum pemerintah di bidang perekonomian”, pasal tersebut cukup dapat diartikan bahwa
pemerintah berhak untuk ikut campur tangan dalam setiap kebijakan moneter Bank Indonesia
karena harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah dibidang perekonomian.
Sebagaimana diketahui bahwa Bank Indonesia lahir setelah berlakunya Undan-Undang
Nomor 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada 1 Juli 1953.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut Bank Indonesia sebagai Bank Sentral sekaligus bertugas
untuk mengawasi bank-bank (khususnya mengenai urusan kredit). Namun demikian, aturan
pelaksanaan ketentuan pengawasan tersebut baru ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 1 Tahun 1955 tentang Pengawasan terhadap urusan kredit, yang menyatakan bahwa Bank
Indonesia melakukan pengawasan bank terhadap semua bank yang beroperasi di Indonesia guna
kepentingan solvabilitas dan likuiditas badan-badan kredit tersebut dan pemberian kredit secara
sehat yang berdasarkan asas-asas kebjakan Bank yang tepat. Tugas Bank Indonesia tersebut
dilakukan atas nama Dewan Moneter.5
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Bank Indonesia yang mengatur
bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini

merupakan tujuan tunggal (Singgle Target) bagi Bank Indonesia, tetapi pada hakikatnya
mempunyai dimensi ganda, yakni kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa serta kestabilan
nilai rupiah terhadap mata uang negara lain.6 Kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa
terhadap mata uang dapat diukur dari perkembangan laju inflasi, sedangkan kestabilan nilai rupiah
terhadap mata uang negara lain tercermin dari perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang
negara lain. Kestabilan rupiah menjadi faktor yang sangat penting untuk mendukung pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.7
Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam Pasal 8 Undang-Undang Bank Indonesia diatur
bahwa Bank Indonesia mempunyai 3 (tiga) bidang tugas utama, yaitu:
a. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter,
b. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran,
c. Mengatur dan mengawasi Bank.

5

Kusdarwanto, Tesis, Kewenanan Bank Indonesia dalam Pengawasan Perbankan setelah Terbentuknya Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), Program Studi Magister Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2013, Hlm 23
6
Djoni S. Gazali, Op.Cit, Hlm 104
7

Arief Wind Kuncahyo, Bank Indonesia sebagai Lembaa Negara Independensi, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya, 2007, hlm 17

Tugas utama Bank Indonesia tersebut memiliki keterkaitan satu dengan lainnya, oleh sebab itu
diperlukannya upaya saling mendukung untuk mencapai tujuan bank Indonesia secara efektif dan
efisien dalam mencapai kestabilan nilai rupiah.
B. Kewenangan Bank Indonesia dalam Pengaturan dan Pengawasan Perbankan
Certo dalam Mamam Ukas mengatakan bahwa, “controlling is the process managers go
trough to control”.8 Kalimat tersebut dapat diartikan bahwa, Penawasan adalah proses seorang

manajer atau pimpinan untuk melakukan pengawasan. Jika dikaitkan dengan Bank Indonesia maka
sebagai pimpinan, Bank Indonesia harus melakukan pengawasan terhadap seluruh pelaku industri
jasa keuangan perbankan di Indonesia agar keseluruhan tujuan, tugas, dan kewenanan Bank
Indonesia sebagai Bank Sentral dapat dilaksanakan secara efektif dan mencapai keberhasilan.
Tugas Bank Indonesia dalam mengawasi perbankan di Indonesia sangat jelas dan tegas
ditentukan dalam Pasal 8 huruf c Undang-Undang Bank Indonesia, yakni bahwa “mengatur dan
mengawasi bank”. Secara redaksional dalam pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa tugas untuk
melakukan pengaturan dan pengawasan bagi Bank Indonesia tidak dilakukan secara terpisah atau
berdiri sendiri. Pada Bab V Undang-Undang Bank Indonesia diatur tentang “Tugas Mengatur dan
Menjaga Kelancaan Sistem Pembayaran” dan pada Bab VI Undang-Undang Bank Indonesia diatur

tentang “Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank”. Sedangkan “Tugas Mengawasi” tidak diatur
dalam satu bab tersendiri, melainkan pencantuman tugas “mengatur dan mengawasi” digabungkan
dalam satu abab yaitu Bab VI Undang-Undang Bank Indonesia yang terdiri dari Pasal 24 s.d Pasal
35.
Pengawasan Perbankan pada prinsipnya terbagi dalam dua jenis, yaitu, macroeconomic
supervision dan prudential supervision. Adapun pemahaman dari kedua hal tersebut adalah :9

a. Macro-economic supervision adalah pengawasan dalam rangka mendorong bank-bank untuk
ikut menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan moneter.
b. Prudential supervision adalah pengawasan yang mendorong bank secara individual tetap
sehat serta mampu memelihara kepentingan masyarakat secara baik.
Tujuan yang ingin dicapai oleh macro-prudential supervision adalah mengarahkan dan mendorong
bank serta sekaligus mengawasinya, agar dapat berperan dalam berbagai program pencapaian
sasaran ekonomi makro. Sedangkan tujuan prudential supervision adalah mengupayakan agar setiap
bank secara individual sehat dan aman, serta seluruh industri perbankan sehat, sehingga
kepercayaan masyarakat dapat terjaga.10

8

Maman Ukas, Manajemen: Konsep, Prinsip dan Aplikasi, Agnini, Bandung, 2004

Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank: Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Penja min
Simpanan di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 220-221.
10
Ahmad Solahudin, Pemisahan Kewenangan Bank Indonesia Dengan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengawasan
Bank, IAAI (Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional-Indonesia), Hlm 6

9

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentan Perbankan, perihal pengawasan dan
pengaturan perbankan, Bank Indonesia sebagai otoritas yang berwenang dalam hal melakukan
pengaturan dan pengawasan bank memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan
usaha tertentu bank, menetapkan peraturan, melaksanakan pengawasan Bank serta mengenakan
sanksi terhadap bank.
Dalam hal kewenangan memberikan izin (right to license), yang dimaksud adalah
kewenangan untuk menetapkan tata cara perizinan dan pencabutan izin usaha bank, pemberian izin
pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, pemberian persetujuan atas kepemilikan dan
pengurusan bank, pemberian izin kepada bank untuk menjalani kegiatan-kegiatan usaha tertentu.11
Kewenangan pemberian izin tersebut merupakan seleksi awal terhadap kehadiran sebuah
bank dengan menetapkan tata cara perizinan dan pendirian suatu bank. Pada umumnya persyaratan
pendirian bank menyangkut 3 (tiga) aspek, yaitu:12

(a) Akhlak dan moral calon pemilik dan pengurus bank,
(b) Kemampuan menyediakan dana dalam jumlah tertentu untuk modal bank, dan
(c) Kesungguhan dan kemampuan dari para calon pemilik dan pengurus bank dalam
melakukan kegiatan usaha bank.
Kewenangan untuk mengatur (right to regulate) adalah menetapkan ketentuan yang
menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan dalam rangka mencptakan perbankan sehat guna
memenuhi jasa dalam rangka menciptakan perbankan yang diinginkan masyarakat. 13
Didalam Kewenangan Mengawasi, Bank Indonesia membaginya dalam 2 (dua)
pengawasan, yaitu:14
a. Pengawasan bank secara langsung (on-site supervision)
Terdiri dari pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus dengan tujuan untuk mendapatkan
gambaran keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan Bank terhadap
peraturan yang berlaku, serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik tidak sehat
yang membahayakan kelangsungan usaha Bank.
b. Pengawasan tidak langsung (off-site supervision)
Pengawasan melalui alat pemantau seperti laporan berkala yang disampaikan bank, laporan
hasil pemeriksaan dan informasi lainnya.
Sedangkan kewenangan untuk mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundangundangan terhadap Bank apabila suatu Bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan. Tindakan ini
mengandung unsur pembinaan agar bank beroperasi sesuai dengan asas perbankan yang sehat.15
11


Bank Indonesia, Bookled Perbankan Indonesia, 2010, Direktorat Perizinan dan Informasi Bank Indonesia, Jakarta,
2010, hlm 11-12
12
Ibid
13
Ibid
14
Ibid

Dalam hal menjalankan tugas pengawasan bank, Bank indonesia melaksanakan sistem
pengawasan dengan menggunakan 2 pendekatan, yaitu:16
1. Pengawasan berdasarkan kepatuhan (compliance based supervision), yaitu pemantauan
kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan yang terkait dengan operasi dan pengelolaan
bank di masa lalu dengan tujuan untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan
dikelola secara baik dan benar menurut prinsip kehati-hatian. Pengawasan terhadap
pemenuhan aspek kepatuhan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksaan
pengawasan bank berdasarkan risiko;
2. Pengawasan berdasarkan risiko (risk based supervision) yaitu pengawasan bank yang
menggunakan strategi dan metodologi berdasarkan risiko yang memungkinkan pengawasan

bank dapat mendeteksi risiko yang signifikan secara dini dan mengambil tindakan
pengawasan yang sesuai dan tepat waktu.
Berkaitan dengan tugas mengatur dan mengawasi bank, Bank Indonesia sebagai bank sentral
berwenang:17
a. Menetapkan peraturan perbankan termasuk ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat
prinsip kehati-hatian.
b. Memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank,
termasuk memberikan dan mencabut izin usaha tertentu dari bank, memberikan izin
pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas
kepemilikan dan kepengurusan bank, memberikan izin kepada bank untuk menjalankan
kegiatan usaha tertentu
c. Melaksanakan pengawasan bank secara langsung dan tidak langsung melalui penyampaian
laporan, keterangan oleh bank serta hasil pemeriksaan terhadap bank, secara berkala ataupun
setiap waktu jika diperlukan.
d. Menugaskan kepada pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia dalam melaksanakan
pemeriksaan. Pihak lain yang melaksanakan pemeriksaan wajib merahasiakan keterangan
dan data yang diperbolehkan.
e. Memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan
transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut
diduga merupakan tindakan pidana di bidang perbankan.
f. Melakukan tindakan tertentu sebagai akibat dari penilaian Bank Indonesia terhadap suatu
bank atas kegiatan yang dapat membahayakan usaha bank tersebut dan/atau sistem
perbankan secara keseluruhan.
15

Ibid
Ibid, hlm 12-14
17
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia edisi kedua, Kencana, Jakarta, 2005, h.177-178
16

g. Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan
yang independentI, dan dibentuk dengan undang-undang.
h. Mengatur dan mengembangkan sistem informasi antar bank. Sistem informasi dapat
dilakukan sendiri oleh Bank Indonesia dan/atau oleh pihak lain dengan persetujuan Bank
Indonesia.
i. Mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Ketentuan

Undang-Undang

Perbankan

didalamnya

termuat

prinsip

kehati-hatian

sebagaimana dalam Pasal 2, hal tersebut untuk memberikan rambu-rambu bagi penyelenggara
kegiatan usaha agar terwujud sistem perbankan yang sehat dan juga efisen. Oleh karenanya, setiap
pengaturan dan pengawasan dibidang perbankan harus didukung pula dengan penerapan sanksi
yang adil serta harus disesuaikan pula dengam standar yang berlaku secara Internasional.

III. Kewenangan Bank Indonesia dalam Pengaturan dan Pengawasan sektor Perbankan di
Indonesia setelah disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan
Perkembangan ekonomi Indonesia saat ini yang diikuti dengan pertumbuhan dalam bidang
lembaga keuangan khususnya sektor perbankan dapat terlihat dari adanya perubahan peraturan
perundang-undangan yang terjadi. Segala perubahan tersebut pada dasarnya dilandasi untuk
mencapa kesejahteraan dan perlindungan masyarakat. Salah satunya adalah dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
A. Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan
Pada awalnya rencana pembentukan Otoritas Jasa Keuangan telah lama dirancang melalui
Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Namun, Otoritas Jasa
Keuangan belum dibentuk pada waktu itu walaupun telah diamanatkan dibentuk sebelum akhir
tahun 2002. Kemudian barulah pada tanggal 22 November 2011 melalui amanat Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Pasal 34, terbentuk lembaga negara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan disahkannya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Alasan pembentukan lembaga ini antara lain adalah makin kompleks dan bervariasinya
produk jasa keuangan, munculnya gejala konglomerasi perusahaan jasa keuangan, dan globalisasi
industri jasa keuangan. Disamping itu, salah satu alasan rencana pembentukan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) adalah karenaa pemerintah beranggapan bahwa Bank Indonesia sebagai bank
sentral telah gagal dalam mengawasi sektor perbankan. Kegagalan tersebut dapat dilihat dar krisis
ekonomi yang melanda Indonesia mula pertengahan tahun 1997, dimana sebanyak 16 bank

dilikudasi pada saat itu.18 Kemudian salah satu kasus yang paling diingat adalah gagalnya Bank
Indonesia melakukan pengawasan terhadap Bank Century. Bank Indonesia dianggap tidak mampu
bertindak tegas atau tidak mampu menjatuhkan hukuman yang keras kepada bank yang dinilai
melakukan kejahatan dibidang perbankan. Disamping itu alasan lain dari pembentukan Otoritas Jasa
Keuangan ini agar Bank Indonesia fokus kepada pengelolaan moneter dan tidak perlu mengurusi
pengawasan bank karena bank itu merupakan sektor dalam perekonomian.
Berdasarkan ketentuan pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan bahwa “OJK adalah lembaga yang independen
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk
hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini”. Selanjutnya dalam Pasal 4 bahwa tujuan
dibentuknya OJK adalah agar keseluruhan sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil,
transparan, dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan
dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011, dimana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diberikan tugas-tugas pengaturan
dan pengawasan terhadap:
1. Bidang Perbankan
a) Menetapkan ketentuan persyaratan dan tat cara pendirian bank, perizinan bank,
ketentuan persyaratan dan tata cara pembukaan kantor bank, serta pembukaan kantor
cabang, kantor cabang pembantu dan kantor perwakilan diluar negeri.
b) Menetpkan ketentuan mengenai pihak yang dapat membeli saham.
c) Menetapkan ketentuan mengenai perubahan kepemilikan saham, merger, konsolidasi,
dan akuisisi.
d) Pengawasan bank.
e) Melakukan tindakan yang diperlukan dalam hal bank mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya.
f) Mengatur pengangkatan dewan komisaris, direksi, dan tenaga asing bank.
g) Menetapkan ketentuan kerahasiaan bank.
h) Menetapkan ketentuan sanksi pidana dan/atau wewenang lain sebagaimana diatur dalam
UU perbankan
i) Tugas OJK tidak mencakup sistem pmbayaran, lender of resort, dan kebijakan moneter.
2. Bidang Pasar Modal
a) Mengatur sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang di Pasar Modal.
18

Afika Yumya, Skripsi Pengaruh Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kewenangan Bank Indonesia
Dibidang Pengawasan Perbankan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2008, h.28

3. Bidang industri keuangan non-bank
a) OJK berwenang memeriksa dan menyidik. OJK bisa mempekerjakan penyidik
kepolisian dan kejaksaan dalam jangka waktu tertentu.
b) OJK dipimpin dewan komisioner yang beranggotakan tujuh orang, terdiri dari satu orang
ketua yang merangkap anggota, satu anggota independen, satu orang ex officio dari
Dewan Gubernur Bank Indonesia, satu orang ex officio pejabat Kementerian Keuangan
setingkat eselon I dan masing-masing satu orang kepala eksekutif dari tiga bidang
pengawasan.
c) Menteri Keuangan berwenang mengusulkan anggota komisioner independen dan ex
officio Kementerian Keuangan, Komisioner ex officio kepala eksekutif dari internal,
yakni deputi kepala eksekutif.
d) OJK wajib berkoordinasi dengan Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan LPS
melalui Forum stabilitas sektor keuangan.

B. Pengalihan Kewenangan Pengaturan dan Pengawasan Perbankan dari Bank
Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan
Pembentukan lembaga baru dalam bidang pengawasan tentu akan berdampak bagi Bank
Indonesia dan juga bagi Otoritas Jasa Keuangan. Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 24 UndangUndang Bank Indonesia dalam mengemban tugas untuk mengatur dan mengawasi bank, Bank
Indonesia berwenang untuk memberikan dan mencabut izin pendirian bank, menetapkan peraturan,
mengawasi, sampai memberikan sanksi kepada bank sesuai dengan perundang-undangan. Dari
penjelasan tersebut tentunya dapat dilihat bahwa Bank Indonesia bukan hanya berwenang saja
dalam mengatur dan mengawasi sistem perbankan nasional. Namun, Bank Indonesia juga memiliki
tanggung jawab dan kewajiban yang utuh dalam melakukan pembinaan kepada bank, baik dengan
cara represif maupun prefentif.
Dengan adanya pembentukan OJK, kewenangan Bank Indonesia yang semula memegang
penuh dalam sistem perbankan nasional kini dibatasi oleh pemerintah dan DPR. Sebab, didalam
ketentuan Pasal 6 huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 telah menyebutkan bahwa OJK
melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan disektor
perbankan. Selain itu, didalam ketentuannya yakni pada Pasal 7 UU OJK juga telah disebutkan
bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan, OJK
mempunyai wewenang yaitu:
a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:

1. Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana
kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi
dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank, dan
2. Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi,
dan aktivitas di bidang jasa
b. Pengaturan dan pengawasan mengennai kesehatan bank yang meliputi:
1. Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum,
batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan
pencadangan bank;
2. Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
3. Sistem informasi debitur;
4. Pengujian kredit (credit testing); dan
5. Standar akuntasi bank.
c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
1. Manajemen risiko;
2. Tata kelola bank;
3. Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
4. Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
d. Pemeriksaan bank
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, maka kewenangan-kewenangan yang beralih
tersebut adalah:
1) Mengatur dan mengawasi bank (Pasal 8 point c)
2) Menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan kegiatan usaha
tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank
sesui dengan ketentuan perundang-undangan. (Pasal 24)
3) Menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian. (Pasal 25)
4) Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
(Pasal 26):
a. Memberikan dan mencabut izin usaha bank.
b. Memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor bank.
c. Memberikan persetujuan atas kepemilikan dan keperngurusan bank.
d. Memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan usaha tertentu.
5) Melakukan pengawasan bank sebagaimana dimaksud Pasal 24, yaitu pengawasan langsung
dan tidak langsung. (Pasal 27)

6) Mewajibkan bank untuk (Pasal 28):
a. Menyampaikan laporan, keterangan dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia
b. Apabila diperlukan, kewajiban tersebut diatas dikenakan pula terhadap perusahaan
induk, perusahaan anak, pihak terkit, dan pihak terafiliasai dari pihak bank
7) Melakukan pemeriksaan (Pasal 29)
a. Terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan
b. Apabila diperlukan, pemeriksaan sebagaimana dimaksud diatas dapat dilakukan terhadap
perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi, dan debitur bank
c. Bank dan pihak-pihak sebagaimana dimaksud diatas, wajib memberikan kepasa
pemeriksa:
(1) Keterangan dan data yang diminta
(2) Kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen, dan sasaran fisik yang
berkaitan dengan kegiatan usahanya
(3) Hal-hal yang diperlukan.
8) Menugasi pihak lain (Pasal 30)
a. Untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2)
b. Pihak lain yang melaksanakan pemeriksaan sebagamana dimaksud dalam ayat (1), wajib
merahasiakan keterangan dan data yang diperoleh dalam pemeriksaan
c. Syarat-syarat bagi pihak lain yang ditugasi pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Bank Indonesia
9) Memerintahkan bank untuk (Pasal 31):
a. Menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila
menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan terhadap suatu transaksi patut diduga
merupakan tindak pidana di bidang perbankan
b. Apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud diatas tidak diperoleh bukti yang
cukup, OJK pada hari itu juga mencabut perintah penghentian transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
10) Mengatur (Pasal 32):
a. Serta mengembangkan sistem informasi antar bank
b. Sistem informasi tersebut dapat diperluas dengan menyertakan lembaga lain dibidang
keuangan
c. Penyelenggaraan sistem informasi tersebut dapat dilakukan sendiri dan/atau oleh pihak
dengan persetujuan OJK

11) Dalam keadaan suatu bank menurut penilaian OJK membahayakan kelangsungan usaha
bank yang bersangkutan dan/atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan
perbankan yang membahayakan perekonomian nasional. OJK melakukan tindakan
sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku (Pasal 33).
Berkaitan dengan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan tersebut, kewenangan Bank
Indonesia setelah berlakunya UU OJK dalam pengawasan bank, hanya mencakup bidang
macroprudential saja. Seperti yang berkaitan dengan kebijakan moneter dan sistem pembayaran

seperti ketentuan tentang Giro Wajib Minimum (GWM), ketentuan devisa, Operasi Pasar Terbuka
(OTP), dan laporan-laporan serta pemeriksaan yang terkait dengan pelaksanaan tugas dibidang
moneter dan sistem pembayaran yang merupakan kewenanan otoritas moneter Bank Indonesia.
Sedangkan tugas dan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan hanya dari aspek mikroprudensial seperti
kelembagaan, kegiatan perusahaan, dan penilaian tingkat kesehatan.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/11/PBI/2014 Tentang Pengaturan dan
Pengawasan Makroprudensial, maka kewenangan BI dalam pengawasan bank adalah :
1. Bank Indonesia melakukan pengawasan makroprudensial melalui surveilans Sistem
Keuangan dan pemeriksaan terhadap Bank dan lembaga lainnya yang memiliki
keterkaitan dengan Bank jika diperlukan (Pasal 5).
2. Bank Indonesia melakukan surveilans dalam rangka melakukan penilaian terhadap
Risiko melalui pemantauan perkembangan kondisi Sistem Keuangan, identifikasi dan
analisis risiko Sistem Keuangan, serta penilaian risiko Sistem Keuangan (Pasal 6).
3. Bank wajib menyediakan dan menyampaikan data dan informasi yang diperlukan oleh
Bank Indonesia dan wajib bertanggung jawab atas kebenaran data dan informasi yang
disampaikan melalui sistem pelaporan Bank, pertemuan langsung, dan/ atau sarana
komunikasi lain yang ditetapkan Bank Indonesia (Pasal 7).
4. Bank Indonesia melakukan pemeriksaan sebagaimana terhadap Systemically Important
Bank dan/ atau Bank lainnya untuk meyakini Risiko Sistemik yang bersumber dari
kegiatan usaha Bank dengan cakupan pemeriksaan dapat meliputi pemeriksaan terhadap
implementasi kebijakan dan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia dan/atau
kewajaran data yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia (Pasal 8).
5. Dalam melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Bank
Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap perusahaan induk, perusahaan afiliasi,
dan perusahaan anak dari Bank yang dinilai memberikan eksposur risiko yang signifikan
terhadap Bank atau berdampak sistemik (Pasal 9).
6. Bank memberikan kepada pemeriksa: dokumen dan/atau data yang diminta, keterangan
dan penjelasan yang berkaitan dengan kegiatan yang diperiksa, baik lisan maupun

tertulis, akses terhadap sistem informasi Bank; dan/atau hal lain yang diperlukan dalam
pemeriksaan dan dilarang menghambat proses pemeriksaan (Pasal 10).
7. Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan yang wajib
menjaga kerahasiaan data dan informasi yang diperoleh dari hasil pemeriksaan (Pasal
11).
Dengan adanya UU OJK, maka pengawasan perbankan tidak lagi berada ditangan Bank
Indonesia melainkan berada pada tangan OJK. Meskipun telah terbentuk lembaga pengawasan
tersebut, namun peranan Bank Indonesia terhadap pengwasan bank tidak dapat dikesampingkan.
Sebab lemabaga tersebut (OJK) tetap harus mempunyai hubungan kordinasi yang baik dengan Bank
Indonesia, diantaranya menyangkut keterangan dan data perbankan yang ada.
Dengan telah terbentuknya OJK, Bank Indonesia akan fokus kepada kewenangan dalam hal
kebijakan moneter yaitu kebijakan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang
dilakukan antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan atau suku bunga.
IV. Penutup
A. Kesimpulan
Pengalihan kewenangan merupakan konsekuensi dari terbentuknya lembaga baru yang
berfungsi sebagai pengawas. Bank Indonesia harus merelakan salah satu kewenangannya tersebut
beralih ke lembaga pengawas baru yaitu Otoritas Jasa Keuangan yang didasarkan pada UndangUndang Nomor 21 Tahun 2011. Adapun tugas dan kewenangan Bank Indonesia yang beralih
menyangkut tentang kewenangan pengawasan perbankan yang meliputi kewenangan memberi izin,
termasuk memberikan izin pendirian bank, pendirian kantor cabang sampai dengan pencabutan izin,
kewenangan untuk mengatur, kewenangan untuk mengawasi.
Pada dasarnya hilangnya fungsi pengawasan perbankan menjadi sebuah tantangan besar
bagi Bank Indonesia. Pembenahan peran dan tugas Bank Indonesia untuk masa mendatang terus
dilakukan guna membangun suatu Bank Indonesia yang baru dimana fungsi pengawasan perbankan
sudah tidak ada. Pada awalnya pembentukan Otoritas Jasa Keuangan menimbulkan banyak
perdebatan bahwa Otoritas Jasa Keuangan sering dinilai hanya menimbulkan pemborosan karena
selama ini Bank Indonesia yang mengawasi lembaga perbankan dianggap sudah melakukan
tugasnya dengan baik serta dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara kedua lembaga
negara tersebut. Namun menurut argumentasi penulis pribadi bahwa pembentukan Otoritas Jasa
Keuangan justru dapat memperbaiki sistem pengawasan yang sudah ada. Pembentukan Otoritas
Jasa Keuangan menjadi sangat penting dan krusial demi masa depan dunia perbankan yang saat ini
tengah mengalami masa pertumbuhan. Sistem keuangan di Indonesia antara lembaga keuangan
bank dengan lembaga keuangan non bank membutuhkan suatu lembaga yang memiliki otoritas
pengawasan yang mumpuni antara lembaga keuangan bank dan terintegrasi dengan lembaga

keuangan non-bank. Dan sebagai pengawas industri keuangan yang baru, Otoritas Jasa Keuangan
diharapkan mampu membuat kebijakan dan peraturan yang jauh lebih baik sehingga mampu
mendorong kemajuan industri keuangan nasional. Disamping itu, dalam pembentukan Otoritas Jasa
Keuangan dihadirkan program terkait dengan perlindungan konsumen, karena seiring dengan
tumbuhnya produk dan jasa pada industri juga akan selalu muncul persoalan terkait dengan
perlindungan konsumen.
Dalam hal beberapa fungsi Otoritas Jasa Keuangan dan lembaga lain terkait khususnya
Bank Indonesia akan terlihat tumpang tindih. Namun, apabila dilihat kembali dalam hal pembagian
kerjanya antara Otoritas Jasa Keuangan dengan lembaga lain terkait khususnya Bank Indonesia
memiliki langkah dan fokus kerja yang berbeda. Otoritas Jasa Keuangan menitik beratkan pada
pengawasan terhadap terhadap bank-bank di Indonesia agar mereka tetap menjalankan kegiatan
secara sehat dan mampu memelihara kepentingan masyarakat sebagai pengguna jasa perbankan
(microprudential). Bank Indonesia sebagai lembaga yang memberikan arahan mengenai
perkembangan perbankan, melakukan pengawasan terhadap bank-bank di Indonesia agar mereka
terus menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan moneter (macroprudential). Tentu
saja dalam hal ini BI harus memastikan bahwa bank-bank tersebut turut mendukung kebijakan yang
dikeluarkan BI dalam menjaga stabilitas moneter.
Walaupun antara Otoritas Jasa Keuangan dengan bank Indonesia memilki langkah dan fokus
kerja yang berbeda, namun sebenarnya kedua lembaga tersebut tidak dapat dipisahkan secara
mutlak dalam peran dan wewenangnya. Untuk itu perlu adanya koordinasi yang baik anatara kedua
lembaga negara tersebut.
B. Saran
Hal pertama yang menjadi kunci keberhasilan sebagaimana tujuan pengalihan kewenangan
Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan adalah diterapkannya mekanisme koordinasi yang
baik antara kedua lembaga negara tersebut. Mekanisme tersebut dilakukan terhadap adanya potensi
benturan tugas dan kewenangan diantara Bank Indonesia dan OJK. Hal tersebut juga didasari pada
Pasal 39 s.d 43 Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan yang mengamanatkan OJK berkoordinasi
dengan BI dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan, BI dapat melakukan
pemeriksaan langsung terhadap bank dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih
dahulu kepada OJK namun tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank, OJK
menginformasikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengenai bank bermasalah yang
sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK. Dalam hal OJK mengindikasikan bank tertentu
mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan semakin memburuk, OJK segera
menginformasikan ke BI untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan BI.

DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia. 2010. Bookled Perbankan Indonesia. Direktorat Perizinan dan Informasi Bank
Indonesia. Jakarta.
Chandra, M Jeffri Arlinandes. 2015. Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pengaturan Dan
Pengawasan Perbankan Setelah Terbitnya Undang-Undang No 21 Tahun 2011 Tentang
Otoritas Jasa Keuangan. Jurnal Hukum Sehasen Vol.1 No.1. Fakultas Hukum Universitas
Dehasen

Bengkulu.

http://jurnal.unived.ac.id/index.php/jhs/article/download/336/304

diakses tanggal 06 April 2018 Pukul 15.30 WB
Gazali, Djoni S. dan Rachmadi Usman. 2012. Hukum Perbankan. Jakarta: Sinar Grafika.
Indonesia, Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, Undang- Undang No. 21 Tahun 2011
(LN. No. 111 Tahun 2011, TLN. No. 5253).
Kusdarwanto. 2013. Tesis. Kewenanan Bank Indonesia dalam Pengawasan Perbankan setelah
Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Program Studi Magister Fakultas Hukum
Universitas Airlangga. Surabaya.
Lestari, Hesty D. Otoritas Jasa Keuangan: Sistem Baru Dalam Pengaturan dan Pengawasan Sektor
Jasa Keuangan. Jurnal Hukum. Magister Ilmu Hukum. Universitas Muhammadiyah Jakarta.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/download/13369/9064 diakses tanggal
04 April 2018 Pukul 10.00 WIB
Peraturan

Bank

Indonesia

No.

16/11/PBI/2014

Tentang

Pengaturan

dan

Pengawasan

Makroprudensial.
Solahudin, Ahmad. 2015. Pemisahan Kewenangan Bank Indonesia Dengan Otoritas Jasa Keuangan
Dalam Pengawasan Bank. IAAI (Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional-Indonesia). Jurnal
Online.

http://jurnalius.ac.id/ojs/index.php/jurnalIUS/article/download/202/176

diakses

tanggal 06 April 2018 Pukul 15.30 WIB
Undang-Undang Perbankan, (UU Nomor. 7 Tahun 1992 Jo. UU Nomor. 10 Tahun 1998),Jakarta :
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departmen Hukum dan Ham,2007.
Undang-Undang tentang Bank Indonesia, Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 (LN. No. 66 Tahun
1999, TLN. No. 3843) sebagaimana diubah melalui UU No. 3 Tahun 2004 sebagaimana
diubah melalui UU No.6 Tahun 2009 (LN. No. 7 Tahun 2009, TLN. No. 4962).
Yumya, Afika. 2008. Skripsi Pengaruh Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap
Kewenangan Bank Indonesia Dibidang Pengawasan Perbankan. Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.

Dokumen yang terkait

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15