TUGAS HUKUM BISNIS INTERNASIONAL EKSPOR
TUGAS HUKUM BISNIS INTERNASIONAL
EKSPOR TUNA ANTARA INDONESIA DAN UNI EROPA
Disusun Oleh:
ZULHADI AWIS
(131010282)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2015/2016
1
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Ekspor
Tuna antara Indonesia dan UE Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Ekspor Tuna antara Indonesia dan
UE ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Pekanbaru, September 2016
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
DAFTAR ISI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .3
BAB I . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .4
PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .4
Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .5
BAB II. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
6
TINJAUAN PUSTAKA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
Pengaruh Penerapan Kebijakan Tarif Uni Eropa Terhadap Ekspor Tuna Indonesia. 6
Kendala dan Permasalahan Industri Perikanan Tuna. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19
Studi Kasus atau Permasalahan Ekspor Tuna antara Indonesia dan Uni Eropa. . . . 24
BAB III
PENUTUP. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28
Kesimpulan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28
Saran. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 29
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .30
3
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Export adalah suatu kegiatan pemindahan barang dari tempat asal ke tempat lain.
Dalam dunia perdagangan, pengertian Export adalah proses pengiriman / penjualan barang
dari dalam negeri dengan tujuan luar negeri. Dimana dalam kegiatan export tersebut tidak
terlepas dari proses dan aturan yang berlaku di negara tersebut dan melibatkan berbagai
pihak. Baik itu instansi swasta meupun negeri kelompok kami ingin mengexport ikan Tuna
ke Negara Uni Eropa.
Tuna adalah komoditas perikanan dan kelautan andalan Indonesia kedua setelah
udang di pasar dunia. Uni Eropa sendiri merupakan tujuan utama ekspor komoditas tuna
Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor tuna terbesar di dunia. Ikan tuna
pada umumnya diekspor dalam bentuk segar utuh disiangi (fresh whole gilled and gutted);
produk beku utuh disiangi (frozen whole gilled and gutted), loin (frozen loin) dan steak
beku (frozen steak); serta produk dalam kaleng (canned tuna).
Produk-produk tuna tersebut sebagian besar diekspor ke manca negara dan hanya
sebagian kecil yang dipasarkan di dalam negeri. Dalam kurun waktu 1999- 2004, volume
ekspor tuna mengalami kenaikan rata-rata sebesar 2,72 per tahun yakni dan 87.581 ton
menjadi 94,221 ton. Sedangkan dan sisi nilai, terjadi kenaikan rata-rata sebesar 5,56 % per
tahun, yaitu dan US $ 189,397 juta pada tahun 1999 menjadi US$ 243,937 juta pada tahun
2004 (Departemen Kelautan dan Penikanan, 2005).
5
Negara yang menduduki peringkat atas sebagai tujuan ekspor tuna
Indonesia adalah Jepang (36,84%), disusul Amerika Serikat (20,45%) dan
Uni Eropa(12,69%).
Data ini menggambarkan bahwa tiga negaralkawasan
tersebut
sangat berpengaruh terhadap kinerja ekspor tuna Indonesia (Departemen
Kelautan dan Penikanan, 2005). Sementara itu, ekspor ikan tuna ke Uni Eropa
merosot dan 7.400 ton di tahun 2004 menjadi 2.416 ton pada tahun 2006.
Penurunan volume ekspor ikan tuna segar khususnya ke Uni Eropa terhambat
oleh beberapa masalah, antara lain tingginya kadar histamin dan logam berat
(Putro, 2008). Di tahun 2004, dalam laporan RASFF (Rapid Alert System for
Food and Feed) Uni Eropa terdapat 39 kasus histamin pada ikan, dengan 32
kasus terdapat pada tuna. Dan 32 kasus tersebut, tuna yang berasal dani
Indonesia sebanyak 21 kasus. Selain kasus histamin, terdapat juga 20 kasus
logam berat yaitu kadmium dan merkuni (European Communities, 2006).
Sementara itu, laporan FDA (Food and Drug Administration) menj elaskan
bahwa dan tahun 2001-2005 terdapat 350 penolakan pada produk tuna Indonesia
karena kasus histamin dan logam berat.
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengaruh Penerapan atau Hambatan Kebijakan Tarif Uni
Eropa terhadap ekspor tuna Indonesia?
2. Bagaimana Kendala dan Permasalahan Perdagangan Tuna?
3. Bagaimana Kasus yang Ada Pada Ekspor Tuna Antara Indonesia dan
Eropa?
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENGARUH
PENERAPAN
KEBIJAKAN
TARIF UNI
EROPA
TERHADAP EKSPOR TUNA INDONESIA
A. Tuna
Tuna adalah ikan laut yang terdiri dari beberapa spesies dari famili
Scombridae, terutama genus Thunnus. Dalam statistik perikanan tangkap
Indonesia, tuna merupakan nama grup dari beberapa jenis ikan yang
terdiri dari :
(1) jenis tuna besar (Thunnus spp.) yakni bluefin tuna (Thunnus thynnus),
yellowfin tuna (Thunnus albacares), bigeye tuna (Thunnus obesus),
southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii), dan albacore (Thunnus
alalunga) serta jenis ikan mirip tuna (tuna-like species) seperti marlin,
sailfish dan swordfish;
(2) jenis cakalang (skipjack tuna); dan
(3) jenis tongkol, meliputi eastern little tuna (Euthynus spp.), frigate and
bullet tuna (Auxus spp.) dan longtail tuna (Thunnus tonggol).
Ragam Spesies Tuna dan Daerah Penyebarannya
Ikan tuna tidak seperti kebanyakan ikan yang memiliki daging
berwarna putih, daging ikan tuna berwarna merah muda sampai merah
tua. Hal ini karena otot tuna lebih banyak mengandung myoglobin dari
pada ikan lainnya. Beberapa spesies tuna yang lebih besar, seperti tuna
sirip biru (bluefin tuna), dapat menaikkan suhu darahnya di atas suhu air
dengan aktivitas ototnya. Hal ini menyebabkan mereka dapat hidup di air
yang lebih dingin dan dapat bertahan dalam kondisi yang beragam
7
(Anonim 2008).
Dalam Burhanudin (1984) dikatakan suku Scombridae mencakup banyak
jenis di dunia dan tercatat sebanyak 46 jenis. Dari 46 jenis suku
Scombridae, perairan Indonesia hanya memiliki sebanyak 20 jenis dan
untuk jenis tuna yang terdapat di perairan Indonesia hanya sebanyak 9
jenis. Jenis tuna di perairan Indonesia diterangkan pada Tabel 3.
Pergerakan (migrasi) kelompok ikan tuna di wilayah perairan
Indonesia mencakup wilayah perairan pantai, teritorial dan Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia. Keberadaan tuna di suatu perairan
sangat bergantung pada beberapa hal yang terkait dengan spesies tuna,
kondisi hidro-oseanografi perairan. Pada wilayah perairan ZEE Indonesia,
migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur
migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan
perbatasan perairan antara samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
(DKP 2006b).
Jenis tuna yang banyak diekspor Indonesia antara lain albakora,
madidihang (yello fin), cakalang, dan abu-abu (southern bluefin).
Penyebaran dan ciri-ciri dari jenis tuna tersebut, sebagai berikut:
a) Albakora (Thunnus alalunga)
Albakora terdapat menyebar secara luas di bagian utara Samudra
Pasifik, bagian Barat Daya Samudera Hindia samapai Selatan Nusa
8
Tengga, daerah Mediteranean dan sekitar teluk Meksiko di Samudera
Atlantik. Ikan ini hidup pada kisaran suhu 10-31ºC dan lebih menyukai
suhu sedang daripada suhu tinggi. Albakora memiliki badan relatif
pendek dibandingkan dengan tuna besar lainnya. Permulaan sirip dada
terletak di belakang lubang insang, panjang dan melengkung ke arah ekor
hingga di belakang ujung sirip punggung kedua. Sirip dada yang
panjangnya mencapai sepertiga dari seluruh panjang badannya,
merupakan ciri khas dalam pengenalannya (Gambar 1) (Tampubolon
1983).
Siripnya berwarna hitam dan pada bagian punggung badannya
berwarna biru tua dan berwarna perak yang senmakin memudar kearah
perut. Albakora yang biasa ditangkap berukuran rata-rata 20 kg per ekor
dengan kisaran antara 4-34 kg per ekor (Tampubolon 1983).
b) Tuna Abu-abu (Thunnus maccoyii dan Thunnus thynnus)
Berdasarkan tempat penyebarannya, tuna abu-abu dibagi dua yaitu
tuna abu-abu Utara dan tuna abu-abu Selatan. Tuna abu-abu Utara
ditemukan dan hidup pada perairan Pasifik Selatan dan Tengah sekitar
perairan Jepang. Selain itu juga ditangkap di Samudera Atlantik pada
sebelah Timur dari California serta bagian Barat Daya benua Afrika. Tuna
abu-abu Selatan ditemukan pada daerah Indo Pasifik Ocean menyebar
antara Australia dan Selat Sunda. Tuna abu-abu selatan ditemukan dekat
9
New Zealand di Samudera Pasifik dan pantai Barat Australia di Samudera
Hindia. Tempat berpijahnya diperkirakan di pantai Selatan Jawa sekitar
bulan September sampai dengan Maret. Tangkapan tertinggi tuna abu-abu
yang pernah terjadi adalah 70.000 ton untuk abu-abu Utara dan 40.000
ton untuk tuna abu-abu selatan. Nama perdagangan ikan tuna abu-abu
adalah southern bluefin tuna. Tuna abu-abu sering disebut ikan yang
mempunyai kekuatan dan kecepatan melebihi banteng. Badanya
berbentuk oval, tinggi, tebal dan padat berisi sekitar dada dan lonjong ke
arah ekor yang kuat. Letak siripnya yang amat tepat sangat berguna dalam
kesempurnaan peluncuran dan pergerakannya. Sirip punggung kedua,
sirip dada dan sirip duburnya pendek (Gambar 2) (Tampubolon 1983).
c) Cakalang (Katsuwonus pelamis)
Ikan cakalang adalah jenis tuna yang paling banyak dan tersebar
luas diketiga Samudera dan laut-laut diantaranya. Badan ikan ini hampir
bundar dan gemuk padat. Ekornya pendek dan tegak. Tangkai ekor
sampai ke pinggir kelihatan sangat sempit. Sirip punggung pertamanya
kelihatan tinggi ketika muncul dari celah-celah araus pada waktu ikan ini
berenang. Sirip dada dan sirip punggung kedua pendek dan berwarna
hitam. Ikan cakalang berenang cepat melawan arus dan rakus terkhadap
makanan. Biasanya cakalang muncul di permukaan bersamaan dengan
madidihang ukuran kecil, tetapi mudah dibedakan dari jarak jauh karena
perbedaan loncatannya. Cakalang merupakan jenis yang termasuk dalam
kelompok tuna dengan nama dagangnya skipjack tuna.
10
d) Madidihang (Thunnus albacares) atau Yellowfin Tuna
Lokasi penyebarannya hampir serupa dengan ikan cakalang. Di
ketiga Samudera dan mendekati daerah tropis, Madidihang ditangkap
sepanjang tahun pada perairan dengan suhu 10-31ºC. Madidihang
memiliki badan yang besar gemuk dan kuat dengan sumber kekuatannya
pada pertemuan ekor dan badan. Madidihang dianggap sebagai proyaktil
laut yang terbaik dari semua jenis tuna. Sirip punggung kedua dan sirip
duburnya melengkung panjang ke arah ekor yang ramping dan runcing
berbentuk sabit. Hal inilah yang merupakan ciri khass dari madidihang
(Gambar 3) (Tampubolon 1983).
Bentuk Produk Perdagangan Tuna
Di dunia ini tersebar tuna dan sejenisnya yang mempunyai nilai
ekonomis tinggi bila dibandingkan dengan produk lainnya. Potensi
perairan Indonesia dengan kepemilikan banyak jenis ikan, memiliki
peluang besar dalam usaha pengembangan produk tuna. Secara umum,
jenis utama dari produk ikan tuna yang digemari oleh pasar internasional
dan diperdagangkan dalam bentuk segar (fresh/chilled), beku (frozen),
dan olahan (dalam bentuk olahan (preserved)), maupun wadah vakum
(airtight container). Dalam perdagangan dunia setiap komoditi yang
diperjualbelikan di pasar dunia memiliki nomor kode HS sebagai identitas
dari komoditi tersebut. kode HS 6 digit untuk ikan tuna segar (fresh), ikan
tuna beku (frozen), dan ikan tuna dalam kemasan secara berurutan adalah
HS 0302.30, HS 0303.40, dan HS 1604.14 .
11
B. Gambaran Umum Pasar Tuna Indonesia
Perkembangan Produksi Tuna Indonesia
Selama periode 1999-2006, produksi tuna Indonesia mengalami
stagnasi. Persentase rata –rata kenaikan produksi pada tahun 2005-2006
untuk masingmasing jenis sebesar -12,96 % untuk tuna, 9,97 % untuk
cakalang, dan 6,25 % untuk tongkol. Berikut grafik perkembangan
produksi tuna Indonesia tahun 1999-2006 disajikan dan Gambar 4.
Dari grafik diatas dapat dilihat pada tahun 1999, volume produksi
tuna mencapai 136.474 ton dan meningkat menjadi 151.926 ton pada
tahun 2003 dengan kenaikan rata-rata sebesar 3,18 %. Perkembangan
produksi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara
produsen utama tuna di dunia. Berdasarkan catatan Globefish (FAO) pada
tahun 2000, Indonesia merupakan penangkap tuna kedua di dunia setelah
Jepang. Posisi tersebut berbalik pada tahun 2002, karena Jepang secara
bertahap mengurangi armada tunanya sebesar 20 % (321 unit kapal
longline). Setelah tahun 2002 posisi Indonesia digantikan oleh Taiwan,
karena perikanan tuna di Indonesia menghadapi berbagai permasalahan
seperti kenaikan harga BBM.
12
Perkembangan Ekspor Tuna Indonesia
Pada tahun 1997-2006, ekspor hasil perikanan Indonesia
mengalami fluktuasi dengan persentase kenaikan rata-rata sebesar 7,29
%. Pada periode tahun yang sama, komoditas tuna memberikan
sumbangan yang tidak terlalu besar dalam kegiatan ekspor dan hanya
mengalami rata-rata kenaikan volume sebesar 0,23 % dan rata-rata
kenaikan nilai sebesar 5,58%. Persentase rata-rata kenaikan ekspor
komoditi utama Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.
Pada tahun 2001, volume ekspor tuna Indonesia sebesar 84.206
ton dan mengalami peningkatan menjadi sebesar 92.797 ton pada tahun
2002. Kenaikan volume tuna tidak diikuti kenaikan nilainya di pasar
dunia, hal ini dikarenakan nilai tukar rupiah sedang mengalami
penurunan dari Rp 8.653 per US$ pada tahun 2001 menjadi hanya Rp
8.542 per US$ pada tahun 2002. Daftar nilai tukar rupiah terhadap US$
dapat dilihat pada Lampiran 1. Persentasi rata-rata kenaikan ekspor
tuna Indonesaia ke pasar dunia dari tahun 1997-2006 masih relatif kecil
yaitu 0,23%. Namun jika dilihat dari nilai produksi tuna Indonesia,
keadaan ini dapat ditingkatkan dengan usaha pengembangan industri tuna
yang komprehensif.
13
Secara lebih jelas mengenai perkembangan volume dan nilai ekspor tuna
Indonesia ke dunia dapat dilihat pada grafik yang disajikan Gambar 5.
C. Kebijakan Perdagangan
Kebijakan pada dasarnya merupakan ketentuan-ketentuan yang
harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dan
kegiatan
aparatur
pemerintah
sehingga
tercapai
kelancaran
dan
keterpaduan dalam upaya mencapai tujuan (Lembaga Administrasi
Negara,1996).
Dalam kamus Webster memberi pengertian kebijakan sebagai
prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan
keputusan. Sedangkan Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsipprinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan
14
tertentu. Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada
masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (actionoriented). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah
suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan caracara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam
mencapai tujuan tertentu. Jones dalam Julianingsih, 2003 mengatakan
bahwa kebijakan terdiri dari komponen-komponen 1) Goal atau tujuan
yang diinginkan, 2) Plans atau proposal yaitu pengertian yang spesifik
untuk mencapai tujuan, 3) Program yaitu usaha yang berwenang untuk
mencapai tujuan, 4) Decision atau keputusan yaitu tindakan-tindakan
untuk
menentukan
tujuan
membuat
rencana
melaksanakan
dan
mengevaluasi program dan efek yaitu akibat-akibat dari program (baik
disengaja atau tidak, primer atau sekunder).
Teori dan kebijakan perdagangan internasional merupakan aspek
mikro ekonomi ilmu ekonomi sebab berhubungan dengan masing-masing
negara sebagai individu yang diperlakukan sebagai unit tunggal, serta
berhubungan dengan harga relatif suatu komoditi. Dalam arti luas
kebijaksanaan ekonomi internasional adalah tindakan atau kebijaksanaan
ekonomi pemerintah, yang secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi konposisi, arah serta bentuk daripada perdagangan dan
pembayaran internasional. Kebijakan ini tidak hanya berupa tarif, quota,
dan sebagainya, tetapi juga meliputi kebijaksanaan pemerintah di dalam
negeri yang secara tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap
perdagangan
serta
pembayaran
internasional
seperti
misalnya
kebijaksanaan moneter dan fiskal. Sedangkan definisi yang lebih sempit
kebijaksanaan ekonomi internasional adalah tindakan atau kebijaksanaan
ekonomi pemerintah yang secara langsung mempengaruhi perdagangan
dan pembayaran internasional (Nopirin,1999).
Kebijakan perdagangan dikatakan pula sebagai bentuk regulasi
atau peraturan pemerintah yang membatasi perdagangan bebas. Bentukbentuk kebijakan perdangangan antara lain adalah tarif, kuota, subsidi,
muatan lokal, peraturan administrasi, dan peraturan anti dumping.
15
Kebijakan perdagangan yang dilakukan sebagai proses proteksi terhadap
produk dianggap sebagai penghambat dalam proses perdagangan bebas.
Hambatan perdagangan dinilai mengurangi efisiensi ekonomi, karena
masyarakat tidak dapat mengambil keuntungan dari produktivitas negara
lain. Pihak yang diuntungkan dari adanya hambatan perdagangan adalah
produsen dan pemerintah. Produsen mendapatkan proteksi dari hambatan
perdagangan, sementara pemerintah mendapatkan penghasilan dari
bea-bea.
Hambatan dalam arus perdagangan ada dua macam, yaitu
hambatan yang bersifat tarif (tariff barrier) dan hambatan yang bersifat
non tarif (non tariff barriers). Hambatan yang bersifat tarif (tariff barrier)
merupakan hambatan terhadap terhadap arus barang ke dalam suatu
negara yang disebabkan oleh diberlakukannya tarif bea masuk dan tarif
lainnya, sedangkan yang dimaksud dengan hambatan yang bersifat non
tarif (non tariff barriers) merupakan hambatan terhadap arus barang ke
dalam suatu negara yang disebabkan oleh tindakan-tindakan selain
penerapan pengenaan tarif atas suatu barang.
Kebijakan Tarif (Hambatan Tarif)
Hambatan perdagangan yang paling nyata secara historis adalah
tarif. Tarif adalah pajak yang dikenakan atas barang yang diperdagangkan
lintas batas teritorial. Ditinjau dari aspek asal komoditi ada 2 macam tarif
yakni tarif ekspor (export tariff) dan tarif impor (import tariff). Tarif
impor adalah pungutan bea masuk yang dikenakan atas barang impor
yang masuk untuk dipakai atau dikonsumsi habis di dalam negeri. Tarif
impor berdampak pada penurunan konsumsi domestik dan kenaikan
produksi domestik. Berkurangnya volume impor akibat tarif impor
tercipta pendapatan tambahan bagi pemerintah dalam bentuk
pajak, serta terjadinya retribusi pendapatan dari konsumen domestik.
Sebaliknya ekspor merupakan pajak untuk suatu komoditi yang di ekspor
(Salvatore 1997). Tarif yang diberlakukan pada barang-barang impor
16
bertujuan untuk dapat meningkatkan harga domestik produksi impor yang
membuat produk domestik bisa berkompetisi. Tarif impor akan
dibebankan pada harga jual barang atau jasa yang akan dibeli konsumen,
sehingga menyebabkan harga barang atau jasa bertambah tinggi. Di pasar
domestik harga yang berada di pasar adalah harga ekspor ditambah tarif.
Jadi tarif atau bea masuk adalah salah satu cara untuk memberi proteksi
terhadap industri dalam negeri.
Sebelum adanya pembebanan tarif, OP1 merupakan harga konstan
yang ditetapkan oleh produsen pengimpor, sehingga produsen di dalam
negeri pun harus menjual pada harga yang sama sebagai akibat
persaingan dengan produsen pengimpor. Produksi dalam negeri OQ1 dan
konsumsi OQ4 sehingga Q1Q4 adalah impornya. Terhadap impornya ini
kemudian negara A membebani tarif sebesar P1-P2, maka efeknya adalah:
harga barang tersebut di dalam negeri naik dari OP1 menjadi OP2.
jumlah barang yang diminta berkurang dari OQ4 menjadi OQ3
(consumption effect).
produksi di dalam negeri naik dari OQ1 menjadi OQ2 (import
subsitution
effect).
adanya pendapatan yang diterima oleh pemerintah dari tarif tersebut
sebesar BCEF (revenue effect).
adanya ekstra pendapatna yang dibayarkan oleh konsumen di dalam
negeri kepada produsen di dalam negeri sebesar ABP1P2.
Jenis-jenis tarif ditinjau dari mekanisme perhitungannya ialah :
1. bea ad valorem (bea harga), pajak yang dikenakan berdasarkan angka
presentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor, misalnya
suatu negara memungut tarif 25% atas nilai atau harga dari setiap unit
mobil diimpor.
17
2. bea specific, pungutan bea masuk yang didasarkan pada ukuran atau
satua tertentu dari barang impor.
3. bea compound (bea specific ad valorem), pajak yamh merupakan
kombinasi antara sistem bea ad valorem dan bea specifik. Sistem tarif
yang umum dilakukan oleh tiap negara dan sudah disepakati dalam
pengenaan tarif adalah (Amir 2003):
Tarif Tunggal (Singgle column tariff), yaitu suatu tarif untuk satu jenis
komoditi yang besarnya (prosentasenya) berlaku sama untuk impor
komoditi tersebut dari negara mana saja, tanpa kecuali.
Tarif Umum/Konvensional (General/Conventional Tariff), yaitu satu
tarif untuk satu komoditi yang besar persentase tarifnya berbeda antara
satu negara dengan negara lain, lazim juga dekenal sebagai tarif
berkolom-ganda (two-column tariff).
Tarif Preferensi (Preferential Tariff), yaitu salahs atu tarif yang
merupakan pengecualian dari prinsip non-diskriminatif. Yang dimaksud
dengan tarif preferensi adalah tarif GATT yang persentasinya
diturunkan, bahkan untuk beberapa komoditi sampai menjadi nol persen
(zero) yang idberlalukan olehh negara terhadap komoditi yang diimpor
dari negara-negara lain tertentu karena adanya hubungan khusus antara
negara pengimpor dengan negara pengekspor.
Kebijakan tariff barrier dalam bentuk bea masuk adalah sebagai berikut:
1. Tarif rendah antara 0%-5%. Tarif ini dikenakan untuk bahan kebutuhan
pokok dan vital, seperti beras, mesin-mesin vital, dan alat-alat militer;
2. Tarif sedang antara 5%-20%. Tarif ini dikenakan untuk barang setngah
jadi dan barang-barang lain yang belum cukup produksi di dalam
negeri; dan
3. Tarif tinggi di atas 20%. Tarif ini dikenakan untuk barang-barang
18
mewah dan barang-barang lain yang sudah cukup diproduksi di dalam
negeri dan bukan barang kebutuhan pokok.
Tarif dan bea masuk pada hakekatnya merupakan tindakan
diskriminatif yang digunakan untuk mencapai berbagai tujuan, antara lain
melindungi produk dalam negeri dari persaingan dengan produk sejenis
asal impor, meningkatkan penerimaan negara, mengendalikan konsumsi
barang tertentu, dan lain-lain.
Penggunaan tarif bea masuk yang ditujukan untuk melindungi
produk dalam negeri sangat besar pengaruhnya terhadap globalisasi
ekonomi.
Kebijakan Non-Tariff (Hambatan Non-Tarif)
Kebijakan non- tariff barrier ( NTB) adalah berbagai kebijakan
perdagangan selain bea masuk yang dapat menimbulkan distori, sehingga
mengurangi potensi manfaat perdagangan internasional (Hady, 2004).
Secara garis besar NTB dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Pembatasan Spesifik (Specific Limitation)
Pembatasan spesifik terdiri dari larangan impor secara mutlak,
pembatasan impor dan kuota sistem, peraturan atau ketentuan teknis
untuk impor produk tertentu, peraturan kesehatan atau karantina,
peraturan pertahanan dan keamanan negara, peraturan kebudayaan,
perizinan impor atau impor licenses, serta embargo;
2. Pembatasan Bea cukai (Custom Administration Rules)
Peraturan bea cukai terdiri dari tatalaksana impor tertentu
(procedure), penetapan harga pabean (custom value) penetapan forex rate
(kurs valas) dan pengawasan devisa (forex control), consulat formalities,
packaging/ labeling regulation, dokumentation needed, quality and testing
standard, pungutan administrasi (fees), serta tariff classification; dan
3. Campur tangan Pemerintahan (Goverment Participation)
Campur tangan pemerintah terdiri dari kebijakan pengadaan
19
pemerintahan, subsidi dan insentif ekspor, conterravailing duties,
domestic assistance, dan trade diverting. Amir (2003) mengatakan selain
hambatan berbentuk tarif bea masuk, terdapat aneka ragam kendala yang
sengaja diciptakan untuk mengahalangi masuknya barang ke dalam
peredaran suatu negara. Kendala impor yang berciri
non-tarif adalah:
Anti-Dumping atau Countervailing Duties, yaitu bea yang
dipungut oleh negara pengimpor atas komoditi yang terbukti
mendapat subsidi dari pemerintah negara pengekspor.
Pajak Impor, adalah pajak yang dipungut atas komoditi impor
disamping bea-masuk.
Ijin Impor dan Alokasi Devisa.
Kontraksi Mata Uang dan Mempengaruhi Harga Impor.
Approved Traders (Importer), yaitu pemerintah dengan sadar
membatasi importir untuk komoditi tertentu, sehingga kuantum,
mutu, harga dan distribusi komoditi tersebut secara langsung
dapat dikendalikan pemerintah.
Pengaturan teknis dan Administratif, yaitu dengan memberikan
peraturan dan prosedur yang rumit dan sulit dipenuhi serta
memakan biaya dan waktu yang lama.
Pengadaan Pemerintah dan Penunjukan PNN.
Import-Quota,
yaitu
pembatasan
yang
diterapkan
negara
pengimpor atas jenis dan jumlah (quantity) dari sutau komoditi
yang boleh diimpor dari suatu negara lain.
2.2 KENDALA DAN PERMASALAHAN INDUSTRI PERIKANAN TUNA
Dalam pengembangan sektor perikanan terdapat berbagai masalah yang
selain terkait juga berpengaruh cukup besar. Permasalahan-permasalahan
tersebut diantaranya adalah masalah pencurian oleh kapal asing, rendahnya
20
kualitas produk, adanya hambatan tarif dan non tarif serta kebijakan pemerintah
tentang otonomi daerah. Beberapa permasalahan tersebut akan dibahas sebagai
berikut :
1. Pencurian oleh Kapal Asing
Sampai September 2001, diduga sebagian besar (+- 70 %) dari sekitar
7.000 kapal perikanan berbendera Indonesia yang memperoleh izin untuk
beroperasi di perairan ZEE masih dimiliki pihak asing, terutama Thailand,
Philipina, Taiwan dan RRC. Keadaan tersebut menyebabkan kerugian negara
yang diperkirakan mencapai US $ 1,362 miliar per tahun dengan rincian (1)
kerugian dari kehilangan devisa US $ 1 miliar, (2) Kerugian dari selisih iuran
DPKK US $ 22 juta, dan (3) kerugian dari fee yang harus dibayar sekitar US $
100 juta (Dahuri, 2001).
2. Hambatan-hambatan Non Tarif
Hambatan non tarif yang diberlakukan terhadap komoditas perikanan
impor adalah ekuivalensi, sertifikat ekspor, standar sanitasi, standar mutu, isu
lingkungan, Rapid Alert System dan Automatic Detention dan lain-lain. Untuk
lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut : Ekuivalensi, Uni Eropa
mensyaratkan bahwa hanya approved packers (unit pengolah yang disetujui) dari
negara harmonized country yang diizinkan mengekspor komoditas perikanannya.
Terhitung sejak tanggal 23 September 2000 terdapat 247 Approval Number dari
Indonesia yang berhak mengekspor produk perikanan ke Uni Eropa. Sertifikat
Ekspor. Setiap produk perikanan diwajibkan dilengkapi dengan serifikat mutu
(quality certificate), dan sertifikat kesehatan (Health Certificate) dalam bahasa
nasional negara tujuan. Selain sertifikat tersebut ditandatangani oleh inspektur
yang terakreditasi dengan tinta yang warnanya sesuai. Standar Sanitasi. Standar
Sanitasi yang tidak transparan atau standar ganda adalah masalah yang sering
kita dengar. Misalnya UE mensyaratkan bebas salmonella untuk udang beku
(kecuali udang rebus beku) tetapi untuk anggota UE aturannya lebih lunak.
Semua ekspor udang beku hanya bebas bakteri patogen. Kerang-kerangan yang
diimpor dari luar UE harus bebas bakteri E. Coli sedangkan produk sejenis yang
21
diproduksi di wilayah UE yang mengandung bakteri patogen pun tetap dapat
dijual asal diberi label “B Area Product” Standar Mutu. Standar mutu yang
diterapkan negara pengimpor umumnya lebih lunak daripada standar sanitasi.
Namun pengujian organoleptik masih lazim digunakan untuk menentukan
kualitas dan penerimaan suatu produk di pelabuhan masuk. Banyak produk
perikanan dari negara berkembang ditolak masuk karena tidak lolos uji organo
leptik. Isu Lingkungan. Untuk memblok ekspor tuna dan embargo udang, AS
meniupkan dolphin issue untuk tuna longliner dan berkaitan dengan penggunaan
TED / BED (turtle excluder device) untuk penangkapan udang. Sidang dispute
settlement body menyatakan AS kalah dan harus mencabut embargo ekspor
udang dari India, Pakistan, Malaysia dan Thailand. Rapid Alert System. UE
menerapkan sistem pengujian laboratorium secara acak (Random Sampling) atau
dikenal dengan Rapid Alert System untuk mengatasi standar sanitasi dan mutu
produk perikanan. Penerapan RAS oleh UE sering menghambat ekspor hasil
perikanan Indonesia karena hasil pengujian bersifat final dan merupakan hak
prerogatif inspektur veteriner UE sehingga sulit dikaji ulang atau dibantah.
Autamatic Detention. Sistem yang diberlakukan di AS ini pada dasarnya sama
dengan RAS di UE. Setiap ekspor perikanan dimasukkan dalam detention list
dan diperiksa secara acak. Suatu perusahaan perikanan akan dicabut dari
detention list jika secara 3 kali berturut-turut mutunya tidak sesuai dengan
standar yang dipersyaratkan. Untuk uji iji, eksportir dikenakan biaya sebesar 10
% dari total nilai ekspor. Masalah by catch. Negara-negara maju mulai
mempermasalahkan ikut tertangkapnya shark (cucut) dan burung laut dalam
penangkapan tuna. Beberapa negara Eropa juga mulai mengeluhkan tentang
ukuran ikan, yang dieksport negara berkembang (termasuk Indonesia) karena
dianggap melanggar code of conduct for responsible fishing dan CITES.
Ecolabel, beberapa negara maju telah mendesak FAO untuk segera menyiapkan
rancangan kriteria prosedur ecolabelling bagi produk perikanan yang
diperdagangkan secara global. Ecolabelling yang awalnya bersifat sukarela
(Voluntary) diganti dengan pelabelan bersifat wajib (Compulsary) dan berlaku
universal. Hal ini terlihat dari resolusi sidang PBB ke-55 pada mata acara 34
ocean and the law of the sea. Irradiasi, Amerika serikat, Australia dan Jepang
22
memberikan toleransi terhadap teknik irradiasi sepanjang tidak disalah gunakan
untuk mengganti sistem pembinaan mutu yang kurang baik. Sementara UE
kecuali Perancis, Belgia dan Belanda menetang digunakannya teknik irradiasi
untuk pengawetan produk perikanan. Undang-Undang Bioterorisme atau The
Bioterorisme Act telah disetujui Presiden Amerika Serikat dan dinyatakan
berlaku mulai 12 Desember 2003. UU bio-terorisme merupakan bagian dari
kebijakan keamanan nasional Amerika untuk mencegah masuknya teror berupa
penyakit, kuman dan virus melalui produk-produk yang diimpor. Sektor industri
yang terkena peraturan tersebut khususnya adalah produk makanan dan
minuman. Eksportir harus menyampaikan dengan rinci pada USFDA tentang
deskripsi produk, nama produsen , kapal pengangkut, pergudangan, negara asal
serta pelabuhan tujuan untuk selanjutnya diterbitkan prior of notice . Dengan
kata lain peraturan ini mewajibkan setiap eksportir untuk mendaftarkan diri ke
USFDA. Cargo Securuty Inisiative (CSI), merupakan sistem terbaru untuk setiap
kargo yang akan masuk ke Amerika harus terlebih dahulu diinfeksi di pelabuhanpelabuhan yang telah ditetapkan AS. Terdapat 20 pelabuhan yang telah
ditetapkan dan untuk Indonesia pelabuhan yang terpilih adalah Singapura,
Hongkong, Shanghai, Tokyo dan Kobe. Dengan sistem ini waktu pengapalan
menjadi lebih lama dan beresiko bagi produk-produk yang tidak tahan lama.
Pemerintah AS menyatakan akan menanggung seluruh biaya pemeriksaan,
namun hal tersebut tidak menjamin kerugian eksportir karena adanya opportunity
cost lainnya. Berdasarkan data di atas sangatlah jelas, kelemahan disektor
pengawasan
mutu
terhadap
produk
ekspor
khususnya
tuna
sehingga
menempatkan posisi Indonesia pada urutan teratas dalam kasus RAS tersebut.
Diperlukan pengawasan mutu yang ketat, disinilah kinerja laboratorium/
BPMHP/LPPMHP perlu ditingkatkan agar tingkat kepercayaan negara importir
terhadap produk tuna Indonesia tidak terus merosot. Pajak Ekspor Cakalang.
Industri pengalengan ikan cakalang mengalami kesulitan untuk mendapatkan
bahan baku karena sebagian besar produksi cakalang diekspor dalam bentuk
mentah. Saat ini (Maret 2003) sedang dikaji penetapan pajak ekspor untuk
cakalang. Kenaikan Harga BBM. Kenaikan harga BBM khususnya solar,
mengakibatkan banyak nelayan yang tidak bisa melaut karena mahalnya biaya
23
operasional. Permasalahan ini akhirnya dengan merevisi kenaikan harga BBM
dan pendirian SPBU khususnya untuk solar di pusat-pusat penangkapan oleh
DKP bekerja sama dengan Pertamina. Keanggotaan tuna dunia, Pada saat ini
hampir 75 % kapal tuna long line Indonesia beroperasi di luar ZEEI Saudera
Hindia ke arah barat hingga Srilangka, Maldives, bahkan ada yang beroperasi di
Samudera Atlantik untuk menangkap swordfish.Kendala dan masalah yang
dihadapi untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan secara optimal dan lestari,
mengingat tuna tergolong hewan yang high migration sehingga pengeloaannya
melewati batas-batas negara sementara Indonesia belum menjadi anggota dalam
pengelolaan tuna dunia seperti IOTC, CCSBT dan lainnya, ada kekhawatiran kita
dianggap ilegal walaupun menangkap diperairan sendiri. Oleh karena itu
pengelolaan ikan dimaksud di masa depan harus mengacu pada aturan-aturan
internasional yang menjadi kesepakatan bersama. Sebagai contoh di forumforum internasional nelayan Indonesia sering menjadi pembicaraan karena
dicurigai mengembangkan ”deep long line” untuk menangkap bluefin tuna dalam
kondisi matang telur. Namun demikian bila diperhatikan alat tangkap tuna long
line yang dikembangkan di Indonesia umumnya tidak terlalu dalam untuk
menangkap yelowfin tuna, sehingga tuduhan tersebut tidak mendasar dan
diaragukan kebenarannya.
3. Permasalahan Internal
No.
Permasalahan
Dukungan yang diharapkan
1. Kinerja BUMN perikanan cenderung menurun karena mengalami krisis
keuangan Perlu dilakukan revitalisasi BUMN perikanan (PT. Usaha Mina, PT.
Tirta Raya Mina, PT. Samodra Besa, dan PT. Perikani) dengan dukungan dari
Kantor Kementerian Negara BUMN.
2. Peningkatan Investasi bidang kelautan dan perikanan di daerah potensial
Sangat diperlukan iklim kondusif untuk pengembangan usaha perikanan
disamping terus dilakukan safari investasi
24
3. Kebutuhan bahan bakar (BBM) untuk usaha perikanan tangkap belum
mencukupi Perlu penyediaan sarana distribusi (SPBU/SPBB/Pool konsumen) di
setiap pelabuhan perikanan atau pangkalan pendaratan ikan serta penambahan
pasokan BBM untuk kapal-kapal perikanan sesuai kebutuhan yang sangat
memerlukan dukungan dari Dep. ESM dan Pertamina.
4. Kualitas sumberdaya manusia perikanan masih lemah :
Kurangnya kesadaran masyarakat dan pemerintah daerah akan kebutuhan
sumberdaya manusia yang berkualitas. Sumberdaya manusia kelautan dan
perikanan belum memenuhi standar internasional yang ditetapkan IMO yaitu
STCW-F (Standar Training Sertification and Watchkeeping for Fisheries).
1. Dukungan terhadap pembentukan sekolah-sekolah perikanan (saat ini sedang
diproses : Akademi Perikanan di Nagroe Aceh Darussalam, Sekolah Usaha
Perikanan Menengah di Sikka NTT, Kota Agung-Lampung, Pangkal Pinang –
Bangka-Belitung, Tanjung Pinang Riau dan pengembangan beberapa program
studi di Pesantren dll).
2. Secara bertahap sedang dilakukan penyesuaian kurikulum dan masih
diperlukan peningkatan kualitas tenaga pengajar dan penyediaan kelengkapan
sarana dan prasarana pendidikan profesional perikanan.
2.3 Studi Kasus atau Permasalahan Ekspor Tuna antara Indonesia dan Uni
Eropa
1. ekspor Tuna Indonesia ke Uni Eropa Kena Tarif Tinggi
25
Ekspor ikan tuna Indonesia ke Uni Eropa dihadang tarif bea
masuk yang tinggi. Tingginya bea masuk disebabkan tidak ada perjanjian
perdagangan bebas antara Indonesia dan Uni Eropa.
"Tarif bea masuk ikan tuna ke Uni Eropa sangat tinggi yaitu 22% hingga
24%," ungkap Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) Saut P Hutagalung saat ditemui detikFinance.
Tingginya tarif bea masuk ikan tuna di Uni Eropa berdampak pada daya
saing produk serupa dengan negara lain. Saut menjelaskan, daya saing
produk ikan tuna Thailand dan Vietnam jauh lebih tinggi dibandingkan
Indonesia. Hal ini disebabkan karena tarif bea masuk untuk ikan tuna yang
dikenakan Uni Eropa ke Thailand dan Vietnam jauh lebih rendah
dibandingkan Indonesia.
"Thailand dan Vietnam sudah menyelesaikan perjanjian perdagangan bebas
dengan Uni Eropa, sehingga tarif bea masuk mereka ke Uni Eropa di
bawah kita," imbuhnya.
26
Sedangkan khusus untuk produk ikan tuna dari Papua Nugini
(PNG), Uni Eropa bahkan membebaskan bea masuk. "PNG bahkan 0%
karena sudah menyelesaikan perjanjian dagang bebas dengan Uni Eropa.
Selain itu mereka tangkap ikan tuna pakai kapal milik Spanyol," tuturnya.
Oleh sebab itu, ke depan ekspor ikan tuna ke Uni Eropa harus
dalam bentuk olahan bukan lagi dalam bentuk mentah. Selain memangkas
kerugian yang diderita pelaku usaha, ekspor ikan tuna olahan bisa
mendapatkan nilai tambah di dalam negeri.
"Pertama yang harus kita lakukan, kita punya basis produksi ikan tuna
yang cukup kuat. Kita kuatkan industri pengalengan kita," jelasnya.
Menurut data KKP, ekspor ikan tuna ke Uni Eropa cukup besar
yaitu mencapai US$ 180 juta/tahun. Sementara itu, ikan tuna juga diekspor
ke Jepang per tahun mencapai US$ 170 juta, kemudian ke Amerika Serikat
US$ 115 juta.
27
2. Ekspor Tuna Ditolak Akibat Bakteri Salmonela
Produk ikan tuna Indonesia rentan mendapat penolakan dari
negara tujuan ekspor lantaran mengandung kadar bakteri salmonela yang
tinggi.
Anggota Komisi Tuna Indonesia Arif Satria menuturkan
komoditas ikan tuna harus ditangani dengan baik, mulai dari aktivitas
penangkapan, proses, hingga pengapalan.
Apabila tidak ditangani dengan baik, produk tuna Indonesia sulit
untuk mendapat pasar ekspor yang menerapkan standar kualitas dan mutu
yang tinggi.
"Praktik penangkapan yang berkelanjutan itu dengan handline. Tetapi
nelayan yang menggunakan perahu kecil tidak mengangkut ikan secara
gelondongan. Saat proses pemotongan, bakteri masuk," ujarnya dalam
Seminar Nasional Penyakit Ikan Karantina, Selasa (26/11/2013).
Berdasarkan data Food and Drugs Administration (FDA) Amerika
Serikat, sepanjang 2011 terdapat 89 kasus penolakan ekspor tuna dari
Indonesia ke Amerika Serikat. Penolakan tersebut terjadi pada 19,44 ton
ikan tuna dengan nilai ekonomis mencapai US$128,71 juta.
28
Jumlah kasus penolakan tuna Indonesia lebih tinggi dibandingkan
yang dialami negara-negara lain di Asia Tenggara. Pada 2011, penolakan
ikan tuna asal Thailand mencapai 11 kasus, Vietnam 22 kasus, dan
Filipina hanya 5 kasus.
"Dari 89 kasus, 66 kasus penolakan disebabkan oleh kadar bakteri
salmonela yang di atas batas ambang minimum," tuturnya.
Arif mengatakan selain penanganan yang tidak higienis, tingginya
kandungan bakteri salmonela pada ikan tuna juga disebabkan oleh
buruknya kualitas sanitasi di pelabuhan perikanan.
"Thailand sekarang cari pemasok bahan baku tuna dari negara lain,
karena kualitas tuna kita dianggap jelek. Ini harus kita benahi," ujarnya.
Dalam tiga tahun terakhir, ekspor tuna, tongkol, cakalang (TTC)
tercatat naik lebih dari 30%. Pada 2010, nilai ekspor tuna mencapai
US$383,23 juta, naik menjadi US$498,59 juta pada 2011 dan US$749,99
juta pada 2012.
Adapun, sepanjang Januari-Juni 2013, ekspor tuna Indonesia mencapai
US$398,35 juta. Negara tujuan ekspor terbesar a.l. Jepang US$80,63 juta,
AS US$56,04 juta, dan Uni Eropa US$96,39 juta.
29
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Hambatan dalam arus perdagangan ada dua macam, yaitu :
1. Kebijakan Tarif (Hambatan Tarif), Hambatan perdagangan yang
paling nyata secara historis adalah tarif. Tarif adalah pajak yang
dikenakan atas barang yang diperdagangkan lintas batas teritorial.
Ditinjau dari aspek asal komoditi ada 2 macam tarif yakni tarif ekspor
(export tariff) dan tarif impor (import tariff). Tarif impor adalah
pungutan bea masuk yang dikenakan atas barang impor yang masuk
untuk dipakai atau dikonsumsi habis di dalam negeri.
2. Kebijakan Non-Tariff (Hambatan Non-Tarif), Kebijakan non- tariff
barrier ( NTB) adalah berbagai kebijakan perdagangan selain bea
masuk yang dapat menimbulkan distori, sehingga mengurangi potensi
manfaat perdagangan internasional (Hady, 2004).
Beberapa permasalahan tersebut akan dibahas sebagai berikut :
1.
Pencurian oleh Kapal Asing
2.
Hambatan-hambatan Non Tarif
3. Permasalahan Internal
Studi Kasus atau Permasalahan Ekspor Tuna antara Indonesia dan Uni
Eropa
1. ekspor Tuna Indonesia ke Uni Eropa Kena Tarif Tinggi
2. Ekspor Tuna Ditolak Akibat Bakteri Salmonela
30
3.1
Saran
1. Indonesia perlu mengajukan permohonan kepada pihak Uni Eropa
untuk menurunkan besar tarif yang dikenakan pada produk tuna
2. Indonesia Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan faktorfaktor lain yang berpengaruh terhadap volume ekspor tuna Indonesia
ke Uni Eropa seperti harga tuna Indonesia, harga tuna negara pesaing,
GDP Uni Eropa, dan nilai tukar
31
DAFTAR PUSTAKA
Amin Aziz, M., 1993. Agroindustri Ikan Tuna dan Udang,Prospek Pengembangan
Pada PJPT II. Bangkit, Jakarta
Apsari, Winanti., 2011. Analisis Permintaan Ekspor Ikan Tuna Segar Indonesia
di Pasar Internasional , Tesis, IPB
Barclay, Kate., and Sun-Hui Koh. 2005. Neoliberalism in Japan’s Tuna Fisheries,
Government Intervention and Reform in the Longline Induatry,
Australian National University.
Cahya, Indri Nilam., 2010. Analisis Daya Saing Ikan Tuna Indonesia di Pasar
Internasional. Skripsi, Fak. Ekonomi dan Manajemen IPB Bogor.
32
EKSPOR TUNA ANTARA INDONESIA DAN UNI EROPA
Disusun Oleh:
ZULHADI AWIS
(131010282)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2015/2016
1
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Ekspor
Tuna antara Indonesia dan UE Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Ekspor Tuna antara Indonesia dan
UE ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Pekanbaru, September 2016
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
DAFTAR ISI. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .3
BAB I . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .4
PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .4
Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .5
BAB II. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
6
TINJAUAN PUSTAKA. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 6
Pengaruh Penerapan Kebijakan Tarif Uni Eropa Terhadap Ekspor Tuna Indonesia. 6
Kendala dan Permasalahan Industri Perikanan Tuna. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19
Studi Kasus atau Permasalahan Ekspor Tuna antara Indonesia dan Uni Eropa. . . . 24
BAB III
PENUTUP. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28
Kesimpulan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28
Saran. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 29
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .30
3
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Export adalah suatu kegiatan pemindahan barang dari tempat asal ke tempat lain.
Dalam dunia perdagangan, pengertian Export adalah proses pengiriman / penjualan barang
dari dalam negeri dengan tujuan luar negeri. Dimana dalam kegiatan export tersebut tidak
terlepas dari proses dan aturan yang berlaku di negara tersebut dan melibatkan berbagai
pihak. Baik itu instansi swasta meupun negeri kelompok kami ingin mengexport ikan Tuna
ke Negara Uni Eropa.
Tuna adalah komoditas perikanan dan kelautan andalan Indonesia kedua setelah
udang di pasar dunia. Uni Eropa sendiri merupakan tujuan utama ekspor komoditas tuna
Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor tuna terbesar di dunia. Ikan tuna
pada umumnya diekspor dalam bentuk segar utuh disiangi (fresh whole gilled and gutted);
produk beku utuh disiangi (frozen whole gilled and gutted), loin (frozen loin) dan steak
beku (frozen steak); serta produk dalam kaleng (canned tuna).
Produk-produk tuna tersebut sebagian besar diekspor ke manca negara dan hanya
sebagian kecil yang dipasarkan di dalam negeri. Dalam kurun waktu 1999- 2004, volume
ekspor tuna mengalami kenaikan rata-rata sebesar 2,72 per tahun yakni dan 87.581 ton
menjadi 94,221 ton. Sedangkan dan sisi nilai, terjadi kenaikan rata-rata sebesar 5,56 % per
tahun, yaitu dan US $ 189,397 juta pada tahun 1999 menjadi US$ 243,937 juta pada tahun
2004 (Departemen Kelautan dan Penikanan, 2005).
5
Negara yang menduduki peringkat atas sebagai tujuan ekspor tuna
Indonesia adalah Jepang (36,84%), disusul Amerika Serikat (20,45%) dan
Uni Eropa(12,69%).
Data ini menggambarkan bahwa tiga negaralkawasan
tersebut
sangat berpengaruh terhadap kinerja ekspor tuna Indonesia (Departemen
Kelautan dan Penikanan, 2005). Sementara itu, ekspor ikan tuna ke Uni Eropa
merosot dan 7.400 ton di tahun 2004 menjadi 2.416 ton pada tahun 2006.
Penurunan volume ekspor ikan tuna segar khususnya ke Uni Eropa terhambat
oleh beberapa masalah, antara lain tingginya kadar histamin dan logam berat
(Putro, 2008). Di tahun 2004, dalam laporan RASFF (Rapid Alert System for
Food and Feed) Uni Eropa terdapat 39 kasus histamin pada ikan, dengan 32
kasus terdapat pada tuna. Dan 32 kasus tersebut, tuna yang berasal dani
Indonesia sebanyak 21 kasus. Selain kasus histamin, terdapat juga 20 kasus
logam berat yaitu kadmium dan merkuni (European Communities, 2006).
Sementara itu, laporan FDA (Food and Drug Administration) menj elaskan
bahwa dan tahun 2001-2005 terdapat 350 penolakan pada produk tuna Indonesia
karena kasus histamin dan logam berat.
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengaruh Penerapan atau Hambatan Kebijakan Tarif Uni
Eropa terhadap ekspor tuna Indonesia?
2. Bagaimana Kendala dan Permasalahan Perdagangan Tuna?
3. Bagaimana Kasus yang Ada Pada Ekspor Tuna Antara Indonesia dan
Eropa?
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENGARUH
PENERAPAN
KEBIJAKAN
TARIF UNI
EROPA
TERHADAP EKSPOR TUNA INDONESIA
A. Tuna
Tuna adalah ikan laut yang terdiri dari beberapa spesies dari famili
Scombridae, terutama genus Thunnus. Dalam statistik perikanan tangkap
Indonesia, tuna merupakan nama grup dari beberapa jenis ikan yang
terdiri dari :
(1) jenis tuna besar (Thunnus spp.) yakni bluefin tuna (Thunnus thynnus),
yellowfin tuna (Thunnus albacares), bigeye tuna (Thunnus obesus),
southern bluefin tuna (Thunnus maccoyii), dan albacore (Thunnus
alalunga) serta jenis ikan mirip tuna (tuna-like species) seperti marlin,
sailfish dan swordfish;
(2) jenis cakalang (skipjack tuna); dan
(3) jenis tongkol, meliputi eastern little tuna (Euthynus spp.), frigate and
bullet tuna (Auxus spp.) dan longtail tuna (Thunnus tonggol).
Ragam Spesies Tuna dan Daerah Penyebarannya
Ikan tuna tidak seperti kebanyakan ikan yang memiliki daging
berwarna putih, daging ikan tuna berwarna merah muda sampai merah
tua. Hal ini karena otot tuna lebih banyak mengandung myoglobin dari
pada ikan lainnya. Beberapa spesies tuna yang lebih besar, seperti tuna
sirip biru (bluefin tuna), dapat menaikkan suhu darahnya di atas suhu air
dengan aktivitas ototnya. Hal ini menyebabkan mereka dapat hidup di air
yang lebih dingin dan dapat bertahan dalam kondisi yang beragam
7
(Anonim 2008).
Dalam Burhanudin (1984) dikatakan suku Scombridae mencakup banyak
jenis di dunia dan tercatat sebanyak 46 jenis. Dari 46 jenis suku
Scombridae, perairan Indonesia hanya memiliki sebanyak 20 jenis dan
untuk jenis tuna yang terdapat di perairan Indonesia hanya sebanyak 9
jenis. Jenis tuna di perairan Indonesia diterangkan pada Tabel 3.
Pergerakan (migrasi) kelompok ikan tuna di wilayah perairan
Indonesia mencakup wilayah perairan pantai, teritorial dan Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia. Keberadaan tuna di suatu perairan
sangat bergantung pada beberapa hal yang terkait dengan spesies tuna,
kondisi hidro-oseanografi perairan. Pada wilayah perairan ZEE Indonesia,
migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur
migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan
perbatasan perairan antara samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
(DKP 2006b).
Jenis tuna yang banyak diekspor Indonesia antara lain albakora,
madidihang (yello fin), cakalang, dan abu-abu (southern bluefin).
Penyebaran dan ciri-ciri dari jenis tuna tersebut, sebagai berikut:
a) Albakora (Thunnus alalunga)
Albakora terdapat menyebar secara luas di bagian utara Samudra
Pasifik, bagian Barat Daya Samudera Hindia samapai Selatan Nusa
8
Tengga, daerah Mediteranean dan sekitar teluk Meksiko di Samudera
Atlantik. Ikan ini hidup pada kisaran suhu 10-31ºC dan lebih menyukai
suhu sedang daripada suhu tinggi. Albakora memiliki badan relatif
pendek dibandingkan dengan tuna besar lainnya. Permulaan sirip dada
terletak di belakang lubang insang, panjang dan melengkung ke arah ekor
hingga di belakang ujung sirip punggung kedua. Sirip dada yang
panjangnya mencapai sepertiga dari seluruh panjang badannya,
merupakan ciri khas dalam pengenalannya (Gambar 1) (Tampubolon
1983).
Siripnya berwarna hitam dan pada bagian punggung badannya
berwarna biru tua dan berwarna perak yang senmakin memudar kearah
perut. Albakora yang biasa ditangkap berukuran rata-rata 20 kg per ekor
dengan kisaran antara 4-34 kg per ekor (Tampubolon 1983).
b) Tuna Abu-abu (Thunnus maccoyii dan Thunnus thynnus)
Berdasarkan tempat penyebarannya, tuna abu-abu dibagi dua yaitu
tuna abu-abu Utara dan tuna abu-abu Selatan. Tuna abu-abu Utara
ditemukan dan hidup pada perairan Pasifik Selatan dan Tengah sekitar
perairan Jepang. Selain itu juga ditangkap di Samudera Atlantik pada
sebelah Timur dari California serta bagian Barat Daya benua Afrika. Tuna
abu-abu Selatan ditemukan pada daerah Indo Pasifik Ocean menyebar
antara Australia dan Selat Sunda. Tuna abu-abu selatan ditemukan dekat
9
New Zealand di Samudera Pasifik dan pantai Barat Australia di Samudera
Hindia. Tempat berpijahnya diperkirakan di pantai Selatan Jawa sekitar
bulan September sampai dengan Maret. Tangkapan tertinggi tuna abu-abu
yang pernah terjadi adalah 70.000 ton untuk abu-abu Utara dan 40.000
ton untuk tuna abu-abu selatan. Nama perdagangan ikan tuna abu-abu
adalah southern bluefin tuna. Tuna abu-abu sering disebut ikan yang
mempunyai kekuatan dan kecepatan melebihi banteng. Badanya
berbentuk oval, tinggi, tebal dan padat berisi sekitar dada dan lonjong ke
arah ekor yang kuat. Letak siripnya yang amat tepat sangat berguna dalam
kesempurnaan peluncuran dan pergerakannya. Sirip punggung kedua,
sirip dada dan sirip duburnya pendek (Gambar 2) (Tampubolon 1983).
c) Cakalang (Katsuwonus pelamis)
Ikan cakalang adalah jenis tuna yang paling banyak dan tersebar
luas diketiga Samudera dan laut-laut diantaranya. Badan ikan ini hampir
bundar dan gemuk padat. Ekornya pendek dan tegak. Tangkai ekor
sampai ke pinggir kelihatan sangat sempit. Sirip punggung pertamanya
kelihatan tinggi ketika muncul dari celah-celah araus pada waktu ikan ini
berenang. Sirip dada dan sirip punggung kedua pendek dan berwarna
hitam. Ikan cakalang berenang cepat melawan arus dan rakus terkhadap
makanan. Biasanya cakalang muncul di permukaan bersamaan dengan
madidihang ukuran kecil, tetapi mudah dibedakan dari jarak jauh karena
perbedaan loncatannya. Cakalang merupakan jenis yang termasuk dalam
kelompok tuna dengan nama dagangnya skipjack tuna.
10
d) Madidihang (Thunnus albacares) atau Yellowfin Tuna
Lokasi penyebarannya hampir serupa dengan ikan cakalang. Di
ketiga Samudera dan mendekati daerah tropis, Madidihang ditangkap
sepanjang tahun pada perairan dengan suhu 10-31ºC. Madidihang
memiliki badan yang besar gemuk dan kuat dengan sumber kekuatannya
pada pertemuan ekor dan badan. Madidihang dianggap sebagai proyaktil
laut yang terbaik dari semua jenis tuna. Sirip punggung kedua dan sirip
duburnya melengkung panjang ke arah ekor yang ramping dan runcing
berbentuk sabit. Hal inilah yang merupakan ciri khass dari madidihang
(Gambar 3) (Tampubolon 1983).
Bentuk Produk Perdagangan Tuna
Di dunia ini tersebar tuna dan sejenisnya yang mempunyai nilai
ekonomis tinggi bila dibandingkan dengan produk lainnya. Potensi
perairan Indonesia dengan kepemilikan banyak jenis ikan, memiliki
peluang besar dalam usaha pengembangan produk tuna. Secara umum,
jenis utama dari produk ikan tuna yang digemari oleh pasar internasional
dan diperdagangkan dalam bentuk segar (fresh/chilled), beku (frozen),
dan olahan (dalam bentuk olahan (preserved)), maupun wadah vakum
(airtight container). Dalam perdagangan dunia setiap komoditi yang
diperjualbelikan di pasar dunia memiliki nomor kode HS sebagai identitas
dari komoditi tersebut. kode HS 6 digit untuk ikan tuna segar (fresh), ikan
tuna beku (frozen), dan ikan tuna dalam kemasan secara berurutan adalah
HS 0302.30, HS 0303.40, dan HS 1604.14 .
11
B. Gambaran Umum Pasar Tuna Indonesia
Perkembangan Produksi Tuna Indonesia
Selama periode 1999-2006, produksi tuna Indonesia mengalami
stagnasi. Persentase rata –rata kenaikan produksi pada tahun 2005-2006
untuk masingmasing jenis sebesar -12,96 % untuk tuna, 9,97 % untuk
cakalang, dan 6,25 % untuk tongkol. Berikut grafik perkembangan
produksi tuna Indonesia tahun 1999-2006 disajikan dan Gambar 4.
Dari grafik diatas dapat dilihat pada tahun 1999, volume produksi
tuna mencapai 136.474 ton dan meningkat menjadi 151.926 ton pada
tahun 2003 dengan kenaikan rata-rata sebesar 3,18 %. Perkembangan
produksi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara
produsen utama tuna di dunia. Berdasarkan catatan Globefish (FAO) pada
tahun 2000, Indonesia merupakan penangkap tuna kedua di dunia setelah
Jepang. Posisi tersebut berbalik pada tahun 2002, karena Jepang secara
bertahap mengurangi armada tunanya sebesar 20 % (321 unit kapal
longline). Setelah tahun 2002 posisi Indonesia digantikan oleh Taiwan,
karena perikanan tuna di Indonesia menghadapi berbagai permasalahan
seperti kenaikan harga BBM.
12
Perkembangan Ekspor Tuna Indonesia
Pada tahun 1997-2006, ekspor hasil perikanan Indonesia
mengalami fluktuasi dengan persentase kenaikan rata-rata sebesar 7,29
%. Pada periode tahun yang sama, komoditas tuna memberikan
sumbangan yang tidak terlalu besar dalam kegiatan ekspor dan hanya
mengalami rata-rata kenaikan volume sebesar 0,23 % dan rata-rata
kenaikan nilai sebesar 5,58%. Persentase rata-rata kenaikan ekspor
komoditi utama Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.
Pada tahun 2001, volume ekspor tuna Indonesia sebesar 84.206
ton dan mengalami peningkatan menjadi sebesar 92.797 ton pada tahun
2002. Kenaikan volume tuna tidak diikuti kenaikan nilainya di pasar
dunia, hal ini dikarenakan nilai tukar rupiah sedang mengalami
penurunan dari Rp 8.653 per US$ pada tahun 2001 menjadi hanya Rp
8.542 per US$ pada tahun 2002. Daftar nilai tukar rupiah terhadap US$
dapat dilihat pada Lampiran 1. Persentasi rata-rata kenaikan ekspor
tuna Indonesaia ke pasar dunia dari tahun 1997-2006 masih relatif kecil
yaitu 0,23%. Namun jika dilihat dari nilai produksi tuna Indonesia,
keadaan ini dapat ditingkatkan dengan usaha pengembangan industri tuna
yang komprehensif.
13
Secara lebih jelas mengenai perkembangan volume dan nilai ekspor tuna
Indonesia ke dunia dapat dilihat pada grafik yang disajikan Gambar 5.
C. Kebijakan Perdagangan
Kebijakan pada dasarnya merupakan ketentuan-ketentuan yang
harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dan
kegiatan
aparatur
pemerintah
sehingga
tercapai
kelancaran
dan
keterpaduan dalam upaya mencapai tujuan (Lembaga Administrasi
Negara,1996).
Dalam kamus Webster memberi pengertian kebijakan sebagai
prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan
keputusan. Sedangkan Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsipprinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan
14
tertentu. Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada
masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (actionoriented). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah
suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan caracara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam
mencapai tujuan tertentu. Jones dalam Julianingsih, 2003 mengatakan
bahwa kebijakan terdiri dari komponen-komponen 1) Goal atau tujuan
yang diinginkan, 2) Plans atau proposal yaitu pengertian yang spesifik
untuk mencapai tujuan, 3) Program yaitu usaha yang berwenang untuk
mencapai tujuan, 4) Decision atau keputusan yaitu tindakan-tindakan
untuk
menentukan
tujuan
membuat
rencana
melaksanakan
dan
mengevaluasi program dan efek yaitu akibat-akibat dari program (baik
disengaja atau tidak, primer atau sekunder).
Teori dan kebijakan perdagangan internasional merupakan aspek
mikro ekonomi ilmu ekonomi sebab berhubungan dengan masing-masing
negara sebagai individu yang diperlakukan sebagai unit tunggal, serta
berhubungan dengan harga relatif suatu komoditi. Dalam arti luas
kebijaksanaan ekonomi internasional adalah tindakan atau kebijaksanaan
ekonomi pemerintah, yang secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi konposisi, arah serta bentuk daripada perdagangan dan
pembayaran internasional. Kebijakan ini tidak hanya berupa tarif, quota,
dan sebagainya, tetapi juga meliputi kebijaksanaan pemerintah di dalam
negeri yang secara tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap
perdagangan
serta
pembayaran
internasional
seperti
misalnya
kebijaksanaan moneter dan fiskal. Sedangkan definisi yang lebih sempit
kebijaksanaan ekonomi internasional adalah tindakan atau kebijaksanaan
ekonomi pemerintah yang secara langsung mempengaruhi perdagangan
dan pembayaran internasional (Nopirin,1999).
Kebijakan perdagangan dikatakan pula sebagai bentuk regulasi
atau peraturan pemerintah yang membatasi perdagangan bebas. Bentukbentuk kebijakan perdangangan antara lain adalah tarif, kuota, subsidi,
muatan lokal, peraturan administrasi, dan peraturan anti dumping.
15
Kebijakan perdagangan yang dilakukan sebagai proses proteksi terhadap
produk dianggap sebagai penghambat dalam proses perdagangan bebas.
Hambatan perdagangan dinilai mengurangi efisiensi ekonomi, karena
masyarakat tidak dapat mengambil keuntungan dari produktivitas negara
lain. Pihak yang diuntungkan dari adanya hambatan perdagangan adalah
produsen dan pemerintah. Produsen mendapatkan proteksi dari hambatan
perdagangan, sementara pemerintah mendapatkan penghasilan dari
bea-bea.
Hambatan dalam arus perdagangan ada dua macam, yaitu
hambatan yang bersifat tarif (tariff barrier) dan hambatan yang bersifat
non tarif (non tariff barriers). Hambatan yang bersifat tarif (tariff barrier)
merupakan hambatan terhadap terhadap arus barang ke dalam suatu
negara yang disebabkan oleh diberlakukannya tarif bea masuk dan tarif
lainnya, sedangkan yang dimaksud dengan hambatan yang bersifat non
tarif (non tariff barriers) merupakan hambatan terhadap arus barang ke
dalam suatu negara yang disebabkan oleh tindakan-tindakan selain
penerapan pengenaan tarif atas suatu barang.
Kebijakan Tarif (Hambatan Tarif)
Hambatan perdagangan yang paling nyata secara historis adalah
tarif. Tarif adalah pajak yang dikenakan atas barang yang diperdagangkan
lintas batas teritorial. Ditinjau dari aspek asal komoditi ada 2 macam tarif
yakni tarif ekspor (export tariff) dan tarif impor (import tariff). Tarif
impor adalah pungutan bea masuk yang dikenakan atas barang impor
yang masuk untuk dipakai atau dikonsumsi habis di dalam negeri. Tarif
impor berdampak pada penurunan konsumsi domestik dan kenaikan
produksi domestik. Berkurangnya volume impor akibat tarif impor
tercipta pendapatan tambahan bagi pemerintah dalam bentuk
pajak, serta terjadinya retribusi pendapatan dari konsumen domestik.
Sebaliknya ekspor merupakan pajak untuk suatu komoditi yang di ekspor
(Salvatore 1997). Tarif yang diberlakukan pada barang-barang impor
16
bertujuan untuk dapat meningkatkan harga domestik produksi impor yang
membuat produk domestik bisa berkompetisi. Tarif impor akan
dibebankan pada harga jual barang atau jasa yang akan dibeli konsumen,
sehingga menyebabkan harga barang atau jasa bertambah tinggi. Di pasar
domestik harga yang berada di pasar adalah harga ekspor ditambah tarif.
Jadi tarif atau bea masuk adalah salah satu cara untuk memberi proteksi
terhadap industri dalam negeri.
Sebelum adanya pembebanan tarif, OP1 merupakan harga konstan
yang ditetapkan oleh produsen pengimpor, sehingga produsen di dalam
negeri pun harus menjual pada harga yang sama sebagai akibat
persaingan dengan produsen pengimpor. Produksi dalam negeri OQ1 dan
konsumsi OQ4 sehingga Q1Q4 adalah impornya. Terhadap impornya ini
kemudian negara A membebani tarif sebesar P1-P2, maka efeknya adalah:
harga barang tersebut di dalam negeri naik dari OP1 menjadi OP2.
jumlah barang yang diminta berkurang dari OQ4 menjadi OQ3
(consumption effect).
produksi di dalam negeri naik dari OQ1 menjadi OQ2 (import
subsitution
effect).
adanya pendapatan yang diterima oleh pemerintah dari tarif tersebut
sebesar BCEF (revenue effect).
adanya ekstra pendapatna yang dibayarkan oleh konsumen di dalam
negeri kepada produsen di dalam negeri sebesar ABP1P2.
Jenis-jenis tarif ditinjau dari mekanisme perhitungannya ialah :
1. bea ad valorem (bea harga), pajak yang dikenakan berdasarkan angka
presentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor, misalnya
suatu negara memungut tarif 25% atas nilai atau harga dari setiap unit
mobil diimpor.
17
2. bea specific, pungutan bea masuk yang didasarkan pada ukuran atau
satua tertentu dari barang impor.
3. bea compound (bea specific ad valorem), pajak yamh merupakan
kombinasi antara sistem bea ad valorem dan bea specifik. Sistem tarif
yang umum dilakukan oleh tiap negara dan sudah disepakati dalam
pengenaan tarif adalah (Amir 2003):
Tarif Tunggal (Singgle column tariff), yaitu suatu tarif untuk satu jenis
komoditi yang besarnya (prosentasenya) berlaku sama untuk impor
komoditi tersebut dari negara mana saja, tanpa kecuali.
Tarif Umum/Konvensional (General/Conventional Tariff), yaitu satu
tarif untuk satu komoditi yang besar persentase tarifnya berbeda antara
satu negara dengan negara lain, lazim juga dekenal sebagai tarif
berkolom-ganda (two-column tariff).
Tarif Preferensi (Preferential Tariff), yaitu salahs atu tarif yang
merupakan pengecualian dari prinsip non-diskriminatif. Yang dimaksud
dengan tarif preferensi adalah tarif GATT yang persentasinya
diturunkan, bahkan untuk beberapa komoditi sampai menjadi nol persen
(zero) yang idberlalukan olehh negara terhadap komoditi yang diimpor
dari negara-negara lain tertentu karena adanya hubungan khusus antara
negara pengimpor dengan negara pengekspor.
Kebijakan tariff barrier dalam bentuk bea masuk adalah sebagai berikut:
1. Tarif rendah antara 0%-5%. Tarif ini dikenakan untuk bahan kebutuhan
pokok dan vital, seperti beras, mesin-mesin vital, dan alat-alat militer;
2. Tarif sedang antara 5%-20%. Tarif ini dikenakan untuk barang setngah
jadi dan barang-barang lain yang belum cukup produksi di dalam
negeri; dan
3. Tarif tinggi di atas 20%. Tarif ini dikenakan untuk barang-barang
18
mewah dan barang-barang lain yang sudah cukup diproduksi di dalam
negeri dan bukan barang kebutuhan pokok.
Tarif dan bea masuk pada hakekatnya merupakan tindakan
diskriminatif yang digunakan untuk mencapai berbagai tujuan, antara lain
melindungi produk dalam negeri dari persaingan dengan produk sejenis
asal impor, meningkatkan penerimaan negara, mengendalikan konsumsi
barang tertentu, dan lain-lain.
Penggunaan tarif bea masuk yang ditujukan untuk melindungi
produk dalam negeri sangat besar pengaruhnya terhadap globalisasi
ekonomi.
Kebijakan Non-Tariff (Hambatan Non-Tarif)
Kebijakan non- tariff barrier ( NTB) adalah berbagai kebijakan
perdagangan selain bea masuk yang dapat menimbulkan distori, sehingga
mengurangi potensi manfaat perdagangan internasional (Hady, 2004).
Secara garis besar NTB dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Pembatasan Spesifik (Specific Limitation)
Pembatasan spesifik terdiri dari larangan impor secara mutlak,
pembatasan impor dan kuota sistem, peraturan atau ketentuan teknis
untuk impor produk tertentu, peraturan kesehatan atau karantina,
peraturan pertahanan dan keamanan negara, peraturan kebudayaan,
perizinan impor atau impor licenses, serta embargo;
2. Pembatasan Bea cukai (Custom Administration Rules)
Peraturan bea cukai terdiri dari tatalaksana impor tertentu
(procedure), penetapan harga pabean (custom value) penetapan forex rate
(kurs valas) dan pengawasan devisa (forex control), consulat formalities,
packaging/ labeling regulation, dokumentation needed, quality and testing
standard, pungutan administrasi (fees), serta tariff classification; dan
3. Campur tangan Pemerintahan (Goverment Participation)
Campur tangan pemerintah terdiri dari kebijakan pengadaan
19
pemerintahan, subsidi dan insentif ekspor, conterravailing duties,
domestic assistance, dan trade diverting. Amir (2003) mengatakan selain
hambatan berbentuk tarif bea masuk, terdapat aneka ragam kendala yang
sengaja diciptakan untuk mengahalangi masuknya barang ke dalam
peredaran suatu negara. Kendala impor yang berciri
non-tarif adalah:
Anti-Dumping atau Countervailing Duties, yaitu bea yang
dipungut oleh negara pengimpor atas komoditi yang terbukti
mendapat subsidi dari pemerintah negara pengekspor.
Pajak Impor, adalah pajak yang dipungut atas komoditi impor
disamping bea-masuk.
Ijin Impor dan Alokasi Devisa.
Kontraksi Mata Uang dan Mempengaruhi Harga Impor.
Approved Traders (Importer), yaitu pemerintah dengan sadar
membatasi importir untuk komoditi tertentu, sehingga kuantum,
mutu, harga dan distribusi komoditi tersebut secara langsung
dapat dikendalikan pemerintah.
Pengaturan teknis dan Administratif, yaitu dengan memberikan
peraturan dan prosedur yang rumit dan sulit dipenuhi serta
memakan biaya dan waktu yang lama.
Pengadaan Pemerintah dan Penunjukan PNN.
Import-Quota,
yaitu
pembatasan
yang
diterapkan
negara
pengimpor atas jenis dan jumlah (quantity) dari sutau komoditi
yang boleh diimpor dari suatu negara lain.
2.2 KENDALA DAN PERMASALAHAN INDUSTRI PERIKANAN TUNA
Dalam pengembangan sektor perikanan terdapat berbagai masalah yang
selain terkait juga berpengaruh cukup besar. Permasalahan-permasalahan
tersebut diantaranya adalah masalah pencurian oleh kapal asing, rendahnya
20
kualitas produk, adanya hambatan tarif dan non tarif serta kebijakan pemerintah
tentang otonomi daerah. Beberapa permasalahan tersebut akan dibahas sebagai
berikut :
1. Pencurian oleh Kapal Asing
Sampai September 2001, diduga sebagian besar (+- 70 %) dari sekitar
7.000 kapal perikanan berbendera Indonesia yang memperoleh izin untuk
beroperasi di perairan ZEE masih dimiliki pihak asing, terutama Thailand,
Philipina, Taiwan dan RRC. Keadaan tersebut menyebabkan kerugian negara
yang diperkirakan mencapai US $ 1,362 miliar per tahun dengan rincian (1)
kerugian dari kehilangan devisa US $ 1 miliar, (2) Kerugian dari selisih iuran
DPKK US $ 22 juta, dan (3) kerugian dari fee yang harus dibayar sekitar US $
100 juta (Dahuri, 2001).
2. Hambatan-hambatan Non Tarif
Hambatan non tarif yang diberlakukan terhadap komoditas perikanan
impor adalah ekuivalensi, sertifikat ekspor, standar sanitasi, standar mutu, isu
lingkungan, Rapid Alert System dan Automatic Detention dan lain-lain. Untuk
lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut : Ekuivalensi, Uni Eropa
mensyaratkan bahwa hanya approved packers (unit pengolah yang disetujui) dari
negara harmonized country yang diizinkan mengekspor komoditas perikanannya.
Terhitung sejak tanggal 23 September 2000 terdapat 247 Approval Number dari
Indonesia yang berhak mengekspor produk perikanan ke Uni Eropa. Sertifikat
Ekspor. Setiap produk perikanan diwajibkan dilengkapi dengan serifikat mutu
(quality certificate), dan sertifikat kesehatan (Health Certificate) dalam bahasa
nasional negara tujuan. Selain sertifikat tersebut ditandatangani oleh inspektur
yang terakreditasi dengan tinta yang warnanya sesuai. Standar Sanitasi. Standar
Sanitasi yang tidak transparan atau standar ganda adalah masalah yang sering
kita dengar. Misalnya UE mensyaratkan bebas salmonella untuk udang beku
(kecuali udang rebus beku) tetapi untuk anggota UE aturannya lebih lunak.
Semua ekspor udang beku hanya bebas bakteri patogen. Kerang-kerangan yang
diimpor dari luar UE harus bebas bakteri E. Coli sedangkan produk sejenis yang
21
diproduksi di wilayah UE yang mengandung bakteri patogen pun tetap dapat
dijual asal diberi label “B Area Product” Standar Mutu. Standar mutu yang
diterapkan negara pengimpor umumnya lebih lunak daripada standar sanitasi.
Namun pengujian organoleptik masih lazim digunakan untuk menentukan
kualitas dan penerimaan suatu produk di pelabuhan masuk. Banyak produk
perikanan dari negara berkembang ditolak masuk karena tidak lolos uji organo
leptik. Isu Lingkungan. Untuk memblok ekspor tuna dan embargo udang, AS
meniupkan dolphin issue untuk tuna longliner dan berkaitan dengan penggunaan
TED / BED (turtle excluder device) untuk penangkapan udang. Sidang dispute
settlement body menyatakan AS kalah dan harus mencabut embargo ekspor
udang dari India, Pakistan, Malaysia dan Thailand. Rapid Alert System. UE
menerapkan sistem pengujian laboratorium secara acak (Random Sampling) atau
dikenal dengan Rapid Alert System untuk mengatasi standar sanitasi dan mutu
produk perikanan. Penerapan RAS oleh UE sering menghambat ekspor hasil
perikanan Indonesia karena hasil pengujian bersifat final dan merupakan hak
prerogatif inspektur veteriner UE sehingga sulit dikaji ulang atau dibantah.
Autamatic Detention. Sistem yang diberlakukan di AS ini pada dasarnya sama
dengan RAS di UE. Setiap ekspor perikanan dimasukkan dalam detention list
dan diperiksa secara acak. Suatu perusahaan perikanan akan dicabut dari
detention list jika secara 3 kali berturut-turut mutunya tidak sesuai dengan
standar yang dipersyaratkan. Untuk uji iji, eksportir dikenakan biaya sebesar 10
% dari total nilai ekspor. Masalah by catch. Negara-negara maju mulai
mempermasalahkan ikut tertangkapnya shark (cucut) dan burung laut dalam
penangkapan tuna. Beberapa negara Eropa juga mulai mengeluhkan tentang
ukuran ikan, yang dieksport negara berkembang (termasuk Indonesia) karena
dianggap melanggar code of conduct for responsible fishing dan CITES.
Ecolabel, beberapa negara maju telah mendesak FAO untuk segera menyiapkan
rancangan kriteria prosedur ecolabelling bagi produk perikanan yang
diperdagangkan secara global. Ecolabelling yang awalnya bersifat sukarela
(Voluntary) diganti dengan pelabelan bersifat wajib (Compulsary) dan berlaku
universal. Hal ini terlihat dari resolusi sidang PBB ke-55 pada mata acara 34
ocean and the law of the sea. Irradiasi, Amerika serikat, Australia dan Jepang
22
memberikan toleransi terhadap teknik irradiasi sepanjang tidak disalah gunakan
untuk mengganti sistem pembinaan mutu yang kurang baik. Sementara UE
kecuali Perancis, Belgia dan Belanda menetang digunakannya teknik irradiasi
untuk pengawetan produk perikanan. Undang-Undang Bioterorisme atau The
Bioterorisme Act telah disetujui Presiden Amerika Serikat dan dinyatakan
berlaku mulai 12 Desember 2003. UU bio-terorisme merupakan bagian dari
kebijakan keamanan nasional Amerika untuk mencegah masuknya teror berupa
penyakit, kuman dan virus melalui produk-produk yang diimpor. Sektor industri
yang terkena peraturan tersebut khususnya adalah produk makanan dan
minuman. Eksportir harus menyampaikan dengan rinci pada USFDA tentang
deskripsi produk, nama produsen , kapal pengangkut, pergudangan, negara asal
serta pelabuhan tujuan untuk selanjutnya diterbitkan prior of notice . Dengan
kata lain peraturan ini mewajibkan setiap eksportir untuk mendaftarkan diri ke
USFDA. Cargo Securuty Inisiative (CSI), merupakan sistem terbaru untuk setiap
kargo yang akan masuk ke Amerika harus terlebih dahulu diinfeksi di pelabuhanpelabuhan yang telah ditetapkan AS. Terdapat 20 pelabuhan yang telah
ditetapkan dan untuk Indonesia pelabuhan yang terpilih adalah Singapura,
Hongkong, Shanghai, Tokyo dan Kobe. Dengan sistem ini waktu pengapalan
menjadi lebih lama dan beresiko bagi produk-produk yang tidak tahan lama.
Pemerintah AS menyatakan akan menanggung seluruh biaya pemeriksaan,
namun hal tersebut tidak menjamin kerugian eksportir karena adanya opportunity
cost lainnya. Berdasarkan data di atas sangatlah jelas, kelemahan disektor
pengawasan
mutu
terhadap
produk
ekspor
khususnya
tuna
sehingga
menempatkan posisi Indonesia pada urutan teratas dalam kasus RAS tersebut.
Diperlukan pengawasan mutu yang ketat, disinilah kinerja laboratorium/
BPMHP/LPPMHP perlu ditingkatkan agar tingkat kepercayaan negara importir
terhadap produk tuna Indonesia tidak terus merosot. Pajak Ekspor Cakalang.
Industri pengalengan ikan cakalang mengalami kesulitan untuk mendapatkan
bahan baku karena sebagian besar produksi cakalang diekspor dalam bentuk
mentah. Saat ini (Maret 2003) sedang dikaji penetapan pajak ekspor untuk
cakalang. Kenaikan Harga BBM. Kenaikan harga BBM khususnya solar,
mengakibatkan banyak nelayan yang tidak bisa melaut karena mahalnya biaya
23
operasional. Permasalahan ini akhirnya dengan merevisi kenaikan harga BBM
dan pendirian SPBU khususnya untuk solar di pusat-pusat penangkapan oleh
DKP bekerja sama dengan Pertamina. Keanggotaan tuna dunia, Pada saat ini
hampir 75 % kapal tuna long line Indonesia beroperasi di luar ZEEI Saudera
Hindia ke arah barat hingga Srilangka, Maldives, bahkan ada yang beroperasi di
Samudera Atlantik untuk menangkap swordfish.Kendala dan masalah yang
dihadapi untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan secara optimal dan lestari,
mengingat tuna tergolong hewan yang high migration sehingga pengeloaannya
melewati batas-batas negara sementara Indonesia belum menjadi anggota dalam
pengelolaan tuna dunia seperti IOTC, CCSBT dan lainnya, ada kekhawatiran kita
dianggap ilegal walaupun menangkap diperairan sendiri. Oleh karena itu
pengelolaan ikan dimaksud di masa depan harus mengacu pada aturan-aturan
internasional yang menjadi kesepakatan bersama. Sebagai contoh di forumforum internasional nelayan Indonesia sering menjadi pembicaraan karena
dicurigai mengembangkan ”deep long line” untuk menangkap bluefin tuna dalam
kondisi matang telur. Namun demikian bila diperhatikan alat tangkap tuna long
line yang dikembangkan di Indonesia umumnya tidak terlalu dalam untuk
menangkap yelowfin tuna, sehingga tuduhan tersebut tidak mendasar dan
diaragukan kebenarannya.
3. Permasalahan Internal
No.
Permasalahan
Dukungan yang diharapkan
1. Kinerja BUMN perikanan cenderung menurun karena mengalami krisis
keuangan Perlu dilakukan revitalisasi BUMN perikanan (PT. Usaha Mina, PT.
Tirta Raya Mina, PT. Samodra Besa, dan PT. Perikani) dengan dukungan dari
Kantor Kementerian Negara BUMN.
2. Peningkatan Investasi bidang kelautan dan perikanan di daerah potensial
Sangat diperlukan iklim kondusif untuk pengembangan usaha perikanan
disamping terus dilakukan safari investasi
24
3. Kebutuhan bahan bakar (BBM) untuk usaha perikanan tangkap belum
mencukupi Perlu penyediaan sarana distribusi (SPBU/SPBB/Pool konsumen) di
setiap pelabuhan perikanan atau pangkalan pendaratan ikan serta penambahan
pasokan BBM untuk kapal-kapal perikanan sesuai kebutuhan yang sangat
memerlukan dukungan dari Dep. ESM dan Pertamina.
4. Kualitas sumberdaya manusia perikanan masih lemah :
Kurangnya kesadaran masyarakat dan pemerintah daerah akan kebutuhan
sumberdaya manusia yang berkualitas. Sumberdaya manusia kelautan dan
perikanan belum memenuhi standar internasional yang ditetapkan IMO yaitu
STCW-F (Standar Training Sertification and Watchkeeping for Fisheries).
1. Dukungan terhadap pembentukan sekolah-sekolah perikanan (saat ini sedang
diproses : Akademi Perikanan di Nagroe Aceh Darussalam, Sekolah Usaha
Perikanan Menengah di Sikka NTT, Kota Agung-Lampung, Pangkal Pinang –
Bangka-Belitung, Tanjung Pinang Riau dan pengembangan beberapa program
studi di Pesantren dll).
2. Secara bertahap sedang dilakukan penyesuaian kurikulum dan masih
diperlukan peningkatan kualitas tenaga pengajar dan penyediaan kelengkapan
sarana dan prasarana pendidikan profesional perikanan.
2.3 Studi Kasus atau Permasalahan Ekspor Tuna antara Indonesia dan Uni
Eropa
1. ekspor Tuna Indonesia ke Uni Eropa Kena Tarif Tinggi
25
Ekspor ikan tuna Indonesia ke Uni Eropa dihadang tarif bea
masuk yang tinggi. Tingginya bea masuk disebabkan tidak ada perjanjian
perdagangan bebas antara Indonesia dan Uni Eropa.
"Tarif bea masuk ikan tuna ke Uni Eropa sangat tinggi yaitu 22% hingga
24%," ungkap Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) Saut P Hutagalung saat ditemui detikFinance.
Tingginya tarif bea masuk ikan tuna di Uni Eropa berdampak pada daya
saing produk serupa dengan negara lain. Saut menjelaskan, daya saing
produk ikan tuna Thailand dan Vietnam jauh lebih tinggi dibandingkan
Indonesia. Hal ini disebabkan karena tarif bea masuk untuk ikan tuna yang
dikenakan Uni Eropa ke Thailand dan Vietnam jauh lebih rendah
dibandingkan Indonesia.
"Thailand dan Vietnam sudah menyelesaikan perjanjian perdagangan bebas
dengan Uni Eropa, sehingga tarif bea masuk mereka ke Uni Eropa di
bawah kita," imbuhnya.
26
Sedangkan khusus untuk produk ikan tuna dari Papua Nugini
(PNG), Uni Eropa bahkan membebaskan bea masuk. "PNG bahkan 0%
karena sudah menyelesaikan perjanjian dagang bebas dengan Uni Eropa.
Selain itu mereka tangkap ikan tuna pakai kapal milik Spanyol," tuturnya.
Oleh sebab itu, ke depan ekspor ikan tuna ke Uni Eropa harus
dalam bentuk olahan bukan lagi dalam bentuk mentah. Selain memangkas
kerugian yang diderita pelaku usaha, ekspor ikan tuna olahan bisa
mendapatkan nilai tambah di dalam negeri.
"Pertama yang harus kita lakukan, kita punya basis produksi ikan tuna
yang cukup kuat. Kita kuatkan industri pengalengan kita," jelasnya.
Menurut data KKP, ekspor ikan tuna ke Uni Eropa cukup besar
yaitu mencapai US$ 180 juta/tahun. Sementara itu, ikan tuna juga diekspor
ke Jepang per tahun mencapai US$ 170 juta, kemudian ke Amerika Serikat
US$ 115 juta.
27
2. Ekspor Tuna Ditolak Akibat Bakteri Salmonela
Produk ikan tuna Indonesia rentan mendapat penolakan dari
negara tujuan ekspor lantaran mengandung kadar bakteri salmonela yang
tinggi.
Anggota Komisi Tuna Indonesia Arif Satria menuturkan
komoditas ikan tuna harus ditangani dengan baik, mulai dari aktivitas
penangkapan, proses, hingga pengapalan.
Apabila tidak ditangani dengan baik, produk tuna Indonesia sulit
untuk mendapat pasar ekspor yang menerapkan standar kualitas dan mutu
yang tinggi.
"Praktik penangkapan yang berkelanjutan itu dengan handline. Tetapi
nelayan yang menggunakan perahu kecil tidak mengangkut ikan secara
gelondongan. Saat proses pemotongan, bakteri masuk," ujarnya dalam
Seminar Nasional Penyakit Ikan Karantina, Selasa (26/11/2013).
Berdasarkan data Food and Drugs Administration (FDA) Amerika
Serikat, sepanjang 2011 terdapat 89 kasus penolakan ekspor tuna dari
Indonesia ke Amerika Serikat. Penolakan tersebut terjadi pada 19,44 ton
ikan tuna dengan nilai ekonomis mencapai US$128,71 juta.
28
Jumlah kasus penolakan tuna Indonesia lebih tinggi dibandingkan
yang dialami negara-negara lain di Asia Tenggara. Pada 2011, penolakan
ikan tuna asal Thailand mencapai 11 kasus, Vietnam 22 kasus, dan
Filipina hanya 5 kasus.
"Dari 89 kasus, 66 kasus penolakan disebabkan oleh kadar bakteri
salmonela yang di atas batas ambang minimum," tuturnya.
Arif mengatakan selain penanganan yang tidak higienis, tingginya
kandungan bakteri salmonela pada ikan tuna juga disebabkan oleh
buruknya kualitas sanitasi di pelabuhan perikanan.
"Thailand sekarang cari pemasok bahan baku tuna dari negara lain,
karena kualitas tuna kita dianggap jelek. Ini harus kita benahi," ujarnya.
Dalam tiga tahun terakhir, ekspor tuna, tongkol, cakalang (TTC)
tercatat naik lebih dari 30%. Pada 2010, nilai ekspor tuna mencapai
US$383,23 juta, naik menjadi US$498,59 juta pada 2011 dan US$749,99
juta pada 2012.
Adapun, sepanjang Januari-Juni 2013, ekspor tuna Indonesia mencapai
US$398,35 juta. Negara tujuan ekspor terbesar a.l. Jepang US$80,63 juta,
AS US$56,04 juta, dan Uni Eropa US$96,39 juta.
29
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Hambatan dalam arus perdagangan ada dua macam, yaitu :
1. Kebijakan Tarif (Hambatan Tarif), Hambatan perdagangan yang
paling nyata secara historis adalah tarif. Tarif adalah pajak yang
dikenakan atas barang yang diperdagangkan lintas batas teritorial.
Ditinjau dari aspek asal komoditi ada 2 macam tarif yakni tarif ekspor
(export tariff) dan tarif impor (import tariff). Tarif impor adalah
pungutan bea masuk yang dikenakan atas barang impor yang masuk
untuk dipakai atau dikonsumsi habis di dalam negeri.
2. Kebijakan Non-Tariff (Hambatan Non-Tarif), Kebijakan non- tariff
barrier ( NTB) adalah berbagai kebijakan perdagangan selain bea
masuk yang dapat menimbulkan distori, sehingga mengurangi potensi
manfaat perdagangan internasional (Hady, 2004).
Beberapa permasalahan tersebut akan dibahas sebagai berikut :
1.
Pencurian oleh Kapal Asing
2.
Hambatan-hambatan Non Tarif
3. Permasalahan Internal
Studi Kasus atau Permasalahan Ekspor Tuna antara Indonesia dan Uni
Eropa
1. ekspor Tuna Indonesia ke Uni Eropa Kena Tarif Tinggi
2. Ekspor Tuna Ditolak Akibat Bakteri Salmonela
30
3.1
Saran
1. Indonesia perlu mengajukan permohonan kepada pihak Uni Eropa
untuk menurunkan besar tarif yang dikenakan pada produk tuna
2. Indonesia Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan faktorfaktor lain yang berpengaruh terhadap volume ekspor tuna Indonesia
ke Uni Eropa seperti harga tuna Indonesia, harga tuna negara pesaing,
GDP Uni Eropa, dan nilai tukar
31
DAFTAR PUSTAKA
Amin Aziz, M., 1993. Agroindustri Ikan Tuna dan Udang,Prospek Pengembangan
Pada PJPT II. Bangkit, Jakarta
Apsari, Winanti., 2011. Analisis Permintaan Ekspor Ikan Tuna Segar Indonesia
di Pasar Internasional , Tesis, IPB
Barclay, Kate., and Sun-Hui Koh. 2005. Neoliberalism in Japan’s Tuna Fisheries,
Government Intervention and Reform in the Longline Induatry,
Australian National University.
Cahya, Indri Nilam., 2010. Analisis Daya Saing Ikan Tuna Indonesia di Pasar
Internasional. Skripsi, Fak. Ekonomi dan Manajemen IPB Bogor.
32