Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gejala Pruritus pada Pasien Hemodialisis Reguler

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hemodialisis

2.1.1. Definisi dan Proses Kerja

Hemodialisis adalah proses dimana terjadi difusi partikel terlarut (salut) dan air secara pasif melalui kompartemen cair yaitu darah menuju kompartemen cairan dialisat melewati membran semipermeabel dalam dialiser. Hemodialisis dan dialisis peritoneal merupakan dua teknik utama yang digunakan dalam dialisis, dan prinsip dasar kedua teknik itu sama yaitu difusi zat terlarut dan air dari plasma ke larutan dialisis sebagai respons terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu (Price and Wilson, 2005).

Pada suatu membran semipermeabel yang diletakkan di antara darah penderita pada suatu sisi dan larutan yang sudah diketahui susunannya (dialisat atau bak dialisis) pada sisi satunya, maka substansi yang dapat menembus membrane akan bergerak dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Bila kadar kalsium dalam darah tinggi dan kadar kalsium dalam dialisat rendah, maka kalsium akan bergerak keluar dari darah masuk ke dialisat. Ultrafiltrasi (pembuangan air) dapat dilakukan dengan cara menciptakan perbedaan tekanan hidrostatik (contoh, meningkatkan tekanan positif dalam kompartemen darah secara mekanik). Perbedaan tekanan hidrostatik yang timbul menyebabkan perpindahan air dari darah menuju ke dialisat (Price and Wilson, 2005).

Sistem dialisis terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk cairan dialisis. Darah mengalir dari penderita melalui tabung plastik (jalur arteri), lalu ke hollow fiber (serabut berongga) pada alat dialisis dan kembali ke penderita melalui jalur vena. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh kemudian dicampur dengan konsentrat dengan perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak dialisis. Dialisat kemudian di masukan ke dalam alat dialisis, dan cairan akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi


(2)

di sepanjang membran dialisis melalui proses difusi dan ultrafiltrasi (Price and Wilson, 2005).

Gambar 2.1. Skema proses hemodialisis (Ahmad, 2011).

Komposisi cairan dialisat diatur sedemikian rupa mendekati komposisi ion darah normal. Komposisi dialisat yang umum adalah Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl-, asetat, dan glukosa. Urea, Kreatinin, asam urat, dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah ke dalam cairan dialisis karena unsur-unsur ini tidak terdapat dalam cairan dialisis (Price and Wilson, 2005).

Tabel 2.1. Komposisi Dialisat (Price and Wilson, 2005) Komposisi Dialisat

Komponen mEq/L

Natrium 138-145

Kalium 0-4,0

Klorida 100-107

Kalsium 2,5-3,5

Magnesium 0,4-1,0

Asetat 30-37

Glukosa * 100-250*


(3)

Pada proses dialisis terjadi aliran darah di luar tubuh. Pada keadaan ini akan terjadi aktivasi sistem koagulasi darah dengan akibat timbulnya bekuan darah. Karena itu pada dialisis diperlukan pemberian heparin selama dialisis berlangsung (Rahardjo et al, 2009).

Akses vaskular hemodialisis bertujuan sebagai jalan masuknya ke sistem vaskular penderita dengan optimal. Darah yang harus keluar dan masuk tubuh penderita dengan kecepatan 200 sampai 400 ml/menit. Akses vaskular di klasifikasikan menjadi dua yaitu, eksternal (biasanya sementara) dan internal (permanen). Pirau arteriovenosa (AV) ekternal atau sistem kanula diciptakan dengan menempatkan ujung kanula dari Teflon dalam arteri (biasanya arteri radialis) dan sebuah vena yang berdekatan. Ujung kanula di sambugkan dengan selang karet silikon dan suatu sambunga Teflon melengkapi pirau. Sedangkan pada permanen dilakukan pemasangan Fistula AV. Fistula AV dibuat melalui anastomosis arteri secara langsung ke vena (biasanya arter radialis dan vena sefalika pergelanagn tangan) (Price and Wilson, 2005).

Kecukupan dosis hemodialisis yang diberikan diukur dengan istilah adekuasi dialisis. Adekuasi diukur dengan menghitung urea reduction ratio (URR) dan (KT/V). URR dihitung dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar ureum predialisis dengan kadar ureum pascadialisis dibagi kadar ureum pascadialisis. Pada hemodialisis 2 kali seminggu dialisis dianggap cukup bila URR-nya lebih dari 80%. Cara lain dengan menghitung KT/V dengan memasukan nilai ureum pradialisis dan pascadialisis, berat badan pradialisis dan pascadialisis. Pada hemodialisis 3 kali seminggu KT/V dianggap cukup bila lebih besar atau sama dengan 1.8 (Rahardjo et al, 2009).

Hemodialisis rumatan biasanya dilakukan tida kali seminggu, dan lama pengobatan berkisar dari 3 sampai 5 jam, bergantung pada jenis sistem dialisis yang digunakan dan keadaan penderita (Price and Wilson, 2005).

2.1.2. Epidemiologi

Prevalensi penyakit ginjal kronik (PGK) didunia menurut United State Renal Data System (USRDS) pada tahun 2009 adalah sekitar 10-13 %


(4)

(Ma’shumah, 2014). Sedangkan di Indonesia menurut laporan Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2009 tercatat sebanyak 5.450 pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis, dimana pada tahun 2010 meningkat menjadi 8.034 penderita dan pada tahun 2011 telah menjadi 12.804 penderita (Santoso, 2012). Sementara di RSUP H. Adam Malik Medan didapatkan total pasien HD pada Februari 2013 sebanyak 197 pasien dengan jumlah tindakan hemodialisis sebanyak 1.081 (Maruli, 2013).

2.1.3. Indikasi

Menurut Rahardjo et al (2009), pada umumnya indikasi dialisis pada PGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG) sudah kurang dari 5 ml/menit, yang di dalam praktek dianggap demikian bila test kliren kreatinin (TKK) < 5 mL/menit. Keadaan pasien yang hanya mempunyai TKK < 5 mL/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila di jumpai salah satu dari hal dibawah ini :

• Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata

• K ureum > 6 mEq/L

• Ureum darah > 200mg/dL

• pH darah < 7,1

• Anuria berkepanjangan ( > 5 hari)

Fluid overloaded 2.2. Pruritus

2.2.1. Definisi

Pruritus istilah medis untuk rasa gatal. Pruritus dapat didefinisikan sebagai sensasi kulit yang iritatif dan menimbulkan rangsangan untuk menggaruk. Gatal merupakan suatu hasil stimulasi gradasi ringan pada serat saraf. Bila gradasi meningkat, maka sensasi yang akan timbul adalah nyeri (Wicaksono, 2009). Pruritus uremik adalah pruritus yang terjadi pada gagal ginjal yang disebabkan oleh toksin uremik (Pardede, 2010).


(5)

Pruritus adalah salah satu gejala yang paling mengganggu pada pasien HD. Menurut sebagian sumber, lebih dari separuh pasien yang menjalani HD mengeluhkan berbagai tingkat pruritus (Akhyani et al, 2005).

2.2.2. Klasifikasi

Klasifikasi pruritus menurut Akhyani et al (2005) adalah:

• Ringan: pruritus episodik dan lokal tanpa gangguan dalam pekerjaan sehari-hari dan tidur.

• Sedang: pruritus umum dan terus menerus tanpa gangguan tidur.

• Parah: pruritus umum dan terus menerus dengan adanya gangguan tidur.

2.2.3. Prevalensi Pruritus pada HD

Banyak penelitian yang menemukan gejala pruritus pada pasien PGK yang menjalani HD. Antara lain yang di lakukan oleh Akhyani et al (2005) pada 167 pasien yang menjalani HD, dimana pruritus ditemukan pada 41.9% pasien, dengan derajat berat pada 37.1%, derajat sedang pada 11.4%, dan derajat ringan pada 51.4% pasien. Penelitian lain yang dilakukan oleh Stahle-Backdahl et al (1988), mendapatkan pruritus 66% pada pasien HD, dengan derajat parah pada 8%, sedang pada 24%, dan ringan pada 34%. Szepietowski et al (2002) di Polandia mendapatkan 40.8% pasien mengalami pruritus. Kato et al (2000) di Jepang, mendapatkan 74% pasien HD mengeluhkan pruritus. Benchikhi et al (2003) mendapatkan 74.4% pasien HD di Moroc mengalami pruritus.

Penelitian yang dilakukan Wicaksono (2009) di RSCM Jakarta terhadap 108 pasien HD didapatkan 54 pasien (50%) mengeluhkan adanya pruritus, dengan sebagian besar berderajat ringan (32.4%), sisanya berderajat sedang (13.9%) dan berat (3.7%). Hasil penelitian yang dilakukan Riza (2012) di RSUP H. Adam Malik Medan menunjukan bahwa dari 78 responden yang menjalani HD mengalami pruritus sebanyak 55 orang (70.5%), 23 orang (41.8%) mengalami derajat sedang, 18 orang (32.7%) berderajat ringan dan 14 orang (25.5%) berderajat berat.


(6)

2.2.4. Patofisiologi Pruritus pada Pasien HD

Mekanisme yang mendasari terjadinya pruritus kurang dipahami. Banyak teori yang berkembang saat ini seperti akibat hiperparatiroidisme sekunder, kelainan divalention, histamin, sensitisasi alergi, proliferasi sel mast kulit, anemia defisiensi besi, hypervitaminosis A, xerosis, neuropati dan perubahan neurologis, keterlibatan sistem opioid (understimulation dari reseptor κ atau berlebih dari reseptor μ), sitokin, asam empedu serum, oksida nitrat, atau beberapa kombinasi dari ini (Akhyani et al, 2005).

Xerosis terlihat pada sebagian besar pasien pada HD dan dapat menyebabkan pruritus. Xerosis kulit biasanya disebabkan karena retensi vitamin A karena berkurangnya fungsi ginjal untuk mengsekresikan zat ini. Maka vitamin A akan menumpuk di jaringan subkutan kulit. Vitamin yang terlalu berlebihan ini akan menyebabkan atrofi kelenjar sebasea dan kelenjar keringat sehingga kulit menjadi kering dan gatal (Akhyani et al, 2005; Wicaksono, 2009).

Kadar histamin yang dihasilkan sel mast pada pasien pruritus uremik lebih tinggi dibandingkan dengan pada pasien non-pruritus. Sel mast pada dermis terletak berdekatan ke saraf aferen C neuron terminal, dan interaksi antara struktur ini berperan penting dalam mediasi pruritus. Jumlah sel mast pada pruritus uremik lebih banyak dibandingkan pada orang normal dan berkaitan dengan peningkatan kadar hormon paratiroid plasma (Pardede, 2010).

Pada kulit pasien dialisis terdapat kadar kalsium, magnesium, dan fosfat yang tinggi. Magnesium berperan dalam modulasi konduksi saraf serta pelepasan histamin dari sel mast. Kalsium juga berperan pada terjadinya pruritus melalui degranulasi sel mast. Kalsium dan magnesium darah dalam kadar tinggi akan berikatan dengan fosfat sehingga membentuk kristal. Kristal ini akan berdeposit di kulit dan menimbulkan rangsangan terhadap serabut saraf c yang akan menyebabkan sensasi gatal. Kondisi hiperfosfatemia, hiperkalsemia, dan hipermagnesium juga bisa disebabkan karena hiperparatiroid sekunder (Wicaksono, 2009; Akhyani et al, 2005; Pardede, 2010).

Menurut Mettang et al (2002) ada dua konsep yang sering diajukan sebagai patofisiologi pruritus uremik.


(7)

a. The Immuno-hypothesis

Mekanisme imunologi berperan penting dalam patogenesis pruritus uremik. Banyak faktor yang mungkin terlibat, penyebab yang paling mungkin adalah IL-2 yang disekresikan oleh limfosit Th1 teraktivasi. Telah dilaporkan bahwa pemberian IL-2 intradermal menimbulkan efek pruritogenik yang cepat tetapi lemah. Penelitian pendahuluan multisenter menetapkan bahwa diferensiasi Th-1 lebih menonjol pada pruritus uremik dibandingkan dengan tanpa pruritus uremik. Hasil ini dapat mendukung hipotesis bahwa keadaan inflamasi dapat menyebabkan pruritus uremik.

b. The opoid hypotesis

Stimuli inflamatori yang disebabkan oleh uremia dan dialisis akan menyebabkan peningkatan diferensiasi limfosit Th1 dan supresi itch-reducing – κ receptor atau peningkatan μ-reseptor di kulit pasien yang menjalani dialisis. Namun hingga saat ini, hipotesis ini belum dapat dibuktikan. Imunomodulator dan obat antagonis reseptor-κ telah terbukti sangat membantu pada pruritus yang berat.

2.2.5. Faktor yang Mempengaruhi Pruritus 2.2.5.1. Parameter Klinik

1. Usia

Sebuah studi yang dilakukan Kentaro, didapatkan ada hubungan yang signifikan antara pruritus dan usia, dimana usia yang lebih muda dari 30 tahun dikaitkan dengan risiko lebih rendah untuk pruritus (Kentaro et al, 2001). Beberapa penelitian lain menyebutkan bahwa pruritus tidak dipengaruhi oleh faktor usia (Kato et al, 2000; Mesic E et al, 2004).

2. Jenis Kelamin

Narita et al (2006) menunjukan bahwa pruritus paling banyak dialami oleh pria. Tetapi menurut Szepietowski et al (2002) gatal lebih sering terjadi pada wanita. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pruritus tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin (Akhyani et al, 2005; Urbonas et al, 2001).


(8)

3. Frekuensi dan Lama HD

Stahle-Backdahl et al (1988) pruritus cenderung terjadi pada pasien yang sudah lama menjalani HD. Dalam sebuah studi yang dilakukan Altmeyer (1982) menjelaskan tidak ada signifikan hubungan jangka waktu yang panjang dengan terjadinya pruritus, karena dari hasil yang di dapatkan 23 pasien dengan dialisis jangka pendek (2-3 tahun) 78% mengeluhkan pruritus, sementara itu terlihat hanya 43% dari 28 pasien dengan dialisis jangka panjang (> 8 tahun).

2.2.5.2. Parameter Laboratorium 1. Kalsium dan Fosfor

Kadar kalsium normal adalah 8.6-10.3 mg/dL, sedangkan kadar fosfor normal adalah 2.7-4.5 mg/dL (Akhyani et al, 2005). Momose et al (2004), menemukan peningkatan konsentrasi ion kalsium dalam lapisan terdalam epidermis yang menunjukkan gradien ion kalsium terganggu pada kulit. Peningkatan kadar serum magnesium, fosfor dan kalsium telah diusulkan oleh beberapa peneliti terlibat dalam uremik pruritus. Sebuah studi telah menemukan penurunan terjadinya pruritus uremik dengan dialisat rendah kalsium (Kyriazis et al 2000). Menurut Kentaro et al (2001), hiperkalsemia (≥ 9.7mg/dl) dan hiperfosfatemia (≥ 5.6mg/dl) diakui sebagai faktor risiko untuk pruritus uremik parah.

2. Produk Kalsium-fosfor

Kadar produk kalsium-fosfor normal adalah <55 mg2/dl2 (Singh, 2012). Dalam studi DOPPS (Dialysis Outcomes and Practice Patterns Study) dengan ukuran sampel yang besar dari 17.034 pasien dari tujuh negara, hubungan independen dan kuat yang terlihat antara tingginya kadar kalsium fosfor (> 80 mg2/dl2) dengan uremic pruritus (Gatmiri et al, 2012).

3. Hormon Paratiroid (PTH)

Kadar PTH normal adalah 0.8-2.5 pmole/L (Akhyani et al, 2005). Hiperparatiroid telah dikemukakan oleh beberapa peneliti sebagai penyebab uremik pruritus. Hormon ini secara tidak langsung dapat menyebabkan perubahan metabolik yang kemudian menyebabkan pruritus (Akhyani et al, 2005). Paratiroidektomi terbukti dapat menurunkan gejala pruritus yang disebabkan


(9)

hiperparatiroidisem sekunder. Selain itu tingkat serum kalsium, fosfor, kalsium-fosfor (Ca-P), alkaline phosphatase, dan PTH berubah secara signifikan setelah dilakukan paratiroidektomi (Chou et al, 2000).

4. Blood Urea Nitrogen (BUN)

Kadar BUN normal adalah 8-20 mg/dL (Akhyani et al, 2005). Peningkatan BUN dipengaruhi oleh lamanya hemodialisis. Tingkat rata-rata BUN secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan pruritus parah, dan analisisa multiple logistic regression menunjukkan bahwa tingkat tinggi BUN merupakan faktor risiko yang signifikan untuk pruritus uremik parah. Hal ini mungkin menunjukkan bahwa sebagian besar pasien dengan pruritus uremik parah dalam keadaan underdialysis, meskipun Kt / V tidak berbeda. Kt / V tidak menghapusan molekul berukuran sedang dan besar yang mungkin bertanggung jawab untuk terjadi uremik pruritus (Narita, 2006). Menurut Kentaro et al (2001) azotemia (BUN ≥ 81.2mg/dL) diakui sebagai faktor risiko untuk pruritus uremik parah. 2.2.6. Penilaian Pruritus

Penilaian pruritus umumnya dilakukan dengan Visual Analog Scale (VAS), yaitu hanya menilai keparahan gejala, tidak memperhitungkan aspek-aspek lain dari pruritus, seperti dampak relatif dari pruritus terhadap kualitas hidup. Oleh karena itu digunakan 5-D itch scale sebagai alat baru untuk mengukur pruritus. 5-D itch scale adalah kuesioner singkat tapi multidimensi dirancang sebagai ukuran hasil dalam uji klinis. Meliputi lima dimensi yaitu degree (derajat/tingkat), duration (durasi), direction (arah/petunjuk), disability (cacat) dan distribution (distribusi) (Elman, 2010). Untuk menilai derajat keparahan gatal masih digunakan VAS.


(1)

(Ma’shumah, 2014). Sedangkan di Indonesia menurut laporan Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2009 tercatat sebanyak 5.450 pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis, dimana pada tahun 2010 meningkat menjadi 8.034 penderita dan pada tahun 2011 telah menjadi 12.804 penderita (Santoso, 2012). Sementara di RSUP H. Adam Malik Medan didapatkan total pasien HD pada Februari 2013 sebanyak 197 pasien dengan jumlah tindakan hemodialisis sebanyak 1.081 (Maruli, 2013).

2.1.3. Indikasi

Menurut Rahardjo et al (2009), pada umumnya indikasi dialisis pada PGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG) sudah kurang dari 5 ml/menit, yang di dalam praktek dianggap demikian bila test kliren kreatinin (TKK) < 5 mL/menit. Keadaan pasien yang hanya mempunyai TKK < 5 mL/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila di jumpai salah satu dari hal dibawah ini :

• Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata • K ureum > 6 mEq/L

• Ureum darah > 200mg/dL • pH darah < 7,1

• Anuria berkepanjangan ( > 5 hari) • Fluid overloaded

2.2. Pruritus 2.2.1. Definisi

Pruritus istilah medis untuk rasa gatal. Pruritus dapat didefinisikan sebagai sensasi kulit yang iritatif dan menimbulkan rangsangan untuk menggaruk. Gatal merupakan suatu hasil stimulasi gradasi ringan pada serat saraf. Bila gradasi meningkat, maka sensasi yang akan timbul adalah nyeri (Wicaksono, 2009). Pruritus uremik adalah pruritus yang terjadi pada gagal ginjal yang disebabkan oleh toksin uremik (Pardede, 2010).


(2)

Pruritus adalah salah satu gejala yang paling mengganggu pada pasien HD. Menurut sebagian sumber, lebih dari separuh pasien yang menjalani HD mengeluhkan berbagai tingkat pruritus (Akhyani et al, 2005).

2.2.2. Klasifikasi

Klasifikasi pruritus menurut Akhyani et al (2005) adalah:

• Ringan: pruritus episodik dan lokal tanpa gangguan dalam pekerjaan sehari-hari dan tidur.

• Sedang: pruritus umum dan terus menerus tanpa gangguan tidur. • Parah: pruritus umum dan terus menerus dengan adanya gangguan

tidur.

2.2.3. Prevalensi Pruritus pada HD

Banyak penelitian yang menemukan gejala pruritus pada pasien PGK yang menjalani HD. Antara lain yang di lakukan oleh Akhyani et al (2005) pada 167 pasien yang menjalani HD, dimana pruritus ditemukan pada 41.9% pasien, dengan derajat berat pada 37.1%, derajat sedang pada 11.4%, dan derajat ringan pada 51.4% pasien. Penelitian lain yang dilakukan oleh Stahle-Backdahl et al (1988), mendapatkan pruritus 66% pada pasien HD, dengan derajat parah pada 8%, sedang pada 24%, dan ringan pada 34%. Szepietowski et al (2002) di Polandia mendapatkan 40.8% pasien mengalami pruritus. Kato et al (2000) di Jepang, mendapatkan 74% pasien HD mengeluhkan pruritus. Benchikhi et al (2003) mendapatkan 74.4% pasien HD di Moroc mengalami pruritus.

Penelitian yang dilakukan Wicaksono (2009) di RSCM Jakarta terhadap 108 pasien HD didapatkan 54 pasien (50%) mengeluhkan adanya pruritus, dengan sebagian besar berderajat ringan (32.4%), sisanya berderajat sedang (13.9%) dan berat (3.7%). Hasil penelitian yang dilakukan Riza (2012) di RSUP H. Adam Malik Medan menunjukan bahwa dari 78 responden yang menjalani HD mengalami pruritus sebanyak 55 orang (70.5%), 23 orang (41.8%) mengalami derajat sedang, 18 orang (32.7%) berderajat ringan dan 14 orang (25.5%) berderajat berat.


(3)

2.2.4. Patofisiologi Pruritus pada Pasien HD

Mekanisme yang mendasari terjadinya pruritus kurang dipahami. Banyak teori yang berkembang saat ini seperti akibat hiperparatiroidisme sekunder, kelainan divalention, histamin, sensitisasi alergi, proliferasi sel mast kulit, anemia defisiensi besi, hypervitaminosis A, xerosis, neuropati dan perubahan neurologis, keterlibatan sistem opioid (understimulation dari reseptor κ atau berlebih dari reseptor μ), sitokin, asam empedu serum, oksida nitrat, atau beberapa kombinasi dari ini (Akhyani et al, 2005).

Xerosis terlihat pada sebagian besar pasien pada HD dan dapat menyebabkan pruritus. Xerosis kulit biasanya disebabkan karena retensi vitamin A karena berkurangnya fungsi ginjal untuk mengsekresikan zat ini. Maka vitamin A akan menumpuk di jaringan subkutan kulit. Vitamin yang terlalu berlebihan ini akan menyebabkan atrofi kelenjar sebasea dan kelenjar keringat sehingga kulit menjadi kering dan gatal (Akhyani et al, 2005; Wicaksono, 2009).

Kadar histamin yang dihasilkan sel mast pada pasien pruritus uremik lebih tinggi dibandingkan dengan pada pasien non-pruritus. Sel mast pada dermis terletak berdekatan ke saraf aferen C neuron terminal, dan interaksi antara struktur ini berperan penting dalam mediasi pruritus. Jumlah sel mast pada pruritus uremik lebih banyak dibandingkan pada orang normal dan berkaitan dengan peningkatan kadar hormon paratiroid plasma (Pardede, 2010).

Pada kulit pasien dialisis terdapat kadar kalsium, magnesium, dan fosfat yang tinggi. Magnesium berperan dalam modulasi konduksi saraf serta pelepasan histamin dari sel mast. Kalsium juga berperan pada terjadinya pruritus melalui degranulasi sel mast. Kalsium dan magnesium darah dalam kadar tinggi akan berikatan dengan fosfat sehingga membentuk kristal. Kristal ini akan berdeposit di kulit dan menimbulkan rangsangan terhadap serabut saraf c yang akan menyebabkan sensasi gatal. Kondisi hiperfosfatemia, hiperkalsemia, dan hipermagnesium juga bisa disebabkan karena hiperparatiroid sekunder (Wicaksono, 2009; Akhyani et al, 2005; Pardede, 2010).

Menurut Mettang et al (2002) ada dua konsep yang sering diajukan sebagai patofisiologi pruritus uremik.


(4)

a. The Immuno-hypothesis

Mekanisme imunologi berperan penting dalam patogenesis pruritus uremik. Banyak faktor yang mungkin terlibat, penyebab yang paling mungkin adalah IL-2 yang disekresikan oleh limfosit Th1 teraktivasi. Telah dilaporkan bahwa pemberian IL-2 intradermal menimbulkan efek pruritogenik yang cepat tetapi lemah. Penelitian pendahuluan multisenter menetapkan bahwa diferensiasi Th-1 lebih menonjol pada pruritus uremik dibandingkan dengan tanpa pruritus uremik. Hasil ini dapat mendukung hipotesis bahwa keadaan inflamasi dapat menyebabkan pruritus uremik.

b. The opoid hypotesis

Stimuli inflamatori yang disebabkan oleh uremia dan dialisis akan menyebabkan peningkatan diferensiasi limfosit Th1 dan supresi itch-reducing – κ receptor atau peningkatan μ-reseptor di kulit pasien yang menjalani dialisis. Namun hingga saat ini, hipotesis ini belum dapat dibuktikan. Imunomodulator dan obat antagonis reseptor-κ telah terbukti sangat membantu pada pruritus yang berat.

2.2.5. Faktor yang Mempengaruhi Pruritus 2.2.5.1. Parameter Klinik

1. Usia

Sebuah studi yang dilakukan Kentaro, didapatkan ada hubungan yang signifikan antara pruritus dan usia, dimana usia yang lebih muda dari 30 tahun dikaitkan dengan risiko lebih rendah untuk pruritus (Kentaro et al, 2001). Beberapa penelitian lain menyebutkan bahwa pruritus tidak dipengaruhi oleh faktor usia (Kato et al, 2000; Mesic E et al, 2004).

2. Jenis Kelamin

Narita et al (2006) menunjukan bahwa pruritus paling banyak dialami oleh pria. Tetapi menurut Szepietowski et al (2002) gatal lebih sering terjadi pada wanita. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pruritus tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin (Akhyani et al, 2005; Urbonas et al, 2001).


(5)

3. Frekuensi dan Lama HD

Stahle-Backdahl et al (1988) pruritus cenderung terjadi pada pasien yang sudah lama menjalani HD. Dalam sebuah studi yang dilakukan Altmeyer (1982) menjelaskan tidak ada signifikan hubungan jangka waktu yang panjang dengan terjadinya pruritus, karena dari hasil yang di dapatkan 23 pasien dengan dialisis jangka pendek (2-3 tahun) 78% mengeluhkan pruritus, sementara itu terlihat hanya 43% dari 28 pasien dengan dialisis jangka panjang (> 8 tahun).

2.2.5.2. Parameter Laboratorium 1. Kalsium dan Fosfor

Kadar kalsium normal adalah 8.6-10.3 mg/dL, sedangkan kadar fosfor normal adalah 2.7-4.5 mg/dL (Akhyani et al, 2005). Momose et al (2004), menemukan peningkatan konsentrasi ion kalsium dalam lapisan terdalam epidermis yang menunjukkan gradien ion kalsium terganggu pada kulit. Peningkatan kadar serum magnesium, fosfor dan kalsium telah diusulkan oleh beberapa peneliti terlibat dalam uremik pruritus. Sebuah studi telah menemukan penurunan terjadinya pruritus uremik dengan dialisat rendah kalsium (Kyriazis et al 2000). Menurut Kentaro et al (2001), hiperkalsemia (≥ 9.7mg/dl) dan hiperfosfatemia (≥ 5.6mg/dl) diakui sebagai faktor risiko untuk pruritus uremik parah.

2. Produk Kalsium-fosfor

Kadar produk kalsium-fosfor normal adalah <55 mg2/dl2 (Singh, 2012). Dalam studi DOPPS (Dialysis Outcomes and Practice Patterns Study) dengan ukuran sampel yang besar dari 17.034 pasien dari tujuh negara, hubungan independen dan kuat yang terlihat antara tingginya kadar kalsium fosfor (> 80 mg2/dl2) dengan uremic pruritus (Gatmiri et al, 2012).

3. Hormon Paratiroid (PTH)

Kadar PTH normal adalah 0.8-2.5 pmole/L (Akhyani et al, 2005). Hiperparatiroid telah dikemukakan oleh beberapa peneliti sebagai penyebab uremik pruritus. Hormon ini secara tidak langsung dapat menyebabkan perubahan metabolik yang kemudian menyebabkan pruritus (Akhyani et al, 2005). Paratiroidektomi terbukti dapat menurunkan gejala pruritus yang disebabkan


(6)

hiperparatiroidisem sekunder. Selain itu tingkat serum kalsium, fosfor, kalsium-fosfor (Ca-P), alkaline phosphatase, dan PTH berubah secara signifikan setelah dilakukan paratiroidektomi (Chou et al, 2000).

4. Blood Urea Nitrogen (BUN)

Kadar BUN normal adalah 8-20 mg/dL (Akhyani et al, 2005). Peningkatan BUN dipengaruhi oleh lamanya hemodialisis. Tingkat rata-rata BUN secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan pruritus parah, dan analisisa multiple logistic regression menunjukkan bahwa tingkat tinggi BUN merupakan faktor risiko yang signifikan untuk pruritus uremik parah. Hal ini mungkin menunjukkan bahwa sebagian besar pasien dengan pruritus uremik parah dalam keadaan underdialysis, meskipun Kt / V tidak berbeda. Kt / V tidak menghapusan molekul berukuran sedang dan besar yang mungkin bertanggung jawab untuk terjadi uremik pruritus (Narita, 2006). Menurut Kentaro et al (2001) azotemia (BUN ≥ 81.2mg/dL) diakui sebagai faktor risiko untuk pruritus uremik parah. 2.2.6. Penilaian Pruritus

Penilaian pruritus umumnya dilakukan dengan Visual Analog Scale (VAS), yaitu hanya menilai keparahan gejala, tidak memperhitungkan aspek-aspek lain dari pruritus, seperti dampak relatif dari pruritus terhadap kualitas hidup. Oleh karena itu digunakan 5-D itch scale sebagai alat baru untuk mengukur pruritus. 5-D itch scale adalah kuesioner singkat tapi multidimensi dirancang sebagai ukuran hasil dalam uji klinis. Meliputi lima dimensi yaitu degree (derajat/tingkat), duration (durasi), direction (arah/petunjuk), disability (cacat) dan distribution (distribusi) (Elman, 2010). Untuk menilai derajat keparahan gatal masih digunakan VAS.