Uji Efikasi Rodentisida Nabati Daun Ruku-Ruku (Ocimum sanctum L.) Terhadap Mortalitas Tikus Sawah Rattus rattus argentiventer Robb & Kloss. di Laboratorium

TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Morfologi Tikus Sawah
Klasifikasi tikus sawah menurut Cipto et al.,(2009) adalah sebagai berikut:
Phylum

: Chordata

Sub phylum

: Vertebrata

Kelas

: Mammalia

Ordo

: Rodentia

Famili


: Muridae

Genus

: Rattus

Spesies

: Rattus rattus

Sub Spesies

: Rattus rattus argentiventer Robb & Kloss.

Gambar 1. Tikus Sawah (Rattus rattus argentiventer Robb & Kloss.)
Sumber : www.planet-mammiferes.org
Tikus sawah memiliki panjang kepala-badan 130-230 mm. Ekor biasanya
lebih pendek daripada panjang kepala-badan yaitu 110-160 mm dengan rasio
0,96±1,3 persen. Tubuh bagian atas (dorsal) berwarna coklat kekuningan dengan
bercak-bercak hitam di rambut. Tubuh bagian bawah (ventral) berwarna putih

keabu-abuan. Warna pada permukaan atas kaki sama dengan badan sedangkan
bagian bawah (karpal) berwarna coklat tua. Ekor berwarna coklat tua(Widjanarko
dan Nugroho, 2009).

5
Universitas Sumatera Utara

Tikus sawah termasuk hewan terestrial memiliki tonjolan pada
telapak kaki kecil dan licin. Selain itu tikus sawah memiliki rambut agak
kasar, bentuk moncong kerucut, bentuk badan silindris, warna badan bagian
punggung coklat kelabu kehitaman, dan warna badan bagian perut kelabu pucat
atau putih kotor. Ekor pada bagian atas dan bawah berwarna coklat hitam. Ekor
relatif lebih pendek daripada kepala dan badan. Tikusbetina memiliki puting susu
12buah,tiga pasang di bagian dada dan tiga pasang di bagianperut (Priyambodo
2003).
Biologi Dan Ekologi
Tikus sawah dapat berkembang biak mulai umur 1,5-5 bulan. Setelah
kawin, masa bunting memerlukan waktu 21 hari. Seekor tikus betina melahirkan
rata-rata 8 ekor anak setiap kali melahirkan, dan mampu kawin lagi dalam tempo
48 jam setelah melahirkan serta mampu hamil sambil menyusui dalam waktu

yang bersamaan. Selama satu tahun betina dapat melahirkan 4 kali, sehingga
dalam satu tahun dapat dilahirkan 32 ekor anak dan populasi dari satu pasang
tikus

dapat

mencapai

1200

ekor

turunan

(Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2015).
Tikus betina dikelompokkan dalam kelas umur anak bila bobot tubuhnya
kurang dari 60 g, sedangkan lebih dari 60 g dikategorikan dalam kelas umur
dewasa. Tikus jantan dikelompokkan dalam kelas umur anak bila bobotnya
kurang ari 90 g, sedangkan lebih dari 90 g dikategorikan dalam kelas umur
dewasa (Aplin et al., 2003).

Tikus sawah juga memiliki kemampuan indra penciuman yang tajam.
Menurut Muchrodji et al (2006), indra penciuman tikus berkembang dengan baik,

6
Universitas Sumatera Utara

sifat ini ditunjukkan oleh perilaku tikus yang sering menghendus-henduskan
hidung pada saat mencium bahan pakan. Indera penciuman selain untuk mencari
dan memilih pakan yang aman, biasanya dimanfaatkan untuk mencari dan
mengenal jejak tikus yang merupakan komunitasnya.
Indera penglihatannya kurang baik. Tikus buta warna terhadap warna
merah. Indera penciumannya tajam. Hingga tikus dapat membedakan antara
lawan dengan kawan. Bagi tikus yang birahi dapat dengan mudah mencari
tikus pasangannya. Indera pendengarannya tajam, dapat menangkap getaran
suara ultrasonik, tikus (10-100kHz), mencit (10-90 kHz). Respon yang paling
baik pada tikus (40 kHz), mencit (20 kHz). Indera perasanya sangat baik.
Mampu

membedakan


rasa

pahit,

rasa

tidak

enak dan rasa

manis

(Natawigena et al., 2006).
Penyebaran
Sifat- sifat tikus yang penting antara lain : cerdik, pemakan segala yang
ditemukan namun lebih menyukai beras ataupun gabah. Mempunyai daya adaptasi
yang tinggi terhadap lingkungan. Tikus sawah buta warna, namun dapat
mengenali warna hijau dan kuning dalam jarak sekitar 100 meter. Indra
penciuman, peraba dan pendengaran sangat tajam.Tikus aktif pada malam hari.
Jelajah


harian

tikus

relative

tetap,

setiap

malam

(Balai Penyuluhan Pertanian Tulung Agung, 2014).
Tikus memiliki sifat neofobia : tikus takut pada segala yang baru baginya
(asing). Untuk itu dalam pemberian umpan beracun. Terlebih dahulu tikus diberi
umpan yang tidak mengandung racun sampai selang waktu tertentu hingga
terbiasa. Lalu setelah tikus terbiasa diberikan umpan yang mengandung racun

7

Universitas Sumatera Utara

sehingga tikus tidak curiga (Rodenticide Resistence Action Committee, 2015).
Tikus memiliki sifat thigmotaxis : yaitu orientasi gerakan yang
diakibatkan oleh rangsangan indera peraba. Tikus biasanya memiliki jalurjalur

tertentu untuk

gerak-geriknya

(run

way).

Tikus

sebagai

hewan


omnivora (pemakan segala). Makanan utamanya adalah zat pati (karbohidrat).
Kebutuhan pakan tikus (10-15% dari BB tikus/hari) dan untuk mencit (20%
dari BB mencit/hari). Kebutuhan minum tikus (15-30 cc air/hari) dan untuk
mencit 3 cc air/hari). Home range / daya jelajah harian tikus pada saat cukup
pakan adalah 30-200 m. Pada saat kurang pakan akan terjadi migrasi
(perpindahan) yang dapat mencapai 700 m atau lebih (Natawigena et al., 2006).
Tikus sawah sering disebut sebagai hewan kosmopolitan karena,
distribusinya yang menyebar diseluruh dunia. Hewan pengerat ini biasanya
menyerang padi pada malam hari dan siang hari bersembunyi dalam lubang
tanggul irigasi, pematang, dibawah batu, sisa - sisa kayu dan daerah perumahan
dekat sawah. Jenis hama penggangu utama areal pertanian yang sulit
dikendalikan. Sulitnya pengendalian diakibatkan oleh tikus yang memiliki
kemampuan untuk belajar serta jerah terhadap bahaya yang dialami sebelumnya
(Ivakdalam, 2014).
Tikus sawah tergolong hewan nokturnal dan melakukan aktivitas harian
yang teratur, yang bertujuan untuk mencari pakan, minum, pasangan, dan
orientasi kawasan. Tikus menyenangi tempat-tempat yang gelap karena di tempat
ini tikus merasa aman dan terlindung. Pada umumnya tikus sawah menempati
liang atau tempat persembunyian lainnya (Sitepu, 2008).
Tikus untuk bertahan hidup hampir sepenuhnya bergantung pada


8
Universitas Sumatera Utara

banyaknya makanan yang dapat ditemukan di lingkungannya Petani sangat
berperan dalam persediaan makanan tikus, apalagi bila petani tersebut melindungi
tanaman mereka, akibatnya populasi tikus akan meningkat. Kejadian yang sama
berlaku pada tanaman yang sedang tumbuh, tikus akan berkembang sangat cepat
dan menyebabkan kerusakan yang lebih parah jika mereka memiliki jalan menuju
persediaan makanan yang tidak ada habisnya (Syamsuddin, 2007).
Tikus Sebagai Hama
Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2008), Tikus
sawah merusak tanaman padi pada semua tingkat pertumbuhan tanaman padi
dan di gudang

penyimpanan

padi.

Kerusakan


parah terjadi

jika

tikus

menyerang padi pada fase generatif, karena pada fase tersebut tanaman sudah
tidak memiliki kemampuan untuk membentuk anakan baru. Tikus merusak
tanaman padi mulai dari tengah petak, kemudian meluas ke arah tepi. Tikus
menyerang padi pada malam hari. Pada siang hari, tikus bersembunyi di dalam
lubang pada tanggul-tanggul irigasi, jalan sawah, pematang, dan daerah
perkampungan dekat sawah.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus sawah pada tanaman padi terjadi
mulai dari pesemaian hingga padi menjelang panen. Pada pesemaian padi
berumur dua hari, satu ekor tikus mampu merusak rata-rata 283 bibit padi dalam
satu malam. Pada stadium padi anakan (vegetatif) merusak anakan padi rata-rata
79 batang, dan pada stadium padi bunting 103 batang, serta pada stadium padi
bermalai 12 batang per malam. Tikus sawah diketahui lebih suka menyerang
tanaman padi yang sedang bunting, sehingga pada umumnya padi stadium bunting

akan

mengalami

kerusakan

yang

paling

tinggi

9
Universitas Sumatera Utara

(Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2011).
Kebutuhan pakan tikus setiap hari hanya seberat kurang lebih 10% dari
bobot tubuhnya, sedangkan daya rusaknya terhadap malai padi 5 kali lebih besar
dari bobot malai padi yangdikonsumsi(Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, 2011).
Pengendalian Tikus
Pengendalian hama tikus sawah dapat dilakukan secara kultur teknis yaitu
: tanam dan panen serempak, jarak tanam/tata tanam legowo, sanitasi habitat,
pengomposan massal. Secara mekanis dengan sistem bubu perangkap, sistem
bubu perangkap linier (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2011).
Pengendalian terhadap populasi tikus tidak harus bergantung pada
pengendalian secara kimia saja. Akan tetapi sangat baik bila program manajemen
hama terpadu yang diimplementasikan ketika mengatasi populasi tikus yang
resisten adalah lebih baik dari yang prosedur lain telah dilakukan selama ini. Pada
dasarnya pengendalian secara kimia dilawan dengan menggunakan manajemen
hama terpadu untuk mengatasi populasi tikus yang resisten, seperti : Perangkap,
pengendalian lingkungan dan habitat (Prescott et al, 2010).
Pengendalian tikus secara hayati dengan menggunakan musuh alaminya
yaitu musang, ular sawah dan burung hantu (Tyto alba). Secara kimiawi dengan
menggunakan rodentisida, misalnya ramortal, dora, klerat, racumin,belerang, dan
lainnya. Rodentisida yang dianjurkan sekarang adalah golongan anti koagulan
yang bekerja lambat (tikus mati 2-14 hari setelah makan umpan beracun)
(Dasmendi, 2009).

10
Universitas Sumatera Utara

Rodentisida Nabati
Tanaman atau tumbuhan yang berasal dari alam dan potensial sebagai
pestisida nabati umumnya mempunyai karakteristik rasa pahit (mengandung
alkaloid dan terpen), berbau busuk dan berasa agak pedas. Tanaman atau
tumbuhan ini jarang diserang oleh hama sehingga banyak digunakan sebagai
ekstrak pestisida nabati dalam pertanian organik(Hasyim et al., 2010).
Penggunaan rodentisida harus sesuai dosis anjuran. Berdasar cara
kerjanya, terdapat dua bentuk rodentisida yaitu akut dan antikoagulan.
Rodentisida akut mampu membunuh tikus langsung di tempat peletakkan umpan.
Sedangkan pemakaian rodentisida antikoagulan membunuh tikus dalam rentang 35 hari setelah makan dengan dosis cukup (Sudarmaji dan Anggara, 2008).
Efektivitas bio rodentisida ditinjau dari waktu yang dibutuhkan untuk
membunuh tikus relatif lebih lama jika dibandingkan dengan pengendalian
cara mekanis atau penggunaan

zat

racun.

Penggunaan

bio

rodentisida

membutuhkan waktu 15,81 s.d. 16,30 hari. Penggunaan rodentisida kimia
seperti Klerat RM membutuhkan waktu 4-6

hari, sedangkan dengan

cara

gropyokan atau pengemposan hanya membutuhkan waktu 1 hari. Penggunaan
bio rodensia diduga lebih menguntungkan dalam pengendalian populasi tikus
karena dapat mengatasi adanya sifat tikus yang
benda

asing

rodentisida

yang

sangat

curiga

terhadap

baru ditemuinya (neophobia), sehingga konsumsi bio

diharapkan

lebih

tinggi dibandingkan dengan rodentisida

kimia, dan pada akhirnya persentase kematian tikus lebih tinggi (Muchrodji et
al., 2006).

11
Universitas Sumatera Utara

Keunggulan rodentisida nabati yaitu murah dan mudah dalam proses
pembuatan, aman terhadap lingkungan, tidak menimbulkan resistensi pada tikus.
Kelemahan dari rodentisida nabati yaitu daya kerja relatif lambat, kurang praktis
serta tidak tahan disimpan. Bahan aktif dari rodentisida kronis bekerja di dalam
tubuh tikus dengan lambat sehingga tikus tidak langsung mati di tempat setelah
mengonsumsi racun (Posmaningsih et al., 2011).
Taksonomi dan Morfologi Ruku-Ruku (Ocimum sanctum L.)
Menurut Sharma (1993) dan Tjitrosoepomo (2002), tanaman ruku-ruku
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledonae

Subkelas

: Sympetalae

Bangsa

: Tubiflorae

Suku

: Labiatae

Marga

: Ocimum

Jenis

: Ocimum sanctum L.

12
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Tumbuhan Ruku-ruku (Ocimum sanctumL.)
Sumber : botanyschool.ning.com
Ocimum sp. merupakan herba tegak, sangat harum; tinggi 0,3-0,6
meter,umumnya batang berwarna hijau dan keunguan. Panjang tangkai daun 0,5-2
cm; helaian daun bulat memanjang dengan ujung runcing. Bentuk rangkaian
bunga ada yang tunggal dan ada yang majemuk (bergerombol). Daun pelindung
bulat telur

dengan

panjang

0,5-1 cm dengan kelopak sisi luar berambut

(Martono et al., 2004).
Kandungan kimia
O. sanctum mengandung minyak atsiri (1%, yaitu estragol, linalool,
eugenol, methyl chavicol dan sejumlah kecil cinnamate methyl, cineole, dan
terpen), saponin, flavonoid (apigenin, luteolin, orientin, vicenin), tanin, dan asamasam fenolat (Diah et al., 2012).
Skreening fitokimia daun O. sanctum menunjukkan adanya tanin 4,6%
flavonoid, steroid (triterpenoid), minyak atsiri 2% terdiri dari : metil kavikol,
sineol, linalool, kariofilen, ozimen, eugenol, eugenol metil eter dan karvakrol.
Asam

heksauronat,

pentosa,

xilosa, asam

metil

homoanisat

(Sutrisna et al., 2009).
Minyak atsiri adalah kelompok besar minyak nabati yang berwujud
cairan kental pada suhu ruang namun mudah menguap tanpa mengalami
dekomposisi sehingga memberikan aroma yang khas, berasa getir, dan
umumnya

larut

dalam

pelarut

organik

serta

tidak

larut

dalam

air.

(Sastrohamidjojo,2004).
Minyak atsiri ini selain memberikan aroma wangi yang menyenangkan
juga dapat membantu pencernaan dengan merangsang sistem saraf sekresi,

13
Universitas Sumatera Utara

sehingga akan meningkatkan sekresi getah lambung yang mengandung enzim
hanya oleh stimulus aroma dan rasa bahan pangan. Selain itu juga dapat
merangsang keluar cairan getah sehingga rongga mulut dan lambung menjadi
basah (Hutagalung, 2011).
Minyak atsiri dari O. sanctum diberikan kepada tikus sebanyak 3 ml/kg
bobot tubuh dapat menyebabkan efek antikoagulan (pembekuan darah) sama
efeknya dengan pemakain aspirin 100 mg/kg. (Singh et al, 2007).
Penyebaran dan Daerah Tumbuh
Di Indonesia kemangi banyak terdapat di daerah Jawa dan Madura.
Banyak ditemukan di sekitar pinggiran ladang, sawah kering, juga ditanamdi
taman dan di pinggir jalan, hutan terbuka, padang rumput, tumbuh liar di jalanan
dan juga dibudidayakan. Tanaman inidapat tumbuh di dataran rendah hingga
ketinggian 1100 di atas permukaan air laut.Tanaman ini biasanya ditanam antara
pertengahan bulan Februari sampai bulan September (Sudarsonoet al, 2002).

14
Universitas Sumatera Utara