Pengaruh Kebisingan Terhadap Jumlah Leukosit dan Hitung Jenis Leukosit Tikus Jantan (Rattus norvegicus) Galur Wistar
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebisingan
Kebisingan merupakan salah satu hasil samping pemanfaatan teknologi manusia.
Sumber kebisingan didapat mulai dari mesin-mesin di pabrik, lalu lintas
kendaraan dan lain-lain (Saryawati, 2008). Bising menyebabkan berbagai
gangguan terhadap berbagai tenaga kerja, seperti gangguan fisiologis, gangguan
psikologis, gangguan komunikasi dan ketulian, atau ada yang menggolongkan
gangguan berupa gangguan audiotory, misalnya gangguan terhadap gangguan
pendengaran dan gangguan non audiotory seperti komunikasi terganggu, ancaman
bahaya keselamatan, menurunnya performance kerja, kelelahan dan stress
(Buchari, 2007).
Banyak pendapat yang mengemukakan tentang definisi kebisingan seperti
yang tertulis dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
718/MenKes/Per/XI/1987: Kebisingan adalah terjadinya bunyi yang tidak
diinginkan sehingga mengganggu dan atau dapat membahayakan kesehatan.
Bising ini merupakan kumpulan nada-nada dengan bermacam-macam intensitas
yang tidak diingini sehingga mengganggu ketentraman orang terutama
pendengaran (Dirjen P2M dan PLP Depkes RI, 1993). Sedangkan menurut Surat
Edaran Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi Nomor SE
01/Men/1978: Kebisingan ditempat kerja adalah semua bunyi-bunyi atau suarasuara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat produksi di tempat
kerja (Suheryanto, 1994).
Dampak kebisingan di suatu daerah besar pengaruhnya bagi kesehatan dan
kenyamanan hidup masyarakat, hewan ternak maupun satwa liar dan gangguan
terhadap ekosistem alam. Bagi kesehatan manusia, kebisingan dapat menimbulkan
gangguan pada sistem pendengaran dan pencernaan, stres, sakit kepala,
peningkatan tekanan darah serta dapat menurunkan prestasi kerja (Gunarwan,
2004).
Keterpaparan terhadap kebisingan dan getaran yang melebihi nilai ambang
Universitas Sumatera Utara
batas pada kurun waktu yang cukup lama akan berakibat pada gangguan
pendengaran ringan dan jika terjadi terus menerus akan menyebabkan ketulian
permanen. Selain itu kebisingan juga diduga menimbulkan gangguan emosional
yang memicu meningkatnya tekanan darah. Energi kebisingan yang tinggi mampu
juga menimbulkan efek viseral, seperti perubahan frekuensi jantung, perubahan
tekanan darah dan tingkat pengeluaran keringat, dapat juga terjadi efek
psikososial dan psikomotor ringan jika seseorang berada di lingkungan yang
bising. Demikian juga dengan getaran yang dapat menimbulkan efek vaskuler dan
efek neurologik, meskipun belum ada penelitian atau pengujian yang cukup
definitif getaran diduga dapat menyebabkan perubahan atau peningkatan tekanan
darah yang pada tingkat tertentu dapat mengakibatkan hipertensi (Harrington &
Gill, 2005).
2.1.1. Tingkatan Kebisingan
Menurut SK Dirjen P2M dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen
Kesehatan RI Nomor 70-1/PD.03.04.Lp, (Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan
Kebisingan yang Berhubungan dengan Kesehatan Tahun 1992), tingkat
kebisingan diuraikan sebagai berikut:
a. Tingkat kebisingan sinambung setara (Equivalent Continuous Noise Level
= Leq) adalah tingkat kebisingan terus menerus (= steady noise) dalam ukuran
dB, berisi energi yang sama dengan energi kebisingan terputus-putus dalam
satu periode atau interval waktu pengukuran.
b. Tingkat kebisingan yang dianjurkan dan maksimum yang diperbolehkan adalah
rata-rata nilai modus dari tingkat kebisingan pada siang, petang dan malam
hari.
c. Tingkat ambien kebisingan (=Background noise level) atau tingkat latar
belakang kebisingan adalah rata-rata tingkat suara minimum dalam keadaan
tanpa gangguan kebisingan pada tempat dan saat pengukuran dilakukan, jika
diambil nilainya dari distribusi statistik adalah 95% atau L-95.
Menurut Suma’mur (1992), kebisingan dibedakan menurut tingkatannya
dan jenisnya adalah sebagai berikut:
a. Kebisingan kontinyu yaitu kebisingan dengan spektrum berfrekuensi luas,
Universitas Sumatera Utara
misalnya: suara yang timbul oleh kompresor, kipas angin, dapur pijar serta
spectrum yang berfrekuensi sempit (contoh: suara gergaji, katup gas).
b. Kebisingan putus-putus misalnya suara lalu lintas, suara pesawat udara yang
tinggal landas.
c. Kebisingan impulsive (=Impact of impulsive noise) seperti pukulan martil,
tembakan senapan, ledakan meriam dan lain-lain.
Secara umum telah disetujui bahwa untuk amannya, pemaparan bising
selama 8 jam perhari, sebaiknya tidak melebihi ambang batas 85 dB. Pemaparan
kebisingan yang keras selalu di atas 85 dB, dapat menyebabkan ketulian
sementara. Biasanya ketulian akibat kebisingan terjadi tidak seketika sehingga
pada awalnya tidak disadari oleh manusia. Baru setelah beberapa waktu terjadi
keluhan kurang pendengaran yang sangat mengganggu dan dirasakan sangat
merugikan. Pengaruh-pengaruh kebisingan selain terhadap alat pendengaran
dirasakan oleh para pekerja yang terpapar kebisingan keras mengeluh tentang
adanya rasa mual, lemas, stres, sakit kepala bahkan peningkatan tekanan darah
(Pulat, 1997).
Nilai ambang batas kebisingan adalah intensitas tertinggi dan merupakan
nilai rata-rata yang masih dapat diterima oleh manusia tanpa mengakibatkan
hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu yang cukup lama atau terus
menerus, selanjutnya ditulis NAB. Penting untuk diketahui bahwa di dalam
menetapkan standar NAB pada suatu level atau intensitas tertentu, tidak akan
menjamin bahwa semua orang yang terpapar pada level tersebut secara terus
menerus akan terbebas dari gangguan pendengaran, karena hal itu tergantung pada
respon masing-masing individu (Rusli, 2008).
2.2. Leukosit
Leukosit atau sel darah putih adalah unit-unit yang dapat bergerak (mobile) dalam
sistem pertahanan tubuh (Sherwood, 1996). Leukosit adalah sel darah yang
mengandung inti, disebut juga sel darah putih. Jumlah leukosit tikus putih normal
adalah 6000-17000 sel/mm3 (Smith & Mangkoewidjojo, 1987), sedangkan jumlah
leukosit pada orang dewasa normal adalah 4000-11000 sel/mm3 (Bellanti, 1993);
Universitas Sumatera Utara
6000-10000 sel/mm3 (Pearce, 2008). Bila jumlahnya lebih dari normal keadaan ini
disebut leukositosis, bila kurang dari normal disebut leukopenia. Dilihat dalam
mikroskop cahaya maka sel darah putih mempunyai granula spesifik (granulosit),
yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair, dalam sitoplasmanya dan
mempunyai bentuk inti yang bervariasi, yang tidak mempunyai granula,
sitoplasmanya homogen dengan inti bentuk bulat atau bentuk ginjal (Bellanti,
1993).
Sel darah putih bening dan tidak berwarna, bentuknya lebih besar dari sel
darah merah, tetapi jumlahnya lebih kecil. Granulosit atau sel polimorfonuklear
merupakan hampir 75 persen dari seluruh jumlah sel darah putih. Mereka
terbentuk dalam sumsum merah tulang. Sel ini berisi sebuah nukleus yang
berbelah banyak dan protoplasmanya berbulir. Karena itu disebut sel berbulir atau
granulosit. Kekurangan granulosit disebut granulositopenia. Tidak adanya
granulosit disebut agranulositosis, yang dapat timbul setelah makan obat tertentu,
termasuk juga beberapa antibiotika. Oleh karena itu apabila makan obat-obat
tersebut, pemeriksaan darah sebaiknya sering dilakukan untuk mengetahui
keadaan ini seawal mungkin (Pearce, 2008).
Leukosit mempunyai fungsi utama dalam sistem pertahanan. Untuk
mengungkapkan keadaan kesehatan tubuh melalui sel-sel leukosit perlu
diperhatikan mengenai jumlahnya dan morfologinya cukup mengamati sediaan
apus darah. Sediaan apus darah yang baik memperagakan penyebaran yang ratarata sel pada bagian tengah. Bagian pinggir dan bagian tebal dari sediaan biasanya
berkumpul sel-sel leukosit, namun bagian itu tidak dianjurkan untuk dipakai
mempelajari morfologinya (Subowo, 2008).
Leukosit dan turunannya berperan dalam (1) menahan invasi oleh
pathogen (mikroorganisme penyebab penyakit, misalnya bakteri dan virus)
melalui proses fagositosis; (2) mengidentifikasi dan menghancurkan sel-sel
kanker yang muncul di dalam tubuh; dan (3) berfungsi sebagai “petugas
pembersih” yang membersihkan “sampah” tubuh dengan memfagosit debris yang
berasal dari sel yang mati atau cedera dan yang terakhir dalam penyembuhan luka
dan perbaikan jaringan. Untuk melaksanakan fungsinya, leukosit terutama
menggunakan strategi “cari dan serang” yaitu sel-sel tersebut pergi ke tempat
Universitas Sumatera Utara
invasi atau jaringan yang rusak. Alasan utama mengapa sel darah putih terdapat di
dalam darah adalah agar mereka cepat diangkut dari tempat pembentukan atau
penyimpanannya ke manapun mereka diperlukan (Sherwood, 1996). Leukosit
mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap
zat-zat asing. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui proses
diapedesis leukosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos antara sel-sel
endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung (Guyton, 1996).
Jumlah leukosit dalam sirkulasi sangat mudah dan cepat berubah. Nilai
absolut maupun relatif dapat berubah oleh stimulasi selama beberapa menit atau
beberapa jam. Dampak yang paling jelas terlihat bila kelenjar adrenal dirangsang,
baik secara farmakologis maupun sebagai respon terhadap kebutuhan fisiologis.
Sebagian besar stimulasi fisiologis seperti olahraga, emosi, pemaparan terhadap
suhu yang ekstrim, mengakibatkan leukositosis (Widman 1983). Sel darah putih
menghabiskan sebagian besar waktunya di luar sistem sirkulasi, berpatroli di
dalam cairan interstisial dan sistem limfatik, dimana sebagian besar pertempuran
melawan pathogen dilakukan. Secara normal, satu millimeter kubik darah
manusia mempunyai sekitar 5000 sampai 10.000 leukosit. Jumlah sel ini akan
meningkat untuk sementara waktu ketika tubuh sedang berperang melawan suatu
infeksi (Campbell, 2004).
2.3. Hitung Jenis Leukosit
Leukosit tidak memiliki hemoglobin (berbeda dengan eritrosit), sehingga tidak
berwarna (putih) kecuali jika diwarnai secara khusus agar dapat terlihat di bawah
mikroskop. Tidak seperti eritrosit, yang strukturnya uniform, berfungsi identik,
dan jumlahnya konstan, tetapi leukosit bervariasi dalam struktur, fungsi dan
jumlah. Terdapat lima jenis leukosit yang bersirkulasi yaitu neutrofil, eosinofil,
basofil, monosit dan limfosit dan masing-masing dengan struktur serta fungsi
yang khas. Mereka semua berukuran sedikit lebih besar daripada eritrosit. Kelima
jenis leukosit tersebut dibagi kedalam dua kategori utama, bergantung pada
gambaran nucleus dan ada tidaknya granula di sitoplasma sewaktu dilihat dibawah
mikroskop.
Universitas Sumatera Utara
Neutrofil, eosinofil, dan basofil dikategorikan sebagai granulosit (sel yang
banyak mengandung granula) atau polimorfonulkeus (banyak bentuk nucleus).
Nukleus sel-sel ini tersegmentasi menjadi beberapa lobus dengan beragam bentuk,
dan sitoplasma mereka mengandung banyak granula terbungkus membran
(Sherwood, 1996).
Tiga jenis granulosit berdasarkan afinitas mereka terhadap zat warna yaitu
eosinofil memiliki afinitas terhadap zat warna merah eosin, basofil cenderung
menyerap warna biru basa dan neutrofil bersifat netral, tidak memperlihatkan
kecenderungan zat warna. Monosit dan limfosit dikenal sebagai agranulosit (sel
tanpa granula) atau mononukleus (satu nucleus). Keduanya memiliki sebuah
nukleus besar tidak bersegmen dan sedikit granula. Monosit lebih besar daripada
limfosit dan memiliki nucleus berbentuk oval atau seperti ginjal. Limfosit,
leukosit terkecil, ditandai oleh nucleus bulat besar yang menempati sebagian besar
sel (Sherwood, 1996). Granulosit dan monosit melindungi tubuh terhadap
organisme penyerang terutama dengan cara mencernakannya yaitu melalui
fagositosis. Fungsi utama limfosit dan sel-sel plasma berhubungan dengan sistem
imun (Guyton, 1996).
2.3.1. Limfosit
Limfosit membentuk sekitar 20% jumlah seluruh sel darah putih. Limfosit
diproduksi di dalam kelenjar getah bening dan di jaringan limfatik yang terdapat
di dalam limfa, hati, dan organ-organ lain. Limfosit juga dapat bergerak secara
amuboid, tetapi tidak bersifat fagositik akitif (Watson, 1997).
Limfosit ada dua jenis, yaitu limfosit B dan limfosit T. Limfosit B
menghasilkan antibodi, yang beredar dalam daerah. Antibodi berikatan dan
memberi tanda untuk destruksi (melalui fagositosis atau cara lain) benda asing
tertentu, misalnya bakteri, yang menginduksi pembentukan antibodi itu. Limfosit
T tidak menghasilkan antibodi; sel-sel ini secara langsung menghancurkan sel-sel
sasaran spesifik, suatu proses yang dikenal sebagai respon imun yang diperantarai
sel (seluler). Sel yang menjadi sasaran limfosit T mencakup sel-sel tubuh yang
telah dimasuki oleh virus dan sel kanker. Limfosit memiliki rentang usia sekitar
100 sampai 300 hari. Selama periode ini, sebagian besar dari sel-sel ini secara
Universitas Sumatera Utara
kontiniu
beredar diantara jaringan limfoid, limfe, dan darah, dengan
menghabiskan waktu beberapa jam saja di dalam darah. Dengan demikian, hanya
sebagian kecil limfosit total yang transit di darah dalam setiap waktu tertentu
(Sherwood, 1996).
2.3.2. Neutrofil
Neutrofil berkembang dalam sumsum tulang dikeluarkan dalam sirkulasi, sel-sel
ini merupakan 60-70% dari leukosit yang beredar. Garis tengah sekitar 12 um,
satu inti dan 2-5 lobus. Sitoplasma yang banyak diisi oleh granula-granula spesifik
(0,3-0,8 πm) mendekati batas revolusi optik, berwarna salmon pink oleh campuran
jenis romanovky. Granul pada neutrofil ada dua yaitu (1) Azurofilik yang
mengandung enzyme lisozom dan peroksidase, (2) Granul spesifik lebih kecil
mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal (protein Kationik) yang
dinamakan fagositin. Neutrofil jarang mengandung reticulum endoplasma
granuler, sedikit mitokondria, apparatus golgi rudimenter dan sedikit granula
glikogen. Neutrofil merupakan garis depan pertahanan seluler terhadap invasi
jasad renik, menfagosit partikel kecil dengan aktif. Adanya asam amino D
oksidase dalam granula azurofilik penting dalam penceran dinding sel bakteri
yang mengandung asam amino D. Selama proses fagositosis dibentuk
peroksidase. Mielo peroksidase yang terdapat dalam neutrofil berikatan dengan
peroksida dan halide bekerja pada molekul tirosin dinding sel bakteri dan
menghancurkannya (Effendi, 2003).
Neutrofil merupakan komponen paling banyak dari sel darah putih.
Letaknya terbanyak di pinggiran dalam kapiler dan pembuluh kecil, dan hal ini
disebut marginasi. Apabila terjadi perlukaan pada jaringan, neutrofil dimobilisasi
dari posisi marginal ke daerah yang terluka itu, dan menembus dinding kapiler di
antara sel-sel (diapedesis), kemudian dengan gerakan amuboid masuk ke jaringan
untuk memfagositasikan partikel-partikel asing (Frandson, 1992).
2.3.3. Monosit
Monosit membentuk sekitar 5% seluruh sel darah putih. Monosit merupakan sel
darah putih yang berukuran paling besar dan memiliki nukleus berbentuk sepatu
Universitas Sumatera Utara
kuda. Monosit melakukan gerak amuboid dan bersifat fagositik dan merupakan
bagian dari sistem retikulo-endotial (Watson, 1997).
Monosit ditemui dalam darah, jaringan penyambung, dan rongga-rongga
tubuh. Monosit tergolong fagositik mononuclear (system retikuloendotel) dan
mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan membrannya. Untuk
immunoglobulin dan komplemen. Monosit beredar melalui aliran darah,
menembus dinding kapiler masuk kedalam jaringan penyambung. Dalam darah
beberapa hari. Dalam jaringan bereaksi dengan limfosit dan memegang peranan
penting dalam pengenalan dan interaksi sel-sel imunokompeten dengan antigen
(Effendi, 2003).
2.3.4. Eosinofil
Jumlah eosinofil hanya 1-4 % leukosit darah, mempunyai garis tengah 9 µm
(sedikit lebih kecil dari neurofil). Inti biasanya berlobus dua, reticulum
emdosplasma, mitokondria dan apparatus golgi kurang berkembang. Mempunyai
granula ovoid yang dengan eosin asidofilik, granula adalah lisosom yang
mengandung fosfatae asam, katepsin, ribonuklase, tapi tidak mengandung lisosim.
Eosinofil mempunyai pergerakan amuboid, dan mampu melakukan fagositosis,
lebih lambat tapi lebih selektif dibandingkan dengan neutrofil. Eosinofil
memfagositosis komplek antigen dan anti bodi, ini merupakan fungsi eosinofil
untuk melakukan fagositosis selektif terhadap komplek antigen dan antibodi.
Eosinofil mengandung profibrinolisin, diduga berperan mempertahankan darah
dari pembekuan, khususnya bila keadaan cairannya diubah oleh proses-proses
patologi (Effendi, 2003). Eosinofil memiliki struktur granula sitoplasma yang
kasar dan besar, nucleus berlobus duan dan berdiameter 12 πm sampai 15 πm
(Sloane, 2003).
2.3.5. Basofil
Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya dan paling kurang
diketahui sifat-sifatnya. Sel-sel ini secara struktural dan fungsional mirip dengan
sel mast, yang tidak pernah beredar dalam darah tetapi tersebar di jaringan ikat di
seluruh tubuh. Dahulu dianggap bahwa basofil berubah menjadi sel mast dengan
Universitas Sumatera Utara
bermigrasi dari sistem sirkulasi, tetapi para peneliti membuktikan bahwa basofil
berasal dari sumsum tulang sedangkan sel mast berasal dari sel prekursor yang
terletak di jaringan ikat. Baik basofil maupun sel mast membentuk dan
menyimpan histamin dan heparin, yaitu zat-zat kimia kuat yang dapat dikeluarkan
apabila sel-sel tersebut mendapat rangsangan yang sesuai. Pengeluaran histamin
penting dalam reaksi alergi, sedangkan heparin mempercepat pembersihan
partikel-partikel lemak dari darah setelah kita makan makanan yang berlemak
(Sherwood, 1996).
Dalam sirkulasi darah, basofil sangat mirip dengan sel mast besar yang
terletak tepat di luar kapiler tubuh. Sel ini mengeluarkan heparin ke dalam darah
yaitu zat yang dapat mencegah koagulasi darah. Basofil melakukan fungsi-fungsi
yang sama dalam aliran darah mungkin darah hanya mentranspor ke jaringan
tempat ia kemudian menjadi sel mast dan berfungsi mengeluarkan heparin. Sel
mast dan basofil juga melepaskan histamin walaupun hanya dalam sejumlah kecil
bradikinin dan serotonin (kontraksi pembuluh darah), sel mast dalam jaringan
yang meradang melepaskan senyawa ini selama meradang (Syaifuddin, 2009).
2.4. Tikus Putih
Tikus adalah mamalia yang termasuk dalam suku Muridae. Spesies tikus yang
paling dikenal adalah mencit (Mus spp.) serta tikus got (Rattus norvegicus) yang
ditemukan hampir di semua Negara. Tikus memiliki kemampuan alat indera untuk
mencium, menyentuh, mendengar, melihat, mengecap, serta kemampuan fisik
yaitu menggali, memanjat, meloncat, mengerat, berenang, menyelam dan
kepandaian memipihkan tubuh (Flatened). Para ilmuan telah memunculkan
banyak strain atau “galur” tikus khusus untuk eksperimen, salah satunya tikus
wistar albino, yang pada saat ini menjadi salah satu strain tikus paling popular
yang digunakan untuk penelitian laboratorium. Tikus wistar ditandai oleh kepala
lebar, panjang telinga, dan memiliki ekor panjang yang selalu kurang dari panjang
tubuhnya (Prasetya, 2012)
Tikus putih dalam sistematika hewan percobaan diklasifikasikan sebagai
berikut (Sugiyanto, 1995):
Universitas Sumatera Utara
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Classis
: Mammalia
Subclassis
: Placentia
Ordo
: Rodentia
Familia
: Muridae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus
Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus
putih dapat tinggal sendirian dalam kandang dan hewan ini lebih besar
dibandingkan dengan mencit, sehingga untuk percobaan laboratorium, tikus putih
lebih menguntungkan daripada mencit (Smith & Mangkoewidjojo, 1987). Tikus
jantan cenderung lebih tidak dipengaruhi oleh hormon reproduksi. Hal ini
disebabkan karena kadar hormon estrogen pada tikus jantan relatif rendah
dibandingkan dengan tikus betina dan adanya stres akut dapat menyebabkan
penurunan kadar estrogen pada tikus betina yang berefek imunostimulasi sehingga
dapat mengaburkan efek stres bising terhadap hormon-hormon stres, yang
dihasilkan oleh aksis dan Simpatetik Medula Adrenal (SMA) seperti kortisol dan
adrenalin, yang mempunyai efek imunodepresi (Chusna, 2008).
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebisingan
Kebisingan merupakan salah satu hasil samping pemanfaatan teknologi manusia.
Sumber kebisingan didapat mulai dari mesin-mesin di pabrik, lalu lintas
kendaraan dan lain-lain (Saryawati, 2008). Bising menyebabkan berbagai
gangguan terhadap berbagai tenaga kerja, seperti gangguan fisiologis, gangguan
psikologis, gangguan komunikasi dan ketulian, atau ada yang menggolongkan
gangguan berupa gangguan audiotory, misalnya gangguan terhadap gangguan
pendengaran dan gangguan non audiotory seperti komunikasi terganggu, ancaman
bahaya keselamatan, menurunnya performance kerja, kelelahan dan stress
(Buchari, 2007).
Banyak pendapat yang mengemukakan tentang definisi kebisingan seperti
yang tertulis dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
718/MenKes/Per/XI/1987: Kebisingan adalah terjadinya bunyi yang tidak
diinginkan sehingga mengganggu dan atau dapat membahayakan kesehatan.
Bising ini merupakan kumpulan nada-nada dengan bermacam-macam intensitas
yang tidak diingini sehingga mengganggu ketentraman orang terutama
pendengaran (Dirjen P2M dan PLP Depkes RI, 1993). Sedangkan menurut Surat
Edaran Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi Nomor SE
01/Men/1978: Kebisingan ditempat kerja adalah semua bunyi-bunyi atau suarasuara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat produksi di tempat
kerja (Suheryanto, 1994).
Dampak kebisingan di suatu daerah besar pengaruhnya bagi kesehatan dan
kenyamanan hidup masyarakat, hewan ternak maupun satwa liar dan gangguan
terhadap ekosistem alam. Bagi kesehatan manusia, kebisingan dapat menimbulkan
gangguan pada sistem pendengaran dan pencernaan, stres, sakit kepala,
peningkatan tekanan darah serta dapat menurunkan prestasi kerja (Gunarwan,
2004).
Keterpaparan terhadap kebisingan dan getaran yang melebihi nilai ambang
Universitas Sumatera Utara
batas pada kurun waktu yang cukup lama akan berakibat pada gangguan
pendengaran ringan dan jika terjadi terus menerus akan menyebabkan ketulian
permanen. Selain itu kebisingan juga diduga menimbulkan gangguan emosional
yang memicu meningkatnya tekanan darah. Energi kebisingan yang tinggi mampu
juga menimbulkan efek viseral, seperti perubahan frekuensi jantung, perubahan
tekanan darah dan tingkat pengeluaran keringat, dapat juga terjadi efek
psikososial dan psikomotor ringan jika seseorang berada di lingkungan yang
bising. Demikian juga dengan getaran yang dapat menimbulkan efek vaskuler dan
efek neurologik, meskipun belum ada penelitian atau pengujian yang cukup
definitif getaran diduga dapat menyebabkan perubahan atau peningkatan tekanan
darah yang pada tingkat tertentu dapat mengakibatkan hipertensi (Harrington &
Gill, 2005).
2.1.1. Tingkatan Kebisingan
Menurut SK Dirjen P2M dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen
Kesehatan RI Nomor 70-1/PD.03.04.Lp, (Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan
Kebisingan yang Berhubungan dengan Kesehatan Tahun 1992), tingkat
kebisingan diuraikan sebagai berikut:
a. Tingkat kebisingan sinambung setara (Equivalent Continuous Noise Level
= Leq) adalah tingkat kebisingan terus menerus (= steady noise) dalam ukuran
dB, berisi energi yang sama dengan energi kebisingan terputus-putus dalam
satu periode atau interval waktu pengukuran.
b. Tingkat kebisingan yang dianjurkan dan maksimum yang diperbolehkan adalah
rata-rata nilai modus dari tingkat kebisingan pada siang, petang dan malam
hari.
c. Tingkat ambien kebisingan (=Background noise level) atau tingkat latar
belakang kebisingan adalah rata-rata tingkat suara minimum dalam keadaan
tanpa gangguan kebisingan pada tempat dan saat pengukuran dilakukan, jika
diambil nilainya dari distribusi statistik adalah 95% atau L-95.
Menurut Suma’mur (1992), kebisingan dibedakan menurut tingkatannya
dan jenisnya adalah sebagai berikut:
a. Kebisingan kontinyu yaitu kebisingan dengan spektrum berfrekuensi luas,
Universitas Sumatera Utara
misalnya: suara yang timbul oleh kompresor, kipas angin, dapur pijar serta
spectrum yang berfrekuensi sempit (contoh: suara gergaji, katup gas).
b. Kebisingan putus-putus misalnya suara lalu lintas, suara pesawat udara yang
tinggal landas.
c. Kebisingan impulsive (=Impact of impulsive noise) seperti pukulan martil,
tembakan senapan, ledakan meriam dan lain-lain.
Secara umum telah disetujui bahwa untuk amannya, pemaparan bising
selama 8 jam perhari, sebaiknya tidak melebihi ambang batas 85 dB. Pemaparan
kebisingan yang keras selalu di atas 85 dB, dapat menyebabkan ketulian
sementara. Biasanya ketulian akibat kebisingan terjadi tidak seketika sehingga
pada awalnya tidak disadari oleh manusia. Baru setelah beberapa waktu terjadi
keluhan kurang pendengaran yang sangat mengganggu dan dirasakan sangat
merugikan. Pengaruh-pengaruh kebisingan selain terhadap alat pendengaran
dirasakan oleh para pekerja yang terpapar kebisingan keras mengeluh tentang
adanya rasa mual, lemas, stres, sakit kepala bahkan peningkatan tekanan darah
(Pulat, 1997).
Nilai ambang batas kebisingan adalah intensitas tertinggi dan merupakan
nilai rata-rata yang masih dapat diterima oleh manusia tanpa mengakibatkan
hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu yang cukup lama atau terus
menerus, selanjutnya ditulis NAB. Penting untuk diketahui bahwa di dalam
menetapkan standar NAB pada suatu level atau intensitas tertentu, tidak akan
menjamin bahwa semua orang yang terpapar pada level tersebut secara terus
menerus akan terbebas dari gangguan pendengaran, karena hal itu tergantung pada
respon masing-masing individu (Rusli, 2008).
2.2. Leukosit
Leukosit atau sel darah putih adalah unit-unit yang dapat bergerak (mobile) dalam
sistem pertahanan tubuh (Sherwood, 1996). Leukosit adalah sel darah yang
mengandung inti, disebut juga sel darah putih. Jumlah leukosit tikus putih normal
adalah 6000-17000 sel/mm3 (Smith & Mangkoewidjojo, 1987), sedangkan jumlah
leukosit pada orang dewasa normal adalah 4000-11000 sel/mm3 (Bellanti, 1993);
Universitas Sumatera Utara
6000-10000 sel/mm3 (Pearce, 2008). Bila jumlahnya lebih dari normal keadaan ini
disebut leukositosis, bila kurang dari normal disebut leukopenia. Dilihat dalam
mikroskop cahaya maka sel darah putih mempunyai granula spesifik (granulosit),
yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair, dalam sitoplasmanya dan
mempunyai bentuk inti yang bervariasi, yang tidak mempunyai granula,
sitoplasmanya homogen dengan inti bentuk bulat atau bentuk ginjal (Bellanti,
1993).
Sel darah putih bening dan tidak berwarna, bentuknya lebih besar dari sel
darah merah, tetapi jumlahnya lebih kecil. Granulosit atau sel polimorfonuklear
merupakan hampir 75 persen dari seluruh jumlah sel darah putih. Mereka
terbentuk dalam sumsum merah tulang. Sel ini berisi sebuah nukleus yang
berbelah banyak dan protoplasmanya berbulir. Karena itu disebut sel berbulir atau
granulosit. Kekurangan granulosit disebut granulositopenia. Tidak adanya
granulosit disebut agranulositosis, yang dapat timbul setelah makan obat tertentu,
termasuk juga beberapa antibiotika. Oleh karena itu apabila makan obat-obat
tersebut, pemeriksaan darah sebaiknya sering dilakukan untuk mengetahui
keadaan ini seawal mungkin (Pearce, 2008).
Leukosit mempunyai fungsi utama dalam sistem pertahanan. Untuk
mengungkapkan keadaan kesehatan tubuh melalui sel-sel leukosit perlu
diperhatikan mengenai jumlahnya dan morfologinya cukup mengamati sediaan
apus darah. Sediaan apus darah yang baik memperagakan penyebaran yang ratarata sel pada bagian tengah. Bagian pinggir dan bagian tebal dari sediaan biasanya
berkumpul sel-sel leukosit, namun bagian itu tidak dianjurkan untuk dipakai
mempelajari morfologinya (Subowo, 2008).
Leukosit dan turunannya berperan dalam (1) menahan invasi oleh
pathogen (mikroorganisme penyebab penyakit, misalnya bakteri dan virus)
melalui proses fagositosis; (2) mengidentifikasi dan menghancurkan sel-sel
kanker yang muncul di dalam tubuh; dan (3) berfungsi sebagai “petugas
pembersih” yang membersihkan “sampah” tubuh dengan memfagosit debris yang
berasal dari sel yang mati atau cedera dan yang terakhir dalam penyembuhan luka
dan perbaikan jaringan. Untuk melaksanakan fungsinya, leukosit terutama
menggunakan strategi “cari dan serang” yaitu sel-sel tersebut pergi ke tempat
Universitas Sumatera Utara
invasi atau jaringan yang rusak. Alasan utama mengapa sel darah putih terdapat di
dalam darah adalah agar mereka cepat diangkut dari tempat pembentukan atau
penyimpanannya ke manapun mereka diperlukan (Sherwood, 1996). Leukosit
mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap
zat-zat asing. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui proses
diapedesis leukosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos antara sel-sel
endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung (Guyton, 1996).
Jumlah leukosit dalam sirkulasi sangat mudah dan cepat berubah. Nilai
absolut maupun relatif dapat berubah oleh stimulasi selama beberapa menit atau
beberapa jam. Dampak yang paling jelas terlihat bila kelenjar adrenal dirangsang,
baik secara farmakologis maupun sebagai respon terhadap kebutuhan fisiologis.
Sebagian besar stimulasi fisiologis seperti olahraga, emosi, pemaparan terhadap
suhu yang ekstrim, mengakibatkan leukositosis (Widman 1983). Sel darah putih
menghabiskan sebagian besar waktunya di luar sistem sirkulasi, berpatroli di
dalam cairan interstisial dan sistem limfatik, dimana sebagian besar pertempuran
melawan pathogen dilakukan. Secara normal, satu millimeter kubik darah
manusia mempunyai sekitar 5000 sampai 10.000 leukosit. Jumlah sel ini akan
meningkat untuk sementara waktu ketika tubuh sedang berperang melawan suatu
infeksi (Campbell, 2004).
2.3. Hitung Jenis Leukosit
Leukosit tidak memiliki hemoglobin (berbeda dengan eritrosit), sehingga tidak
berwarna (putih) kecuali jika diwarnai secara khusus agar dapat terlihat di bawah
mikroskop. Tidak seperti eritrosit, yang strukturnya uniform, berfungsi identik,
dan jumlahnya konstan, tetapi leukosit bervariasi dalam struktur, fungsi dan
jumlah. Terdapat lima jenis leukosit yang bersirkulasi yaitu neutrofil, eosinofil,
basofil, monosit dan limfosit dan masing-masing dengan struktur serta fungsi
yang khas. Mereka semua berukuran sedikit lebih besar daripada eritrosit. Kelima
jenis leukosit tersebut dibagi kedalam dua kategori utama, bergantung pada
gambaran nucleus dan ada tidaknya granula di sitoplasma sewaktu dilihat dibawah
mikroskop.
Universitas Sumatera Utara
Neutrofil, eosinofil, dan basofil dikategorikan sebagai granulosit (sel yang
banyak mengandung granula) atau polimorfonulkeus (banyak bentuk nucleus).
Nukleus sel-sel ini tersegmentasi menjadi beberapa lobus dengan beragam bentuk,
dan sitoplasma mereka mengandung banyak granula terbungkus membran
(Sherwood, 1996).
Tiga jenis granulosit berdasarkan afinitas mereka terhadap zat warna yaitu
eosinofil memiliki afinitas terhadap zat warna merah eosin, basofil cenderung
menyerap warna biru basa dan neutrofil bersifat netral, tidak memperlihatkan
kecenderungan zat warna. Monosit dan limfosit dikenal sebagai agranulosit (sel
tanpa granula) atau mononukleus (satu nucleus). Keduanya memiliki sebuah
nukleus besar tidak bersegmen dan sedikit granula. Monosit lebih besar daripada
limfosit dan memiliki nucleus berbentuk oval atau seperti ginjal. Limfosit,
leukosit terkecil, ditandai oleh nucleus bulat besar yang menempati sebagian besar
sel (Sherwood, 1996). Granulosit dan monosit melindungi tubuh terhadap
organisme penyerang terutama dengan cara mencernakannya yaitu melalui
fagositosis. Fungsi utama limfosit dan sel-sel plasma berhubungan dengan sistem
imun (Guyton, 1996).
2.3.1. Limfosit
Limfosit membentuk sekitar 20% jumlah seluruh sel darah putih. Limfosit
diproduksi di dalam kelenjar getah bening dan di jaringan limfatik yang terdapat
di dalam limfa, hati, dan organ-organ lain. Limfosit juga dapat bergerak secara
amuboid, tetapi tidak bersifat fagositik akitif (Watson, 1997).
Limfosit ada dua jenis, yaitu limfosit B dan limfosit T. Limfosit B
menghasilkan antibodi, yang beredar dalam daerah. Antibodi berikatan dan
memberi tanda untuk destruksi (melalui fagositosis atau cara lain) benda asing
tertentu, misalnya bakteri, yang menginduksi pembentukan antibodi itu. Limfosit
T tidak menghasilkan antibodi; sel-sel ini secara langsung menghancurkan sel-sel
sasaran spesifik, suatu proses yang dikenal sebagai respon imun yang diperantarai
sel (seluler). Sel yang menjadi sasaran limfosit T mencakup sel-sel tubuh yang
telah dimasuki oleh virus dan sel kanker. Limfosit memiliki rentang usia sekitar
100 sampai 300 hari. Selama periode ini, sebagian besar dari sel-sel ini secara
Universitas Sumatera Utara
kontiniu
beredar diantara jaringan limfoid, limfe, dan darah, dengan
menghabiskan waktu beberapa jam saja di dalam darah. Dengan demikian, hanya
sebagian kecil limfosit total yang transit di darah dalam setiap waktu tertentu
(Sherwood, 1996).
2.3.2. Neutrofil
Neutrofil berkembang dalam sumsum tulang dikeluarkan dalam sirkulasi, sel-sel
ini merupakan 60-70% dari leukosit yang beredar. Garis tengah sekitar 12 um,
satu inti dan 2-5 lobus. Sitoplasma yang banyak diisi oleh granula-granula spesifik
(0,3-0,8 πm) mendekati batas revolusi optik, berwarna salmon pink oleh campuran
jenis romanovky. Granul pada neutrofil ada dua yaitu (1) Azurofilik yang
mengandung enzyme lisozom dan peroksidase, (2) Granul spesifik lebih kecil
mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal (protein Kationik) yang
dinamakan fagositin. Neutrofil jarang mengandung reticulum endoplasma
granuler, sedikit mitokondria, apparatus golgi rudimenter dan sedikit granula
glikogen. Neutrofil merupakan garis depan pertahanan seluler terhadap invasi
jasad renik, menfagosit partikel kecil dengan aktif. Adanya asam amino D
oksidase dalam granula azurofilik penting dalam penceran dinding sel bakteri
yang mengandung asam amino D. Selama proses fagositosis dibentuk
peroksidase. Mielo peroksidase yang terdapat dalam neutrofil berikatan dengan
peroksida dan halide bekerja pada molekul tirosin dinding sel bakteri dan
menghancurkannya (Effendi, 2003).
Neutrofil merupakan komponen paling banyak dari sel darah putih.
Letaknya terbanyak di pinggiran dalam kapiler dan pembuluh kecil, dan hal ini
disebut marginasi. Apabila terjadi perlukaan pada jaringan, neutrofil dimobilisasi
dari posisi marginal ke daerah yang terluka itu, dan menembus dinding kapiler di
antara sel-sel (diapedesis), kemudian dengan gerakan amuboid masuk ke jaringan
untuk memfagositasikan partikel-partikel asing (Frandson, 1992).
2.3.3. Monosit
Monosit membentuk sekitar 5% seluruh sel darah putih. Monosit merupakan sel
darah putih yang berukuran paling besar dan memiliki nukleus berbentuk sepatu
Universitas Sumatera Utara
kuda. Monosit melakukan gerak amuboid dan bersifat fagositik dan merupakan
bagian dari sistem retikulo-endotial (Watson, 1997).
Monosit ditemui dalam darah, jaringan penyambung, dan rongga-rongga
tubuh. Monosit tergolong fagositik mononuclear (system retikuloendotel) dan
mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan membrannya. Untuk
immunoglobulin dan komplemen. Monosit beredar melalui aliran darah,
menembus dinding kapiler masuk kedalam jaringan penyambung. Dalam darah
beberapa hari. Dalam jaringan bereaksi dengan limfosit dan memegang peranan
penting dalam pengenalan dan interaksi sel-sel imunokompeten dengan antigen
(Effendi, 2003).
2.3.4. Eosinofil
Jumlah eosinofil hanya 1-4 % leukosit darah, mempunyai garis tengah 9 µm
(sedikit lebih kecil dari neurofil). Inti biasanya berlobus dua, reticulum
emdosplasma, mitokondria dan apparatus golgi kurang berkembang. Mempunyai
granula ovoid yang dengan eosin asidofilik, granula adalah lisosom yang
mengandung fosfatae asam, katepsin, ribonuklase, tapi tidak mengandung lisosim.
Eosinofil mempunyai pergerakan amuboid, dan mampu melakukan fagositosis,
lebih lambat tapi lebih selektif dibandingkan dengan neutrofil. Eosinofil
memfagositosis komplek antigen dan anti bodi, ini merupakan fungsi eosinofil
untuk melakukan fagositosis selektif terhadap komplek antigen dan antibodi.
Eosinofil mengandung profibrinolisin, diduga berperan mempertahankan darah
dari pembekuan, khususnya bila keadaan cairannya diubah oleh proses-proses
patologi (Effendi, 2003). Eosinofil memiliki struktur granula sitoplasma yang
kasar dan besar, nucleus berlobus duan dan berdiameter 12 πm sampai 15 πm
(Sloane, 2003).
2.3.5. Basofil
Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya dan paling kurang
diketahui sifat-sifatnya. Sel-sel ini secara struktural dan fungsional mirip dengan
sel mast, yang tidak pernah beredar dalam darah tetapi tersebar di jaringan ikat di
seluruh tubuh. Dahulu dianggap bahwa basofil berubah menjadi sel mast dengan
Universitas Sumatera Utara
bermigrasi dari sistem sirkulasi, tetapi para peneliti membuktikan bahwa basofil
berasal dari sumsum tulang sedangkan sel mast berasal dari sel prekursor yang
terletak di jaringan ikat. Baik basofil maupun sel mast membentuk dan
menyimpan histamin dan heparin, yaitu zat-zat kimia kuat yang dapat dikeluarkan
apabila sel-sel tersebut mendapat rangsangan yang sesuai. Pengeluaran histamin
penting dalam reaksi alergi, sedangkan heparin mempercepat pembersihan
partikel-partikel lemak dari darah setelah kita makan makanan yang berlemak
(Sherwood, 1996).
Dalam sirkulasi darah, basofil sangat mirip dengan sel mast besar yang
terletak tepat di luar kapiler tubuh. Sel ini mengeluarkan heparin ke dalam darah
yaitu zat yang dapat mencegah koagulasi darah. Basofil melakukan fungsi-fungsi
yang sama dalam aliran darah mungkin darah hanya mentranspor ke jaringan
tempat ia kemudian menjadi sel mast dan berfungsi mengeluarkan heparin. Sel
mast dan basofil juga melepaskan histamin walaupun hanya dalam sejumlah kecil
bradikinin dan serotonin (kontraksi pembuluh darah), sel mast dalam jaringan
yang meradang melepaskan senyawa ini selama meradang (Syaifuddin, 2009).
2.4. Tikus Putih
Tikus adalah mamalia yang termasuk dalam suku Muridae. Spesies tikus yang
paling dikenal adalah mencit (Mus spp.) serta tikus got (Rattus norvegicus) yang
ditemukan hampir di semua Negara. Tikus memiliki kemampuan alat indera untuk
mencium, menyentuh, mendengar, melihat, mengecap, serta kemampuan fisik
yaitu menggali, memanjat, meloncat, mengerat, berenang, menyelam dan
kepandaian memipihkan tubuh (Flatened). Para ilmuan telah memunculkan
banyak strain atau “galur” tikus khusus untuk eksperimen, salah satunya tikus
wistar albino, yang pada saat ini menjadi salah satu strain tikus paling popular
yang digunakan untuk penelitian laboratorium. Tikus wistar ditandai oleh kepala
lebar, panjang telinga, dan memiliki ekor panjang yang selalu kurang dari panjang
tubuhnya (Prasetya, 2012)
Tikus putih dalam sistematika hewan percobaan diklasifikasikan sebagai
berikut (Sugiyanto, 1995):
Universitas Sumatera Utara
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Classis
: Mammalia
Subclassis
: Placentia
Ordo
: Rodentia
Familia
: Muridae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus
Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus
putih dapat tinggal sendirian dalam kandang dan hewan ini lebih besar
dibandingkan dengan mencit, sehingga untuk percobaan laboratorium, tikus putih
lebih menguntungkan daripada mencit (Smith & Mangkoewidjojo, 1987). Tikus
jantan cenderung lebih tidak dipengaruhi oleh hormon reproduksi. Hal ini
disebabkan karena kadar hormon estrogen pada tikus jantan relatif rendah
dibandingkan dengan tikus betina dan adanya stres akut dapat menyebabkan
penurunan kadar estrogen pada tikus betina yang berefek imunostimulasi sehingga
dapat mengaburkan efek stres bising terhadap hormon-hormon stres, yang
dihasilkan oleh aksis dan Simpatetik Medula Adrenal (SMA) seperti kortisol dan
adrenalin, yang mempunyai efek imunodepresi (Chusna, 2008).
Universitas Sumatera Utara