Analisis Yuridis Pengesahan Perkawinan Beda Agama dan Akibat Hukumnya (Studi Penetapan No. 156 PDT.P 2010 PN.SKA Tentang Perkawinan Beda Agama)

24

BAB II
PENGATURAN LARANGAN PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT
HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Hukum Perkawinan Di Indonesia
1.

Pengertian, Asas dan Tujuan Perkawinan
Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar

kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan merupakan salah satu budaya
yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan
masyarakat. Dalam masyarakat sederhana budaya perkawinannya sederhana, dan
tertutup, dalam masyarakat maju (modern) budaya perkawinannya maju, luas dan
terbuka.45
Masyarakat Indonesia yang tergolong heterogen dalam segala aspeknya.
Dalam aspek agama jelaslah bahwa terdapat dua kelompok besar agama yang diakui
di Indonesia yakni agama samawi dan agama non samawi ; agama Islam, Hindu,
Budha, Kristen Protestan dan Khatolik. Keseluruhan agama tersebut memiliki tata

aturan sendiri-sendiri baik secara vertikal maupun horisontal ; termasuk di dalamnya
tata cara perkawinan.46
Budaya perkawinan dan aturan yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada
suatu bangsa juga tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan di mana
masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakat bersangkutan. Seperti halnya
45

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut : Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama, Bandung, Mandar Maju, 2007, hal. 1.
46
Sudarsono, Op.Cit, hal. 6.

24

Universitas Sumatera Utara

25

aturan perkawinan di Indonesia bukan saja dipengaruhi oleh ajaran agama, tetapi juga
dipengaruhi oleh adat budaya masyarakat setempat bahkan budaya asing. Dengan

demikian hukum perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap agama dan budaya
masyarakat tersebut terdapat perbedaan satu dengan yang lain, akan tetapi tidak
saling bertentangan.47
Sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan terdapat berbagai macam
peraturan tentang perkawinan yang berlaku. Hal ini dikarenakan pada saat itu terjadi
penggolongan penduduk di Indonesia berdasarkan Pasal 131 IS dan Pasal 163 IS.
Hukum-hukum perkawinan yang berlaku pada saat itu, adalah :48
1. Bagi orang-orang Indonesia asli berlaku hukum adat mereka. Dalam hal ini
bagi orang-orang Islam berlaku hukum perkawinan menurut agama Islam.
Orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen tunduk pada Staatblad
1933 no. 74 (Huwelijik Ordonantie Christen Indonesia/HOCI)
2. Bagi orang-orang Arab dan lain-lain bangsa Timur Asing yang bukan
Tionghoa berlaku Hukum Adat Mereka.
3. Bagi orang-orang Eropa berlaku Burgerlijk Wetboek.
4. Bagi orang-orang Tionghoa berlaku Burgerlijk Wetboek dengan sedikit
kekecualian yaitu mengenai hal pencatatan jiwa dan acara sebelum
perkawinan dilakukan.

47


Ibid.
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Indonesia Legal Center
Publishing, 2007, hal. 2.
48

Universitas Sumatera Utara

26

5. Dalam hal perkawinan campuran pada umumnya berlaku hukum dari suami.
(Peraturan Perkawinan Campuran diatur dalam Regeling op de gemende
Huwelijken, Staatblad I898 No. 158).
Peraturan mengenai perkawinan yang berlakunya berdasarkan golongan
penduduk, dirasa sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan zaman serta politik
hukum di Indonesia. Selain itu bag suatu negara seperti Indonesia mutlak adanya
Undang-Undang Perkawinan nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan
memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan
telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat.49
Maka melalui proses yang panjang terciptalah unifikasi Hukum Perkawinan
Indonesia dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974, yang untuk selanjutnya
disebut sebagai Undang-Undan Perkawinan. Sejalan dengan berlakunya UndangUndang Perkawinan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksananya yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku efektif pada tanggal 1
Oktober 1975.
Hal ini bermakna bahwa dengan keluarnya Undang-Undang Perkawinan,
keanekaragaman hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku
bagi berbagai golongan warga negara dalam masyarakat dan dalam berbagai daerah

49

Lihat Penjelasan Umum Angka 1 Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.

Universitas Sumatera Utara

27

dapat diakhiri. Namun demikian ketentuan hukum perkawinan sebelumnya, ternyata
masih tetap dinyatakan berlaku, selama belum diatur sendiri oleh Undang-Undang

Perkawinan

dan

hal

itu

tidak

bertentangan

dengan

Undang-Undang

Perkawinantersebut.50
Sesuai dengan Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa
dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan maka peraturan-peraturan sebelum
keluarnya Undang-Undang Perkawinan dan sejauh telah diatur oleh Undang-Undang

Perkawinan maka dinyatakan tidak berlaku. Namun ketentuan hukum perkawinan
yang lama masih tetap berlaku sesuai dengan peruntukan yakni untuk mereka yang
melangsungkan

perkawinan

sebelum

lahirnya

Undang-Undang

Perkawinan,

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, ditentukan dalam suatu hukum
perkawinan :51
a. Bagi orang Indonesia asli, Tionghoa, Timur Asing bukan Tionghoa dan Eropa
yang beragama Islam :
1.


Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

2.

Sahnya dan syarat perkawinan serta larangan perkawinan sessuai dengan
hukum agama Islam.

3.

Hal-hal yang tidak diatur di dalam nomor (1) dan (2), maka bagi orang
Indonesia asli diberlakukan hukum agama Islam yang direpisir dalam

50

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Di Indonesia,
Jakarta, Sinar Grafika, 2006, hal. 230.
51
Abdul A’a Maududi, Kawin dan Cerai Menurut Islam, terjemahan Achmadi Rais, Jakarta,
Gema Insani Press, 1995, hal. 34.


Universitas Sumatera Utara

28

hukum adat, bagi Tionghoa berlaku KUHPerdata dengan sedikit
perubahanya, bagi Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hukum adatnya
masing-masing dan bagi Eropa berlaku KUHPerdata.
b. Bagi orang Indonesia asli, Tionghoa, Timur Asing bukan Tionghoa dan
Eropa yang beragama Nasrani (Katolik dan Protestan) :
1. Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
2. Sahnya dan syaratnya perkawinan serta larangan perkawinan sesuai
dengan hukum agama Nasrari (Katolik dan Protestan).
3. Hal-hal yang tidak diatur dalam Nomor (1) dan (2), maka bagi orang
Indonesia asli Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, bagi
Tionghoa berlaku KUHPerdata dengan sedikit perubahan, bagi Timur
Asing bukan Tionghoa berlaku hukum adatnya masing-masing dan
bagi Eropa berlaku KUHPerdata.
c.

Bagi orang Indonesia asli, Tionghoa, Timur Asing bukan Tionghoa dan

Eropa yang beragama Hindu maupun Budha :
1. Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
2. Sahnya dan syarat perkawinan serta larangan perkawinan sesuai
dengan agama Hindu maupun Budha.
3. Hal-hal yang tidak diatur di dalam Nomor (1) dan (2), maka bagi
orang Indonesia asli diberlakukan hukum adat, bagi Tionghoa berlaku
KUHPerdata dengan sedikit perubahannya, bagi Timur Asing bukan

Universitas Sumatera Utara

29

Tionghoa berlaku hukum adatnya masing-masing, dan bagi Eropa
berlaku KUHPerdata.
Undang-Undang Perkawinan menampung prinsip-prinsip yang memberikan
landasan hukum perkawinan bagi warga negara Indonesia. Undang-Undang
Perkawinan juga telah meresipier di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan
agama dan kepercayaan. Selain itu, Undang-Undang Perkawinan mengandung
prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan

tuntutan zaman. Adapun asas-asas yang tercantum dalam Undang-Undang
Perkawinanadalah sebagai berikut :
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masingmasingn dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan materiil.
2. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah,
bilamana

dilakukan

menurut

hukum

masing-masing

agamanya

dan


kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut peraturan perundang-undangan
3. Asas monogami, yang terdapat kekecualian apabila dikehendaki oleh yang
bersangkutan, karena hukum dan agama mengijinkan, seorang suami dapat
beristri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami
dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak

Universitas Sumatera Utara

30

yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai
persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.
4. Prinsip calon suami istri harus telah matang jiwa raganya untuk dapat
melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan
secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik
dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami
istri yang masih di bawah umur.
5. Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal
dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip mempersukar
terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasanalasan tertentu serta harus dilakukakn di depan sidang pengadilan
6. Hak dan kedudukan suami dan istri adalah seimbang baik dalam kehidupan
rumah tangga maupu dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian
segala sesuatunya dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan oleh
suami istri.
Undang-Undang Perkawinan memberikan defenisi perkawinan yang berbeda
dengan KUHPerdata yang hanya memandang dari sudut hukum perdata saja. Definisi
perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan didasarkan pada unsur agama atau
religius, hal itu sebagaimana di aitur dalam Pasal 1Undang-Undang Perkawinan, yang
menyatakan bahwa :
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang kekal dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pengertian

Universitas Sumatera Utara

31

tersebut mengandung makna bahwa suatu perkawinan adalah suatu perikatan
yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti dalam suatu
perkawinan terdapat unsur keagamaan yang kuat, bahwa tiada perkawinan
tanpa didasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Terdapat beberapa hal dari rumusan perkawinan tersebut di atas yang perlu
diperhatikan :52
1. Digunakannya kata: “seorang pria dengan seorang wanita mengandung arti
bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini
menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh
beberapa negara Barat.
2. Digunakannya ungkapan “sebagai suami isteri” mengandung arti bahwa
perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam satu
rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.
3. Dalam defenisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu membentuk
rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus perkawinan
temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan
perkawinan tahlil.
4. Disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa
perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk
memenuhi perintah agama.

52

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta, Prenada Media, 2007,

hal. 40.

Universitas Sumatera Utara

32

Sejalan dnegan itu pengertian Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam,
seperti yang terdapat pada Pasal 2 KHI dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum
Islam adalah:
“pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidhan untuk
menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”
Akad dalam pernikahan bermakna yaitu adanya proses ijab sebagai
pernyataan penyerahan dari pihak perempuan dan kabul sebagai pernyataan dari
pihak laki-laki.53
Sayuti Thalib berpandangan bahwa Undang-Undang Perkawinanmelihat
perkawinan dari tiga segi pandangan yaitu :54
1. Perkawinan dilihat dari segi hukum
Perkawinan ini merupakan suatu perjanjian, juga dapat dikemukakan
sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu
pernjanjian ialah karena adanya cara mengadakan ikatan perkawinan
terlah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dengan sukun dan
syarat tertentu dan adanya cara menguraikan atau memutuskan ikatan
perkawinan juga telah diatur sebelumnya.
2. Perkawinan dilihat dari segi sosial

53

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta,
Rajawali Pers, 2009, hal. 7.
54

Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Islam, Cetakan 5, Jakarta, Universitas Indonesia, 1986, hal. 47.

Universitas Sumatera Utara

33

Dalam masyarakat setiap bangda, ditemui suatu penilaian umum bahwa
orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan
yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.
3. Perkawinan dilihat dari segi agama
Pandangan suatu perkawinan dari segi agama adalah suatu segi yang
sangat penting. Dalam agama perkawinan itu dianggap suatu lembaga
yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua
pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling minta
menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah.
Tujuan dari perkawinan yang diatur pada Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan
bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.55 Dengan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa maka perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan agama dan kerohanian, dalam hal perkawinan disetiap agama pasti
mempunyai suatu tujuan yang jelas, tujuan perkawinan tersebut diharapkan dapat
membuat suatu ketenangan dalam hubungan rumah tangga dengan dasar agama.
Sedangkan Tujuan perkawinan dalam hukum Islam tidak terlepas dari
penryataan Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pertama. Tujuan
perkawinan ini dapat dilihat dalam QS Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi :

55

Mohd. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan 1, Jakarta, Sinar Grafika, 2004. hal. 28.

Universitas Sumatera Utara

34

“diantara tanda-tanda kekuasaan Allah SWT ialah bahwa Dia menciptakan
isteri-isteri bagi laki-laki dari jenis mereka sendiri agara mereka merasa
tentram. Kemudian Allah menjadikan/menumbuhkan perasaan cinta dan kasih
sayang di antara mereka.”
Tujuan perkawinan di atas tercermin dalam ketentuan Pasal 3 KHI yaitu
perkawinan bertujuan utuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan warahmah.
2. Sahnya Perkawinan dan Syarat Perkawinan
Konsep

perkawinan

menurut

Undang-Undang

Perkawinanmemandang

perkawinan bukan hanya sekedar hubungan keperdataan saja melainkan juga ikatan
suci yang didasarkan oleh agama. hal ini sesuai dengan falsafah Pancasila yang
menempatkan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa di atas segala-galanya.56
Undang-Undang Perkawinan menempatkan agama sebagai unsur yang sangat
penting dalam perkawinan. Sebuah perkawinan adalah sah apabila syarat-syarat
ataupun ketentuan ketentuan dalam hukum agama dan kepercayaannya masingmasing terpenuhi. Hal tersebut terdapat pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinanyang berbunyi :
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaan itu.”
Dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
56

Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal. 19.

Universitas Sumatera Utara

35

golongan agama dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak
ditentukan lain dalam undang-undang ini.57
Dari rumusan

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinandapat juga

disimpulkan apabila suatu perkawinan dilakukan tidak menurut hukum agama dan
kepercayaan masing-masing atau ada salah satu larangan perkawinan yang dilanggar
maka perkawinan tersebut adalah tidak sah.
Bagi pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan harus memenuhi
syarat-syarat tertentu untuk sahnya suatu perkawinan yang telah ditentukan oleh
Undang-undang. Agar perkawinan dapat dilangsungkan, maka calon mempelai harus
memennuhi

syarat-syarat

untuk

melangsungkan

perkawinan.

Syarat-syarat

perkawinan ini diatur dalam Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 11 Undang-Undang
Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, ada 2 (dua) macam syarat-syarat
perkawinan yaitu syarat materiil adalah syarat yang melekat pada diri masing-masing
pihak yang disebut juga dengan syarat-syarat subjektif. Dan syarat formal yaitu
mengenai tatacara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut agama dan
undang-undang yang disebut juga sebagai syarat objektif.58
Syarat materill atau syarat subjektif yang harus dipenuhi bagi calon suami istri
adalah sebagai berikut :

57

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), Yogyakarta, Liberty, 1986, hal. 63.
58
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2000,
hal. 76.

Universitas Sumatera Utara

36

1. Persetujuan kedua calon mempelai
Menurut Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, perkawinan harus
didasari atas persetujuan kedua mempelai, artinya kedua calon mempelai
telah sepakat untuk melaksanakan suatu perkawinan tanpa ada paksaan
dari pihak manapun. Persetujuan calon mempelai ini tidak berarti
mengurangi syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam undang-undang
dan ketentuan yang berlaku menurut agama masing-masing.
2. Ijin Orang tua/pengadilan jika belum berumur 21 tahun
Menurut

Pasal

melangsungkan

6

ayat

(2)

Undang-Undang

Perkawinan,

untuk

suatu perkawinan seseorang yang belum berumur

mencapai 21 tahun harus mendapatkan ijin dari kedua orangtua, namun
dalam Pasal 6 ayat (3) UUO menyebutkan bahwa jika kedua orangtuanya
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknya, maka ijin dimaksud dalam ayat (2) cukup diperoleh dari
orangtua yang masih hidup atau yang mampu menyatakan kehendaknya.
3. Pria sudah berumur 19 dan wanita berumur 16 tahun
Menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, perkawinan dapat
diberikan atau diijinkan jika pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak
wanita sudah mencapai 16 tahun. Dalam hal ini kedua pihak sebelum
melakukan perkawinan harus seijin kedua orangtua mereka masingmasing.

Universitas Sumatera Utara

37

4. Tidak terikat dalam suatu perkawinan
Pada Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan, seorang yang masih terikat tali
perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal
Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan. Dalam Pasal 9
ini

menganut

asas

monogami

dimana

suatu

pekawinan

tidak

diperbolehkan untuk kawin lagi, tetapi apabila dalam perkawinan yang
terdahulu terdapat masalah sessuai dengan yang dijelaskan pada Pasl 4
maka laki-laki tersebut dapat kawin lagi namun sesuai dengan peraturan
agama masing-masing.
5. Tidak melakukan perkawinan atau perceraian untuk kedua kalinya dengan
suami/istri yang sama.
Ketentuan pada Pasal 10 Undang-Undang Perkawinan, apabila suami-istri
yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk
kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan
perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Oleh
karena itu Undang-Undang Perkawinan mempunyai maksud agar suamiistri dapat membentuk keluarga yang kekal dan abadi, agar tidak terjadi
putusnya perkawinannya, jika suatu saat mengakibatkan putusnya suatu
perkawinan harus benar-benar dengan pertimbangan yang matang.

Universitas Sumatera Utara

38

6. Bagi janda
Ketentuan pada Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, bagi
seorang wanita berlaku jangka waktu tunggu, yang mana di sebutkan pada
ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, tenggang waktu jangka waktu
tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih
lanjut. Pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 tahun 1975
tentang Pelaksanaan UU Perkawinan pada Pasal 39 disebutkan bahwa
apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130
(seratus tiga puluh) hari. Apabila perkawinan putus karena perceraian
waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali
suci dengan sekurang-kurangnya 90 (Sembilan puluh) hari dan bagi yang
tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (Sembilan puluh) hari. Apabila
perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, maka
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan dan untuk janda yang putus
karena perceraian sedang antara janda dan bekas suami belum pernah
melakukan hubungan kelamin maka tidak ada waktu tunggu tetapi jika
perkawinan yang putus karena perceraian dan antara mereka pernah
melakukan hubungan kelamin maka waktu tunggunya dihitung sejak
jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, sedangkan untuk janda yang perkawinannya putus karena kematian
maka tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suaminya. Syaratsyarat ini bersifat kumulatif, jadi harus dipenuhi semua.

Universitas Sumatera Utara

39

Sedangkan syarat formil ini berkaitan dengan tata cara pelangsungan
perkawinan. Syarat formil suatu perkawinan dapat merupakan atau meliputi syarat
yang mendahului pelangsungan perkawinan. Syarat-syarat formal tersebut terdiri daro
3 (tiga) tahap, yaitu :
a. Pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan
b. Penelitian syarat-syarat perkawinan
Penelitian syarat-syarat perkawinan dilakukan setelah ada pemberitahuan akan
perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Penelitian syarat-syarat
perkawinan memeriksa apakah syarat-syarat perkawinan sudah terpenuhi atau
belum dan apakah ada halangan perkawinan menurut Undang-undang.
c. Pengumuman tentang pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan
Tujuan diadakannya pengumuman ini yaitu untuk memberi kesempatan
kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan
terhadap dilangsungkannya perkawinan. Pengumuman tersebut ditandatangani
oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dan memuat hal ihwal orang yang akan
melangsungkan perkawinan, yang memuat kapan dan di mana perkawinan itu
akan dilangsungkan.59
KHI dalam Bab IV juga mengatur tentang rukun dan syarat-syarat
perkawinan. Dalam Pasal 14 KHI menyebutkan apa yang biasa dalam kitab fiqih
disebut dengan rukun nikah, bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada :60
1. Calon suami
59

Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal. 83.
Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2008, hal. 14.
60

Universitas Sumatera Utara

40

2. Calon istri
3. Wali nikah
4. Dua orang saksi
5. Ijab dan qabul
Syarat dan ketentuan mengenai calon suami dan istri hampir sama dengan apa
yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu batas usia calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 Tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur
16 tahun, dan bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapatkan izin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5)
Undang-Undang Perkawinan. Selain itu berdasarkan Pasal 16 ayat (1) dan (2) KHI
perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa
pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa
diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. Selain itu syarat bagi kedua
mempelai berdasarkan Pasal 18 KHI adalah tidak terdapat halangan perkawinan
sebagaimana di atur dalam Bab VI.
Wali nikah diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 23 KHI dimana dalam
Pasal 20 KHI, yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, aqil dan baliq. Wali terdiri dari :
1. Wali Nasab
Wali nasab adalah anggota keluarga laki-laki calon mempelai perempuan
yang memilki hubungan darah patrilineal dengan calon mempelai
perempuan seperti bapak, datuk, saudara laki-laki bapak, saudra laki-

Universitas Sumatera Utara

41

lakinya sendiri.61 Wali nasab terdiri dari empat kelompok yang lain sesuai
dengan erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
Keempat kelompok tersebut berdasarkan Pasal 21 ayat (1) KHI yaitu :
a. Kelompok pertama, meliputi kerabat laki-laki garis lurus ke atas yaitu
ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya;
b. Kelompok kedua, meliputi kerabat saudara laki-laki kandung atau
saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka;
c. Kelompok ketiga, meliputi kerabat paman yakni saudara laki-laki
kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka;
d. Kelompok keempat, meliputi saudara laki-laki kandung kakek,
saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.
Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang
sama-sama berhak menjadi wali nikah, maka sesuai dengan Pasal 21 ayat
(2) KHI yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat serajat
kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. Dan apabila dalam satu
kelompok dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka sesuai
dengan Pasal 21 ayat (3) KHIyang paling berhak menjadi wali nikah ialah
kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
2. Wali hakim

61

Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis, dan Farida Prihatini, Hukum Perkawinan Islam Di
Indonesia, Jakarta, Hecca Mitra Utama, 2005, hal. 64.

Universitas Sumatera Utara

42

Wali hakim adalah penguasa atau wakil penguasa yang berwenang dalam
bidang perkawinan, biasanya penghulu atau petugas lain dari Departemen
Agama.62 Menurut Pasal 23 ayat (1) KHI, wali hakim baru dapat bertindak
sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada lagi atau tidak mungkin
menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya
Selain ada calon suami, calon istri dan wali nikah rukun nikah menurut KHI
juga mengharuskan adanya saksi nikah. Yang dapat ditunjuk menjadi saki ialah
seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak
tunarungu atau tuli.63 Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah
serta menandatangani akad nikah pada waktu dan di tempat akad nikah
dilangsungkan.
Rukun nikah yang terakhir menurut KHI yaitu ijab dan kabul. Ijab yaitu
penegasan kehendak mengikatkan diri dalam bentuk perkawinan dan dilakukan oleh
pihak perempuan ditujukan kepada laki-laki calon suami. Sedangkan kabul yaitu
penegasan penerimaan mengikatkan diri sebagai suami istri yang dilakukan oleh
pihak laki-laki.64 Dalam Pasal 29 ayat (2) KHI pengucapan kabul

nikah dapat

diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa
yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah
mempelai pria.

62

Ibid.
Mohd Idris Ramulyo , Op.Cit., hal. 75.
64
Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis, dan Farida Prihatini, Op.Cit., hal. 63
63

Universitas Sumatera Utara

43

Mengenai tata cara perkawinan Undang-Undang Perkawinanjuga memiliki
Peraturan Pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Tata cara
perkawinan diatur dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 12 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 dimana tata cara pelaksanaan perkawinan ini dibedakan
menjadi tata cara sebelum perkawinan berlangsung dan tata cara pada saat
perkawinan berlangsung.
Sebelum

perkawinan

berlangsung

mereka

yang

hendak

melakukan

perkawinan harus : 65
1. Membawa surat keterangan dari kepala kampung atau kepala desa atau kepala
daerah masing-masing.
2. Mereka harus lebih dahulu mennyampaikan kehendaknya selambat-lambatnya
10 (sepuluh) hari kerja sebelum akad nikah dilangsungkan.
3. Kemudian pencatat perkawinan harus memeriksa calon suami istri dan
orangtua/wali yang bersangkutan tentang kemungkinan adanya halangan atau
larangan kawin.
4. Dilakukan dihadapan pegawai pencatat perkawinan dan oara pihak yakni
calon suami dan calon istri serta wali wajib hadir sendiri menghadap pegawai
pencatat perkawinan. Jika dalam keadaan terpaksa maka akad nikah dapat
diwakili orang lain, akan tetapi wakil tersebut harus dikuatkan dengan surat
kuasa otentik.

65

Winarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi,Hukum Perorangan dan Kekeluargaan
Perdata Barat, Cetakan 1, Jakarta, Gitama Jaya, 2005,hal. 49.

Universitas Sumatera Utara

44

5. Dilakukan ijab kabul dihadapan pegawai pencatat perkawinan. Ijab dilakukan
oleh wali calon istri dengan qabul yang spontan dan fasih dari calon suami.
Ijab qabul harus disaksikan sekurang-kurangnya 2 (dua) saksi muslim sudah
dewasa serta waras dan diutamakan mereka yang terkenal baik tingkah laku
kesopanan dan keraatannya.
6. Diadakan penelitian oleh pejabat pencatat perkawinan tentang pembayaran
mahar, membaca atau memeriksa persetujuan tentang taklik talak kemudian
pegawai pencatat perkawinan mencatat perkawinan tersebut.
Bagi mereka yang non muslim, dengan berlakuna Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 praktis semua peraturan yang ada di sana berlaku pula bagi
mereka termasuk tata cara pelaksanaan perkawinan yang diatur dalam Pasal 11
sampai dengan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Tata cara yang
dilakukan sebelum perkawinan berlangsung bagi pasangan non muslim yaitu : 66
1. Pernikahan harus didahului oleh suatu pemberitahuan oleh kedua calon
mempelai kepada pegawai Kantor Catatan Sipil atau kepada pendeta
agama Kristen, dan pastur bagi Agama Katolik.
2. Pemberitahuan harus dilengkapi dengan surat-surat pembuktian yang
diperlukan sesuai dengn syarat-syarat yang ditentukan oleh undangundang untuk pelaksanaan perkawinan.
3. Pelaksanaan perkawinan harus dapat dilaksanakan setelah lampau
tenggang waktu 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal pemberitahuan.
66

Ibid., hal. 50.

Universitas Sumatera Utara

45

Setelah tata cara yang harus dilakukan sebelum perkawinan berlangsung
dipenuhi maka perkawinan dapat dilangsungkan. Tata cara pada saat perkawinan
berlangsung adalah : 67
1. Perkawinan baru dapat dilangsungkan setelah 10 (sepuluh) hari sejak
pengumuman kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat. Pengumuman
ini diberitahukan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut
cara formulir yang ditetapkan dan mudah dibaca oleh umum.
2. Tata cara perkawinan dilakukan oleh mereka menurut hukum agama dan
kepercayaannya masing-masing.
3. Karena itu maka setiap perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat
perkawinan. Untuk yang beragama Islam adalah pegawai yang disebut
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 jo Peraturan Menteri
Agama Nomor 1 Tahun 1955.
4. Kedua mempelai menandatangi akta perkawinan setelah perkawinan
dilangsungkan setelah itu akta tersebut ditandatangani oleh kedua saksi
yang menghadiri perkawinan khusus dan khusus untuk mereka yang
beragama Islam akta perkawinan harus ditandatangi oleh wali nikah atau
mereka yang mewakilinya. Dengan demikian maka secara resmi
perkawinan mereka telah tercatat.
Dari uraian mengenai perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan di
atas dapat dilihat bahwa Undang-Undang Perkawinan memberikan tempat yang
67

Ibid

Universitas Sumatera Utara

46

sangat penting bagi unsur keagamaan di dalam suatu perkawinan. Keabsahan suatu
perkawinan tidak hanya didasarkan kepada hukum negara, dalam hal ini undangundang tetapi juga harus didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan masingmasing pihak. Maka dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan seharusnya
tidak ada lagi perkawinan di luar hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
Undang-Undang Perkawinan tidak mengenal bentuk perkawinan sipil seperti yang
terdapat dalam KUPertdata. Hal ini merupakan perbedaan paling mendasar antara
konsep perkawinan menurut KUHPerdata dan konsep perkawinan menurut UndangUndang Perkawinan.
Meskipun

demikian,

Undang-Undang

Perkawinan

juga

menekankan

pentingnya pencatatan perkawinan melalui ketentuan Pasal 2 ayat (2) UndangUndang Perkawinan. Perintah pencatatan perkawinan terdapat pada Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi :
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”
Pencatatan perkawinan dapat menjadi bukti otentik adanya suatu perkawinan
dan pengakuan akan segala akibat hukum yang timbul dari perkawinan tersebut.
Pencatatan perkawinan juga dapat menjadi bukti bahwa hukum negara telah
mengakui adanya perkawinan. Pencatatan perkawinan bagi pasangan muslim
dilakukan oleh Kantor Urusan Agama dan pencatatan perkawinan bagi pasangan non
muslim dilakukan oleh Kantor Catatan Sipil.

Universitas Sumatera Utara

47

Pencatatan perkawinan merupakan tindakan administratif sebagai bukti
adanya perkawinan dan penting bagi akibat hhukum dari perkawinan misalnya
mengenai status anak dan harta bersama. Pencatatan perkawinan juga bertujuan untuk
menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan
maupun bagi pihak lain, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi
dan termuat pula dalam suatu daftar yang khusus disediakan untuk itu, sehingga
sewaktu-waktu dapat dipergunakan bilamana diperlukan dann dapat dipakai sebagai
alat bukti yang otentik, dan dengan surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah
sutau perbuatan yang lain.68
Pencatatan perkawinan terdapat dalam Pasal 5 KHI bertujuan agar
terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, maka perkawinan harus
dicatat hal tersebut tercantum pada Pasal 5 ayat (1) KHI. Berdasarkan Pasal 5 ayat (2)
pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undnag-Undang Nomor 32
Tahun 1954.

B. Perkawinan Beda Agama Menurut Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia
1.

Perkawinan Beda Agama
Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-

orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda atara satu dengan yang
lainnya. Perkawinan beda agama terjadi apabila seorang pria dengan seorang wanita
68

Ibid., hal. 56

Universitas Sumatera Utara

48

yang berbeda agama yang dianutnya melakukan perkawinan dengan tetap
mempertahankan agamanya masing-masing misalnya seorang pria beragama Islam
dan seorang wanita beragama kristen atau sebaliknya. Dalam Kompilasi Hukum
Islam Pasal 2 menyatakan perkawinan menurut hukum Islam yaitu akad yang sangat
kuat atau miitsaaqon gholiizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.69
Menurut Pasal 4 KHI perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum Islam. Artinya perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan
kaidah hukum Islam yang berlaku. Dalam Ordinansi Perkawinan Kristen Pasal 75
ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan seorang laki-laki bukan Kristen dengan
seorang wanita Kristen atas permohonan kedua suami-isteri dapat dilaksanakan
dengan memperlakukan ketentuan-ketentuan ordonansi ini dan ketentuan-ketentuan
peraturan penyelenggaraan Reglemen catatan sipil untuk orang-orang IndonesiaKristen.70
Apabila perkawinan tidak dilaksanakan menurut hukum agamanya masingmasing berarti perkawinan itu tidak sah. Penrkawinan yang dilakukan di Pengadilan
atau di Kantor Catatan Sipil tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut hukum agama
tertentu berarti tidak sah. Perkawinan yang dilakukan oleh Hukum Adat atau oleh
aliran kepercayaan yang bukan agama dan tidak dilakukan menurut tata cara agama
yang diakui pemerintah berarti tidak sah. Dengan demikian, perkawinan yang sah
69

Djaja S Meliala, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan,
Bandung, Nuansa Aulia, 2008, hal. 82.
70
Ibid., hal. 75.

Universitas Sumatera Utara

49

menurut agama yaitu perkawinan yang dilakukan menurut tata cara yang berlaku
dalam agama masing-masing
Menurut agama Islam yang berlaku di Indonesia, perkawinan yang sah apabila
perkawinan tersebut dilaksanakan di tempat kediaman mempelai, masjid, ataupun di
kantor agama dengan ijab kabul dalam bentuk akad nikah. Sedangkan untuk yang
beragama kristen, perkawinan yang sah apabila syarat-syarat yang telah ditentukan
dipenuhi dan perkawinannya dilaksanakan di depan pendeta yang dihadiri dua orang
saksi selain itu kedua mempelai harus sudah di babtis.
Walaupun terdapat perbedaan dalam pengaturan menurut hukum agama
masing-masing, akan tetapi semuanya memuat materi yang sama dalam suatu
pengertian perkawinan. Materi muatan yang mengandung kesamaan tersebut adalah
dalam hal :
1. subyeknya antara pria dan wanita;
2. timbulnya suatu ikatan; serta
3. dalam proses pengikatannya dilakukan sesuai dengan ketentuan atau peraturan
yang berlaku dalam setiap sistem hukum tersebut, sehingga terdapat suautu
pengakuan atas ikatan yang timbul
Dengan demikian terlihat secara jelas bahwa kesaman yang terdapat dalam
memberikan pengertian perkawinan itu telah pula diserepsi oleh Undang-Undang
Perkawinanyang diberlakukan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di Indonesia pernah
ada suatu peraturan hukum antar golongan yang mengatur masalah perkawinan

Universitas Sumatera Utara

50

campuran. Peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang dahulu dikeluarkan oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda yang bernama Regeling op de Gemengde
Huwelijken (GHR) atau Peraturan tentang Perkawinan Campuran sebagaimana
dimuat dalam Staatsblad 1898 No. 158. Regeling Of de Gemengde Huwelijken (GHR)
adalah suatu peraturan perkawinan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda
tentang perkawinan campuran yang termuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda
Stb. 1898 No. 158.
Pada pasal 1 GHR disebutkan perkawinan campuran adalah perkawinan antar
orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Kemudian dalam
penjelasannya dikemukakan contoh perkawinan antara seorang WNI dengan seorang
bangsa Belanda atau Eropa lainnya sekalipun telah menjadi WNI serta memeluk
agama Islam. Begitu pula perkawinan antara seorang Indonesia dengan seorang
Tionghoa atau bangsa Timur lainnya yang tidak memeluk agama Islam sekalipun
telah menjadi WNI. Sementara itu, Pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa “Perbedaan
agama, bangsa, atau asal sama sekali bukanlah menjadi halangan untuk
perkawinan” 71
Pada pasal 1 GHR dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan
Campuran adalah “Perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada
hukum yang berlainan”. Ada 3 pendapat mengenai apakah GHR berlaku pula untuk
perkawinan antar agama dan antar tempat yakni, pertama, kelompok yang
71

FXS. Purwaharsanto, Perkawinan Campuran Antar Agama menurut UU RI No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan : Sebuah Telaah Kritis, Yogyakarta, Aktualita Media Cetak, 1992, hal. 1013.

Universitas Sumatera Utara

51

berpendirian “luas” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan
antar tempat termasuk di dalam GHR; kedua, kelompok yang berpendirian “sempit”
yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat tidak
termasuk di dalam GHR; dan ketiga, kelompok yang berpendirian “setengah luas
setengah sempit” yang menganggap bahwa hanya perkawinan antar agama saja yang
termasuk dalam GHR, sedangkan perkawinan antar tempat tidak termasuk di dalam
GHR.72
Sudargo Gautama berpendapat bahwa istilah perkawinan campuran pada pasal
1 GHR berarti perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan dan dapat
disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai regio,
golongan rakyat, tempat kediaman, dan agama sehingga dari situ pendirian yang
luaslah yang banyak di dukung oleh para sarjana hukum. Namun menurut O.S. Eoh,
semenjak dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966, tidak
ada lagi penggolongan penduduk kecuali dibedakan antara WNI dan WNA sehingga
di Indonesia tidak mungkin lagi ada perkawinan campuran antar tempat dan antar
golongan.73
Pada Pasal 6 ayat (1) GHR menyatakan perkawinan campuran dilangsungkan
menurut hukum yang berlaku atas suaminya, kecuali izin para calon mitra kawin yang
selali disyaratkan. Selanjutnya, Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa perbedaan agama,
golongan penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan
72

Ibid.
Budha. O.S Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, Jakarta, Raja
GrafindoPersada, 1996, hal.118-125.
73

Universitas Sumatera Utara

52

perkawinan. Beberapa pasal ini secara tegas mengatur tentang perkawinan beda
agama bahkan disebutkan bahwa perbedaan agama tidak dapat dijadikan alasan
mencegah terjadinya perkawinan.
Setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka pengaturan
perkawinan beda agama menjadi cenderung terhalangi. Hal ini berdasarkan alasan
yakni dengan mengingat kembali pada sejarah Undang-Undang Perkawinan 1974,
terutama perdebatan yang berkaitan dengan Pasal 11 ayat (2) bahwa “perbedaan
karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan
keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan” dan kemudian mendapat
perubahan, maka perkawinan beda agama tidak dimungkinkan (dilarang) di
Indonesia.
Dari ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan, jelas bahwa ketentuanketentuan GHR (STB. 1898/158) sebagaimana yang diungkapkan diawal juga tidak
dapat diberlakukan lagi karena di samping ketentuannya telah mendapat pengaturan
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, GHR juga mengandung asas yang
bertentangan dengan asas keseimbangan hukum antara suami istri sebagaimana yang
dianut oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Selain itu, rumusan mengenai
perkawinan campuran dalam GHR berbeda dengan rumusan dalam pasal 57 UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Yang dimaksud dengan
perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang
yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan

Universitas Sumatera Utara

53

kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
Rumusan di atas membatasi diri hanya pada perkawinan antara warga negara
Indonesia dengan warga negara asing. Adapun perkawinan antara sesama warga
negara Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan, termasuk perkawinan
antar agama, tidak termasuk dalam lingkup batasan perkawinan campuran menurut
undang-undang ini.
2.

Larangan Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memuat larangan-larangan untuk

melakukan perkawinan. Hal ini termuat dalam Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan,
perkawinan dilarang diantara dua orang sebagai berikut :
1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas.
2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya.
3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan bapak/ibu tiri.
4. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susan, anak susan, saudara susuan, dan
bibi/paman susuan.
5. Berhubungan dengan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.

Universitas Sumatera Utara

54

6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku
dilarang kawin.
Selanjutnya ditambah larangan yang terdapat dalam Pasal 9 dan Psal 10
Undang-Undang Perkawinan, yaitu :
1. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi, kecuali pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan (Pasal 9 jo Pasal 3 ayat (2)) dengan mengajukan permohonan
kepada pengadilan di daerah tempat tinggal (Pasal 4).
2. Suami istri yang telah bercerai untuk kedua kalinya maka diantara mereka
tidak boleh melakukan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya tidak menentukan lain (Pasal 10). Larangan ini
dimaksudkan untuk mencegah perbuatan kawin cerai berulang kali dan agar
suami istri saling menghargai dan mengurus rumah tangga yang tertib dan
teratur.
3. Larangan kawin bagi wanita yang masih dalam masa tunggu yang diatur
dalam Pasal 39 ayat (1) PP Nomor 9 Tahun 1975.
Uraian di atas mengenai larangan perkawinan memang tidak ada diatur secara
tegas mengenai larangan perkawinan beda agama. Namun ada asasnya, hukum
perkawinan Indonesia melarang terjadinya perkawinan antara kedua calon mempelai
yang berbeda agama atau keyakinan. Hal ini sebagaimana dimaksud dan diatur dalam
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan perkawinana adalah

Universitas Sumatera Utara

55

sah,

apabila

dilakukan

menurut

hukum

masing-masing

agamanya

dan

kepercayaannya itu. Pelarangan perkawinan beda agama terlihat pula dalam Pasal 8
huruf (f) Undang-Undang Perkawinanyang menegaskan bahwa perkawinan dilarang
antara kedua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
lain yang berlaku, dilarang kawin.
Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 Huruf c dan Pasal 44 secara eksplisit
mengatur tentang larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non
muslim dan wanita muslim dengan laki-laki non muslim. Pasal 40 huruf c KHI
menyatakan bahwa :
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita karena keadaan tertentu yakni :
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan
pria lain;
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam
Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara
laki-laki (muslim) dengan wanita non-muslim (baik Ahli Kitab maupun Non Ahli
Kitab). Jadi pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non muslim apapun
agama yang dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam.74
Sedangkan Pasal 44 KHI menyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang

74

M. Muhibbin, Tafsir Baru Perkawinan Beda Agama di Indonesia, makalah, http://www.pawonosari.net/asset/nikah_beda_agama.pdf, diakses tanggal 30 Mei 2016.

Universitas Sumatera Utara

56

melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Pasal ini
secara tegas melarang terjadinya perkawinan antara wanita muslim dengan pria non
muslim baik termasuk kategori Ahli Kitab maupun tidak.
Selanjutnya Pasal 60 KHI menyatakan sebagai berikut :
1. Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang
dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan.
2. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang
akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundangundangan. Pasal ini secara tegas memberikan penjelasan tentang pencegahan
perkawinan terhadap calon mempelai yang tidak memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh hukum Islam maupun peraturan perundang0undangan. Pasal
ini menguatkan pelarangan perkawinan beda agama.
Demikian juga Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Perkawinan Antar
Agama

berdasarkan keputusan Musyawarah Nasional, Majelis Ulama Indonesia

melarang perkawinan antara wanita muslim dengan laki-laki musyrik dan laki laki
muslim dilarang kawin dengan wanita yang bukan beragama Islam (larangan
mutlak).75
Selain Islam, agama Katholik memandang bahwa perkawinan sebagai
sakramen sehingga jika terjadi perkawinan beda agama dan tidak dilakukan menurut

75

Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang
Perkawinan Beda Agama.

Universitas Sumatera Utara

57

hukum agama Katholik, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah. Sedangkan
agama Protestan lebih memberikan kelonggaran pada pasangan yang ingin
melakukan perkawinan beda agama. Walaupun pada prinsipnya agama Protestan
menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang yang seagama, tetapi jika terjadi
perkawinan beda agama maka gereja Protestan memberikan kebebasan kepada
penganutnya untuk memilih apakah hanya menikah di Kantor Catatan Sipil atau
diberkati di gereja atau mengikuti agama dari calon suami/istrinya. Sedangkan agama
Hindu tidak mengenal perkawinan beda agama dan pedande/pendeta akan menolak
perkawinan tersebut. Sedangkan agama Budha tidak melarang umatnya untuk
melakukan perkawinan dengan penganut agama lain asal dilakukan menurut tata cara
agama Budha.76
Selanjutnyamerujuk kepada Pasal 66 Undang-Undang Perkawinanyang
menyatakan bahwa “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undangundang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Burgelijks Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks
Ordonantie Chisten Indonesiers S. 1933 No 74), Peraturan Perkawinan Campuran
(Regeling op de gemegnde Huwelijken S. 1989 No. 158), dan peraturan-peraturan lain
yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini,
dinyatakan tidak berlaku”.

76

O.S Eoh, Loc.Cit, hal.118-125.

Universitas Sumatera Utara

58

Penerapan Undang-Undang Perkawinanmemang tidak ada mengatur secara
tegas adanya perkawinan beda agama. Pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang
Perkawinan disampaikan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Hal ini menunjukkan bahwa
hukum agama merupakan landasan filosofis dan landasan hukum yang merupakan
persyaratan mutlak dalam menentukan keabsahan perkawinan. Oleh karena itu
dengan mendasarkan Undang-Undang Perkawinan tidak dimungkinkan perkawinan
beda agama, karena pada masing-masing agama telah ada ketentuan hukum yang
mengikat kepada mereka dan mengandung perbedaan yang prinsip serta tidak
mungkin untuk dipersatukan.
Tidak diaturnya perkawinan beda agama dalam UU mengartikan bahwa
undang-undang menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama masingmasing. Namun, permasalahannya agama yang dianut oleh masing-masing pihak
tersebut tidak membolehkan dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya dalam
ajaran Islam sesuai dengan QS. Al-Baqarah ayat 221. Selain itu juga dalam ajaran
Kristen perkawinan beda agama dilarang sesuai dengan I Korintus ayat 14 sampai
dengan ayat 18.
Pendapat berbeda disebutkan Farida Prihatini, yang menyebutkan bahwa Majelis
Ulama Indonesia melarang perkawinan beda agama. pada prinsipnya, agama-agama
lain juga tidak